Anda di halaman 1dari 8

Aira dan Juru Periksa

“Kau membunuhnya!”

“Tidak pak!”

“Jadi?”

“Dia bunuh diri!”

“Tapi pisau dapur itu di tanganmu kan?”

“Ya pak!”

“Jadi kau membunuhnya!”

“Tidak pak, dia bunuh diri!”

“Jadi kenapa pisau dapur itu ada di tanganmu?”

“Ya, karena waktu itu saya sedang menggenggamnya!”

“Kau tikam dia dengan pisau itu kan? ”

“Tidak pak, laki-laki itu menikam pisau saya dengan lehernya!”

Mata Aira menembus keyakinan juru periksa di hadapannya. Petugas, itu geleng-geleng

kepala. Tidak ada sedikitpun pancaran rasa gentar apalagi rasa bersalah. Itulah yang bikin

juru periksa itu bingung. Sudah ratusan kali ia memeriksa tersangka kasus pembunuhan,

dan sangat mudah baginya untuk menjebak rasa bersalah, sampai semua tersangka itu,

menangis minta ampun. Tapi kali ini beda, Aira tenang-tenang saja.
“Nah, lelaki itu mati karena pisau yang kau genggam. Artinya kau telah membunuhnya!”

“Tidak pak! Laki-laki itu bunuh diri. Kalau bapak tidak percaya, silahkan tanya saya!”

Juru Periksa memandang layar monitor hampir setengah jam sebelum kemudian ia

memutuskan untuk mencetak lembaran dokumen hasil pemeriksaan hari itu.

“Tanda tangani ini. Kalau mau dibaca dulu, silahkan!”

“Saya tidak mau membacanya!”

“Kalau begitu tanda tangani saja!”

“Tidak mau! Saya harus pulang, banyak kerjaan rumah yang harus saya selesaikan!”

Aira bangkit dari kursinya. Ia begitu tenang melangkah ke arah pintu. Juru periksa itu

berteriak. Dua orang petugas menyeret Aira kembali. Aira tidak melawan. Sambil

tersenyum, Aira kembali duduk di kursi semula. Tatapannya tajam menembus bola mata

Juru Periksa di hadapannya. Petugas itupun mendadak gugup.

“Sudah saya katakan, lelaki itu bunuh diri di pisau dapur saya. Jadi saya tidak perlu

menandatangani apapun. Apalagi berlama-lama di hadapan bapak, Pamalih!”

“Tapi anda menikam leher laki-laki itu dengan pisau dapur! Laki-laki itu mati! Jadi, jangan

berkilah. Kau membunuh laki-laki itu!”

Aira tertawa. Tawanya seperti mengejek. Seolah-olah ia sedang berhadapan dengan

makhluk yang tak bisa berpikir dan bernalar. Juru periksa di hadapannya itu merasa

tersindir. Aira lalu bangkit dari kursinya, mendekatkan wajah kearah juru periksa; Aira

menghardik. Nada suaranya pelan datar seperti desisan ular.


“Bapak tuli? Saya tegaskan sekali lagi. Laki-laki itu bunuh diri di tangan saya! Kalau tidak

percaya, tanya saja sama saya!”

Juru periksa itu merasa kehilangan kepintarannya. Ia kian geram menatap Aira yang

masih tersenyum. Dibuangnya pandangan kearah monitor yang seolah-olah ikut

menertawakannya. Bias bayangan wajahnya seolah berganti rupa dengan potongan muka

keledai.

Habis sudah kesabarannya. Juru periksa itu memaksa agar Aira segera menandatangani

berita acara pemeriksaan. Tetapi Aira tetap menolak. Petugas itu mengancam hukuman

yang lebih berat sebab dinilai tidak kooperatif dan melecehkan petugas. Aira malah

tertawa sekeras-kerasnya. Tawanya seolah-olah mengisyaratkan kalau juru periksa itu

memang benar-benar keledai. Juru periksa itu sudah berada pada puncak rasa geramnya.

Ia menggiring Aira kembali ke dalam sel tahanan. Aira tak melawan. Raut wajahnya malah

menunjukkan rasa kasihan pada petugas yang jadi kian suka menggaruk-garuk kepala.

“Saya tidak punya banyak waktu, jadi main-mainnya jangan terlalu lama ya!” Aira

tersenyum. Mata juru periksa melotot kesal

***

Malam sudah datang. Aira masih saja sibuk membereskan pekerjaannya. Mencuci piring-

piring kotor di dapur. Seorang pembantu rumah tangga yang rajin seperti Aira tak kan

menggunakan waktunya untuk berleha-leha. Ibunya dulu selalu mengajarkannya untuk

tidak menunda-nunda apapun tugas yang diberikan padanya. Kali ini piring kotor cukup

banyak. Maklum saja, majikannya menggelar arisan sebelum kemudian pergi ke luar kota.

Bagi Aira-ada atau tidak ada majikannya-tugas membersihkan rumah tetaplah harus
dikerjakan. Hampir semua piring sudah dimandikan Aira. Tinggal dua buah gelas dan satu

pisau dapur lagi ketika tiba-tiba Aira merasa bulu kuduknya berdiri. Seperti ada yang

sedang memperhatikannya.

Seorang lelaki telah berdiri di belakangn Aira. Menatapnya dengan begitu buas. Lelaki itu

melepaskan celana panjangnya lalu mengendap-endap mendekati Aira. Ada tonjolan yang

mengeras di balik celana dalam lelaki itu. Tepat dua langkah di belakang Aira, lelaki itupun

melepas baju kaosnya. Tapi Lelaki itu urung menerkam Aira sebab Aira tiba-tiba berbalik.

“Loh bang Dimas, kapan baliknya? Kok nggak di bandara mengantar Ibu sama Bapak?”

Aira coba mengatasi rasa terkejutnya, dan membuang jauh-jauh prasangka buruk meski

agak curiga melihat anak semata wayang majikannya itu hanya menggunakan celana

dalam.

“Ah, mami sama papi kan sudah banyak yang menemani. Lebih baik saya menemani

kamu disini” Dimas kontan gugup. Ia menjawab sekenanya.

“Terimakasih bang. Sebentar, saya siapkan teh” Aira masih begitu tenang, Ia berusaha

keras menghilangkan prasangka buruknya pada lelaki itu. Sikap tenang Aira membuat

Dimas menebak kemungkinan-kemungkinan “Ah Aira berarti juga menginginkannya”

Dimas menyimpulkannya dalam hati. Birahinyapun merayap ke ubun-ubun, ia langsung

menerkam tubuh sintal Aira yang semampai. Aira berontak. Sikut keras Aira, telak

mendarat di perut Dimas. Dimas terjungkal kebelakang. Aira tak lagi bisa menahan buruk

sangkanya pada anak majikannya itu.

“Ayolah Aira, sekali saja. Kau minta berapapun aku bayar”


“Maaf bang, saya bukan jenis yang begituan!”

“Alah, kau kan perempuan, pembantu lagi. Pasti kau juga mau. Ayolah, sekali saja. Kuberi

kau kenikmatan dan aku sanggup membayar berapapun yang kau minta!”

“Tidak!” Aira begitu tersinggung. Aira berlari menuju pintu tetapi gerak Dimas lebih cepat.

“Kenapa kau menolak Aira?”

“Karena aku perempuan manusia!”

“Bullshit!” Dimas menjadi berang. Birahinya menyentak di ubun-ubun. “Ayolah, sekali saja.

Nanti kau ku belikan rumah!” Dimas merengek-rengek. Sesuatu dibalik celana dalamnya

itu kian mengeras.

“Tidak!” Aira mantap menjawab. Ia mencoba menerjang tubuh Dimas yang menghalangi

pintu. Tapi tenaga Dimas lebih kuat. Aira terjungkal kebelakang. Dimas lalu memburu

tubuh Aira. Ia memeluk, mencium lalu memasukkan kepalanya kedalam kaos yang

dikenakan aira. Aira berontak. Kakinya yang masih bebas kemudian mendorong keras

perut Dimas. Dimas terjajar satu langkah kebelakang. Dimas semakin beringas. Ia segera

bangkit lalu menerkam tubuh aira yang sudah tersingkap kaosnya hingga ke atas pusar.

Aira mengelak, ia berlari kearah wastafel lalu mengambil pisau dapur yang belum sempat

dibilasnya.

“Jangan coba-coba bang!”

Dimas cengengesan. Ia melepas celana dalamnya. Setengah langkah maju kedepan. Ia

mewaspadai pisau yang ada ditangan Aira. “Ayolah Aira, jangan bandel gitu dong. Dikasih

enak kok malah nolak”


“Jangan mendekat bang, Jangan bunuh diri di pisau saya” Aira gemetar ketakutan.

Nafasnya memburu, dadanya turun naik. Dimas semakin tergila-gila melihatnya. Ia urung

menerkam sebab pisau yang di tangan Aira kelihatannya begitu tajam. Ciut juga nyali

Dimas dibuatnya. Tiba-tiba Dimas menangis. Ia menjatuhkan dirinya kelantai, mengambil

baju kaosnya untuk menutupi kejantanannya yang masih tegak berdiri. Aira tidak

bergeming.

“Kau tahu orang tuaku selalu sibuk, nggak sempat memperhatikan aku. Cuma kamu yang

mau peduli sama aku. Kau mesti tanggung jawab Aira, sikap pedulimu itu buat aku jatuh

cinta sama kamu” Dimas sesenggukan, tapi Aira masih menggenggam erat-erat pisau

dapur. Hampir setengah jam berlalu, Dimas masih juga sesenggukan. Aira luluh juga

hatinya. Ia menduga-duga kemungkinan kalau majikannya itu telah insyaf. Ia kembali

berbaik sangka pada anak majikannya itu. Tapi ia tetap tak mau mendekat.“Tapi saya tidak

punya rasa sama bang Dimas, lagipula orangtua bang Dimas pastilah tidak setuju”

“Makanya kau mesti kuhamili dulu. Dengan begitu aku bisa memaksa orang tuaku untuk

menikahkanku denganmu. Persoalan rasamu itukan bisa tumbuh belakangan hari. Aku

janji akan buat kau bahagia.”

“Maaf bang, saya tidak bisa melakukannya sebelum menikah” Aira tetap menolak. Diam-

diam timbul juga rasa kasihannya pada lelaki itu. Aira mulai meyakini kalau Dimas

sebenarnya tak berniat jahat padanya. Ia hanya sedang khilaf. Aira meletakkan pisau

dapurnya. Kemudian meminta Dimas untuk mengenakan kembali pakaiannya. Dimas

bangkit, kemudian menerkam Aira. Dengan buas ia menciumi Aira. Aira berontak,

tangannya mencoba untuk meraih pisau dapur yang tadi diletakkannya.


“Dasar perempuan kampung sok suci! Dikasih hati malah minta jantung” Dimas

menampar Aira yang terus berontak.

“Croosh…Ahkhhhh” Sebilah pisau dapur menancap di leher Dimas. Tangan Aira

menggenggam erat gagangnya. Dimas kehilangan tenaga, limbung jatuh ke lantai.

***

“Sudah jangan berkilah lagi seperti kemarin. Tanda tangani saja B.A.P itu biar cepat

urusannya” Juru periksa itu menyodorkan tumpukan kertas kearah Aira. Aira hanya

menanggapinya dengan geleng-geleng kepala. “Belum bosan juga main-mainnya ya pak!

Laki-laki itu bunuh diri. Saya saksinya!”

Juru periksa itu mulai kusut mukanya.

“Pembunuh pasti membela diri”

“Bapak menuduh saya?”

“Itu bukan tuduhan, tapi kenyataan! Siapa saksinya kalau laki-laki itu bunuh diri?”

“Lah kan sudah saya bilang; Saya! Kalau bapak tidak percaya saya, ya sudah coba bapak

tanya langsung sama Tuhan!”

Juru periksa itu bengong. Aira tetap tersenyum. Matanya tak lepas menatap Juru periksa.

Telepon berdering. Petugas itu mengangkatnya.

“Majikanmu minta kau segera dihukum. Cepat tanda tangani B.A.P itu”

“Bukan urusan saya! Bapak saja yang tanda tangani. Saya nggak mau ikut-ikutan bodoh.

Permisi!” Aira beranjak dari kursinya. Dengan tenang ia melangkah kearah pintu keluar.
Petugas itu kalap “Lancang kau menghina petugas!” dua orang petugas lain menyergap

Aira. Tapi dengan cekatan Aira mengambil pistol yang terselip di pinggang petugas yang

coba membekuknya. Aira masih tersenyum ketika ia mengarahkan pistol itu ke Juru

Periksa. tak satupun jari tangannya menyentuh pelatuk pistol.

“Dor” Aira rubuh. Darah dari mata kanannya membanjiri lantai. Salah seorang petugas

yang gugup menembak Aira.

“Kenapa kau bunuh dia tolol!” teriak juru periksa.

“Siapa yang bunuh. Perempuan gila itu yang bunuh diri di pistol ku!”

Juru periksa itu lantas bengong. Perlahan ia merasa muncungnya memanjang dan

telinganya melebar.

Anda mungkin juga menyukai