Anda di halaman 1dari 74

Edisi 2016 Penulis:

Sri Mastuti

Mengawal Perkembangan

Democratic Governance
Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat

Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia


bekerja sama dengan
Supporting Islamic Leadership in Indonesia (SILE)

Seri Publikasi
Kemitraan
Pegangan Para Praktisi Kemitraan
Loc a l Le a d e r s h i p f o r D e v e l o p me n t
Universitas–Masyarakat
Universitas-Masyarakat 1
Mengawal Perkembangan

Democratic Governance
Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat

DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM


KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
DIDUKUNG
SUPPORTING ISLAMIC LEADERSHIP IN INDONESIA (SILE)

iii
Mengawal Perkembangan Democratic Governance
Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat

Penulis: Sri Mastuti

ISBN: 978-979-8442-55-1

Penerbit:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia
Jl. Lapangan Banteng No. 4-5, Jakarta Pusat
Email: penelitian5@yahoo.com

Cetakan 1: Juni 2016

Publikasi ini dapat diunduh dari laman Pusat Data Penelitian,


Publikasi Ilmiah dan Pengabdian Masyarakat, Kementerian Agama:
http://litapdimas.kemenag.go.id/home

Buku ini dapat diperbanyak sebagian atau seluruhnya untuk


kepentingan pendidikan dan non komersial lainnya dengan tetap
mencantumkan nama penulis dan penerbit awal.

iv Mengawal Perkembangan Democratic Governance


Kata Pengantar

Kementerian Agama Republik Indonesia

Buku Mengawal Perkembangan Democratic Governance Pegangan


Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat berhasil diterbitkan.
Buku ini merupakan hasil kerjasama antara Kementerian Agama
Republik Indonesia dan Proyek SILE/LLD.

Kami menyambut baik buku ini untuk melengkapi Seri Publikasi


Kemitraan Universitas-Masyarakat yang telah diterbitkan
sebelumnya. Buku ini bermanfaat bagi perguruan tinggi, pemerintah
daerah, organisasi masyarakat sipil maupun masyarakat luas
yang dapat digunakan dalam memperkenalkan tentang tata kelola
demokratis.

Penerapan prinsip-prinsip tata kelola demokratis pada masyarakat


Indonesia yang sangat beragam merupakan salah satu solusi untuk
membangun toleransi, kedamaian, dan pemerintahan yang efektif,
dan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Perbedaan
tidak lagi dipandang secara negatif melainkan dianggap sebagai aset
atau potensi untuk mengoptimalkan upaya mewujudkan cita-cita para
pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Oleh karenanya, sekali lagi kami menyambut baik kehadiran buku


Mengawal Perkembangan Democratic Governance: Pegangan Para
Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat ini. Secara khusus, kami
ingin mengucapkan terimakasih kepada Pemerintah Kanada yang

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat v


telah membantu Kementerian Agama dalam mengenalkan pendekatan
Kemitraan Universitas-Masyarakat (KUM) yang merupakan model
baru dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi melalui
Proyek Supporting Islamic Leadership in Indonesia /Local Leadership
for Development bekerjasama dengan Kementerian Agama Republik
Indonesia, dan universitas mitra: UIN Alauddin Makassar dan UIN
Sunan Ampel Surabaya.

Kepada para pembaca, selamat menikmati karya ini. Dengan niat


tulus, kami persembahkan buku ini untuk masyarakat Indonesia.

Direktur Pendidikan Tinggi

Prof. Dr. H. Amsal Bakhtiar, MA

vi Mengawal Perkembangan Democratic Governance


Kata Pengantar

Penulis
Di era kecenderungan global, administrasi pemerintahan mengarah
ke collaborative governance, prinsip-prinsip democratic governance
menjadi kewajiban bagi setiap pemangku kepentingan untuk
diimplementasikan. Dalam collaborative governance pemerintah,
dunia usaha dan masyarakat sipil saling bekerjasama dan
berkolaborasi untuk mencapai outcome yang menguntungkan
semua pihak. Namun sayangnya democratic governance selama
ini kalah populer dibandingkan dengan good governance. Banyak
pihak yang baru mendengarkan atau ada juga yang menyamakan
makna democratic governance dan good governance. Padahal meski
keduanya saling melengkapi tetapi terdapat perbedaan yang cukup
signifikan.

Buku ini dibuat agar dapat menjadi pegangan bagi para praktisi.
Khususnya diperuntukkan bagi mereka yang aktif terlibat dalam
pemberdayaan masyarakat maupun kemitraan universitas-
masyarakat (KUM). KUM merupakan salah satu bentuk kemitraan
yang dibangun dalam kerangka pelaksanaan fungsi Tri Dharma
perguruan tinggi (pendidikan, penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat) secara terintegrasi. Kemitraan ini dibangun atas dasar
saling percaya dan saling menguntungkan. Kesetaraan, transparansi
dan akuntabilitas merupakan prinsip-prinsip yang dikedepankan.
Kesepakatan saling bekerjasama ini kemudian diperkuat oleh
perjanjian formal yang saling menguntungkan bagi para pihak yang
bermitra. Di sini para pihak yang bersepakat bekerjasama tetap

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat vii


memiliki independensi pada organisasinya masing-masing. Namun
mereka memiliki tim khusus atau kelompok kerja yang menjadi
wahana untuk mengimplementasikan hal-hal yang telah dituangkan
dalam perjanjian formal. Dengan demikian para pihak tersebut
dapat menggunakannya dalam bekerja bersama dan mendorong
tercapainya tata kelola demokratis di masyarakat.

Buku ini dapat digunakan para praktisi sebagai pegangan baik bagi
rekan-rekan di perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil maupun
organisasi rakyat. Di dalamnya diuraikan tentang konsep, prinsip-
prinsip dan tujuan dari tata kelola demokratis. Selain itu juga contoh-
contoh praktis bagaimana democratic governance dipromosikan dan
kemudian diterapkan oleh masyarakat di tingkat komunitas. Contoh-
contoh tersebut diperoleh berdasarkan hasil pembelajaran yang
didapat dari program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh
UIN Alauddin Makassar dan UIN Sunan Ampel Surabaya bersama
para mitranya dari OMS dan masyarakat.

Posisi buku ini merupakan pelengkap dari Seri Publikasi Kemitraan


Universitas-Masyarakat yang telah mulai diterbitkan oleh
Kementerian Agama beserta kedua mitra proyek, yaitu UINAM dan
UINSA sejak tahun 2014. Diantaranya Perencanaan Strategis untuk
Kemitraan Universitas-Masyarakat, Panduan Pelatihan Peningkatan
Kapasitas untuk Pemimpin Lokal dalam Mengembangkan Forum
Publik yang Efektif, dan Dakwah Inklusif: Pendidikan Mubalig untuk
Tata Kelola Demokratis. Ini merupakan buku yang didedikasikan
untuk mengisi kekosongan referensi dalam bahasa Indonesia tentang
democratic governance.

viii Mengawal Perkembangan Democratic Governance


Pada kesempatan ini penulis secara khusus ingin mengucapkan
terimakasih kepada Kementerian Agama khususnya Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam (DIKTIS), UIN Alauddin dan UIN Sunan
Ampel, tim advisor SILE dan rekan-rekan OMS yang terlibat dalam
KUM. Kemudian terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof.
Dr. H. Amsal Bakhtiar MA yang telah bersedia memberi pengantar
buku ini. Terimakasih juga kepada Ibu Lina Kalfayan, Ph.D., yang
telah mendukung penulisan dan penerbitan buku ini. Terimakasih
dan apresiasi penulis sampaikan kepada Bapak Tim Babcock, Ph.D.,
sebagai Project Director dan Knowledge Management Adivisor SILE
yang telah dengan teliti membaca dan memberikan masukan terhadap
tulisan ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Siti
Ruhaini Dzuhayatin, MA, yang telah menjadi rekan diskusi penulis
pada awal membangun kerangka pikir tentang posisi democratic
governance dalam lingkup KUM.

Jakarta, Juni 2016


Penulis

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat ix


Daftar Isi

Kata Pengantar Kementerian Agama Republik Indonesia v


Kata Pengantar Penulis vii
Daftar Isi x
Daftar Singkatan xii
Daftar Gambar xiv
Daftar Box xiv
Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang Pentingnya Democratic Governance 2
1.2 Tujuan Democratic Governance 4
BAB
1 1.3 Penanggungjawab Pelaksanaan Democratic
5
Governance
1.4 Waktu dan Lokus Pelaksanaan Democratic
8
Governance
Konsep dan Indikator Democratic Governance 9
2.1 Clean Government, Good Governance, dan
10
Democratic Governance
BAB
2 2.2 Prinsip–Prinsip Democratic Governance 15
2.3 Indikator Democratic Governance 21
2.4 Isu-Isu Democratic Governance 23
Kemitraan Universitas –Masyarakat Mendorong
BAB 29
Democratic Governance
3
3.1 Pendekatan Pelaksanaan Democratic Governance 30

x Mengawal Perkembangan Democratic Governance


3.2 Membangun Kemitraan Antar Masyarakat Sipil 31
3.3 Bekerja Bersama Mengidentifikasikan Isu-Isu
33
Democratic Governance
3.4 Membentuk dan Memperkuat Kelompok Inti di
34
Masyarakat
3.5 Memetakan Kekuatan dan Aset Masyarakat serta
35
Menyepakati Rencana Aksi
3.6 Memobilisasi Kekuatan dan Aset untuk Merespon Isu
37
Democratic Governance
Pengalaman Praktis Pemberdayaan Masyarakat melalui
40
KUM untuk Mendorong Democratic Governance
4.1 Menyebarkan Perdamaian Melalui Peace Education:
41
Pengalaman Komunitas Lette, Mariso, Makassar
4.2 Mempraktikkan Perencanaan dan Penganggaran
Partisipatif: Pengalaman Pengerasan Jalan Dusun 44
Borongbulo, Paranglompoa, Bontolempangan, Gowa
BAB
4 4.3 Civic Report Card untuk Perbaikan Kualitas Layanan
Kesehatan: Pengalaman Masyarakat Cambayya, Ujung 47
Tanah, Makassar
4.4 Pemulihan Sosial Pascabencana: Pengalaman
51
Masyarakat Gedang, Porong, Sidoardjo
4.5 Mempraktikkan Democratic Governance Melalui
Koperasi Simpan Pinjam Majelis Ta’lim Desa Senganten, 53
Gondang, Bojonegoro
Daftar Pustaka 56

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat xi


Daftar Singkatan

ABCD Asset-based Community-driven Development


AI Appreciative Inquiry
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
BPD Badan Perwakilan Desa
BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
CBR Community Based Research
DPD Dewan Perwakilan Daerah
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPR RI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
DUHAM Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
FITRA Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
FLA Forum Lintas Agama
FPMP Forum Pemerhati Masalah Perempuan
FPPM Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat
HAM Hak Asasi Manusia
IMF International Monetary Fund
Komnas Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan Perempuan
KOPEL Komite Pemantau Legislatif
LAPAR Lembaga Pendidikan dan Advokasi Anak Rakyat
LGBT Lesbian Gay Biseksual dan Transgender
LLD Local Leadership for Development
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

xii Mengawal Perkembangan Democratic Governance


Musrenbang Musyawarah Perencanaan Pembangunan
MPM Majelis Pemberdayaan Masyarakat Muhammadiyah
Muhammadiyah
Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik
MPR RI
Indonesia
NCCE National Center for Civic Education (UINSA)
NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia
OMS Organisasi Masyarakat Sipil
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
Perda Peraturan Daerah
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat
Pustu Pusat Kesehatan Masyarakat Pembantu
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
RAPBD
Daerah
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
RAPBN
Nasional
NSijar Simpul Jaringan
SILE Supporting Islamic Leadership in Indonesia
SL Service Learning
UINAM Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
UINSA Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
UNDP United Nations Development Program
UUD Undang-Undang Dasar
WB World Bank

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat xiii


Daftar Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Relasi Clean Government,


20
Good Governance, dan Democratic Governance
Gambar 3.1 Bagan Alur Proses KUM Mendorong Democratic
39
Governance
Gambar 4.1 Dua liputan berita kegiatan di Kelurahan Lette 42
Gambar 4.2 Komunikasi warga Lette terkait permasalahan yang
43
terjadi di wilayahnya
Gambar 4.3 Proses pengerjaan pengerasan jalan 46
Gambar 4.4 Jalan yang sudah mengalami pengerasan 46
Gambar 4.5 Kegiatan Pelayanan Kesehatan di Puskesmas
Pattingalloang yang Kualitas Pelayanan Publiknya 49
disurvey oleh Masyarakat Kelurahan Cambayya
Gambar 4.6 Simulasi Pengisian Kuesioner oleh Peserta, tanggal
50
9 Agustus 2015
Gambar 4.7 Latihan Pengumpulan oleh Peserta (Aplikasi Materi)
50
tanggal 9 Agustus 2015
Gambar 4.8 Masyarakat desa Gedang sedang membicarakan
52
masalah yang dihadapi
Gambar 4.9 Pertemuan informal dalam forum pengajian warga
54
Desa Senganten, Bojonegoro
Gambar 4.10 Audiensi warga dengan Kepala Desa Senganten 55

Daftar Box

Box 1 Karakteristik Good Governance Menurut UNDP 13


Box 2 Karakteristik Good Governance Menurut Ambar
14
Teguh Sulistyani
Box 3 Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi
16
Manusia Dunia
Box 4 Dampak Konflik Terhadap Organisasi 25

xiv Mengawal Perkembangan Democratic Governance


Bab I
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang Pentingnya Democratic
Governance

Demokrasi saat ini menjadi sebuah standar dalam legitimasi fundamental


dan politik dari keberadaan sebuah negara. Demokrasi berasal dari bahasa
Yunani kuno, yaitu demos yang berarti “rakyat” dan kratos yang berarti
“kekuasaan”. Demokrasi berarti kekuasaan rakyat atau dengan kata lain
merupakan sebuah bentuk pemerintahan dimana rakyatlah yang menjadi
pemegang kekuasaa tertinggi.1 Demokrasi memiliki beberapa karakteristik
utama2, yaitu:

1. Pemerintah yang berkuasa merupakan hasil pemilihan dari semua warga


negara dewasa yang dilakukan secara bebas dan jujur.
2. Dalam demokrasi keputusan diambil oleh mayoritas dan harus diterima
oleh semua, tetapi pandangan atau pun pendapat dari minoritas tetap
dihargai dan dilindungi.
3. Pemerintah baik pusat, provinsi, kabupaten/kota maupun desa harus
menjaga jalannya demokrasi, harus dapat diakses dan responsif kepada
rakyat.
4. Fungsi utama dari demokrasi adalah untuk melindungi Hak Asasi
Manuasia (HAM). Hak kebebasan untuk berbicara dan beragama; hak
untuk memperoleh kesetaraan perlindungan di bawah hukum; dan
kesempatan untuk berorganisasi dan berpartisipasi secara penuh dalam
kehidupan politik, ekonomi, dan budaya masyarakat.
5. Demokrasi melaksanakan pemilihan umum (Pemilu) bebas dan adil.
Pemilu dilaksanakan secara berkala. Setiap warga negara yang usianya
telah memenuhi berhak untuk memilih.
6. Warga negara dalam demokrasi tidak saja memiliki hak tetapi juga
kewajiban. Salah satunya berkewajiban berpartisipasi dalam sistem
politik. Hal ini sebagai konsekuensi dari haknya untuk memperoleh
perlindungan dan kemerdekaan dari negara.

1
Held, David, Models of Democracy (second edition), Stanford, California: Stanford University
Press, 1996, hal. 1
2
Okiror, George, Concepts and Principles of Democratic Governance and Accountability,
Kampala, Uganda: Konrad-Adenauer Stiftung, 2011, hal. 3

2 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


7. Masyarakat yang demokratis memiliki komitmen terhadap nilai-nilai
toleransi, bekerjasama dan kompromi dalam arti yang positif.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara demokrasi


dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia. NKRI menjadi negara
demokrasi dengan penduduk terbesar ketiga di dunia setelah India dan
Amerika Serikat.3 Negara yang memproklamirkan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945 ini sejak berdiri telah menyatakan dirinya sebagai
negara demokrasi. Hal ini terefleksi dari tujuan bangsa Indonesia mendirikan
NKRI sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-
empat. Tujuan NKRI ada empat yaitu: Pertama, Melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, memajukan
kesejahetaraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat,
ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Tata kelola demokrasi berupaya memastikan bagaimana prinsip dan cita-cita


dari negara demokrasi dapat diterapkan dan dicapai. Tata kelola demokratis
merupakan konsep yang melekat pada seluruh pihak, mulai dari individu
warga negara, organisasi, pemerintah, dunia usaha, media, maupun pihak
donor. Democratic governance menjadi tanggung jawab semua pihak dan
sangat tepat digunakan oleh para praktisi pemberdayaan masyarakat dan
kemitraan universitas dan masyarakat. Hal ini didasarkan pada semangat
prinsip-prinsip democratic governance hanya dapat dilaksanakan dengan
partisipasi semua pihak. Dengan demikian cita-cita negara demokratis
Republik Indonesia dapat tercapai. Jargon bahwa Indonesia sebagai negara
demokratis terbesar ketiga di dunia memang terefleksi pada kehidupan
sehari-hari. Nilai-nilai demokratis diimplementasikan dengan baik.

3
Tempo Interaktif, “Indonesia Negara Demokrasi Terbesar Ketiga di Dunia”, Jakarta, 2
Desember 2011

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 3


1.2. Tujuan Democratic Governance

Democratic governance secara sederhana dapat diartikan sebagai proses


atau cara untuk mencapai konsensus. Lebih lanjut tentang konsep atau
definisi democratic governance dapat dilihat pada point 2.1. di bab II.
Setidaknya terdapat beberapa tujuan dari penerapan nilai-nilai tata kelola
demokratis, diantaranya seperti yang tertera di bawah ini:

1. Menciptakan kehidupan bersama yang damai dan harmonis.


Ketertiban dunia dan perdamaian abadi yang menjadi cita-cita NKRI
tidak akan tercapai tanpa peran serta seluruh elemen warga negara.
Oleh karenanya nilai-nilai tata kelola demokratis harus diterapkan
oleh semua warga negara. Hal ini penting dalam rangka mewujudkan
kehidupan yang damai dan harmonis.

2. Mewujudkan masyarakat yang setara dan inklusif.


Salah satu prinsip dari demokrasi adalah non diskriminasi. Oleh
karenanya, setiap warga negara diberikan kedudukan yang setara di
dalam hukum dan pemerintahan. Setiap warga negara memiliki hak
yang sama dalam menjalankan keyakinannya masing-masing. Mereka
juga memiliki hak tanpa kecuali untuk memperoleh pendidikan dan
membela negara.

3. Menjadikan warga negara aktif dalam pembangunan.


Dalam negara demokrasi keberadaan warga negara tidak saja terkait
dengan hak. Warga negara juga bertanggung jawab untuk mewujudkan
cita-cita negara.

4. Mengurangi kesenjangan sosial.


Dengan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan
sosial maka kesenjangan sosial dapat diatasi. Pada akhirnya akan
tercapainya tujuan negara.

4 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


1.3. Penanggungjawab Pelaksanaan Democratic
Governance

Democratic governance merupakan tanggung jawab dari semua institusi


maupun aktor yang ada dalam sebuah negara. Mereka ada dalam
pemerintahan seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif, maupun non
pemerintahan seperti partai politik, masyarakat sipil dan warga negara.4
Selain itu untuk institusi dan aktor non pemerintahan perlu ditambahkan
lembaga negara independen, dunia usaha, dan juga lembaga donor. Institusi
maupun aktor di eksekutif meliputi pemerintah pusat, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota, pemerintah kecamatan, dan pemerintah desa
maupun kelurahan. Di sini tentu di dalamnya termasuk para pegawai
negeri atau pun birokrat maupun kepala negara dan kepala daerah terpilih.
Institusi legislatif mencakup MPR RI, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota, dan BPD di tingkat desa. Institusi yudikatif meliputi para
penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan
sebagainya.

Partai politik sebagai institusi non pemerintah yang menjadi kawah


candradimuka bagi para politisi juga wajib melaksanakan democratic
governance; demikian juga dengan KPK, Ombudsman dan lembaga-lembaga
sejenis lainnya, serta perusahaan dan perbankan yang masuk dalam kategori
dunia usaha. Masyarakat sipil seperti organisasi masyarakat sipil (OMS),
civitas akademika dari Perguruan Tinggi, media massa, dan komunitas
sebagai warga negara juga bertanggung jawab untuk melaksanakan
prinsip-prinsip dan nilai-nilai democratic governance. Peran perguruan
tinggi keagamaan dan organisasi keagamaan dalam menyebarluaskan
prinsip-prinsip dan nilai-nilai democratic governance sangatlah penting.
Tantangannya perlu dicari formula yang tepat dalam mendorong para
pemangku peran agar memiliki kesadaran dan melakukan tindakan aksi untuk
penerapannya. Di sini para pemangku peran harus melihat aset dan potensi
yang dimilikinya. Misalnya saja organisasi masyarakat berbasis keagamaan

4
Op.cit, hal. 7-9.

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 5


yang memiliki sejumlah majelis ta’lim dan memiliki banyak mubalig. Di sini
mereka bisa menggunakannya sebagai wahana untuk melakukan civic
education tentang democratic governance melalui dakwah inklusif. Dakwah
yang dilakukan tentu tidak saja melalui ceramah atau dakwah lisan tetapi
juga harus didukung oleh dakwah bil haq atau dakwah dengan tindakan,
maupun dakwah melalui pemikiran dan tulisan. Pada prinsipnya prinsip dan
nilai democratic governance terus disuarakan dan diterapkan.

Institusi dan aktor eksekutif bertanggung jawab menerapkan prinsip-prinsip


dan nilai-nilai tata kelola demokratis dalam menjalankan tugas pokok dan
fungsinya. Democratic governance diterapkan dalam penyusunan kebijakan,
pengambilan keputusan publik, dalam pengelolaan sumber daya alam dan
keuangan publik. Di samping itu juga dalam melaksanakan, memonitoring
dan mengevaluasi pembangunan. Sementara legislatif bertanggung jawab
untuk memastikan penerapan tata kelola demokratis tatkala menjalankan
fungsi legislasi, penganggaran/budgeting dan pengawasan. Sedangkan
yudikatif bertanggung jawab menempatkan dan memperlakukan semua
orang khususnya yang tersangkut kasus hukum untuk diperlakukan secara
sejajar, diproses secara transparan, adil, akuntabel dan bersih. Di sini law
enforcement (penegakan hukum) harus dilakukan termasuk untuk para
pelaku korupsi yang berasal dari unsur eksekutif maupun legislatif.

Dunia usaha juga memiliki peran besar dalam upaya melaksanakan


democratic governance dengan tidak melakukan suap dalam tender dan
juga tidak melakukan mark up maupun korupsi dalam melaksanakan
proyek-proyeknya. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana
dunia usaha bisa melibatkan stakeholders. Karyawan perusahaan dan
konsumen dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Partai politik
bertanggung jawab untuk mempersiapkan kader-kadernya dengan
kapabilitas dan integritas yang baik sebab merekalah yang akan menjadi
pemimpin di eksekutif dan legislatif. Tata kelola demokratis sangat penting
untuk diterapkan oleh partai termasuk dalam mendukung suksesnya
Pemilu yang bersih, jujur dan adil. Sedangkan media masa atau pers dapat
berkontribusi dengan menjadi watchdog atau melakukan fungsi kontrol
terhadap pelaksanaan pemerintahan dan perilaku para aktor baik dari

6 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


eksekutif, legislatif, yudikatif, dunia usaha, partai politik dan sebagainya. Di
sini media juga dapat mempromosikan nilai-nilai democratic governance
melalui berita, opini, dan sebagainya.

Perguruan Tinggi beserta seluruh civitas akademikanya bertanggung


jawab dalam penerapan democratic governance dalam tata kelola di
internal kampus maupun dalam mendorong terwujudnya democratic
governance di masyarakat. Dalam tata kelola kampus, perguruan tinggi
hendaknya dapat melakukannya secara transparan, akuntabel, partisipatif,
responsif, mengakomodir orang yang berkebutuhan khusus, mendukung
kesetaraan gender dan penyandang disabilitas. Bersamaan dengan itu
juga menanamkan toleransi terhadap perbedaan, mengelola konflik dengan
mengedepankan dialog dan cara-cara damai, serta memberi kesempatan
yang setara kepada semua elemen tanpa memandang klan dan kelompok.
Kemudian untuk mendorong tata kelola demokratis di masyarakat perguruan
tinggi dapat menggunakan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan,
Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat) sebagai “kendaraan”.

Model Kemitraan Universitas-Masyarakat dapat menjadi salah satu alternatif


yang bisa digunakan dalam memperkenalkan dan mendorong penerapan
tata kelola demokratis. Misalnya melalui pengajaran dapat dikembangkan
Service Learning (SL), suatu teknik pembelajaran yang “disenyawakan”
dengan pengabdian. Penerapan pada dharma penelitian dapat dilakukan
melalui Community Based Research (CBR). Dalam CBR, masyarakat tidak
saja menjadi obyek yang akan diteliti tetapi sekaligus menjadi subyek yang
menentukan topik, ruang lingkup, metodologi, analisis serta pemanfaatan
dari hasil penelitian tersebut. Di sini masyarakat juga merupakan peneliti.
Pengabdian masyarakat dapat melakukan pemberdayaan masyarakat
dengan menggunakan pendekatan Asset Based Community Driven (ABCD).5

5 Jika tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang ABCD, Service Learning, dan CBR
dapat membaca Seri Publikasi Kemitraan Universitas-Masyarakat dari Kemenag, seperti:
Panduan KKN ABCD (UINSA); Pengantar Service Learning, dan Community Based Research:
Sebuah Pengantar (UINSA), serta yang akan terbit setelah ini Tata Kelola Pemberdayaan
Masyarakat dengan Pendekatan ABCD. Menurut rencana semua terbitan dari Seri Publikasi
KUM ini sudah atau akan dapat diunduh dari http://litapdimas.kemenag.go.id/home.

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 7


Organisasi Masyarakat Sipil memiliki tanggung jawab besar dalam
menerapkan, mempromosikan, dan menjadi kelompok watchdog terhadap
pelaksanaan tata kelola demokratis. OMS dapat melakukan ini melalui
civic education yang dilakukan kepada para warga yang menjadi kelompok
dampingannya. Dapat juga dilakukan melalui advokasi kebijakan yang
ditujukan kepada eksekutif, legislatif, yudikatif maupun dunia usaha. Selain
itu melalui penelitian yang dilakukannya juga dapat memotret penerapan
democratic governance dan dapat menjadi isu yang menjadi fokus advokasi.
OMS juga dapat mempromosikan tata kelola demokratis dalam berbagai
kegiatan pemberdayaan masyarakat maupun kemitraan yang dijalin dengan
berbagai pihak termasuk perguruan tinggi. Perlu dicatat bahwa masih ada
LSM dan OMS yang tidak atau kurang menerapkan prinsip-prinsip tata kelola
demokratis dalam kerja-kerja maupun dalam pengelolaan internal lembaga
tersebut.

1.4. Waktu dan Lokus Pelaksanaan Democratic


Governance

Democratic governance semestinya diterapkan kapan pun dan dimana pun.


Jadi tidak ada waktu dan tempat khusus kapan dan dimana democratic
governance harus dilaksanakan. Namun setidaknya democratic governance
harus dilaksanakan ketika proses pengambilan keputusan dan manajemen
konflik. Proses pengambilan keputusan harus memberikan kesempatan
kepada semua stakeholder untuk menyampaikan pendapat dan memberikan
masukan secara setara baik dari kelompok mainstream maupun mereka
yang termarjinalkan dan minoritas. Dan masukan itu harus diperhatikan dan
dimanfaatkan secara transparan – bukan sebagai formalitas saja. Jika harus
dilakukan melalui pemilihan atau voting maka proses ini harus dilakukan
secara jujur dan adil tanpa ada paksaan dan diskriminasi. Sementara
dalam manajemen konflik perlu dipastikan bahwa cara-cara kekerasan tidak
ditempuh, tetapi lebih mengedepankan perdamaian, toleransi dan menghargai
Hak Asasi Manusia (HAM).

8 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


Bab II
Konsep dan
Indikator
Democratic
Governance

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 9


2.1. Clean Government, Good Governance, dan
Democratic Governance

Dalam menjalankan mandat negara dan dalam rangka mencapai tujuan


negara dibentuklah government (baca: pemerintah). Government merupakan
sekelompok orang yang bertanggungjawab untuk mengendalikan dan
memimpin sebuah negara.6 Government (pemerintah) merupakan institusi
yang berperan mengatur, memerintah, dan memastikan terciptanya
ketertiban umum dalam rangka mencapai tujuan negara yaitu mewujudkan
masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.

Pemerintah memiliki hak ekslusif untuk mengatur permasalahan publik,


dimana peran serta masyarakat sangat tergantung pada sejauh mana
negara mengijinkan. Persoalannya peran dan tanggung jawab pemerintah
dalam tataran praksis banyak yang tidak dapat dijalankan dengan baik. Hal
ini disebabkan oleh rendahnya kapabilitas dan integritas dari pemerintah
dalam mengelola roda pemerintahan. Kekurangmampuan dalam menjalin
komunikasi politik dengan media dan lembaga negara lainnya maupun
ketidakmampuan dalam membangun kemitraan dengan parlemen akan
menjadi hambatan dalam menjalankan tugas pemerintah. Misalnya
pemerintah akan kesulitan dalam memperoleh persetujuan parlemen
dalam memperoleh pengesahan RAPBN/RAPBD menjadi APBN/APBD.
Hal ini tentu akan berdampak pada pelaksanaan rencana pembangunan.
Rendahnya integritas terjadi karena praktik korupsi, kolusi dan nepotisme
yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan kebijakan
pemerintah. Oleh karenanya untuk menjamin agar pemerintah dapat
menjalankan peran dan tanggung jawabnya dengan baik, maka perlu
dibangun clean government.

Clean government dapat diartikan sebagai pemerintahan yang bersih, yaitu


bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme serta permasalahan-permasalahan
yang lain terkait dengan pemerintahan. Pemerintah yang bersih adalah

6 Patrick Phillips et al. (editors), Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English,
Oxford: Oxford University Press, 2010, hal. 672

10 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


pemerintah yang diisi oleh aparatur yang jujur, yang bekerja sesuai tugas
yang diembannya, tidak bersedia menerima sogokan, tidak memperlambat
atau mempercepat sebuah pekerjaan karena adanya keuntungan pribadi.7

Pemerintah dalam menjalankan tugasnya maka dihadapkan pada


governance. Konsep dari governance merupakan sebuah pola yang lebih
pluralistik daripada pemerintah. Governance kurang fokus pada institusi
negara, namun lebih fokus pada proses dan interaksi yang mengikat negara
dan masyarakat sipil.8 Governance tidak saja menyangkut bagaimana
pemerintah melaksanakan mandatnya tetapi juga harus dipastikan dalam
menjalankan mandat tersebut melibatkan para pemangku kepentingan di
luar pemerintah dengan baik. Governance merupakan proses dan cara
yang dilakukan oleh para aktor untuk mengelola organisasi (negara,
pemerintah, perguruan tinggi, perusahaan, organisasi masyarakat sipil,
kelompok kerja maupun komunitas) untuk mencapai tujuan yang dicita-
citakan. Para aktor dalam governance adalah negara, pemerintah, DPRD,
OMS, perusahaan, pihak swasta, pers, akademisi, warga (komunitas).
Peran pemerintah dalam governance tidak hanya menggunakan kekuasaan
politiknya saja tetapi juga untuk berinteraksi secara efektif dengan sektor
swasta dan masyarakat sipil dalam rangka menjacapai tujuan dan cita-cita
publik.9

Semangat ini kemudian melahirkan apa yang sering disebut dengan


good governance (tata kelola lembaga, organisasi atau kehidupan publik
yang baik). Good governance atau tata kelola yang baik merupakan nilai-
nilai untuk mengatur pola hubungan antara para aktor dalam governance
(pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil). Jadi governance tidak
selalu terkait dengan government, karena tata kelola yang baik itu perlu

7
Dadang Solihin, “Clean Government dan Good Government Policy, Konsep, dan
Implementasi,” 2008, lihat dalam www.dadangsolihin.com
8
Mark Bevir, Democratic Governance, Princeton, New Jersey: Princeton University Press,
2010, hal. 3.
9
Dennis A. Rondinelli, “Government Serving People: The Changing Roles of Public
Administration in Democratic Governance” dalam Public Administration and Democratic
Governance: Governments Serving Citizens, New York, NY: United Nations Publication, 2006,
hal. 6-7

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 11


dilaksanakan baik oleh institusi pemerintah, perguruan tinggi, maupun
perusahaan. Menurut United Nations Development Programme (UNDP),
nilai-nilai yang menjadi ciri good governance adalah transparansi, partisipasi,
responsifitas, akuntabilitas, penegakan hukum, kesetaraan, efektifitas,
efisiensi, berorientasi pada konsensus, dan visi strategis.10 Sementara Bank
Dunia menawarkan setidaknya terdapat tiga indikator untuk mengukur good
governance sebagaimana yang dikutip oleh Agustiono dan Ambar TS dalam
buku “Memahami Good Governance”. Adapun ketiga indikator tersebut
adalah: “(1) bentuk rejim politik, (2) proses dimana kekuasaan digunakan
di dalam manajemen sumber daya sosial dan ekonomi bagi kepentingan
pembangunan, dan (3) kemampuan pemerintah untuk mendisain,
menformulasikan, melaksanakan kebijakan, dan melaksanakan fungsi-
fungsinya.”11

Namun indikator good governance yang digunakan dalam buku ini adalah
indikator yang ditawarkan oleh Ambar TS dan kawan-kawan. Menurut Ambar,
indikator good governance adalah: 1) partisipasi, 2) efisiensi, 3) efektivitas, 4)
transparansi, 5) responsivitas, 6) akuntabilitas, 7) penegakan hukum, dan 8)
keadilan.12 Sebenarnya diantara ketiga tawaran indikator tersebut tidak ada
yang saling bertentangan satu sama lain. Bahkan jika dibandingkan dengan
tawaran indikator yang dikembangkan oleh UNDP perbedaannya hanya ada
pada indikator visi strategis dan keadilan. Keadilan dimaknai bahwa setiap
warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pelayanan dari
negara tanpa diskriminasi. Alasan dipilihnya indikator Ambar dan kawan-
kawan ini karena lebih membumi dan sesuai dengan konteks Indonesia.

10
Ibid, hal. 7
11
Sulistiono, Agus dan Ambar TS, “Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Pemerintah Dalam
Birokrasi Publik di Indonesia”, dalam Sulistyani, Ambar Teguh, editor, Memahami Good
Governance Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi, Yogyakarta: Gava Media,
2011, hal. 24
12
Ibid, hal. 24.

12 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


Box 1
Karakteristik Good Governance Menurut UND

• Partisipasi: Semua laki-laki dan perempuan hendaknya terlibat dalam pengambilan


keputusan, baik secara langsung maupun melalui institusi penghubung yang
memiliki legitimasi mewakili kepentingan mereka. Seperti partisipasi luas dalam
membangun kebebasan untuk berasosiasi dan berbicara, dan juga kapasitas untuk
berpartisipasi secara konstruktif.
• Penegakan hukum: Kerangka legal harus adil, khususnya hukum tentang hak asasi
manusia.
• Transparansi: Transparansi dibangun pada arus kebebasan informasi. Proses,
institusi dan informasi secara langsung dapat diakses oleh para pihak yang
berkepentingan dengan itu, dan tersedia cukup informasi untuk memahami dan
memonitornya.
• Responsif: Institusi dan proses yang dilakukan berupaya untuk melayani kebutuhan
semua pihak (laki-laki, perempuan, anak, manula, kelompok disabilitas, dan
sebagainya).
• Kesetaraan (Equity): Semua laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang
setara untuk meningkatan atau mempertahankan kesejahteraannya.
• Efektifitas dan efisiensi: Proses dan hasil yang dicapai oleh institusi untuk menjawab
kebutuhan ketika berbuat yang terbaik dalam menggunakan sumber daya. Efektif
berarti tercapainya tujuan yang diharapkan. Sedangkan efisiensi: tercapainya
tujuan yang ditetapkan dengan penggunaan sumber daya seminimal mungkin.
• Akuntabilitas: Para pengambil keputusan di pemerintahan, sektor swasta dan
organisasi masyarakat sipil akuntabel kepada publik, dan juga pemangku
kepentingan dari masing-masing institusi. Akuntabilitas ini harus dilakukan baik
secara internal maupun eksternal dari organisasi.
• Visi strategis: Para pemimpin dan publik memiliki sebuah perspektif yang
luas dan jangka panjang tentang good governance dan pembangunan
manusia, bergantung pada kompleksitas sejarah, budaya dan sosial dimana
perspektif itu diterapkan. Oleh karenanya dalam membangun visi strategis
hendaknya merupakan hasil dialog dari semua kompleksitas tersebut.

Sumber: United Nations Development Programme, “Governance for Sustainable Human


Development,” New York: UNDP, 1997, dalam Dennis A. Rondinelli, “Government Serving
People: The Changing Roles of Public Administration in Democratic Governance” dalam Public
Administration and Democratic Governance: Governments Serving Citizens, New York, United
States of America: United Nations Publication, 2006, hal. 7-8

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 13


Box 2
Karakteristik Good Governance Menurut Ambar Teguh Sulistyani

Terdapat beberapa indikator atau cara yang ditawarkan untuk menilai good governance,
yakni: 1) partisipasi, 2) efisiensi, 3) efektivitas, 4) transparansi, 5) responsivitas, 6)
akuntabilitas, 7) penegakan hukum, dan 8) keadilan.

• Partisipasi ditandai dengan apakah pengambilan keputusan guna merespon


masalah publik dilakukan secara partisipatif, melibatkan stakeholders atau secara
elitis dan otoritarian.
• Efisiensi ditandai apakah pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara
berdaya dan apakah pemerintah (state) dan pasar bekerja secara efisien. Tidak
ada kebocoran dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah.
• Efektifitas ditandai dengan apakah pemerintah melaksanakan kebijakan dan
program secara efektif, dalam pengertian ketepatan waktu, biaya, dan alokasi
SDM. Apakah tujuan dan sasaran bisa tercapai, bagaimana tingkat keberhasilan
program atau proyek dan realisasi outputnya.
• Transparansi ditandai oleh apakah kebijakan, regulasi, program, anggaran dan
kegiatan pemerintah terbuka pada publik, seberapa besar upaya yang dilakukan
untuk membuat publik memahami apa yang diputuskan dan dilakukan oleh
pemerintah.
• Responsivitas ditandai dengan apakah kebijakan, program dan tindakan pemerintah
menjawab kebutuhan dan kepentingan publik, seberapa banyak anggaran
dialokasikan dan bagaimana keluhan atau kepuasan yang datang dari masyarakat.
• Akuntabilitas ditandai dengan bagaimana tingkat pertanggungjawaban pemerintah
dalam menjalankan tugas, apakah ada praktek korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN).
• Penegakan hukum ditandai oleh jumlah kasus pelanggaran hukum, apakah
penyelesaian kasus pelanggaran diselesaikan menurut hukum, dan bagaimana
tingkat pertanggungjawaban pemerintah dalam menjalankan tugas, apakah ada
praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
• Keadilan ditandai dengan ada tidaknya kesamaan antara semua warga negara,
antara penduduk asli dengan pendatang, antara laki-laki dan perempuan, antara
kelas atas-menengah dan bawah untuk mendapatkan hak yang sama sebagai
warga.

Sumber: Sulistiono, Agus dan Ambar TS “Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Pemerintah
Dalam Birokrasi Publik Di Indonesia” dalam Sulistiani, Ambar Teguh, Memahami Good Governance
Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, (cetakan pertama edisi revisi), Yogyakarta: Gava Media,
2011, hal. 24

14 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


Tata kelola yang baik kerap diasosiasikan hanya harus diterapkan oleh
pemerintah saja, padahal tercapainya tujuan negara tentu tidak menjadi
tanggung jawab pemerintah saja. Padahal tata kelola yang baik juga
harus diterapkan pada semua organisasi termasuk Perguruan Tinggi.
Oleh karena itu, belakangan muncul istilah democratic governance (tata
kelola demokratis). Menurut Cheema, democratic governance merupakan
serangkaian proses yang harus dilalui oleh masyarakat sipil untuk mencapai
konsensus dan implementasi dari regulasi, kebijakan-kebijakan, dan struktur
sosial dalam rangka mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan
lingkungan. Kebijakan dan hukum dilaksanakan oleh banyak institusi:
legislatif, partai politik, dan masyarakat sipil. Dalam konteks ini democratic
governance membawa pertanyaan yaitu bagaimana sebuah masyarakat
mengorganisir dirinya sendiri untuk menjamin kesetaraan kesempatan,
keadilan ekonomi dan keadilan sosial untuk semua warga negara?13 Buku
pegangan ini mendefinisikan democratic governance sebagai serangkaian
cara dan proses untuk mencapai tujuan atau cita-cita bersama dengan
didasarkan pada prinsip menghargai martabat kemanusiaan (HAM, hak
warga negara), kesetaraan dan non diskriminasi (termasuk kesetaraan
gender), tanpa kekerasan (non-violence), menegakkan toleransi, dan
menegakkan keadilan.

2.2. Prinsip-Prinsip Democratic Governance

Pemerintah, parlemen, masyarakat sipil, dan dunia usaha wajib menerapkan


prinsip-prinsip democratic governance dalam kehidupannya sehari-hari.
Adapun prinsip utama dari democratic governance adalah sebagai berikut:

13
G. Shabbir Cheema, “Democratic Governance: Theory and Practice in Developing
Countries” sebagaimana dikutip oleh Winantuning Tyastiti Swasanany dalam ringkasan
disertasinya “Proses Formulasi Kebijakan Pembentukan Daerah Otonom Baru di Indonesia:
Perspektif Democratic Governance”, Jakarta: Universitas Indonesia, 2012, hal. 11

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 15


1. Penghargaan terhadap martabat kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia.
Kedua hal ini harus dihargai dan wajib dilaksanakan oleh setiap institusi
dan aktor baik dari kalangan pemerintahan (baca: eksekutif, legislatif
dan yudikatif) maupun non pemerintahan (partai politik, dunia usaha,
masyarakat sipil). Hak asasi manusia merupakan sesuatu yang melekat
pada diri manusia sejak kelahirannya dan berlaku seumur hidup dan tidak
dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Setiap warga negara yang baik
wajib menjunjung tinggi HAM tanpa membeda-bedakan status, golongan,
keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Pengaturan umum tentang
HAM telah dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada
tahun 1948, yang dikenal sebagai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) dan diatur dalam 30 pasal. Adapun detail tentang apa saja
ruang lingkup HAM dapat dilihat dalam Box 3 berikut ini.

Box 3
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia
1. Hak asasi pribadi/Personal Rights
• Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah tempat
• Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
• Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
• Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan
kepercayaan yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik/Political Rights
• Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
• Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
• Hak membuat dan mendirikan partai politik dan organisasi politik lainnya
• Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak asasi hukum/Legal Equality Rights
• Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
• Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil
• Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak asasi ekonomi/Property Rights
• Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
• Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
• Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
• Hak kebebasan untuk memiliki sesuatu
• Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak asasi peradilan/Procedural Rights
• Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
• Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan
dan penyelidikan di mata hukum.

16 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


6. Hak asasi sosial budaya/Sociocultural Rights
• Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
• Hak mendapatkan pengajaran
• Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat

Sumber: http://www.ohchr.org/EN/UDHR/Documents/UDHR_Translations/inz.pdf dan http://www.


organisasi.org/1970/01/pengertian-macam-dan-jenis-hak-asasi-manusia-ham-yang-berlaku-
umum-global-pelajaran-ilmu-ppkn-pmp-indonesia.html

Hal ini dicapai melalui kebebasan menyampaikan pendapat, membuka


ruang partisipasi publik dalam mengambil keputusan-keputusan penting
mengenai pemanfaatan sumberdaya (termasuk pelayanan pemerintah),
berasosiasi, berpikir dan kebebasan beragama dan memperoleh
kehidupan yang bertanggungjawab dengan mengefektifkan berbagai
jenis forum publik (seperti Musrenbang, Majelis Ta’lim, Rembuk Warga,
dan sebagainya) yang ada.

2. Kesetaraan dan non diskriminasi.


Kesetaraan di sini berarti setiap warga negara (baca: orang) memiliki
hak dan kesempatan yang sama untuk merealisasikan kapasitasnya
tanpa ada pembedaan. Perbedaan ras, suku, jenis kelamin dan orientasi
seksual atau Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT), latar
belakang pendidikan, dan sebagainya tidak boleh menyebabkan
terjadinya pembedaan hak dan kesempatan bagi warga negara. Prinsip
kesetaraan dan non diskriminasi dapat dicapai dengan memastikan
adanya keterbukaan dan kesamaan kesempatan setiap warga
negara untuk memperoleh akses, partisipasi, dan kontrol terhadap
pengambilan keputusan dan keterjangkauan manfaat melalui civic
education (pendidikan kewargaan). Dalam tataran praksis pemerintah
harus membuka ruang partisipatif serta menegakkan transparansi dan
akuntabilitas.

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 17


3. Anti kekerasan.
Prinsip ketiga dari democratic governance ini bermakna bahwa setiap
warga negara maupun institusi pemerintah dan non pemerintah
wajib mendorong, mempromosikan, memelihara dan menciptakan
perdamaian. Oleh karenanya setiap masalah yang ada termasuk jika
terjadi konflik maka harus diselesaikan dengan cara-cara damai seperti
melalui dialog, negosiasi, mandatori, dan sebagainya. Penggunaan
kekerasan yang destruktif harus dihindari. Hal ini dapat dilakukan melalui
upaya pencegahan konflik melalui peace education, maupun upaya
kuratif manajemen konflik dan resolusi konflik.

4. Toleransi.
Prinsip toleransi bermakna menghargai perbedaan sebagai sebuah
keragaman dan aset kekayaan sosial. Dengan demikian sebuah
kelompok tidak akan memaksakan kehendaknya kepada kelompok
lainnya. Prinsip toleransi dapat dipromosikan atau pun dikembangkan
dengan pendidikan inklusif, multikultural, pluralitas, pengarusutamaan
gender dan inklusi sosial.14 Pada akhirnya akan mewujudkan masyarakat
toleran terhadap perbedaan dan keberagaman.

5. Kemitraan.
Prinsip kemitraan berarti dalam mencapai sebuah tujuan atau cita-cita
bersama harus dilakukan dengan saling bekerjasama antara individu dan
atau kelompok dengan semangat saling menguntungkan dan bertanggung
jawab.15 Dalam pelaksanaannya kemitraan dapat berjalan dengan baik
jika masing-masing pihak mengedapankan prinsip saling percaya, saling
memahami, saling menghargai, perlakuan yang setara, keterbukaan,
semua pihak bertanggung jawab, dan semua pihak memperoleh manfaat
yang sama.

14
Lebih lanjut tentang inklusi sosial dapat dilihat dalam Mastuti, Sri dan Tike, Arifuddin
(penyunting), Dakwah Inklusif: Pendidikan Mubalig Untuk Tata Kelola Demokratis, Jakarta:
Kementerian Agama Republik Indonesia d, 2015. http://litapdimas.kemenag.go.id/home.
15
Mengacu pada arti kata kemitraan berdasarkan American Heritage Dictionary, 1992,
sebagaimana yang dikutip oleh Shelagh Savage, Coady International Institute, Kanada, dalam
presentasinya di Kementerian Agama tentang Partnership, Jakarta, January 2016.

18 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


Dari uraian tentang prinsip democratic governance ditemukan bahwa
terdapat irisan antara prinsip good governance dan democratic governance.
Penerapan prinsip-prinsip good governance menjadi salah satu proses yang
dilalui agar democratic governance dapat terwujud. Misalnya dalam konteks
mengimplementasikan prinsip kesetaraan maka prinsip-prinsip good
governance seperti transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan responsif
tentu harus diterapkan dan terimplementasi dalam tindakan. Oleh karenanya
terkadang sering terjadi kerancuan penggunaan terminologi dimana
democratic governance sering dipertukarkan penggunaannya dengan
good governance atau pun sebaliknya. Padahal keduanya memiliki akar
yang berbeda. Kalau democratic governance berakar pada teori demokrasi
sedangkan good governance pertama kali didiskusikan sehubungan dengan
pembangunan ekonomi. Good governance merupakan salah satu kriteria
yang ditetapkan oleh International Monetary Fund (IMF) dan World Bank
(WB) dalam memberikan pinjaman kepada suatu negara. Hal ini disebabkan
menurut para ekonom, reformasi ekonomi hanya akan dapat terjadi secara
efisien dan efektif jika dalam institusi politik diterapkan good governance.16
Namun dalam tataran praktis keduanya harus digunakan untuk mencapai
tujuan negara seperti yang telah dicita-citakan oleh para pendiri NKRI.

Jika digambarkan kerangka konseptual relasi antara clean government,


good governance, dan democratic governance dapat dilihat dalam gambar
berikut ini.

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 19


Gambar 2.1. 2.1.
Gambar
Kerangka Konseptual Relasi
Kerangka Konseptual Relasi
Clean Government, Good Governance, dan Democratic Governance
Clean Government, Good Governance, dan Democratic Governance

 Tidak ada korupsi


 Tidak ada
nepotisme
 Tidak ada tirani

1. Transparansi
2. Penegakan hukum Efisiensi
3. Partisipasi Efektivitas
Clean 4. Akuntabilitas
Government 5. Responsivitas
6. Kesetaraan
7. Keadilan
 Hidup
1. Penghargaan berdampingan
Good Governance Martabat secara damai dan
Kemanusiaan harmonis
dan HAM  Masyarakat yang
2. Kesetaraan setara dan inklusif
Democratic Governance 3. Toleransi  Warga Negara yang
4. Anti Kekerasan aktif
5. Kemitraan  Masyarakat yang
toleran

Sumber: DiolahDiolah
Sumber: penulis daridari
penulis berbagai
berbagaireferensi dan
referensi dan refleksi
refleksi terhadap
terhadap pengalaman
pengalaman praksis praksis

GambarGambar di atas menunjukkan


di atas menunjukkan bahwabahwa
cleanclean government
government dandan good
good governance
governance
merupakan bagian
merupakan bagiandari dari democratic
democratic governance.governance.
Clean governmentClean government
memastikan bahwa
memastikan bahwa
pemerintah harus bersihpemerintah harus
tidak korupsi, tidak bersih
nepotis tidaktirani.
dan tidak korupsi, tidakyang
Pemerintah nepotis
bersih
dan tidak tirani. Pemerintah yang bersih ini merupakan elemen
ini merupakan elemen penting untuk memastikan adanya komitmen melaksanakan good penting
untuk memastikan
governance adanya
dan pada akhirnya akankomitmen melaksanakan
terimplementasikannya democraticgood governance
governance. Prinsip-
dan pada akhirnya akan terimplementasikannya democratic governance.
prinsip good governance seperti transparansi, penegakan hukum, partisipasi, akuntabilitas,
Prinsip-prinsip good governance seperti transparansi, penegakan hukum,
responsivitas, kesetaraan dan keadilan adalah hal yang perlu dilaksanakan oleh pemerintahan
partisipasi, akuntabilitas, responsivitas, kesetaraan dan keadilan adalah
yang bersih atau pun institusi lain termasuk universitas maupun pemerintahan desa. Good
hal yang perlu dilaksanakan oleh pemerintahan yang bersih atau pun
governance penting untuk mewujudkan tata kelola yang efektif dan efisien. Good governance
institusi lain termasuk universitas maupun pemerintahan desa. Good
memiliki arti yang sangat signifikan dalam mendorong terwujudnya democratic governance
governance penting untuk mewujudkan tata kelola yang efektif dan efisien.
khususnya dalam proses implementasi prinsip–prinsip democratic governance. Prinsip–
Good governance memiliki arti yang sangat signifikan dalam mendorong
prinsip sepertidemocratic
terwujudnya penghargaangovernance
martabat kemanusiaan
khususnya dan dalam
HAM, kesetaraan, toleransi, anti
proses implementasi
kekerasan, dan kemitraan tidak mungkin dapat terlaksana dengan baik tanpa adanya good
20 Mengawal Perkembangan Democratic Governance
15
prinsip–prinsip democratic governance. Prinsip–prinsip seperti penghargaan
martabat kemanusiaan dan HAM, kesetaraan, toleransi, anti kekerasan, dan
kemitraan tidak mungkin dapat terlaksana dengan baik tanpa adanya good
governance. Apabila prinsip–prinsip democratic governance telah diterapkan
maka akan terwujud masyarakat yang hidup berdampingan secara damai
dan harmonis; masyarakat yang setara dan inklusif; masyarakat yang aktif;
dan masyarakat yang toleran.

2.3. Indikator Democratic Governance

Democratic governance dapat dikatakan berhasil jika telah terdapat


parameter sebagai berikut:

1. Hidup berdampingan secara damai dan harmonis

Ciri-ciri masyarakat yang telah hidup berdampingan secara damai dan


harmonis adalah sebagai berikut:
• Tidak ada lagi penggunaan kekerasan dalam masyarakat17
• Segala bentuk konflik diselesaikan dengan cara-cara damai
• Hubungan antara warga maupun antara pemangku peran lainnya
berjalan baik dan dilandasi oleh rasa saling percaya dan saling
pengertian
• Komunikasi antaraparatur pemerintah maupun antarwarga berjalan
efektif
• Aparatur pemerintah memberi akses yang luas kepada warga. Akses
untuk memperoleh informasi, berpartisipasi dalam menyampaikan
ide dan pendapatnya, maupun turut serta dalam proses pengambilan
kebijakan.

“Damai berarti tidak ada kekerasan dalam masyarakat, baik internal dan eksternal, langsung
17

maupun tidak langsung....” Lihat Brock – Utne, 1985, p. 2 sebagaimana dikutip oleh St. Clair,
Maureen, Community Based Conflict Transformation and Peacebuilding, Antigonish, Kanada:
Coady International Institute, St. Francis Xavier University, 2012, hal. 24.

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 21


2. Masyarakat yang setara dan inklusif
Ciri-ciri masyarakat setara dan inklusif adalah sebagai berikut:
• Setiap warga diperlakukan secara setara tanpa membeda-bedakan
latar belakang pendidikan, etnis, status ekonomi maupun keyakinan
• Masyarakat yang warganya bersifat terbuka dan ramah
• Masyarakat yang warganya saling percaya dan saling menghargai

3. Warga negara yang aktif


Ciri-ciri bahwa indikator warga negara yang aktif telah tercapai adalah
sebagai berikut:
• Warga yang mengetahui hak dan kewajibannya sebagai warga negara
• Warga negara yang berpartisipasi dalam musyawarah pembangunan
dan menyampaikan aspirasinya
• Warga negara yang berkontribusi dalam proses pembangunan
• Warga negara yang kreatif dan gemar melakukan inovasi yang
bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya
• Warga negara yang mandiri dan tidak selalu bergantung kepada
bantuan pemerintah

4. Masyarakat yang toleran


Masyarakat yang toleran tercapai ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut:
• Menghargai adanya perbedaan keyakinan, status sosial, etnis dan
sebagainya
• Tidak melakukan pembedaan tindakan kepada warga lainnya hanya
karena memiliki perbedaan dari masyarakat secara umum
• Warga yang gemar menolong satu sama lainnya
• Tidak memaksakan kehendak dan keyakinan kepada pihak lainnya

5. Kerjasama dan jejaring yang baik antara multistakeholders


Ciri-ciri tercapainya indikator kerjasama dan jejaring yang baik antara
multistakeholders adalah sebagai berikut:
• Posisi masing-masing pihak dalam kemitraan yang terjalin bersifat
setara
• Kemitraan yang terjalin saling menguntungkan bagi kedua belah pihak
• Tujuan bersama tercapai dengan usaha yang efisien

22 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


• Masing-masing pihak merasakan ownership yang tinggi terhadap
sebuah inisiatif/program.

2.4. Isu-Isu Democratic Governance

Dalam kehidupan sehari-hari implementasi democratic governance sering


terkait dengan isu perencanaan dan penganggaran terutama dalam
mendorong terlaksananya perencanaan dan penganggaran partisipatif.
Selain itu juga bagaimana merespon atau menghapuskan segala bentuk
diskriminasi, mengelola konflik, meniadakan kesenjangan akses terhadap
pelayanan publik yang berkualitas, dan menumbuhkembangkan kesadaran
warga untuk menjalankan perannya sebagai warga negara yang baik.

1. Perencanaan dan Penganggaran


Salah satu isu yang cukup krusial dalam pembangunan adalah sering
terjadi tidak adanya konektivitas antara kebutuhan masyarakat dengan
program yang dialokasikan untuk pembangunan. Hal ini terjadi karena
dalam proses perencanaan dan penganggaran tidak dilakukan secara
partisipatif dan lebih banyak didasarkan atas pendekatan “masalah
dan kebutuhan” ketimbang pendekatan pengembangan aset yang
ada (ABCD). Proses perencanaan dan penganggaran yang tertutup
juga rawan terhadap korupsi. Oleh karena itu buku ini mengangkat
perencanaan dan penganggaran partisipatif sebagai salah satu fokus
dalam democratic governance. Perencanaan dan penganggaran
partisipatif merupakan sebuah program inovasi dalam proses pembuatan
kebijakan, dimana warga negara secara langsung terlibat dalam proses
pengambilan keputusan melalui forum publik untuk perencanaan
(misalnya rembuk warga, Musyawarah Perencanaan Pembangunan,
dan sebagainya). Forum ini dilaksanakan sehingga warga negara
memiliki kesempatan menyampaikan pendapatnya untuk membantu
negara dalam mengalokasikan sumber daya, menentukan prioritas

18
Wampler, Brian, A Guide to Participatory Budgeting, 2000, hal. 2 . Tulisan ini dapat
diakses melalui website https://www.commdev.org/files/1613_file_GPB.Pdf. Versi bahasa
Indonesianya diberi judul Sebuah Panduan Penganggaran Partisipatif dan dapat dilihat pada
www.internationalbudget.org/themes/PB/GuidePB IndonesiaPdf.

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 23


kebijakan sosial yang berdampak luas, dan melakukan monitoring
belanja anggaran pemerintah.18 Dengan dilaksanakannya perencanaan
dan penganggaran partisipatif19 maka wahana ini akan menjadi arena
untuk mempromosikan pembelajaran publik dan mempromosikan active
citizenship, mengupayakan tercapainya keadilan sosial melalui perbaikan
kebijakan dan alokasi sumberdaya, serta reformasi birokrasi.

2. Diskriminasi sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diskriminasi berarti pembedaan
perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit,
golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya).20 DUHAM yang
dideklarasikan tahun 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan
juga UUD 1945 telah dengan tegas menentang segala bentuk diskriminasi.
Namun dalam praktiknya diskrimasi masih terjadi baik dalam hal akses,
partisipasi, kontrol maupun penerimaan manfaat pembangunan. Hal ini
bertentangan dengan prinsip-prinsip democratic governance yang ingin
mempromosikan kesetaraan dan antidiskriminasi. Oleh karena itu setiap
institusi dan aktor dalam democratic governance wajib menghilangkan
segala bentuk diskriminasi.

3. Konflik dengan kekerasan


Konflik biasanya terjadi jika terdapat perbedaan kepentingan yang tidak
mungkin disatukan antara dua atau lebih individu, kelompok, organisasi
maupun negara. Konflik biasanya merupakan refleksi dari ketidakpuasan
terhadap proses, kebijakan maupun kualiatas pelayanan. Konflik pasti
akan terjadi dan sebenarnya juga dibutuhkan dalam perjalanan dan

19
Beberapa referensi terkait perencanaan dan penganggaran partisipatif diantaranya
“Participatory Planning and Budgeting at the Sub-national Level”, New York: United Nations,
2005. Buku ini dapat diakses pada https://publicadministration.un.org/publications/content/
Pdf. Kemudian terkait dengan pengalaman dan tantangan dalam mempraktikkan perencanaan
dan penganggaran partisipatif dapat dilihat di Herzberg, Casten, Participatory Budgeting in
Asia and Europe: Key Challenges of Participation, London: Palgrave MacMillan, 2013. Lihat di
www.palgrave.com/la/book/9781137009142. Lihat juga Luwihno, Slamet (editor), Perencanaan
dan Penganggaran Partisipatif untuk Good Governance, Bandung: Forum Pengembangan
Partisipasi Masyarakat (FPPM), 2006.
20
http://kbbi.web.id/diskriminasi

24 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


perkembangan suatu masyarakat. Konflik yang konstruktif dalam sebuah
organisasi terkadang memang diciptakan dalam rangka meningkatkan
kinerja. Di masyarakat konflik tercipta dalam sebuah masyarakat yang
sedang berubah karena merupakan wahana bagi lahirnya transformasi
sosial.

Dalam upaya mendorong terwujudnya masyarakat demokratis konflik


yang dihindari adalah konflik yang destruktif dan mempergunakan
kekerasan atau konflik yang bersifat negatif. Perlu dipahami bahwa konflik
dapat berdampak positif tetapi juga dapat berdampak negatif. Lebih lanjut
tentang dampak konflik dapat dilihat dalam box berikut.

Box 4
Dampak Konflik Terhadap Organisasi

Dampak Positif Dampak Negatif

Mendorong terjadinya perubahan Instabilitas


perilaku

Melahirkan kesadaran individu Menimbulkan rasa tidak nyaman

Menciptakan peluang untuk membangun Melahirkan masalah emosional


hubungan yang damai

Mendorong lahirnya kreativitas dan Miskinnya kesehatan mental


inovasi

Mendorong proses pengambilan Stres, frustasi, dan depresi


keputusan yang konstruktif

Mendorong memperkuat hubungan yang Kehilangan kepercayaan, takut, marah,


telah terjalin dan merasa tidak aman

Membantu menjelaskan Mendorong munculnya tingkah laku


kesalahpahaman yang terjadi antara yang temperamental
para pihak yang berkonflik

Mendorong terjadinya komunikasi yang Merusak perdamaian, membatasi


lebih efektif antara para pihak yang kerjasama, dan mendorong lahirnya
menjadi pemangku kepentingan sikap terlalu individualistik

Sumber: St. Clair, Maureen, Community Based Conflict Transformation and Peacebuilding,
Antigonish, Kanada: Coady International Institute, St. Francis Xavier University, 2012, hal. 43

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 25


4. Kesenjangan akses terhadap layanan publik yang berkualiatas
Secara de jure, negara dan pemerintah Indonesia memberikan akses
yang sama kepada seluruh warga negara tanpa ada pengecualian
untuk memperoleh pelayanan publik yang baik. Meski di lain sisi
terutama setelah otonomi daerah diberlakukan, tidak dapat dipungkiri
terdapat beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang bias.21 Namun dalam
praktiknya kesenjangan akses antara warga negara tetap terjadi. Hal
ini disebabkan karena adanya perbedaan kapasitas, perbedaan daya
jangkau, perbedaan geografis, stereotype yang dipengaruhi budaya dan
latar belakang sejarah, dan perbedaan kemampuan ekonomi. Keadaan ini
terus berlanjut dan ada juga yang menguat karena kebijakan publik yang
ada masih netral bahkan bias. Padahal salah satu fungsi dari pemerintah
adalah menyediakan layanan publik. Oleh karenanya sudah semestinya
kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah haruslah responsif pada
kondisi ril dan kebutuhan masyarakat. Maksudnya jika ada kelompok
masyarakat yang perlu memperoleh afirmasi, pemerintah seharusnya
dapat melakukan ini melalui kebijakan publik yang dilahirkannya. Hal ini
mengingat hakekat dari kebijakan publik itu sendiri merupakan apapun
pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu,
mengapa pemerintah melakukan ini dan perubahan apa yang ingin
dilakukan.22

21
Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan),
pada tahun 2015, terdapat 365 Perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Perda
diskriminatif banyak ditemukan di daerah Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan mayoritas
wilayah Sulawesi. Perda tersebut diantaranya mengatur mengenai cara berpakaian, jam
pulang (“pemberlakuan jam malam”), dan cara duduk di sepeda motor”. Lihat “Komnas
Perempuan Minta Presiden Jokowi Hapus 365 Perda Diskriminatif”, Jakarta, Kompas.com,
Jum’at 20 Maret 2015, 11.58 WIB.
22
Dye, Thomas R, Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice Hall, 2002, hal. 1.
23
Akil Muktar, Herman Kajang, dan Irvan Mulyadi, Panduan Pelatihan Indeks Pengaduan
Masyarakat, Jakarta: UINAM-KOPEL dan Kemenag, 2016.

26 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


Setiap warga negara seharusnya memiliki hak yang sama untuk
memperoleh pelayanan publik yang baik, menyuarakan keluhannya
terhadap kualitas pelayanan publik, dan mendapat respon dalam bentuk
perbaikan kualitas layanan.23

5. Kesadaran warga untuk menjalankan perannya sebagai warga


negara yang aktif
Cita-cita luhur NKRI untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur
tentu tidak akan dapat tercapai tanpa bantuan, dukungan dan kerjasama
dari seluruh elemen pendukung negara. Tercapai tidaknya tujuan
negara tidak hanya bergantung kepada pemerintah semata tetapi juga
bergantung kepada dunia usaha dan masyarakat sipil, terutama warga
negaranya. Peran serta aktif dari warga negara sangatlah penting dalam
mensukseskan pembangunan. Di sini warga negara diharapkan tidak saja
sadar akan haknya tetapi juga mengetahui dan menunaikan tanggung
jawabnya sebagai warga negara.

Peran civic education sangatlah penting dalam rangka membangun


kesadaran tersebut, baik secara formal maupun informal. Civic education
(Pendidikan Kewargaan) merupakan sebuah pendidikan yang bertujuan
mempersiapkan warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan
publik dari sebuah negara demokrasi sehingga dapat menggunakan hak
dan kewajibannya dengan tepat,24 untuk menggunakan hak-haknya dan
untuk menjalankan tanggungjawabnya dengan pengetahuan dan keahlian
yang dibutuhkan.

24
Branson, Margaret S. (1998). The Role of Civic Education: A Forthcoming Education Policy
Task Force Position Paper from the Communitarian Network, Washington, DC: Center for
Civic Education. Lihat http://www.civiced.org/articles_role.html. Lihat juga Purwanti, Enny, et
al., Pendidikan Kewargaan Berbasis Masyarakat, Surabaya: NCCE dan UINSA, 2016

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 27


Model civic education melalui pendidikan formal biasanya dilakukan
dengan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum pendidikan secara
nasional. Hal ini dilakukan di berbagai negara yang telah maju dalam
berdemokrasi seperti di Amerika Serikat dan juga di Indonesia. Titik
tekannya lebih pada bagaimana warga negara dapat berperan dalam
pengembangan demokrasi. Sedangkan model civic education non formal
biasanya diorientasikan untuk meningkatkan peran serta masyarakat
dalam urusan publik.25 Civic education model ini biasanya dilakukan
secara informal oleh organisasi masyarakat sipil kepada komunitas
dampingannya. Namun baik civic education formal maupun non formal,
keduanya sangat strategis digunakan sebagai media membangun
kesadaran warga negara untuk menjadi warga negara yang baik dan aktif.

Mastuti, Sri, ”Democratic Governance, Civic Education dan Peran OMS”, presentasi dalam
25

Workshop Civic Education, Makassar, October 2012.

28 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


Bab III
Kemitraan Universitas-
Masyarakat (KUM)
Mendorong Democratic
Governance

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 29


3.1 Pendekatan Pelaksanaan Democratic
Governance Dalam KUM

Pengimplementasian democratic governance dalam program KUM dapat


dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan khusus dan pendekatan
pengarusutamaan. Pendekatan khusus artinya democratic governance
dilaksanakan dengan mendedikasikan program democratic governance
secara khusus dalam KUM. Misalnya: Program Peace Building di desa mitra
yang rawan konflik atau Pemberdayaan Keluarga dalam Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam Program Peace Building, cukup
jelas bahwa program ini ditujukan untuk mewujudkan perdamaian, dengan
mengedepankan penghargaan terhadap harkat kemanusiaan, HAM, dan
toleransi. Sedangkan dalam program Pemberdayaan Keluarga dalam
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan program
yang mempromosikan kesetaraan, non diskriminasi, anti kekerasan dan
juga mendorong kemitraan. Pendekatan pengarusutamaan, artinya
democratic governance diterapkan atau diintegrasikan dalam perancangan
dan pelaksanaan program KUM yang bersifat umum. Contohnya: Program
Membangun Koperasi dan Program Membangun Usaha Desa Mengolah
Produk Pertanian. Di sini dalam perencanaan program pendirian koperasi
dan usaha pengolahan produk pertanian dilakukan dengan melibatkan
seluruh anggota masyarakat secara setara. Setiap orang dihargai haknya
untuk menyampaikan pendapat. Perbedaan pendapat yang ada ditoleransi
dan pengambilan keputusan dilakukan secara damai. Kemudian koperasi
dan masyarakat bermitra dalam menjalankan bisnis bersama.

Dalam mendorong pelaksanaan democratic governance tidak harus selalu


menggunakan pendekatan khusus terlebih dahulu harus ditelaah potensi atau
kekuatan (baca aset) yang dimiliki oleh institusi dan aktor pelaksana KUM.
Hal serupa juga perlu dilakukan oleh komunitas yang menjadi mitra KUM
bersama dengan aktor pelaksana KUM terhadap lokus kerjanya. Setelah
itu secara partisipatif komunitas itulah yang memutuskan apa program yang
akan dilakukan. Dari sini kemudian diketahui apakah program tersebut
membutuhkan pendekatan khusus atau pendekatan pengarusutamaan.
Apapun yang dipilih sama baiknya, yang terpenting disesuaikan dengan

30 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


konteks lingkungan dan kebutuhan yang ada. Namun secara umum
sepertinya pendekatan pengarusutamaan relatif lebih strategis digunakan
untuk bekerja dengan komunitas di akar rumput. Penyebabnya pendekatan
ini menggunakan sesuatu yang konkrit sebagai wahana untuk mempraktikan
prinsip-prinsip democratic governance, sehingga lebih membumi.

3.2. Membangun Kemitraan Antarmasyarakat Sipil

Masyarakat sipil yang terdiri dari unsur perguruan tinggi beserta civitas
akademikanya, organisasi masyarakat sipil (OMS), pers, perusahaan/bisnis
sektor, dan masyarakat (komunitas warga negara) bertanggung jawab
melaksanakan democratic governance. Sebagai salah satu pilar negara,
masyarakat sipil juga mengemban tanggung jawab untuk mewujudkan cita-
cita NKRI. Demi menjamin efisiensi dan efektifitas upayanya tersebut maka
ketiga unsur dari masyarakat sipil, yaitu universitas, OMS dan masyarakat
perlu menjalin kemitraan. Kemitraan di sini dimaknai sebagai sebuah sistem
kerjasama antarorganisasi yang bersifat semi-otonom tetapi memelihara
akuntabilitas dan saling memberi umpan balik kepada organsasi-organisasi
asalnya. Maksudnya Kemitraan Universitas-Masyarakat membentuk
sebuah organisasi baru yang menurut Thomas Cummings bersifat trans-
organisasional sistem dan dapat dikatakan semi otonom. Namun organisasi
yang semi otonom ini tetap harus akuntabel kepada masing-masing
organisasi yang menjadi unsur penyusunannya yaitu universitas, OMS dan
masyarakat, dan demikian pula sebaliknya.26

Sebelum ketiga unsur dari masyarakat sipil ini bersepakat bekerjasama dalam
KUM maka terlebih dahulu masing-masing pihak perlu menanyakan kepada
dirinya sendiri mengapa ingin bermitra dengan pemangku peran lainnya?
Kemudian pertanyakan juga bagaimana memilih mitra?27 Pemililihan mitra

26
Roberts, Joan M, Alliances, Coalitions and Partnership Building Collaborative Organizations,
Gabriola Island, Canada: New Society Publisher, 2004, hal. 5
27
Lihat Mastuti, Sri, Panduan Pokja, 2013. Lihat juga Seri Publikasi Kemitraan Universitas-
Masyarakat tentang Model Baru Kemitraan Universitas—Masyarakat untuk Perguruan Tinggi
di Indonesia yang ditulis oleh Mary Coyle.

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 31


hendaknya didasarkan pada sejumlah kriteria dan asesmen yang dilakukan
secara transparan, partisipatif, responsif dan akuntabel. Jadi keputusan
untuk bermitra bukan dikarenakan kriteria subyektif suka atau tidak suka
tetapi sejauh mana mitra yang dipilih untuk bekerjasama dalam tim memang
memiliki kapasitas sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan.

Dalam proses membangun KUM perlu memastikan apa yang menjadi


tujuan dari kemitraan yang akan dibangun; apa potensi dan kekuatan yang
dimiliki oleh masing-masing pihak; apakah masing-masing pihak bersedia
bekerjasama secara sukarela, apa yang menjadi peran masing-masing
dalam KUM; kemudian dilakukan penandatanganan MOU antarpimpinan
dari masing-masing organisasi. Sejak awal universitas/perguruan tinggi
harus meletakan KUM dalam kerangka pelaksanaan Tri Dharma Perguruan
Tinggi, sedangkan OMS meletakkannya dalam kerangka melaksanakan
core issue dari mandat organisasinya, dan masyarakat harus meletakkannya
dalam kerangka membangun warga negara yang aktif. KUM dibangun dalam
rangka mendorong terlaksananya democratic governance di masyarakat.
Dalam KUM perlu dipastikan adanya keterbukaan, kesetaraan dan saling
menguntungkan.28 KUM dapat digunakan untuk melakukan pemberdayaan
masyarakat dengan pendekatan ABCD, misalnya, penelitian berbasis
masyarakat (Community Based Research) maupun dalam melakukan service
learning, advokasi kebijakan, dan upaya untuk melakukan transformasi sosial
dalam masyarakat. Apapun pilihan fokus dari KUM haruslah didasarkan atas
kesepakatan bersama berdasarkan hasil analisa potensi dan kekuatan yang
dimiliki masing-masing pihak.

Lihat SK Dirjen Pendis Nomor 4834 Tahun 2015 tentang Pedoman Pengabdian Kepada
28

Masyarakat untuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.

32 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


3.3 Bekerja Bersama Mengidentifikasikan Isu-Isu
Democratic Governance

Dalam rangka mendorong terlaksananya democratic governance di


masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, maka para aktor yang
tergabung di dalam KUM terlebih dahulu harus memilih komunitas yang
menjadi mitra dan lokasinya. Di lain sisi komunitas pun dapat memilih
mau bermitra dengan universitas dan OMS yang mana. Jadi dalam KUM
tidak saja hanya outreach tetapi juga dapat dilakukan inreach. Langkah
selanjutnya adalah perlu mengidentifikasi isu-isu (baca: tantangan)
democratic governance apa yang diidentifikasi oleh komunitas yang menjadi
mitra. Kemudian juga menelaah relasi kuasa yang ada di komunitas serta
individu-individu yang dapat menjadi penggerak di masyarakat. Asesmen
dapat dilakukan dengan menggunakan wawancara, FGD maupun
observasi. Wawancara dan FGD dapat menggunakan teknik appreciative
inquiry (AI)29 yang merupakan salah satu alat yang biasa digunakan dalam
Pendekatan ABCD. Dalam asesmen perlu dipastikan adanya keterwakilan
setiap elemen masyarakat termasuk mereka yang berasal dari kelompok
miskin, perempuan, anak-anak, penduduk usia lanjut, disabilitas/difabel, dan
golongan minoritas.

Dalam mengidentifikasikan isu-isu democratic governance yang ada di


komunitas kelompok mitra, perlu juga dilakukan analisa gender dan analisa
kondisi lingkungannya. Apabila lebih dari satu isu democratic governance
yang teridentifikasi dalam satu komunitas maka perlu dipilih isu mana yang
akan direspon terlebih dahulu. Hal ini tentu membutuhkan kesepakatan
antara multistakeholder di komunitas yang bersangkutan. Keputusan
harus ada di tangan komunitas dan dilakukan secara partisipatif. Isu mana
yang akan dipilih tidak harus diputuskan pada tahapan ini tetapi lebih baik

29
Appreciative inquiry (AI) merupakan suatu pendekatan yang fokus pada upaya menemukan
hal-hal yang terbaik dari orang, organisasi dan apa yang ada di sekitar mereka. Apa
yang membuat sebuah sistem hidup, apa yang menjadi kebanggaan dari informan. Kunci
keberhasilan pendekatan ini terletak pada cara bertanya yang tidak konvensional (positivis).
Cooperrider, D.L. & Whitney, D., “Appreciative Inquiry: A positive revolution in change” dalam
Peggy Holman dan Tom Devane (eds.), The Change Handbook, San Fransisco, California:
Berrett-Koehler Publishers, Inc., halaman 245-263.

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 33


diputuskan nanti setelah dilakukan pemetaan aset dan penyusunan rencana
aksi. Pemetaan aset dan penyusunan rencana aksi merupakan bagian
dari langkah-langkah ABCD. Lebih lanjut tentang pendekatan ABCD akan
diuraikan pada bagian 3.5.

3.4 Membentuk dan Memperkuat Kelompok Inti di


Masyarakat

Penerapan nilai-nilai democratic governance tidaklah dapat dilakukan


dengan paksaan. Nilai-nilai ini hanya dapat dipromosikan dengan
keteladanan dan persuasi. Oleh karenanya dibutuhkan adanya kelompok inti
yang bekerja di masyarakat dan berasal dari masyarakat itu sendiri. Mereka
ini berperan sebagai agen-agen perubahan yang berfungsi memfasilitasi
diskusi, memetakan potensi, mengkoordinir masyarakat dalam menyusun
dan melaksanakan rencana aksi, serta memobilisasi aset dan potensi yang
dimiliki masyarakat untuk melaksanakan rencana aksi guna mencapai tujuan
bersama.

Kelompok inti terdiri atas sejumlah aktor pilihan yang merupakan bagian
dari sebuah komunitas di masyarakat, yang bersedia bekerja secara
sukarela untuk kemajuan masyarakatnya. Mereka dipilih oleh komunitasnya
karena memiliki keterampilan untuk berkomunikasi secara efektif, mampu
mempengaruhi dan memobilisasi masyarakat, memiliki komitmen untuk
bekerja secara sukarela, non partisan dari partai politik, memiliki hubungan
yang baik dengan pemerintah namun tetap independen. Perlu dipastikan
bahwa dalam kelompok inti ini terdapat keterwakilan perempuan. Kelompok
inti tidak selalu harus dibentuk baru, tetapi bisa juga menggunakan kelompok
yang telah ada di masyarakat yang memang terbukti selama ini telah berjalan
dan mampu mengemban peran atau fungsi dari kelompok inti. Alasan
dibentuknya kelompok inti bukan menempatkan seorang fasilitator atau pun
pendamping masyarakat yang berasal dari luar komunitas agar sejak awal
warga komunitas menjadi subyek atau aktor utama dari transformasi sosial
yang akan dilakukan. Selain itu, hal ini untuk membangun rasa kepemilikan
dan keberlanjutan inisiatif yang dilakukan. Di sini ketergantungan kepada
pihak luar sejak dini harus sedapat mungkin ditiadakan.

34 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


Kelompok inti perlu memperoleh serangkaian penguatan kapasitas agar
dapat menjalankan fungsinya secara efektif. Setidaknya anggota kelompok
ini harus mengetahui tentang pendekatan Berbasis Aset dan Digerakkan
oleh Masyarakat – Asset Based Community Driven (ABCD) beserta alat
untuk melakukan pemetaan aset, teknik fasilitasi forum, teknik advokasi
publik, dan keterampilan khusus yang diperlukan terkait dengan isu prioritas
democratic governance yang akan direspon oleh komunitas.30 Dalam
menjalankan fungsi dan tugasnya kelompok inti harus menghormati nilai-nilai
kemanusiaan dan HAM, saling menghormati sesama anggota kelompok inti
maupun masyarakat, toleransi terhadap perbedaan, dan tidak menggunakan
pemaksaan atau pun kekerasan. Proses pengambilan keputusan harus
dilakukan secara partisipatif, transparan dan akuntabel.

3.5 Memetakan Kekuatan dan Aset Masyarakat


serta Menyepakati Rencana Aksi

Salah satu pendekatan pemberdayaan masyarakat yang mempromosikan


nilai-nilai democratic governance adalah Berbasis Aset dan Digerakkan
oleh Masyarakat – Asset Based Community Driven (ABCD). ABCD
merupakan sebuah pendekatan pemberdayaan masyarakat yang dipimpin
dan digerakkan oleh masyarakat itu sendiri, dengan mengidentifikasi dan
memobilisasi sendiri aset yang mereka miliki.31 Pendekatan ini sangat
memberikan penghargaan terhadap kemanusiaan dan HAM. Setiap orang
diakui memiliki kekuatan dan potensi, setiap komunitas pasti memiliki aset.
Tidak ada seorang pun yang tidak memiliki sesuatu. Di sini nilai kesetaraan
dan non diskriminasi sangat dijunjung tinggi. Setiap masyarakat pasti

30
Jika tertarik untuk mengetahui teknik fasilitasi forum publik dapat dilihat dalam Sri Mastuti
dan Saiful Muluk, Panduan Pelatihan Peningkatan Kapasitas Untuk Pemimpin Lokal
Dalam Mengembangkan Forum Publik Yang Efektif, Jakarta: Kementerian Agama Republik
Indonesia, 2015. Sedangkan untuk ABCD dapat dilihat Panduan KKN ABCD yang diterbitkan
oleh UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015, serta untuk advokasi dapat dilihat Panduan Advokasi
Lingkungan yang akan diterbitkan oleh UIN Sunan Ampel Surabaya, WALHI dan Kementerian
Agama, 2016.
31
Cuningham, Gord, et al., Mobilizing Assets for Community – Driven Development,
Antigonish, Canada: Coady International Institute, 2012.

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 35


memiliki aset, oleh karenanya perlu dilakukan pemetaan terhadap aset yang
dimiliki oleh komunitas. Pemetaan aset ini penting untuk mengetahui apa
yang telah dimiliki oleh masyarakat. Potensi dan kekuatan ini kemudian
dapat dimobilisasi untuk melaksanakan rencana aksi yang telah disepakati.
Jika rencana aksi yang disepakati termasuk ke dalam program khusus
mendorong terwujudnya democratic governance, maka sudah pasti aset yang
telah terpetakan tersebut dapat dimobilisasi untuk melaksanakan rencana
aksi. Sedangkan bila rencana aksi yang disepakati termasuk pada program
umum dimana democratic governance menjadi yang diarusutamakan,
maka aset yang dimiliki dapat digunakan untuk mendorong mempraktikkan
democratic governance dalam kerja keseharian pelaksanaan rencana aksi.

Pemetaan aset dilakukan oleh kelompok inti yang bermitra dengan


masyarakat. Beberapa alat yang bisa digunakan untuk melakukan pemetaan
diantaranya sejarah lisan, wawancara apresiatif, diskusi kelompok terfokus,
dan lain sebagainya. Lebih lanjut tentang teknik pemetaan aset dapat dilihat
dalam buku Panduan KKN ABCD yang diterbitkan oleh UIN Sunan Ampel
Surabaya32 atau pun paket pelatihan ABCD yang akan diterbitkan oleh UIN
Alauddin Makassar. Prinsipnya pemetaan aset dilakukan secara partisipatif
dengan cara-cara damai tanpa adanya pemaksaan terlebih menggunakan
kekerasan. Setelah peta aset fisik, ekonomi, sosial dan budaya, serta
aset individu diperoleh, maka kemudian dilakukan rembuk warga. Dalam
pemetaan aset-aset yang dimiliki warga untuk mendorong democratic
governance hendaknya juga diidentifikasikan, misalnya dalam memetakan
aset fisik perlu diidentifikasi di mana tempat masyarakat sering berkumpul
atau ruang publik bersama. Kemudian dalam memetakan aset sosial
adakah organisasi atau asosiasi di masyarakat yang turut (atau berpotensi)
mempromosikan nilai-nilai democratic governance; atau ketika memetakan
aset individu perlu diidentifikasikan orang yang memiliki kemampuan untuk
melakukan advokasi, memediasi konflik, dan sebagainya. Hal yang tidak
kalah pentingnya dalam melakukan pemetaan dan menyusun rencana aksi,
perlu dipastikan kelompok perempuan, kelompok difabel, dan kelompok
marjinal lainnya juga harus dilibatkan dan didengar suaranya.

32
Panduan KKN ABCD dari UIN Sunan Ampel Surabaya ini dapat diakses di www.digilib.
uinsby.ac.id/6453.

36 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


Pada kesempatan ini, hasil pemetaan aset masyarakat yang telah dilakukan
oleh kelompok inti disampaikan kepada masyarakat yang lebih luas sebagai
bentuk akuntabilitas. Kemudian pada saat itu juga diindentifikasikan
beberapa rencana aksi yang bisa dilakukan dengan menggunakan aset
yang ada. Dari beberapa rencana aksi tersebut kemudian disepakati mana
yang menjadi prioritas yang harus dilakukan terlebih dahulu. Ini kemudian
menjadi agenda kerja bersama multipihak di masyarakat. Dalam pendekatan
ABCD, sebaiknya prioritas pertama adalah suatu kegiatan yang relatif
mudah dilakukan dengan sumberdaya yang ada, dengan tujuan membantu
masyarakat untuk yakin bahwa mereka memiliki potensi yang banyak-
banyak melakukan inisiatif sendiri untuk mencapai cita-citanya tanpa harus
selalu bergantung pada pihak lain.

3.6 Memobilisasi Kekuatan dan Aset untuk


Merespon Isu Democratic Governance

Apabila telah disepakati rencana aksi prioritas, kemudian kelompok inti


mulai menfasilitasi masyarakat untuk memobilisasi aset yang dimiliki untuk
melaksanakan rencana aksi dan merespon isu democratic governance yang
ada di lingkungannya. Dalam memobilisasi aset dan mengajak partisipasi
masyarakat dan pihak-pihak lain seperti pemerintah daerah maupun dunia
usaha harus dilakukan secara persuasif.

Di sini perlu kerjasama dan membangun jejaring kerja dengan multipihak.


Ini penting agar agenda aksi yang dilakukan dapat berjalan efektif dan
tepat waktu dengan seefisien mungkin. Proses memobilisasi aset untuk
melaksanakan rencana aksi cepat atau lambatnya sangat bergantung pada
komitmen dan kerja keras semua pihak. Progres dari pelaksanaan rencana
aksi harus disampaikan secara transparan dan akuntabel kepada multipihak
yang peduli dan terkait dengan rencana aksi masyarakat.

Kemudian juga perlu senantiasa dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap


pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan ABCD yang telah dilakukan.

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 37


Evaluasi juga dilakukan secara partisipatif, transparan dan jujur. Hasilnya
menjadi umpan balik untuk memperbaiki proses dan pendekatan yang akan
dilakukan ke depan.

3.7 Melakukan Evaluasi

Setelah memobilisasi aset untuk melaksanakan rencana aksi, maka perlu


dilakukan evaluasi. Evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan
informasi tentang kegiatan atau program dan hasilnya, serta pembelajaran
yang diperoleh dari proses perencanaan dan pelaksanaan program. Hasil
dari evaluasi ini sangat dibutuhkan untuk menjadi umpan balik bagi para
pengambil keputusan untuk peningkatan efektifitas program dan juga dalam
perbaikan perencanaan ke depan.33 Pendekatan dan instrumen yang bisa
digunakan untuk melakukan evaluasi sangat beragam tergantung kepada
kebutuhan. Dalam hal ini langkah pertama yang harus dilakukan adalah
menentukan fokus atau tujuan dari evaluasi.

Buku ini sendiri menawarkan evaluasi pelaksanaan democratic governance.


Evaluasi hendaknya dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan
semua unsur stakeholders, baik dari universitas, OMS, dan masyarakat.
Pendekatan yang digunakan bisa dengan membandingkan antara baseline
penerapan prinsip-prinsip democratic governance sebelum program dimulai
dengan setelah program dilaksanakan. Metodenya bisa dilakukan secara
kualitatif melalui wawancara, diskusi kelompok terfokus, maupun observasi.
Parameter yang bisa digunakan dalam mengembangkan instrumen dapat
berangkat dari indikator democratic governance yang telah dikemukakan
pada bagian 2.3. Bertolak dari itu bisa dikembangkan pertanyaan–pertanyaan
kunci yang dapat digunakan untuk wawancara maupun FGD. Atau pun
menentukan item-item apa yang perlu diobservasi. Hasilnya kemudian
dianalisa dan menjadi dasar rekomendasi untuk perbaikan pelaksanaan
program ke depan.

33
Mark, Melvin M, et.all, “The Evaluation of Policies, Programs, and Practices”, dalam Shawn,
Ian F., Jennifer C. Greene, and Melvin M. Mark, The Sage Handbook of Evaluation, London:
Sage Publications, 2006, hal. 6

38 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


Gambar 3.1.
Gambar 3.1.
Bagan Alur Proses KUM Mendorong Democratic Governance
Bagan Alur Proses KUM Mendorong Democratic Governance

1 Memilih
Pendekatan

7 Melakukan
Evaluasi 2 Membangun
Kemitraan

6 3
Memobilisasi Mengidentifikasi
Aset Isu Democratic
Governance

5 4
Menentukan Aset Membentuk dan
dan Menyepakati Memperkuat
Rencana Aksi Kelompok Inti

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 39


Bab IV
Pengalaman Praktis
Pemberdayaan
Masyarakat melalui
KUM untuk Mendorong
Democratic Governance

40 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


4.1.
Menyebarkan Perdamaian Melalui Peace
Education: Pengalaman Komunitas Lette,
Mariso, Makassar
Kelurahan Lette merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Mariso, Kota
Makassar, yang dikenal sebagai daerah yang padat penduduk. Kelurahan ini
dihuni oleh sekitar 9.000 jiwa yang terdiri atas 51 persen perempuan dan 49
persen laki-laki. Mereka menempati lahan seluas 14 hektar. Komunitas Lette
umumnya berasal dari kelompok menengah ke bawah yang bekerja sebagai
nelayan, tukang becak, tukang batu, dan pedagang kecil. Komunitas Lette
selama ini mengalami stigma sebagai komunitas yang gemar tawuran,
sering terlibat konflik dan terlibat dalam tindakan kekerasan, susah diajak
bekerjasama, dan merupakan salah satu “daerah hitam” di Makassar.34

Perangkat kelurahan meski berjalan baik dan mengakui memiliki cukup uang
dari berbagai proyek yang ada, diantaranya PNPM, namun gagal melakukan
perubahan perilaku masyarakat. Hal ini terjadi karena berbagai proyek yang
masuk tidak berupaya membantu mengubah pola pikir masyarakat urban ini.
Pada awal pemetaan potensi yang dilakukan oleh kelompok inti masyarakat
Lette ditemukan bahwa di Lette pernah ada Remaja Mesjid, Majelis Ta’lim,
dan Karang Taruna tetapi semuanya tidak berjalan dengan baik bahkan
terkesan mati suri. Masyarakat terutama kelompok pemuda kerap terlibat
tawuran antarkampung atau sering juga melakukan tindakan kriminalitas
seperti berjudi, minum minuman keras dan narkoba. Di daerah ini juga
banyak perempuan yang menjadi orang tua tunggal karena perceraian.
Mereka sebenarnya memiliki potensi tetapi sering tidak diberi ruang untuk
berbicara. Sementara pemuda Lette sering harus menelan pil pahit akibat
stereotype yang diberikan sebagai “perusuh”.

Dalam konteks yang sedemikian itu, kemudian UIN AM bersama dengan


OMS Lembaga Pendidikan dan Advokasi Rakyat (LAPAR)35 melalui
KUM secara kolaboratif dengan masyarakat Lette berupaya melakukan
inisiatif untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dengan menebarkan
semangat membangun perdamaian di Lette. Kelompok inti yang terdiri
atas keterwakilan RW di Lette yang dipilih oleh warga kemudian bergerak

34
Presentasi Hasil Pemetaan Pokja 2 UINAM Makassar, 2013
35
LAPAR merupakan sebuah OMS yang berkedudukan di Sulawesi Selatan dengan kantornya
di Kota Makassar. LAPAR merupakan OMS yang memiliki Sekolah Demokrasi dengan fokus isu
pada peace building, civic education dan community journalism.

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 41


melakukan pemetaan potensi yang ada di komunitas secara partisipatif.
Kemudian hasil pemetaannya disampaikan kepada warga dan kemudian
dilakukan curah pendapat tentang mimpi perubahan yang ingin dilakukan di
Lette. Warga kemudian menyepakati ingin mengubah citra Lette dari daerah
yang warganya gemar tawuran menjadi daerah yang damai. Kemudian
beranjak dari situ disepakati serangkaian rencana aksi.

Program pertamanya adalah melakukan peningkatan kapasitas warga


tentang Manajemen Konflik dan Peace Education. Kemudian juga
dilakukan pemetaan akar konflik di Lette. Mereka juga melakukan
advokasi ke Pemerintah Kota Makassar dan juga ke media massa. Mereka
menggunakan program diskusi berkala sebagai media dialog multipihak. Hal
ini sepertinya membawa manfaat bagi tumbuhnya rasa saling pengertian
dan menghilangkan rasa tidak percaya yang menjadi salah satu akar konflik
di Lette.

Gambar 4.1 Dua liputan berita kegiatan di Kelurahan Lette36

Anggota komunitas Lette juga mulai saling memahami satu sama lain, dan
mulai memberikan kesempatan yang setara kepada seluruh warga termasuk
para janda yang tadinya sempat dimarjinalisasi. Dimulai dari sini kemudian
banyak inisiatif mandiri dilakukan dan dikembangkan oleh warga diantaranya
mereka telah membentuk forum publik informal yaitu forum RT/RW, Majelis
Ta’lim mulai kembali aktif, Remaja Mesjid kembali ramai, dan sekarang juga
telah ada Karang Taruna. Kemudian dalam rangka mengkampanyekan
hal positif dan mengubah stigma Lette, mereka juga sekarang telah
mengembangkan Community Media. Dimana para penggeraknya adalah
anak-anak muda yang bertindak sebagai citizen journalists. Tulisan-tulisan

Diunduh
36
dari http://www.seputarsulawesi.com/berita-hari-ini-ada-karnaval-becak-hias-
di-kelurahan-lette.html, juga http://www.seputarsulawesi.com/berita--forum-rt-rw-bantu-
kembangkan-lette.html diunduh pada 22 Juni 2016.

42 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


warga Lette ini dapat diakses pada www.seputarsulawesi.com. Masyarakat
Lette sekarang juga telah memiliki banyak mitra dan bekerja secara
berjejaring dengan Pemda, media, OMS, dan perguruan tinggi. Sekarang
Lette telah mengalami transformasi dari awalnya komunitas yang dikenal
sebagai perusuh menjadi komunitas active citizens yang berperan serta
dalam membangun dirinya, komunitasnya dan masyarakat Kota Makassar.

Gambar 4.2 Komunikasi warga Lette terkait permasalahan yang terjadi di wilayahnya

Hal Penting dari Pengalaman Lette


Transformasi sosial suatu komunitas masyarakat tidak akan dapat
dilakukan tanpa menyentuh perubahan pola pikir. Penerapan nilai-
nilai kesetaraan, saling menghargai, anti kekerasan, partisipatif,
akuntabel, dan menggunakan penggerak dari masyarakat sendiri
yang menjadi penjamin sebuah inisiatif akan berlanjut karena
adanya rasa memiliki yang kuat.

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 43


Transformasi sosial suatu komunitas masyarakat tidak akan dapat dilakukan tanpa
Penerapan nilai-nilai kesetaraan, saling menghargai, anti kekerasan, partisipa
4.2. Mempraktikkan Perencanaan dan Penganggaran
penggerak dari masyarakat sendiri yang menjadi penjamin sebuah inisiatif ak
memiliki yang kuat.
Partisipatif: Pengalaman Pengerasan Jalan Dusun
Borongbulo – Paranglompoa, Bontolempangan,
Gowa
Dusun Borongbulo masuk dalam wilayah desa Paranglompoa, Kecamatan
Bontolempangan, Kabupaten Gowa di Sulawesi Selatan. Desa Paranglompoa
sebenarnya hanya berjarak sekitar 80 KM dari Makassar atau sekitar 3
jam perjalanan. Namun untuk masuk ke dusun Borongbulo dibutuhkan
waktu tempuh sekitar 3 jam perjalanan lagi karena pada tahun 2013 dusun
Borongbulo hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau lebih tepatnya
mendaki karena dusun ini terletak di puncak gunung. Jumlah penduduk di
dusun Borongbulo ada sekitar 364 orang, yang terdiri atas 180 laki-laki dan
184 perempuan. Sebagian besar penduduk Borongbulo bekerja sebagai
petani dengan jumlah mencapai sekitar 80 persen, 10 persennya bekerja
sebagai pedagang, 5 persen pegawai negeri sipil dan 5 persen buruh.37
Warga dusun Borongbulo pada masa lalu sulit mengakses pelayanan
kesehatan dan pendidikan karena letak sarana tersebut ada di ibukota desa,
sementara jalan mereka sangat kurang memadai untuk dilalui terlebih di
musim penghujan. Demikian juga dalam pemasaran produk pertaniannya
warga mengalami kesulitan terkait dengan alat transportasi. Karena kondisi
geografis dusun mereka dan tidak adanya afirmasi khusus sehingga warga
dusun merasa terabaikan dan tidak dilibatkan dalam proses perencanaan
maupun pembangunan desa. Warga juga tidak mengetahui bagaimana
caranya mengakses informasi dan meminta akuntabilitas pengelolaan dana
desa.

Ketika UIN Alauddin Makassar bersama Majelis Pemberdayaan Masyarakat


Muhammadiyah (MPM Muhammadiyah)38 melalui kegiatan KUM bekerja
dengan masyarakat dusun Borongbulo, setiap warga memiliki harapan
yang sama yaitu bagaimana memperbaiki kualitas jalan dusun sehingga
bisa dilalui kendaraan bermotor. Setelah melalui serangkaian asesmen dan
diskusi, akhirnya masyarakat Borongbulo menyepakati pengerasan jalan
dusun menjadi agenda prioritas bahkan waktu itu satu-satunya untuk segera

37
Presentasi hasil pemetaan Pokja 1 UINAM Makassar 2013
38
MPM Muhammadiyah Cabang Sulawesi Selatan merupakan lembaga otonom di bawah
Muhammadiyah yang bekerja untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Bekerja di sektor
pertanian, perikanan, dan advokasi pelayanan publik.

44 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


a menyentuh perubahan pola pikir.
atif, akuntabel, dan menggunakan
kan berlanjutdirealisasikan oleh
karena adanya rasa warga. Kemudian warga dengan difasilitasi oleh UINAM
dan MPM Muhammadiyah melakukan perencanaan dan penganggaran
partisipatif untuk proyek pengerasan jalan dusun. Pertama kelompok inti
dari masyarakat melakukan pemetaan potensi dan aset yang dimiliki secara
partisipatif. Dari kegiatan ini diketahui bahwa Dusun Borongbulo memiliki aset
yang bisa digunakan untuk pengerasan jalan, misalnya ada tenaga manusia
yang pernah bekerja sebagai tukang, lalu di dusun Borongbulo juga terdapat
sungai dimana banyak terdapat batu yang bisa digunakan sebagai salah
satu bahan baku pengerasan jalan, dan sebagainya. Sebelum penyusunan
rencana proyek dan rencana anggaran pengerasan jalan, warga terutama
kelompok inti diberikan berbagai kegiatan penguatan kapasitas seperti teknik
fasilitasi forum publik yang akan sangat dibutuhkan dalam memastikan agar
proses perencanaan dapat dilakukan secara efektif dan partisipatif dengan
melibatkan seluruh elemen warga. Kemudian juga dilakukan pelatihan
perencanaan dan penganggaran partisipatif untuk menyusun rencana dan
anggaran proyek pengerasan jalan, di samping itu juga dilakukan pelatihan
advokasi yang bertujuan agar warga bisa menjalin jejaring dan melakukan
lobi maupun advokasi ke Pemda dan DPRD.

Perencanaan dan penganggaran partisipatif pengerasan jalan dusun dimulai


dengan melakukan rembuk warga yang difasilitasi oleh alumni pelatihan
fasilitasi publik forum. Dalam rembuk warga ini semua elemen masyarakat
dari unsur petani, buruh, pedagang, perempuan dan juga unsur masyarakat
minoritas seperti kelompok non muslim diundang dan berpartisipasi secara
aktif dalam rembuk warga ini. Satu hal yang menarik ketika warga dari
kelompok minoritas menyatakan terimakasih karena mereka telah dilibatkan
dalam proses perencanaan karena selama ini mereka merasa dikucilkan
dan menjadi warga kelas dua. Di sini disepakati siapa yang melakukan apa
dan juga agenda waktunya.

Kemudian setelah disepakati program dan anggaran maka kelompok inti


mulai bergerak mendiseminasikan kepada seluruh warga, kepada aparatur
desa, serta kepada aparatur kecamatan dan juga melakukan audiensi
kepada Pemda Kabupaten Gowa khususnya Bappeda, Kimpraswil, dan juga
kepada DPRD. Akhirnya selain memobilisasi sumber daya yang mereka miliki
sendiri warga juga mendapatkan bantuan dana dari Proyek SILE, bantuan
peralatan dari Pemda dan Perusahaan Pengelolaan Getah Pinus yang ada
di dusun Borongbulo. Di samping itu Pemda Kabupaten Gowa juga telah
mengalokasikan anggaran dalam APBD 2016 untuk kelanjutan pengerasan
jalan sisanya. Hasil lobi kelompok inti ini disampaikan kepada warga melalui
“rumah aspirasi” yang melakukan diskusi secara reguler. Warga mulai

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 45


merealisasikan proyek pengerasan jalan, berapa jumlah uang yang masuk
dan berapa yang sudah digunakan selalu dimutakhirkan dan disampaikan
secara transparan dan akuntabel kepada masyarakat. Saat buku ini disusun
proyek pengerasan jalan masih sedang berjalan dengan kondisi 70 persen
selesai. Warga terus bekerja dan bergandengan tangan dengan para mitra
(pemerintah, perguruan tinggi, dan OMS) untuk merealisasi mimpi memiliki
jalan dusun yang lebih baik.

Gambar 4.3 Proses pengerjaan pengerasan Gambar 4.4 Jalan yang sudah mengalami
jalan pengerasan

Point Penting dari Pengalaman Borongbulo


Tidak ada yang tidak bisa diwujudkan jika setiap orang bersedia
bekerja keras, bekerjasama, terbuka dan bertanggung jawab
untuk merealisasikan mimpi bersama. Berangkat dari kesadaran
pelayanan publik merupakan hak warga negara dan salah satu wujud
pemenuhan HAM. Dengan melibatkan setiap elemen masyarakat
baik dari kelompok mayoritas maupun minoritas, baik laki-laki maupun
perempuan, menjadikan perbedaan sebagai kekayaan, masyarakat
memiliki kekuatan lebih untuk mempengaruhi para pengambil
kebijakan sehingga yang tadinya tidak mendengar sekarang malah
berbalik menjadi pendukung. Di sini prinsip kesetaraan, toleransi, dan
anti kekerasan diterapkan dalam menjalankan program bersama.
Hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah prinsip kemitraan juga
dijalankan tidak saja dengan pemerintah namun juga dengan pihak
swasta yang ada di desa. Akhirnya mimpi akan dan bisa menjadi
kenyataan.

46 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


4.3. Civic Report Card untuk Perbaikan Kualitas
Layanan Kesehatan: Pengalaman Masyarakat
Cambayya, Ujung Tanah, Makassar
Kelurahan Cambayya termasuk dalam Kecamatan Ujung Tanah Kota
Makassar selama bertahun-tahun dijuluki sebagai daerah “Kumis” (Kumuh
dan Miskin). Namun saat ini masyarakatnya sudah menggeliat dan daerah
ini sudah tidak disebut lagi sebagai daerah “Kumis”. Kelurahan Cambaya
memiliki luas sebesar 5,30 Ha dan didiami oleh 1450 KK atau sekitar
6.097 penduduk. Sayangnya tidak diperoleh data berapa jumlah penduduk
perempuan dan berapa jumlah penduduk laki-laki. Namun secara kasat
mata jumlah penduduk perempuan 36 lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah penduduk laki-laki. Sekitar 70 persen penduduk bekerja sebagai
nelayan dan mengolah hasil laut. Di komunitas ini kekerasan sering
terjadi, semisal jika ada ketidakpuasan terhadap anggota keluarga atau
pun kelompok tertentu. Aset yang menonjol yang dimiliki oleh komunitas
Cambayya adalah asosiasinya yang berjalan baik khususnya Posyandu dan
Paralegal (kelompok yang memberikan pendampingan kepada masyarakat
yang terlibat masalah hukum khususnya KDRT) yang anggotanya adalah
ibu-ibu rumah tangga. Mereka cukup aktif sebagai agen perubahan di
lingkungannya.

Masyarakat Cambayya umumnya berasal dari golongan ekonomi menengah


ke bawah, sehingga tingkat ketergantungan pada sarana kesehatan publik
seperti Puskesmas sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena layanan
tersebut aksesnya lebih dekat dan terjangkau selain itu juga tidak perlu
membayar. Persoalannya masyarakat sering mengeluhkan terhadap kualitas
layanan Pustu (Puskesmas Pembantu) maupun Puskesmas. Mereka ingin
melakukan advokasi ke Pemda khususnya Dinas Kesehatan namun mereka
ingin melakukannya dengan cara-cara damai dan didukung oleh data dan
bukti kuat. Hal ini disambut baik oleh UINAM dan OMS Forum Pemerhati
Masalah Perempuan (FPMP)39 melalui program KUM dengan menfasilitasi
masyarakat Cambayya untuk melakukan Citizen Report Card (CRC)40 untuk
menilai kualitas layanan kesehatan.

39
FPMP merupakan sebuah OMS di Sulawesi Selatan yang keanggotaannya berupa
organisasi dan individu yang berkerja di bidang pendidikan alternatif bagi perempuan,
penelitian, advokasi kebijakan dan pendampingan korban kekerasan. Core isunya pada
pemberdayaan perempuan, gender dan advokasi pelayanan publik.

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 47


Langkah awal yang dilakukan adalah membentuk Tim Survei yang terdiri
dari anggota masyarakat Cambayya. Kriterianya mereka harus memiliki
komitmen untuk bekerjasama dengan anggota lainnya melakukan survei
dan advokasi kepada para pengambil kebijakan dengan cara-cara damai.
Kemudian Tim Survei ini dilatih cara melakukan CRC oleh fasilitator yang
sudah berpengalaman. Langkah selanjutnya dilakukan workshop multi
stakeholders dimana selain komponen masyarakat pengguna layanan
sebagai peserta juga adanya jaminan keterwakilan laki-laki dan perempuan,
serta para penyelenggara layanan. Dalam workshop ini dibahas dan
disepakati komponen apa yang akan disurvei dan disusun instrumen survei.

Uji coba instrumen dan finalisasi instrumen dilakukan setelah workshop


multi stakeholder. Di sini semua dilakukan secara partisipatif, dengan
memperhatikan kebutuhan khusus gender, dan semua peserta memiliki
posisi yang setara. Ketika instrumen telah final maka dilakukan pelatihan bagi
para enumerator yang akan mengumpulkan data. Setelah itu dilakukanlah
survei yang dilakukan kepada 440 orang (220 laki-laki dan 220 perempuan)
yang menjadi sampel dengan tingkat kepercayaan 95%. Kemudian hasil
survei setelah diinput dilanjutkan dengan analisa data.

Hasil survei diantaranya menemukan bahwa masyarakat Cambayya yang


lebih banyak menggunakan layanan Puskesmas adalah perempuan 39%
sementara laki-laki 28%. Sisanya 10% tidak mengakses layanan kesehatan,
dan 23% mengakses klinik, dimana 19% adalah laki-laki dan sisanya
perempuan. Survei juga menunjukkan bahwa ada sekitar 5,4% perempuan
pemegang BPJS merasa ada perlakukan diskriminatif dalam pelayanan di
Puskesmas, sedangkan laki-laki yang merasa ada perlakuan diskriminatif
sekitar 3,4%. Ini berarti meskipun sebagian responden menyatakan terdapat
perlakuan diskriminatif namun jumlahnya tidak signifikan. Kemudian juga
masyarakat mengeluhkan perihal kurangnya jumlah petugas kesehatan di
Puskesmas Pembantu, responden perempuan yang mengeluhkan halnya
mencapai 34% sedangkan responden laki-laki 22%. Fasilitas layanan
dianggap masih belum responsif gender dimana ada sekitar 43% dari 220
responden perempuan menyatakan belum responsif gender dan 26% dari

40
CRC adalah salah satu bentuk penelitian menggunakan pendekatan mixed method
(kualitatif dan kuantitatif) dengan strategi sequential transformative design, yaitu diawali
dengan penelitian kualitatif, lalu dilanjutkan dengan penelitian kuantitatif. Sumber: Policy Brief,
Cambayya, 2015. Policy brief ini disusun bersama oleh warga Cambayya dengan Pokja 4
UINAM yang beranggotakan anggota PSGA UINAM dan OMS FPMP. Policy brief ini disusun
sebagai bahan advokasi yang disampaikan warga kepada pengambil kebijakan terkait dengan
perbaikan kualitas layanan kesehatan.

48 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


220 responden laki-laki menjawab belum responsif gender. Laporan hasil
survei kemudian dijadikan bahan acuan untuk menyusun policy brief yang
akan menjadi bahan advokasi.

Gambar 4.5 Kegiatan Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Pattingalloang yang Kualitas


Pelayanan Publiknya di Survey oleh Masyarakat Kelurahan

Dalam policy brief-nya komunitas masyarakat Cambayya selain


menyampaikan fakta hasil temuan survei, juga menyampaikan sejumlah
rekomendasi untuk perbaikan kualitas layanan Puskesmas. Diantaranya
menghilangkan perlakukan yang diskriminatif atau membeda-bedakan
antara pengguna layanan. Selain itu juga melakukan perbaikan fasilitas
pelayanan di Puskesmas dan Puskesmas Pembantu agar lebih responsif
gender, perlu dilakukan optimalisasi peran Puskesmas Pembantu dengan
menyediakan jumlah tenaga yang cukup maupun peningkatan profesionalitas
petugas dan sarana lainnya. Policy brief ini kemudian disampaikan kepada
Pemerintah Kota Makassar, Puskesmas Pattingalloang Kecamatan Ujung
Tanah Kota Makassar, Dinas Kesehatan, dan DPRD Kota Makassar melalui
audiensi dan lobi yang dilakukan oleh warga. Sampai tulisan ini disajikan
belum dilakukan evaluasi dampak dari policy brief yang telah disampaikan
dan kualitas layanan apa yang telah meningkat. Namun setidaknya warga
Cambayya telah menggunakan haknya sebagai warga negara untuk
menyampaikan pendapatnya yang dilakukan dengan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dengan cara-cara damai serta konstruktif.

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 49


Gambar 4.6 Simulasi Pengisian Kuesioner oleh Peserta

Hal Penting dari Pengalaman


Cambayya

Meskipun masyarakat Cambayya


mengetahui bahwa sebagai warga negara
mereka berhak memperoleh layanan
kesehatan yang berkualitas namun
mereka dihadapkan pada kualitas layanan
yang kurang memuaskan. Namun mereka
menunjukan kedewasaan sebagai
warga negara dengan tidak melakukan
hal-hal yang bersifat destruktif dalam
menyampaikan ketidakpuasan dan dalam
Gambar 4.7 Latihan Pengumpulan oleh melakukan advokasi ke para pengambil
Peserta (Aplikasi Materi) tanggal 9 Agustus kebijakan maupun penyedia layanan.
2015 Mereka memilih untuk melakukan cara
damai dengan didukung bukti hasil
survei yang dilakukan secara partisipatif
dengan melibatkan perwakilan komponen
masyarakat secara setara yang cukup
representatif dalam rangka upayanya
menuntut peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan.

50 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


4.4. Pemulihan Sosial Pascabencana Pengalaman
Masyarakat Gedang, Porong, Sidoardjo
Desa Gedang merupakan salah satu kelurahan yang merupakan bagian dari
Kecamatan Porong di Kabupaten Sidoarjo yang menjadi korban bencana
lumpur Lapindo. Kelurahan seluas 83,83 Ha ini dihuni oleh 6.684 jiwa,
dengan perincian laki-laki berjumlah 2.787 jiwa dan perempuan 3.897 jiwa.
Sebagian besar penduduk Gedang adalah tamatan SLTA, yaitu sebanyak
1.776 orang, disusul tamat SLTP sebanyak 1.083 orang, dan SD sebanyak
1.369 orang. Sementara, lulusan D1-D3 sebanyak 161 orang dan S1-S3
sebanyak 97 orang.41 Setelah bencana Lumpur Lapindo penduduk yang
awalnya sangat aktif dengan beragam kegiatan sosial dengan berbagai
asetnya merasa seperti “mati suri” dan kehilangan semangat. Majelis Ta’lim
yang sebelumnya beranggotakan 100 orang dan rutin melakukan kajian
setiap malam Jum’at, anggotanya berkurang drastis menjadi beberapa
puluh orang saja. Rumah-rumah dan lingkungan pun yang dulunya bersih
dan berwarna setelah kejadian itu seperti suram, bahkan warga pun sekedar
untuk mengecat rumah saja merasa malas. Masyarakat Gedang pernah
berada dalam fase ”kehilangan semangat hidup”. Hal ini tidak terlepas akibat
ketidakpastian status mereka apakah akan direlokasi atau tidak, di samping
itu juga akibat adanya “perpecahan” di masyarakat karena sebagian ada
yang mau direlokasi dan sebagian ada yang ingin tetap bertahan. Ada warga
yang mau menerima ganti rugi dan ada juga yang tidak mau menerima ganti
rugi.

UIN Sunan Ampel bersama dengan OMS Forum Lintas Agama (FLA)42
dan Fakultas Syariah melalui program KUM hadir dalam situasi ketidak
pastian dan warga yang “kehilangan semangat”. Langkah pertama yang
dilakukan adalah bersama kelompok inti di masyarakat memetakan aset
yang dimiliki komunitas dengan menggunakan oral history dan appreciative
inquiry. Pemetaan aset yang dilakukan secara partisipatif, transparan,
akuntabel, dan memberikan kesempatan setara bagi setiap komponen
masyarakat yang terlibat. Masyarakat kembali tersadar akan potensi dan
masa–masa jaya atau membanggakan dari masyarakat Gedang. Mereka

41
Laporan Pokja 5 UINSA Surabaya, 2014
42
FLA merupakan OMS yang berada di Jawa Timur, bekerja di komunitas untuk resolusi
konflik dan manajemen konflik dengan pendekatan berbasis pada partisipasi masyarakat.

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 51


menyadari banyak aset fisik, ekonomi, sosial dan budaya yang selama ini
telah terabaikan. Sebagai contoh forum publik yang dulunya hidup seperti
Majelis Ta’lim perlu kembali dihidupkan. Akhirnya warga sepakat untuk
menghidupkan kembali forum publik dengan melakukan diskusi reguler untuk
membahas isu-isu kontemporer yang berkembang di masyarakat, termasuk
untuk mempersiapkan proses social recovery pascakonflik. Forum publik
ini digunakan sebagai media bagi warga untuk tetap menjalin silaturahmi
untuk mempersiapkan mereka yang akan direlokasi dan juga tetap menjalin
silaturahmi antara warga yang masih tetap tinggal di Kelurahan Gedang
dengan mereka yang sudah pindah ke lokasi baru.

Gambar 4.8 Masyarakat desa Gedang sedang membicarakan masalah yang dihadapi.

Proses dialog yang dilakukan dalam forum publik berhasil membuat


masyarakat kembali bersemangat dan mengatasi perbedaan yang ada
dengan cara-cara damai. Dalam proses dialog wargalah sebagai aktor dan
setiap orang diposisikan setara, dihormati hak- haknya sebagai manusia dan
warga negara, dan mentoleransi jika terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan
pendapat dihargai dan diselesaikan dengan cara damai. Meskipun kegiatan
forum

Meskipun masyarakat Cambayya mengetahui bahwa sebagai


warga negara mereka berhak memperoleh layanan kesehatan yang
berkualitas namun mereka dihadapkan pada kualitas layanan yang
kurang memuaskan. Namun mereka menunjukan kedewasaan
sebagai warga negara dengan tidak melakukan hal-hal yang bersifat

52 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


destruktif dalam menyampaikan ketidakpuasan dan dalam melakukan
advokasi ke para pengambil kebijakan maupun penyedia layanan.
Mereka memilih untuk melakukan cara damai dengan didukung bukti
hasil survei yang dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan
perwakilan komponen masyarakat secara setara yang cukup
representatif dalam rangka upayanya menuntut peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan.

Hal Penting dari Pengalaman Masyarakat Gedang, Porong, Sidoardjo

Segala kesulitan pasti akan berlalu, setiap masyarakat pasti memiliki


potensi untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi dengan
saling bekerjasama dan menggunakan potensi yang mereka miliki.
Luka yang terjadi karena bencana bisa terobati dengan kembali
membangun kepercayaan diri, mengangkat nilai kemanusiaan dan
saling menghormati, saling mengisi melalui sebuah dialog yang damai
dan konstruktif. Di sini nilai democratic governance yang dikedepankan
adalah prinsip anti kekerasan dan kemitraan. Kekecewaan karena tragedi
Lapindo tidak direspon dengan cara-cara kekerasan tetapi memilih
berdialog dan menjalin kerjasama, bergandengan tangan untuk bangkit.

4.5. Mempraktikkan Democratic Governance Melalui


Koperasi Simpan Pinjam Majelis Ta’lim Desa
Senganten, Bojonegoro
Desa Senganten Kecamatan Gondang Kabupaten Bojonegoro berdiri
pada tahun 2009. Desa ini dihuni oleh 1.547 KK dengan jumlah penduduk
4.781 jiwa. Dari jumlah tersebut 2.343 jiwa adalah laki-laki dan 2.438 orang
perempuan. Masyarakat Senganten umumnya masih tergolong keluarga
miskin, yaitu sekitar 1.500 KK masih masuk kelompok miskin.43 Jika dilihat
dari pendidikan terakhir yang ditamatkan penduduk Senganten, maka
hasilnya adalah 16% tidak tamat SD, 23% tamat SD, 18% tamat SMP, 7%
tamat SMA dan hanya 3% yang mengenyam pendidikan di jenjang Perguruan
Tinggi. Kemiskinan terkadang menggoda sebagian masyarakat Senganten

43
Laporan asesmen Pokja 4 UINSA Surabaya, 2014.

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 53


melakukan pembalakan kayu di hutan yang termasuk area yang seharusnya
dilindungi. Hal ini mengakibatkan tidak jarang warga yang ditangkap polisi
hutan. Dalam kondisi seperti ini biasanya kepala desa akan turun tangan
sebagai pelindung dan membebaskan warga yang tertangkap.

Ketergantungan warga terhadap “perlindungan” dari Kepala Desa


berdampak pada relasi kuasa yang tidak setara. Kepala Desa menjadi
nampak memiliki kuasa yang dominan terhadap warga. Hal ini berdampak
pada governance desa. Pengelolaan pemerintahan dan pembangunan desa
yang dilakukan tidak mengedepankan nilai-nilai tata kelola yang baik dan
demokratis. Kepala Desa bebas mengambil keputusan tanpa ada kontrol
yang berarti dari warga. Meski Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Desa (Musrenbangdes) masih tetap dilakukan, tetapi ini hanya menjadi
forum publik yang artifisial saja. Dalam forum ini, perempuan bahkan tidak
diberikan kesempatan berbicara. Kehadirannya hanya dijadikan pelengkap
saja karena aturan yang meminta.

Gambar 4.9 Pertemuan informal dalam forum pengajian warga Desa Senganten, Bojonegoro

54 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


UINSA dan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)44 melalui
program KUM bersama masyarakat desa Senganten kemudian bersepakat
ingin merubah pola relasi yang tidak setara ini. Mengingat kondisi sosial dan
politik desa yang kurang kondusif jika langsung mengusung secara terbuka
mimpi perubahan yang ingin dicapai yaitu ingin mewujudkan tata kelola
desa yang baik dan demokratis, maka dipilihlah pendirian koperasi sebagai
wahana. Program pendirian koperasi ini memiliki makna yang penting bagi
upaya perbaikan kehidupan masyarakat miskin terutama para petani agar
tidak terlilit hutang pada rentenir tetapi di sisi lain juga bisa menjadi wahana
bagi edukasi dan praktik penerapan nilai-nilai democratic governance.
Akhirnya masyarakat sepakat mendirikan koperasi simpan pinjam dengan
modal yang berasal dari warga sendiri. Kemudian dilakukan serangkaian

kegiatan peningkatan kapasitas kepada kelompok masyarakat inti yang juga


menjadi pengurus koperasi tentang bagaimana manajemen dan pengelolaan
koperasi yang baik. Selain itu juga berbagai keterampilan terkait. Dalam
berkoperasi masyarakat belajar bagaimana mengelola organisasi secara
transparan, partisipatif, responsif dan akuntabel dengan mengedepankan
nilai-nilai kemanusiaan dan HAM, kesetaraan, toleransi, dan anti kekerasan.
Hasilnya sekarang masyarakat telah kembali bersemangat untuk melanjutkan
kehidupannya.

Gambar 4.10 Audiensi warga dengan Kepala Desa Senganten

44
FITRA merupakan OMS yang terdiri atas 17 simpul jaringan (Sijar) yang tersebar di berbagai
provinsi di Indonesia, salah satunya FITRA Jatim. FITRA merupakan penggerak transparansi
anggaran di Indonesia dan banyak melakukan pendampingan dalam perencanaan dan
penganggaran partisipatif, analisis anggaran, penelusuran anggaran dan advokasi anggaran.
http://seknasfitra.org/jaringan/729-2/

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 55


Daftar Pustaka

Bevir, Mark, Democratic Governance, New Jersey: Prinnceton University


Press, 2010

Branson, Margaret S. The Role of Civic Education: A Forthcoming Education


Policy Task Force Position Paper from the Communitarian Network,
Washington, DC: Center for Civic Education, 1998

Cuningham, Gord, et.all, Mobilizing Assets for Community – Driven


Development, Antigonish: Coady International Institute, 2012

Dye, Thomas R, Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice Hall,


2002

Held, David, Models of Democracy (Second edition), Stanford-California:


Stanford University Press, 1996

Luwihno, Slamet (editor), Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif untuk


Good Governance, Bandung: Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat
(FPPM), 2006

Mastuti, Sri dan Tike, Arifuddin, (Penyunting), Dakwah Inklusif Pendidikan


Mubalig Untuk Tata Kelola Demokratis, Jakarta: Kementerian Agama
Republik Indonesia dan SILE, 2015

Okiror, George, Concepts and Principles of Democratic Governance and


Accountability, Kampala-Uganda: Konrad-Adenauer Stiftung, 2011

Phillips, Patrick, et al (editor), Oxford Advanced Learner’s Dictionary of


Current English, Oxford: Oxford University Press, 2010

56 Mengawal Perkembangan Democratic Governance


Rondinelli, Dennis A, Government Serving People: The Changing Roles of
Public Administration in Democratic Governance” dalam Public Administration
and Democratic Governance: Governments Serving Citizens, United State
of America: United Nations Publication, 2006

Roberts, Joan M, Alliances, Coalitions and Partnership Building Collaborative


Organizations, Gabriola Islands: New Society Publisher, 2004

Solihin, Dadang, “Clean Government dan Good Government Policy, Konsep,


dan Implementasi,” 2008, lihat dalam www.dadangsolihin.com

Swasanany, Winantuning Tyastiti, “Proses Formulasi Kebijakan Pembentukan


Daerah Otonom Baru di Indonesia, Perspektif Democratic Governance”
(Disertasi), Jakarta: Universitas Indonesia, 2012

St, Clair, Maureen, Community Based Conflict Transformation and


Peacebuilding, Antigonish: Coady International Institute-St. Francis Xavier
University, 2012

Sulistyani, Ambar Teguh, editor, Memahami Good Governance Dalam


Perspektif Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Gava Media, 2011
Wampler, Brian, A Guide to Participatory Budgeting, 2000

Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat 57


Supporting Islamic Leadership in Indonesia/Local Leadership for
Development (SILE/LLD) bertujuan untuk meningkatkan kapasitas
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) dalam melaksanakan
program Kemitraan Universitas-Masyarakat (KUM) dengan
menggunakan pendekatan Asset-based Community-driven
Development (ABCD).

SILE/LLD (2011 – 2017) merupakan program Direktorat Jenderal


Pendidikan Islam, Kementerian Agama, dengan dukungan finansial
dan bantuan teknis dari pemerintah Kanada cq Global Affairs
Canada (GAC). Dukungan pemerintah Kanada disediakan melalui
Cowater International Inc. kerjasama dengan World University
Service of Canada (WUSC).

Mengawal Perkembangan

Democratic Governance
Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat

ISBN
60 Mengawal Perkembangan Democratic Governance 978-979-8442-55-1

Anda mungkin juga menyukai