Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang
menyerang hampir semua organ tubuh manusia dan yang terbanyak adalah
paru-paru. Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis yang sampai saat ini menjadi
masalah kesehatan penting di dunia serta banyak ditemukan di daerah urban
pada tempat tinggal atau lingkungan yang padat penduduknya (PAPDI, 2014;
Zettira dan Sari, 2017).
Tuberkulosis (TB) sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya penanggulangan TB
telah dilaksanakan di banyak negara sejak tahun 1995. Sejak ditetapkannya TB
menjadi suatu global emergency oleh WHO sejak tahun 1992, TB tetap
membawa risiko besar kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara
miskin dan berkembang (KEMENKES RI, 2016; Christanto, 2018).
Dalam laporan terakhirnya Global Tuberculosis Report 2016, WHO
menjabarkan beban penyakit tuberkulosis di seluruh dunia. Pada tahun 2015,
insidens TB mencapai sekitar 10,4 juta kasus baru atau 142 kasus/100.000
populasi. Sebesar 60% kasus baru terjadi di 6 negara, yakni India, Indonesia,
Cina, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan. Indonesia menjadi negara dengan
insidens TB tertinggi kedua pada tahun 2015 dengan estimasi sekitar 1 juta
kasus baru. Angka ini relatif tidak berubah dari tahun sebelumnya, namun
meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun 2013 saat Indonesia masih
menjadi negara dengan urutan tertinggi kelima (Christanto, 2018).
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat
pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Selain
merugikan ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara

1
2

sosial, seperti stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (KEMENKES RI,


2014).
Terdapat tiga faktor yang menyebabkan tingginya kasus TB di Indonesia.
Waktu pengobatan TB yang relatif lama (enam sampai delapan bulan) menjadi
penyebab penderita TB sulit sembuh karena pasien TB berhenti berobat (drop)
setelah merasa sehat meski proses pengobatan belum selesai. Selain itu,
masalah TB diperberat dengan adanya peningkatan infeksi HIV/AIDS yang
berkembang cepat dan munculnya permasalahan TB-Multi Drugs Resistant
(MDR, kebal terhadap bermacam obat). Masalah lain adalah adanya penderita
TB laten, dimana penderita tidak sakit namun akibat daya tahan tubuh
menurun, penyakit TB akan muncul (Zettira dan Sari, 2017).
Kematian akibat tuberkulosis diperkirakan sebanyak 1,4 juta kematian
ditambah 0,4 juta kematian akibat tuberkulosis pada orang dengan HIV.
Meskipun jumlah kematian akibat tuberkulosis menurun 22% antara tahun
2000 dan 2015, tuberkulosis tetap menjadi 10 penyebab kematian tertinggi di
dunia pada tahun 2015 (KEMENKES RI, 2017).
Menurut laporan WHO tahun 2015, Indonesia sudah berhasil
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB di tahun 2015 jika
dibandingkan dengan tahun 1990. Angka prevalensi TB yang pada tahun 1990
sebesar > 900 per 100.000 penduduk, pada tahun 2015 menjadi 647 per
100.000 penduduk (KEMENKES RI, 2017).
Penularan penyakit TB akan meningkat apabila di dalam masyarakat
belum mengetahui penularan pada penyakit TB, banyak hal yang menjadi
faktor risiko terjadinya penyakit TB diantaranya yaitu faktor individu (umur,
jenis kelamin, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan lain-lain), faktor
lingkungan rumah, kebiasaan, riwayat kontak dan sebagainya (Hadifah et al.,
2017).
Meskipun jumlah kasus TB dan jumlah kematian TB tetap tinggi untuk
penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan tetap fakta juga
menunjukkan keberhasilan dalam pengendalian TB. Peningkatan angka
insidensi TB secara global telah berhasil dihentikan dan telah menunjukkan
3

penurunan (turun 2% per tahun pada tahun 2012), angka kematian juga sudah
berhasil diturunkan 45% bila dibandingkan tahun 1990 (KEMENKES RI,
2014).
Salah satu upaya untuk mengendalikan tuberkulosis yaitu dengan
pengobatan. Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi pengobatan
tuberkulosis melalui angka keberhasilan pengobatan (Success Rate). Angka
keberhasilan pengobatan merupakan jumlah semua kasus tuberkulosis yang
sembuh (cure) dan pengobatan lengkap di antara semua kasus tuberkulosis
yang diobati dan dilaporkan. Pada tahun 2016 angka keberhasilan pengobatan
semua kasus tuberkulosis sebesar 85%. Angka kesembuhan semua kasus yang
harus dicapai minimal 85% sedangkan angka keberhasilan pengobatan semua
kasus minimal 90% (KEMENKES RI, 2017).
Hambatan dalam mencapai mencapai angka kesembuhan yang tinggi
terhadap penyakit TB ini adalah ketidakpatuhan berobat secara teratur oleh
penderitanya. Tingginya angka putus berobat ini dapat mengakibatkan
tingginya kasus ressitensi bakteri terhadap obat anti TB (PAPDI, 2014).

Anda mungkin juga menyukai