Disusun Oleh
Abdurrahman
C111 12 002
Pembimbing Residen
Supervisor
Nama : Abdurrahman
Supervisor Pembimbing
Abstrak
Cedera otak traumatik (TBI)berat dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas
yang signifikan. Manajemen perawatan TBI kritis membutuhkan pendekatan
pengobatan yang terkoordinasi dan komprehensif, termasuk strategi untuk
mencegah cedera otak sekunder dengan menghindari gangguan fisiologis
sistemik, seperti hipotensi, hipoksemia, hipo- dan hiperglikemia dan hipertermia,
serta pemeliharaan perfusi serebral dan oksigenasi yang adekuat. Protokol
manajemen telah berkembang dengan konsensus internasional, memberikan
panduan yang membantu klinisi dalam memberikan perawatan optimal. Brain
Trauma Foundation terus diperbarui untuk memasukkan data percobaan baru
(https://braintrauma.org/coma/guidelines).
Kata kunci
Tekanan perfusi serebral; cedera kepala; tekanan intrakranial; perawatan
neurointensif
Royal College of Anesthetists CPD Matrix: 2F01, 3C00, 3F00
Tujuan pembelajaran
Setelah membaca artikel ini, Anda harus mampu untuk:
memahami patofisiologi yang terkait dengan cedera otak traumatik berat
memahami bagaimana optimalisasi fisiologi sistemik dapat
memaksimalisasi cedera otak lebih jauh
memahami manajemen perfusi intrakranial dan serebral dipandu-tekanan
mengidentifikasi strategi yang dapat digunakan untuk mengontrol
peningkatan tekanan intrakranial.
Patofisiologi
TBI mencakup rangkaian proses cedera primer dan sekunder. Cedera primer
menggambarkan kerusakan struktural yang tidak dapat diperbaiki, seperti kontusio
atau robekan, dipertahankan pada saat terjadi benturan, sedangkan cedera
sekunder adalah proses-proses yang terjadi selanjutnya, termasuk respons
metabolik, eksitotoksik dan inflamasi.1 Cedera sekunder dapat dieksaserbasi
dengan gangguan fisiologis sistemik dan berpotensi untuk dilakukannya
perawatan.
Efek intrakranial
Perdarahan intrakranial dan edema serebral menyebabkan kerusakan struktural
langsung dan dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (ICP) yang
pada gilirannya dapat mengganggu perfusi serebral dan memicu iskemia serebral.
Hal ini dapat diperburuk oleh gangguan pada autoregulasi serebral dan faktor
sistemik seperti hipoksia, hipotensi dan anemia.
Neurotransmiter yang rusak melepaskan neurotransmiter eksitasi yang
menghasilkan depolarisasi membran post-sinaps dan masuknya elektrolit
intraselular yang tidak terkontrol. Air kemudian memasuki sel di sepanjang
gradien osmotik yang dihasilkan, menyebabkan pembengkakan sel dan pecahnya
membran sel. Selain itu, konsentrasi tinggi kalsium intraseluler mengaktifkan
proses enzimatik yang juga menyebabkan kematian sel. Edema otak sitotoksik
terjadi karena disfungsi membran sel dan peningkatan akumulasi cairan
intraselular. Edema vasogenik di sisi lain berhubungan dengan gangguan
endotelium dan transit elektrolit dan air yang tidak terkontrol ke dalam ruang
ekstraselular. Kedua proses ini menghasilkan umpan balik positif yang
memperburukedema dan iskemia serebral(Gambar 1).
Peningkatan konsentrasi laktat ekstraselular serebral dapat terjadi sebagai
konsekuensi iskemia, namun sekarang diketahui bahwa laktat lebih dari sekadar
produk sampingan metabolisme anaerobik. Dalam glutamat otak yang kekurangan
energi merangsang produksi laktat astrositik yang dilepaskan ke ruang
ekstraselular dan 'dibolak-balik' ke neuron dimana ia dapat digunakan (bersama
dengan glukosa) sebagai substrat tambahan untuk mempertahankan kebutuhan
energi yang meningkat. Proses krisis metabolik serebral non-iskemik juga dapat
terjadi, baik sebagai konsekuensi disfungsi mitokondria atau karena peningkatan
kebutuhan metabolik yang besar.
Efek sistemik
Katekolamin yang dilepaskan setelah TBI dapat menyebabkan edema paru
neurogenik dan iskemia miokardium. Selain itu, disfungsi miosit akibat
katekolamin dan respons inflamasi dapat menyebabkan sindrom miokardium
tertahan-neurogenik. Keadaan ini merupakan cedera jantung neurologis reversibel
yang ditandai dengan perubahan EKG, peningkatan troponin jantung dan
spektrum disfungsi ventrikel tanpa iskemia koroner. Edema paru kardiogenik dan
hipotensi sistemik non-hemoragik jarang terjadi setelah TBI, namun dikaitkan
dengan kematian yang tinggi. Sebagai respon terhadap cedera, neuron dan sel glial
menghasilkan sitokin pro-inflamasi yang menghasilkan respon inflamasi lokal dan
Cedera otak primer
sistemik. Gangguan jalur otonom dan neuroendokrin juga dapat menyebabkan
penekanan kekebalan yang dikaitkan dengan tingkat komplikasi infektif yang
Aktivasi mediator Kerusakan pembuluh darah serebral
tinggi.
biomolekular cedera Pembukaan BBB
Gambar 1Patofisiologi cedera otak primer dan sekunder
BBB, Kerusakan neuronal
sawar darah-otak; CBV, volume darah serebral; Peningkatan cairanperfusi
CPP, tekanan interstisial
dan tekanan jaringan
serebral; ICP, tekanan intrakranial.
Edema sitotoksik Edema vasogenik
Cedera otak sekunder
Iskemia, eksitotoksisitas, dan kegagalan energi
selular
Kaskade kematian neuronal
Edema serebral
Inflmasi
Kelainan endokrin dan elektrolit, terutama gangguan homeostasis natrium
dan glukosa, disfungsi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal dan insufisiensi
adrenal sekunder, umum terjadi setelah TBI.Faktor risiko termasuk usia yang
lebih tua, cedera aksonal difus, edema serebral berat, vasospasme traumatik dan
fraktur basiscranii.
Kejang: Kejang pascatrauma dini (dalam 7 hari) terjadi di lebih dari 20% pasien
setelah TBI. Sementara kejang harus ditangani secara agresif, tidak ada bukti
kualitas tinggi bahwa antikonvulsan profilaksis efektif dalam pencegahan kejang
onset dini atau bahwa antikonvulsan mengurangi kejadian kejang post-traumatik
akhir.Fenitoin telah banyak digunakan untuk profilaksis kejang namun
levetiracetam menjadi agen lini pertama yang popular karena efek samping dan
profil interaksi obat fenitoin. Jika profilaksis digunakan, antikonvulsan harus
dilanjutkan tidak lebih dari 7 hari setelah bebas kejang.
Tindakan pendukung lainnya: Pasien TBI memiliki risiko tinggi mengalami stres
ulserasi dan sering mengalami gangguan motilitas gastrointestinal. Pemberian
makanan enteral awal direkomendasikan dan pencahar penting untuk menghindari
sembelit yang dapat menyebabkan peningkatan ICP. Memposisikan kepala
ranjang di 30? E45? mengurangi ICP dan risiko pneumonia ventilatorassociated.
Risiko DVT tinggi setelah TBI. Selain metode profilaksis fisik sejak diterimanya
ke ICU, tromboprofilaksis farmakologis setelah 24 jam stabilitas klinis dan
radiologis biasanya dianjurkan.
Pireksia umum terjadi setelah TBI dan secara konsisten dikaitkan dengan
hasil klinis yang buruk. Ada bukti bahwa pengurangan demam meningkatkan
metabolisme otak, menunjukkan potensi efek neuroprotektif dari pemeliharaan
normotermia setelah TBI.
Terapi neuroprotektif
Ada sejumlah terapi lain yang menjanjikan dalam penelitian prazklinis dan
klinisawal, namun pada akhirnya tidak diterjemahkan ke dalam manfaat dalam uji
klinis prospektif yang lebih besar. Dalam model pra-klinis, progesteron
mengurangi inflamasi, mempromosikan proliferasi sel dan bersifat antiapoptosis,
namun percobaan klinis fase 3 yang besar belum menunjukkan peningkatan
kelangsungan hidup atau hasil neurologis pada TBI sedang dan berat. Eritropoetin
(EPO) memiliki mekanisme non-hemopoietik yang mungkin bermanfaat bagi sel
endotel, neuron, dan glia. Sekali lagi, penelitian pra-klinis telah mengkonfirmasi
efek neuroprotektif EPO yang tidak dikonfirmasi dalam dua RCT besar. Sebuah
meta-analisis baru-baru ini melaporkan bahwa EPO dikaitkan dengan penurunan
mortalitas yang signifikan setelah TBI, namun pengaruhnya terhadap hasil
neurologis tidak mencapai signifikansi statistik.
Referensi
1 McGinn MJ, Povlishock JT. Pathophysiology of traumatic brain injury.
Neurosurg Clin N Am 2016; 27: 397e407.
2 Carney N, Totten AM, O’Reilly C, et al. Guidelines for the management of
severe traumatic brain injury, fourth edition. Neurosurgery 2016; Sep 20
[Epub].
3 van der Jagt M. Fluid management of the neurological patient: a concise review.
Crit Care 2016; 20: 126.
4 Oddo M, Crippa IA, Mehta S, et al. Optimizing sedation in patients with acute
brain injury. Crit Care 2016; 20: 128.
5 Godoy DA, Behrouz R, Di NM. Glucose control in acute brain injury: does it
matter?
Curr Opin Crit Care 2016; 22: 120e7.
6 Lelubre C, Bouzat P, Crippa IA, Taccone FS. Anemia management after acute
brain injury. Crit Care 2016; 20: 152.
7 Kirkman MA, Smith M. Intracranial pressure monitoring, cerebral perfusion
pressure estimation, and ICP/CPP-guided therapy: a standard of care or
optional extra after brain injury? Br J Anaesth 2014; 112: 35e46.
8 Stocchetti N, Maas AI. Traumatic intracranial hypertension. N Engl J Med
2014; 370: 2121e30.
9 Torre-Healy A, Marko NF, Weil RJ. Hyperosmolar therapy for intracranial
hypertension. Neurocrit Care 2012; 17: 117e30.
10 Yokobori S, Yokota H. Targeted temperature management in traumatic brain
injury. J Intensive Care 2016; 4: 28.