Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan rumah sakit yang bemutu dan
perlindungan yang layak. Oleh karena itu rumah sakit dalam memberikan
pelayanan wajib mematuhi standar profesi dan memperhatikan hak pasien.
Tuntutan masyarakat akan hak mendapatkan pelayanan yang bermutu tersebut
berdampak terhadap berbagai sistem dalam pelayanan kesehatan yang bertujuan
untuk meningkatkan mutu pelayanan dan mengembangkan sistem evaluasi mutu
pelayanan (Depkes RI, 2013).
Mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit dipengaruhi oleh banyak sekali
faktor. Faktor yang berpengaruh dikelompokan kedalam faktor pelayanan medis,
faktor pelayanan non medis, dan faktor pasien. Faktor pelayanan medis
ditentukan oleh standar pelayanan yang dipakai, alat kesehatan, dokter, dan
perawat. Agar pasien mendapatkan pelayanan yang baik di rumah sakit petugas
wajib mematuhi standar profesi pelayanan keperawatan khususnya mematuhi
standar operasional prosedur tindakan keperawatan yang akan dilakukan pada
setiap pasien. Pasien yang menjalani rawat inap sebagian besar mendapatkan
terapi intravena yang bertujuan untuk pemberian obat, cairan, dan pemberian
produk darah, atau samping darah (Alexander, Corigan, Gorski, Hanskin, &
Perucca, 2010).
Menurut Smeltzer dan Bare (2010) pemberian terapi intravena bertujuan
untuk menyediakan air, elektrolit, nutrient; menyediakan suatu medium untuk
pemberian obat secara intravena. Terapi intravena memberikan banyak manfaat
bagi sebagian besar pasien. Namun akibat prosedur pemasangan yang kurang
tepat, posisi yang salah, serta kegagalan dalam menembus vena, dapat
menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien (Kolcaba dalam Paterson &
Bredow, 2008). Selain memberikan respon ketidaknyamanan, pemberian terapi
infus juga dapat menimbulkan komplikasi, baik komplikasi lokal maupun
sistemik. Komplikasi lokal dari terapi intravena termasuk infiltrasi,
tromboplebitis, hematoma, bekuan pada jarum dan plebitis (Smeltzer & Bare,
2010).
Plebitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada pembuluh darah vena
yang ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak, panas, indurasi (pengerasan)
pada daerah tusukan dan pengerasan sepanjang pembuluh darah vena
(Alexander, et al, 2010). Menurut Hankies dkk (2006) dalam Nurjanah (2011)
tanda dan gejala plebitis adalah eritema, nyeri, edema dan peningkatan
temperatur kulit pada area pemasangan infus. Diketahui bahwa tingkat
keparahan gejala phlebitis ditentukan berdasarkan skala derajat plebitis (Visual
Infusion Phlebitis Score) mulai dari skala 0 sampai dengan 5 berdasarkan
rekomendasi The Infusion Nurses Nociety (Wayunah, 2011).
Data kejadian plebitis di Indonesia belum ada angka yang pasti tentang
pravalensi kejadian flebitis, kemungkinan disebabkan oleh penelitian dan
publikasi yang berkaitan dengan flebitis jarang dilakukan. Data Depkes RI
Tahun 2013 angka kejadian plebitis di Indonesia sebesar 50,11% untuk Rumah
Sakit Pemerintah sedangkan untuk Rumah Sakit Swasta sebesar 32,70 % (Rizky,
2014). Kejadian plebitis di Rumah Sakit tidak dipublikasi secara luas, hanya
dapat diketahui dalam data Survailens Pengendalian Penyakit Infeksi Rumah
Sakit (PPIRS) yang bersangkutan.
Angka mortalitas dari plebitis sangatlah kecil namun angka morbiditas
plebitis di rumah sakit termasuk tinggi dan setiap tahun terdapat kasus plebitis di
rumah sakit. Apabila hal tersebut terus terjadi dan tidak ada upaya untuk
menanggulangi plebitis, maka keadaan plebitis pasien semakin parah dan
memungkinkan untuk terjadi kematian. Selain itu plebitis yang terjadi pada
pasien rawat inap sangat merugikan bagi pasien, tidak hanya dalam hal
kesehatannya, lama perawatannya juga semakin panjang dan beban biaya yang
ditanggung oleh pasien dan keluarga akan semakin tinggi. Bagi mutu pelayanan
rumah sakit menyebabkan izin operasional sebuah rumah sakit dicabut
dikarenakan tingginya angka kejadian infeksi plebitis (Pradini,2016).
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya flebitis pada pasien yang
terpasang infus. Salah satu diantara faktor yang perlu diperhatikan yaitu teknik
aseptik atau kesterilan sewaktu pemasangan infus, melakukan disinfektan
sebelum penusukan kanule intra vena pada daerah sekitar penusukan dengan
kapas alkohol 70% serta kesterilan alat-alat yang digunakan akan berperan
penting untuk menghindari komplikasi peradangan vena, seperti: cuci tangan
(Brunner dan Suddart 2013). Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Mada D, dkk (2012) di RS Kristen Lende Moripa penerapan prinsip steril pada
pemasangan infus menunjukkan bahwa penerapan prinsip steril pada
pemasangan infus yang dilakukan oleh perawat didominasi oleh kategori cukup
yaitu 64,3% (36 orang). Penerapan prinsip steril pada pemasangan infus yang
meliputi penerapan prinsip steril sebelum melakukan tindakan, saat melakukan
tindakan dan saat membereskan alat yang dilakukan oleh perawat dikatakan baik
jika sudah sesuai dengan protap pemasangan infus secara steril yang benar.
Lama pemasangan infus dalam terapi intravena juga mempengaruhi
terjadinya flebitis. Karena pada saat terpasang infus akan mengakibatkan
tumbuhnya bakteri pada area penusukan. Maka semakin lama pemasangan tanpa
dilakukan perawatan secara optimal, menyebabkan bakteri akan mudah tumbuh
dan berkembang, untuk itu dalam memberikan pelayanan keperawatan
khususnya dalam terapi intravena peran perawat dituntut untuk lebih aktif dalam
melakukan observasi dan perawatan infus serta tindakan pencegahan terjadinya
plebitis.
Hasil penelitian menunjukan bahwa untuk lama pemasangan infus yang
<3 hari sebanyak 31 responden (36,9 %) tidak mengalami plebitis dan sebanyak
1 responden (1,2 %) yang mengalami plebitis. Sedangkan untuk lama
pemasangan infus ≥3 hari sebanyak 39 responden (46,4 %) untuk yang
mengalami plebitis dan 13 responden (15,5 %) untuk yang tidak mengalami
plebitis (Bouty,dkk, 2014).
Plebitis juga dapat disebabkan karena jenis cairan yang digunakan.
Pemberian cairan intravena disesuaikan dengan kondisi kehilangan cairan pada
pasien. Pemberian cairan intravena merupakan salah satu tindakan invasif yang
dilakukan tenaga kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Rizky (2014) didapatkan hasil bahwa responden yang mengalami Plebitis dengan
cairan hipertonik sebanyak 13 orang (54%) dan cairan isotonik sebanyak 7 orang
(10%).
Hasil study pendahuluan yang dilakukan peneliti didapat data dari
Medical Record pada tanggal 23 November 2018, diperoleh rata-rata pasien
dirawat yang terpasang infus setiap bulannya pada tahun 2017 sebanyak 443
pasien. Sedangkan pada tahun 2018 selama 6 bulan terakhir yakni bulan Mei
sampai Oktober didapatkan rata-rata jumlah pasien dirawat yang terpasang infus
sebanyak 325 pasien. Di dapatkan data dari tim IPCN (Infection Prevention
Control Nurse) tim pengendali infeksi nosokomial di rumah sakit, serta
wawancara dengan salah seorang tim IPCN mengatakan bahwa dari beberapa
infeksi nosokomial yang terjadi di rumah sakit plebitis merupakan kejadian yang
sering dialami pasien selama dirawat. Di dapatkan data dari tim IPCN (Infection
Prevention Control Nurse) pengendali infeksi nosokomial di rumah sakit, pada
tahun 2017 ditemukan kasus rata-rata kejadian plebitis setiap bulannya sebanyak
28 kasus atau sekitar 5,9 %. Sedangkan data kejadian plebitis selama 6 bulan
terakhir di tahun 2018 bervariasi yakni bulan Mei 2018 sebanyak 14 kasus dari
135 pasien, bulan Juni 2018 sebanyak 17 kasus dari 145 pasien, bulan Juli 2018
sebanyak 21 kasus 235 pasien, bulan Agustus 2018 sebanyak 11 kasus dari 120
pasien.
Bedasarkan fenomena diatas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian plebitis di ruang
rawat inap RS Permata Bekasi tahun 2018.

B. Rumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang dalam penelitian ini, maka rumusan masalah
yang diteliti adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian plebitis di ruang rawat inap RS Permata Bekasi tahun 2018.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian plebitis
di ruang rawat inap RS Permata Bekasi tahun 2018.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kepatuhan perawat dalam menjalankan tindakan
aseptik pemasangan infus, distribusi jenis cairan infus yang dipasang dan
lama pemasangan infus di ruang rawat inap RS Permata Bekasi.
b. Untuk mengetahui angka kejadian plebitis di RS Permata Bekasi.
c. Untuk mengetahui hubungan kepaatuhan perawat dalam menjalankan
tindakan aseptik pemasangan infus dengan kejadian plebitis di ruang
rawat inap RS Permata Bekasi.
d. Untuk mengetahui hubungan lama pemasangan infus dengan kejadian
plebitis di ruang rawat inap RS Permata Bekasi.
e. Untuk mengetahui hubungan jenis cairan yang dipakai dengan kejadian
plebitis di ruang rawat inap RS Permata Bekasi.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dan evaluasi bagi rumah sakit
sehingga menurunkan kejadian plebitis sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan oleh Departemen Kesehatan. Selain itu dapat memberikan
informasi faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian plebitis di ruang rawat
inap rumah sakit tersebut.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam meningkatkan mutu
pendidikan dan sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan tentang
plebitis.
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan sarana untuk melatih diri dan berfikir secara ilmiah,
serta aplikasi ilmu tentang melakukan riset keperawatan.

Anda mungkin juga menyukai