Anda di halaman 1dari 18

JURNAL DESEMBER 2017

DEPARTEMEN ILMU ANASTESI

MANAJEMEN PERAWATAN KRITIS CEDERA OTAK TRAUMATIK


PADA ORANG DEWASA

Disusun Oleh

Abdurrahman

C111 12 002

Pembimbing Residen

dr. Noor Ramadhaniah

Supervisor

Dr.dr. Syamsul Hilal Salam Sp.An

Departemen Ilmu Anastesi


Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Abdurrahman

NIM : C111 12 002

Judul : Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik Pada Orang


Dewasa

Telah menyelesaikan tugas jurnal dalam rangka kepaniteraan klinik


pada Bagian Ilmu Anastesi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar.

Makassar, Desember 2017

Supervisor Pembimbing

Dr. Dr. Syamsul Hilal Salam Sp.An dr. Noor Ramadhaniah


MANAJEMEN PERAWATAN KRITIS CEDERA OTAK TRAUMATIK
PADA ORANG DEWASA

Michael Puntis, Martin Smith

Abstrak
Cedera otak traumatik (TBI)berat dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas
yang signifikan. Manajemen perawatan TBI kritis membutuhkan pendekatan
pengobatan yang terkoordinasi dan komprehensif, termasuk strategi untuk
mencegah cedera otak sekunder dengan menghindari gangguan fisiologis
sistemik, seperti hipotensi, hipoksemia, hipo- dan hiperglikemia dan hipertermia,
serta pemeliharaan perfusi serebral dan oksigenasi yang adekuat. Protokol
manajemen telah berkembang dengan konsensus internasional, memberikan
panduan yang membantu klinisi dalam memberikan perawatan optimal. Brain
Trauma Foundation terus diperbarui untuk memasukkan data percobaan baru
(https://braintrauma.org/coma/guidelines).
Kata kunci
Tekanan perfusi serebral; cedera kepala; tekanan intrakranial; perawatan
neurointensif
Royal College of Anesthetists CPD Matrix: 2F01, 3C00, 3F00

Tujuan pembelajaran
Setelah membaca artikel ini, Anda harus mampu untuk:
 memahami patofisiologi yang terkait dengan cedera otak traumatik berat
 memahami bagaimana optimalisasi fisiologi sistemik dapat
memaksimalisasi cedera otak lebih jauh
 memahami manajemen perfusi intrakranial dan serebral dipandu-tekanan
 mengidentifikasi strategi yang dapat digunakan untuk mengontrol
peningkatan tekanan intrakranial.
Patofisiologi
TBI mencakup rangkaian proses cedera primer dan sekunder. Cedera primer
menggambarkan kerusakan struktural yang tidak dapat diperbaiki, seperti kontusio
atau robekan, dipertahankan pada saat terjadi benturan, sedangkan cedera
sekunder adalah proses-proses yang terjadi selanjutnya, termasuk respons
metabolik, eksitotoksik dan inflamasi.1 Cedera sekunder dapat dieksaserbasi
dengan gangguan fisiologis sistemik dan berpotensi untuk dilakukannya
perawatan.

Efek intrakranial
Perdarahan intrakranial dan edema serebral menyebabkan kerusakan struktural
langsung dan dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (ICP) yang
pada gilirannya dapat mengganggu perfusi serebral dan memicu iskemia serebral.
Hal ini dapat diperburuk oleh gangguan pada autoregulasi serebral dan faktor
sistemik seperti hipoksia, hipotensi dan anemia.
Neurotransmiter yang rusak melepaskan neurotransmiter eksitasi yang
menghasilkan depolarisasi membran post-sinaps dan masuknya elektrolit
intraselular yang tidak terkontrol. Air kemudian memasuki sel di sepanjang
gradien osmotik yang dihasilkan, menyebabkan pembengkakan sel dan pecahnya
membran sel. Selain itu, konsentrasi tinggi kalsium intraseluler mengaktifkan
proses enzimatik yang juga menyebabkan kematian sel. Edema otak sitotoksik
terjadi karena disfungsi membran sel dan peningkatan akumulasi cairan
intraselular. Edema vasogenik di sisi lain berhubungan dengan gangguan
endotelium dan transit elektrolit dan air yang tidak terkontrol ke dalam ruang
ekstraselular. Kedua proses ini menghasilkan umpan balik positif yang
memperburukedema dan iskemia serebral(Gambar 1).
Peningkatan konsentrasi laktat ekstraselular serebral dapat terjadi sebagai
konsekuensi iskemia, namun sekarang diketahui bahwa laktat lebih dari sekadar
produk sampingan metabolisme anaerobik. Dalam glutamat otak yang kekurangan
energi merangsang produksi laktat astrositik yang dilepaskan ke ruang
ekstraselular dan 'dibolak-balik' ke neuron dimana ia dapat digunakan (bersama
dengan glukosa) sebagai substrat tambahan untuk mempertahankan kebutuhan
energi yang meningkat. Proses krisis metabolik serebral non-iskemik juga dapat
terjadi, baik sebagai konsekuensi disfungsi mitokondria atau karena peningkatan
kebutuhan metabolik yang besar.

Efek sistemik
Katekolamin yang dilepaskan setelah TBI dapat menyebabkan edema paru
neurogenik dan iskemia miokardium. Selain itu, disfungsi miosit akibat
katekolamin dan respons inflamasi dapat menyebabkan sindrom miokardium
tertahan-neurogenik. Keadaan ini merupakan cedera jantung neurologis reversibel
yang ditandai dengan perubahan EKG, peningkatan troponin jantung dan
spektrum disfungsi ventrikel tanpa iskemia koroner. Edema paru kardiogenik dan
hipotensi sistemik non-hemoragik jarang terjadi setelah TBI, namun dikaitkan
dengan kematian yang tinggi. Sebagai respon terhadap cedera, neuron dan sel glial
menghasilkan sitokin pro-inflamasi yang menghasilkan respon inflamasi lokal dan
Cedera otak primer
sistemik. Gangguan jalur otonom dan neuroendokrin juga dapat menyebabkan
penekanan kekebalan yang dikaitkan dengan tingkat komplikasi infektif yang
Aktivasi mediator Kerusakan pembuluh darah serebral
tinggi.
biomolekular cedera Pembukaan BBB
Gambar 1Patofisiologi cedera otak primer dan sekunder
BBB, Kerusakan neuronal
sawar darah-otak; CBV, volume darah serebral; Peningkatan cairanperfusi
CPP, tekanan interstisial
dan tekanan jaringan
serebral; ICP, tekanan intrakranial.
Edema sitotoksik Edema vasogenik
Cedera otak sekunder
 Iskemia, eksitotoksisitas, dan kegagalan energi
selular
 Kaskade kematian neuronal
 Edema serebral
 Inflmasi
Kelainan endokrin dan elektrolit, terutama gangguan homeostasis natrium
dan glukosa, disfungsi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal dan insufisiensi
adrenal sekunder, umum terjadi setelah TBI.Faktor risiko termasuk usia yang
lebih tua, cedera aksonal difus, edema serebral berat, vasospasme traumatik dan
fraktur basiscranii.

Manajemen Perawatan Kritis


Manajemen perawatan kritis TBI terdiri dari dukungan perawatan intensif umum
yang cermatsebagai tambahan intervensi yang ditargetkan ke otak yang
mengalami cedera (Tabel 1).

Tabel 1 Manajemen perawatan klinis cedera kepala berat


Ventilasi  PaO2> 11 kPa
 PaCO2 4,5-5,0 kPa
 PEEP (≤15 cmH2O) untuk mempertahankan
oksigenasi
 ‘paket perawatan’ventilator untuk meminimalisasi
risiko pneumonia
 strategi ventilasi pelindung paru
Kardiovaskular  tekanan darah sistolik:
- >100 mmHg untuk pasien berusia 50-69 tahun
- >110 mmHg atau lebih untuk pasien berusia 15-
49 atau>70 tahun
 normovolemia
 vaspresor/inotropik jika respon cairan tidak
mencukupi
Target ICP dan CPP  ICP 60-70 mmHg
 ICP <22 mmhg
Manajemen ICP/CPP  sedasi/analgesia
 euvolemia ditambah norepinefrin untuk
mempertahankan CPP
 pendekatan berjenjang untuk pengelolaan
hipertensi intrakranial (Tabel 3)
Umum  normoglikemia (7,1-10,0 mmol/liter)
 normotermia
 nutrisi enteral
 Hb 70-90 g/liter (target optimal tidak ditentukan)
 profilaksis tromboembolik
 kontrol kejang
CPP, tekanan perfusi serebral; ICP, tekanan intrkranial; PEPP, tekanan akhir-
ekspirasi positif.
Dukungan kardiovaskular dan respirasi
Bahkan episode hipotensi transien dikaitkan dengan keluaran neurologis yang
lebih buruk setelah TBI dan harus dihindari atau segera diobati. Pedoman Brain
Trauma Foundation terbaru mencakup target tekanan darah spesifik sesuai usia
(Tabel 1).2 Euvolaemia harus dijaga dengan kristaloid isotonik. Larutan hipotonik
dapat memperburuk edema serebral dan harus dihindari. Vasopresor mungkin
diperlukan untuk mempertahankan perfusi serebral dengan adanya pengisian yang
cukup, dan norepinefrin banyak digunakan. Pemantauan curah jantung noninvasif
dapat berguna untuk mengoptimalkan status cairan.
Komplikasi paru seperti pneumonia dan cedera paru akut (ALI) umum
terjadi setelah TBI dan harus ditangani secara agresif. Ventilasi volume tidal
tinggi merupakan faktor risiko utama terjadinya ALI setelah cedera otak, dan
strategi ventilasi paru-protektif sangat penting. Tekanan akhir-ekspirasi positif
tingkat sedang (15 cmH2O) tidak meningkatkan ICP secara signifikan, dan dapat
digunakan dengan aman sebagai bagian dari strategi ventilasi untuk
mempertahankan PaO2 di bawah 11 kPa. Hiperkapnia menyebabkan vasodilatasi
serebral dan peningkatan ICP sedangkan hipokapnia menyebabkan vasokonstriksi
serebral dan memperburuk iskemia serebral. Untuk alasan ini perawatan
normokapnea dianjurkan, dan hiperventilasi rutin tidak lagi digunakan untuk
mengendalikan ICP.

Analgesia dan sedasi


Sedasi yang adekuat merupakan komponen kunci dalam manajemen TBI berat
untuk mengendalikan ICP dan mengurangi kebutuhan metabolik serebral dan
toleransi otak yang cedera terhadap iskemia.4 Propofol banyak digunakan karena
secara efektif mengurangi ICP dan memungkinkan tingkat sedasi yang cepat dapat
dititrasi. Lajuinfus tidak boleh melebihi 4 mg/kg/jam dan midazolam sering
ditambahkan untuk meminimalkan dosis propofol total. Sedasi hold tidak tepat
diberikan pada pasien dengan peningkatan ICP. Analgesia biasanya diberikan
dengan parasetamol dan infus opioid seperti fentanil. Agen pemblokir
neuromuskular tidak boleh digunakan secara rutin namun disediakan untuk pasien
dengan hipertensi intrakranial refrakter.

Gangguan elektrolit dan endokrin


Kelainan cairan dan elektrolit, terutama gangguan natrium, harus ditangani
dengan pendekatan diagnosis dan pengobatan yang sistematis (Tabel 2).
Hiperglikemia dan hipoglikemia dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk dan
harus dihindari. Baik kontrol glikemik yang intensif maupun yangtidak intensif
berbahaya setelah TBI, dan konsentrasi glukosa intermediat (7.0-10.0 mmol/liter)
harus dicapai.5
Skrining insufisiensi hipofisis harus dipertimbangkan pada pasien berisiko
tinggi dan pasien dengan hiponatraemia atau hipoglikemia yang tidak dapat
dijelaskan, atau persyaratan persisten untuk pemberian vasopresor dosis tinggi.
Hidrokortison mungkin diperlukan untuk hipotensi refrakter dan ditambah dengan
mineralokortikoid jika hiponatremia terus berlanjut.

Tabel 2Membedakan karakteristik dan perawatan gangguan natrium setelah


cedera kepala
Temuan SIADH CSWS CDI
Volume plasma Meingkat Menurun Menurun
Balans natrium Positif/sama Negatif Sama
Balans air Positif Negatif Negatif
Natrium serum Rendah Rendah Tinggi
Osmolalitas Menurun Tinggi/normal Tinggi
serum
Natrium urin Tinggi Tinggi Normal
Osmolalitas urin Tinggi Normal/tinggi Rendah
Pilihan  restriksi air  volume dan  mengganti cairan
manajemen bebas- resusitasi untuk
elektrolit— natrium mempertahankan
awalnya sampai  fludrokortison normovolemia
1000—1500 mungkin  DDAVP jika
mL/hari membatasi output urin tinggi
 demeklosiklin— kehilangan (>250 mL/jam)
menghambat natrium dilanjutkan
respon renalis
terhadap ADH
 antagonis
reseptro-
ADH—
menghambat
ikatan ADH
terhadap
reseptor renalis
SIADH, sindrom sekresi ADH inappropriate; CSWS, cerebral salt wasting
syndrome; CDI, diabetes insipidus sentral; ADH, hormon antidiuretik; DDAVP,
1-deamino-8-D-arginin vasopresin.
Nilai normal: osmolalitas plasma 278-305 mmol/kg; natrium plasma 135-145
mmol/liter; osmolalitas urin 350-1000 mmol/kg; natrium urin 20-60 mmol/liter
atau 100-250 mmol/24 jam.

Tindakan suportif umum


Anemia: Strategi transfusi restriktif yang digunakan pada perawatan kritis secara
umum mungkin tidak sesuai pada pasien TBI karena kerentanan otak yang cedera
terhadap iskemia, namun tingkat hemoglobin yang optimal untuk memicu
transfusi sel darah merah setelah TBI belum didefinisikan.6 Satu-satunya
penelitian kontrol acak (RCT) yang secara khusus mengevaluasi ambang batas
transfusi (70 vs 100 g/liter) pada TBI tidak menemukan perbedaan hasil yang
signifikan secara statistik, namun merupakan risiko tromboemboli yang lebih
tinggi pada kelompok ambang transfusi yang lebih tinggi.
Koagulopati: Gangguan koagulasi terjadai sampai pada sepertiga pasien TBI;
keadaan hipo- dan hiperkoagulasi dapat terjadi. Penyebabnya kurang jelas namun
kemungkinan terkait dengan pelepasan sejumlah besar faktor jaringan,
homeostasis protein C yang berubah, dan disfungsi platelet. Tes fungsional dan
tromboelastometri mungkin lebih bermanfaat daripada tes laboratorium rutin
dalam menentukan tingkat gangguan koagulasi dan penanganan yang paling tepat.

Hiperaktivitas simpatis: Gangguan pusat penghambatan di batang otak dapat


menyebabkan hiperaktivitas simpatis paroksismal yang ditandai dengan agitasi
siklik, distonia, pireksia, takikardia, hipertensi dan diaforesis. Pengobatan
meliputi opiat (terutama morfin), antagonis β-adrenoreseptor dan agonis
adrenoreseptor α2 central-actingseperti klonidin atau dexmedetomidine.
Haloperidol harus dihindari.

Kejang: Kejang pascatrauma dini (dalam 7 hari) terjadi di lebih dari 20% pasien
setelah TBI. Sementara kejang harus ditangani secara agresif, tidak ada bukti
kualitas tinggi bahwa antikonvulsan profilaksis efektif dalam pencegahan kejang
onset dini atau bahwa antikonvulsan mengurangi kejadian kejang post-traumatik
akhir.Fenitoin telah banyak digunakan untuk profilaksis kejang namun
levetiracetam menjadi agen lini pertama yang popular karena efek samping dan
profil interaksi obat fenitoin. Jika profilaksis digunakan, antikonvulsan harus
dilanjutkan tidak lebih dari 7 hari setelah bebas kejang.

Tindakan pendukung lainnya: Pasien TBI memiliki risiko tinggi mengalami stres
ulserasi dan sering mengalami gangguan motilitas gastrointestinal. Pemberian
makanan enteral awal direkomendasikan dan pencahar penting untuk menghindari
sembelit yang dapat menyebabkan peningkatan ICP. Memposisikan kepala
ranjang di 30? E45? mengurangi ICP dan risiko pneumonia ventilatorassociated.
Risiko DVT tinggi setelah TBI. Selain metode profilaksis fisik sejak diterimanya
ke ICU, tromboprofilaksis farmakologis setelah 24 jam stabilitas klinis dan
radiologis biasanya dianjurkan.

Manajemen perfusi intrakranial dan serebral dipandu-tekanan


Hematoma, edema serebral dan hidrosefalus semuanya dapat menyebabkan
hipertensi intrakranial. Manajemen secara konvensional berfokus pada
pemeliharaan ICP di bawah ambang batas yang telah ditentukan sebelumnya dan
yang secara mutlak (<20-25 mmHg), namun telah terjadi pergeseran penekanan
dari pengendalian utama ICP ke pendekatan multifasetdari perfusi serebral dan
perlindungan otak.7 Tekanan perfusi serebral (CPP) adalah perbedaan antara
tekanan arterial rata-rata dan ICP. Untuk perhitungan CPP yang akurat, transduser
tekanan arteri harus dirujukkan pada level yang sama seperti ICP (tragus telinga).
Mengukur tekanan darah pada level jantung menghasilkan CPP yang keliru
dengan hasil sangat tinggi saat kepala tempat tidur ditinggikan.
Target CPP antara 60 dan 70 mmHg direkomendasikan.2 Upaya rutin
untuk mencapai CPP lebih dari 70 mmHg harus dihindari karena risiko
komplikasi, terutama ALI yang terkait dengan pemberian cairan dan vasopresor
untuk meningkatkan tekanan darah sistemik. Reaktivitas serebrovaskular dapat
terganggu setelah TBI, bervariasi dengan tekanan perfusi, dan dioptimalkan dalam
kisaran sempit CPP yang spesifik untuk tiap individu. CPP 'optimal' dapat
diidentifikasi dengan teknik pemantauan seperti indeks reaktivitas tekanan
(tekanan reaktivitas indeks).7Manajemen CPP individual dalam kisaran 'optimal'
ini meminimalisasi risiko CPP berlebihan di satu sisi dan hipoperfusi serebral dan
cedera otak sekunder di sisi lainnya, dan terkait dengan keluaran pasien yang lebih
baik.
Pendekatan yang berbeda secara mendasar terhadap manajemen TBI
dikembangkan di Lund pada tahun 1990-an ketika CPP yang lebih rendah
ditargetkan untuk mengurangi tekanan hidrostatik kapiler dan membatasi volume
darah intrakranial. Seri kasus awal memperlihatkan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan kontrol, namun hal ini belum dilterapkan dalam percobaan
terkontrol.
Penatalaksanaan hipertensi intrakranial
ICP lebih dari 20 mmHg dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk setelah TBI,
namun tidak ada bukti yang jelas untuk mendukung penggunaan monitoring ICP
untuk menentukan pengobatan. Satu-satunya RCT yang menyelidikitopik ini
(BEST-TRIP) tidak menemukan perbedaan hasil ketika pengobatan dipandu oleh
monitoring ICP dibandingkan dengan pengobatan yang dipandu oleh pencitraan
dan pemeriksaan klinis tanpa monitoring ICP pada pasien TBI. Penelitian ini tidak
menguji nilai monitoring ICP, namun efektivitas pengelolaan hipertensi
intrakranial yang diidentifikasi oleh dua metode yang berbeda. Karena kedua
pendekatan pengobatan memberikan hasil yang memuaskan walaupun tidak
adanya monitoring ICP dalam keduanya, studi ini menantang praktik yang telah
ditetapkan untuk mempertahankan ICP di bawah ambang batas universal dan
secara mutlak. Interpretasi individual terhadap nilai ICP berhubungan dengan
variabel lain yang dipantau, seperti cadangan autoregulator, CPP dan oksigenasi
serebral, memungkinkan identifikasi keadaan di mana ICP yang sedikit meningkat
(25-30 mmHg) dapat diterima dengan hati-hati.
Panduan Brain Trauma Foundation2018 merekomendasikan bahwa ICP
harus dipantau pada semua pasien yang dapat diselamatkan dengan TBI berat dan
CT scan abnormal, atau CT normal dan terdapat dua dari kriteria berikut: usia di
atas 40 tahun, motorposturing, atau hipotensi (tekanan darah sistolik <90
mmHg).2
Strategi penanggulangan ICP biasanya diberikan secara bertahap, dimulai
dengan intervensi lini pertama yang lebih aman, sementara pilihan risiko yang
lebih tinggi, seperti dekompresi bedah, dicadangkan untuk pasien dengan bukti
pemantauan otak multimodal hipoksia otak pada distres metabolik serebral, atau
pada pasien dengan risiko herniasi serebral (Tabel 3).8

Tabel 3 Pengobatan berjenjang pada hipertensi intracranial


Jenjang Terapi/intervensi Risiko/pertimbangan
1 - Peningkatan kepala tempat tidur - Mungkin
sampai 30o dikontraindikasikan pada
cedera spinal
- Hipotensi
- Pertahankan PaCO2 4,5-5,0 kPa
- Propofol (2-4 mg/kg/jam) - Hipotensi
- Sindrom infus propofol
- Obat antiepilepsi untuk kejang - Efek samping obat khusus
2 - Peningkatan sedasi - Hipotensi
- Blokade neuromuskular - Miopati, neuropati
- Agen hiperosmolar - Hipotensi,
hiperosmolaritas
- Manitol - Muatan osmolar optimal
tidak diketahui
- Salin hipertonik
- Normotermia
- Drainase cairan serebrospinal melalui - Risiko insersi drain
kateter ventrikular eksternal eksternal termasuk
perdarahan dan infeksi
- Iskemia serebral
- Hiperventilasi jangka-pendek,
temporizing moderate (PaCO2 4,0-4,5
kPa)
3 - Hipotermia terapeutik - Aritmia, infeksi,
abnormalitas cairan dan
elektrolit
- Barbiturat - Hipotensi, peningkatan
durasi ventilasi, infeksi
- Kraniektomi dekompresif - Perdarahan, infeksi, risiko
survival yang buruk

Terapi hiperosmolar: Terapi hiperosmolar telah menjadi dasar pengelolaan


hipertensi intrakranial selama beberapa dekade.9 Manitol (0,25-1,0 g/kg)
dianjurkan untuk pengobatan akut ICP yang meningkat, namun belum pernah
mendapat perbandingan acak terhadap plasebo. Efek samping manitol meliputi
hipotensi dan risiko osmolalitas serum yang terlalu tinggi setelah pemberian
berulang.Manitol paling efektif bila digunakan untuk mengobati peningkatan ICP
yang dipantau, dan penggunaannya tanpa pemantauan ICP harus dibatasi pada
pasien dengan tanda herniasi transtentorial atau kerusakan neurologis progresif.3
Garam hipertonik meningkatkan osmolalitas serum secara langsung dan bukan
dengan menginduksi diuresis osmotik, dan juga memiliki keunggulan
hemodinamik, vasoregulasi dan imunologi potensial dibandingkan dengan
manitol. Namun, beban osmolar optimal dan cara pemberian (bolus atau infus
kontinyu) garam hipertonik belum didefinisikan secara jelas. Beberapa penelitian
telah membandingkan manitol dan larutan hipertonik namun hasilnya heterogen
dan tidak jelas mana yang lebih efektif.

Intervensi bedah: Hematoma intrakranial yang meluas dapat dievakuasi untuk


mengurangi efek massa dan ICP, dan membatasi cedera sekunder lebih lanjut.
Tidak mengganti flap tulang merupakan pilihan untuk meminimalisasi dampak
pembengkakan otak lebih lanjut, dan pendekatan ini saat ini sedang dievaluasi
oleh percobaan RESCUE-ASDH (http://www.rescueasdh.org). Drainase cairan
serebrospinal melalui kateter ventrikel harus dipertimbangkan pada pasien dengan
skor GCS awal kurang dari 6 selama 12 jam pertama setelah cedera.2 Kraniektomi
dekompresi sekunder melibatkan pengangkatan area besar kubah tengkorak dan
pembukaan dura untuk mengobati ICP refrakter. Uji coba RESCUEicp yang baru-
baru ini dipublikasikan menunjukkan bahwa kraniektomi dekompresi untuk
hipertensi intrakranial refrakter (>25 mmHg selama>1 jam) dikaitkan dengan
mortalitas yang lebih rendah namun tingkat kerusakan vegetatif dan kecacatan
yang lebih tinggi pada orang yang selamat dibandingkan dengan terapi medis
maksimal.

Hipotermia dan normotermiaterapeutik


Hipotermia terapeutik adalah neuroprotektan yang paling efektif dalam penelitian
pra-klinis TBI, namun belum diterjemahkan ke dalam hasil yang lebih baik dalam
penelitian klinis.10 RCT multisenter, yang banyak mengulas kritik penelitian
terdahulu termasuk waktu dan lamanya hipotermia, tidak menemukan perbedaan
dalam hasil antara hipotermia terapeutik (32-34oC) atau pengendalian demam
(35.5-37oC). Studi Eurotherm3235 baru-baru ini meneliti hipotermia terapeutik
sebagai bagian dari pendekatan berjenjang terhadap manajemen ICP namun
dihentikan lebih awal karena hasil fungsional yang lebih buruk dan mortalitas
yang lebih tinggi pada kelompok hipotermia. Sementara studi ini memberikan
bukti yang bertentangan dengan penggunaan hipotermia awal (tingkat kedua)
untuk mengontrol ICP, akan tetapi studi ini tidak membahas perannya dalam
manajemen hipertensi intrakranial refrakter yang paling sering digunakan dalam
praktik klinis.

Pireksia umum terjadi setelah TBI dan secara konsisten dikaitkan dengan
hasil klinis yang buruk. Ada bukti bahwa pengurangan demam meningkatkan
metabolisme otak, menunjukkan potensi efek neuroprotektif dari pemeliharaan
normotermia setelah TBI.

Terapi neuroprotektif
Ada sejumlah terapi lain yang menjanjikan dalam penelitian prazklinis dan
klinisawal, namun pada akhirnya tidak diterjemahkan ke dalam manfaat dalam uji
klinis prospektif yang lebih besar. Dalam model pra-klinis, progesteron
mengurangi inflamasi, mempromosikan proliferasi sel dan bersifat antiapoptosis,
namun percobaan klinis fase 3 yang besar belum menunjukkan peningkatan
kelangsungan hidup atau hasil neurologis pada TBI sedang dan berat. Eritropoetin
(EPO) memiliki mekanisme non-hemopoietik yang mungkin bermanfaat bagi sel
endotel, neuron, dan glia. Sekali lagi, penelitian pra-klinis telah mengkonfirmasi
efek neuroprotektif EPO yang tidak dikonfirmasi dalam dua RCT besar. Sebuah
meta-analisis baru-baru ini melaporkan bahwa EPO dikaitkan dengan penurunan
mortalitas yang signifikan setelah TBI, namun pengaruhnya terhadap hasil
neurologis tidak mencapai signifikansi statistik.
Referensi
1 McGinn MJ, Povlishock JT. Pathophysiology of traumatic brain injury.
Neurosurg Clin N Am 2016; 27: 397e407.
2 Carney N, Totten AM, O’Reilly C, et al. Guidelines for the management of
severe traumatic brain injury, fourth edition. Neurosurgery 2016; Sep 20
[Epub].
3 van der Jagt M. Fluid management of the neurological patient: a concise review.
Crit Care 2016; 20: 126.
4 Oddo M, Crippa IA, Mehta S, et al. Optimizing sedation in patients with acute
brain injury. Crit Care 2016; 20: 128.
5 Godoy DA, Behrouz R, Di NM. Glucose control in acute brain injury: does it
matter?
Curr Opin Crit Care 2016; 22: 120e7.
6 Lelubre C, Bouzat P, Crippa IA, Taccone FS. Anemia management after acute
brain injury. Crit Care 2016; 20: 152.
7 Kirkman MA, Smith M. Intracranial pressure monitoring, cerebral perfusion
pressure estimation, and ICP/CPP-guided therapy: a standard of care or
optional extra after brain injury? Br J Anaesth 2014; 112: 35e46.
8 Stocchetti N, Maas AI. Traumatic intracranial hypertension. N Engl J Med
2014; 370: 2121e30.
9 Torre-Healy A, Marko NF, Weil RJ. Hyperosmolar therapy for intracranial
hypertension. Neurocrit Care 2012; 17: 117e30.
10 Yokobori S, Yokota H. Targeted temperature management in traumatic brain
injury. J Intensive Care 2016; 4: 28.

Anda mungkin juga menyukai