Anda di halaman 1dari 2

Sampah Visual Bikin Yogya tak Lagi

Istimewa
YOGKARTA, (PRLM).-Menjamurnya iklan luar ruang di kota Yogyakarta telah mencapai
pada taraf mengkhawatirkan dan disebut sebagai darurat reklame ruang terbuka.

Reklame ruang terbuka hijau ini disebut oleh penggagas Gerakan Reresik Sampah Visual
Yogyakarta yang juga merupakan Dosen Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta, Sumbo Tinarbuka sebagai sampah visual.

"Sampah visual yang bertebaran di sepanjang jalan berupa papan-papan iklan komersial
ataupun kampanye partai ini yang bikin Yogya tak lagi istimewa. Biarkan ruang publik itu
milik publik. Jangan jadi milik merek dagang dan partai politik,” katanya, Rabu (2/9/2015).

Sumbo bahkan mendesak pemerintah menetapkan iklan luar ruang menjadi bencana
nasional.Menurutnya, masyarakat saat ini diteror dengan keberadaan iklan luar ruang yang
sangat masif.

Masyarakat dituntuk untuk konsumtif, dipaksa membeli apa saja yang dijual melalui iklan luar
ruang. "Mereka yang tidak memiliki barang terbaru akan dianggap ketinggalan zaman dan
kampungan," ujarnya.

Meskipun Perda tentang iklan luar ruang belum disahkan, pemerintah memiliki beberapa opsi
untuk mengendalikan iklan luar ruang. Salah satunya adalah dengan menaikan tarifnya.
Dikatakan Sumbo, Yogyakarta adalah kota yang mahal, tetapi iklan luar ruanganya masih
sangat murah

Menurutnya, dengan jumlah iklan yang sedemikian banyak pendapatan asli daerah (PAD) dari
pada tahun 2014 dari sektor tersebut hanya Rp.5,6 Milyar.

"Yogyakarta adalah daerah dengan harga tanah termahal kedua di Indonesia. Seharusnya
pendapatan dari luar iklan luar bisa lebih besar. Untuk tahun 2014 yang lalu targetnya adalah
Rp.8 Milyar," ucapnya.

Sebagai kota budaya dan menyandang predikat istimewa seharusnya Yogyakarta memiliki
dewan kurator yang bertugas mendampingi dan memandu Pemkot Yogyakarta menata iklan
luar ruang agar selaras dengan budaya Yogyakarta.

Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY Tavip Agus
Rayanto setuju dengan kritik Sumbo. Namun, ia mengatakan volume pertumbuhan penduduk
dan kendaraan bermotor tak sejalan dengan luas ruang publik.

“Jumlah mobil meningkat lebih dari 10 ribu per tahun di DIY dan jumlah penduduk naik lebih
dari satu persen per tahun. Sedangkan luas lahan berkurang 285 hektare per tahun akibat alih
fungsi lahan. “Banyak sawah jadi tembok,” katanya.

Apalagi, kata dia, kewenangan perizinan ada di pemerintah kabupaten dan kota. Selama ini,
Pemda DIY tak berdaya soal perizinan. Dengan konsep keistimewaan tata ruang yang diatur
dalam Undang-Undang Keistimewaan DIY, penataan tata ruang tidak sebatas mengandalkan
status keistimewaan.

“Melainkan harus komplementer dengan aturan tata ruang nasional. Biar tata ruang di
Yogyakarta itu jadi role model tata ruang Indonesia,” tuturnya.

Salah satu gebrakannya, kata Tavip, meskipun perizinan berada di pemerintah kabupaten/kota,
yang melakukan studi kelayakan adalah pemerintah DIY. “Jadi kalau tidak layak, ya izin
enggak keluar. Itu upaya win-win solution-nya,” ujarnya.

Anda mungkin juga menyukai