Anda di halaman 1dari 14

REFLEKSI KASUS Desember, 2018

MORBUS HANSEN TIPE PB

Disusun Oleh:

Nama : ANDRIS TAPA


NIM : N 111 17 107

Pembimbing Klinik
dr. Seniwaty Ismail, Sp. KK

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
STATUS PASIEN
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RSUD UNDATA PALU

I. IDENTITAS PASIEN
1. Nama pasien : Tn. S
2. Umur : 65 tahun
3. Jenis kelamin : Laki-Laki
4. Agama : Islam
5. Alamat : toli-toli
6. Pekerjaan :-
7. Tanggal pemeriksaan : 19 Desember 2018

II. ANAMNESIS
1. Keluhan utama:
Timbul kemerahan pada tangan dan terasa gatal

2. Riwayat penyakit sekarang:


Pasien dikonsultasikan ke bagian kulit dan kelamin RSUD Undata
Palu dengan keluhan timbul kemerahan pada tangan dan terasa
gatal. Awalnya muncul bintik merah pada lengan kanan terasa
gatal dan perih saat digaruk beberapa tahun kemudian melebar.
Rasa gatal dan perih hilang dengan sendirinya. Kemudian muncul
lagi bintik merah pada wajah bagian kiri, kasus nya sama dengan
yang di lengan. Munculnya bintik yang dilengan sekitar 9 tahun
yang lalu. Keluhan yang dirasakan pernah membaik, dan kembali
dirasakan 1 bulan terakhir.

3. Riwayat penyakit terdahulu:


- Hipertensi

2
4. Riwayat penyakit keluarga:
- Ibu pasien pernah mengalami keluhan yang sama

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Status generalis:
Kondisi umum : Sakit sedang
Status gizi : Baik
Kesadaran : Kompos mentis
2. Tanda vital:
Tekanan darah : 150/90 mmHg
Suhu : 37,2 0C
Respirasi : 17 x/menit
Nadi : 90 x/menit
3. Hygiene: Baik
4. Status dermatologis:
Kepala : Tidak ada ujud kelainan kulit
Wajah : terdapat makula eritema, distribusi tidak simetris,
batas tegas, permukaan kulit kering dan kasar.
Leher : Tidak ada ujud kelainan kulit
Ketiak : Tidak ada ujud kelainan kulit
dada : Tidak ada ujud kelainan kulit
Perut punggung : terdapat makula datar pada kulit
Bokong : Tidak ada ujud kelainan kulit
Genitalia : Tidak ada ujud kelainan kulit
Ekstremitas atas : terdapat makula eritema, distribusi tidak simetris,
batas tegas, permukaan kulit kering dan kasar.
Ekstremitas bawah : terdapat makula eritema pada paha kanan
Kel. limfa : Tidak ada pembesaran

3
5. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit :
- Rasa raba : pada lengan dan lutut tidak terasa
- Rasa nyeri : tidak dilakukan
- Rasa suhu : tidak dilakukan

6. Pemeriksaan saraf tepi :


Tidak ada terjadi penebalan/ pembesaran pada n. Ulnaris
Ada penebalan pada n. Poplitea lateralis

IV. GAMBAR

Gambar 1. Terdapat makula eritema, distribusi tidak simetris, batas


tegas

4
Gambar 2. Terdapat makula eritema, distribusi tidak simetris, batas tegas

V. RESUME
Ny. M berusia 72 tahun datang dengan keluhan bercak berwarna putih
pada wajah dan lengan. Dari hasil pemeriksaan fisik di dapatkan tekanan
darah 220/100 mmHg, dan didapatkan ujud kelainan kulit pada lengan dan
wajah yaitu makula hipopigmentasi, distribusi tidak simetris, batas tegas,
permukaan kulit kering dan kasar dan hal ini sudah berlangsung selama 4
tahun. Dari pemeriksaan sensibilitas rasa raba pada lesi kulit didapatkan
hasil anestesi (tidak ada rasa raba), dan didapatkan ada penebalan saraf
auricularis magnus.

VI. DIAGNOSA KERJA


Morbus Hansen tipe PB

VII. DIAGNOSIS BANDING


1. Pitiriasis Alba
2. Vitiligo
3. Pitiriasis Versikolor

VIII. ANJURAN PEMERIKSAAN

5
- Pemeriksaan bakteriologik
- Pemeriksaan histopatologik
- Pemeriksaan serologi

IX. PENATALAKSANAAN
a. Non-Medikamentosa
- Bila terdapat gangguan senbilitas diberi petunjuk untuk selalu
melindungi kulit, misalnya pada tangan yang terkena selalu memakai
lengan panjang atau sarung tangan bila bekerja dengan menggunakan
senjata tajam dan panas.
- Melakukan perawatan kulit, selalu memeriksa ada tidaknya memar,
luka atau ulkus , memberi minyak pada kulit agar tidak kering dan
pecah.
b. Medikamentosa:
- Terapi kusta PB
Minum didepan petugas
 Rifampisin 600 mg/ bulan
 DDS 100 mg/ bulan
Minum dirumah
 DDS 100 mg/ hari
Jangka waktu pengobatan 6-9 bulan

X. PROGNOSIS
1. Qua ed vitam : ad bonam
2. Qua ed funsionam : dubia ad bonam
3. Qua ed cosmetican : dubia ad bonam
4. Qua ed sanationam : dubia ad bonam

PEMBAHASAN

6
Kusta merupakan penyakit infeksi kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ kain kecuali susunan saraf pusat.1

Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum


diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung
antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah inhalasi, sebab M. Leprae
masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunas sangat bervariasi,
antara 40 hari-40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. Kusta
bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat dan air susu ibu. Sputum dapat banyak mengandung M. Leprae
yang berasal dari traktus respiratorius atas. Dapat menyerang semua umur, anak-
anak lebih rentan daripadda orang dewasa.1

Terdapat berbagai klasifikasi penyakit kusta sesuai dengan perkembangan


ilmu pengentahuan. Mulai dari klasifikasi Pre Manila, Pan Amerika, Ridley dan
Jobling serta klasifikasi meurut WHO. Sampai saat ini untuk klasifikasi yang
dipakai pada penelitian yang terbanyak adalah klasifikasi Ridley dan Jopling.
Klasifikasi ini berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan
mempunyai korelasi dengan tingkat imunologis, yaitu membagi penyakit kusta
dalam beberapa tipe yaitu1,2 :

a. TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil


b. Ti : Tuberkuloid Indenfinite
c. BT : Bordeline Tuberkuloid
d. BB : Mid bordeline
e. BL : Borderline Lepromatous
f. Li : Lepromatosa indenfinite
g. LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil

Patogenesis penyakit kusta. Kuman Mycobacterium Leprae masuk


kedalam tubuh melalui saluran pernafasan (sel schwan) dan kulit yang tidak utuh.

7
Sumber penularan adalah penderita kusta yang banyak mengandung kuman (multi
basiler) yang belum diobati. Kuman masuk ke dalam tubuh menuju tempat
predileksinya yaitu saraf tepi. Saat M.Leprae masuk kedalam tubuh,
perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon
tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas
selular (Celullar mediated immune) pasein, bila sistem imun imunitas selular
tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkuloid dan bila rendah berkembang
kearah lepramatosa. Mycobacterium Leprae berpredileksi di daerah-daerah yang
relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat
penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada
tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular
daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit
imunologik.3

Untuk menetapkan diagnostik penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda


utama atau tanda kardinal (cardinal signs) yaitu4 :

1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa : Kelainan kulit / lesi dapat
berbentuk bercak putiih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritema)
yang mati rasa (anestesi)
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf :
gangguan fungsi saraf ini bisa beerupa :
a. Gangguan fungsi sensoris : Mati rasa
b. Gangguan fungsi Motoris : kelemahan (paresis) atau kelumpuhan
(paralisis) otot
c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak
3. Adanya basil tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (slit
skin smear)

Diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik :


pemeriksaan kulit/ dermatologi dan pemeriksaan saraf tepi.4

8
Berdasarkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan
diagnosis kerja yaitu kusta . Diagnosis banding dari kusta adalah sebagai
berikut1,2,4,5

Klinis
Diagnosis
(perbedaan dengan Gambar
banding
Kusta)

Pitiriasis Alba Makula berbentuk bulat,


warna putih, lokalisasi
pada muka dan bila
terdapat pada anak-anak
biasanya menjadi
persoalan untuk
didiagnosis pada daerah
endemik kusta.

Vitiligo Kelihatan lebih


depigmentasi (achromia)
daripada hipopigmentasi
dan pertumbuhan rambut
pada daerah makula dapat
achromic. Lesi multiple,
ukuran dan bentuknya
bervariasi.

9
Pitiriasis Biasanya hipopigmentasi
Versikolor yang asimptomatik,
multiple, jarang pada
muka, banyak pada badan
dan lengan.

Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis kusta adalah dengan


beberapa pemeriksaan yaitu1:
a. Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakan
diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan
kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), antara lain dengan ZIEHL-
NEELSEN. Bakteriokopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti
orang tersebut tidak mengandung kuman M. Leprae.1
Pertama – tama harus ditentukan lesi dikulit yang diiharapkan paling padat
oleh kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan
diambil. Mengenai jumlah lesi yang ditentukan oleh tujuanya, yaitu untuk

10
riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6
tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 – 4 lesi lain yang
paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan
kedua cuping telinga tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di
tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut
diharapkan mengandung kuman paling banyak. Perlu diingat bahwa setiap
tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan ditempat yang sama
pada pengamatan mengobatan untuk diibandigkan hasilnya. 1
b. Pemeriksaan Histopatologik Magrofag dalam jaringan yang berasal dari
monosit didalam darah ada yang mempunyai nama khusus, antara lain sel
Kupffer dari hati, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas
magrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman (M. Leprae)
masuk, akibatnya akan bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) orang
itu. Apabila SIS- nya tinggi. Magrofag akan mampu menfagosit M. Leprae.
Datangnya histiosit ketempat kuman disebabkan karena proses imunologik
dengan adanaya faktor kemotaktik. Kalau dattangnya berlebihan dan tidak
ada lagi yang harus difagosit, magrofag akan berubah bentuk menjadi sel
epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah
menjadi sel datia langhans. Adanya masa epiteloid yang berlebihan
dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama
kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau
runtuh, histiosid tidak dapat menghancurkan M. Leprae yang sudah ada
didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel
virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut
penyebarluasan. 1
Granuloma adalah akumulasi magrofag dan atau derivat – derivatnya.
Gammbaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non – solid..
pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepuidermal
clear zone), yaitu suatu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringanya

11
tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe
borderline, terdapat campuran unsur – unsur tersebut. 1
c. Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. Leprae. Antibodi yang terbentuk
dapat bersifat spesifik terhadap M. Leprae, yaitu antibodi antiphenolic
glycolipid – 1 (PGL – 1) dan antibodi 16 kD serta 35 kD.Sedangkan antibod
yang tidak spesifik antara lain antibodi anti – lipoarabinomanan (LAM), yan
juga dihasiilkan oleh kuman M.tuberculosis. Kegunaan pemeriksaan
serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan, karena
tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu dapat membantu
menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada
narakontak serumah. Macam – macam pemeriksaan serologik kusta ialah1 :
 Uji MPLA ( mycobacterium leprae Particle Aglunation)
 Uji ELISA ( Emzyme Linked Immuno – sorbent Assay).
 ML dipstick test (mycobacterium leprae dipstick).
 ML flow test (Mycobacterium leprae Flow test).

Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,


klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien,
menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam
jaringan.Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995)
sebagai berikut2,3,4:
a) Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
- Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
- DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan. dan setelah selesai
minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment = berhenti minum
obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995)

12
tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion of
Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b) Tipe MB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
- Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
- Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.
- DDS 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan.
Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis
lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif Menurut WHO ( 1998)
pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18
bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
Dosis untuk anak :

Klofazimin:
Umur <10 tahun : bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/2 kali/minggu
Umur 11-14 tahun: bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/3 kali/minggu
DDS : 1 - 2 mg/kg berat badan
Rifampisin : 10-15 mg/kg berat badan

c) Pengobatan MDT terbaru


Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO ( 1998),
pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satuj cukup diberikan dosis tunggal
rifampisin 600 mg, olloksasin 400 mg, dan minosiklin I 00 mg dan pasien
langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan
6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan
dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Wisnu MI,Daili SS,Menaldi LS. Penyakit virus in Ilmu penyakit kulit dan
kelamin 7th edition. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: 2015. Pg: 87-102

2. Kementrian kesehatan RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian


Penyakit Kusta, Jakarta:2012.

3. Amiruddin DM. Penyakit kusta, bag.ilmu penyakit kulit & kelamin FK


Universitas Hasanuddin, makassar: 2001.

4. Mansjoer A, Kapita selekta kedokteran ilmu penyakit kulit dan kelamin “


penyakit kusta”, Media Aesculapius, jakarta: 2000. Pg 63-75.

5. Shou K, Kane M, Lio AP, Stratigos JA, Johnson AR.Color Atlas &
Synopsis of Pediatric Dermatology 2nd edition, McGrawhill
Medical.Philadelphia: 2009.

14

Anda mungkin juga menyukai