Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PEMBAHASAN UMUM

1.1. Pendahuluan
Krisis berkepanjangan yang melanda Indonesia saat ini, sempat menghambat
Pembangunan Nasional yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila. Krisis ini membawa pengaruh di seluruh aspek
kehidupan bangsa Indonesia. Aspek ekonomi, sebagai tulang punggung dalam
menunjang program pembangunan nasional juga mengalami keterpurukan. Ironisnya,
negara Indonesia dikenal akan sumber daya alam yang melimpah. Untuk melepaskan
diri dari keterpurukan tersebut, Indonesia harus melakukan perbaikan pembangunan
dengan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimilikinya.
Salah satu wujud perbaikan pembangunan tersebut adalah pembangunan industri
petrokimia nasional yang handal.
Ethylene Glycol (1,2 etanadiol) merupakan salah satu jenis produk industri
petrokimia yang sangat dibutuhkan di Indonesia. Produk ini digunakan untuk berbagai
aplikasi industri, antara lain : PET bottle-grade resin, polyester film, polyester
engineering resin, aircraft deicing fluid, cooling agent, anti-freeze serta industri lainnya.
Pelanggan utama produk ethylene glycol adalah produsen serat sintesis dan industri
polyester terephalate (PET) resin. Untuk memenuhi kebutuhan ethylene glycol di
dalam negeri, Indonesia masih harus mengimpor dari banyak negara seperti Jepang,
Kanada, Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat, dengan kebutuhan yang terus
meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari data impor bahan kimia
organik Biro Pusat Statistik tahun 2000.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka di Indonesia perlu dibangun
suatu pabrik petrokimia yang menghasilkan ethylene glycol dengan kapasitas yang
mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pembangunan pabrik tersebut diharapkan
dapat menghemat cadangan devisa negara karena Indonesia tidak perlu mengimpor
ethylene glycol. Di samping itu, pembangunan pabrik dapat membuka lapangan kerja
baru bagi masyarakat, meningkatkan pendapatan pajak negara dan mendorong
pertumbuhan industri lainnya yang memanfaatkan ethylene glycol sebagai bahan baku
maupun memproduksi bahan baku untuk pembuatan ethylene glycol.

1.2. Sejarah dan Perkembangan Ethylene Glycol


Pembangunan ethylene glycol diawali oleh Wurtz pada tahun 1859 melalui
reaksi penyabunan (safonifikasi) ethylene glycol diacetate dengan menggunakan
natrium hidroksida. Pada tahun 1860, ethylene glycol dibuat dengan reaksi hidrasi
ethylene oksida. Ethylene glycol mulai diproduksi pada perang dunia 1 di Jerman yang
disintesa dari ethylene diclorida. Ethylene tersebut digunakan sebagai bahan peledak.
Ethylene glycol diproduksi secara komersial dari ethylene dikloridin pada tahun
1917. Pabrik ethylene glycol dengan skala besar pertama dibangun oleh Carbide and
Carbon Chemical Co. (sekarang Union Carbide Corp) pada tahun 1925 di South
Charleston, West Virginia. Mulai tahun 1929, sebagian besar ethylene glycol dibuat
sebagai bahan untuk membuat dinamit.
Penggunaan ethylene glycol sebagai zat anti beku pada air system pendingin
dipatenkan pertama kali pada tahun 1917, tetapi aplikasinya baru dikembangkan
sampai akhir tahun 1920-an. Pemasaran sebagai zat anti beku petama kali dilakukan
pada tahun 1930 oleh National Carbin Co. (sekarang Union Carbide Corp) dengan
merek dagang “Preston”. Pada tahun 1937, Carbide memulai pembangunan pabrik
ethylene glycol dengan proses lefort (oksidasi fase uap dari ethylene oksida).
Sedangkan pada tahun 1940, Dupont membangun pabrik ethylene glycol dengan proses
formaldehid methanol. Pada tahun 1965 ethylene glycol mulai dikembangkan untuk
polyester fiber dan polyester film.
Saat ini penggunaan ethylene glycol antara lain sebagai bahan baku industri :
PET bottle, polyester fiber, polyester film, dan industri lain yang terkait.

1.3. Proses Pembuatan Ethylene Glycol


Proses pembuatan ethylene glycol secara komersial yang telah dikembangkan
adalah sebagai berikut :
1) Hidrolisis Langsung Ethylene oksida
2) Proses Hydrogenolisis
3) Proses Halcon
4) Hidrolisis Ethylene Carbonate

1.3.1. Hidrolisis Ethylene Oksida


Proses ini berlangsung baik dengan katalis asam, basa atau medium netral tanpa
katalis. Pada hidrolisis dengan katalis asam, protonasi oksida menghasilkan ethylene
oksida untuk bereaksi dengan air. Reaksinya dikonduksikan dengan sejumlah besar air
untuk mendapatkan selektifity monoethylene glycol sebesar 85-90 %, dimana sisanya
terdiri dari diethylene glycol, triethylene glycol, serta tetraethylene glycol. Proses
hidrolisis dengan katalis basa manghasilkan selektifity yang rendah dari monoethylene
glycol. Hidrolisis ini berlangsung pada pH netral (6-10) dengan jumlah air yang
berlebih pada temperatur dan tekanan tinggi. Proses ini meningkatkan selektifity dari
monoethylene glycol sampai dengan 91%.
Proses konversi Etilen oksida menjadi Ethylene glycol (EG) dapat dilakukan
melalui proses menggunakan katalis maupun nonkatalis. Proses yang menggunakan
katalis memerlukan larutan asam yang besar, sedangkan non katalis dilangsungkan
dalam temperatur dan tekanan tinggi dengan air yang berlebih secara stoikiometri.
Kedua proses ini menggunakan destilasi untuk pemurnian Ethylene glycol (EG) yang
terbentuk dan menghasilkan DEG (Diethylene glycol), Triethylene glycol (TEG) serta
Tetraethylene glycol sebagai produk samping. Pembuatan ethylene glycol diperoleh
melalui reaksi hidrasi Ethylene oxide tanpa katalis sebagai berikut :
Reaksi utama :
C2H4O + H2O→ OHCH2CH20H
Reaksi samping :
C2H4O + OHCH2CH2OH  HO(CH2CH2O)2H
C2H4O + HO(CH2CH2O)2H  HO(CH2CH2O)3H
C2H4O + HO(CH2CH2O)3H  HO(CH2CH2O)4 H

1.3.2. Proses Hydrogenolisis


Ethylene glycol diproduksi melalui reaksi antara formaldehid dengan
karbon monoksida dan menghasilkan asam glikolat. Asam glikolat ini selanjutnya
diubah menjadi ethylene glycol dengan cara esterifikasi dan hydrogenolisis, dengan
reaksi berikut ini :
HCHO + CO + H2O  HOCH2COOH
HOCH2COOH + ROH  HOCH2COOR + H2O
HOCH2COOR + 2H2  HOCH2CH2OH + ROH
Proses ini tidak lagi digunakan karena tidak ekonomis, dilihat dari segi biaya
produksi.

1.3.3. Proses Halcon


Proses ini dilakukan dengan cara oksidasi ethylene dan hydrolisis asetat.
Katalis yang digunakan dalam asam asetat yaitu tellurium oksida untuk menghasilkan
ethylene glycol mono asetat dan diasetat. Proses ini menimbulkan permasalahan korosi
dan memerlukan kebutuhan utilitas yang besar, sehingga tidak lagi digunakan. Reaksi
proses Halcon adalah sebagai berikut :
C2H4 + ½ O2 + 2CH3COOH  CH3COOCH2CH2OCOCH3 + H2O
CH3COOCH2CH2OCOCH3 + 2H2O  HOCH2CH2OH + 2CH3COOH

1.3.4. Hidrolisis Ethylene Carbonate


Proses hidrolisis ethylene carbonate untuk menghasilkan ethylene glycol terdiri
atas dua proses yang berbeda. Proses pertama yaitu menghidrolisis ethylene carbonate
sebagai bahan baku langsung yang direaksikan dengan air berlebih yang hanya akan
menghasilkan ethylene glycol. Sedangkan proses lainnya yaitu hidrolisis ethylene
carbonate sebagai bahan baku intermediet yang terlebih dahulu dihasilkan dari reaksi
ethylene oksida dengan karbon dioksida. Jika ethylene carbonate intermediet tersebut
direaksikan dengan air belebih, maka selain menghasilkan ethylene glycol, juga akan
menghasilkan produk samping berupa diethylene glycol dan triethylene glycol.
Reaksi yang terjadi pada proses hidrolisis ethylene carbonate sebagai bahan
baku intermediet adalah sebagai berikut :
C2H4O + CO2  C2H4CO3
C2H4CO3 + H2O  C2H6O2 + CO2
C2H4O + C2H6O2  C4H10O3

1.4. Sifat fisik dan Kimia


1.4.1. Air
 Formula : H2O
 Berat molekul : 18.015
 Wujud : Liquid
 Warna : Tidak berwarna
 SPGR : 17,874 mol/l
 Titik didih : 100oC
 Temperatur kritis : 374.2oC
 Tekanan kritis : 218.29 atm
 Rumus Cp : {(3,224.101) + (1,923.10-3).T + (1,055.10-5).T2 +
(-3,596.10-9).T3} kJ/kmol K

1.4.2. Ethylene Carbonate


 Rumus molekul : C2H4CO3
 Berat molekul : 88,063
 Wujud : Cair
 Titik didih : 238oC
 Titik lebur : 36,4oC
 Densitas (20oC) : 1,3288 gr/ml
 Tekanan kritis : 66,81472 atm
 Temperatur kritis : 516,85oC
 Rumus Cp : {(8,206.101) + (0,000.100).T } kJ/kmol K

1.4.3. Ethylene Glycol


 Rumus molekul : C2H6O2
 Berat molekul : 62,07
 Wujud : Cair
 Titik didih : 197,3oC
 Titik lebur : -13oC
 Densitas (20oC) : 1,11336 gr/ml
 Tekanan kritis : 80,92776 atm
 Temperatur kritis : 446,85oC
 Rumus Cp : {(3,570.101) + (2,483.10-1).T + (-1.497.10-4).T2
+ (3.010.10-8).T3} kJ/kmol K

1.4.4. Karbon dioksida


 Rumus molekul : CO2
 Berat molekul : 44,01
 Wujud : Gas
 Titik didih : -78oC
 Titik lebur : -56,6oC
 Densitas (20oC) : 1,975 gr/ml
 Tekanan kritis : 72,9 atm
 Temperatur kritis : 31,2oC
 Rumus Cp : {(1.980.101) + (7,3430.10-2).T + (-5,601.10-5).T2
+ + (1,7150.10-8).T3} kJ/kmol K

1.4.5. Potassium Carbonate


 Rumus molekul : K2CO3
 Berat molekul : 138,21
 Wujud : Padat
 Titik didih : Decomposes
 SPGR : 2.428
 Tekanan uap : < 1 mmHg
 Rumus Cp : {(7.660.101) + (1.363.10-1).T + (-2,335.10-5).T2}
kJ/kmol K

Anda mungkin juga menyukai