Sri Mastuti
Mengawal Perkembangan
Democratic Governance
Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat
Seri Publikasi
Kemitraan
Pegangan Para Praktisi Kemitraan
Loc a l Le a d e r s h i p f o r D e v e l o p me n t
Universitas–Masyarakat
Universitas-Masyarakat 1
Mengawal Perkembangan
Democratic Governance
Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat
iii
Mengawal Perkembangan Democratic Governance
Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat
ISBN: 978-979-8442-55-1
Penerbit:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia
Jl. Lapangan Banteng No. 4-5, Jakarta Pusat
Email: penelitian5@yahoo.com
Penulis
Di era kecenderungan global, administrasi pemerintahan mengarah
ke collaborative governance, prinsip-prinsip democratic governance
menjadi kewajiban bagi setiap pemangku kepentingan untuk
diimplementasikan. Dalam collaborative governance pemerintah,
dunia usaha dan masyarakat sipil saling bekerjasama dan
berkolaborasi untuk mencapai outcome yang menguntungkan
semua pihak. Namun sayangnya democratic governance selama
ini kalah populer dibandingkan dengan good governance. Banyak
pihak yang baru mendengarkan atau ada juga yang menyamakan
makna democratic governance dan good governance. Padahal meski
keduanya saling melengkapi tetapi terdapat perbedaan yang cukup
signifikan.
Buku ini dibuat agar dapat menjadi pegangan bagi para praktisi.
Khususnya diperuntukkan bagi mereka yang aktif terlibat dalam
pemberdayaan masyarakat maupun kemitraan universitas-
masyarakat (KUM). KUM merupakan salah satu bentuk kemitraan
yang dibangun dalam kerangka pelaksanaan fungsi Tri Dharma
perguruan tinggi (pendidikan, penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat) secara terintegrasi. Kemitraan ini dibangun atas dasar
saling percaya dan saling menguntungkan. Kesetaraan, transparansi
dan akuntabilitas merupakan prinsip-prinsip yang dikedepankan.
Kesepakatan saling bekerjasama ini kemudian diperkuat oleh
perjanjian formal yang saling menguntungkan bagi para pihak yang
bermitra. Di sini para pihak yang bersepakat bekerjasama tetap
Buku ini dapat digunakan para praktisi sebagai pegangan baik bagi
rekan-rekan di perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil maupun
organisasi rakyat. Di dalamnya diuraikan tentang konsep, prinsip-
prinsip dan tujuan dari tata kelola demokratis. Selain itu juga contoh-
contoh praktis bagaimana democratic governance dipromosikan dan
kemudian diterapkan oleh masyarakat di tingkat komunitas. Contoh-
contoh tersebut diperoleh berdasarkan hasil pembelajaran yang
didapat dari program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh
UIN Alauddin Makassar dan UIN Sunan Ampel Surabaya bersama
para mitranya dari OMS dan masyarakat.
Daftar Box
1
Held, David, Models of Democracy (second edition), Stanford, California: Stanford University
Press, 1996, hal. 1
2
Okiror, George, Concepts and Principles of Democratic Governance and Accountability,
Kampala, Uganda: Konrad-Adenauer Stiftung, 2011, hal. 3
3
Tempo Interaktif, “Indonesia Negara Demokrasi Terbesar Ketiga di Dunia”, Jakarta, 2
Desember 2011
4
Op.cit, hal. 7-9.
5 Jika tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang ABCD, Service Learning, dan CBR
dapat membaca Seri Publikasi Kemitraan Universitas-Masyarakat dari Kemenag, seperti:
Panduan KKN ABCD (UINSA); Pengantar Service Learning, dan Community Based Research:
Sebuah Pengantar (UINSA), serta yang akan terbit setelah ini Tata Kelola Pemberdayaan
Masyarakat dengan Pendekatan ABCD. Menurut rencana semua terbitan dari Seri Publikasi
KUM ini sudah atau akan dapat diunduh dari http://litapdimas.kemenag.go.id/home.
6 Patrick Phillips et al. (editors), Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English,
Oxford: Oxford University Press, 2010, hal. 672
7
Dadang Solihin, “Clean Government dan Good Government Policy, Konsep, dan
Implementasi,” 2008, lihat dalam www.dadangsolihin.com
8
Mark Bevir, Democratic Governance, Princeton, New Jersey: Princeton University Press,
2010, hal. 3.
9
Dennis A. Rondinelli, “Government Serving People: The Changing Roles of Public
Administration in Democratic Governance” dalam Public Administration and Democratic
Governance: Governments Serving Citizens, New York, NY: United Nations Publication, 2006,
hal. 6-7
Namun indikator good governance yang digunakan dalam buku ini adalah
indikator yang ditawarkan oleh Ambar TS dan kawan-kawan. Menurut Ambar,
indikator good governance adalah: 1) partisipasi, 2) efisiensi, 3) efektivitas, 4)
transparansi, 5) responsivitas, 6) akuntabilitas, 7) penegakan hukum, dan 8)
keadilan.12 Sebenarnya diantara ketiga tawaran indikator tersebut tidak ada
yang saling bertentangan satu sama lain. Bahkan jika dibandingkan dengan
tawaran indikator yang dikembangkan oleh UNDP perbedaannya hanya ada
pada indikator visi strategis dan keadilan. Keadilan dimaknai bahwa setiap
warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pelayanan dari
negara tanpa diskriminasi. Alasan dipilihnya indikator Ambar dan kawan-
kawan ini karena lebih membumi dan sesuai dengan konteks Indonesia.
10
Ibid, hal. 7
11
Sulistiono, Agus dan Ambar TS, “Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Pemerintah Dalam
Birokrasi Publik di Indonesia”, dalam Sulistyani, Ambar Teguh, editor, Memahami Good
Governance Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi, Yogyakarta: Gava Media,
2011, hal. 24
12
Ibid, hal. 24.
Terdapat beberapa indikator atau cara yang ditawarkan untuk menilai good governance,
yakni: 1) partisipasi, 2) efisiensi, 3) efektivitas, 4) transparansi, 5) responsivitas, 6)
akuntabilitas, 7) penegakan hukum, dan 8) keadilan.
Sumber: Sulistiono, Agus dan Ambar TS “Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Pemerintah
Dalam Birokrasi Publik Di Indonesia” dalam Sulistiani, Ambar Teguh, Memahami Good Governance
Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, (cetakan pertama edisi revisi), Yogyakarta: Gava Media,
2011, hal. 24
13
G. Shabbir Cheema, “Democratic Governance: Theory and Practice in Developing
Countries” sebagaimana dikutip oleh Winantuning Tyastiti Swasanany dalam ringkasan
disertasinya “Proses Formulasi Kebijakan Pembentukan Daerah Otonom Baru di Indonesia:
Perspektif Democratic Governance”, Jakarta: Universitas Indonesia, 2012, hal. 11
Box 3
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia
1. Hak asasi pribadi/Personal Rights
• Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah tempat
• Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
• Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
• Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan
kepercayaan yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik/Political Rights
• Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
• Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
• Hak membuat dan mendirikan partai politik dan organisasi politik lainnya
• Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak asasi hukum/Legal Equality Rights
• Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
• Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil
• Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak asasi ekonomi/Property Rights
• Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
• Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
• Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
• Hak kebebasan untuk memiliki sesuatu
• Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak asasi peradilan/Procedural Rights
• Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
• Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan
dan penyelidikan di mata hukum.
4. Toleransi.
Prinsip toleransi bermakna menghargai perbedaan sebagai sebuah
keragaman dan aset kekayaan sosial. Dengan demikian sebuah
kelompok tidak akan memaksakan kehendaknya kepada kelompok
lainnya. Prinsip toleransi dapat dipromosikan atau pun dikembangkan
dengan pendidikan inklusif, multikultural, pluralitas, pengarusutamaan
gender dan inklusi sosial.14 Pada akhirnya akan mewujudkan masyarakat
toleran terhadap perbedaan dan keberagaman.
5. Kemitraan.
Prinsip kemitraan berarti dalam mencapai sebuah tujuan atau cita-cita
bersama harus dilakukan dengan saling bekerjasama antara individu dan
atau kelompok dengan semangat saling menguntungkan dan bertanggung
jawab.15 Dalam pelaksanaannya kemitraan dapat berjalan dengan baik
jika masing-masing pihak mengedapankan prinsip saling percaya, saling
memahami, saling menghargai, perlakuan yang setara, keterbukaan,
semua pihak bertanggung jawab, dan semua pihak memperoleh manfaat
yang sama.
14
Lebih lanjut tentang inklusi sosial dapat dilihat dalam Mastuti, Sri dan Tike, Arifuddin
(penyunting), Dakwah Inklusif: Pendidikan Mubalig Untuk Tata Kelola Demokratis, Jakarta:
Kementerian Agama Republik Indonesia d, 2015. http://litapdimas.kemenag.go.id/home.
15
Mengacu pada arti kata kemitraan berdasarkan American Heritage Dictionary, 1992,
sebagaimana yang dikutip oleh Shelagh Savage, Coady International Institute, Kanada, dalam
presentasinya di Kementerian Agama tentang Partnership, Jakarta, January 2016.
1. Transparansi
2. Penegakan hukum Efisiensi
3. Partisipasi Efektivitas
Clean 4. Akuntabilitas
Government 5. Responsivitas
6. Kesetaraan
7. Keadilan
Hidup
1. Penghargaan berdampingan
Good Governance Martabat secara damai dan
Kemanusiaan harmonis
dan HAM Masyarakat yang
2. Kesetaraan setara dan inklusif
Democratic Governance 3. Toleransi Warga Negara yang
4. Anti Kekerasan aktif
5. Kemitraan Masyarakat yang
toleran
Sumber: DiolahDiolah
Sumber: penulis daridari
penulis berbagai
berbagaireferensi dan
referensi dan refleksi
refleksi terhadap
terhadap pengalaman
pengalaman praksis praksis
“Damai berarti tidak ada kekerasan dalam masyarakat, baik internal dan eksternal, langsung
17
maupun tidak langsung....” Lihat Brock – Utne, 1985, p. 2 sebagaimana dikutip oleh St. Clair,
Maureen, Community Based Conflict Transformation and Peacebuilding, Antigonish, Kanada:
Coady International Institute, St. Francis Xavier University, 2012, hal. 24.
18
Wampler, Brian, A Guide to Participatory Budgeting, 2000, hal. 2 . Tulisan ini dapat
diakses melalui website https://www.commdev.org/files/1613_file_GPB.Pdf. Versi bahasa
Indonesianya diberi judul Sebuah Panduan Penganggaran Partisipatif dan dapat dilihat pada
www.internationalbudget.org/themes/PB/GuidePB IndonesiaPdf.
2. Diskriminasi sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diskriminasi berarti pembedaan
perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit,
golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya).20 DUHAM yang
dideklarasikan tahun 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan
juga UUD 1945 telah dengan tegas menentang segala bentuk diskriminasi.
Namun dalam praktiknya diskrimasi masih terjadi baik dalam hal akses,
partisipasi, kontrol maupun penerimaan manfaat pembangunan. Hal ini
bertentangan dengan prinsip-prinsip democratic governance yang ingin
mempromosikan kesetaraan dan antidiskriminasi. Oleh karena itu setiap
institusi dan aktor dalam democratic governance wajib menghilangkan
segala bentuk diskriminasi.
19
Beberapa referensi terkait perencanaan dan penganggaran partisipatif diantaranya
“Participatory Planning and Budgeting at the Sub-national Level”, New York: United Nations,
2005. Buku ini dapat diakses pada https://publicadministration.un.org/publications/content/
Pdf. Kemudian terkait dengan pengalaman dan tantangan dalam mempraktikkan perencanaan
dan penganggaran partisipatif dapat dilihat di Herzberg, Casten, Participatory Budgeting in
Asia and Europe: Key Challenges of Participation, London: Palgrave MacMillan, 2013. Lihat di
www.palgrave.com/la/book/9781137009142. Lihat juga Luwihno, Slamet (editor), Perencanaan
dan Penganggaran Partisipatif untuk Good Governance, Bandung: Forum Pengembangan
Partisipasi Masyarakat (FPPM), 2006.
20
http://kbbi.web.id/diskriminasi
Box 4
Dampak Konflik Terhadap Organisasi
Sumber: St. Clair, Maureen, Community Based Conflict Transformation and Peacebuilding,
Antigonish, Kanada: Coady International Institute, St. Francis Xavier University, 2012, hal. 43
21
Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan),
pada tahun 2015, terdapat 365 Perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Perda
diskriminatif banyak ditemukan di daerah Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan mayoritas
wilayah Sulawesi. Perda tersebut diantaranya mengatur mengenai cara berpakaian, jam
pulang (“pemberlakuan jam malam”), dan cara duduk di sepeda motor”. Lihat “Komnas
Perempuan Minta Presiden Jokowi Hapus 365 Perda Diskriminatif”, Jakarta, Kompas.com,
Jum’at 20 Maret 2015, 11.58 WIB.
22
Dye, Thomas R, Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice Hall, 2002, hal. 1.
23
Akil Muktar, Herman Kajang, dan Irvan Mulyadi, Panduan Pelatihan Indeks Pengaduan
Masyarakat, Jakarta: UINAM-KOPEL dan Kemenag, 2016.
24
Branson, Margaret S. (1998). The Role of Civic Education: A Forthcoming Education Policy
Task Force Position Paper from the Communitarian Network, Washington, DC: Center for
Civic Education. Lihat http://www.civiced.org/articles_role.html. Lihat juga Purwanti, Enny, et
al., Pendidikan Kewargaan Berbasis Masyarakat, Surabaya: NCCE dan UINSA, 2016
Mastuti, Sri, ”Democratic Governance, Civic Education dan Peran OMS”, presentasi dalam
25
Masyarakat sipil yang terdiri dari unsur perguruan tinggi beserta civitas
akademikanya, organisasi masyarakat sipil (OMS), pers, perusahaan/bisnis
sektor, dan masyarakat (komunitas warga negara) bertanggung jawab
melaksanakan democratic governance. Sebagai salah satu pilar negara,
masyarakat sipil juga mengemban tanggung jawab untuk mewujudkan cita-
cita NKRI. Demi menjamin efisiensi dan efektifitas upayanya tersebut maka
ketiga unsur dari masyarakat sipil, yaitu universitas, OMS dan masyarakat
perlu menjalin kemitraan. Kemitraan di sini dimaknai sebagai sebuah sistem
kerjasama antarorganisasi yang bersifat semi-otonom tetapi memelihara
akuntabilitas dan saling memberi umpan balik kepada organsasi-organisasi
asalnya. Maksudnya Kemitraan Universitas-Masyarakat membentuk
sebuah organisasi baru yang menurut Thomas Cummings bersifat trans-
organisasional sistem dan dapat dikatakan semi otonom. Namun organisasi
yang semi otonom ini tetap harus akuntabel kepada masing-masing
organisasi yang menjadi unsur penyusunannya yaitu universitas, OMS dan
masyarakat, dan demikian pula sebaliknya.26
Sebelum ketiga unsur dari masyarakat sipil ini bersepakat bekerjasama dalam
KUM maka terlebih dahulu masing-masing pihak perlu menanyakan kepada
dirinya sendiri mengapa ingin bermitra dengan pemangku peran lainnya?
Kemudian pertanyakan juga bagaimana memilih mitra?27 Pemililihan mitra
26
Roberts, Joan M, Alliances, Coalitions and Partnership Building Collaborative Organizations,
Gabriola Island, Canada: New Society Publisher, 2004, hal. 5
27
Lihat Mastuti, Sri, Panduan Pokja, 2013. Lihat juga Seri Publikasi Kemitraan Universitas-
Masyarakat tentang Model Baru Kemitraan Universitas—Masyarakat untuk Perguruan Tinggi
di Indonesia yang ditulis oleh Mary Coyle.
Lihat SK Dirjen Pendis Nomor 4834 Tahun 2015 tentang Pedoman Pengabdian Kepada
28
29
Appreciative inquiry (AI) merupakan suatu pendekatan yang fokus pada upaya menemukan
hal-hal yang terbaik dari orang, organisasi dan apa yang ada di sekitar mereka. Apa
yang membuat sebuah sistem hidup, apa yang menjadi kebanggaan dari informan. Kunci
keberhasilan pendekatan ini terletak pada cara bertanya yang tidak konvensional (positivis).
Cooperrider, D.L. & Whitney, D., “Appreciative Inquiry: A positive revolution in change” dalam
Peggy Holman dan Tom Devane (eds.), The Change Handbook, San Fransisco, California:
Berrett-Koehler Publishers, Inc., halaman 245-263.
Kelompok inti terdiri atas sejumlah aktor pilihan yang merupakan bagian
dari sebuah komunitas di masyarakat, yang bersedia bekerja secara
sukarela untuk kemajuan masyarakatnya. Mereka dipilih oleh komunitasnya
karena memiliki keterampilan untuk berkomunikasi secara efektif, mampu
mempengaruhi dan memobilisasi masyarakat, memiliki komitmen untuk
bekerja secara sukarela, non partisan dari partai politik, memiliki hubungan
yang baik dengan pemerintah namun tetap independen. Perlu dipastikan
bahwa dalam kelompok inti ini terdapat keterwakilan perempuan. Kelompok
inti tidak selalu harus dibentuk baru, tetapi bisa juga menggunakan kelompok
yang telah ada di masyarakat yang memang terbukti selama ini telah berjalan
dan mampu mengemban peran atau fungsi dari kelompok inti. Alasan
dibentuknya kelompok inti bukan menempatkan seorang fasilitator atau pun
pendamping masyarakat yang berasal dari luar komunitas agar sejak awal
warga komunitas menjadi subyek atau aktor utama dari transformasi sosial
yang akan dilakukan. Selain itu, hal ini untuk membangun rasa kepemilikan
dan keberlanjutan inisiatif yang dilakukan. Di sini ketergantungan kepada
pihak luar sejak dini harus sedapat mungkin ditiadakan.
30
Jika tertarik untuk mengetahui teknik fasilitasi forum publik dapat dilihat dalam Sri Mastuti
dan Saiful Muluk, Panduan Pelatihan Peningkatan Kapasitas Untuk Pemimpin Lokal
Dalam Mengembangkan Forum Publik Yang Efektif, Jakarta: Kementerian Agama Republik
Indonesia, 2015. Sedangkan untuk ABCD dapat dilihat Panduan KKN ABCD yang diterbitkan
oleh UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015, serta untuk advokasi dapat dilihat Panduan Advokasi
Lingkungan yang akan diterbitkan oleh UIN Sunan Ampel Surabaya, WALHI dan Kementerian
Agama, 2016.
31
Cuningham, Gord, et al., Mobilizing Assets for Community – Driven Development,
Antigonish, Canada: Coady International Institute, 2012.
32
Panduan KKN ABCD dari UIN Sunan Ampel Surabaya ini dapat diakses di www.digilib.
uinsby.ac.id/6453.
33
Mark, Melvin M, et.all, “The Evaluation of Policies, Programs, and Practices”, dalam Shawn,
Ian F., Jennifer C. Greene, and Melvin M. Mark, The Sage Handbook of Evaluation, London:
Sage Publications, 2006, hal. 6
1 Memilih
Pendekatan
7 Melakukan
Evaluasi 2 Membangun
Kemitraan
6 3
Memobilisasi Mengidentifikasi
Aset Isu Democratic
Governance
5 4
Menentukan Aset Membentuk dan
dan Menyepakati Memperkuat
Rencana Aksi Kelompok Inti
Perangkat kelurahan meski berjalan baik dan mengakui memiliki cukup uang
dari berbagai proyek yang ada, diantaranya PNPM, namun gagal melakukan
perubahan perilaku masyarakat. Hal ini terjadi karena berbagai proyek yang
masuk tidak berupaya membantu mengubah pola pikir masyarakat urban ini.
Pada awal pemetaan potensi yang dilakukan oleh kelompok inti masyarakat
Lette ditemukan bahwa di Lette pernah ada Remaja Mesjid, Majelis Ta’lim,
dan Karang Taruna tetapi semuanya tidak berjalan dengan baik bahkan
terkesan mati suri. Masyarakat terutama kelompok pemuda kerap terlibat
tawuran antarkampung atau sering juga melakukan tindakan kriminalitas
seperti berjudi, minum minuman keras dan narkoba. Di daerah ini juga
banyak perempuan yang menjadi orang tua tunggal karena perceraian.
Mereka sebenarnya memiliki potensi tetapi sering tidak diberi ruang untuk
berbicara. Sementara pemuda Lette sering harus menelan pil pahit akibat
stereotype yang diberikan sebagai “perusuh”.
34
Presentasi Hasil Pemetaan Pokja 2 UINAM Makassar, 2013
35
LAPAR merupakan sebuah OMS yang berkedudukan di Sulawesi Selatan dengan kantornya
di Kota Makassar. LAPAR merupakan OMS yang memiliki Sekolah Demokrasi dengan fokus isu
pada peace building, civic education dan community journalism.
Anggota komunitas Lette juga mulai saling memahami satu sama lain, dan
mulai memberikan kesempatan yang setara kepada seluruh warga termasuk
para janda yang tadinya sempat dimarjinalisasi. Dimulai dari sini kemudian
banyak inisiatif mandiri dilakukan dan dikembangkan oleh warga diantaranya
mereka telah membentuk forum publik informal yaitu forum RT/RW, Majelis
Ta’lim mulai kembali aktif, Remaja Mesjid kembali ramai, dan sekarang juga
telah ada Karang Taruna. Kemudian dalam rangka mengkampanyekan
hal positif dan mengubah stigma Lette, mereka juga sekarang telah
mengembangkan Community Media. Dimana para penggeraknya adalah
anak-anak muda yang bertindak sebagai citizen journalists. Tulisan-tulisan
Diunduh
36
dari http://www.seputarsulawesi.com/berita-hari-ini-ada-karnaval-becak-hias-
di-kelurahan-lette.html, juga http://www.seputarsulawesi.com/berita--forum-rt-rw-bantu-
kembangkan-lette.html diunduh pada 22 Juni 2016.
Gambar 4.2 Komunikasi warga Lette terkait permasalahan yang terjadi di wilayahnya
37
Presentasi hasil pemetaan Pokja 1 UINAM Makassar 2013
38
MPM Muhammadiyah Cabang Sulawesi Selatan merupakan lembaga otonom di bawah
Muhammadiyah yang bekerja untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Bekerja di sektor
pertanian, perikanan, dan advokasi pelayanan publik.
Gambar 4.3 Proses pengerjaan pengerasan Gambar 4.4 Jalan yang sudah mengalami
jalan pengerasan
39
FPMP merupakan sebuah OMS di Sulawesi Selatan yang keanggotaannya berupa
organisasi dan individu yang berkerja di bidang pendidikan alternatif bagi perempuan,
penelitian, advokasi kebijakan dan pendampingan korban kekerasan. Core isunya pada
pemberdayaan perempuan, gender dan advokasi pelayanan publik.
40
CRC adalah salah satu bentuk penelitian menggunakan pendekatan mixed method
(kualitatif dan kuantitatif) dengan strategi sequential transformative design, yaitu diawali
dengan penelitian kualitatif, lalu dilanjutkan dengan penelitian kuantitatif. Sumber: Policy Brief,
Cambayya, 2015. Policy brief ini disusun bersama oleh warga Cambayya dengan Pokja 4
UINAM yang beranggotakan anggota PSGA UINAM dan OMS FPMP. Policy brief ini disusun
sebagai bahan advokasi yang disampaikan warga kepada pengambil kebijakan terkait dengan
perbaikan kualitas layanan kesehatan.
UIN Sunan Ampel bersama dengan OMS Forum Lintas Agama (FLA)42
dan Fakultas Syariah melalui program KUM hadir dalam situasi ketidak
pastian dan warga yang “kehilangan semangat”. Langkah pertama yang
dilakukan adalah bersama kelompok inti di masyarakat memetakan aset
yang dimiliki komunitas dengan menggunakan oral history dan appreciative
inquiry. Pemetaan aset yang dilakukan secara partisipatif, transparan,
akuntabel, dan memberikan kesempatan setara bagi setiap komponen
masyarakat yang terlibat. Masyarakat kembali tersadar akan potensi dan
masa–masa jaya atau membanggakan dari masyarakat Gedang. Mereka
41
Laporan Pokja 5 UINSA Surabaya, 2014
42
FLA merupakan OMS yang berada di Jawa Timur, bekerja di komunitas untuk resolusi
konflik dan manajemen konflik dengan pendekatan berbasis pada partisipasi masyarakat.
Gambar 4.8 Masyarakat desa Gedang sedang membicarakan masalah yang dihadapi.
43
Laporan asesmen Pokja 4 UINSA Surabaya, 2014.
Gambar 4.9 Pertemuan informal dalam forum pengajian warga Desa Senganten, Bojonegoro
44
FITRA merupakan OMS yang terdiri atas 17 simpul jaringan (Sijar) yang tersebar di berbagai
provinsi di Indonesia, salah satunya FITRA Jatim. FITRA merupakan penggerak transparansi
anggaran di Indonesia dan banyak melakukan pendampingan dalam perencanaan dan
penganggaran partisipatif, analisis anggaran, penelusuran anggaran dan advokasi anggaran.
http://seknasfitra.org/jaringan/729-2/
Mengawal Perkembangan
Democratic Governance
Pegangan Para Praktisi Kemitraan Universitas-Masyarakat
ISBN
60 Mengawal Perkembangan Democratic Governance 978-979-8442-55-1