Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROME)

A. Definisi

Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus

yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun,di

mana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf

perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya

yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita

mengalami baal atau mati rasa. Fase awal dimulai dengan munculnya tanda –

tanda kelemahan dan biasanya tampak secara lengkap dalam 2 – 3 minggu. Ketika

tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir beberapa

hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan ungkin berakhir 4 – 6 bulan dan

mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada

kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis, sisa dapat menetap

(Japardi, 2002).

Menurut Parry Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu polineuropati yang

bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah

infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai

adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses

autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis

(Parry dalam Japardi, 2002).


Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang penyebabnya

tidak diketahui secara pasti ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang

mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan

degenerasi selaput myelin dan saraf perifer kranial (Smeltzer, 2002).

Pendapat lain mengatakan bahwa Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah

suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa nama lain

yaitu polyneuritis idiopatik, paralisis asenden landry, dan polineuropati inflamasi

akut. Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asendens secara primer

dengan segala gangguan fungsi sensorik. GBS adalah gangguan neuron motorik

bagian bawah dalam saraf perifer, final common pathway untuk gerakan motorik

juga (Sylvia A. Price, 2006).

Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit saraf, juga

merupakan salah satu polineuropati karena hingga sekarang belum dapat

diapstikan penyebabnya. Namun kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi

diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah

kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan mulai dari bawah

keatas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan atau gangguan berjalan.

Sebaliknya penyembuhannya diawalai dari bagian atas tubuh ke bawah sehingga

bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all, dalam Ikatan

Fisioterapi Indonesia, 2007).


Angka kejadian Guillain – Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara 1-

1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih belum

begitu banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di

Indonesia adalah dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah

penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Insidensi lebih tinggi pada

perempuan dari pada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1. Sedangkan penelitian di

Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia

rata-rata 23,5 tahun. Penyakit ini menyerang semua umur, dan lebih banyak

terjadi pada usia dewasa muda yaitu antara 15 sampai dengan 35 tahun. Namun

tidak jarang juga menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun. Jarang sekali

GBS menyerang pada usia di bawah 2 tahun. Umur termuda yang dilaporkan

adalah 3 bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan tidak ada hubungan antara

frekuensi penyakit ini dengan suatu musim tertentu. Insiden tertinggi pada bulan

April s/d Mei di mana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau (Japardi,

2002).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa

GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis yang terjadi

secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf

perifer dan nervus kranialis.


B. Klasifikasi

Menurut Lewis (2009) klasifikasi dari Guillain – Barre Syndrome (GBS)

adalah sebagai berikut :

a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) Sering muncul cepat

dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang lambat dan buruk.

Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni.

Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan

motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.

b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN) Berhubungan dengan infeksi

saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid meningkat (seperti, GM1,

GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis

khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan paralysis simetris. AMAN

dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya

aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa

inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita

selama lebih kurang 1 tahun.

c. Miller Fisher Syndrome Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 %

dari semua kasus GBS. Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan

arefleksia. Ataksia terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang

meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi

dalam hitungan minggu atau bulan.


d. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP) CIDP

memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala neurologinya

bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan

kelemahan otot lebih berat pada bagian distal

e. Acute pandysautonomia Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB

yang jarang terjadi. Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat

mengakibatkan terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran

cerna, anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

C. Etiologi

Etiologi Guillain – Barre Syndrome sampai saat ini masih belum dapat

diketahui dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut

sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune

response maupun immune mediated process. Periode laten antara infeksi dan

gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat

disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak

kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan namun terdapat gangguan di medula

spinalis dan medula oblongata (Japardi, 2002).

Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya

dengan terjadinya GBS, antara lain (Japardi, 2002) :

a. Infeksi virus atau bakteri

GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi

kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% 80%, yaitu

1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran


pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang berhubungan

dengan GBS.

b. Vaksinasi

c. Pembedahan, anestesi

d. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus,

tiroiditis, dan penyakit Addison

e. Kehamilan atau dalam masa nifas

f. Gangguan endokrin

D. Manifestasi Klinis

a. Masa laten Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang

mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten

ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini

belum ada gejala klinis yang timbul.

b. Gejala Klinis 1) Kelumpuhan Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan

otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone dari otot-otot ekstremitas,

badan dan kadang-kadang juga muka. Pada sebagian besar penderita,

kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar

secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-

kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian

menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris

dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan

otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga

sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.
2) Gangguan sensibilitas

Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa

dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya

minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung

tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas

proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu

aktifitas fisik.

3) Saraf Kranialis Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII.

Kelumpuhan otototot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian

segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi.

Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa

terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan

menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus

yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis nervus

laringeus.

4) Gangguan fungsi otonom Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 %

penderita GBS. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang

sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi

yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis.

Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini

jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.

5) Kegagalan pernafasan Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama

yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan
pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-

otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.

6) Papiledema Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum

diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam

cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga

absorbsi cairan otak berkurang.


E. Patofisiologi

GBS merupakan suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan

beberapa nama lain yaitu, polineurutis akut, paralisis asenden Landry, dan

polineuropati inflamasi akut. Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik

asendens secara primer dengan berbagai gangguan fungi sensorik. GBS adalah

gangguan neuron motorik bagian bawah dalam saraf primer, final common

pathway, untuk gerakan motorik juga terlibat.

Usaha untuk memisahkan agen penyebab infeksi tidak berhasil dan

penyebabnya tidak diketahui. Namun telah diketaui bahwa GBS bukan penyakit

herediter atau menular. Walaupun mungkin tidak terdapat peristirwa pencetus,

anamnesis pasien yang lengkap sering kali memperlihatkan suatu penyakit virus

biasa yang terjadi 1 hingga 3 minggu sebelum awitan kelemahan motorik. Jenis

penyakit lain yang mendahului sidrom tersebut adalah infeksi pernapasan ringan

atau infeksi GI. Pembedahan, imunisasi, penyakit Hodgkin, atau limfoma lain,

dan lupus eritomatosus. Keadaan yang paling sering dilaporkan adalah infeksi

Campylobacter jejuni yang secara khas memyebabkan penyakit GI swasirna yang

ditandai dengan diare, nyeri abdomen, dan demam.

Akibat tersering dari kejadian ini dalam petologi adalah bahwa kejadian

pencetus (virus atau proses inflamasi) merubah dalam sistem saraf sehingga

sistem imun mengenali sistem tersebut sebagai sel asing. Sesudah itu, limfosit T

yang tersensitisasi dan amkrofag akan menyerang mielin. Selain itu limfosit

mengiduksi limfosit B untuk menghasilkan antibody yang menyerang bagian

tertentu daris selubung mielin, menyebabkan kerusakan mielin (NINDS,2000).


Akibatnya adalah cedera demielinasi ringan hingga berat yang mengganggu

konduksi impuls dalam saraf perifer yang terserang. (sebaliknya, demielinasi

pasda MS hanya terbatas pada sistem saraf pusat). Perubahan patologi mengikuti

pola yang tepat : infiltrasi limfosit terjadi dalam ruang perivaskular yang

berdekatan dengan saraf tersebut dan menjadi fokus degenerasi mielin.

Demielinsi akson saraf perifer menyebabkan timbulnya gejala positif dan

negatif. Gejala positif adalah nyeri dan perestesia yang berasal dari aktivitas

impuls abnormal dalam serat sensoris atau “cross-talk” listrik antara akson

abnormal yang rusak. Gejala negatif adalah kelemahan atau paralisis otot,

hilangnya refleks tendon, dan menurunnya sensasi. Dua gejala negatif pertama

tersebut disebabkan oleh kerusakan akson motorik; yagn terakhir disebabkan oleh

kerusakan serabut sensorik.

Pada GBS, gejala sensorik cenderung ringan dan dapat terdiri dari rasa nyeri,

geli, mati rasa, serta kelainan sensasi getar dan posisi. Namun, polineuropati

merupakan motorik dominan dan temuan klienis dapat bervarisasi mulai dari

kelemahan otot hingga paralisis otot pernapasan yang membutuhkan penanganan

ventilator. Kelemahan otot rangka sering kali sangat akut sehingga tidak terjadi

atrofi otot, namun tonus otot hilang dan mudah terdeteksi arefleksia. Kepekaan

biasnya dirangsang dengan tekanan yang kuat dan pemerasan pada otot. Lengan

dapat menjdi kurus atau otot lengan kurang lemah dibandingkan dengan otot

tungkai. Gejala autonom termasuk hipotensi postural, takikardi sinus, dan tidak

kemampuan untuk berkeringat. Bila saraf kranial terlibat, paralisis akan

menyerang otot wajah, okular, dan otot orofaringeal biasanya setelah keterlibatan
lengan. Gejala saraf kranial adalah palsi wajah dan kesulitan bicara, gangguan

visual dan kesulitan menelan. Istilah palsi bulbar kadang-kadang digunakan secara

khusus untuk peralisis rahang, faring, dan otot lidah yang disebabkan oleh

kerusakan saraf kranial IX, X, dan XI, yang berasal dari medula oblongata dan

biasa disebut bulb.

F. Penatalaksanaan

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum

bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,

perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala

sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi

khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan

melalui sistem imunitas (imunoterapi) (Japardi, 2002).

a. Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan

pasien diatasi di unit perawatan intensif (Japardi, 2002)

1) Pengaturan jalan napas

Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan

gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan.

Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera

dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus

dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan

diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi.

Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi


dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk

mengetahui progresivitas penyakit.

2) Pemantauan EKG dan tekanan darah

Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat

penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan

timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan

irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan

hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu

kerjanya pendek (short-acting), seperti : penghambat beta atau

nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang disebabkan disotonomi

biasanya membaik dengan pemberian cairan iv dan posisi terlentang

(supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode

brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang

diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung

derajat 2 atau 3.

3) Plasmaparesis

Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi

antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada

serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada

pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3

minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang

dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 714 hari

dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma


exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang

beredar. Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma pasien

harus diganti dengan suatu substitusi plasma.

4) Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium

karena penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi

disebabkan sekresi hormone ADH berlebihan.

5) Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga

parenteral nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.

b. Perawatan umum

1) Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi

tidur.

2) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara

teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps aru. Segera setelah

penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai

untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.

3) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak

yang lumpuh,

4) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada

kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis.

5) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring

dan trakhea.

6) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.

7) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.


c. Pengobatan

1) Kortikosteroid Seperti : azathioprine, cyclophosphamid 60.

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat

steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.

Peter melaporkan kemungkinan efek steroid dosis tinggi intravenous

menguntungkan. Dilaporkan 3 dari 5 penderita memberi respon

dengan methyl prednisolon sodium succinate intravenous dan diulang

tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg setiap 6 jam

setelah 48 jam pengobatan intravenous. Efek samping dari obat-obat

ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

2) Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)

Pemberian heparin dengan berat molekuler yang rendah secara

subkutan (fractioned Low Molecular Weight Heparin/ fractioned

LMWH) seperti : enoxaparin, lovenox dapat mengurangi insidens

terjadinya tromboembolisme vena secara dramatik, yang merupakan

salah satu keluhan utama dari paralisis ekstremitas. DVT juga dapat

dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu (true gradient

compression hose/ anti embolic stockings/ antithromboembolic

disease (TED) hose).

3) Pengobatan imunosupresan:

a) Imunoglobulin IV Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan

pemberian immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS

yang parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti


halnya plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan

perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin

intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena

efek samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis

maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan

dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.

imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki

aspek klinis dan imunologis dari

GBS dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g

selama 5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu.

Kontraindikasi IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini

dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada interaksi dng

obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd kehamilan.

b) Obat sitotoksik 63. Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah

6 merkaptopurin (6-MP).
G. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang

bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan

menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya

kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti

perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis

seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.

b. Pemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein

dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel

dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sitoalbuminik. Peninggian

kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset

penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel

mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil

penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak.

Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada

beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate

Antidiuretik Hormone).
c. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)

Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah

kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor

retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat,

menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di

samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis

juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan

potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih

lama dan tidak sembuh sempurna.

d. Pemeriksaan LCS

Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 –

1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain

(1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan

cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil

apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu

pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan

menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic

dissociation).

e. Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan

kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan

memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini

dapat terlihat pada 95% kasus SGB.


1) Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit.

2) Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal.

Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.

H. Komplikasi

a. Paralysis yang persisten

b. Kegagalan pernafasan

c. Hipotensi atau hipertensi

d. Tromboembolisme

e. Pneumonia

f. Aritmia kardial

g. Aspirasi

h. Retensi urinae

i. Problem psikiatrik (seperti : depresi dan ansietas).


ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1) Aktivitas/Istirahat

Gejala : adanya kelemahan dan paralysis secara simetris yang biasanya

dimulai dari ekstremitas bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat

ke arah atas, hilangnya kontrol motorik halus tangan. Tanda : kelemahan

otot, paralysis plaksid (simetris), cara berjalan tidak mantap.

2) Sirkulasi

Tanda : perubahan tekanan darah (hipertensi/hipotensi), disritmia,

takikardia/brakikardia, wajah kemerahan, diaforesis. tot, paralysis plaksid

(simetris), cara berjalan tidak mantap.

3) Integritas Ego

Gejala : perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang

dihadapi. Tanda : tampak takut dan bingung.

4) Eliminasi

Gejala : adanya perubahan pola eliminasi. Tanda : kelemahan pada otot-otot

abdomen, hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks sfingter.

5) Makanan/cairan

Gejala : kesulitan dalam mengunyah dan menelan. Tanda : gangguan pada

refleks menelan atau refleks gag.

6) Neurosensori

Gejala: kebas, kesemutan dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan terus naik,

perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu,
perubahan dalam ketajaman penglihatan. Tanda : hilangnya/menurunnya

refleks tendon dalam, hilangnya tonus otot, adanya masalah dengan

keseimbangan, adanya kelemahan pada otototot wajah, terjadi ptoris

kelopak mata, kehilangan kemampuan untuk berbicara.

7) Nyeri/kenyamanan

Gejala : nyeri tekan otot, seperti terbakar, mengganggu, sakit, nyeri

(terutama pada bahu, pelvis, pinggang, punggung dan bokong). Hiposensitif

terhadap sentuhan.

8) Pernafasan

Gejala : kesulitan dalam bernafas. Tanda : pernafasan perut, menggunakan

otot bantu nafas, apnea, penurunan bunyi nafas, menurunnya kapasitas vital

paru, pucat/sianosis, gangaun refleks gag/menelan/batuk.

9) Keamanan

Gejala : infeksi virus nonspesifik (seperti ISPA) kira-kira dua minggu

sebelum munculnya tanda serangan, adanya riwayat terkena herpes zoster,

sitomegalovirus. Tanda : suhu tubuh yang berfluktuasi, penurunan

kekuatan/tonus otot, paralysis/parestesia.


B.Diagnosa

a. Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan

b. gangguan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf autonomic

c. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular

d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d paralisis

orofaringeal.

e. Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter

C. Intervensi

a. Dx1 : Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan

Noc : Pola napas efektif

Nic :

1) Pantau frekuensi, kedalaman, dan kesimetrisan pernapasan Perhatikan

gerakan dada, penggunaan otot-otot bantu, serta retraksi otot.

2) Catat peningkatan kerja napas dan obervasi warna kulit dan membrane

mukosa.

3) Pantau poa pernapasan bradipnea, apnea.

4) Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan pasien pada posisi

bersandar.

5) Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode distress

pernapasan.

6) Berikan terapi suplemetasi oksigen (sesuai indikasi).

7) Berikan obat/bantu tindakan pembersihan pernapasan melalui perksusi

dada, drainase postural, vibrasi.


b. Dx. 2 : gangguan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf autonom.

Noc : Perfusi jaringan efektif

Nic :

1) Ukur tekanan darah. Observasi adanya hipotensi postural. Berikan latihan

ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien.

2) Pantau frekuensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya

distrimia.

3) Pantau suhu tubuh. Berikan suhu lingkungan yang nyaman.

4) Tinggikan sedikit kaki tempat tidur. Berikan latihan pasif pada lutut/kaki.

5) Kolaborasi dengan pemberian cairan IV sesuai indikasi.

6) Pemberian heparin sesuai indikasi.

7) Pantau pemeriksaan laboratorium seperti Hb.

c. Dx. 3 : Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular

Noc : Peningkatan keoptimalan mobilitas

Nic :

1) Kaji kekuatan motorik/kemampuan fungsional dengan menggunakan

skala 0-5. Lakukan pengkajian secara teratur sesuai kebutuhan secara

individual.

2) Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal, trochanter roll,

papan kaki.

3) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif/pasif untuk

mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot


4) Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan

bergantung pada toleransi secara individual.

5) Konfirmasikan dengan rujuk ke bagian terapi fisik.

d. Dx 4 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d paralisis

orofaringeal.

Noc : Keseimbangan pemenuhan nutrisi

Nic :

1) Kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, pada keadaan yang teratur.

2) Catat masukan kalori setiap hari.

3) Catat makanan yang disukaii oleh pasien termasuk pilihan diet yang

dikehendaki.

4) Izinkan untuk makan sesuai waktu yang diinginkan yang menyenangkan

bagi pasien

5) Beri diet tinggi kalori.

6) Pasang/pertahankan selang NGT.

e. Dx 5 : Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter

Noc : Konstipasi tidak ada.

Nic :

1) Auskultasi bising usus, catat adaya perubahan bising usus.

2) Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 2000 ml/hari (jika pasien

dapat menelan).

3) Berikan privasi dan posisi fowler dengan jadwal waktu secara teratur.

4) Beri obat pelembek feses.


5) Tingkatkan diet makanan yang berserat.

D.Discharge Planning

a. Peningkatan asupan nutrisi yang memadai.

b. Istirahat yang cukup.

c. Penjagaan terhadap hygiene , sanitasi lingkungan.

d. Lakukan check-up ketika timbul gejala yang sama.

e. Teratur konsumsi obat pemulihan.


DAFTAR PUSTAKA

Agus Purwadianto, Budi Sampurna. 2000. Kedaruratan Medik. Edisi Revisi.


Jakarta

Davey, Patrick.2005.At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga.

Dongoes. 2000. Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC

Hardhi, Amin. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis


NANDA Dan NIC-NOC Jilid 3. Jogjakarta : Medi Action

NANDA International. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi Dan Klasifikasi.


Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis


ProsesProses Penyakit Edisi 6 Volume 1 dan 2. Jakarta: EGC

Price,Sylvia andorson,Lorraine.2006.Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Edisi

Sujono Hadi. 2002. Gastroenterologi. Edisi ke-7. Bandung : Penerbit PT Alumni.

Suyono, Slamet, (2001), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.

Sylvia, A price. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Keperawatan.


Edisi 6. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai