Anda di halaman 1dari 83

ASSESMENT

PENGARUSUTAMAAN GENDER
PADA LEMBAGA PEMERINTAH
TERKAIT SEKTOR PERTANIAN PROVINSI ACEH

PENULIS DAN KETUA TIM


SRI WALNY RAHAYU

FASILITATOR
DARWANIS
RAIDA FUADI
ELLY KESUMAWATI
ABDULLAH ABDUL MUTHALEB

ENUMERATOR
SAFRINA
d

DOKUMENTASI
KHAIRUL MIZAN RAMLI

KERJASAMA
PUSAT STUDI GENDER UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DENGAN KONSULTAN UCIL - ETESP
BANDA ACEH
PEBRUARI, 2009
PROTOKOL ASSESMENT PUG

I. PENDAHULUAN

Protokol assesment PUG untuk selanjutnya disebut Protokol Studi Analisis,


merupakan acuan yang akan digunakan oleh fasilitator selama melakukan studi dan
membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pengarusutamaan Gender (PUG) di lapangan.
Protokol analisis berguna untuk menjamin agar setiap data (sekunder dan primer) yang
dikumpulkan dapat diperbandingkan dan dianalisis secara ilmiah pada kondisi, waktu,
tempat, serta kelompok partisipan dan isu yang berbeda. Dengan demikian, kesahihan
(validitas) dan keandalan (reliabilitas) datanya lebih terjamin.
Protokol Studi Analisis terdiri dari dua bagian yang tidak terpisahkan dengan Studi
Analisis PUG. Pertama, berisi Konsep Gender dan PUG. Kedua, berisi Perencanaan dan
Penganggaran Responsif Gender.

II. STUDI ANALISIS

Studi analisis ini terdiri dari:


A Latar Belakang;
B Tujuan Studi Analisis;
C Manfaat Studi Analisis
D Ruang Lingkup Studi Analisis
E Definisi Operasional dan Konsep-Konsep;
F Perangkat Instrumen Analisis Gender, lengkap dengan metode yang digunakan;
G Alasan Pemilihan Kelompok Sasaran dan Lokasi Studi;
H Etika Studi Analisis
Panduan tentang Etika, meliputi :
1. Studi untuk Mendapatkan Persetujuan;
2. Panduan untuk Sikap dan Perilaku Fasilitator;
I Studi Analisis terdiri dari:
1. Jadwal;
2. Lokasi Studi Analisis;
3. Jumlah Partisipan setiap SKPA;

Page | 2
4. Peralatan/alat dalam melakukan Pelatihan, Working Group, dan Studi Analisis;
5. Melakukan Seminar dan Diseminasi Hasil Draf Studi Analisis;
6. Melakukan Simposium dan Teknik Focus Group Discussion (FGD).

Secara terperinci, komponen Gender dan Studi Analisis PUG terkait sektor
Pertanian di Provinsi Aceh dijabarkan sebagai berikut:

A. LATAR BELAKANG
1. Konsep Gender dan PUG

Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang


Pengarusutamaan Gender (PUG) yang mengatur kerangka kerja kepada instansi dan
lembaga pemerintah di Tingkat Pusat dan Daerah, Kepala Lembaga Pemerintah Non-
Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Panglima
Tentara Negara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung
Republik Indonesia, Gubernur dan Bupati/Walikota, bertanggung jawab untuk menerapkan
strategi PUG dalam lingkup kerja, fungsi, tingkat kewenangan serta memonitor dan
mengevaluasi hasil-hasil kegiatan dalam lingkup kerja mereka.
Hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG oleh Pimpinan Instansi dan
Lembaga Pemerintah baik Pusat maupun Daerah tersebut dilaporkan kepada Presiden
dengan tembusan kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Dalam
Negeri.
Pengarusutamaan Gender (PUG) ditujukan agar semua program pembangunan
dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesempatan dan akses perempuan
terhadap program pembangunan, dengan adanya kendali dan manfaat untuk perempuan.
Hal ini menjadi lebih penting dengan adanya otonomi daerah, tantangan dan peluangnya
juga makin besar. Pembangunan di provinsi, kabupaten, dan kota pada umumnya belum
menempatkan pemberdayaan perempuan, kesetaraan dan keadilan gender, serta
kesejahteraan dan perlindungan anak sebagai prioritas (Soemartoyo, 2002).
Model PUG mengadopsi nilai Gender and Development (GAD). Pendekatan GAD
mengacu pada desain program yang mengintegrasikan dan mengarusutamakan aspirasi,
kebutuhan, dan minat antara laki-laki dengan perempuan secara berimbang dalam hal

Page | 3
akses, peran, kontrol dan manfaat pada semua aspek pembangunan (Vitayala, 1995).
Karena itu perencanaan dan implementasi program dikembangkan lebih banyak untuk
mencakup kebutuhan strategis antara laki-laki dengan perempuan.
Ada pun pendekatan Women in Development (WID) didesain untuk menjembatani
kesenjangan antara laki-laki dengan perempuan dalam semua aspek pembangunan.
Secara rinci perbedaan antara GAD dengan WID dapat dilihat pada Tabel I di bawah ini.

TABEL I
PERBEDAAN PENDEKATAN WID DAN GAD DALAM PENGARUSUTAMAAN GENDER
Aspek Women in Development Gender and Development
(WID) (GAD)
Dalam pembangunan perempuan Sumber masalah terletak pada model
Pendekatan
dianggap sebagai beban. pembangunan itu sendiri.
Fokus Perempuan Pola relasi perempuan dan laki-laki.
Relasi kekuasaan yang tidak seimbang
Proses pembangunan tidak (antara kaya dan miskin, perempuan dan
mengikutsertakan perempuan. laki-laki, negara dan masyarakat) yang
Masalah
menyebabkan pembangunan tidak adil yang
tidak mengikut sertakan perempuan secara
optimal.
Pembangunan yang adil dan
Pembangunan yang lebih efektif
Tujuan berkesinambungan dengan perempuan dan
dan merata. laki-laki sebagai pengambil keputusan.
Mengintegrasikan perempuan Pemberdayaan perempuan marginal.
dalam proses pembangunan dan mengubah pola relasi laki-laki dan
Solusi
memberdayakan perempuan perempuan yang tidak seimbang.
Yang tersisih dari pembangunan.
Memasukkan perempuan Mengidentifikasi kebutuhan praktis
dalam sebagaimana yang diformulasikan oleh
semua aspek perencanaan perempuan dan laki-laki untuk
proyek. meningkatkan kualitas hidup mereka.
Proyek-proyek khusus untuk Menangani kepentingan strategis
perempuan. perempuan.
Meningkatkan produktivitas Menangani kepentingan strategis kaum
perempuan. miskin melalui pembangunan untuk
Strategi
Meningkatkan pendapatan manusia, dan perempuan secara terpisah.
perempuan.
Peningkatan keterampilan
perempuan dan melaksanakan
peran tradisi (rumah tangga
atau domestik).
Mengurangi beban kerja tradisi
perempuan.
Sumber : Dikutip dari Vitayala, A, makalah “Posisi dan Peran Wanita Dalam Era Globalisasi” seminar
Ilmiah Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen
Pertanian, 1995.

Page | 4
Ada dua hal pokok yang harus diperhatikan ketika mengimplementasi Inpres Nomor
9 Tahun 2000. Pertama merupakan prasyarat, memiliki 7 (tujuh) unsur penting yaitu 1)
dukungan politik, 2) kebijakan, 3) sumber daya, 4) sistem data dan informasi, 5)
kelembagaan, 6) alat analisis gender, dan 7) dukungan masyarakat sipil. Kedua,
advokasi terpadu untuk mengintegrasikan dimensi gender dalam proses perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dari setiap kebijakan dan program
pembangunan. Dua hal pokok ini harus dilakukan secara sinergis, tanpa mengabaikan
salah satunya, termasuk menggalang dukungan politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif)
sampai pada kultural, sosial kemasyarakatan dan agama. Dengan demikian, pelembagaan
PUG menjadi suatu hal yang diterima dan mendapatkan dukungan semua pihak.
Petunjuk teknis Inpres Nomor 9 Tahun 2000 yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) Nomor 132 Tahun 2003. Permendagri tersebut kemudian dicabut dan
digantikan dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah. Dalam Permendagri Nomor 15 Tahun
2008 ditegaskan, “Untuk mempercepat pelembagaan PUG di seluruh Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi, maka dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) PUG Provinsi
yang diketuai oleh Kepala Bappeda. Pokja PUG ini merupakan wadah konsultasi bagi
pelaksana dan penggerak PUG dari berbagai instansi/lembaga di daerah”.
Salah satu tugas Pokja PUG Provinsi tersebut mendorong dilaksanakannya
pemilihan dan penetapan Focal Point PUG di masing-masing SKPA. Focal Point PUG
pada setiap SKPA di level Provinsi dan Kabupaten/Kota terdiri dari pejabat dan/atau staf
yang membidangi tugas Pemberdayaan Perempuan dan bidang lainnya.
Pemerintah telah menyatakan komitmennya untuk mendorong tercapainya
kesetaraan gender sebagai salah satu tujuan pembangunan nasional yang antara lain
untuk menanggulangi masalah kemiskinan. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor
7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Tahun 2004-2009, pada BAB 16 yang memuat Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Gender
sebagai salah satu permasalahan, dijabarkan berikut ini:
”Laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman kemiskinan yang berbeda.
Dampak yang diakibatkan oleh kemiskinan terhadap kehidupan laki-laki juga
berbeda dari perempuan. Sumber dari permasalahan kemiskinan perempuan
terletak pada budaya patriarki yang bekerja mulai pendekatan, metodologis, dan

Page | 5
paradigma pembangunan. Praktik pemerintahan yang bersifat hegemoni dan
patriarki, serta pengambilan kebijakan yang hirarkis telah meminggirkan
perempuan secara sistematis dalam beberapa kebijakan, program dan lembaga
yang tidak responsif gender. Angka yang menjadi basis pengambilan keputusan,
penyusunan program dan pembuatan kebijakan, tidak mampu mengungkap
dinamika kehidupan laki-laki dan perempuan”.

Paparan di atas menunjukkan terdapat kesenjangan gender (gender gap) dalam


pembuatan kebijakan dan penyusunan program. Untuk mengurangi keadaan tersebut,
harus ada kebijakan dan program yang berdaya ungkit besar sehingga gender gap dapat
dikurangi. Oleh karena Indonesia merupakan negara agraris, maka sektor pertanian harus
mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, baik dari sisi kebijakan maupun dukungan
alokasi anggarannya.

Isu gender terkait sektor pertanian dapat diinventarisir beberapa data di bawah ini:

a. Di Indonesia, perempuan pedesaan merupakan jumlah tenaga kerja terbesar di bidang


pertanian.
b. Perempuan terlibat mulai dari kegiatan penanaman, perawatan, panen, dan pasca
panen.
c. Perempuan cenderung makhluk subordinasi sehingga tidak tampil sebagai pelaku
pembangunan. Hal ini terjadi karena domain perempuan berada di ranah domestik
sekali pun pekerjaan yang dilakukannya merupakan pekerjaan produktif, akan tetapi
nilai yang diterimanya tidak seimbang dengan pekerjaan yang dihasilkan.
d. Peran perempuan tidak diperhitungkan dalam statistik dan laporan kemajuan
pembangunan.
e. Kesempatan untuk peningkatan kualitas SDM bagi perempuan belum optimal.
Perempuan kurang mendapatkan akses dan pelayanan prasarana dan sarana
produksi, teknologi dan penyuluhan, pelatihan, serta berbagai peningkatan diri.
f. Keterlibatan perempuan diabaikan sehingga kurang optimal dalam program
pembangunan pertanian. Misalnya, petani perempuan tidak dapat mengakses untuk
mendapatkan kredit usaha tani dibatasi dengan syarat yang mengharuskan
penggunaan sistem Kepala Keluarga (KK) atau ketua kelompok tani yang
mayoritasnya laki-laki.

Page | 6
g. Partisipasi perempuan terbatas atau bahkan tidak mempunyai kewenangan sama
sekali dalam proses pengambilan keputusan menyangkut usaha pertaniannya.
h. Upah buruh petani perempuan lebih rendah dari pada petani laki-laki.
i. Penguasaan yang terbatas atas sumber daya seperti tanah dan pendapatan.
j. Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan) didesain yang sebagian besar dapat digunakan
dengan mudah bagi petani laki-laki, tetapi belum tentu bagi petani perempuan.
(www.fp.elcom.umy.ac.id; 2009).

Hal yang sama dengan isu nasional tersebut terdapat juga di Provinsi Aceh,
sebagaimana dukutip dalam Laporan Kemajuan BRR Aceh-Nias Tahun 2006 sebagai
berikut:
”Lebih dari 50% petani di Aceh dan Nias adalah perempuan, tetapi perempuan
merupakan persentase kecil dalam hal pemilikan lahan dan usaha tani, sehingga
kurang memiliki kekuatan sebagai pembuat keputusan. Kesetaraan gender harus
diarusutamakan melalui proses rehabilitasi dan rekonstruksi di sektor pertanian
untuk memaksimumkan keuntungan dan menjamin keberhasilan keseluruhan
program dan inisiatif untuk keuntungan bagi perempuan dan keluarga.”

Sejalan dengan laporan BRR tersebut di atas, maka kondisi kemiskinan tersebut
sangat berkaitan dengan:
“Tiga puluh tahun konflik di Aceh telah menghasilkan banyak rumah tangga dengan
kepala keluarga perempuan dan pengungsi. Akibatnya, banyak perempuan
menerima semua tanggung jawab untuk mendukung rumah tangga. Malapetaka
menyebabkan peningkatan proporsi keluarga terpecah-pecah, dan lebih banyak
perempuan terisolir atau pendukung tunggal keluarganya. Pendukung rekonstruksi
dan rehabilitasi harus mengarahkan kebutuhan khusus perempuan dan yang
berhubungan dengan rumah tangga. Juga harus diarahkan keinginan mereka untuk
mengembalikan matapencaharian” (Ringkasan Pengurangan Kemiskinan dan
Strategi Sektor dan Rencana Aksi Gender dari Report and Recommendation of
the President ADB).

Kondisi riil kemiskinan perempuan yang terjadi di Povinsi Aceh selama puluhan
tahun membutuhkan dukungan pendanaan dan program khusus yang diarahkan kepada
rumah tangga yang dikepalai perempuan. Dukungan tersebut dapat berupa pelatihan,
pembangunan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM), partisipasi yang berimbang di
dalam organisasi berbasis masyarakat yang ada, dan dukungan material. Dengan
demikian, pembentukan Gender Focal Point (GFP) dan Pokja PUG pada setiap SKPA

Page | 7
sangat diperlukan untuk merealisasikan kebijakan/program yang melibatkan perempuan
dalam berbagai aspek di sektor pertanian.
Urgensinya PUG dalam pelaksanaan pembangunan di sektor pertanian di Provinsi
Aceh diperkuat berdasarkan data terdapat 70% masyarakat miskin. Dari angka tersebut,
49% adalah perempuan dan perempuan kepala keluarga. Di Provinsi Aceh, sektor
pertanian merupakan matapencaharian dimana pelaku utamanya perempuan dan janda
sebagai kepala keluarga. Perempuan dan janda sebagai kepala keluarga memerlukan
akses, keselarasan dan kesetaraan untuk sumber-sumber pendukung lainnya seperti
material, tanah, air, dana microfinance. (Report and Recommendation of the President
ADB tentang Pengurangan Kemiskinan dan Strategi Sektor dan Rencana Aksi
Gender).
Oleh karena itu, pelaksanaan PUG di sektor pertanian pada Dinas Kesehatan
Hewan dan Peternakan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian Tanaman
Pangan, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan, serta Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian menjadi sangat penting dilakukan sehingga dapat mengatasi gender gap sektor
pertanian di Provinsi Aceh.

2. Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender


a. Konsep Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender
Implementasi PUG dibutuhkan perencanaan dan penganggaran responsif gender
sebagai bagian integral yang diamanatkan dalam Inpres No. 9 Tahun 2000. Setiap hasil
pembangunan harus dapat dinikmati secara merata oleh semua orang. Pembangunan
yang hanya menguntungkan salah satu jenis kelamin tidak mengoptimalkan kinerja
pembangunan itu sendiri.
Secara teoritis, persoalan diskriminasi yang terjadi tidak selalu merugikan
perempuan tetapi juga merugikan laki-laki. Artinya, perencanaan program jika hanya
mengutamakan perempuan maka laki-laki akan dirugikan, begitu pun sebaliknya. Dua
kondisi ini sama-sama tidak berkeadilan gender.
Dalam konteks inilah pemetaan isu terhadap perencanaan dan penganggaran pada
setiap SKPA, khususnya sektor pertanian yang menjadi objek studi, harus
mengimplementasikan anggaran responsif gender. Dalam pemetaan isu diasumsikan

Page | 8
terjadi bias gender ketika menyusun perencanaan dan penganggaran. Indikasi-indikasi
tersebut sebagai berikut:
1. Alokasi sumber daya dalam anggaran yang menguntungkan gender tertentu.
2. Pengelolaan anggaran memunculkan kesenjangan distribusi pendapatan dan
kesejahteraan di antara kedua kelompok gender.
3. Fungsi stabilisasi ekonomi anggaran (dalam bentuk penetapan penyerapan
tenaga kerja, penetapan pertumbuhan ekonomi, stabilisasi harga, dan
sustainibilitas lingkungan) dikelola dengan memunculkan masalah
ketidaksetaraan gender.
Ketika perencanaan dan penganggaran tidak memperhitungkan indikasi-indikasi di
atas, maka anggaran pada setiap SKPA hanya sebagai prosedur pendanaan belaka dan
bukannya pengawal pencapaian outcome program. Kondisi ini menyulitkan evaluasi dan
monitoring terhadap program dan kegiatan yang dilaksanakan pemerintah.
Dalam Permendagri No. 15 Tahun 2008 disebutkan bahwa “Perencanaan
Berperspektif Gender adalah perencanaan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan
gender, yang dilakukan melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, potensi,
dan penyelesaian permasalahan perempuan dan laki-laki”. Terdapat 3 (tiga) pengertian
pokok perencanaan yang responsif gender, yaitu:
1. Perencanaan tersebut bertujuan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan
gender.
2. Perencanaan tersebut dilakukan dengan pengintegrasian pengalaman, apsirasi,
kebutuhan dan potensi hingga penyelesaiannya.
3. Arah perencanaan tersebut kemudian diharapkan mampu menjadi solusi
terhadap permasalah yang diakibatkan oleh ketidaksetaran dan ketiadakadilan
gender antara perempuan dan laki-laki.

Page | 9
Berikut ini beberapa pokok pikiran dalam Permendagri No. 15 Tahun 2008
sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Pemerintah daerah berkewajiban menyusun kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan berperspektif gender yang dituangkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD, Rencana Strategis
SKPD, dan Rencana Kerja SKPD.
(2) Penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan berperspektif
gender sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui analisis
gender.
Pasal 5
(1) Dalam melakukan analisis gender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) dapat menggunakan metode Alur Kerja Analisis Gender (Gender
Analisys Pathway) atau metode analisis lain.
(2) Analisis gender terhadap Rencana Kerja SKPD dilakukan oleh masing-masing
SKPD bersangkutan.
(3) Pelaksanaan analisis gender terhadap RPJMD dan Renstra SKPD dapat
bekerjasama dengan lembaga perguruan tinggi atau pihak lain yang memiliki
kapabilitas di bidangnya.
Pasal 6
(1) BAPPEDA mengoordinasikan penyusunan RPJMD, Renstra SKPD, dan
Rencana Kerja SKPD berperspektif gender.
(2) Rencana kerja SKPD berperspektif gender sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Dalam melaksanakan PUG, diperlukan suatu perencanaan yang peka gender


sehingga dapat menghasilkan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender.
Oleh karena itu, pemerintah dalam hal ini setiap SKPA dapat memulainya dengan
melakukan analisis kebijakan yang berbasis gender (gender based policy analysis).

Page | 10
Sri Mastuti, et. al (2007:21-22) dengan mengutip dari Ministry of Women’s
Equality, British Columbia (1997) menyebutkan bahwa analisis kebijakan yang responsif
gender tersebut memiliki beberapa prinsip, yaitu:
1. Setiap kebijakan, program, kegiatan dan pelayanan publik akan berdampak
terhadap kehidupan manusia, perempuan dan laki-laki.
2. Perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan peran, akses dan kontrol terhadap
sumber daya strategis.
3. Perempuan bukan kategori sosial yang homogen. Mereka berbeda menurut
kelas sosial, tempat tinggal, status perkawinan, kelompok umur, status dalam
keluarga, kelompok etnis sehingga pengalaman, permasalahan, kebutuhan,
kepentingan mereka juga berbeda.
4. Demikian pula peran, pengalaman, permasalahan, kebutuhan dan kepentingan
perempuan berbeda dengan laki-laki.
5. Setiap kebijakan, program, kegiatan dan pelayanan publik harus adil bagi
perempuan dan laki-laki. Adil tidak berarti memberikan perlakuan yang sama
terhadap keduanya. Perlakuan yang sama belum tentu berdampak sama
terhadap mereka sebab kondisi mereka juga berbeda.
6. Setiap kebijakan, program, kegiatan dan pelayanan publik yang telah dibuat
melalui proses analisis gender perlu dikonsultasikan kepada perempuan dan
laki-laki yang akan terkena dampaknya. Hal tersebut dilakukan agar partisipasi
rakyat dapat terwujud.
7. Analisis gender tidak terbatas pada analisis kebijakan, program, kegiatan dan
pelayanan publik saja. Tetapi didalamnya termasuk merancang anggaran yang
akan digunakan, sehingga memberikan manfaat yang sama bagi perempuan
dan laki-laki.

Anggaran yang bersentuhan dengan gender tersebut, sejak perkembangannya


pertengahan tahun 1980-an, secara teoritis dikaitkan dengan istilah yang berbeda-beda. Di
Australia, istilah yang digunakan adalah ”gender budget” yang berbeda dengan di Afrika
Selatan yang memakai istilah ”women budget”. Di Indonesia pun, istilah yang digunakan
cukup beragam. Ada yang menyebutnya ”anggaran berperspektif gender”, ”anggaran adil
gender”, ”anggaran tanggap gender”, ”anggaran peka gender”, dan ”anggaran responsif

Page | 11
gender”. Dalam studi analisis PUG ini tim menggunakan istilah Anggaran Responsif
Gender (ARG).
ARG merupakan konsep administrasi yang relatif baru di Indonesia. Pada
awalnya, ARG diperkenalkan oleh The Asia Foundation dengan menyelenggarakan
serangkaian kegiatan workshop tentang gender budget analysis and citizen advocacy di
Jakarta, Bandung dan Jogjakarta (Sri Mastuti dan Rinusu: 2003 hal 41). Kendatipun
banyak istilah terkait antara anggaran dan gender, pada prinsipnya tidak ada perbedaan
yang sangat prinsipil antara satu istilah dengan istilah yang lainnya. Semuanya tetap
menuju pada satu titik yang sama, yakni menuju keadilan ”anggaran untuk semua”.
Dengan catatan bahwa tetap berpihak kepada kelompok rentan yaitu perempuan, janda,
anak-anak dan orang miskin secara keseluruhan.
Dengan kata lain, ARG bukanlah anggaran yang terpisah untuk perempuan
dan laki-laki, tetapi merupakan anggaran yang dibuat dan disahkan melalui suatu
proses analisis gender yang dilakukan oleh para perencana dan pembuat kebijakan.
Oleh karena itu, menjadi fatal apabila para perencana dan para pengambil kebijakan
mengalami penyakit ”buta gender”, ”bias gender” dan ”netral gender” yang akan berimbas
pada hasil perencanaan dan perumusan kebijakan publik yang otomatis juga akan ”buta
gender” atau ”bias gender”. Ada pun kebijakan yang netral gender melahirkan
ketidakadilan bahkan cenderung diskriminasi pada salah satu jenis kelamin karena
menganggap kebutuhan antara laki-laki dan perempuan sama.
Pendapat senada dikemukakan oleh Edriana Noerdin bahwa ARG yang sudah
diperkenalkan di Indonesia, belum mengubah kesejahteraan kaum marginal, terutama
perempuan. Hingga sekarang, sistem penganggaran di negara Indonesia tidak
berperspektif gender. Dalam praktiknya justru bias gender karena wacana patriarki yang
dominan membuatnya tidak sensitif terhadap kebutuhan perempuan yang memang
berbeda dengan kebutuhan laki-laki. (Noerdin et. al, 2005). Bahkan, pemerintah dalam
menetapkan alokasi dan distribusi anggaran seringkali tidak mempertimbangkan
kebutuhan dari perspektif gender.
Asumsi bahwa semua alokasi dan distribusi anggaran publik baik belanja
langsung maupun belanja tidak langsung sudah dianggap berguna dan dapat
dimanfaatkan oleh laki-laki dan perempuan. Berdasarkan asumsi ini, pengambil kebijakan

Page | 12
menjadikannya sebagai pembenaran bila penganggaran yang dilakukan setiap tahunnya
telah responsif gender.
Menurut United Nation Development Fund for Women (UNIFEM),
sebagaimana dikutip Sri Mastuti dan Rinusu dalam APBD Responsif Gender (hal: 35),
ARG memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. ARG bukan merupakan anggaran yang terpisah bagi laki-laki atau pun
perempuan.
2. Fokus pada kesetaraan gender dan PUG dalam semua aspek penganggaran
baik di tingkat nasional maupun tingkat lokal.
3. Meningkatkan keterlibatan aktif dan partisipasi stakeholder perempuan.
4. Monitoring dan evaluasi belanja dan penerimaan pemerintah dilakukan dengan
responsif gender.
5. Meningkatkan efektivitas penggunaan sumber-sumber untuk mencapai
kesetaraan gender dan pengembangan sumber daya manusia.
6. Lebih menekankan pada re-prioritas daripada keseluruhan belanja pemerintah.
7. Lebih melakukan re-orientasi dari program-program pemerintah dalam sektor-
sektor daripada menambahkan angka pada sektor-sektor khusus.
Korelasi antara ARG dengan PUG bagaikan dua sisi mata uang, yang tidak
dapat dipisahkan. Hal ini dikarenakan ARG merupakan aplikasi dari PUG dalam
proses penyusunan anggaran. Berdasarkan uraian tersebut, beberapa hal yang dapat
dijadikan pointer terhadap ARG sebagai berikut:
1. ARG merupakan kesatuan yang utuh. Pernyataan yang keliru dapat
dicontohkan dengan mengasumsikan adanya ARG akan melahirkan APBD
dalam dua versi yaitu APBD Laki-Laki dan APBD Perempuan. Sebenarnya,
konteks ARG bukan pemilahan anggaran berdasarkan jenis kelamin, tetap saja
APBD-nya satu.
2. ARG fokus membangun kesetaraan gender dan PUG dalam semua aspek
penganggaran dengan melibatkan partisipasi multi stakeholder.
3. ARG menekankan pada persoalan re-prioritas, bukan pada total belanja
pemerintah. Artinya, tidak mengutamakan penambahan angka-angka pada

Page | 13
sektor-sektor khusus, melainkan mendorong re-orientasi dari program-program
pemerintah dalam seluruh sektor pembangunan.

b. Tujuan Dan Keuntungan Anggaran Responsif Gender


Sri Mastuti dan Rinusu (2003:37), menjelaskan keuntungan pelaksanaan ARG
sebagai berikut:
1. ARG merupakan salah satu cara bagi pemerintah untuk mengimplementasikan
komitmen yang terkait dengan gender sesuai dengan rekomendasi dan rencana
aksi dari konferensi internasional seperti Konferensi Beijing dan konferensi-
konferensi lain sesudahnya.
2. ARG dapat mengukur kemajuan pelaksanaan komitmen pemerintah untuk
mewujudkan kesetaraan gender dengan fokus perhatian pada output dan
dampak dari belanja pemerintah.
3. Alat yang dapat digunakan untuk menjamin tidak adanya gap antara prioritas
alokasi anggaran dengan kebijakan pembangunan daerah.
4. Mendorong pemerintah untuk fokus pada kelompok-kelompok marginal untuk
melihat kesadaran implikasi gender pada belanja dan penerimaan publik.
5. Memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk menetapkan dan mencapai
hasil pembangunan yang lebih seimbang dan berkelanjutan.
6. Mengembangkan instrumen untuk meningkatkan akuntabilitas dan efektifitas
hasil pelaksanaan kebijakan.
c. Langkah Praktis Menyusun Anggaran Responsif Gender
Penyusunan ARG dibagi dalam tiga kategori alokasi anggaran yaitu:
1. Alokasi Anggaran Spesifik Gender
Pengeluaran spesifik gender yaitu pengeluaran yang penerima manfaatnya
menunjuk pada gender tertentu, bisa perempuan, laki-laki, anak perempuan,
anak laki-laki, kelompok rentan, dan lanjut usia (lansia). Program
pembangunan saat ini, pengeluaran spesifik gender identik dengan
pengeluaran dengan penerima manfaat perempuan. Untuk mengidentifikasi
pengeluaran ini dapat dilakukan dengan cara:
a. Pada Tahap Perencanaan Dan Penganggaran
1) Membuat daftar kebijakan dan program yang spesifik gender.

Page | 14
2) Memeriksa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di bawah program-
program untuk perempuan tersebut.
3) Memeriksa indikator keluaran (output) yang diharapkan, seperti jumlah
perempuan penerima manfaat, peningkatan jumlah pekerja
perempuan, peningkatan pendapatan, keterampilan dan sumber daya
setelah terselenggarannya kegiatan.
4) Menghitung alokasi sumber daya yang digunakan dalam APBD dan
target fisiknya.
5) Memeriksa kecukupan alokasi sumber daya itu dikaitkan dengan
jumlah penduduk penerima manfaat yang ditargetkan, yaitu mereka
yang membutuhkan intervensi sistematis. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara menghubungkannya dengan data tentang kecenderungan
pendapatan di masa lalu.
b. Pada Tahap Audit Kinerja
1) Mereview kinerja aktual secara fisik dan keuangan dibandingkan
dengan sasaran yang ditetapkan. Identifikasi pula hambatan-hambatan
yang dihadapi untuk mencapai sasaran tersebut, seperti perlunya
memperkuat distribusi infrastruktur, pengembangan kapasitas, dan
seterusnya.
2) Melaksanakan evaluasi mengenai kondisi lapangan dari program yang
dilakukan. Evaluasi dapat dilakukan terhadap besarnya manfaat dan
indikator-indikator dampak dengan membandingkan kondisi sebelum
dan sesudah adanya program.
3) Menyusun analisis kecenderungan dari pengeluarannya dan indikator-
indikator dari keluaran dan dampak.
c. Pada Tahap Perencanaan Mendatang dan Tindakan Perbaikan
1) Merespon hambatan-hambatan yang sudah diidentifikasi sebelumnya.
2) Menentukan besarnya sumber daya yang dibutuhkan sesuai dengan
jumlah penduduk yang ditargetkan sebagai penerima manfaat dan
intensitas permasalahannya, seperti angka kematian ibu, tingkat
kematian penduduk, dan tingkat angka buta huruf.

Page | 15
3) Memeriksa ulang apakah sumber daya yang telah tersedia sudah
mencukupi, baik secara keuangan maupun fisik, misalnya jumlah
pelatihan/pelatih yang handal.
4) Melakukan perencanaan untuk memodifikasi kebijakan dan program
berdasarkan temuan yang diperoleh dalam pemeriksaan ulang.

2. Alokasi Anggaran untuk Meningkatkan Kesetaraan Laki-Laki dan


Perempuan.
Pengeluaran belanja ini dalam kerangka ”pengarusutaman sektor-sektor”, seperti
sektor pertahanan dan keamanan, pertanian, telekomunikasi, perdagangan dan
seterusnya, dilakukan guna menentukan dampak gender dari pengeluaran
masing-masing sektor tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
a. Membuat daftar dari program-program dan kelompok pengeluaran publik
serta gambaran ringkas kegiatan-kegiatan didalamnya.
b. Mengidentifikasi kelompok penerima manfaat dari program atau kegiatan
tersebut.
c. Menentukan apakah penerima manfaat saat ini sudah dikategorikan
berdasarkan jenis kelamin. Bila belum, bagaimana caranya agar hal tersebut
dapat dilakukan.
d. Mengidentifikasi kemungkinan untuk membuat kebijakan atau tindakan
khusus untuk memfasilitasi akses perempuan terhadap pelayanan publik
melalui kebijakan khusus seperti kuota perempuan atau daftar prioritas
perempuan, seperti ruang khusus perempuan di kereta api, transportasi
malam khusus untuk perempuan, atau tempat menyusui anak di terminal atau
stasiun.
e. Melakukan analisis mengenai pola pekerjaan yang ada ke dalam kerangka
interpretasi pelayan dilihat dari perspektif gender dan menguji sektor-sektor
yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan jumlah penerimaan pekerja
perempuan.
f. Memfokuskan perhatian pada inisiatif-inisiatif khusus untuk memajukan
partisipasi perempuan, baik sebagai pekerja maupun penerima manfaat.

Page | 16
g. Menjajaki seberapa luas perempuan dapat dilibatkan dalam proses
pembuatan keputusan di suatu sektor dan organisasi, serta tindakan yang
diperlukan untuk mulai memperbaiki adanya bias dan ketimpangan gender.

3 Alokasi Anggaran Umum PUG


Contoh-contoh inisiatif berdasarkan PUG dalam berbagai sebagai berikut:
a. Bidang Politik. Hal ini dapat dilihat seperti alokasi anggaran untuk persamaan
kesempatan bagi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan politik formal, di
lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, pada semua level pemerintahan,
dari level nasional hingga desa/kelurahan.
b. Bidang Hukum. Hal ini melalui alokasi anggaran untuk program pembentukan
peraturan daerah yang terkait dengan akses perempuan, misalnya
peningkatan hak-hak perempuan, ketenagakerjaan, dan program-program
perempuan di lembaga peradilan.
c. Bidang Ekonomi. Tercermin pada alokasi anggaran seperti untuk program
pemberdayaan ekonomi, perluasan kesempatan usaha, dan perlindungan.
d. Bidang Pendidikan. Alokasi anggaran pendidikan secara total, jumlah
anggaran untuk pendidikan tinggi, peningkatan persamaan kesempatan
antara perempuan dan laki-laki dan jaminan bagi pendidik laki-laki dan
perempuan.
e. Bidang Sosial dan Budaya. Alokasi anggaran kesehatan, penyediaan sarana
dan prasarana kesehatan.
[

Dengan demikian, anggaran yang sudah memasukkan konsep PUG dapat dilihat
pada box di bawah ini:

Catatan Penting
1. PUG bukanlah merancang program khusus untuk perempuan.
2. PUG merupakan strategi merancang program dimana laki-laki dan perempuan
menerima manfaat setara dalam hal akses, partisipasi, kontrol dan manfaat.
3. PUG lebih menekankan pada reorientasi anggaran yang semula mendanai
program dan kegiatan yang netral gender menjadi anggaran yang mendanai
program dan kegiatan yang responsif gender.
4. Pencantuman kata "prioritas” menunjukkan adanya kebijakan khusus untuk
kelompok perempuan sebagai upaya percepatan mengurangi kesenjangan
gender.

Page | 17
d. Langkah-Langkah Penyusunan Anggaran Responsif Gender
1. Melakukan pemetaan kondisi laki-laki dan perempuan, anak perempuan dan
anak laki-laki menurut kelompok yang berbeda. Dari sini kemudian ditemukan
persoalan yang harus mendapat fokus perhatian utama untuk segera diselesaikan
dan dijawab oleh kehadiran sebuah program. Jika ada persoalan kesenjangan
harus mendapatkan perhatian khusus sehingga gap antara perempuan dan laki-
laki dapat berkurang.
2. Menelaah dan melihat kebijakan yang dimiliki pemerintah yang berkaitan
langsung dengan sektor-sektor pembangunan. Telaah ini untuk melihat
sejauhmana kebijakan tersebut mengatasi kesenjangan gender di sektor publik.
3. Menganalisis kebutuhan laki-laki dan perempuan dengan menggunakan data
statistik terpilah, menggunakan GDI, GEM dan data-data penunjang lainnya.
4. Menetapkan distribusi alokasi sesuai dengan hasil analisis perspektif
gender. Pastikan ada alokasi khusus bagi perempuan, alokasi anggaran yang
bersifat afirmative action untuk meningkatkan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan, dan alokasi anggaran umum yang sudah mengacu pada PUG.
5. Memeriksa sejaumana implementasi anggaran dan kesesuaian kebijakan
anggaran yang sudah responsif gender. Apakah alokasi dana dibelanjakan
sesuai dengan rencana semula, memeriksa dan melihat apakah anggaran benar-
benar digunakan untuk program yang direncanakan, dan apa yang dihasilkan dari
program tersebut.
6. Menguji dampak dari belanja atau pengeluaran-pengeluaran yang telah
diimplementasikan pada pos-pos anggaran menurut sektor pembangunan.
Apakah pengeluaran anggaran sudah membawa perubahan terhadap kepentingan
gender atau belum.

B. TUJUAN STUDI ANALISIS

1. Untuk mengetahui tingkat persepsi/pemahaman partisipan pada masing-masing


objek studi analisis mengenai pemahaman Sensitivitas Gender, Pengarusutamaan
Gender, dan Analisis Gender dan Teknik Analisis Gender.

Page | 18
2. Untuk mengindentifikasi penyebab ketidakseimbangan gender pada lembaga-
lembaga utama ini.
3. Untuk mengidentifikasi sejauhmana SDM dan dukungan politik pada masing-
masing SKPA dalam implementasi PUG terkait sektor pertanian.
4. Untuk mengetahui sumberdaya partisipan pada masing-masing SKPA mengenai
perencanaan dan penganggaran yang responsif gender telah dilakukan
berdasarkan ARG pada masing-masing objek studi analisis.

C. MANFAAT STUDI ANALISIS

1. Manfaat Umum

a. Studi ini dapat berupa modul untuk digunakan sebagai panduan sosialisasi,
advokasi, di bidang gender, PUG dan ARG terkait sektor pertanian.

b. Studi ini menjadi media sosialisasi CEDAW, Inpres No. 9 Tahun 2000,
Permendagri No. 15 Tahun 2008, penggunaan teknik analisis gender, ”Gender
Analysis Pathway-GAP”, Gender and Development (GAD) sebagai acuan
pelaksanaan PUG.

2. Manfaat Khusus

a. Tersedianya SDM di 5 (lima) SKPA terkait pertanian yang memiliki kemampuan


komprehensif mengenai sensitivitas Gender, PUG, Anggaran Responsif Gender
(ARG) dalam penyusunan kebijakan/program terkait sektor pertanian;
b. Adanya dukungan politik untuk membentuk Pokja dan Gender Focal Point
PUG di SKPA objek studi;
c. Tersedianya data yang menunjukkan SDM dan dukungan politik pada masing-
masing SKPA dalam implementasi PUG terkait sektor pertanian.
d. Tersedianya SDM pada masing-masing SKPA terkait sektor pertanian yang
memahami tentang perencanaan dan penganggaran yang responsif gender.
e. Adanya komitmen untuk menyusun data terpilah pada setiap SKPA dan
tersedianya basis data tentang perempuan yang berkerja terkait sektor
pertanian.

Page | 19
D. RUANG LINGKUP STUDI ANALISIS

1. Persepsi setiap partisipan pada masing-masing objek studi analisis mengenai


pemahaman Sensitivitas Gender, Pengarusutamaan Gender, dan Analisis Gender
dan Teknik Analisis Gender;
2. Perencanaan, penganggaran serta analisis anggaran yang responsif gender pada
masing-masing objek studi analisis;
3. Kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan pada masing objek studi terkait
sumberdaya yang tersedia, sistem pendukung dan layanan, kewenangan lokal,
dan regulasi dalam implementasi PUG;

E. DEFINISI OPERASIONAL

Definisi-definisi yang akan digunakan dalam studi analisis ini adalah mencakup :
1. Gender dan Sex
Gender adalah cara masyarakat membedakan peran laki-laki dan perempuan serta
memberikan peran-peran sosial kepada mereka. Peran-peran yang diberikan
tersebut dapat dibentuk, dibuat, dan dikonstruksikan oleh masyarakat dan dapat
berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan kata lain, kata ”gender”
adalah alat analitik untuk memahami realitas sosial dalam hubungannya
dengan perempuan dan laki-laki. (PUG, KPP, Cet 4 tahun 2005, hal 33 dan
Memahami Gender, Kamla Bhasin, Cet 3, tahun 2003, hal 1)
Ketika manusia dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan, maka jenis kelaminnya
dapat ditentukan dengan hanya melihat alat kelamin yang bersangkutan. Dengan
demikian, umumnya perbedaan jenis kelamin ditentukan secara biologis, yang
secara fisik melekat pada masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan.
Perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau ketentuan Allah Swt yang bersifat
melekat (given), permanen dan universal.

Setiap kebudayaan memiliki caranya masing-masing di dalam menilai perempuan


dan laki-laki serta memberikan peran-peran terhadap mereka, tanggung jawab, dan
sifat-sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya. Semua ”pengemasan” sosial
dan budaya yang dilakukan terhadap perempuan dan laki-laki semenjak lahir adalah

Page | 20
”penggenderan” (gendering). Konsep gender memungkinkan kita untuk mengatakan
bahwa jenis kelamin dan gender itu berbeda dapat dilihat pada Tabel II di bawah ini
sebagai berikut:
TABEL II
PERBEDAAN ANTARA JENIS KELAMIN DAN GENDER
Perbedaan Utama Antara Jenis Kelamin dan Gender
Jenis Kelamin Gender
1. Jenis kelamin bersifat alamiah 1. Gender bersifat sosial budaya dan
merupakan buatan manusia
2. Jenis kelamin bersifat biologis. Ia 2. Gender bersifat sosial budaya dan
menujuk pada perbedaan yang nyata merujuk kepada tanggungjawab, peran,
dari alat kelamin dan perbedaan pola perilaku, kualitas-kualitas, dan hal-
terkait dalam fungsi kelahiran. hal lain yang bersifat maskulin dan
feminis.
3. Jenis kelamin bersiaf tetap, ia akan 3. Gender bersifat tidak tetap, berubah dari
sama di mana saja. waktu ke waktu, dari satu kebudayaan ke
kebudayaan lainnya, bahkan dari satu
keluarga ke keluarga lainnya.
4. Jenis kelamin bersifat alamiah dan 4. Gender dapat berubah.
tidak bisa diubah.

2. Ketidakadilan dan Diskriminasi Gender


Ketidakadilan dan Diskriminasi Gender merupakan kondisi tidak adil akibat dari
sistem dan struktur sosial dimana baik perempuan maupun laki-laki menjadi korban
dari sistem tersebut. Ketidakadilan dan Diskriminasi Gender terdiri dari:
a. Pandangan Stereotype (pelabelan/penandaan)
Pelabelan seringkali bersifat negatif yang melahirkan ketidakadilan. Salah satu
jenis pelabelan yang melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi bersumber dari
pandangan gender terkait salah satu jenis kelamin tertentu.
Contoh 1:
Pandangan terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya hanya
melaksanakan tugas rumah tangga (tugas domestik). Akibatnya, ketika
perempuan berada di ruang publik, maka jenis pekerjaan, profesi atau
kegiatannya di masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan dan negara
hanyalah merupakan perpanjangan peran domestiknya.

Page | 21
Contoh 2:
Perempuan dianggap pandai merayu, maka paling cocok ditempatkan dan
bekerja pada bagian penjualan, teller, dan kasir.
Contoh 3:
Seorang laki-laki marah maka dianggap tegas. Sebaliknya, apabila perempuan
marah, maka akan dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri.
Standar penilaian terhadap perilaku perempuan dan laki-laki ini berbeda
menurut sosial, budaya, masyarakat dan berubah-ubah dari waktu ke waktu.
Namun standar nilai tersebut cenderung lebih merugikan perempuan.
Contoh:
1) Label perempuan sebagai ibu rumah tangga sangat merugikan ketika aktif
dalam kegiatan yang biasanya digeluti oleh laki-laki, seperti kegiatan politik,
bisnis, atau birokrasi.
2) Label laki-laki sebagai pencari nafkah mengakibatkan apa pun yang
dihasilkan oleh perempuan selalu dianggap pelengkap saja sehingga kurang
dihargai.
3) Label keramah-tamahan laki-laki dianggap sebagai bentuk merayu, dan
keramah-tamahan perempuan identik dengan genit.
b. Dominasi salah satu jenis kelamin (Sub-ordinasi)
Sub-ordinasi adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih
penting atau lebih utama dibandingkan jenis kelamin lain. Hal ini ditunjukkan
dengan terdapatnya nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak salah
satu jenis kelamin.
Contoh:
Ketika seorang laki-laki mempunyai atasannya berjenis kelamin perempuan,
ada juga kondisi psikis perasaan tertekan dari pihak laki-laki. Misalnya kondisi
laki-laki yang bekerja dan fokus pada isu penguatan hak perempuan,
kadangkala mereka dihinggapi perasaan kurang percaya diri dalam melakukan
peran dan tanggung jawab yang diembannya.

Page | 22
c. Peminggiran/pemiskinan (Marjinalisasi)
Proses marginalisasi mengakibatkan timbulnya kemiskinan pada masyarakat di
negara berkembang. Peminggiran tersebut terjadi baik bagi perempuan
maupun laki-laki.
Contoh:
1) Banyak pekerja perempuan yang tersingkir dan miskin karena intensifikasi
pertanian yang hanya memfokuskan pada petani laki-laki.
2) Peralatan pertanian yang menyulitkan petani dari kalangan perempuan
dalam melaksanakan aktivitasnya.
3) Usaha konveksi yang lebih suka menyerap tenaga kerja dari
perempuan.
4) Peluang untuk menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak diberikan
kepada perempuan.
5) Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru dikerjakan
oleh laki-laki.
d. Beban Ganda (Double Burden)
Beban ganda merupakan beban kerja yang harus dijalankan oleh salah satu
jenis kelamin tertentu. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya, beberapa
jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki, dan beberapa yang lain dilakukan oleh
perempuan.
Hasil observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari
pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga mereka yang bekerja di luar rumah,
selain bekerja di wilayah publik, juga harus mengerjakan pekerjaan domestik.
Contoh:
1) Seorang ibu dan anak perempuannya mempunyai tugas untuk menyiapkan
makanan dan menyajikannya di atas meja, kemudian merapikan kembali
sampai mencuci peralatan makanan tersebut yang kotor.
2) Seorang bapak dan anak laki-laki, setelah selesai makan ada di antara
mereka yang meninggalkan meja makan tanpa merasa berkewajiban untuk
membantu membersihkan peralatan makan yang telah digunakannya.

Page | 23
Perempuan/isteri, jika bekerja mencari nafkah untuk keluarga, namun ia
tetap dihadapkan pada tugas-tugas pelayanan yang dianggap sebagai
kewajibannya.
e. Kekerasan (Violence)
Segala bentuk tindakan baik yang menggunakan kekuatan fisik, maupun non
fisik dan kekerasan seksual yang ditujukan pada seseorang, orang lain,
kelompok atau pun sebuah komunitas yang mengakibatkan luka, kematian,
gangguan psikologis, kecacatan, gangguan pertumbuhan maupun deprivasi,
(Krug dkk, 2002, WHO).
BAGAN I
LINGKUP WILAYAH TERJADINYA KEKERASAN

Di Mana Terjadinya
Kekerasan?

Tempat Umum Lainnya


Rumah Tangga Sekolah Tempat Kerja
Posko (Camp)

Kekerasan merupakan suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh individu,


korporasi, dan negara dalam bentuk kekerasan fisik, non-fisik yang dapat
menggangu integritas mental psikologi seseorang, bahkan kekerasan seksual, dan
penelantaran ekonomi/rumah tangga. Bentuk kekerasan fisik antara lain seperti
perkosaan, pemukulan dan penyiksaan. Ada pun kekerasan non-fisik antara lain
dapat berupa penghinaan, cemoohan, ancaman, paksaan, sehingga secara
emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa terusik
batinnya. Adapun kekerasan seksual seperti perkosaan, pelecehan seksual,
pemaksaan melakukan hubungan seksual dalam rumah tangga. Bentuk
penelantaran ekonomi antara lain suami tidak memberikan atau membatasi nafkah
lahir kepada keluarganya yang seharusnya menjadi bagian dari tanggung
jawabnya sebagai kepala keluarga/suami.
Contoh:
1) Suami membatasi uang belanja dan memonitor pengeluarannya secara ketat.

Page | 24
2) Isteri menghina atau mencela kemampuan seksual atau kegagalan karier
suami.
3) Perempuan dan anak-anak dijadikan sandera dalam suatu konflik sosial atau
etnis atau antar-negara.
4) Suami melarang isteri bekerja setelah menikah.

5) Suami memaksa melakukan hubungan intim ketika istri dalam keadaan sakit,
menstruasi bahkan melakukan penyiksaan ketika melakukan hubungan
tersebut.
3. Keadilan dan Kesetaraan Gender
Merupakan suatu kondisi yang setara dan seimbang antara dan seimbang antara
laki-laki dan perempuan dalam memperoleh peluang, kesempatan, partisipasi,
manfaat dan kontrol dalam melaksanakan dan menikmati hasil pembangunan baik
di ranah domestik maupun publik.
Isu kesetaraan gender bukanlah isu perempuan versus laki-laki. Bukan pula
konflik di antara mereka yang mempercayai dan menginginkan kesetaraan dengan
mereka yang ingin mempertahankan dominasi laki-laki. Isu tersebut juga bukan
merupakan konflik sistem kepercayaan dan ideologi. Asumsi inilah yang harus
diluruskan bahwa jangan sampai perjuangan untuk kesetaraan gender merupakan
hal yang simplistik dan keliru.
4. Kesenjangan Gender
Merupakan suatu kondisi ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan,
mendapatkan akses, peran, kontrol dan maafaat yang berimbang dalam proses
bermasyarakat dan bernegara pada berbagai sektor dalam pembangunan.
Contoh:
a. Bidang Ekonomi, dalam akses upah/pendapatan, pekerjaan, dan hak
kepemilikan yang tidak seimbang.
b. Bidang Politik, perempuan ditabukan menjadi pemimpin instansi/lembaga
publik/partai politik, dan organisasi masyarakat atau keagamaan.

Page | 25
c. Bidang Sosial-Budaya, peran, status, ruang/wilayah aktifitas perempuan
diasumsikan hanya berada di ranah domestik. Jika berada pada lingkup
publik, ranah domestik menjadi tanggungjawab perempuan.
d. Bidang Pendidikan. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin rendah
partisipasi perempuan untuk mendapatkan akses pendidikan, termasuk
fasilitas pendukungnya seperti beasiswa yang diterapkan berdasarkan
kebijakan netral gender yang cenderung melahirkan ketidakadilan bagi
perempuan karena tidak melihat kondisi riil masalah-masalah perempuan
dalam praktiknya. Pada situasi dan kondisi inilah maka gender menjadi
masalah.
5. Analisis Gender
Analisis Gender adalah proses menganalisis data dan informasi secara sistematis
tentang laki-laki dan perempuan untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan
kedudukan, fungsi, peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan, serta
faktor-faktor yang mempengaruhi.
Di dalam analisis gender diperlukan beberapa variabel, yaitu:
a. Data terpilah adalah nilai dari variabel-variabel yang sudah terpilah antara laki-
laki dan perempuan berdasarkan topik bahasan/hal-hal yang menjadi
perhatian;
b. Data kuantitatif adalah nilai variabel yang terukur;
c. Data kualitatif adalah nilai variabel yang tidak terukur dan sering disebut
atribut;
d. Akses adalah peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau
menggunakan sumber daya tertentu;
e. Peran adalah keikutsertaan atau partisipasi seseorang/kelompok dalam suatu
kegiatan atau dalam pengambilan keputusan;
f. Kontrol adalah penguasaan wewenang atau kekuatan untuk mengambil
keputusan;
g. Manfaat adalah kegunaan sumber daya yang dapat dinikmati secara optimal;

Page | 26
h. Indikator adalah alat ukur berupa statistik yang dapat menunjukkan
perbandingan kecenderungan atau perkembangan;
i. Kegiatan produktif yaitu kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat dalam
rangka mencari nafkah. Kegiatan ini disebut juga kegiatan ekonomi karena
kegiatan ini menghasilkan uang secara langsung;
j. Kegiatan reproduktif yaitu kegiatan yang berhubungan erat dengan
pemeliharaan dan pengembangan serta menjamin kelangsungan sumber
daya manusia dan biasanya dilakukan dalam keluarga;
k. Kegiatan politik dan sosial budaya yaitu kegiatan yang dilakukan anggota
masyarakat yang berhubungan dengan bidang politik, sosial dan
kemasyarakatan dan mencakup penyediaan dan pemeliharaan sumber daya
yang digunakan oleh setiap orang seperti air, sekolah dan pendidikan, dan
lain-lain. Kegiatan ini bisa menghasilkan uang dan bisa juga tidak;
l. Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah strategi untuk menegakkan hak-hak
perempuan dan laki-laki atas kesempatan yang sama, pengakuan yang sama,
dan penghargaan yang sama di masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan PUG
memperkuat kehidupan ekonomi, sosial dan politik bangsa. Dalam PUG harus
berisi 4 (empat) fungsi utama manajemen, yaitu perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan penilaian/evaluasi;
m. Anggaran Berperspektif Gender (Gender Budgetting) adalah penggunaan atau
pemanfaatan anggaran yang berasal dari berbagai sumber pendanaan untuk
mencapai kesetaraan dan keadilan gender (Permendagri Nomor 15 Tahun
2008 Pasal 1 angka 7);
n. Gender Focal Point (GFP) adalah sebutan bagi individu-individu yang dapat
menjadi sumber informasi dan atau ”contact person” tentang gender
dilembaga/instansi tempat dia bekerja. Dengan kata lain, GFP merupakan
aparatur SKPA yang mempunyai kemampuan untuk melakukan PUG di unit
kerjanya masing-masing (KPP dan Permendagri Nomor 15 Tahun 2008);
o. Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (Pokja PUG) adalah kelompok
atau organisasi fungsional yang mengelola/menangani masalah gender di

Page | 27
lingkungan instansi/lembaga atau di wilayah kerjanya. Anggota Pokja PUG ini
dipilih dari para GFP yang ada di instansi/lembaga atau wilayah kerjanya.
Dengan kata lain, Pokja PUG adalah wadah konsultasi bagi pelaksana dan
penggerak PUG dari berbagai instansi/lembaga di daerah (KPP dan
Permendagri Nomor 15 Tahun 2008).

F. METODE ANALISIS GENDER

1. TEKNIK ANALISIS YANG DIGUNAKAN

Studi analisis yang digunakan adalah teknik Gender Analysis Pathway (GAP).
Alasan pemilihan Teknik GAP karena teknik ini khusus untuk perencana/programer.
Melalui GAP dapat diketahui kesenjangan gender (gender gap) dari setiap
program/kegiatan/proyek dengan melihat indikator akses, peran, kontrol dan manfaat
yang diperoleh antara laki-laki dengan perempuan, mulai dari aspek kebijakan sampai
dengan monitoring dan evaluasi.
Hal lainnya teknik GAP digunakan karena dapat membantu menyusun
kebijakan/program pembangunan dengan memperhitungkan efektifitas, efisiensi, serta
kelayakan perencanaan pembangunan secara partisipatif dengan memperhitungkan
antara laki-laki dengan perempuan. Pemangku kepentingan, perencana dan pelaksanaan
program pembangunan tingkat pusat dan daerah ketika menggunakan teknik GAP harus
melihat prioritas permasalahan, sasaran, solusi dan intervensi yang diperlukan.

2. ALUR KERJA GAP

a. KERANGKA GAP (GENDER ANALYSIS PATHWAY)

Kerangka kerja gap dimulai dari perencanaan program secara komprehensif yang disebut
dengan “siklus perencanaan sampai evaluasi”. Siklus ini terdiri dari 5 (lima) langkah:
1) Analisis kebijakan
2) Reformulasi kebijakan
3) Rencana kebijakan operasional
4) Pelaksanaan
5) Monitoring dan evaluasi

Page | 28
Secara keseluruhan alur kerja GAP dapat dilihat pada bagian alur di bawah ini.
BAGAN II
KERANGKA KERJA GENDER ANALYSIS PATHWAY (GAP)

Analisis Kebijakan
Gender
Tujuan
Kebijakan
Saat ini
Formulasi
Kebijakan Rencana
Gender Program
Data Pembuka Gender
Wawasan
(terpilih menurut Tujuan
Jenis kelamin) Kebijakan
* Kuantitatif Gender
* Kualitatif Bagaimana
mengecilkan/ Pelaksanaan Monitoring
Kegiatan dan
menutup
Kesenjangan ? Evaluasi

Faktor Gap
* Akses
* Partisipasi
* Kontrol Sasaran
* Manfaat Indikator
Gender

Isu-Isu
Gender
Apa, Dimana,
dan Mengapa
Ada Gap ?

b. Tahap I : Analisis Kebijakan yang Responsif Gender.


Tahap pertama yang harus dilakukan adalah melakukan analisis kebijakan responsif
gender. Tahap ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pembangunan yang ada dan
menggunakan data pembuka wawasan yang dipilah menurut jenis kelamin, untuk
selanjutnya mengidentifikasi kesenjangan gender (gender gap) dan permasalah gender
(gender issues).

Langkah-langkah dalam tahap ini meliputi:


1) Identifikasi tujuan dan atau sasaran kebijakan atau program atau proyek atau
kegiatan pembangunan yang ada saat ini. Pertanyaan pokok yang harus diajukan
adalah apakah tujuan dan sasaran program dan proyek pembangunan yang ada
telah dirumuskan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender? Jika sudah,
pertanyaan selanjutnya adalah sejauhmana komitmen tersebut terintegrasi dengan

Page | 29
baik dalam kebijakan program pembangunan? Apabila tidak atau belum, apa yang
harus dilakukan?
2) Sajikan data kuantitatif dan/atau kualitatif yang terpilah menurut jenis kelamin
sebagai data pembuka wawasan. Hal pokok yang harus ditanyakan adalah apakah
data yang ada menggambarkan adanya perbedaan atau kesenjangan yang cukup
signifikan antara laki-laki dan perempuan?
3) Analisis sumber terjadinya dan/atau faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan
gender (gender gap). Pertanyaan pokoknya adalah apakah perempuan dan laki-laki
memiliki akses, memiliki kontrol, berpartisipasi dan memperoleh manfaat yang
sama dalam dan dari program pembangunan.
4) Identifikasi masalah-masalah gender (gender issues). Pertanyaan pokoknya adalah
apa saja masalah-masalah gender yang terjadi yang terkait dengan kesenjangan
gender? Dimana terjadinya kesenjangan gender? Mengapa terjadinya kesenjangan
gender? Apakah program pembangunan yang ada mengurangi atau justru lebih
memperkuat kesenjangan gender yang ada? Apa akar masalah sebenarnya?

b. Tahap II : Formulasi Kebijakan Responsif Gender.


Dalam tahap kedua ini, kebijakan/program/kegiatan yang sudah dianalisis, kemudian
dirumuskan kembali sehingga responsif gender. Di samping itu, untuk mengetahui
apakah kebijakan baru sudah responsif gender maka dibuat indikator gender.
Langkah-langkah dalam tahap ini meliputi:
1) Rumuskan kembali kebijakan/program/proyek/kegiatan pembangunan yang
responsif gender. Pertanyaan dasarnya adalah langkah-langkah apa yang harus
dilakukan untuk mengatasi kesenjangan yang ada? Bagaimana pemerintah
memastikan perempuan dan laki-laki dapat berpartisipasi dan memiliki akses untuk
mengontrol dan menerima manfaat dari pembangunan.
2) Identifikasi indikator gender. Pertanyaan kritis di sini adalah apa indikator kualitatif
dan kuantitaf gender? Apa alat ukur keberhasilan program bahwa sudah
berkeadilan gender?

Page | 30
c. Tahap III : Rencana Aksi Responsif Gender.
Tahap ketiga ini merupakan tahap untuk menyusun rencana kegiatan yang sudah
responsif gender . Langkah-langkah dalam tahap ini adalah:
1) Penyusunan Rencana Aksi. Hal mendasar yang harus ditanyakan adalah
dibutuhkan affirmatif action untuk perempuan dalam rangka mengejar
ketertinggalannya? Apakah ada pembagian porsi secara proporsional dalam
sebuah aksi program dalam rangka mempersempit kesenjangan gender?
2) Identifikasi sasaran-sasaran (kuantitatif dan/atau kualitatif) untuk setiap rencana
aksi. Apa sasaran-sasaran yang perlu dirumuskan untuk setiap rencana aksi yang
telah disusun? Bagaimana memastikan bahwa dengan melakukan rencana aksi
yang telah disusun kesenjangan gender dapat berkurang?

d. Tahap IV : Pelaksanaan Kegiatan


Tahap ini merupakan tahap pelaksanaan kegiatan yang sudah responsif gender.

e. Tahap V: Monitoring dan Evaluasi


Monitoring dan evaluasi perlu dilaksanakan untuk semua tahap, baik mulai dari tahap I
sampai dengan tahap IV.

3. PENGAMBILAN PARTISIPAN POKJA


Partisipan ini dikategorikan sesuai dengan objek studi, dengan penjabaran
sebagai berikut:
a. Dinas Kehutanan dan Perkebunan
1. Bagian Umum dan Perlengkapan
2. Bagian Kepegawaian dan Tata Laksana
3. Bidang Program dan Pelaporan
4. Bidang Planologi Kehutanan
5. Bidang Bina Produksi Kehutanan
6. Bidang Pemeliharaan Hutan dan Perhutanan Sosial
7. Bidang Produksi, Pengembangan dan Perlindungan Tanaman
8. Bidang Usaha Tani, Perizinan dan Pengolahan Hasil
9. Bidang Peningkatan Sumber Daya Manusia
10. Penyuluh Kehutanan dan Pertanian

Page | 31
b. Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan
1. Bagian Umum
2. Bagian Kepegawaian dan Tata Laksana
3. Bagian Keuangan
4. Bidang Program dan Pelaporan
5. Bidang Produksi dan Pengembangan Ternak
6. Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner
7. Bidang Usaha, Pengolahan dan Pemasaran Hasil
8. Bidang Produksi dan Pengembangan Ternak
9. UPTD Agribisnis dan Ternak Unggas
10. UPTD Inkubator Kader Peternakan
11. UPTD Lab. Diagnostik IB/TE

c. Dinas Pertanian Tanaman Pangan:


1. Bagian Umum
2. Bagian Kepegawaian dan Tata Laksana
3. Bagian Keuangan
4. Bidang Program dan Pelaporan
5. Bidang Produksi Padi, Palawija dan Hortikultura
6. Bidang Usaha Tani dan Pengembangan Lahan
7. Bidang Perlindungan Tanaman

d. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan:


1. Bidang Kerawanan Pangan dan Akses Pangan
2. Bidang Sistem Penyuluhan
3. Bidang Evaluasi dan Pelaporan
4. Bidang Pengembangan dan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
5. Bidang Ketersediaan Distribusi dan Harga Pangan
6. Bagian Kepegawaian dan Tata Laksana
7. Bagian Umum

Page | 32
e. Balai Pengkajian dan Teknologi Pertanian (BPTP)
1. Bidang Program Penelitian dan Pengkajian
2. Bagian Tata Usaha
3. Urusan Keuangan dan Perlengkapan
4. Kelompok Peneliti/Pengkaji dan Fungsional bidang Perkebunan
5. Kelompok Peneliti/Pengkaji dan Fungsional bidang Peternakan
6.Kelompok Peneliti/Pengkaji dan Fungsional bidang Sosial Ekonomi Pertanian
7. Seksi Kerjasama dan Pelayanan Pengkajian
8. Urusan Kepegawaian dan Rumah Tangga
9. Kebun Percobaan Gayo (Urusan Tata Usaha)

4. INSTRUMEN STUDI ANALISIS

a. Kuesioner, berupa daftar pertanyaan tertutup dan terbuka yang diberikan kepada
partisipan baik sebelum dan sesudah FGD.
b. Focus Group Discussion (FGD) dengan melibatkan multi stakeholder, baik dari
SKPA yang menjadi objek studi, perwakilan TAPA, LSM yang bergerak di isu
pertanian, Panitia Anggaran dan pakar/pengamat sektor pertanian di Aceh.

5. BEBERAPA TABEL YANG DAPAT DIBUAT DARI DATA PRIMER


Tabel-tabel yang ditampilkan dalam studi analisis ini berdasarkan instrumen analisis
yang digunakan. Secara umum, tabel tersebut terdiri dari tabel-tabel pre dan post test
pada pelatihan, sebelum dan sesudah FGD, dan kuesioner dalam bentuk pertanyaan
tertutup dan terbuka. Selain tabel-tabel tersebut, studi analisis ini juga akan menampilkan
sejumlah tabel yang berkaitan langsung dengan teknik analisis gender yaitu Gender
Analysis Pathway (GAP) yang bercirikan deskripsi kualitatif tentang akses, peran, kontrol
dan manfaat untuk mengetahui Gender Gap. Teknik analisis GAP dalam assessment ini
selanjutnya dikombinasikan dengan penggunaan model statistik sederhana.

6. DATA SEKUNDER
a. Struktur Organisasi masing-masing SKPA
b. Profil masing-masing objek studi analisis
c. Data Pegawai yang terpilah pada masing-masing SKPA

Page | 33
1) Jenis Kelamin
2) Eselonisasi
3) Penguatan Kapasitas (Pelatihan dan sejenisnya)
4) Jenjang Pendidikan
d. RPJMD Provinsi Aceh tahun 2007-2012
e. Dokumen Perencanaan Strategis (Renstra) masing-masing SKPA

7. PERSYARATAN BAGI FASILITATOR


Karena studi analisis ini melakukan kajian terhadap pengarusutamaan gender
yang sangat berhubungan dengan gender, PUG dan ARG maka setiap fasilitator telah
memiliki pemahaman yang baik tentang Sensitivitas Gender, Analisis Gender,
Pengarusutamaan Gender dan ARG. Selain hal tersebut di atas, fasilitator memiliki latar
belakang keilmuan yang terkait sektor pertanian. Persyaratan lainnya yang harus dimiliki
oleh fasilitator sebagai berikut:
a. Mampu merespon dan melakukan interpretasi terus menerus pada gejala ketidakadilan
gender pada SKPA yang menjadi objek analisis.
b. Memiliki sifat adaptable, mampu menyesuaikan diri, mengubah taktik atau strategi guna
memperoleh data yang terkait dengan studi analisis dengan menyesuaikan kondisi di
lapangan.
c. Memiliki kemampuan untuk memandang objek studi analisis secara holistik, mengaitkan
data yang ada dengan gejala yang terjadi di lapangan, termasuk mengaitkan dengan
pengalaman masa lalu pada tataran pengambil kebijakan, atau dengan kondisi lain
yang relevan.
d. Memiliki kemampuan untuk melakukan analisis dengan menggunakan teknik GAP yang
merupakan teknik analisis pada studi PUG untuk mengetahui kesenjangan gender
dengan melihat aspek akses, peran/partisipasi, manfaat, dan kontrol yang diperoleh
laki-laki dengan perempuan dalam program-program pembangunan yang menjadi
pokok bahasan mulai dari aspek kebijakan sampai dengan monitoring dan evaluasi.
e. Memiliki kemampuan untuk melakukan eksplorasi dan merumuskan informasi sehingga
menjadi bahan masukan bagi pengayaan konsep PUG.

Page | 34
8. TAHAP DAN KEGIATAN STUDI ANALISIS

a. Rekrutmen Fasilitator oleh PSG Unsyiah.


b. Persamaan persepsi bagi fasilitator yang didampingi ;
c. Penyusunan Protokol Studi Assesment yang selanjutnya diperluas menjadi Protokol
Analisis Studi PUG serta pembuatan instrumen sebagai acuan studi analisis.
d. Penelusuran dan pengumpulan data primer dan data sekunder di 5 (Lima) SKPA
objek studi analisis.
e. Pembelajaran dan Pelatihan tentang Gender, PUG, dan ARG pada lima objek studi.
f. Collecting, smoothing, dan analisis data.
g. Seminar dan diseminasi draft finding studi analisis PUG.
h. Simposium dan FGD
i. Melakukan advokasi studi analisis melalui media cetak dan elektronika.
j. Smoothing data laporan akhir (final report) dan pembuatan executive summary.
k. Pembuatan buku yang memiliki International Serial Book Number (ISBN).

9. ETIKA STUDI ANALISIS

Perumusan etika studi analisis yang diagunakan oleh fasilitator berguna untuk
jaminan atas keabsahan informasi dari partisipasi, baik yang disepakati oleh partisipan
maupun fasilitator melalui lembar persetujuan (inform consent). Di samping itu, etika studi
analisis ini juga berfungsi untuk menjaga kerahasiaan sumber informasi yang menjadi
partisipan dari 5 (lima) SKPA dan informan lainnya.

Etika yang harus dipahami dan dijalankan oleh Fasilitator adalah sebagai berikut:
a. Semua partisipan dari 5 (lima) SKPA objek studi ini harus memiliki disposisi dari
atasan langsung partisipan tersebut.
b. Fasilitator harus menghormati tata tertib pada objek studi analisis.
c. Fasilitator harus menciptakan kesetaraan seluas mungkin.
d. Fasilitator tidak boleh membangkitkan harapan yang tidak realistis.
e. Fasilitator harus menjaga privasi partisipan.

Page | 35
f. Fasilitator harus menjamin kerahasiaan dan anonimitas sumber jika partisipan tidak
ingin disebutkan namanya.
10. NAMA-NAMA TIM FASILITATOR DAN ENUMERATOR:
Fasilitator dan enumerator yang terlibat dalam studi analisis ini terdiri dari:
a. Ketua Tim : Sri Walny Rahayu
b. Anggota : Darwanis
: Raida Fuadi
: Elly Kesumawati
: Abdullah Abdul Muthaleb
c. Enumerator : Safrina
d. Dokumentasi : Khairul Mizan Ramli

Page | 36
C. MATRIK CAPAIAN AKTIVITAS PROGRAM

Sex
No Activity Objectives Activity Outputs Indicators Fasilitator Freq
Men Women
a. Adanya format bentuk instrument studi a. Sri Walny Rahayu
a. Penyusunan instrumen studi analisis berupa daftar pertanyaan b. Darwanis
analisis. wawancara semi terstruktur (WST), c. Raida Fuadi
b. Persamaan persepsi tentang observasi, Focus Group Dissusion dan d. Abdullah Abdul Muthaleb
Orientation Workshop
Gender Analysis Pathway (GAP). perangkat analisis gender. e. Elly Kesumawati
(Analysis Design and
I c. Pembuatan Protokol studi. b. Terciptanya persepsi yang sama antara tujuh f. Safrina 2 5 3 days
Common Perception for
analysis PUG Sektor Pertanian di tim fasilitator tentang instrument studi g. Khairul Mizan Ramli
Cunsultant team
Provinsi Aceh. analisis, perangkat analisis gender dan
teknik GAP.
c. Adanya protokol studi analisis PUG Sektor
Pertanian di Provinsi Aceh.
Sex
Activity Objectives Activity Outputs Indicators Participant Freq
Men Women
Data Collecting dan Pelatihan
II
di 5 (lima) SKPD:
a. Memberikan pemahaman a. Adanya pemahaman mengenai Ratifikasi a. Bagian Umum
implementasi CEDAW dan studi Konvensi CEDAW oleh Pemerintah RI b. Bagian Kepegawaian dan
gender sebagai alat analisis mengharuskan negara dan setiap warga Tata Laksana
atau alat ukur. negara berkewajiban untuk mengapus c. Bagian Keuangan
b. Memberikan pemahaman segala bentuk diskriminasi terhadap d. Bidang Program dan
tentang gender dan kodrat. perempuan. Kewajiban tersebut kemudian Pelaporan
c. Memberikan pemahaman memunculkan Inpres No 9 Tahun 2000 e. Bidang Produksi dan
tentang kesetaraan dan tentang Pedoman Pengarusutaman Gender Pengembangan Ternak
keadilan gender serta bentuk- (PUG) Dalam Pembangunan Nasional dan f. Bidang Kesehatan
1. Studi Analisis PUG pada bentuk ketidakadilan gender. Permendagri No 15 Tahun 2008 tentang Hewan dan Kesehatan
Dinas Kesehatan Hewan d. Memberikan pemahaman Pedoman Umum Pelaksanaan Masyarakat Veteriner 19 11 5 days
dan Peternakan tentang analisis gender, data Pengarusutamaan Gender di Daerah. g. Bidang Usaha,
terpilah dan telaah kasus. b. Adanya pemahaman tentang gender dan Pengolahan dan
e. Memberikan pemahaman kodrat adalah berbeda. Pemasaran Hasil
tentang perencanaan, c. Adanya pemahaman mengenai kesetaraan h. Bidang Produksi dan
penganggaran dan analisis dan keadilan gender serta bentuk-bentuk Pengembangan Ternak
anggaran responsif gender. ketidakadilan gender. i. UPTD Agribisnis dan
f. Memberikan pemahaman d. Adanya pemahaman tentang bentuk-bentuk Ternak Unggas
tentang isu utama persoalan analisis gender (Mosser, Havard, SWOT, j. UPTD Inkubator Kader
sektor pertanian di Provinsi GAP, PROBA dan pentingnya data terpilah Peternakan
Aceh. (kualitatif dan kuantitatif) serta data statistik k. UPTD Lab. Diagnostik
Page | 37
g. Mendorong dilakukan dan data gender dalam melakukan analisis IB/TE
penyusunan rencana tindak gender yang melibatkan partisipasi yang
lanjut yaitu Gender Focal Point berimbang antara laki-laki dan perempuan,
dan Kelompok Kerja PUG. baik dari sisi akses, peran, kontrol dan
manfaat.
e. Adanya pemahaman tentang urgensi
perencanaan, penganggaran dan analisis
anggaran responsif gender serta
keterkaitannya dengan politik anggaran
antara eksekutif dan legislatif.
f. Adanya pemahaman tentang isu utama
persoalan sektor pertanian di Provinsi yang
masih memunculkan ketidakadilan gender.
g. Adanya komitmen partisipan untuk
membentuk Gender Focal Point dan
Kelompok Kerja PUG.
h. Adanya skil untuk menyusun program dan
kegiatan dengan menggunakan teknik
Gender Analysis Pathway mengacu pada
Lembar Kerja 1 sampai dengan Lembar
Kerja 8, dengan persyaratan perimbangan
laki-laki dan perempuan (akses, peran,
kontrol dan manfaat).
Sex Freq
Activity Objectives Activity Outputs Indicators Participant
Men Women
a. Memberikan pemahaman a. Adanya pemahaman mengenai Ratifikasi 11. Bagian Umum dan
implementasi CEDAW dan studi Konvensi CEDAW oleh Pemerintah RI Perlengkapan
gender sebagai alat analisis atau mengharuskan negara dan setiap warga 12. Bagian Kepegawaian
alat ukur serta mensosialisasikan negara berkewajiban untuk mengapus dan Tata Laksana
Inpres No. 9 Tahun 2000 dan segala bentuk diskriminasi terhadap 13. Bidang Program dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri perempuan. Kewajiban tersebut kemudian Pelaporan
Nomor 15 Tahun 2008 sebagai memunculkan Inpres No 9 Tahun 2000 14. Bidang Planologi
2. Studi Analisis PUG pada
pedoman pelaksanaan PUG bagi tentang Pedoman Pengarusutaman Gender Kehutanan
Dinas kehutanan dan
pembangunan di daerah (PUG) Dalam Pembangunan Nasional dan 15. Bidang Bina Produksi 8 22 5 days
Perkebunan
b. Memberikan pemahaman tentang Permendagri No 15 Tahun 2008 tentang Kehutanan
gender dan kodrat. Pedoman Umum Pelaksanaan 16. Bidang Pemeliharaan
c. Memberikan pemahaman tentang Pengarusutamaan Gender di Daerah. Hutan dan Perhutanan
kesetaraan dan keadilan gender b. Adanya pemahaman tentang gender dan Sosial
serta bentuk-bentuk ketidakadilan kodrat adalah berbeda. 17. Bidang Produksi,
gender. c. Adanya pemahaman mengenai kesetaraan Pengembangan dan
d. Memberikan pemahaman tentang dan keadilan gender serta bentuk-bentuk Perlindungan
Page | 38
analisis gender, data terpilah dan ketidakadilan gender. Tanaman
telaah kasus. d. Adanya pemahaman tentang bentuk-bentuk 18. Bidang Usaha Tani,
e. Memberikan pemahaman tentang analisis gender (Mosser, Havard, SWOT, Perizinan dan
perencanaan, penganggaran dan GAP, PROBA dan pentingnya data terpilah Pengolahan Hasil
analisis anggaran responsif (kualitatif dan kuantitatif) serta data statistik 19. Bidang Peningkatan
gender. dan data gender dalam melakukan analisis Sumber Daya Manusia
f. Memberikan pemahaman tentang gender yang melibatkan partisipasi yang Penyuluh Kehutanan
isu utama persoalan sektor berimbang antara laki-laki dan perempuan, dan Pertanian
pertanian di Provinsi Aceh. baik dari sisi akses, peran, kontrol dan
g. Mendorong dilakukan manfaat.
penyusunan rencana tindak lanjut e. Adanya pemahaman tentang urgensi
yaitu Gender Focal Point dan perencanaan, penganggaran dan analisis
Kelompok Kerja PUG. anggaran responsif gender serta
keterkaitannya dengan politik anggaran
antara eksekutif dan legislatif.
f. Adanya pemahaman tentang isu utama
persoalan sektor pertanian di Provinsi Aceh
yang masih memunculkan ketidakadilan
gender.
g. Adanya komitmen partisipan untuk
membentuk Gender Focal Point dan
Kelompok Kerja PUG.
h. Adanya skil untuk menyusun program dan
kegiatan dengan menggunakan teknik
Gender Analysis Pathway mengacu pada
Lembar Kerja 1 sampai dengan Lemba Kerja
8, dengan persyaratan perimbangan laki-laki
dan perempuan (akses, peran, kontrol dan
manfaat).
Sex
Activity Objectives Activity Outputs Indicators Participant Freq
Men Women
a. Memberikan pemahaman a. Adanya pemahaman mengenai Ratifikasi 1. Bagian Umum
implementasi CEDAW dan studi Konvensi CEDAW oleh Pemerintah RI 2. Bagian Kepegawaian dan
gender sebagai alat analisis atau mengharuskan negara dan setiap warga Tata Laksana
3. Studi Analisis PUG pada alat ukur. negara berkewajiban untuk mengapus 3. Bagian Keuangan
Dinas Pertanian dan b. Memberikan pemahaman tentang segala bentuk diskriminasi terhadap 4. Bidang Program dan
1 29 5 days
Tanaman Pangan gender dan kodrat. perempuan. Kewajiban tersebut kemudian Pelaporan
c. Memberikan pemahaman tentang memunculkan Inpres No 9 Tahun 2000 5. Bidang Produksi Padi,
kesetaraan dan keadilan gender tentang Pedoman Pengarusutaman Gender Palawija dan Hortikultura
serta bentuk-bentuk ketidakadilan (PUG) Dalam Pembangunan Nasional dan 6. Bidang Usaha Tani dan
gender. Permendagri No 15 Tahun 2008 tentang Pengembangan Lahan
Page | 39
d. Memberikan pemahaman tentang Pedoman Umum Pelaksanaan 7. Bidang Perlindungan
analisis gender, data terpilah dan Pengarusutamaan Gender di Daerah. Tanaman
telaah kasus. b. Adanya pemahaman tentang gender dan
e. Memberikan pemahaman tentang kodrat adalah berbeda.
perencanaan, penganggaran dan c. Adanya pemahaman mengenai kesetaraan
analisis anggaran responsif dan keadilan gender serta bentuk-bentuk
gender. ketidakadilan gender.
f. Memberikan pemahaman tentang d. Adanya pemahaman tentang bentuk-bentuk
isu utama persoalan sektor analisis gender (Mosser, Havard, SWOT,
pertanian di Provinsi Aceh. GAP, PROBA dan pentingnya data terpilah
g. Mendorong dilakukan penyusunan (kualitatif dan kuantitatif) serta data statistik
rencana tindak lanjut yaitu Gender dan data gender dalam melakukan analisis
Focal Point dan Kelompok Kerja gender yang melibatkan partisipasi yang
PUG. berimbang antara laki-laki dan perempuan,
. baik dari sisi akses, peran, kontrol dan
manfaat.
e. Adanya pemahaman tentang urgensi
perencanaan, penganggaran dan analisis
anggaran responsif gender serta
keterkaitannya dengan politik anggaran
antara eksekutif dan legislatif.
f. Adanya pemahaman tentang isu utama
persoalan sektor pertanian di Provinsi Aceh
yang masih memunculkan ketidakadilan
gender.
g. Adanya komitmen partisipan untuk
membentuk Gender Focal Point dan
Kelompok Kerja PUG.
h. Adanya skil untuk menyusun program dan
kegiatan dengan menggunakan teknik
Gender Analysis Pathway mengacu pada
Lembar Kerja 1 sampai dengan Lembar
Kerja 8, dengan persyaratan perimbangan
laki-laki dan perempuan (akses, peran,
kontrol dan manfaat).

4. Studi Analisis PUG pada a. Memberikan pemahaman a. Adanya pemahaman mengenai Ratifikasi 1. Bidang Kerawanan
Badan Ketahanan Pangan implementasi CEDAW dan studi Konvensi CEDAW oleh Pemerintah RI Pangan dan Akses
& Penyuluhan dan Balai gender sebagai alat analisis atau mengharuskan negara dan setiap warga Pangan
Pengkajian Teknologi alat ukur. negara berkewajiban untuk mengapus 2. Bidang Sistem
Pertanian b. Memberikan pemahaman tentang segala bentuk diskriminasi terhadap Penyuluhan
Page | 40
gender dan kodrat. perempuan. Kewajiban tersebut kemudian 3. Bidang Evaluasi dan
c. Memberikan pemahaman tentang memunculkan Inpres No 9 Tahun 2000 Pelaporan
kesetaraan dan keadilan gender tentang Pedoman Pengarusutaman Gender 4. Bidang Pengembangan 14 16 5 days
serta bentuk-bentuk ketidakadilan (PUG) Dalam Pembangunan Nasional dan dan Penganekaragaman
gender. Permendagri No 15 Tahun 2008 tentang Konsumsi Pangan
d. Memberikan pemahaman tentang Pedoman Umum Pelaksanaan 5. Bidang Ketersediaan
analisis gender, data terpilah dan Pengarusutamaan Gender di Daerah. Distribusi dan Harga
telaah kasus. b. Adanya pemahaman tentang gender dan Pangan
e. Memberikan pemahaman tentang kodrat adalah berbeda. 6. Bagian Kepegawaian dan
perencanaan, penganggaran dan c. Adanya pemahaman mengenai kesetaraan Tata Laksana
analisis anggaran responsif dan keadilan gender serta bentuk-bentuk 7. Bagian Umum
gender. ketidakadilan gender.
f. Memberikan pemahaman tentang d. Adanya pemahaman tentang bentuk-bentuk
e. Balai Pengkajian dan
isu utama persoalan sektor analisis gender (Mosser, Havard, SWOT,
Teknologi Pertanian
pertanian di Provinsi Aceh. GAP, PROBA dan pentingnya data terpilah
(BPTP)
g. Mendorong dilakukan penyusunan (kualitatif dan kuantitatif) serta data statistik
1. Bidang Program
rencana tindak lanjut yaitu Gender dan data gender dalam melakukan analisis
Penelitian dan
Focal Point dan Kelompok Kerja gender yang melibatkan partisipasi yang
Pengkajian
PUG. berimbang antara laki-laki dan perempuan,
2. Bagian Tata Usaha
. baik dari sisi akses, peran, kontrol dan
3. Urusan Keuangan dan
manfaat.
Perlengkapan
e. Adanya pemahaman tentang urgensi
4. Kelompok
perencanaan, penganggaran dan analisis
Peneliti/Pengkaji dan
anggaran responsif gender serta
Fungsional bidang
keterkaitannya dengan politik anggaran
Perkebunan
antara eksekutif dan legislatif.
5. Kelompok
f. Adanya pemahaman tentang isu utama
Peneliti/Pengkaji dan
persoalan sektor pertanian di Provinsi Aceh
Fungsional bidang
yang masih memunculkan ketidakadilan
Peternakan
gender.
6. Kelompok
g. Adanya komitmen partisipan untuk
Peneliti/Pengkaji dan
membentuk Gender Focal Point dan
Fungsional bidang Sosial
Kelompok Kerja PUG.
Ekonomi Pertanian
h. Adanya skil untuk menyusun program dan
7. Seksi Kerjasama dan
kegiatan dengan menggunakan teknik
Pelayanan Pengkajian
Gender Analysis Pathway mengacu pada
8. Urusan Kepegawaian
Lembaran Kerja (LK) 1 sampai dengan
dan Rumah Tangga
Lembaran Kerja (LK) 8, dengan persyaratan
9. Kebun Percobaan Gayo
perimbangan laki-laki dan perempuan
(Urusan Tata Usaha)
(akses, peran, kontrol dan manfaat).

Page | 41
a. Memilah dan coding data a. Adanya data valid, secara kualitatif dan a. Sri Walny Rahayu
b. Smooting data kuantitatif untuk dianalisis. b. Darwanis
c. Menulis draf hasil studi analisis b. Adanya hasil draf hasil studi analisis PUG di c. Raida Fuadi
PUG di 5 SKPA sebagai bahan 5 SKPA sebagai bahan untuk diseminarkan. d. Elly Kesumawati
3 Data Processing, Data Analysis 2 5 5 days
untuk diseminarkan. e. Abdullah Abdul Muthaleb
f. Safrina
g. Khairul Mizan

4 Seminar dan Dissemination Seminar dilaksanakan tanggal 24 Januari 2009 dengan jumlah partisipan sebanyak 100 orang. 1day

Simposium Gender, Gender Dilaksanakan tanggal 5 s.d 7 Pebruari 2009 dengan jumlah partisipan sebanyak 70 orang. Teknik yang digunakan dalam FGD dibagi 2 (dua)
5 Mainstreaming and Gender isu yaitu Anggaran Responsif Gender terkait isu Pertanian, serta Gender dan PUG. Setiap isu terdiri dari 35 partisipan. 3 days
Budgeting

Page | 42
III. FINDINGS

Persepsi setiap partisipan pada masing-masing objek studi analisis mengenai pemahaman Sensitivitas Gender,
Pengarusutamaan Gender, Analisis Gender dan Teknik Analisis Gender.

1. PERSEPSI PARTISIPAN PADA MASING-MASING OBJEK STUDI ANALISIS MENGENAI SENSITIVITAS


GENDER, PENGARUSUTAMAAN GENDER, DAN ANALISIS GENDER DAN TEKNIK ANALISIS GENDER.

a. Persepsi Partisipan tentang Sensitivitas Gender


Temuan di lapangan menunjukkan isu kultural yang berpihak kepada maskulin (patriarkhi) menjadi isu
sentral sumber ketidakadilan dalam penyusunan program/kegiatan/proyek di lima SKPA. Rata-rata
partisipan yang mengikuti proses pelatihan PUG buta gender, yaitu kondisi seseorang yang belum atau
tidak memahami tentang pengertian, konsep gender dan permasalahan gender, bahwa ada perbedaan
kepentingan/kebutuhan antara laki-laki dan perempuan yang berbeda. Selain buta gender, partisipan juga
memahami gender secara bias. Hal ini mengakibatkan setiap kebijakan/program/kegiatan atau kondisi
yang menguntungkan salah satu jenis kelamin.
Penyangkalan ketidaksetaraan dan perbedaan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan dalam akses,
peran, kontrol dan manfaat menyebabkan muncul gender gap dalam manajemen pembangunan. Oleh
karena itu, aspek ketidakadilan atau gender gap merupakan hal esensial yang paling besar yang digugat
oleh PUG untuk dieleminir.
Tim studi analisis PUG memetakan persepsi tentang “sensivitas gender” dibagai dalam 2 (dua) tahap.
1) Tahap pembelajaran dan pelatihan pada 5 (lima) SKPA objek studi analisis dengan partisipan di
setiap SKPA sebanyak 30 orang. Akumulatif jumlah partisipan dalam pembelajaran dan pelatihan
yang dilakukan terkait sektor pertanian sebanyak 120 orang. Dalamnya pelatihan ini termasuk
kegiatan melakukan kerja kelompok terkait isu strategis masing-masing SKPA untuk menyusun dan
mengevaluasi kebijakan/programnya.
2) Mengukur dan persepsi partisipan secara kognitif, afektif dan psikomotorik tentang sensitivitas gender,
bentuk ketidak adilan gender, PUG dan anggaran responsif gender dilakukan melalui teknik
Wawancara Semi Terstruktur (WST) dalam bentuk pertanyaan tertutup dan terbuka. Daftar WST pada
saat proses pembelajaran dan pelatihan studi diberikan dalam 2 (dua) kondisi waktu yang berbeda.
Sebelum pembelajaran pelatihan (pre-test) dan sesudah pembelajaran dan pelatihan (post-test). studi.

Ditemukan pandangan yang beragam tentang pemahaman gender dari partisipan. Sesudah dilakukan
pembelajaran dan pelatihan. Persepsi partisipan tentang sensitivitas gender sebelum dan sesudah
pembelajaran dan pelatihan dapat dilihat pada Tabel III di bawah ini:

Page | 43
TABEL III
PERSEPSI SETIAP PARTISIPAN PADA MASING-MASING OBJEK STUDI ANALISIS
MENGENAI PEMAHAMAN SENSITIVITAS GENDER

PEMETAAN PERSEPSI PARTISIPAN TENTANG SENSITIVITAS GENDER


SEBELUM (Pre-Test) SESUDAH (Post-Test)
Berbicara tentang keberadaan serta gejala- Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan
gejala kehidupan manusia sesuai jenis kelamin. dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak ada
yang termarginalkan.
Merupakan persamaan hak antara pria dan
wanita dalam setiap kesempatan dan kegiatan Gender dalam seluruh kebijakan dan program
sesuai dengan martabat dan kodrat masing- sehingga sebelum keputusan diambil suatu
masing. analisis dampak kebijakan dan program.

Suatu garis pemisah antara laki-laki dan Persamaan hak dibidang pemerintahan atau
perempuan dalam status kelamin yang rumah tangga, baik material atau non-material
sasarannya mempunyai persamaan hak. supaya tidak dimarginalkan atau dideskriditkan.

Sebagai alat apabila terjadi perselisihan antara Persamaan hak antara perempuan dan laki-laki
dua jenis kelamin berbeda. dalam bidang Ekopolsosbud.

Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan Suatu keadaan yang mengakui adanya
dari suatu sisi pendidikan, pencari nafkah perbedaan laki-laki dan perempuan seringkali
pembinaan peradaban, pergaulan, mendorong terjadinya perubahan kebutuhan di
bermasyarakatan dan lain-lain. antara keduanya.

Menggambarkan peran aktif perempuan Cara masyarakat membedakan laki-laki dan


terhadap kesamaan kuasaan dan pengambilan perempuan.
sikap terhadap suatu masalah yang dihadapi
dalam pengambilan suatu keputusan.

Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan Alat ukur untuk suatu keadilan sesuai dengan
dalam membina, mengayomi dan melindungi kebutuhan bagi laki-laki dan perempuan.
dalam bekerja, berumah tangga atau berusaha,
tetapi tetap dalam batasan/kodrat antara laki-laki
dan perempuan.

Sumber: Data lapangan diolah pada 5 (lima) SKPD, Nopember 2008 – Januari 2009

a. Persepsi Partisipan tentang Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender


Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan sistem dan struktur di mana perempuan dan laki-
laki dapat menjadi korban dari sistem tersebut. Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara
perempuan dengan laki-laki baik secara langsung berupa dampak perlakuan maupun sikap dan yang
tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundangan atau kebijakan, menimbulkan berbagai
ketidakadilan yang berasal antara lain, dari faktor sosial budaya, interprestasi teks agama yang
dipahami secara bias, faktor ekonomi dan faktor-faktor lainnya yang berlaku dalam masyarakat.
Meskipun secara agregat ketidakdilan gender lebih banyak menimpa perempuan namun tidak dapat
dipungkiri laki-laki juga mengalami hal yang sama.
Page | 44
Perubahan kawasan belajar partisipan dalam bentuk kognitif, afektif dan psikomotorik, masih
memahami bentuk-bentuk ketidakadilan dalam tiga kategori, yaitu buta gender, bias gender dan netral
gender. Sedangkan ketegori sensitif gender dan responsif gender belum ditemukan dalam training ini
ketika mereka menyusun program/kegiatannya. Indikator partisipan dalam memahami bentuk-bentuk
ketidakadilan gender dibagi dalam dua sesi, yaitu sebelum dan sesudah dilakukan pelatihan. Bentuk-
bentuk ketidakadilan yang diukur dapat dilihat pada Tabel IV di bawah ini.
TABEL IV
PERSEPSI SETIAP PARTISIPAN PADA MASING-MASING OBJEK STUDI ANALISIS
MENGENAI PEMAHAMAN BENTUK-BENTUK KETIDAKADILAN GENDER

Pemetaan Persepsi Partisipan tentang Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender


SEBELUM (Pre-Test) SESUDAH (Post-Test)
Marginalisasi (Peminggiran) Marginalisasi (peminggiran)
Mengucilkan pendapat wanita. Membatasi semua ruang gerak bagi perempuan
terhadap kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh
Pembatasan terhadap kepentingan, kebutuhan dari laki-laki dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan.
sebagai komunitas dalam masyarakat.

Dalam hal-hal tertentu peran mereka memang kurang Pengenyampingan salah satu pihak (laki-laki –
dibutuhkan atau tidak diperlukan. perempuan) yang merugikan pihak tersebut.

Dalam mengambil suatu keputusan akhir wanita, kaum Perempuan disingkirkan dalam suatu kegiatan atau
perempuan selalu dianggap tidak realistis. Jadi kaum laki- tidak memberi peluang yang sama dengan laki-laki.
laki merasa lebih unggul dan bisa lebih di depan.

Masih ada pandangan bahwa wanita dalam setiap aktivitas Menganggap tidak punya kemampuan dari salah satu
masih diatur oleh laki-laki. gender dan sering terjadi pada perempuan.

Seorang wanita dianggap remeh dalam melaksanakan Dalam suatu kegiatan atau acara sering tidak
pekerjaan berat walaupun mereka mampu. diikutsertakan.

Tidak memberikan hak, kesempatan pada perempuan. Dalam pelaksanaan ada pihak-pihak yang tidak diberi
kesempatan baik peran, akses, kontrol dan mamfaat.

Banyaknya kaum perempuan yang terisolasi dari Perempuan dipandang tidak mampu dalam suatu
bermacam kegiatan sehingga kaum perempuan masih kegiatan dalam bentuk fisik sehingga upah yang
minim dalam mengambil satu keputusan. Wanita sering diterima dalam kegiatan harian selalu lebih rendah
tidak menjadi prioritas dalam keterlibatan pada suatu dari pada laki-laki, seperti mengambil keputusan tidak
kegiatan/pekerjaan, tetapi hanya sebagai cadangan. ada musyawarah antara laki-laki dan perempuan di
dalam keluarga atau masyarakat.
SEBELUM (Pre-Test) SESUDAH (Post-Test)
Subordinasi (Penomorduaan) Subordinasi (Penomorduaan)
Pendapat wanita dalam rapat-rapat keputusan selalu di Perempuan selalu dianggap makhluk yang lemah,
abaikan. baik dalam mengemukakan pendapat maupun
menentukan keputusan.

Kadang-kadang belum perlu dilibatkan, kecuali memang Dalam adat biasanya perempuan kurang diperhatikan
sangat dibutuhkan. pendapatnya;

Seorang wanita sering dinomorduakan terutama sekali Dalam arti tugas dan fungsi-fungsi sebagai
dalam menduduki jabatan penting. tanggungjawab nafkah dalam rumah tangga adalah
kewajiban si ayah sedang si ibu hanya tanggungjawab
dalam rumah tangga;

Page | 45
Suatu hal yang selalu dinomorduakan dalam mendapatkan Perempuan biasanya dianggap sebagai pelengkap
hak-hak sebagai kaum yang lemah yang biasanya termasuk dalam hal pendapatan keluarga;
dihadapi oleh perempuan.

Sering dalam pekerjaan wanita dinomorduakan dimana Adanya keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin
perempuan dianggap dianggap kurang mampu dalam dianggap lebih penting dan lebih utama misalkan
menyelesaikan pekerjaannya dari pada kaum laki. dalam keluarga dimana anak laki-laki merupakan
tulang punggung keluarga bila ayah telah meninggal
dan harus membimbing adik-adinya untuk masa
depan.

Wanita kadang-kadang dianggap sebagai subjek Dalam keluarga kedudukan laki-laki diutamakan
pelengkap untuk mencapai tujuan dalam sedangkan orang perempuan dinomorduakan.
kelompok/organisasi. Penomorduaan bagi perempuan atas
laki-lakinya. Selama apapun kegiatan yang sifatnya
strategis perempuan selalu dinomorduakan. Lebih sering
dijadikan nomor dua dalam kehidupan sehari-hari
khususnya.

Wanita hanya sebagai pendamping kaum pria. Batasan- Dalam suatu kegiatan pelatihan dimana peserta
batasan dalam rumah tangga tetap ada, suami sebagai perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki dan
pencari nafkah dan perempuan sebagai pendidik anak- pengambilan keputusan suatu pertemuan dominan
anak. laki-laki.

SEBELUM (Pre-Test) SESUDAH (Post-Test)


Stereotype (Pelabelan) Stereotype (Pelabelan)
Biasanya kaum laki-laki dalam hal pekerjaan sering Perempuan identik dengan ibu rumah tangga, wanita
menomorduakan, menganggap kaum wanita tidak bisa yang lemah yang lebih berperan pada ranah domestik.
melakukannya dan laki-laki menganggap dirinya benar.

Merupakan pelengkap penderita dalam suatu ketentuan Pencitraan dimana perempuan dianggap sebagai
yang dibutuhkan. makluk lemah, tidak berdaya dan sulit berkembang,
perempuan cocok yang mengurus rumah tangga
(domestik).

Wanita hanya sebagai pendamping kaum pria. Perempuan selalu diidentikkan dengan domain
domestik sebagai ibu rumah tangga dengan demikian
kaum perempuan hanya terlibat dalam hal kasur,
dapur, sumur dan lumpur.

Pelabelan merupakan label yang diberikan kepada


salah satu jenis kelamin, seperti perempuan sebagai
ibu rumah tangga dan laki-laki sebagai pencari nafkah
keluarga.
SEBELUM (Pre-Test) SESUDAH (Post-Test)
Double Burden (Beban Ganda) Double Burden (Beban Ganda)

Tanggung jawab pekerjaan rumah tangga hampir Perempuan selain melaksanakan tugasnya sebagai
sepenuhnya tetap dilakukan wanita meskipun pencari istri (ibu rumah tangga) juga sebagai pencari nafkah
nafkah dalam keluarga. untuk keluarga.

Seorang wanita biasanya mempunyai beban ganda dalam Di samping sebagai ibu rumah tangga perempuan
keluarga baik sebagai seorang ibu yang juga sebagai pencari nafkah. Perempuan yang
bertanggungjawab terhadap pendidikan dan memikul tugas ganda seperti mencari nafkah dan
perkembangan anak serta sebagai orang yang mengurus rumah tangga sementara laki-laki tidak
membantu/menopang perekonomian keluarga. Ibu-ibu melakukan seperti itu (kasus dalam rumah tangga).
selalu mempunyai peran ganda dalam hal mencari nafkah
maupun dalam mendidik anak-anak.

Page | 46
Selain berperan sebagai Ibu rumah tangga wanita juga Wanita telah bekerja di kantor tetapi masih harus
identiik dengan pencari nafkah untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah dll (domestik dan
memenuhi kebutuhan keluarga. publik; Ini terjadi biasanya pada kaum janda dimana
dia harus bekerja mencari nafkah untuk
menghidupkan keluarganya, dia juga mengurus
segala kebutuhan rumah tangga).

Perempuan lebih sering mengalami beban ganda


selain menjadi seorang ibu tidak jarang juga
perempuan sebagai menopang perekonomian
keluarga, seperti harus membantu suami di sawah
berjualan makanan kecil dsb.

Mempunyai tugas mengatur rumah tangga yang


merupakan tugas pelayanan seorang istri di samping
itu juga bekerja di luar rumah untuk mengembangkan
karier, mencari nafkah membantu meringankan beban
suami.

Sumber: Data lapangan diolah pada 5 (lima) SKPD, Nopember 2008 – Januari 2009

b. Pemahaman Partisipan tentang Pengarusutamaan Gender dan Landasan Yuridisnya.


Semua partisipan pada objek teliti belum memahami tentang PUG dan landasan yuridis yang
mengaturnya yaitu Inpres No. 9 Tahun 2000 dan Permendagri No. 15 Tahun 2008. Hal ini
menunjukkan implementasi kebijakan tersebut secara keseluruhan belum didukung oleh tujuh
prasyarat dalam manajemen pembangunan berbasis PUG yaitu dukungan politik, kebijakan,
sumber daya, sistem data dan informasi, kelembagaan, alat analisis gender, dan dukungan
masyarakat sipil. Hal pokok lainnya, belum optimalnya advokasi terpadu untuk mengintegrasikan
dimensi gender dalam proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
dari setiap kebijakan dan program pembangunan. Pemahaman partisipan tentang PUG dan landasan
yuridisnya, sebelum dan sesudah pelatihan dapat dilihat pada Tabel V di bawah ini.

TABEL V
PERSEPSI SETIAP PARTISIPAN PADA MASING-MASING OBJEK STUDI ANALISIS
MENGENAI PEMAHAMAN PUG DAN LANDASAN YURIDIS PUG
Pemetaan Persepsi Partisipan tentang Pengarusutamaan Gender
SEBELUM (Pre-Test) SESUDAH (Post-Test)
Tentang pedoman umum pengarusatamaan gender. Dalam suatu kegiatan masyarakat diproporsional
antara laki-laki dan perempuan.

Pengarusutamaan gender di daerah dalam penyelenggaraan Untuk perencanaan dan pembangunan masa
pembangunan di daerah. mendatang.

Gender atau alat ukur yang merupakan ketidakadilan yang Suatu kesetaraan keadilan, kesamaan dalam
berpartisipasi dan menjadi alat ukur dalam keseimbangan bentuk kontrol, akses, mamfaat dan peran antara
kemudian dijadikan sebagai Juknis (petunjuk teknis baru laki-laki dan perempuan dalam suatu perencanaan
menjadi suatu keseimbangan yang selanjutnya keluarlah yang matang.
Permendagri No. 15 Tahun 2008.

PUG di daerah. Implementasi gender dalam anggaran SKPA.

Page | 47
Ketentuan laki-laki dan perempuan secara seimbang. PUG adalah harus dipahami oleh kalangan
pengambil kebijakan.

Tentang kesetaraan gender. Strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan


gender menjadi satu dimensi integral dari
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, evaluasi
atas kebijakan dan program pembangunan
nasional.

Tentang persamaan hak laki-laki dan perempuan/derajatnya Suatu perspektif gender dalam seluruh kebijakan
atau emansipasi. program di mana sebelum keputusan diambil
terlebih dulu dibuat analisa dampah terhadap laki-
laki dan perempuan.

Pengimbangan secara partisipatif antara wanita dan pria dalam Pengarusutamaan gender dalam intansi
segala program/keterpaduan antara wanita dan pria dalam pemerintah untuk dapat menerapkan peran, akses
menjalankan suatu program. kontrol maupun manfaat baik perempuan maupun
laki-laki.

Tidak tahu. Dalam membuat program diberikan kesempatan


dalam berkembang untuk bisa berpartisipasi
bersama dalam pembangunan. Ikut serta wanita
dalam peluang pembangunan. Ikut serta
menggerakkan pembangunan baik sektoral dan
dalam bentuk sosial.

Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah pengawasan


gender dalam pembangunan nasional.
Permendagri No. 15 Tahun 2008 adalah konteks
pembangunan nasional yang harus dilaksanakan
oleh Gubernur, bupati, walikota, dan dinas lembaga
untuk mendatang (PUG-ARG).

Semua pembangunan yang dilaksanakan harus


berperspektif gender.

Penerapan PUG pada instansi pemerintah yang


dituangkan dalam anggaran.

Sumber: Data lapangan diolah pada 5 (lima) SKPD, Nopember 2008 – Januari 2009

Jika diangkakan perubahan kawasan belajar partisipan secara kognitif, afektif dan psikomotorik dalam
proses pembelajaran dan pelatihan PUG setiap SKPA sebelum dilakukan Focus Group Discussion (FGD),
kondisi buta gender berada pada angka 0 – 20, bias gender 21 – 40, netral gender 41 – 60, sensitive gender
61 – 80, dan responsive gender 81 – 100, maka skoring perubahan kawasan belajar sebelum dilakukan
pelatihan PUG dan sesudah dilakukan pelatihan gender dan PUG seperti Tabel VI sebagai berikut :

Page | 48
TABEL VI
TINGKAT PERUBAHAN KAWASAN BELAJAR PARTISIPAN SECARA KOGNITIF, AFEKTIF
PADA 5 (LIMA) OBJEK STUDI DALAM MEMAHAMI GENDER DAN PUG
PROGRES KAWASAN BELAJAR PARTISIPAN PADA PELATIHAN
Nilai Rata-Rata
STUDI ANALISIS PUG (PRA FGD)
No Nama SKPA Pre Test Post Test
1 Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan (KESWANNAK) 20 59
2 Dinas Kehutananan dan Perkebunan (HUTBUN) 15 45
3 Dinas Pertanian Tanaman Pangan (DPTP) 26 57
4 Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) 23 66
5 Balai Pengkajian Teknologi Pangan (BPTP) 15 55
Nilai Rata-Rata Untuk Seluruh SKPA 20 56

Sumber : Data yang diolah Tim, Nopember 2008 – Januari 2009


Berdasarkan Tabel VI di atas progres perubahan kawasan belajar kognitif dan afektif
partisipan memahami gender dan PUG. Sebelum pembelajaran dan pelatihan PUG, paling
rendah berada pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan dengan skor 15. Pemahaman
partisipan paling tinggi sebelum pelatihan berada pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan
dengan skor 26. Setelah pelatihan perubahan kawasan belajar partisipan paling tinggi
ditemukan pada Balai Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) dengan skor 66. Kawasan
belajar paling rendah dalam studi ini terdapat pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi
Aceh dengan nilai 45. Progres perubahan kawasan belajar yang paling baik berada pada Balai
ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP).
Rata-rata partisipan berada pada ranah buta gender sebelum dilakukan pelatihan dan
setelah dilakukan pelatihan berada pada tahap netral gender. Untuk sampai pada tahap sensitif
dan responsif gender perlu dilanjutkan dengan pelatihan-pelatihan berikutnya dan memerlukan
proses waktu yang lebih lama dari studi analisis ini. Disadari sepenuhnya bahwa budaya
patriarkhi berada dalam setiap level penyusunan kebijakan/program di lima SKPA objek studi
terkait sektor pertanian. Secara statistik progres perubahan kawasan belajar di setiap SKPA
dalam studi PUG dapat dilihat dalam diagram I di bawah ini sebagai berikut:

Page | 49
DIAGRAM I
PERBANDINGAN NILAI RATA - RATA PERUBAHAN KAWASAN BELAJAR TENTANG PEMAHAMAN
GENDER DAN PUG SEBELUM DAN SETELAH PELATIHAN SETIAP SKPA (5 OBJEK STUDI)

70

60

50

40

30

20

10

0
KESWANNAK HUTBUN DPTP BKPP BPTP

Sebelum Sesudah

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim , Nopember 2008 – Januari 2009

Nilai rata-rata perubahan kawasan belajar keseluruhan partisipan pada 5 (lima) objek
studi paling rendah dengan skoring 20 dan paling tinggi sejumlah 56. Skoring rata-rata secara
keseluruhan partisipan dapat dilihat pada diagram II di bawah ini sebagai berikut :

Page | 50
DIAGRAM II
Perbandingan Nilai Rata - Rata Pemahaman Gender Sebelum dan Sesudah Pelatihan Pada Seluruh
SKPA

20 56

Pre Test Post Test

Sumber : Data yang diolah tim, Nopember 2008 – Januari 2009

2. INDENTIFIKASI PENYEBAB KETIDAKSEIMBANGAN GENDER


a. Identifikasi Tentang Analisis Gender Terhadap Penyusunan Program Dan Kegiatan
Penyusunan program dan kegiatan hingga penerima manfaat pada 5 (lima) SKPA,
terdapat ketidakseimbangan dalam akses, peran, kontrol dan manfaat. Berdasarkan teknik GAP
yang digunakan, semua bentuk ketidakadilan gender yaitu diskriminasi, marginalisasi,
subordinasi, pelabelan, dan double burden, terdapat pada penyusunan program dan kegiatan.
1). Citrabaku gender terhadap pembagian pekerjaan
a) Dalam masyarakat berlaku laki-laki sebagai pencari nafkah utama merupakan citrabaku
walaupun dalam kenyataan tidak selalu demikian.
b) Terdapat hubungan langsung antara laki-laki dianggap sebagai pekerja produktif yang
dibayar dan perempuan dianggap sebagai pencari nafkah tambahan sehingga upah
yang diterima tidak seimbang.
c) Laki-laki dan perempuan, meskipun sama-sama menjalankan pekerjaan produktif, tidak
semuanya dihargai atau dinilai dengan cara sama. Akibatnya, akses, peran, kontrol dan

Page | 51
manfaat cenderung menguntungkan laki-laki dibandingkan perempuan di tempat kerja,
rumah dan masyarakat.
2). Pekerjaan Reproduksi
Pekerjaan reproduksi merupakan pekerjaan yang berhubungan dengan rumah tangga.
Pekerjaan ini sangat dibutuhkan namun jarang dianggap memiliki nilai yang sama seperti
pekerjaan produktif. Umumnya pekerjaan ini tidak dibayar sehingga tidak diperhitungkan
dalam statistik ekonomi konvensional. Mayoritas dikerjakan oleh perempuan. Akibat dari
adanya perbedaan peran, tanggung jawab dan hubungan-hubungan dalam relasi sosial yang
dikonstruksikan oleh masyarakat antara perempuan dengan laki-laki berimplikasi kepada:
a) Penyusunan Program/Kegiatan
b) Perempuan secara terus menerus dihadapkan pada persoalan bagaimana menyelaraskan
pekerjaan reproduksi dan produksi secara bersamaan. Adanya kenyataan hanya
pekerjaan produktif yang dibayar, dinilai dan dihargai sehingga membawa akibat serius
bagi perempuan dalam suatu program/kegiatan.
c) Pengaruh terbesar adalah faktor patriarkhi dan asumsi sosial masyarakat yang
menempatkan domain perempuan hanya pada lingkup domestik saja.
Indikator yang menjadi penyebab timbulnya masalah kesenjangan gender sehingga
menimbulkan citrabaku peran dan tanggung jawab gender dalam penyusunan program
dan kegiatan yang diukur berdasarkan faktor sosial budaya, faktor intepretasi teks agama
secara biasa, faktor ekonomi dan faktor lainnya dapat dilihat dalam Tabel VII sampai
dengan Tabel IX di bawah ini.

Page | 52
TABEL VII
ANALISIS GENDER PADA 5 (LIMA) SKPA OBJEK STUDI SEKTOR PERTANIAN
ANALISIS GENDER
NAMA SKPA KEBIJAKAN/PROGRAM/PROYEK/KEGIATAN AKSES PERAN KONTROL MANFAAT
Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr
1. Pemeriksaan penyakit hewan menular (Brucelosis) di laboratorium. + ++ + +++ + +++ +++ +
2. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di pedesaan. +++ ++ +++ ++ +++ ++ +++ +++
3. Program Ketahanan Pangan Kegiatan :
Dinas Kesehatan
a. Pemberantasan Flu Burung (AI) + +++ + +++ + +++ ++ ++
Hewan dan
b. Pemberantasan Penyakit Hewan Menular +++ + ++ ++ ++ ++ ++ ++
Peternakan
c. Lomba Kelompok Petani Ternak
- Kelompok ternak besar +++ - +++ - ++ - ++ =/-
- Kelompok ternak kecil - +++ - +++ + +++ ++ ++

Dinas Kehutanan dan 1. Pelatihan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL- PHT) ++ =/- ++ =/- ++ =/- ++ =/-
Perkebunan 2. Pelatihan Polisi Hutan (Polhut) +++ + +++ =/- ++ - ++ =/-

1. Peningkatan Hasil Produksi Pertanian +++ ++ ++ +++ +++ =/- ++ +


2. Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) + ++ +++ =/- +++ + =/- +++
Dinas Pertanian 3. Pelatihan Petugas Petani dan Penyuluh
Tananaman Pangan a. Petugas Dinas +++ +++ ++ +++ +++ + + +
b. Penyuluh +++ =/- +++ =/- +++ - ++ +
c. Petani +++ =/- +++ =/- +++ - ++ =/-

Badan Ketahanan
Pangan dan 1. Kebijakan Pengembangan Pekarangan =/- +++ =/- +++ +++ ++ ++ ++
Penyuluhan 2. Pengembangan Desa Mandiri Pangan (DEMAPAN) ++ + +++ =/- +++ + + +

1. Pembinaan petani penangkar benih kedelai


a. Pelatihan ++ + ++ =/- ++ + ++ ++
Balai Pengkajian
b. Budidaya/perbanyakan benih ++ =/- ++ + ++ =/- ++ ++
Teknologi Pertanian
c. Sortasi benih ++ ++ ++ ++ ++ + ++ ++
d. Pemasaran +++ =/- ++ + +++ + ++ ++
2. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) + ++ ++ +++ ++ + ++ +
Keterangan : (-) : tidak ada , (=/-) : kecil, (+) : ada, (++) : banyak, (+++) : banyak sekali, Lk : Laki-Laki, Pr : Perempuan
Sumber: Data Diisi oleh Peserta Studi Analisis, yang diolah Tim, Nopember 2008 - Januari 2009.

Page | 53
TABEL VIII
ANALISIS KESENJANGAN GENDER PADA 5 (LIMA) SKPA OBJEK STUDI SEKTOR PERTANIAN
KEBIJAKAN/ FAKTOR KESENJANGAN GENDER
NAMA SKPA PROGRAM/PROYEK/ KESENJANGAN
AKSES PERAN KONTROL MANFAAT
KEGIATAN
1. Pemeriksaan penyakit Perempuan Lebih Partisipasi Pertimbangan Manfaatnya lebih Tenaga laboran lebih skill perempuan sedangkan
hewan menular banyak sebagai perempuan lebih perempuan besar diterima penerima manfaat adalah laki-laki.
(Brucelosis) di tenaga labor ketika besar menjadi dasar Laki-laki karena
laboratorium. memeriksa dalam peternak
specimen pengambilan kebanyakan laki-
keputusan. laki.

2. Pemberdayaan ekonomi Laki-laki lebih besar Peran Laki-laki lebih Laki-laki lebih Peran laki-laki lebih banyak dari laki-laki.
masyarakat di pedesaan berpeluang untuk Perempuan lebih berhak dalam besar menikmati
(Pengadaan ternak sapi mengurus ternak sedikit menentukan manfaat dari
sebanyak 500 ekor). bantuan. dibandingkan kelanjutan pada perempuan
laki-laki. bantuan ternak
pemerintah.
3. Program Ketahanan Pangan Kegiatan :
a. Pemberantasan. Flu Akses perempuan Peran kontrol, Lk dan Pr akses, peran dan kontrol, laki-laki kurang optimal
Burung (AI) lebih besar di perempuan lebih perempuan menerima keterlibatannya karena perempuan berperan di wilayah
Dinas Kesehatan wilayah domestik. besar lebih dominan. manfaat domestik. Namun hasil dari manfaat program diterima
Hewan dan seimbang. berimbang antara laki-laki dan perempuan.
Peternakan b. Pemberantasan akses, perempuan Peran Kontrol antara Manfaat antara Perempuan mendominasi sisi akses kegiatan. Namun,
Penyakit lebih sedikit perempuan dan laki-laki laki-laki dengan peran, kontrol dan manfaat tetap diterima secara
Hewan Menular. dibandingkan laki- laki-laki berimbang perempuan berimbang. Akses yang besar perempuan belum
laki. berimbang. dengan berimbang. menjadi jaminan untuk mendapatkan peran, kontrol dan
perempuan. manfaat yang sesuai dengan akses yang diperolehnya.
c. Lomba Kelompok Petani Ternak
1. Kelompok ternak besar Pr tidak terlibat sbg Peran Dalam hal Manfaat lebih Konsep patriarkhi sangat mendominasi dalam
penerima bantuan perempuan tidak kontrol, dominan laki-laki perumusan kebijakan sampai pelaksanaan program,
krn bantuan ada karena keterlibatan dibandingkan sehingga perempuan tidak mendapatkan porsi yang
berdasarkan data tandatangan perempuan perempuan seimbang dengan laki-laki dalam akses, peran, konrol
Kepala Keluarga SPK/ kredit tidak ada. dan manfaat.
(KK). Akses Lk usaha peternak
sangat dominan dilakukan laki-laki Janda sebagai kepala keluarga kurang diperhitungkan
kecuali disebutkan sebagai Kepala dalam program/kegiatan karena proses pemberian
pesertanya Keluarga bantuan, pendataan dan mekanisme pendukung lainnya
menghadirkan Pr. selalu disyaratkan dengan Kartu KK
2. Kelompok ternak kecil Akses laki-laki tidak Peran laki-laki kontrol, Manfaat antara Akses, peran, dan kontrol, perempuan dominan tetapi
Page | 54
ada sama sekali. tidak ada sama perempuan laki-laki dan manfaat tetap diterima berimbang dengan Lk.
sekali mendominasi perempuan Dipersepsikan bantuan ternak kecil merupakan
program diterima pekerjaan yang ringan/tidak menguntungkan secara
berimbang ekonomi.

1. Pelatihan Sekolah Lapang Kesempatan yang Peran Perempuan Perempuan Pengetahuan dan keterampilan perempuan dalam
Pengendalian Hama diberikan kepada perempuan lebih sedikit sebagai menerima pengelolaan kebun kakao lebih rendah karena akses,
Terpadu (SL- PHT) perempuan lebih sedikit pengambil manfaat lebih peran, kontrol dan manfaat perempuan terhadap
sedikit. keputusan sedikit kegiatan ini lebih kecil.
Dinas Kehutanan
dan Perkebunan
2. Pelatihan Polisi Hutan Lebih banyak laki- Lebih cenderung Perempuan Laki-laki lebih Laki-laki lebih banyak kesempatan dalam berkarir,
(Polhut) laki laki-laki tidak memiliki banyak menerima sehingga perempuan hanya bisa duduk di kantor,
kesempatan manfaat mengurus administrasi saja.

1. Peningkatan Hasil Laki-laki Peran/partisipasi Laki-laki Laki-laki Peran perempuan lebih besar di sektor pertanian.Tetapi
Produksi Pertanian mendominasi perempuan lebih mendominasi mendapatkan laki-laki mendominasi akses, kontrol dan manfaat
program dalam hal besar pengambilan manfaat lebih program. Perempuan kurang dilibatkan memperoleh
akses. keputusan banyak informasi pertanian melalui berbagai bentuk kegiatan
(capacity building).
2. Sekolah Lapang Pr Partisipasi Kontrol Manfaat diterima Sekalipun dalam hal peran dan kontrol perempuan lebih
Pengendalian Hama mendominasi perempuan lebih didominasi Laki- Laki-laki lebih kecil dibandingkan laki-laki namun perempuan
Terpadu (SL-PHT) pendidikan SL-PHT kecil laki. besar. mendapat manfaat yang lebih besar dalam program
tersebut. Dalam program ini laki-laki termarjinalkan

3. Pelatihan Petugas Petani dan Penyuluh


Dinas Pertanian a. Petugas Dinas Akses Lk berimbang Peran laki-laki Lk-lk Pemegang Manfaat yang Terjadi diskriminasi bagi perempuan, kuantitas yang
Tananaman meskipun kuantitas lebih kontrol diterima lebih besar sebagai petugas dinas, tidak otomatis ber
Pangan pr lebih banyak. berimbang peran, pemegang kontrol dan manfaat. Ketentuan yang
sama tidak berlaku bagi laki-laki.
b. Penyuluh Akses Laki-laki Partisipasi laki- Perempuan Laki-laki dominan SDM dan kesempatan penyuluh perempuan sangat
sangat dominan. laki lebih besar tidak memiliki menerima rendah. Hal ini dikarenakan dominasi laki-laki terhadap
kontrol manfaat akses, peran, kontrol dan manfaat.

c. Petani Dominasi akses Peran lebih besar Petani Laki-laki Penyelenggaraan pelatihan bagi petani masih buta
pelatihan bagi diterima petani perempuan menerima gender atau bias gender sehingga dominasi laki-laki
petani laki-laki laki-laki tidak memiliki manfaat lebih begitu besar, baik pada level akses, peran, kontrol dan
memperkercil dibandingkan kontrol terhadap besar manfaat.
peluang bagi petani petani program dibandingkan
perempuan untuk perempuan. sekalipun perempuan dari
Page | 55
terlibat didalamnya. terlibat dalam program.
akses dan
peran.

1. Kebijakan Pengembangan Akses perempuan Peran Laki-laki Manfaat antara Kebijakan atau program masih menempatkan
Pekarangan lebih besar karena perempuan lebih memiliki kontrol laki-laki dan perempuan di ranah domestik, meskipun laki-laki
diasumsikan identik banyak lebih besar perempuan mendapatkan akses dan peran yang lebih kecil, tetapi
dengan wilayah dibandingkan diterima tetap saja memiliki kontrol dan manfaat yang lebih
domestik. dengan laki-laki berimbang. besar.
Badan
Akses Lk lebih Peran laki-laki Laki-laki manfaat yang Perempuan mengalami marginalisasi dikarena asumsi
Ketahanan
besar. lebih dominan dominan diterima kebijakan program menitikberatkan kepada laki-laki
Pangan dan
Pembentukan sebagai berimbang sebagai kepala keluarga.
Penyuluhan 2. Pengembangan Desa
kelompok melalui pemegang karena satu
Mandiri Pangan
kartu KK, tidak kontrol keluarga
(DEMAPAN)
memperhitungkan
Pr/Pr janda sebagai
KK.

1. Pembinaan petani
penangkar benih kedelai
a. Pelatihan Perempuan lebih Peran Kontrol Manfaat yang Perempuan mengalami diskriminasi dalam hal
sedikit perempuan lebih perempuan diperoleh antara mendapatkan pelatihan dari segi akses, peran dan
mendapatkan akses kecil lebih sedikit laki-laki dan kontrol.
informasi perempuan
berimbang.
b. Budidaya/perbanyakan Akses perempuan Peran Pengambilan Manfaat yang Perempuan mengalami diskriminasi pada saat kegiatan
benih lebih kecil dalam perempuan keputusan diperoleh budidaya dalam segi akses, peran dan kontrol.
budidaya benih. terbatas cenderung oleh berimbang.
Balai Pengkajian
laki-laki
Teknologi
Pertanian
c. Sortasi benih Pr dan Lk memiliki Penyortasian Laki-laki Manfaat yang Sekalipun akses, peran, dan manfaat diterima secara
akses berimbang. benih, peran Lk memiliki kontrol diperoleh laki-laki berimbang, namun tetap saja laki-laki sebagai
dan Pr yang lebih dan pr pengambil keputusan.
berimbang. besar. berimbang.
d. Pemasaran Akses perempuan Peran kecil laki-laki sebagai Manfaat yang Perempuan mengalami diskriminasi dalam hal akses,
sangat dikecil pengambil diperoleh peran, dan kontrol meskipun manfaat diterima secara
keputusan. berimbang. berimbang.
2. Pengelolaan Tanaman Akses didominasi Partisipasi Laki-laki Manfaatnya lebih Akses dan peran perempuan lebih banyak dibandingkan
Terpadu (PTT) oleh perempuan perempuan lebih sebagai banyak dirasakan laki-laki. Sebaliknya, kontrol dan manfaat tetap berada
karena diasumsikan banyak. pengambil laki-laki pada laki-laki. Hal ini berpengaruh terhadap upah
Page | 56
sebagai wilayah keputusan harian, beban ganda pada kaum perempuan hingga
domestik untuk pemasaran hasil PTT yang dilakukan oleh laki laki
mengurus tanaman.

Sumber: Data Diisi oleh Peserta Studi Analisis, yang diolah Tim, Nopember 2008 - Januari 2009

Page | 57
TABEL IX
ANALISIS ISU GENDER PADA 5 (LIMA) SKPA OBJEK STUDI SEKTOR PERTANIAN
KEBIJAKAN/PROGR MASALAH PENYEBAB
FAKTOR FAKTOR FAKTOR FAKTOR KLASIFKASI
NAMA SKPA AM/ KESENJANGAN ISU GENDER
SOSBUD AGAMA EKONOMI LAINNYA KESENJANGAN
PROYEK/KEGIATAN GENDER
1. Pemeriksaan Tenaga laborant Tenaga laborant Dari segi Perempuan Adanya keyakinan salah
penyakit hewan perempuan lebih perempuan lebih income, mengalami satu jenis kelamin
menular banyak tetapi bertanggung menjadi tenaga marginalisasi dan dianggap lebih penting.
(Brucelosis) di penerima manfaat jawab dalam laborant bagi subordinasi. Perempuan dipinggirkan
laboratorium. lebih banyak laki- melakukan laki-laki tidak dari kegiatan/program
laki. Perempuan pemeriksaan signifikan dari yang secara ekonomi
tidak optimal sampel. besaran jumlah lebih menguntungkan
memiliki kontrol dan yang diterima. (misalnya pendapatan
manfaat sebagai yang lebih tinggi).
tenaga laborant.

2. Pemberdayaan Perempuan kurang Perempuan Perempuan Sub-ordinasi Pr akibat Wilayah domestik menjadi
ekonomi aktif berperan dikonotasikan mengurus rumah stereotype terhadap domain perempuan,
Dinas Kesehatan masyarakat di dibandingkan laki-laki. lemah dan tidak tangga. sebagian peran domestik dikonotasikan sebagai
Hewan dan pedesaan. mampu bekerja besar peternak orang lemah dan tidak
Peternakan (Pengadaan ternak
terlalu berat. sapi laki-laki. mampu bekerja terlalu
berat.
sapi sebanyak 500
ekor).

3. Program Ketahanan
Pangan Kegiatan :
a. Berantas Flu Burung Domain Pr wilayah Perempuan Laki-laki dianggap Adanya sub-ordinasi Ranah domestik
(AI) domestik. Namun diasumsikan sebagai terhadap perempuan merupakan domain
manfaat program hanya berada pemimpin. akibat adanya perempuan, dikonotasikan
diterima berimbang. ranah domestik. stereotype thd peran lemah dan tidak mampu
domestik perempuan. bekerja terlalu berat.

Page | 58
b. Pemberantasan Peserta yang hadir Laki-laki dianggap Kontrol antara Manfaat antara Adanya sub-ordinasi Wilayah domestik menjadi
Penyakit Hewan dalam sosialisasi sebagai laki-laki laki-laki dengan perempuan akibat domain perempuan dan ia
Menular program/kegiatan pemimpin. berimbang perempuan stereotype terhadap dikonotasikan sebagai
umumnya Lk dengan berimbang. peran domestik orang lemah dan tidak
kecuali funding perempuan. perempuan. mampu bekerja berat.
mewajibkan hrs
melibatkan
perempuan.

c. Lomba Kelompok
Petani Ternak
akses, perempuan Laki-laki sub-ordinasi Wilayah domestik
tidak ada sama dianggap perempuan akibat menjadi domain
sekali. Penerimaan sebagai stereotype terhadap perempuan dan ia
bantuan ternak pemimpin. peran domestik dikonotasikan sebagai
1). Kelompok ternak berdasarkan data KK. perempuan. orang lemah dan tidak
besar Akses laki-laki sangat mampu bekerja terlalu
dominan kecuali berat.
disebutkan
pesertanya
melibatkan Pr.
2). Kelompok Akses laki-laki tidak peran, kontrol, Manfaat antara
ternak ada sama sekali. keterlibata perempuan laki-laki dan
kecil n laki-laki mendominasi perempuan
tidak ada program diterima secara
sama dibandingkan berimbang.
sekali. laki-laki.

1. Pelatihan Sekolah Pengetahuan dan Perempuan kurang Perempuan Sub-ordinasi Perempuan dianggap
Lapang keterampilan Pr diberi kesempatan dinomorduakan terhadap tidak perlu
Pengendalian Hama mengelola kebun ikut pelatihan untuk mengikuti perempuan. meningkatkan
Terpadu (SL- PHT) kakao lebih rendah pelatihan pengetahuan, dan
karena akses, keterampilan cukup
Dinas Kehutanan peran, kontrol dan mengikuti apa yang
dan Perkebunan manfaatnya dlm dianjurkan laki-laki saja
kegiatan kecil .
2. Pelatihan Polisi Kesempatan Lk Perempuan dianggap Kegiatan di Diskriminasi, sterotype Akses, peran dan
Hutan (Polhut) berkarir lebih besar tidak mampu. hutan. dan marginalisasi kontrol perempuan
terhadap perempuan. hingga level pengambil
kebijakan sangat
Page | 59
terbatas.

1. Peningkatan Hasil Dalam program Peran-peran domestik Lelaki Karena Sarana dan Subordinasi, double Perempuan tidak perlu
Produksi Pertanian peningkatan dilakukan perempuan, tetap kurangnya prasarana burden, dan belajar lebih tinggi
produksi hasil disamping juga diposisikan pendapatan transportasi ke stereotype. Domain karena akhirnya akan
pertanian, membantu suami sebagai (income) lokasi sangat perempuan masih menjalankan tugas-
perempuan kurang dalam usaha pemimpin, Masyarakat terbatas dianggap sebatas tugas domestik.
diikutsertakan pertanian. yang tani/ Petani sehingga peran-peran Sekalipun ikut
dalam bidang punya menyulitkan domestik. melakukan pekerjaan di
pelatihan dan otoritas petani, baik bidang pertanian,
pengambil sebagai dalam dianggap tidak perlu
keputusan. pengambil peningkatan untuk meningkatkan
keputusan. produksi dan pemahamannya
pemasarannya. (capacity building)
tentang pertanian
Dinas Pertanian
karena pekerjan itu telah
Tananaman
dilakukan turun
Pangan
temurun.

2. Sekolah Lapang Ilmu yang diperoleh Ruang gerak Lelaki Marjinalisasi, Perempuan boleh saja
Pengendalian dari SLPTH tidak terbatas. Perempuan diposisikan diskriminasi dan menuntut ilmu tetapi
Hama Terpadu sepenuhnya dapat tidak boleh leluasa sebagai subordinasi terhadap keputusan akhir
(SLPHT) diterapkan di untuk berkiprah pemimpin, perempuan. /kebijakan pengambilan
lapangan karena dalam kegiatan- yang keputusan di lapangan
a. Petugas Dinas kontrol dikendalikan kegiatan sosial punya tetap laki-laki.
b. Penyuluh laki-laki kemasyarakatan. otoritas
c. Petani tunggal
sebagai
pengambil
keputusan.

Badan Ketahanan 1. Kebijakan kurang optimal Diasumsikan LK, Kurangnya Kurangnya Stereotype,
Pangan dan Pengembangan keberhasilannya krn pekerjaan Pr. memiliki modal, keterampilan marginalisasi dan a) Pr dianggap tidak
Penyuluhan Pekarangan partisipas, kontrol otoritas dianggap tidak mengelola subordinasi terhadap mampu menutupi
Lk kecil tunggal potensial program. perempuan. kebutuhan keluarga.
pengambil menguntungan b) Pekarangan kurang
keputusan bagi keluarga. menguntungkan bagi
laki-laki

2. Pengembangan Dalam Adanya budaya Lelaki Telah ada Diskriminasi, Perempuan dianggap
Page | 60
Desa Mandiri pembentukan patriarkhi yang masih diposisikan ketentuan dari marginalisasi, tidak perlu mengikuti
Pangan kelompok kental sehingga sebagai Pemerintah streotype dan koordinasi, sosialisasi
(DEMAPAN) berdasarkan Kepala perempuan tidak pemimpin, dimana subordinasi terhadap karena perannya cukup
Keluarga sehingga dilibatkan dalam yang penggunaan perempuan. di wilayah domestik
perempuan tidak program. punya sistem KK dalam saja. Perempuan janda
terlibat dalam akses otoritas penerimaan sebagai Kepala
dan kontrol tunggal program. Keluarga tidak
sebagai diperhitungkan dalam
pengambil program karena
keputusan. pembentukan kelompok
berdasarkan KK yang
patriarkhi.

1. Pembinaan petani Keterlibatan Ruang gerak terbatas Pelatihan jauh Marginalisasi, Perempuan dipandang
penangkar benih perempuan sangat (domestik) dari tempat diskriminasi, tidak perlu terlibat terlalu
kedelai. sedikit dibandingkan tinggal sehingga stereotype, dan sub banyak dalam pelatihan
a. Pelatihan dari laki-laki dalam menyulitkan bagi ordinasi terhadap karena diasumsikan
b. Budidaya/perba kegiatan budidaya. perempuan perempuan. lebih dominan berkiprah
nyakan benih untuk mengikuti di wilayah domestik.
c. Sortasi benih pelatihan
d. Pemasaran pembinaan
petani.
Balai Pengkajian 2. Pengelolaan a. Upah harian a. patriarkhi Untuk Pelatihan jauh Diskriminasi, Budaya patriarkhi
Teknologi Tanaman Terpadu perempuan lebih menomorduakan membantu dari tempat subordinasi, menyebabkan
Pertanian (PTT) rendah Pr. Pekerjaan Pr ekonomi tinggal. marginalisasi dan perempuan kurang
tidak dinilai sama keluarga. double burden serta dihargai dan tidak
b. Double burden dg pekerjaan yang strerotype terhadap optimal dalam hal
pada perempuan dihasilkan lk-lk. perempuan. akses, peran, kontrol
b. Jika Pr bekerja di dan manfaat pada
c. Pemasaran lingkup publik program ini.
dilakukan oleh tugas domestik
laki tetap
tanggungjawabnya
.
Sumber: Data Diisi oleh Peserta Studi Analisis, yang diolah Tim, Nopember 2008 - Januari 2009

Secara grafik isu gender dalam penyusunan Kebijakan/program yang dideskripsikan secara kualitatif menggunakan GAP pada Tabel VII sampai dengan IX dikomparasikan pada
Tabel X seperti di bawah ini:

Page | 61
TABEL X
PERBANDINGAN KETERLIBATAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN DALAM KEBIJAKAN/PROGRAM 5 SKPA
AKSES PERAN KONTROL MANFAAT
NAMA SKPA KEBIJAKAN/PROGRAM
Lk Pr GAP Lk Pr GAP Lk Pr GAP Lk Pr GAP
1. Pemeriksaan Penyakit Hewan
2 3 -1 2 4 -2 2 4 -2 4 2 2
Menular
2. Pemberdayaan ekonomi
4 3 1 4 3 1 4 3 1 4 4 0
masyarakat
Dinas Kesehatan Hewan dan 3 Pemberantasan flu burung 2 4 -2 2 4 -2 2 4 -2 3 3 0
Peternakan
4. Pemberantasan penyakit
4 2 2 3 3 0 3 3 0 3 3 0
menular
5.Lomba Kelompok ternak besar 4 0 4 4 0 4 3 0 3 3 1 2
6. Lomba kelompok Ternak kecil 0 4 -4 0 4 -4 2 4 -2 3 3 0
Rata-rata 2,67 2,67 0 2,5 3 -0,5 2,67 3 0,33 3,33 2,67 0,67
Dinas Kehutanan dan 7. Pelatihan PHT 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2
Perkebunan 8.Pelatihan polisi hutan 4 2 2 4 1 3 3 0 3 3 1 2
Rata-rata 3,5 1,5 2 3,5 1 2,5 3 0,5 2,5 3 1 2
9. Peningkatan hsl produksi
4 3 1 3 4 -1 4 1 3 3 2 1
pertanian
Dinas Pertanian dan 10.SLPHT 2 3 -1 4 1 3 4 2 2 1 4 -3
Tanaman Pangan 11.Pelatihan petugas dinas 4 4 0 3 4 -1 4 2 2 2 2 0
12.Pelatihan Penyuluh 4 1 3 4 1 3 4 0 4 3 2 1
13.Pelatihan petani 4 1 3 4 1 3 4 0 4 3 1 2
Rata-rata 3,6 2,4 1,2 3,6 2,2 1,4 4 1 3 2,4 2,2 0,2
BadanKetahanan Pangan 14.Pengembangan pekarangan 1 4 -3 1 4 -3 4 3 1 3 3 0
dan Penyuluhan 15.DEMAPAN 3 2 1 4 1 3 4 2 2 2 2 0
Rata-rata 2 3 -1 2,5 2,5 0 4 2,5 1,5 2,5 2,5 0
16.Pelatihan petani kedelai 3 2 1 3 1 2 3 2 1 3 3 0
17.Budi daya benih kedelai 3 1 2 3 2 1 3 1 2 3 3 0
Balai PengkajianTeknologi
Pertanian 18 Sortasi benih kedelai 3 3 0 3 3 0 3 2 1 3 3 0
19Pemasaran benih kedelai 4 1 3 3 2 1 4 2 2 3 3 0
20.PTT 2 3 -1 3 4 -1 3 2 1 3 2 1
Rata-rata 3 2 1 3 2,4 0,48 3,2 1,8 1,4 3 2,8 0,2
Rata-rata semua SKPA 2,95 2,31 0,64 3,02 2,22 0,78 3,37 1,76 1,61 2,85 2,23 0,61
Angka Dalam Rentang Nilai Max 100 73,83 57,83 16 75,5 55,5 19,4 84,33 44 40,33 71,17 55,83 15,33
Pembulatan 74 58 16 76 10 84 44 40 71 56 15
Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim , Nopember 2008 – Januari 2009
Page | 62
Berdasarkan Tabel X maka perbandingan keterlibatan laki-laki dengan perempuan pada setiap
SKPA Objek Studi dapat dilihat perbandingannya pada diagram III sampai dengan diagram VII
seperti di bawah ini

DIAGRAM III
PERBANDINGAN KETERLIBATAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN DALAM
KEBIJAKAN/PROGRAM/KEGIATAN
PADA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN

3,5

2,5

Skala 2
1,5

0,5

0
Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr
Akses Peran Kontrol Manfaat

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim , Nopember 2008 – Januari 2009

DIAGRAM IV
PERBANDINGAN KETERLIBATAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN DALAM
KEBIJAKAN/PROGRAM/KEGIATAN PADA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN

4
3,5
3
2,5
2
Skala
1,5
1
0,5
0
Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr
Akses Peran Kontrol Manfaat

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim , Nopember 2008 – Januari 2009

63 | P a g e
DIAGRAM V
PERBANDINGAN KETERLIBATAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN
DALAM KEBIJAKAN/PROGRAM/KEGIATAN
DINAS PERTANIAN DAN TANAMAN PANGAN

4,5
4
3,5
3
2,5
Skala 2
1,5
1
0,5
0
Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr
Akses Peran Kontrol Manfaat

Sumber : Data Lapangan yang telah diolah Tim Studi Nopember 2008 – Januari 2009

DIAGRAM VI
KETERLIBATAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN DALAM KEBIJAKAN/PROGRAM/KEGIATAN
BADAN KETAHANAN PANGAN DAN PENYULUHAN

4,5
4
3,5
3
2,5
Skala 2
1,5
1
0,5
0

Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr

Akses Peran Kontrol Manfaat

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim , Nopember 2008 – Januari 2009

64 | P a g e
DIAGRAM VII
PERBANDINGAN KETERLIBATAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN
DALAM KEBIJAKAN/PROGRAM/KEGIATAN BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN (BPTP)

3,5
3
2,5
2
Skala
1,5
1
0,5
0
Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr
Akses Peran Kontrol Manfaat

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim , Nopember 2008 – Januari 2009

Secara keseluruhan dalam kebijakan/program di 5 (lima) objek studi analisis belum


ditemukan akses, peran, kontrol dan manfaat secara partisipatif antara laki-laki dengan
perempuan. Laki-laki mendominasi penyusunan kebijakan/program sampai kepada penerima
manfaat. Secara keseluruhan “aspek kontrol” laki-laki berada pada posisi paling tinggi di antara
aspek lainnya. Implikasi terhadap isu gender dalam program adalah meskipun perempuan secara
kuantitatif lebih besar aksesnya dalam penyusunan program belum tentu perempuan sebagai
penerima manfaat yang berimbang dengan laki-laki. Kondisi inilah yang disebut diskriminasi yang
tersistem dan menjadi isu sentral yang harus dieleminir dalam program PUG. Keterlibatan yang
timpang terkait sektor pertanian pada 5 (lima) objek studi dapat dilihat pada diagram VIII di bawah
ini :

65 | P a g e
DIAGRAM VIII
PERBANDINGAN TINGKAT KETERLIBATAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN DALAM
KESELURUHAN PROGRAM/KEBIJAKAN PADA 5 (LIMA) SKPA TERKAIT PERTANIAN
4

3,5

2,5
Skala
2

1,5

0,5

0
Akses Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr
Akses Peran Kontrol Manfaat

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim, Nopember 2008 – Januari 2009

Setelah pelatihan PUG di setiap SKPA dengan jumlah partisipan akumulatif 120 orang
atau setiap SKPA terdiri dari 30 orang, tim analisis PUG menyaring kembali dari keseluruhan
jumlah tersebut menjadi 40 orang yang mewakili SKPA objek studi. Masing-masing SKPA terdiri
dari 10 orang1. Pemilihan partisipan yang akan diikutkan sebagai partisipan FGD dengan
memperhatikan kriteria sebagai berikut:

1. Memiliki pangkat golongan III ke atas atau minimal eselon IV/b;


2. Berkontribusi dalam pelatihan, dibuktikan keaktifan keterlibatan setiap sesi pelatihan dan
kehadiran dalam pelatihan yang dilihat dari daftar hadir peserta;
3. Berkeinginan, mampu dan memiliki kewenangan dari kepangkatan dan posisi di SKPA-nya
untuk melakukan perubahan. Menerapkan PUG dalam kebijakan/program serta
menganggarkannya dalam bentuk ARG, baik dalam Rencana Kerja maupun RPJMD di SKPA;
4. Mampu mendorong dan memiliki dukungan politik di SKPA-nya untuk membentuk Kelompok
Kerja PUG dan Gender Focal point.

Melalui teknik FGD, 40 partisipan dari 5 (lima) SKPA yang terlibat, dikuatkan kembali
pemahamaan tentang PUG dan ARG. Terjadi peningkatan pemahaman pada ranah kognitif,

1 Jumlah peserta FGD sebanyak 40 orang dengan perincian, Diskeswannak, Dishutbun, Dispertan, masing-masing 10
orang. Partisipan BKPP dan BPTP digabung masing-masing berjumlah 5 orang. Alasan penggabungan karena
jumlah pegawai relatif sedikit dibandingkan dengan SKPA yang lain.

66 | P a g e
afektif dan psikomotorik dalam memahami Gender dan PUG. Pada FGD selain dipetakan isu PUG
dan ARG juga dipetakan rencana tindak lanjut (RTL), kemampuan partisipan menerapkan PUG
dalam kebijakan dan program berdasarkan ARG. Perubahan Kawasan Belajar setelah FGD dapat
dilihat pada Tabel III di bawah ini sebagai berikut:
TABEL XI
TINGKAT PERUBAHAN KAWASAN BELAJAR PARTISIPAN SECARA KOGNITIF, AFEKTIF PADA 5
(LIMA) OBJEK STUDI DALAM MEMAHAMI GENDER DAN PUG

Pemahaman Peserta, Penerapan, dan Tindak Lanjut PUG, ARG Dalam Semua
Program SKPA Setelah FGD

No Indikator Kawasan Belajar Skor


1 Pemahaman Individual 75
2 Penerapan Dalam Program Kebijakan 62
Tindak Lanjut Rencana Kegiatan tentang implementasi
3 80
PUG, ARG, Pokja PUG dan Gender Focal Point
Sumber: data yang diolah Tim, FGD, 6-7 Maret 2009

Secara statistik perubahan kawasan belajar partisipan setelah FGD terjadi peningkatan
dan penguatan. Jika dibandingkan dengan kondisi sebelum dilakukan teknik FGD seperti Tabel I,
pemahaman kognitif dan afektif rata-rata partisipan paling tinggi mencapai skor 56 dan masuk ke
dalam kategori netral gender yaitu, kebijakan yang disusun/direncanakan tidak memihak pada
salah satu jenis kelamin. Penyusunan kebijakan/program yang tidak memperhitungkan kondisi dan
kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dengan perempuan cenderung melahirkan ketidakadilan
pada salah satu jenis kelamin. Oleh karena itu, kebijakan netral gender harus diubah dengan PUG
sehingga kebijakan tersebut menjadi “responsif gender”. Kebijakan/program responsif gender
yaitu kebijakan/program pembangunan yang sudah memperhatikan berbagai pertimbangan untuk
terwujudnya kesetaraan dan keadilan, pada berbagai aspek kehidupan antara laki-laki dan
perempuan.
Setelah FGD pemahaman tersebut mencapai skor 75 dan berada pada tingkat
pemahaman “Sensitif Gender”. Sensitif gender yaitu kemampuan dan kepekaan seseorang
melihat, menilai hasil pembangunan serta aspek kehidupan lainnya dari perspektif gender, yang
disesuaikan dengan kepentingan berbeda antara laki-laki dengan perempuan. Ranah afektif dan
psikomotorik pada penerapan program dan rencana tindak lanjut mencapai angka 62 dan 80.
Secara keseluruhan tingkat pemahaman peserta, dukungan politik untuk melibatkan
antara laki-laki dengan perempuan dalam kebijakan program dari akses, peran, kontrol dan

67 | P a g e
manfaat secara partisipatif di lingkup SKPA masing-masing dan rencana tindak lanjut dapat dilihat
Diagram IX sebagai berikut:
DIAGRAM IX
TINGAKAT PEMAHAMAN PESERTA, PENERAPAN, DAN TINDAK LANJUT PUG
5 (LIMA) SKPA OBJEK STUDI PASCA FGD

Rencana
80
Tindak Lanjut

P 62
Penerapan
U
G

Pemahaman 75

0 20 40 60 80 100

Sumber: data yang diolah tim dalam FGD, Maret 2009.

Berdasarkan Tabel XI dan Diagram IX yang diperoleh dalam FGD, secara keseluruhan
pelatihan PUG yang dilakukan oleh PSG Unsyiah menunjukkan progres pada level kognitif, afektif,
psikomotorik. Sekalipun demikian advokasi PUG dan ARG di lingkup SKPA terkait sektor pertanian
harus didukung dengan data terpilah dan informasi yang tersistem. Hal lainnya sangat diperlukan
penggalangan dukungan politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) sampai pada kultural, sosial
kemasyarakatan dan agama. Dengan demikian, pelembagaan PUG menjadi suatu hal yang
diterima di Provinsi Aceh.

3. IDENTIFIKASI SDM DAN DUKUNGAN POLITIK SETIAP SKPA DALAM


MENGIMPLEMENTASIKAN PUG

Dalam studi ini, terdapat 2 (dua) variabel penting untuk mengetahui sejauhmana
kesenjangan SDM antara laki-laki dengan perempuan serta bagaimana dukungan politik setiap
SKPA ketika mengimplementasikan PUG terkait sektor pertanian. Variable tersebut adalah
pertama, perbandingan jumlah PNS laki-laki dengan perempuan di setiap SKPA. Jumlah PNS
tersebut dianalisis lebih lanjut dengan ketersediaan SDM dan perbandingan jumlah

68 | P a g e
pangkat/golongan dan eselon antara PNS Laki-laki dengan perempuan. Ke-dua, frekuensi
keterlibatan peran PNS Laki-laki dan perempuan di setiap SKPA mengikuti pelatihan-pelatihan
peningkatan karir, kursus-kursus singkat atau pelatihan sejenisnya, yang sangat berpengaruh
terhadap akses dan kontrol sebagai pengambil kebijakan yang memiliki kewenangan dalam
perencanaan/pembuatan kebijakan/program/kegiatan sampai melakukan monitoring dan evaluasi.

Ke-dua variabeltersebut di atas, merupakan benang merah masalah dalam kajian ini dan
sangat krusial harus diperhatikan serta dieliminir ketika mengimplementasikan PUG. Berdasarkan
identifikasi jumlah SDM PNS laki-laki dan perempuan di setiap SKPA terkait sektor pertanian di
Provinsi Aceh akan diketahui siapa yang paling berperan sebagai pengambil manfaat baik sebagai
PNS di setiap SKPA, maupun penerima manfaat akhir yaitu, masyarakat petani itu sendiri.
Selengkapnya dijabarkan lebih lanjut seperti di bawah ini :
a. Peran dan manfaat dari program pembangunan dapat diukur berdasarkan perbandingan
jumlah pegawai laki-laki dan perempuan di setiap SKPA.

TABEL XII
PERBANDINGAN JUMLAH PEGAWAI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
BERDASARKAN GOLONGAN PADA SELURUH SKPA
Gol. I Gol.II Gol.III Gol.IV
No Nama SKPA
LK PR LK PR LK PR LK PR
1 BPTP 7 1 25 9 38 14 5 2
2 BKPP 3 - 10 3 35 12 11 3
3 Dispertan 4 - 19 12 58 59 11 2
4 Diskeswanak 3 - 30 21 66 37 25 6
5 Dishutbun 7 - 93 41 174 87 18 2
Jumlah 24 1 177 86 371 209 70 15
[

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim, Nopember 2008 – Januari 2009

Berdasarkan Tabel XII diketahui, jumlah keseluruhan pegawai di setiap SKPA dari segi
akses lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan. Pada Golongan I, jumlah keseluruhan
pegawai laki-laki 24 orang berbanding dengan 1 (satu) orang pegawai perempuan. Hal yang
sama juga terdapat pada Golongan II dimana jumlah pegawai laki-laki 177 orang, sedangkan
pegawai perempuan 86 orang. Pada Golongan III, pegawai laki-laki berjumlah 371 orang
sedangkan pegawai perempuan berjumlah 209 orang. Golongan IV jumlah pegawai laki-laki
70 orang dan pegawai perempuan berjumlah 15 orang. Secara keseluruhan, peran pegawai

69 | P a g e
perempuan dalam penentuan kebijakan program dan kegiatan pembangunan terkait sektor
pertanian lebih kecil dibandingkan laki-laki.

b. Akses dan kontrol terhadap sumber daya terkait sektor pertanian.


Golongan kepangkatan, eselonisasi, frekuensi keterlibatan mengikuti pelatihan
peningkatan karier dan sejenisnya mempengaruhi akses dan kontrol sehingga berpengaruh
kepada siapa yang paling banyak mengambil manfaat dari setiap kebijakan/program/kegiatan .
Komponen ini merupakan advokasi dalam suatu SKPA untuk mendukung kebijakan politik
keberhasilan penerapan PUG dan ARG sehingga kebijakan/program terkait sektor pertanian
terlibat secara partisipatif antara laki-laki dengan perempuan.

Secara keseluruhan golongan kepangkatan, eselonisasi, dan frekuensi keterlibatan


mengikuti pelatihan, mengalami gender gap pada semua objek studi. Secara rinci dapat dilihat
pada Tabel XIII dan Tabel XIV serta Diagram X sampai dengan Diagram XXIII di bawah ini:
TABEL XIII
PERBANDINGAN JUMLAH PEGAWAI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
BERDASARKAN ESELON PADA SELURUH SKPA
Eselon II Eselon III Eselon IV
No Nama SKPA
Lk Pr Lk Pr Lk Pr
1 BPTP 1 - 3 - 7 5
2 BKPP 1 - 5 1 7 3
3 Dispertan 1 - 4 1 8 8
4 Diskeswanak 1 - 5 - 13 2
5 Dishutbun 1 - 16 5 6 -
Jumlah 5 0 33 7 41 18
Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim, Nopember 2008 – Januari 2009
TABEL XIV
PERBANDINGAN JUMLAH PELATIHAN
YANG DIIKUTI PEGAWAI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PADA SELURUH SKPA
Jumlah Pelatihan
No Nama SKPA Total Pelatihan
Lk Pr
1 BPTP 6 1 7
2 BKPP 15 3 18
3 Dispertan 21 16 37
4 Keswannak 43 11 54
5 Dishutbun 178 73 251

70 | P a g e
Jumlah Pelatihan 263 104 367
Persentase 71.7% 28.3% 100%
Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim, Nopember 2008 – Januari 2009

1. Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan


DIAGRAM X
PERBANDINGAN JUMLAH PEGAWAI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
BERDASARKAN GOLONGAN PADA DINKESWANNAK
66

37
30
25
21
6
3

Lk P Lk Pr Lk Pr Lk Pr
Gol.r I Gol. II Gol. III Gol. IV

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim , Nopember 2008 – Januari 2009

DIAGRAM XI
PERBANDINGAN JUMLAH PEGAWAI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
BERDASARKAN ESELONISASI PADA DINKESWANNAK

14

12
10

8
6

2
0
Lk Pr Lk Pr Lk Pr

Eselon II Eselon III Eselon IV

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim, Nopember 2008 – Januari 2009

71 | P a g e
2. Dinas Kehutanan dan Perkebunan
DIAGRAM XII
PERBANDINGAN JUMLAH PEGAWAI LAKI-LAKI DAN
PEREMPUAN BERDASARKAN GOLONGAN PADA DISHUTBUN

174

93 87

41
18
7 2

Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr
Gol .I Gol. II Gol. III Gol. IV

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim , Nopember 2008 – Januari 2009

DIAGRAM XIII
PERBANDINGAN JUMLAH PEGAWAI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
BERDASARKAN ESELONISASI PADA DISHUTBUN

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Lk Pr Lk Pr Lk Pr

Eselon II Eselon III Eselon IV

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim, Nopember 2008 – Januari 2009

72 | P a g e
3. Dinas Pertanian Tanaman Pangan
DIAGRAM XIV
PERBANDINGAN JUMLAH PEGAWAI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
BERDASARKAN GOLONGAN PADA DISPERTAN

58 59

19
12 11
4 2

Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr
Gol. I Gol.II Gol.III Gol.IV

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim, Nopember 2008 – Januari 2009

DIAGRAM XV
PERBANDINGAN JUMLAH PEGAWAI LAKI-LAKI DAN
PEREMPUAN BERDASARKAN ESELON PADA DISPERTAN

8
7
6
5
4
3
2
1
0
Lk Pr Lk Pr Lk Pr

Eselon II Eselon III Eselon IV

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim, Nopember 2008 – Januari 2009

73 | P a g e
4. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan

DIAGRAM XVI
PERBANDINGAN JUMLAH PEGAWAI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
BERDASARKAN GOLONGAN PADA BKPP

35

12 11
10

3 3 3

Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr

Gol. I Gol.II Gol.III Gol.IV

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim, Nopember 2008 – Januari 2009

DIAGRAM XVII
PERBANDINGAN JUMLAH PEGAWAI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
BERDASARKAN ESELONISASI PADA BKPP

7
6
5
4
3
2
1
0
Lk Pr Lk Pr Lk Pr

Eselon II Eselon III Eselon IV

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim, Nopember 2008 – Januari 2009

74 | P a g e
5. Balai Pengkajian dan Teknologi Pertanian (BPTP)
DIAGRAM XVIII
PERBANDINGAN JUMLAH PEGAWAI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
BERDASARKAN GOLONGAN PADA BPTP

38

25

14
9
7 5
1 2

Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr
Gol. I Gol.II Gol.III Gol.IV

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim, Nopember 2008 – Januari 2009

DIAGRAM XIX
PERBANDINGAN JUMLAH PEGAWAI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
BERDASARKAN ESELONISASI PADA BPTP

7
6
5
4
3
2
1
0
Lk Pr Lk Pr Lk Pr
Eselon II Eselon III Eselon IV

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim, Nopember 2008 – Januari 2009

75 | P a g e
DIAGRAM XX
PERBANDINGAN JUMLAH PEGAWAI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
BERDASARKAN GOLONGAN PADA SELURUH SKPA

371

209
177

86
70
24 15
1

Gol. I Gol.II Gol.III Gol.IV


Laki-laki Perempuan

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim, Nopember 2008 – Januari 2009

DIAGRAM XXI
PERBANDINGAN JUMLAH PEGAWAI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
BERDASARKAN ESELON PADA SELURUH SKPA

41
33

18

5 7

Eselon II Eselon III Eselon IV

Laki-laki Perempuan

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim, Nopember 2008 – Januari 2009

76 | P a g e
DIAGRAM XXII
PERBANDINGAN JUMLAH PELATIHAN YANG DIIKUTI
PEGAWAI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PADA SELURUH SKPA

178

73

43
15 21 16 11
6 1 3

BPTP BKPP DISPERTAN KESWANNAK DISHUTBUN


Laki-laki Perempuan

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim, Nopember 2008 – Januari 2009

DIAGRAM XXIII
PERBANDINGAN JUMLAH PELATIHAN YANG DIIKUTI
PEGAWAI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PADA SELURUH SKPA

Pr
28%

Lk
72%

Sumber: Data lapangan diolah oleh Tim, Nopember 2008 – Januari 2009

77 | P a g e
4. SUMBER DAYA PENDUKUNG DALAM MENGIPLEMENTASIKAN PENGANGGARAN
RESPONSIF GENDER

Studi analisis pada 5 (lima) objek studi terkait dengan isu anggaran yang responsif gender,
dirancang untuk mengungkapkan tiga hal penting. Pertama, bagaimana proses penyusunan
perencanaan dan penganggaran pada SKPA selama ini. Kedua, masalah yang dihadapi oleh
SKPA dalam mewujudkan ARG. Ketiga, pemahaman SKPA terhadap ARG. Ketiga isu tersebut
menjadi mainstream dalam setiap kegiatan studi analisis ini, mulai dari pelatihan, seminar,
simposium hingga focus group discussion.
Dengan demikian, studi ini belum mengkaji pada dokumen anggaran secara detil. Studi ini
hanya langkah awal untuk memetakan tingkat pemahaman penerapan perencanaan dan
penganggaran pada SKPA yang responsif gender. Hasil pemetaan tersebut sebagai berikut:
a. Perencanaan yang dilakukan pada masing-masing objek studi belum memperhatikan
prinsip perencanaan yang responsif gender. Selain itu, kondisi perencanaan belum
berdasarkan dukungan data terpilah secara baik, up to date dan valid.
b. Sosialisasi Permendagri No. 15 Tahun 2008 termasuk peraturan hukum sebelumnya yang
mengatur tentang PUG belum optimal diperoleh oleh partisipan. Akibatnya, pemahaman
tentang perencanaan dan ARG belum disadari menjadi bagian dari kewajiban setiap
SKPA untuk mengimplementasikan dalam setiap program dan kegiatan.
c. Tingkat pemahaman partisipan terhadap perencanaan dan ARG sangat rendah.
Akibatnya, setting program dan kegiatan selama ini belum memperhatikan kebutuhan dan
kepentingan yang berbeda, baik laki-laki maupun perempuan. Setelah melalui proses
FGD, partisipan kemudian menyadari program dan kegiatan yang telah dilakukan selama
ini memberikan ketidakadilan bagi salah satu jenis kelamin.
d. Peran BAPPEDA untuk mengoordinasikan penyusunan RPJMD, Renstra SKPA, dan
Rencana Kerja SKPA berperspektif gender belum optimal dilakukan. Dalam Permendagri
No. 15 Tahun 2008 peran BAPPEDA merupakan leading sector memperkuat setiap SKPA
dalam menyusun perencanaan dan ARG.

78 | P a g e
IV. KELEMAHAN DAN HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN STUDI

1. Isu gender dan PUG dianggap bukan hal penting sehingga ditemukan sikap pesimis dan
resistensi. Di sisi lain, gender diasumsikan domainnya perempuan. Gender identik dengan
jenis kelamin perempuan. Resistensi ditemukan di setiap SKPA ketika partisipan memaknai
konsep gender sebagai sebuah aliran yang mempertentangkan antara laki-laki dengan
perempuan. Gender dianggap mendobrak nilai-nilai dan tananan yang diyakini sudah
mengkristal baik dari faktor sosial budaya, ekonomi, maupun agama.

2. Data dan informasi dalam bentuk terpilah belum optimal di setiap SKPA, termasuk data
dokumentasi perencanaan dan penganganggaran yang sulit diperoleh tim assesment studi
analisis. Padahal data terpilah sangat diperlukan sebagai basis perencanaan, dan alat
advokasi yang efektif.

3. Adanya objek teliti yang belum memilki sarana dan prasarana secara maksimal dan layak
sehingga berpengaruh kepada tidak optimalnya kinerja dari sebuah SKPA.

4. Belum tersosialisasi dengan baik Inpres No. 9 Tahun 2000 dan Permendagri No. 15 Tahun
2008 yang mengatur perencanaan pembangunan di daerah berdasarkan PUG dan
implementasinya menjadi bagian tanggung jawab Kepala SKPA, berimplikasi respon dan
dukungan terhadap penyelenggaran training dan studi analisis ini kurang mendapatkan
apreasiasi. Akibatnya, peserta yang dikirim untuk mengikuti pelatihan belum memenuhi
kualifikasi dan kapasitas sebagai pengambil kebijakan. Bahkan ada SKPA yang mengirimkan
peserta dari pengawai honorer atau golongan I dan II yang tidak memiliki kewenangan
menyusun strategi pengintegrasian gender melalui perencanaan, pelaksanaan,
penganggaran, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan di daerah.

5. Pelatihan ini dilakukan pada waktu yang bersamaan dengan waktu berakhirnya tahun
anggaran 2008, sehingga pelatihan tidak berjalan efektif.

79 | P a g e
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Sebelum pelatihan PUG (pra FGD) tingkat pemahaman belajar secara kognitif dan afektif
partisipan paling rendah terdapat di Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Pemahaman
partisipan paling tinggi pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Setelah dilakukan pelatihan,
kawasan belajar partisipan paling tinggi pada Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan
(BKPP). Angka paling rendah dalam studi ini terdapat pada Dinas Kehutanan dan
Perkebunan. Progres perubahan kawasan belajar paling baik berada pada Badan Ketahanan
Pangan dan Penyuluhan (BKPP).

2. Secara keseluruhan dalam kebijakan/program di 5 (lima) SKPA belum ditemukan keterlibatan


partisipatif dalam peran, kontrol dan manfaat antara laki-laki dengan perempuan. Laki-laki
mendominasi penyusunan kebijakan/program sampai kepada penerima manfaat. Isu gender
dalam kebijakan/program meskipun secara kuantitatif perempuan lebih besar aksesnya ketika
menyusun program belum menjadi jaminan menerima manfaat yang berimbang dengan laki-
laki. Kondisi inilah yang disebut diskriminasi yang tersistem dan menjadi isu sentral yang harus
dieleminir dalam program PUG.

3. Setelah dilakukan teknik FGD kepada 40 partisipan dari 5 (lima) SKPA terjadi peningkatan
pemahaman pada ranah kognitif, afektif dan psikomotorik memahami Gender dan PUG.
Sebelum FGD, pemahaman partisipan berada pada ranah netral gender terhadap
kebijakan/program. Setelah FGD, terjadi perubahan kawasan belajar pemahaman partisipan
berada pada sensitif gender.

4. SDM dan dukungan politik di setiap SKPA dalam implementasi PUG, perencanaan dan ARG
masih terbatas. Rendahnya pemahaman tentang perencanaan dan ARG karena terbatasnya
pelatihan dan pengayaan ilmu baru bagi para staf terkait isu gender. Di samping itu, belum
adanya GFP dan Pokja PUG di setiap SKPA.

80 | P a g e
B. SARAN
1. Diperlukan sosialisasi peraturan terkait gender dan PUG disertai pelatihan lanjutan khusus
PUG dan ARG. Sehingga terjadi kesinambungan pemahaman dalam mengimplementasikan
PUG di setiap SKPA terkait sektor pertanian.

2. Harus tersedia dokumentasi terencana dan data terpilah untuk memudahkan penyusunan
program. Dengan data terpilah memudahkan pembuatan data gender statistik, sehingga
penyusunan kebijakan/program menjadi partisipatif antara laki-laki dengan perempuan.

3. Disarankan kepada setiap partisipan yang terpilih dan mengikuti FGD dapat mempengaruhi
kebijakan politik di SKPA masing-masing untuk membentuk kelompok kerja PUG dan GFP
sekaligus menjadi fasilitator, komunikator, mediator dan narasumber yang berhubungan
dengan isu sektor pertanian.

4. Diharapkan hasil studi analisis menjadi bahan referensi yang bermanfaat, dapat digunakan
sebagai tolok ukur atau indikator strategi affirmative action yang mempengaruhi dukungan
politik di lembaga utama terkait sektor pertanian (eksekutif, legislatif, yudikatif) dan kultural
sosial kemasyarakatan.

5. BAPPEDA Provinsi Aceh harus menjadi lead sector dalam upaya penerapan PUG dan ARG
pada seluruh SKPA di Provinsi Aceh. Hal ini cukup penting sehingga seluruh SKPA dapat
menerapkannya sesuai dengan tupoksi masing-masing.

6. Studi ini meskipun sudah melakukan analisis tetapi masih bersifat assesment. Oleh karena itu
perlu studi dan pelatihan lebih mendalam dengan jangka waktu yang lebih panjang. Sehingga
berimplikasi kepada proses penyusunan anggaran yang sudah menggunakan prinisp ARG.

7. Diharapkan hasil studi dapat menjadi panduan memajukan penguatan SDM tentang gender,
PUG dan ARG pada setiap SKPA terkait sektor pertanian.

81 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Aris Arif Mundayat, dkk, Studi Dampak Advokasi Anggaran yang Berkeadilan
Gender, (2006), Women Research Institute, Jakarta.

Departemen Pertanian, (2007), Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan


Pertanian, Jakarta.

Kamla Bhasin, (2003). Understanding Gender (Memahami Gender). Teplok Press,


Cetakan 3, Jakarta.

Kementerian Negera Pemberdayaan Perempuan, UNFPA, BKKBN, (2005) Bahan


Pembelajaran Pengarustamaan Gender. Cet 4. Jakarta.

______________, (2006) Modul Pelatihan Kesetaraan dan Keadilan Gender bagi


Masyarakat Organisasi Keagamaan, Jakarta.

_______________, (2008), Modul Fasilitasi Pelatihan Pengarusutamaan gender


Panduan bagi Fasilitator ketegori Beginner, Jakarta.

_______________, (2008), Modul Fasilitasi Pelatihan Pengarusutamaan gender


Panduan bagi Fasilitator ketegori Medium, Jakarta.

_______________, (2008), Modul Fasilitasi Pelatihan Pengarusutamaan gender


Panduan bagi Fasilitator ketegori Advance, Jakarta.

Sri Mastuti dkk, kerjasama dengan CIDA, Ciba, TAF (2008), Audit Gender Terhadap
kebijakan Anggaran di Indonesia, CiBa, Jakarta.

B. PERATURAN PERUNDANGAN

Republik Indonesia, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 Tentang


Pengarusutamaan Gender (PUG)

Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 132 Tahun
2003 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengaurusutamaan Gender
Dalam Pembangunan di Daerah.

82 | P a g e
Republik Indonesia, Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah.

C. MAKALAH/JURNAL/LAPORAN

Leya Cattleya dalam Jurnal Perempuan edisi 50 (2006), Pelembagaan Akuntabilitas


Pengarusutamaan Gender; Bukan Sesuatu yang Mustahil, YJP, Jakarta.

Soemartoyo, S.R (2002), Pemberdayaan Perempuan di Indonesia dan Peluang


Untuk Pemberdayaan Ekonomi Perempuan. Disampaikan oleh Menteri
Pemberdayaan Perempuan pada The ACT Seminar and Summit. Japan-
Indonesia: Dinamic Relationship for Regional Development.

Vitayala, A., (1995). Posisi dan Peran Wanita Dalam Era Globalisasi. Makalah
disampaikan pada seminar Ilmiah Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.

Laporan Kemajuan BRR ACEH-Nias Tahun 2006

Report and Recommendation of the President ADB tentang Pengurangan


Kemiskinan dan Strategi Sektor dan Rencana Aksi Gender. 2008

Lapsoran WHO (2002), Krug dkk.

D. SUMBER INTERNET

www.fp.elcom.umy.ac.id, Pertanian dan Pembangunan Pertanian di Indonesia. Diakses


pada tanggal, 23 Nopember 2008.

83 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai