Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN DIABETES MELLITUS

A. Konsep Diabetes Melitus


1. Pengertian
Diabetes Melitus adalah gangguan kronis metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein. Infusiensi relatif atau absolut dalam respon sekretorik insulin, yang
diterjemahkan menjadi gangguan pemakaian karbohidrat (Hall, 2007).
Diabetes Melitus adalah Penyakit sistemik, kronis, dan multifaktor. Diabetes
Melitus atau DM merupakan gangguan metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia atau kenaikan kadar glukosa serum akibat kurangnya hormon
insulin, menurunya efek insulin atau keduanya (Kowalak, 2011).
Dari beberapa pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Diabetes
Melitus atau orang awam menyebutnya kencing manis adalah penyakit metabolik
yang dicirikan dengan hiperglikemia yang diakibatkan oleh terganggunya
metabolisme insulin dalam tubuh.

2. Klasifikasi Diabetes Melitus


Menurut Guyton (2008), terdapat dua tipe utama Diabetes Melitus, yaitu:
1) DM tipe 1: Kerusakan sel beta pancreas atau penyakit-penyakit yang menganggu
produksi insulin dapat menyeabkan timbulnya Diabetes Melitus tipe 1. Infeksi
virus atau kelainan autoimun dapat menyebabkan kerusakan sel beta pancreas
pada banyak pasien Diabetes Melitus tipe 1, meskipun faktor herediter juga
berperan penting untuk menentukan kerentangan sel-sel beta terhadap gangguan
tersebut. Pada beberapa kasus, kecenderunagan faktor herediter dapat
menyebabkan degenerasi sel beta, bahkan tanpa adanya infeksi virus atau kelainan
autoimun. Onset Diabetes Melitus tipe 1 biasanya dimulai pada umur 14 tahun,
oleh sebab itu diabetes ini sering disebut Diabetes Mellitus juvensilf. Diabets
Melitus tipe 1 dapat timbul tiba-tiba dalam waktu beberapa hari atau minggu,
dengan tiga gejala siasa yang utama: naiknya kadar glukosa darah, peningkatan
penggunaan lemak sebagai sumber energi dan untuk pembentukan kolesterol oleh
hati, dan berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.
2) DM Tipe 2 : Diabetes Melitus tipe 2 lebih sering dijumpai dari Diabetes Mellitus
tipe 1, dan kira-kira diemukan sebanyak 90 persen dari seluruhk kasus. Pada
kebanyakan kasus, onset Diabetes Melitus tipe 2 terjadi diatas umur 30 tahun,
sering kali diantara umur 50 dan 60 tahun, dan penyakit ini timbul secara
perlahan-lahan. Oleh karna itu, sindrom ini sering disebut sebagai Diabetes onset
dewasa. Akan tetapi, akhir-akhir ini dijumpai peningkatan kasus yang terjadi pada
individu yang lebih muda, sebagian berusia kurang dari 20 tahun dengan Diabetes
Melitus tipe 2. Trend tersebut agaknya berkaitan terutama dengan peningkatan
prevalensi obesitas, yaitu faktor resiko terpenting untuk Diabetes Melitus tipe 2,
Diabetes Melitus tipe 2 bebeda dengan Diabetes Mellitus tipe 1, dikaitkan dengan
peningkatan insulin plasma (hiperinsulinemia). Hal ini terjadi sebagai upaya
kompensasi oleh sel beta pancreas terhadap penurunan sensitivitas jaringan
terhadap efek metabolisme insulin, yaitu suatu kondisi yang dikenal sebagai
resistensi insulin. Penurunan sensitivitas insulin mengaggu penggunaan dan
penyimpanan karbohidrat, yang akan meningkatkan sekresi insulin sebagai upaya
kompenasasi.
3) Diabetes Tipe Gestasional : Diabetes gestasional dikenali pertama kali selama
kehamilan dan mempemgaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor resiko terjadinya
diabetes gestasional adalah usia, entik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga,
dan riwayat diabetes melitus terdahulu. Diabetes gestasional ini diakibatkan oleh
peningkatan sekresi hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi
glukosa, maka kehamilan adalah suatu keadaan diabotogenik. Pasien yang
mempunyai predisposisi diabetik secara genetik mungkin akan memperlihatkan
intoleransi glukosa atau manifestasi klinis diabetes pada kehamilan. Kriteria
diagnosis biokimia diabetes kehamilan yang dianjurkan adalah kriteria yang
diusulkan oleh Andra Saferi Wijaya. Menurut kriteria ini diabetes gestasional
terjadi apabila dua atau lebih dari nilai berikut ini ditemukan atau dilampaui
sesudah pemberian 75 g glukosa oral: puasa, 105 mg/dl; 1 jam, 190 mg/dl; 2 jam,
165 mg/dl; 3 jam, 145 mg/dl. Pengenalan diabetes seperti ini penting karena
penderita beresiko tinggi terhadap morbiditas pernatal dan mempunyai frekuensi
kematian janin variabel lebih tinggi. Kebanyakan perempuan hamil harus
menjalani panapisan untuk diabetes selama usia kehamilan 24 sampai 28 minggu
(Irianto, 2015).

3. Etiologi Diabetes Melitus


Menurut Nurarif & Kusuma (2013), faktor- fakor resiko diabetes melitus antara
lain :
1) Genetik : Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes itu sendiri, tetapi mewarisi
suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya diabetes.
Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen
HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainya. Sembilan
puluh lima persen pasien berkulit putih (caucasian) dengan diabetes
memperlihatkan tipe HLA yang spesifik (DR3 atau DR4). Resiko terjadi diabetes
meningkat tiga hingga lima kali lipat pada individu yang memiliki salah satu dari
kedua tipe HLA ini. Resiko tersebut meningkat sampai 10 hingga 20 kali lipat
pada individu yang memiliki tipe HLA DR3 maupun DR4 (jika dibandingkan
dengan populasi umum).
2) Imunologi : Pada penderita diabetes melitus terdapat bukti adanya suatu respon
autoimun. Respon ini merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada
jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang
dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Autoantibody terhadap sel-sel
pulau langerhans dan insulin endogen (internal) terdeteksi pada saat diagnosis dan
bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya tanda-tanda klinis.
3) Orang dengan Riwayat Diabetes Dalam Keluarga. Sekitar 50% pasien Diabetes
Melittus tipe 2 mempunyai orang tua yang juga mengidap diabetes dan lebih dari
sepertiga pasien diabetes mempunyai saudara yang mengidap diabetes. Bila
saudara identical twins memungkinkan terkena diabetes tipe 2 90% (Hans
Tandra,2008).
4) Usia : Orang berusia 45 tahun keatas. Peningkatan diabetes risiko diabetes seiring
dengan umur, khususnya pada usia lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada
usia tersebut mulai terjadi peningkatan intoleransi glukosa. Adanya proses
penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel B pankreas dalam
memproduksi insulin. Selain itu pada individu yang berusia lebih tua terdapat
penurunan aktifitas mitokondria di sel-sel otot sebesar 35%. Hal ini berhubungan
dengan peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30% dan memicu terjadinya
resistensi insulin.
5) Orang yang berat badanya berlebih. Diabetes Melitus tipe 2 sangat erat kaitanya
dengan obesitas. Bila BMI (Body Mass Index) seseorang yang mengalami obesitas
mencapai 30, dia akan 30 kali lebih muda terkena diabetes tipe 2 dari pada orang
dengan berat badan normal atau BMI (Body Mass Index) sebesar 22. Bila BMI
(Body Mass Index) sama dengan 35, kemungkinan terkena diabetes menjadi 90
kali lipat.
6) Orang yang tidak berolahraga secara teratur. Olahraga bisa benar-benar membantu
mengendalikan kadar glukosa darah. Olahraga menekan produksi insulin dan juga
mendorong sel-sel otot skelet untuk mengambil lebih banyak glukosa dari aliran
darah. Deangan lebih banyak glukosa dalam sel-sel otot,kita bisa menghasilkan
lebih banyak energi sehingga tetap bisa bekerja.
7) Kelompok ras dan suku tertentu (Afrika-Amerika, Hispanik-Amerika, Asia-
Amerika, penghuni pulau pasifik, dan Indian-Amerika). Orang Asia, termasuk
didalamnya orang cina, India, Jepang, Vietnam, Pakistan, dan Indonesia adalah
ras yang mudah terkena diabetes.

Sedangkan menurut Nurarif & Kusuma (2013), ada beberapa faktor yang dapat
dimodifikasi dari Diabetes Melitus, yakni:
1) Pola Makan : Mengetahui jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi merupakan
hal yang penting. Memakan-makanan porsi sedang 3 kali sehari lebih baik dari
pada memakan makanan dengan porsi besar sebanyak 1 atau 2 kali per hari.
Selama menerapkan pola makan yang baik, resiko terkena diabetes dapat
dihindari.
2) Obesitas : Hampir 80% orang terkena diabetes melitus mengalami obesitas dan
jika mengalami kegemukan, produksi insulin dari pankreas menjadi kurang efektif
atau disebut resistensi insulin.
3) Aktifitas fisik : Aktifitas fisik dapat mengontrol gula darah. Glukosa akan diubah
menjadi energi pada saat beraktivitas fisik. Aktivitas fisik mengakibatkan insulin
semakin meningkat sehingga kadar gula dalam darah akan berkurang. Pada orang
yang jarang berolahraga, zat makanan yang masuk kedalam tubuh tidak dibakar
tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula. Jika insulin tidak mencukupi
untuk mengubah gukosa mejadi energi maka akan timbul DM (Kemenkes
RI,2010).
4) Gaya Hidup : Menjaga pola makan dengan menu seimbang dalam kebutuhan
sehari-hari baik menurut jumlahnya (kuantitas) maupun jenisnya (kualitas).
Berolahraga teratur, mencangkup kualitas (gerakan) dan kuantitas dalam arti
frekuensi dan waktu yang digunakan untuk olahraga, tidak merokok dan tidak
mengkonsumsi kopi, alkohol.
5) Stress : Mengendalikan stress karna berdampak pada penderita Diabetes Melitus
dapat meningkatkan kadar gula dalam darah tetapi hal itu juga meningkatkan
resistensi insulin.

Tabel 1 Beberapa Gambaran Yang Membedakan Diabetes Melitus tipe 1 dari tipe2

Tipe I Tipe II
Usia Awitan Biasanya < 30 Biasanya > 40 Tahun
Ketosis Sering Jarang
Berat Badan Tidak Obesitas Obesitas (80%)
Prevalensi 0,4 % 8%
Genetika
1. Ketertarikan Human Ya Tidak
Leukocyte antigen Angka concordance 30%- Angka Conordance 60%-
2. Penelitian Kembar 50% 80%
Monozigot
Ketertarikan dengan
Fenomena autoimun Kadang–Kadang Tidak
lain
Terapi d engan Insulin Selalu Diperlukan Biasanya Tidak diperlukan
Penyulit Sering Sering
Bervariasi defisiensi
Sekresi Insulin Defisiensi Berat sedang sampai
hiperinsulinemia
Kadang – Kadang pada
Resistensi Insulin control buruk atau Lazim
kelebihan antibody insulin

4. Manfiestasi Klinis
Menurut Kowalak (2011), beberapa tanda dan gejala yang perlu mendapat
perhatian adalah : 1) Poliuria dan polidipsia yang disebabkan oleh osmolalitas
serum yang tinggi akibat kadar gula serum yang tinggi, 2) Anoreksia (Sering
terjadi) atau polifagia (kadang-kadang terjadi), 3) Penurunan berat badan
(biasanya sebesar 10% hingga 30%; penyandang diabetes tipe 1 secara khas tidak
memiliki lemak pada tubuhnya saat diagnosis ditegakkan) karena tidak terdapat
metabolisme karbohidrat,lemak, dan protein yang normal sebagai akibat fungsi
insulin yang rusak atau tidak ada, 4) Sakit kepala, rasa cepat lelah, mengantuk,
tenaga yang berkurang, dan gangguan pada kinerja sekolah serta pekerjaan.
Semua ini disebabkan oleh kadar glukosa intra sel yang rendah, 5) Kram otot,
iritabilitasi, dan emosi yang labil akibat ketidak seimbangan elektrolit, 6)
Gangguan penglihatan, seperti penglihatan kabur, akibat pembengkakan yang
disebabkan glukosa, 7) patirasa (blaal) dan kesemutan akibat kerusakan jaringan
syaraf, 8) Gangguan rasa nyaman nyeri dan nyeri pada abdomen akibat neuropati
otonom yang menimbulkan gastroparesis dan konstipasi, 9) Mual, diare, atau
konstipasi akibat dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit atau pun neuropati
otonom, 10) Infeksi kandida yang rekuren pada vagina atau anus.

5. Patofisiologi Diabetes Mellitus


Pada individu yang secara genetik rentan terhadap diabetes tipe 1, kejadian
pemicu, yakni kemungkinan infeksi virus, akan menimbulkan produksi
autoantibody terhadap sel-sel beta pancreas. Destruksi sel beta yang diakibatkan
menyebabkan penurunan sekresi insulin dan akhirnya kekurangan hormon insulin.
Defisiensi insulin mengakibatkan keadaan hiperglikemia, penigkatan liolisis
(penguraian lemak) dan katabolisme protein. Karakteristik ini terjadi ketika sel-sel
beta yang mengalami deskruksi melebihi 90%.
Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang disebabkan satu atau lebih
faktor berikut ini : Sekresi insulin, produksi glukosa yang tidak tepat didalam hati,
atau penurunan sensitivitas reseptor insulin perifer. Faktor genetik merupakan hal
yang signifikan, dan awitan diabetes diperepat oleh obesitas serta gaya hidup
(sering duduk). Sekali lagi, stress tambahan dapat menjadi faktor penting.
Manifestasi DM adalah polidipsia, poliuria, polifagia, kelemahan, penurunan berat
badan, kulit yang kering dan ketoasidosis. Diabetes tipe 2 secara khas berjalan
lambat dengan awitan yang insidius dan biasanya tidak disertai gejala (Kowalak,
2011). Dampak dari Diabetes Melitus jika tidak ditangani yaitu Gangguan fungsi
ginjal, Gangguan jantung, dan gangguan penglihatan (Wijaya, 2013).

6. Komplikasi Diabetes Melitus


Menuru McPhee (2010), ada 3 komplikasi akut pada diabetes yang penting dan
berpengaruh dengan gangguan keseimbangan glukosa darah. Ketiga komplikasi
tersebut adalah:
1) Hipoglikemia: Hipoglikemia terjadi kadar glukosa darah turun dibawah 60 hingga
50 mg/dl. Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral
yang berlebih , konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik
yang berat.
2) Ketoasidosis Diabetik : Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya atau
tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata. Akibat defisiensi insulin adalah
pemecahan lemak (lipolisis) menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam
lemak bebas akan diubah menjadi badan keton oleh hati. Pada ketoasidosis
diabetik terjadi produksi badan keton yang berlebihan sebagai akibat dari
kekurangan insulin. Badan keton bersifat asam, dan bila menumpuk dalam
sirkulasi darah, badan keton akan menimbulkan asidosis metabolik.
3) HHNK (Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik) : Sindrom hiperglikemik
hiperosmolar nonketotik merupakan keadaan yang didominasioleh
hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadarn (sense
of awareness). Pada saat yang sama tidak ada atau terjadi ketoasidosis ringan.
Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi
kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan keseimbangan osmotik,
cairan akan berpindah dari ruang intrasel kedalam ekstrasel. Dengan adanya
glukosaria dan dehidrasi, akan dijumpai keadaan hipernatremiadan peningkatan
osmolaritas.
4) Komplikasi Jangka Panjang. Komplikasi jangka panjang diabetes dapat
menyerang semua sistem organ dalam tubuh. Kategori komplikasi kronis yang
lazim digunakan adalah :
(1) Komplikasi Makrovaskuler : Berbagai tipe komplikasi makrovaskuler dapat
terjadi, tergantung pada lokasi lesi ateroklerotik
(2) Penyakit Arteri Koroner : Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh arteri
koroner menyabakan peningkatan insiden infark miokard pada penderita
diabetes. Salah satu ciri unik pada penyakit arteri koroner yang di derita pleh
pasien diabetes adalah tidak terdapatnya gejala iskemik yang khas. Pasien
mungkin tidak memperlihatkan tanda-tanda awal penurunan aliran darah
koroner dan dapat mengalami infark miokard asistomatik ini hanya dijumpai
melalui pemeriksaan elektrokardiogram. Kurangnya gejala iskemik ini
disebabkanoleh neuropati otonom.
(3) Penyakit Serebrovaskuler : Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah
sereblar atau pembentukan embolus di tempat lain dalam sistem pembuluh
darah yang kemudian terbawa aliran darah sehingga terjepit dalam pembuluh
darah sereblar dapat menimbulkan serangan iskemia sepintas (TIA=
Transient Ischemik Attack) dan stroke.
(4) Penyakit Vaskuler Perifer : Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah
besar pada ekstremitas bawah merupakan penyebab meningkatnya insiden
(dua atau tiga kali lebih tinggi dibandingkan pada pasien-pasien non diabetes)
penyakit oklusif arteri perifer pada pasien diabetes melitus. Tanda dan gejala
penyakit vaskuler perifer dapat berupa berkurangnya denyut nadi dan
claudicatio intermitten (nyeri pada pantat ektremitas bawah ini merupakan
penyebab utama meningkatnya insien gangren.
5) Komplikasi Mikroaskuler
(1) Retinopati Diabetik : Kelainan patologis mata yang disebut retinopati diabetik
disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada
retina mata. Retina merupakan bagian mata yang menerima bayangan dan
mengirimkan informasi tentang bayangan tersebut ke otak. Retina
menagndung banyak sekali pembuluh darah dari berbagai jenis pembuluh
darah arteri seta vena yang kecil, arteriol, venula, dan kapiler.
(2) Komplikasi Oftalmologi yang lain : a) Katarak yaitu opasitas lensa mata,
katarak terjadi di usia yang lebih muda pada pasien-pasien diabetes. b)
Perubahan lensa yaitu lensa mata dapat membengkak ketika kadar glukosa
darah naik. Pengendalian kadar glukosa darah memerlukan waktu sampai 2
bulan sampai pembengkakan hiperglikemia mereda dan penglihatan menjadi
stabil kembali, c) Kelumpuhan otot ekstraokuler kelumpuhan ini dapat terjadi
akibat neuropati diabetik. Kelainan yang mengenai berbagai nervus kranialis
untul gerakan bola mata dapat menimbulkan diplopia. Biasanya keadaan ini
sembuh spontan, d) Glaukoma dapat terjadi dengan frekuensi yang lebih
tibggi pada populasi diabetik.
(3) Nefropati : Bukti menunjukan bahwa setelah terjadi diabetes, khususnya
kadar glukosa darah meninggi, maka mekanisme filtrasi ginjal akan
mengalami sress yang menyebabkan kebocoran protein darah kedalam urine.
Sebagai akibatnya, tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat.
Kenaikan tekanan tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus untuk
terjadinya nefropati.
(4) Neuropati Diabetes : Neuropati dalam diabetes mengacu kepada sekelompok
penyakit yang menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer
(sensorimotor), otonom, dan spinal. Penebalan membran basalis kapiler dan
penutupan kapiler dapat dijumpai dengan hiperglikemia. Hantaran saraf akan
terganggu apabila terdapat kelainan pada selubung mielin.

7. Dampak Diabetes Melitus


Menurut Corwin (2009), penyakit diabetes melitus memiliki beberapa dampak.
1) Gangguan fungsi ginjal : DiabetesMelitus kronis yang menyebabkan kerusakan
ginjal sering dijumpai, dan nefropati diabetik adalah penyebab nomor satu gagal
ginjal di amerika serikat dan negara-negara barat lainya. Di ginjal, yang paling
parah mengalami kerusakan adalah kapiler glomerulus akibat hipertensi dan
glukosa plasma yang tinggi menyebabkan penebalan membran basal dan
pelebaran glomerulus.
2) Gangguan jantung : Diabetes Melitus jangka panjang memberi dampak yang
parah ke sistem kardiovaskuler, dipengaruhi diabetes melitus kronis. Terjadi
kerusakan mikrovaskular terjadi di arteri besar dan sedang. Semua organ dan
jaringan tubuh akan terkena akibat dari gangguan mikro dan malkrovaskuler
3) Gangguan penglihatan : Dampak jangka panjang diabetes melitus yang sering
dijumpai adalah gangguan penglihatan. Ancaman paling serius terhadap
penglihatan adalah retinopati atau kerusakan pada retina karena tidak
mendapatkan oksigen. Retina adalah jaringan yang sangat aktif bermetabolisme
dan pada hipoksia kronis akan mengalami kerusakan secara progresif dalam
struktur kapilernya, membentuk mikroaneurisma, dan memperlihatkan bercak-
baercak perdarahan.

8. Diagnosis Diabetes Mellitus


Menurut Guyton (2008), diagnosis harus didasarkan atas pemeriksaan
kadarglukosa darah sehingga tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar glukosa uria
saja. Dalam menentukan diagnosis harus diperhatikan asal bahan darah yang
diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan cara ezimmatik dengan darah plasma vena.
Pemeriksaan glukosa darah seyognya dilakukan dilaboratorium klinik yang
terpercaya (yang melakukan program pemantauan kenali mutu teratur). Walapun
demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah unuk
(whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pmantauan hasil
pemantauan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.
Tabel 2 Glukosa Darah Sewaktu Dan Puasa Sebagai Patokan Diagnosis Diabtes
Melitus Menurut WHO
Bukan
Belum pasti Diabetes Diabetes
diabetes
Melitus Melitus
melitus
Kadar glukosa Plasma Vena <110 110-199 ≥200
darah sewaktu Darah <90 90-199 ≥200
(mg/dl) Kapiler
Kadar Glukosa Plasma Vena <110 110-125 ≥126
darah puasa Darah <90 90-109 ≥110
(mg/dl) Kapiler

Diagonosis klinis umunya akan dipikirkan bila ada keluhan khas berupa
poliuri, polidpsi, polifagi dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah puasa >126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosi, hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat
untuk menegakkan diagnosis. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat
sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa maupun kadar
glukosa darah sewaktu pada hari yang lain.

9. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


A. Farmakologis
Menurut Wijaya (2013), obat dalam terapi Diabetes Mellitus sebagai berikut:
1) Obat Hiperglikemik Oral atau OHO : Berdasarkan cara kerjanya dibagi
menjadi empat golongan, yaitu pemicu sekresi insulin, atau insulin
secretagogue= sulfonylurea danglinid, penambahan sensiivitas terhadap insulin
= metformin, tiazolidindin, absorbsi glukosa = penghambat glukosidae alfa.
2) Insulin : pemberian insulin diperlukan pada keadaan: Penurunan berat badan
yang cepat, hiperglikemi berat yang disertai ketosis diabetik, hiperglikemia
hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis lakta, gagal dengan
kombinasi OHO dosis hampir maksimal, stress berat seperti infeksi sistemik,
operasi besar, IMA atau Infark Miokard Akut, stroke, kehamilan dengan
Diabetes Mellitus gestasional yang telah terkendali dengan perencanaan
makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, kontraindikasi dan atau
alergi terhadap OHO.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat hipoglikemia oral :
dimulai dengan dosis rendah, lalu dinaikan secara bertahap, harus diketahui
bentuk, bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat tertentu, bila
memberikanya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat,
pada kegagal sekunder terhadap obat hipoglikemia oral golongan lain, bila
gagal, baru beralih pada insulin, uasahakan agar harga obat terjangkau.

B. Non Farmokologis
Menurut Wijaya (2013), terapi non farmakologi yang dapat diberikan yaitu :
1) Memantau Kadar Glukosa Darah
Tindakan ini perlu karena untuk mengetahui glukosa darah sudah berubah dari
hari ke hari, membantu menyesuaikan pengobatan, rencana makan, dan
olahraga rutin yang kita lakukan.
2) Berolahraga Secara Teratur
Olahraga bisa benar-benar membantu mengendalikan kadar glukosa darah.
Olahraga menekan produksi insulin dan juga mendorong sel-sel otot skelet
untuk mengambil lebih banyak glukosa dari aliran darah. Dengan lebih banyak
glukosa dalam sel otot, bisa menghasilkan lebih banyak energi sehingga otot
akan bisa tetap bekerja.
Selain membantu mengendalikan kadar gula darah, olahraga memperbaiki
sistem kardiovaskuler (sehingga menurunkan resiko penyakit jantung), dan
juga mendorong penurunan berat badan, yang bisa bermanfaat besar bagi
pengidap diabetes.
3) Mematuhi Rencana Makan Pribadi
Patuhi rencana yang akan membantu kadar glukosa normal, membantu
melindungi dari penyakit jantung dan kenaikan berat badan, serta tidak
membuat merasa kurang gizi. Penurunan berat badan pada penderita Diabetes
Melitus juga memiliki manfaat untuk menurunkan produksi glukosa endogen,
meningkatkan penyerapan glukosa perifer yang diperantarai insulin,
meningkatkan pelepasan insulin, dan membaiknya sensitivitas insulin.
4) Perencanaan Diet.
Regimen diet biasanya dihitung perindividu, bergantung kebutuhan
pertumbuhan berat badan yang diinginkan biasanya untuk Diabetes Meitus tipe
2, dan tingkat aktivitas, pembagian kalori biasanya 50 sampai 60% dari
karbohidrat kompeks, 20% dari protein, dan 30% dari lemak. Diet juga
mencakup serabut vitamin, dan mineral. Peencanaan diet terutama panting
untuk anak-anak pengidap Diabetes Melitus tipe 1 untuk mamasok kalori dan
mineral yang adekuat untuk menjamin perubahan yang optimal (Corwin,
2009).
5) Gaya Hidup.
Menjaga pola makan dengan menu seimbang dalam kebutuhan sehari-hari baik
menurut jumlahnya (kuantitas) maupun jenisnya (kualitas). Berolahraga
teratur, mencagkup kualitas gerakan dan kuantitas dalam arti frekuensi dan
waktu yang digunakan untuk olahraga, tidak merokok dan tidak mengkonsumsi
kopi ataupun alkohol.

10. Faktor Yang Mempengaruhi Kadar Gula Darah


Menurut Kowalak (2011), faktor yang mempengaruhi kadar gula darah yaitu :
1) Pola Makan : Mengadopsi pola makan sehat adalah dasar pengelolahan
penyakit diabetes mellitus. Tentunya bukan hanya jenis makanan yang bisa
memengaruh kadar gula darah, tetapi juga porsi dan kapan makan.
2) Olahraga : Aktifitas fsik adalah bagian penting lain dari rencana pengelolahan
penyakit diabetes. Ketika kita berolah raga, otot menggunakan gula (Glukosa)
untuk energi. Aktifitas fisik secara teratur dapat meningkatkan respon tubuh
terhadap insulin. Faktor-faktor ini lalu bekerja sama untuk menurunkan gula
darah. Latihan berat tentu lebih menguntungkan karena efeknya akan
berlangsung lama. Namun, aktifitas ringan seperti menyelesaikan pekerjaan
rumah tangga, berkebun, atau berjalan-jalan, juga dapat menurunkan kadar
gula darah.
3) Obat-obatan : Insulin dan obat diabetes lain dirancang untuk menurunkan
guladarah. Tentu itu semua tergantung pada efektifitas obat, waktu
penggunaan, dan dosisnya. Setiap obat yang dikonsumsi untuk kondisi lain dari
diabetes juga dapat memengaruhi kadar gula darah.
4) Stress : Stress memungkinkan diabetesi lupa “ mengelola” penyakit.
Penyandang diabetes (diabetesi) jadi enggan olahraga dan malah mengonsumsi
makanan yang kurang sehat. Dalam kondisi ini diabetesi jadi kehilangan
kontrol atas kadar gula darahnya. Hormon-hormon yang diproduksi tubuh
dalam respon terhadap stress yang berkepanjangan bahkan bisa mencegah
insulin berfungsi dengan benar, yang bisa memperarah masalah. Semakin tahu
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat gula darah.
5) Gaya Hidup : Menjaga pola makan dengan menu seimbang dalam kebutuhan
sehari-hari baik menurut jumlahnya (kuantitas) maupun jenisnya (kualitas).
Berolahraga teratur, mencagkup kualitas gerakan dan kuantitas dalam arti
frekuensi dan waktu yang digunakan untuk olahraga, tidak merokok dan tidak
mengkonsumsi kopi ataupun alkohol, beristirahat cukup serta mengendalikan
stress.

11. Kriteria Pengukuran Kadar Gula Darah pada Diabetes Melitus


Untuk mengukur kadar gula darah pada diabetes melitus menggunakan lembar
observasi dengan cek GDA hasil laboratorium dengan pemberian skor :
1.) Kode 1 : Rendah <100 mg/dl
2.) Kode 2 : Normal100-200 mg/dl
3.) Kode 3 : Tinggi >200 mg/dl
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E. J. (2009). Buku Saku patofisiologi Ed. 3. Jakarta: EGC.


Hall, G. &. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Irianto, K. (2015). Memahami Berbagai Penyakit. Bandung: Alfabeta.
Kowalak, J. P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
McPhee, S. J. (2010). Patofisiologi Penyakit : Pengantar Menuju Kedokteran Klinis.
Jakarta: EGC.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Media Action.
Wijaya, A. S. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai