Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

Abses Bartholini

Disusun Oleh
dr. Meirinda Hidayanti

Pembimbing :

dr. M. Ichsan, M.Kes, Sp.OG

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RSUD AHMAD RIPIN
MUARO JAMBI
2018

1
BERITA ACARA DISKUSI/PRESENTASI LAPORAN KASUS

Pada hari ini, tanggal 2018, telah dipresentasikan sebuah laporan kasus oleh
Nama : dr. Meirinda Hidayanti
Judul : Abses Bartholini
Nama Wahana : RSUD Ahmad Ripin

No Nama Peserta Diskusi Presentasi Tanda Tangan


1 dr. Iqbal Zain Kurniadi
2 dr. Eni Fathonah
3 dr. Ely Kartika
4 dr. Virgiawan Yudha Kars
5 dr. Rahmawati Risna

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya :

Pendamping I Pendamping II

dr. Susy Andriati dr. Sahata Partusip

Narasumber

dr. M. Ichsan, M.Kes, Sp.OG

KATA PENGANTAR

2
Puji syukur penulis mengucapkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus tentang “Abses Bartholini”
dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menjalani program internsip di
RSUD Ahmad Ripin Muaro Jambi

Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang


sebesar-besarnya kepada Narasumber yaitu dr. M. Ichsan, M.Kes, Sp.OG,
pembimbing internsip dr. Susy Andriati dan dr. Sahata Parhusip dan pihak-pihakyang
telah membantu baik dalam bentuk saran maupun dukungan moril sehingga
mempermudah dalam penyusunan laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan, untuk
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat mendukung demi perbaikan
dan kesempurnaan penulisan ini di masa depan nanti. Semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Jambi, Juli 2018

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

3
Sekitar 2% perempuan usia reproduktif mengalami pembengkakanpada satu atau
kedua glandula Bartholin dengan kasus abses Bartholin dan kista Bartholin mencapai
2% dari semua kunjungan ginekologi per tahun.Kista Bartholin adalah kantung yang
berisi cairan yang berkembang pada salah satu glandula ataupun ductus Bartholin
ketika ductus yang mengalirkan sekret dari glandula mengalami penyumbatan dan
menyebabkan ductus dan glandula menjadi bengkak. Abses glandula Bartholin
berkembang baik itu ketika terjadi infeksi pada kista Bartholinatau dapat pula terjadi
akibat adanya infeksi primer dari glandula Bartholin. Penelitan menunjukkan bahwa
abses tersebut bersifat polimikrobial dan jarang diakibatkan oleh patogen menular
seksual.1,2
Pada umumnya, pasien dengan abses Bartholin mengeluhkan nyeri pada vulva
dengan onset akut dan berkembang secara progresif cepat. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan adanya massa lunak pada labia, berfluktuasi dengan eritema
disekitarnya dan edema.1
Beberapa kasus membutuhkan insisi drainase. Pada satu penelitian menunjukkan
keberhasilan terapi word catheter pada 26 dari 36 kasus kista ataupun abses Bartholin
(87%). Pasien dengan abses sering terjadi pain relief segera setelah prosedur drainase.
Bagaimanapun juga, pengobatan yang digunakan untuk abses Bartholin termasuk
anestesi lokal dan topikal. Anestesi oral biasanya dibutuhkan selama beberapa hari
setelah prosedur drainase. Terapi antibiotik empirik tidak diindikasikan pada pasien
imunokompeten dengan abses glandula Bartholin tanpa disertai selulitis. Antibiotik
umumnya diberikan untuk mengobati jaringan sekitar yang mengalami
selulitis.Antibiotik untuk terapi empirik pada kasus penyakit menular seksual
sebaiknya menggunakan dosis terapi pada infeksi gonococcal dan chlamydia.
Idealnya, antibiotik harus dimulai segera sebelum insisi dan drainase.1,2,3
Teknik berbeda telah digunakan untuk penanganan kista Bartholin dan abses
Bartholin, tetapi belum ada bukti terkait keunggulan antara strategi manajemen
konservatif dan pembedahan. Pendekatan yang paling umum digunakan adalah (1)
fistulisation menggunakan Word catheter dan (2) marsupialization.Teknik lainnya

4
meliputi: (1) silver nitrate gland ablation; (2) fenestrasi kista atau abses, ablasi, atau
eksisi dengan menggunakan laser karbon dioksida (CO 2); (3) aspirasi jarum dengan
atau tanpa skleroterapi alkohol; (4) eksisi kelenjar; dan (5) insisi dan drainase diikuti
penutupan jahitan primer.2
Pada dasarnya, jika abses Bartholin ditangani dengan drainase yang tepat
danreclosure dapat dicegah, maka kebanyakan abses memiliki outcome yang baik.
Tidak ada rekurensi yang terjadi setelah marsupialisasi dilaporkan pada penelitian
yang telah ada. Tingkat rekurensi setelah terapi lain bervariasi; rekurensi umumnya
terjadi setelah dilakukan tindakan aspirasi saja (sekitar 38%). Penyembuhan biasanya
terjadi dalam 2 minggu atau kurang.1,2

BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. S

5
Umur : 23 tahun
JenisKelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : RT 16 B.Baling
Pekerjaan : IRT
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan terakhir : SMP
MRS : 25 Juni 2018

II. Anamnesis tanggal 26 Juni 2018


1. Keluhan Utama :
Nyeri pada area kemaluan

2. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien perempuan G3P1A1 usia 23 tahun datang ke UGD RSUD Ahmad
Ripin dengan keluhan nyeri pada area kemaluan terutama di sisi kiri, bengkak
serta adanya nanah yang keluar pada area kemaluannya. Keluhan ini dirasakan
sejak ± 5 hari sebelum masuk rumah sakit. . Nyeri memberat bila tersentuh, saat
pasien berjalan maupun duduk. Rasa nyeri berkurang bila pasien dalam posisi
berbaring dan tidak memakai celana ketat.
Awalnya terasa seperti ada benjolan berukuran kecil sebesar kelereng pada
area kemaluan terutama di sisi kiri yang lambat laun semakin membesar dan
semakin hari bertambah nyeri serta terasa hangat. Keluhan ini tidak terasa gatal.
Pasien juga mengeluh mengalami keputihan sejak awal kehamilan, keputihan
berwarna putih kental seperti susu, sedikit, tidak terasa gatal dan tidak berbau.
Keluhan disertai pula dengan badan yang terasa hangat sejak 3 hari yang lalu
dan kesulitan buang air kecil sejak 2 hari terakhir karena nyeri yang dirasakan.
Nafsu makan pasien biasa. Tidak ada keluhan nyeri perut tembus belakang, mual,
muntah, pusing, dan sakit kepala, serta adanya pelepasan pervaginam berupa
darah, lendir, maupun air.

HPHT : 24-01-2018
TP : 31-10-2018

3. Riwayat Penyakit Dahulu

6
 Riwayat keluhan yang sama sebelumnya pada kehamilan pertama tahun
2011 dan di rawat di RS. Namun bengkak tidak terlalu besar seperti
sekarang dan sembuh dengan pengobatan.
 Pasien pernah dirawat 1 minggu sebelumnya dengan keluhan mual dan
muntah-muntah. Dirawat selama 2 hari di RS.
 Tidak ada riwayat operasi sebelumnya. Riwayat alergi, asma, hipertensi,
diabetes mellitus, jantung, dan penyakit lain disangkal.

III. Data Kebidanan


1. Haid
Menarche umur : 14 tahun
Haid : teratur
Lama haid : 3 hari
Siklus : 28 hari
Dismenorrhea : Ya
Warna : Merah tua
Bentuk perdarahan : Encer
Bau haid : Anyir
Fluor albus : Sebelum
Lama : 3 hari
Warna : Putih kental
Jumlah : Sedikit
2. Riwayat Perkawinan
Status Pernikahan : Menikah
Berapa kali : 1 kali
Usia : 17 th

3. Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas yang lalu


No Tahun Umur Jenis Penolong Penyulit Anak Ket
JK/BB
partus kehamilan persalinan
1. 2011 Cukup bulan Spontan Bidan - Laki-laki, Sehat
3100 gr
2. 2017 Abortus
3. Ini

4. Riwayat KB
Pernah mendengar tentang KB : Pernah

7
Pernah menjadi reseptor KB : Pernah
Alat kontrasepsi yang telah dipakai : -
Alasan berhenti :-

IV. Riwayat Kesehatan


Riwayat penyakit yang pernah diderita : Tidak ada
Riwayat operasi : Tidak ada
Riwayat penyakit dalam keluarga : Tidak ada

V. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS : 15 (E : 4 V : 5 M : 6)
Tekanan Darah : 110/60 mmHg
Nadi : 84 x/mnt
Suhu : 37,5’C
Respirasi : 20 x/mnt
1. Kepala dan leher
 Rambut : warna hitam, gelombang, tidak mudah dicabut
 Kepala : normocephal
 Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), edema
pelpebra (-/-), RC (+/+), pupil isokor θ: 3mm
 Hidung : nafas cuping hidung (-), epistaksis (-), sekret (-)
 Mulut : Bentuk normal, bibir sianosis (-)
 Tenggorokan : faring dan tonsil hiperemis (-), tonsil T1-T1
 Leher : Pembesaran KGB (-). Pembesaran kel. Tyroid (-),
JVP 5-2 cmH2O
2.. Thorax
Paru
 Inspeksi :Simetris kanan dan kiri, jenis pernafasan
thorakoabdominal, sela iga melebar (-), sela iga menyempit
(-), retraksi (-)
 Palpasi : Vocal fremitus sama kanan dan kiri
 Perkusi : Sonor, batas paru hati ICS VI linea midclavikularis
dekstra
 Auskultasi : Vesikuler (+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicularis anterior
sinistra, tidak kuat angkat.

8
 Perkusi :
- Batas atas jantung ICS II linea parasternal sinistra
- Batas jantung kanan linea parasternal dekstra
- Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
- Pinggang jantung ICS III linea parasternal sinistra
 Auskultasi : BJ I-BJ II reguler, murmur (-), gallop (-)

Pemeriksaan Mammae
 Bentuk : Simetris Pengeluaran : Tidak ada
 Papilla mammae : Menonjol Kebersihan : Cukup
 Kelainan : Tidak ditemukan

3. Abdomen
 Inspeksi : tampak cembung, striae(+), jaringan parut (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (+), defans muskuler (-), hepatomegali (-),
Splenomegali (-)
 Perkusi : Timpani, Asites (-).
 Auskultasi : Bising usus (+) normal

4. Ekstremitas
 Superior : Akral hangat, edema (-/-), capillary refill time < 2s
 Inferior : Akral hangat, edema (-/-),capillary refill time < 2s

5. Genitalia eksterna
 Vulva : Tampak membengkak (udem), berwarna kemerahan, discharge (+)
warna putih kekuningan, volumenya sedikit, bau (+).
 Status Lokalis
Inspeksi : Tampak massa berfluktuasi dan hiperemis di labia minora sinistra
meluas ke labia majora sinistra, bentuk sferis.
Palpasi : Teraba massa dengan konsistensi lunak, berfluktuasi, nyeri sentuh
dan nyeri tekan (+), teraba lebih hangat dibandingkan daerah
sekitarnya. Ukuran ± 3×2 cm.

Status obstetric
Leopold I : bagian teratas fundus teraba 2 jari di atas umbilicus, Tinggi
Fundus Uteri (TFU): 17 cm
Leopold II : Punggung kanan

9
Leopold III : Presentasi kepala
Leopold IV : Belum memasuki pintu atas panggul, konvergent
HIS : Tidak ada
TBJ : 775 gr 11 = sudah inpartu

Rumus : (TFU-11 / 12) x 155 12 = belum inpartu


DJJ : 136 kali/menit
Pemeriksaan dalam tidak dilakukan

VI. Pemeriksaan Laboratorium


Darah rutin (25 Juni 2018)
Hb :10,8g/dl (12.0-17.4)
Leukosit : 13,4x 106/ul (5.00-10.00)
Eritrosit : 3,3x 106/ul (4.00-5.50)
Trombosit :305x 106/ul (150-400)
Hematokrit : 29,5% (36.0-52.0)
GDS : 81 mg/dl (<200)
CT/BT : 1,2/3,1
VII. RESUME
Pasien G3P1A1, 23 tahun usia kehamilan 20-21 minggu masuk dengan keluhan
nyeri pada area kemaluan sebelah kiri, disertai dengan bengkak dan keluarnya nanah
dari kemaluannya. Keluhan mulai dirasakan sejak ± 5 hari sebelum masuk rumah
sakit. Nyeri diperberat oleh sentuhan dan mengganggu aktivitas. Keluhan bersifat
progresif dan terasa adanya kalor. Disertai pula leukorhea sejak awal kehamilan,
febris sejak 3 hari yang lalu dan retensio urin sejak 2 hari terakhir karena nyeri.
Riwayat keluhan serupa namun bengkak tidak seperti saat ini pada kehamilan
pertama tahun 2011 yang lalu dan sembuh dengan pengobatan.
Pemeriksaan fisik pasien menujukkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tanda-tanda vital: tekanan darah:110/60 mmHg, nadi

10
84×/mt, respirasi 20×/m, suhu 37,5oC., konjungtiva anemis dan pemeriksaan lain
tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan ginekologi: pada vulva tampak discharge
warna putih kekuningan, volume sedikit, agak berbau, status lokalis pada inspeksi
tampak massa berfluktuasi dan hiperemis di labia minora sinistra meluas ke labia
majora sinistra, bentuk sferis. Palpasi teraba massa dengan konsistensi lunak,
berfluktuasi, disertai nyeri tekan, teraba lebih hangat dibandingkan daerah sekitarnya.
Ukuran ± 3×2 cm.

Pemeriksaan obstetrik:
Leopold I : bagian teratas fundus teraba 2 jari di atas umbilicus
Tinggi Fundus Uteri (TFU): 17 cm
Leopold II : Punggung kanan
Leopold III : Presentasi kepala
Leopold IV : Belum memasuki pintu atas panggul, konvergent
TBJ : 775 gr dan DJJ : 136 kali/menit.

Pemeriksaan darah rutin menunjukkan Hb : 10,8 gr/dl dan WBC: 13,4×106/μL.

VIII. Diagnosa Kerja

G3P1A1 gravid 20-21 minggu dengan abses Bartholini

IX. Penatalaksanaan

Terapi IGD

IVFD RL 20 tpm
Medikamentosa:
Injeksi Cefotaxime 2x1gr iv
Non-Medikamentosa:
Kompres hangat

11
X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

FOLLOW UP

N HARI/
S O A P
O TGL
KU: Sedang IVFD RL + 1 amp
ondansentron 30 tpm
TD: 100/60 mmHg Injeksi Cefotaxime 2x1gr iv
Selasa/ G3P1A1 gravid
Nyeri pada Asam Mefenamat 3x1 tablet
N: 82×/m 20-21 minggu
26-06- kemaluan (+), Metronidzole 3x1 tablet
1 dengan abses
2018 bengkak (+), nanah Bartholini
Antasida sirup 3x1 C
R: 20×/m Kompres NaCl 0,9%
(+), nyeri perut (+)
08:00 Kompres hangat
S: 36,5°C

DJJ: 138×/i
2 Kamis/ Nyeri pada kemaluan KU: Sedang G3P1A1 gravid Aff Infus
berkurang, bengkak 20-21 minggu Terapi oral :
28-06- berkurang, nanah (+) TD: 90/60 mmHg dengan abses Ciprofloxacin 2x1 tablet
2018 berkurang, nyeri perut Bartholini Asam mefenamat 3x1 tablet
(-) N: 80×/m Metronidazole 3x1 tablet
08:00 Antasida sirup 3x1C
R: 20×/m
Pasien pulang atas permintaan
sendiri

12
S: 36,5°C

BJF: 138×/i

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Abses Bartholin merupakan abses yang dihasilkan dari obstruksi pada ostium
ductus diikuti dengan akumulasi mucus atau pus dalam ductus glandula. Abses
glandula Bartholin adalah infeksi polimikrobial, dan spesies Bacteroides, spesies
Peptostreptococcus, Eschercia coli, dan Neisseria gonorrhoeae yang mana sering kali
ditemukan pada kultur dari drainase purulen. Jarang ditemukan adanya keterlibatan
Chlamydia trachomatis pada penyakit ini.3
B. Anatomi dan Fisiologi
Glandula Bartholin merupakan homolog dari glandula Cowper atau
bulbourethralis pada pria. Glandula Bartholin terdiri atas sepasang kelenjar yang
berukuran seperti kacang polong dengan diameter sekitar 0,5 cm, vulvovaginal,
glandula vestibular major yang mensekresi mukus, terletak di labia minora pada 1/3
posterior dari setiap labium majora dan muara dari ductus sekretorius dari kelenjar
ini, berada tepat di depan (eksterna) hymen pada posisi jam 4 dan 7-8, di antara
labium minus pudendi, di bawah Musculus bulbospongiosus. Pada dasarnya, kelenjar
ini tidak teraba saat dipalpasi. Setiap kelenjar mensekresi mukus ke dalam ductus
dengan panjang berukuran 2-2,5 cm. Ductus tersebut bermuara ke vestibulum pada
setiap sisi orrificium vaginalis, sebelah inferior hymen.Glandula Bartholin
diperdarahi oleh arteri Bulbi vestibuli, dan dipersarafi oleh Nervus pudendus dan
Nervushemoroidal inferior. Fungsi dari kelenjar ini adalah untuk mempertahankan
kelembapan permukaan vestibulum mucosa vagina.1-5

13
Glandula Bartholin dibentuk oleh kelenjar racemose dibatasi oleh epitel
columnar atau kuboid yang mensekresi mucus jernih atau keputih-putihan dengan
komponen lubrikan. Mukosa glandula dilapisi oleh sel epitel kuboid. Duktus dari
glandula Bartholin merupakan epitel transisional yang secara embriologi merupakan
daerah transisi antara tratus urinarius dengan traktus genital.3,5
Glandula distimulasi oleh rangsangan seksual. Kontraksi Musculus
bulbospongiosus, yang melapisi permukaan superfisial glandula, mendorong sekresi
pada glandula.Glandula ini tertekan pada waktu coitus dan mengeluarkan sekresinya
untuk membasahi atau melicinkan permukaan vagina di bagian caudal. Glandula
Bartholin sebagian tersusun dari jaringan erektil dari bulbus, jaringan erektil dari
bulbus menjadi sensitif selama rangsangan seksual dan kelenjar ini akan mensekresi
sekret yang mukoid yang bertindak sebagai lubrikan. Secara klinis, obstruksi pada
ductus Bartholin oleh material proteinaceous atau inflamasi akibat infeksi dapat
menimbulkan terjadinya kista dengan ukuran yang bervariasi. Kista yang terinfeksi
dapat menyebabkan timbulnya abses.3,5
Glandula Bartolini mengeluarkan jumlah lendir yang relatif sedikit sekitar satu
atau dua tetes cairan tepat sebelum seorang wanita orgasme. Tetesan cairan pernah
dipercaya menjadi begitu penting untuk pelumas vagina, tetapi penelitian dari
Masters dan Johnson menunjukkan bahwa pelumas vagina berasal dari bagian vagina
lebih dalam. Cairan mungkin sedikit membasahi permukaan labia vagina, sehingga
kontak dengan daerah sensitif menjadi lebih nyaman bagi wanita.5

Gambar 2.1 Anatomi glandula Bartholin3


C. Epidemiologi
Sekitar 2% wanita usia reproduktif mengalami pembengkakan pada satu atau
kedua glandula Bartholin. Penyakit ini cenderung berkembang pada populasi dengan

14
profil demografis serupa dengan mereka yang memiliki risiko tinggi terhadap infeksi
menular seksual.Abses umumnya hampir terjadi tiga kali lebih banyak daripada
kista.1,3,5
Salah satu penelitian kasus kontrol menemukan bahwa wanita berkulit putih dan
hitam yang lebih cenderung untuk mengalami kista Bartolin atau abses Bartolin
daripada wanita hispanik, dan bahwa perempuan dengan paritas yang tinggi memiliki
risiko terendah. Kista Bartolin, yang paling umum terjadi pada labia minora. Involusi
bertahap dari kelenjar Bartolin dapat terjadi pada saat seorang wanita mencapai usia
30 tahun. Hal ini mungkin menjelaskan lebih seringnya terjadi kista Bartolin dan
abses selama usia reproduksi.5
Biopsi eksisional mungkin diperlukan lebih dini karena massa pada wanita
pascamenopause dapat berkembang menjadi kanker. Beberapa penelitiantelah
menyarankan bahwa eksisi pembedahan tidak diperlukan karena rendahnya risiko
kanker Glandula Bartholin (0,114 kanker per 100.000 wanita-tahun).Namun, jika
diagnosis kanker tertunda, prognosis dapat menjadi lebih buruk. Sekitar 1 dalam 50
wanita akan mengalami kista Bartolin atau abses di dalam hidup mereka. Jadi, hal ini
adalah masalah yang perlu dicermati.Kebanyakan kasus terjadi pada wanita usia
reproduktif, antara 20 sampai 30 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan dapat
terjadi pada wanita yang lebih tua atau lebih muda.5
D. Etiologi
Obstruksi pada ductus Bartholin dapat terjadi dan diikuti dengan infeksi, maupun
non infeksi seperti trauma mekanik, perubahan mucus, atau ductus yang sempit
secara congenital (stenosis/atresia congenital). Kista Bartolin tidak selalu harus
terjadi sebelum abses, yang pada dasarnya bersifat polimikrobial. Walaupun
demikian, penyebab yang mendasari seringkali tidak jelas. Organisme spektrum luas
telah dikultur dan menjadipenyebab terbentuknya abses Bartholin.3,5
Bakteri yang paling umum diisolasi dari pasien dengan abses Bartholin termasuk
anaerobic Bacteroides,Peptostreptococcus spp., aerobic Escherichia coli, S aureus,
dan E faecalis. Selain itu, jarang didentifikasiketerlibatan Neisseria gonorrhoeae dan
Chlamydia trachomatispada penyakit ini.E coli merupakan bakteri yang paling umum

15
terisolasi, meskipun berbagai bakteri aerob Gram negatif dan positif serta bakteri
anaerob juga ditemukan Dengan demikian, diperlukan terapi polimikrobial dan agen
tunggal oral yang sesuai dengan pasien rawat jalan.3
E. Patofisiologi
Mukus yang diproduksi untuk lubrikasi vulva berasal dari Glandula Bartholin.
Glandula Bartholin dapat membentuk kista dan abses pada wanita usia reproduktif.
Kista dan abses secara klinis dapat dibedakan. Kista Bartholin terbentuk ketika
ostium ductus mengalami obstruksi, menyebabkan terjadinya akumulasi cairan di
dalam glandula dan ductus. Obstruksi biasanya merupakan efek sekunder dari parut
setelah infeksi,inflamasi non-spesifik ataupun trauma.Abses Bartholin terbentuk dari
infeksi primer kelenjar ataupun kista yang terinfeksi.1,3,4
Obstruksi distal saluran Bartolin mengakibatkan retensi cairan, dengan
dihasilkannya dilatasi dari duktus dan pembentukan kista. Kista dapat terinfeksi, dan
abses dapat berkembang dalam glandula. Kista saluran Bartolin bisa saja tidak
tampak sebelum menjadi abses. Jika kista saluran Bartolin tampak kecil dan tidak
menjadi inflamasi, akan tampak asimptomatik. Jika kista menjadi infeksi, akan
tampak bentuk abses.5
Obstruksi
Gambar 2.2 Mekanisme duktus
pembentukan abses Bartholin5

F. Faktor Risiko
Retensi
Salah satu faktor risiko timbulnya mukus
abses Bartholin adalah adanya riwayat infeksi
pada glandula Bartholin (Bartholinitis). Pada Bartholinitis akuta kelenjar membesar,
Kista Bartholin
merah, nyeri, dan lebih panas daripada daerah sekitarnya. Isinya cepat menjadi nanah
yang dapat keluar melalui ductusnya, atau jika tersumbat,Infeksi
Inflamasi mengumpul di dalamnya
dan menjadi abses yang kadang-kadang dapat menjadi sebesar telur bebek. Jika
belum menjadi Batholinitis Abses Bartholin
abses, keadaan bisa diatasi dengan pemberian antibiotika. Radang
pada glandula Bartholin dapat terjadi berulang-ulang dan akhirnya dapat menjadi
menahun dalam bentuk kista Bartholin. Pada beberapa kasus, isi kista dapat terinfeksi
dan menyebabkan pembentukan abses.1,3,6
G. Manifestasi Klinik

16
Pada kista Bartholin, bila pembesaran kistik tidak disertai dengan infeksi lanjutan
atau sekunder umumnya tidak akan menimbulkan gejala-gejala khusus dan hanya
dikenali melalui palpasi.Kista Bartolin menyebabkan pembengkakan labia di satu sisi,
dekat introitus vagina.Kista biasanya nampak sebagai massa yang menonjol secara
medial dalam introitus posterior pada regio yang duktusnya berakhir di dalam
vestibula. Karena letaknya di vagina bagian luar,kista akan terjepit terutama saat
duduk dan berdiri. Jika kista tumbuh lebih besar dari diameter 1 inci, dapat
menyebabkan ketidaknyamanan ketika duduk, atau selama hubungan seksual. Tanda
kista Bartholini yang tidak terinfeksi berupa penonjolan yang tidak nyeri pada salah
satu sisi vulva disertai kemerahan atau pembengkakan pada daerah vulva. Indurasi
biasa terjadi pada sekitar kelenjar, dan aktivitas seperti berjalan, duduk atau
melakukan hubungan seksual bisa menyebabkan rasa nyeri pada vulva. Pasien
berjalan mengegang ibarat menjepit bisul diselangkangan.4,5
Infeksi akut disertai penyumbatan, indurasi, dan peradangan. Gejala utama akibat
infeksi biasanya berupa nyeri sentuh dan dyspareunia. Pada tahap supuratif, dinding
kista berwarna kemerahan, tegang, dan nyeri. Bila sampai pada tahap eksudatif,
dimana sudah terjadi abses, maka rasa nyeri dan ketegangan dinding kista menjadi
sedikit berkurang disertai penipisisan dinding di area yang lebih putih dari sekitarnya.
Umumnya hanya terjadi gejala dan keluhan lokal dan tidak menimbulkan gejala
sistemik kecuali apabila terjadi infeksi yang berat dan luas.4
Pasien dengan abses mengeluhkan nyeri vulva akut dan progresif dengan
cepat.Berbeda dengan kista Bartholin yang sering kali asimptomatik, pasien dengan
abses Bartholin biasanya mengeluh adanya pembesaran pada vulva unilateral dengan
cepat dan nyeri yang signifikan. Ditemukan pula massa berfluktuasi pada satu sisi
introitus, bagian eksternal hymenal ring, dan aspek inferior vulva.1,3
Beberapa manifestasi klinis kista dan abses Bartholin:5
a) Biasanya unilateral
b) Berbentuk bulat sampai oval, berukuran 1-5 cm
c) Tidak terasa nyeri

17
d) Terletak pada labia minora bagian 1/3 posterior, menonjol kearah introitus
e) Kista yang membesar menimbulkan rasa tidak nyaman/mengganggu saat
berjalan, duduk atau coitus
f) Bila meradang:nyeri, demam, disertai tanda radang lainnya
g) Bila terbentuk abses:fluktuasi (+)
h) Dapat disertai pembesaran kelenjar limfa femoral dan inguinal

H. Pemeriksaan Penunjang
Pada kista yang terinfeksi, pemeriksaan kultur jaringan dibutuhkan untuk
mengidentifikasikan jenis bakteri penyebab abses dan untuk mengetahui ada tidaknya
infeksi akibat penyakit menular seksual seperti Gonorrhea dan Chlamydia. Untuk
kultur diambil swab dari abses atau dari daerah lain seperti serviks. Hasil tes ini baru
dilihat setelah 48 jam kemudian, tetapi hal ini tidak dapat menunda pengobatan. Dari
hasil ini dapat diketahui antibiotik yang tepat yang perlu diberikan. Pembesaran
glandula Bartholin pada wanita usia lebih dari 40 tahun dan memiliki riwayat kista
rekuren ataupun adanya abses rekuren sebaiknya dilakukan biopsi atau eksisi. Semua
massa solid membutuhkan FNA atau biopsi untuk menentukan diagnosis definitif.3,5
I. Penegakan Diagnosis
Kebanyakan kista glandula Bartholin berukuran kecil dan asimptomatik kecuali
adanya minor discomfort selama kontak seksual. Dengan terjadinya infeksi pada kista
atau pada kista dengan ukuran yang lebih besar, pasien dapat mengeluhkan nyeri
vulva hebat yang menghalangi pasien untuk berjalan, duduk, atau melakukan
aktivitas seksual. Gejala utamanya adalah demam dan nyeri vulva unilateral akut.3,7
Pada anamnesis ditanyakan tentang gejala seperti:5
a) Panas
b) Gatal
c) Sudah berapa lama gejala berlangsung
d) Kapan mulai muncul
e) Faktor yang memperberat gejala
f) Apakah pernah berganti pasangan seks

18
g) Keluhan saat berhubungan
h) Riwayat penyakit menular seks sebelumnya
i) Riwayat penyakit kulit dalam keluarga
j) Riwayat keluarga mengidap penyakit kanker kelamin
k) Riwayat penyakit yang lainnya misalnya diabetes dan hipertensi
l) Riwayat pengobatan sebelumnya

Keluhan pasien pada umumnya adalah:5


a) Benjolan
b) Nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas fisik, atau berhubungan seksual
c) Umumnya tidak disertai demam, kecuali jika terinfeksi dengan
mikroorganisme yang ditularkan melalui hubungan seksual atau ditandai
dengan adanya perabaan kelenjar limfe pada inguinal
d) Pembengkakan area vulva selama 2-4 hari
e) Biasanya ada sekret di vagina, kira-kira 4 sampai 5 hari pasca pembengkakan,
terutama jika infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang ditularkan melalui
hubungan seksual
f) Dapat terjadi ruptur spontan
g) Teraba massa unilateral pada labia mayor sebesar telur ayam, lembut, dan
berfluktuasi, atau terkadang tegang dan keras
Pada pemeriksaan fisik, kista secara khas bersifat unilateral, berbentuk bulat atau
ovoid, dan berfluktuasi atau tegang. Jika terinfeksi, tampak area sekitar menjadi
eritema dan lunak serta nyeri tekan. Massa biasanya berlokasi pada inferior lipatan
labium minora/majora atau bagian bawah vestibulum pada posisi jam 4/5 atau 7/8,
yang mana kebanyakan kista dan abses menyebabkan asimetris pada labia. Kista yang
lebih kecil dapat dideteksi hanya dengan palpasi. Abses Bartholin pada ambang
dekompresi spontan akan menunjukkan area pelunakan, di mana ruptur kemungkinan
besar akan terjadi.3,7
J. Diagnosis Banding

19
Kista duktus Bartholin dan abses glandular harus dibedakan dari massa vulva
lainnya. Karena glandula Bartholini biasanya mengecil saat menopause, pertumbuhan
vulva pada wanita postmenopause harus dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya
keganasan, khususnya jika massa irregular, nodular dan indurasi persisten.5
a) Lesi vulva: kista sebaseus, kista disontogenetik, hematom, lipoma, fibroma,
hidradenoma, syringoma, endometriosis, myoblastoma, mamma abberans,
leiomyoma, tumor von recklinghausen, adenokarsinoma.5
b) Lesi vagina: kista inklusi vagina, endometriosis, adenosis, kista duktus gardner,
leiomyoma, hernia inguinalis.5

Beberapa diagnosis banding dari abses Bartholin:2,3


a) Kista Bartholin
Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk
di bawah kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh. Kista Bartholin adalah kista yang
terdapat pada glandula Barholin.Bartolini bisa tersumbat karena berbagai alasan,
seperti infeksi, peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar ini
mengalami infeksi maka saluran kelenjar ini akan melekat satu sama lain dan
menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar ini
kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu
kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi.5
Kista Bartholin merupakan kista berukuran relatif besar yang paling sering
dijumpai pada glandula Bartholin. Kista Bartholin biasanya berukuran diameter 1-4
cm dan sering berifat asimptomatik. Pasien dengan kista yang besar, dapat
mengeluhkan adanya tekanan pada vagina atau dyspareunia.3,4
Peradangan pada kista yang terbentuk akibat sumbatan ductus sekretorius dan
kelenjar Bartholin dapat juga terjadi secara kronis dan berlangsung hingga bertahun-
tahun. Untuk jenis ini, biasanya diameter indurasi kista, tidak mencapai ukuran yang

20
besar sehingga penderita juga tidak menyadari adanya kelainan ini. Lokasi kista juga
berada di dinding sebelah dalam pada 1/3 bawah labium majora. Infeksi sekunder
atau eksaserbasi akut yang berat dapat menyebabkan indurasi yang luas, reaksi
peradangan, dan nyeri sehingga menimbulkan gejala klinik berupa nyeri,
dyspareunia, ataupun demam.4

Gambar 2.3 Kista Bartholin, tampak penonjolan yang asimetris3


b) Malignancy
Setelah menopause, kista dan abses Bartholin jarang terjadi dan kemungkinan
adanya neoplasia harus lebih diwaspadai. Bagaimanapun juga, carcinoma glandula
Bartholin jarang dan insidennya sekitar 0,1 per 100.000 wanita. Tumor malignant
primer yang berasal dari glandula Bartholin dapat berbentuk adenocarcinoma,
squamous cell carcinoma, ataupun transitional cell carcinoma. Insiden carcinoma
glandula Bartholin mencapai puncak pada usia pertengahan 60-an. Kebanyakan kasus
adalah squamous carcinoma atau adenocarcinoma. Adenocarcinoma glandula
Bartholin jarang terjadi, sekitar 1-2% dari malignancy vulva. Lesi muncul dengan
kelenjar yang mengalami pembesaran secara berangsur-angsur, asimptomatik, dan
terjadi pada wanita postmenopausal.2,3
Mengingat kelangkaan insiden kanker, eksisi glandula Bartholin biasanya
tidak diindikasikan. Sebagai alternatif, pada wanita di atas 40 tahun, dianjurkan untuk
dilakukan drainase kista dan biopsi area dinding kista secara adekuat untuk
menyingkirkan kemungkinan malignancy.3
c) Diverticulum urethrae dan Skene Gland
Oklusi ductus Skene gland atau glandula paraurethralis dapat menyebabkan
pembesaran kistik paraurethralis dan kemungkinan terbentuknya abses.3
d) Epidermoid cysts

21
Kista epidermoid yang juga dikenal sebagai epidermal inclusion atau
sebaceous cysts, umumnya ditemukan pada vulva, dan jarang di vagina.Vulvar
epidermoidcyst secara khusus terbentuk dari unit pilosebaceous. Kista epidermoid
juga dapat diikuti implantasi traumatik sel epidermal ke dalam jaringan yang lebih
dalam. Ukuran kista bervariasi, berbentuk bulat atau ovoid, dan kulit berwarna
kuning, atau putih. Pada umumnya, kista diisi dengan material viscous, berpasir, atau
material caseous berbau busuk. Kista dermoid biasanya tidak asimptomatik dan tidak
membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Jika kista simptomatik atau terjadi infeksi
sekunder, insisi dan drainase direkomendasikan.3

Gambar 2.4Epidermal inclusion cysts.

K. Terapi
Kista Bartholin yang berukuran kecil dan asimptomatik tidak membutuhkan
intervensi kecuali adanya tanda-tanda neoplasia pada wanita usia lebih dari 40 tahun.
Pada kista yang simptomatik dapat ditatalaksana dengan salah satu teknik, termasuk
insisi dan drainase (I&D), marsupialisasi, dan eksisi glandula Bartholin. Abses dapat
ditatalaksana dengan I&D ataupun marsupialisasi. Abses ductus glandula Bartholin
tidak sesuai untuk dilakukan tindakan prosedur eksisi glandula.3
a) Bartholinitis: Antibiotik spektrum luas
b) Kista Bartholin:
Kecil, asimptomatik : Dibiarkan
Simptomatis/ rekuren : Pembedahan berupa insisi +word catheter
Marsupialisasi
Laser varporization dinding kista

22
c) Abses Bartholin:Insisi (bedah drainase) + word catheter, ekstirpasi
Penanganan abses Bartholin sama dengan penanganan kista Bartholin
simtomatis, namun ada sedikit perbedaan.Prinsipnya berikan terapi antibiotik
spektrum luas, dan lakukan pemeriksaan kultur pus oleh karena ada kemungkinan
disebabkan Gonorrhea atau Chlamydia, meskipun 67% disebabkan oleh flora normal
vagina.
1. Medikamentosa
Antibiotik oral yang dapat diberikan pada pasien abses Bartholin
termasuk trimethoprim-sulfamethoxazole, amoxicillin-clavulanate, generasi
kedua cephalosporin, atau fluoroquinolone, seperti ciprofloxacin. Pada
kebanyakan kasus, kultur dilakukan. Adapun, berdasarkan risiko pasien,
NAATs untuk N gonorrhoeae dan C trachomatis dan screening untuk STDs
lainnya.3
2. Drainase Abses Bartholin
Dengan tindakan insisi dan drainase (I & D) saja, pada dasarnya dapat
memberikan penyembuhan dengan cepat tetapi kadang pula hanya bersifat sementara.
Apabila terbentuk ostium ductus yang baru, tepi insisi pada I&Dakan menutup dan
terjadi reakumulasi mucus atau pus. Dengan demikian, I&D dengan langkah-langkah
untuk membuat ostium yang baru merupakan surgical goal.3
Resolusi permanen dari kista ataupun abses dapat dicapai dengan melakukan
tindakan marsupialisasi atau I&D dengan penempatan word catheter. Bagaimanapun
juga, jika obstruksi berulang terjadi, mengulangi prosedur tersebut lebih disarankan
dibandingkan eksisi glandula pada kebanyakan kasus. Bartholinectomy, membawa
morbiditas lebih besar yang signifikan jika dibandingkan kedua prosedur yang kurang
invasif.3
Preoperatif
a) Persetujuan/consent
Obstruksi ductus glandula Bartholin yang berulang setelah tindakan
insisi dan drainase awal, jarang terjadi selama hitungan minggu dan bulan
setelah drainase. Pasien dijelaskan kemungkinan dibutuhkan untuk
mengulangi prosedur jika terjadi obstruksi kembali. Dyspareunia biasanya

23
adalah sequel jangka-panjang yang jarang terjadi, tetapi pasien dinasehati
mengenai potensi terjadinya dyspareunia. Jarang terjadi, adanya infeksi
jaringan dalam atau terbentuknya fistula rectovaginalis setelah postoperatif.3
b) Indikasi
Insisi dan drainase diindikasikan untuk kista Bartholin tertentu yang
memiliki diameter ≥ 1 cm atau timbulnya kista dengan simptomatik (nyeri,
lunak, mengganggu aktivitas fisik atau seksual) dan/atau adanya abses
Bartholin.2
Keuntungan: minimal trauma, nyeri sedikit, coitus tidak terganggu, dan
tindakan sederhana.5
c) Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk tindakan insisi dan drainase kista
ataupun abses. Kontraindikasi relatif termasuk abses yang kompleks atau
rekuren yang membutuhkan drainase di bawah pengaruh general anestesi di
ruang operasi.2
d) Anestesi
Insisi dan drainase kista ataupun abses Bartholin membutuhkan anestesi
di mukosa labia Anestesi lokal digunakan untuk kebanyakan kasus dan dapat
dilakukan dengan infiltrasi lapisan kulit, dan area sekitar insisi dengan larutan
lidocaine 1 % aqueous. Selain itu, dapat pula ditambahkan dengan analgesia
intramuscular atau intravena. Oleh karena adanya infiltrasi mukosa labia
dengan anestesi lokal dapat menimbulkan nyeri, narkotik intravena dan
prosedural sedasi serta analgesia dapat menjadi pilihan.2,3
Intraoperatif
a) Alat dan Bahan
Tujuan dari tindakan I&D ductus glandula Bartholin adalah untuk
mengosongkan cavitas kista dan membuat accessory epithelialized tract yang
baru untuk drainase glandula. Dengan demikian belakangan terakhir,
digunakan Word catheter. Alat ini dibuat dari latex tube stem dengan panjang
1 inch yang mempunyai ballon yang dapat digelembungkan pada satu ujung
dan tempat injeksi saline pada ujung lainnya.3
Alat dan bahan yang digunakan dalam insisi dan drainase termasuk:2
1) Cairan antiseptik dan duk steril

24
2) Lidocaine 1%
3) Normal saline (NaCl 0,9%)
4) Syringe 3 cc, 5 cc, dan 10 cc
5) Needle 18 gauge (3)
6) Needle, 25 atau 27 gauge, 1,5inch (untuk injeksi anestesi)
7) Scalpelblade (No.11) dan handle
8) Gauze pads (4×4)
9) Hemostat
10) Culture swab
11) Word catheter

Gambar 2.5Word catheter3


b) Prosedur
Prosedur tindakan insisi dan drainase adalah sebagai berikut:2,3
1) Jelaskan prosedur, risiko, manfaat, komplikasi yang mungkin
terjadi, pilihan alternatif, dan perawatan post prosedur kepada
pasien atau perwakilan legal pasien. Lakukan informed consent
tertulis. Sebaiknya, pengantar perempuan ada di dalam ruang
tindakan selama prosedur.
2) Posisikan pasien dengan posisi litotomi dorsal standar, lebarkan
untuk membuka labia. Seorang asisten dapat membantu melakukan
traksi labia selama prosedur.

25
Gambar 2.6 Abses Bartholin2
3) Gunakan larutan povidone-iodine atau agen antiseptic lainnya untuk
membersihkan kulit labia ipsilateral dan area sekitar.

Gambar 2.7 Desinfeksi kulit2


4) Infiltrasi 2-3 mL lidocaine 1% secara subcutaneous di bawah mukosa labia
minora.

Gambar 2.8 Infiltrasi mukosa dengan lidocaine2


5) Abses atau kista besar yang tampaknya memiliki tekanan yang tinggi dapat
dilakukan needle-decompressed secara parsial sebelum insisi dengan blade,
dalam rangka mencegah drainase tekanan tinggi selama insisi. Dekompresi jarum
yang lengkap dapat menyulitkan untuk identifikasi pasti dari cavitas abses dan
sebaiknya dihindari.

26
Gambar 2.9Needle aspiration2
6) Lakukan insisi area vestibular pada area yang berfluktuasi. Gunakan blade No.
11 untuk membuat insisi dengan panjang 0,5-1 cm menembus kulit, dinding
abses atau cavitas kista pada permukaan mukosa labia minora. Buat insisi
dibagian atas kista, hingga paralel terhadaphymenal ringpada arah jam 5 atau 7
(bergantung pada sisi yang terlibat), jika memungkinkan, serta posisinya pada
sisi medial Hart line. Posisi tersebut dibuat guna menirukan anatomi normal dari
muara guctus glandula dan mencegah pembentukan tractus fistulous terhadap
bagian luar labium majus. Untuk meminimalisir cedera scalpel, beberapa
merekomedasikan penggunaan small Keyes punch biopsy jika dibandingkan
membuat lubang secara simultan melalui kulit dan dinding kista.
Apabila akan dilakukan pemasangan Word catheter, insisi yang dibuat harus
lebih besar dari diameter kateter. Jika insisi terlalu besar, pasien tidak akan dapat
mempertahankan kateter dalam jangka waktu yang diinginkan. Sebaliknya, jika
dilakukan insisi standar dan drainase, insisi besar penting untuk diterapkan.

Gambar 2.10 Insisi abses Bartholin2


7) Keluarkan isi saccussecara manual dan gunakan hemostat untuk menghentikan
adhesi. Isi saccus dapat dipersiapkan untuk dikirim guna dilakukan pemeriksaan

27
kultur, dan suction system dapat digunakan untuk menampung cairan yang keluar
secara manual. Setelah drainase, cavitas dieksplorasi dengan ujung cotton swab
kecil untuk membuka lokulasi pus atau mucus potensial. Biopsi dinding kista
setelah drainase cavitas guna mengeluarkan kemungkinan adanya carcinoma
glandula Bartholin yang jarang terjadi, dipertimbangkan pada wanita yang lebih
tua dari 40 tahun, terutama pada kista dengan komponen solid, atau rekurensi
kista yang multiple.

Gambar 2.11 Drainase abses Bartholin2


8) Masukkan ujung dari Wordcatheter ke dalam cavitas abses dan injeksi 2-4 mL
normal saline melalui catheter hub untuk mengembangkan balon. Inflasi harus
mencapai diameter yang sesuai untuk mencegah kateter terlepas dari insisi.
Alternatif yang bisa digunakan adalah nonlatex 14F Foley catheter yang mana
cocok sebagai pengganti pada pasien yang alergi dengan material latex atau pada
kondisi tidak tersedia Word catheter. Inflasi dengan saline lebih disarankan
daripada udara, hal ini terkait dengan deflasi ballon prematur.

Gambar 2.12 Insersi Word catheter2

28
Gambar 2.13 Inflasi Word catheter2
9) Lipat ujung bebas kateter ke dalam vagina untuk mencegah kateter tercabut oleh
adanya traksi dari gerakan perineal normal. Pada banyak kasus, ujung bebas
kateter dibiarkan protrusi ke luar vagina. Kateter harus tetap pada tempatnya
selama 4 minggu untuk proses epitelisasi tractus. Pasien harus menghindari
vaginal intercourse saat kateter terpasang.2

Gambar 2.14 Posisi Word catheter2


10) Wordcatheter dibiarkan terpasang selama beberapa minggu untuk meminimalkan
kemungkinan rekurensi. Ketika proses healing selesai, fistula permanen kecil
terbentuk diantara cavitas kista dan area vestibular. Ukuran ostium sangat kecil
dan hampir tidak tampak.2

Postoperatif
Drainase kista ductus glandula Bartholin pada dasarnya tidak membutuhkan
terapi antibiotik. Namun pada kondisi dimana abses disertai dengan selulitis
signifikan maka antibiotik harus diberikan. Pilihan yang cocok termasuk
trimethoprim-sulfamethoxazole, doxycycline, atau cephalexin diresepkan selama 7-
10 hari. Pada wanita yang menderita immunocompromised sebaiknya dirawat untuk
terapi antibiotik intravena hingga demam atau eritema membaik.3

29
Pasien disarankan untuk berendam dalam warm tub bath dua kali sehari. Coitus
sebaiknya dihindari guna kenyamanan pasien dan mencegah displacementWord
catheter. Idealnya, kateter dipasang selama 4-6 minggu. Setelah 4 minggu akan
terbentuk saluran drainase baru dari kista Bartholin.Namun, seringkali kateter akan
terlepas sebelum waktu tersebut. Tidak diperlukan untuk mencoba dan menempatkan
kembali kateter jika kateter berubah posisi, dan berusaha untuk memasukkan
kembali. Hal ini tidak memungkinkan dilakukan karena terjadinya penutupan cavitas.
Secara kosmetik hasilnya cukup bagus karena orifisiumnya akan mengecil dan
hampir tidak terlihat.3,5
3. Marsupialisasi dan Kateterisasi Word
Pada prosedur I&D ostium ductus yang baru seharusnya terbentuk pada abses
ductus Bartholin untuk mencegah daerah tepi insisi terjadi adhesi dan menyebabkan
pus terakumulasi kembali. Oleh karena itu, marsupialisasi dikembangkan dengan
maksud membentuk accessory tract untuk drainase glandula.3
Indikasi: Kista Bartholin kronik dan berulang. Keuntungan: komplikasi lebih
kecil dari ekstirpasi dan fungsi lubrikasi dipertahankan. Kerugian: rekurensi 10-15%
karena penutupan dan fibrosis orifisium.5
Marsupialisasi melibatkan tindakan membuka kista Bartholin atau abses dan
kemudian menjahit tepinya, dengan cara demikian akan terbentuk kantong terbuka
permanen dan memungkinkan terjadinya drainase continue. Prosedur ini dapat
dikerjakan di bawah pengaruh anestesi umum ataupun lokal, yang mana lebih sulit
dibandingkan kateterisasi Word, dan secara khusus dilakukan pada kista ataupun
abses yang rekuren.2
Dengan diperkenalkannya teknik Word catheter, penggunaan marsupialisasi
baik itu pada kista ataupun abses Bartholin mengalami kemunduran. Pada umumnya,
efektivitas, tingkat komplikasi, dan rekurensi serupa antara prosedur marsupialisasi
dan kateterisasi Word. Kateterisasi Word, pada dasarnya lebih sederhana untuk
dikerjakan dan harganya tujuh kali lipat lebih murah dibandingkan marsupialisasi.
Sedangkan, marsupialisasi membutuhkan analgesia yang lebih besar, insisi yang lebih
besar, penggunaan jahitan, dan waktu prosedur yang lebih lama. Dengan demikian,

30
prosedur marsupialisasi dipilih pada pasien dengan abses atau kista yang besar,
terjadinya rekurensi setelah gagal dengan Word catheter, atau pada pasien yang
memiliki alergi terhadap material latex.2,3
Preoperatif
Pasien diizinkan untuk diskusi menyangkut tindakan marsupialisasi dan
prosedur I&D ductus glandula Bartholin. Pasien diinformasikan tentang
kemungkinan rekurensi abses dan kista. Komplikasi postoperatif yang jarang terjadi
adalah dyspareunia, infeksi jaringan dalam, atau fistula rectovaginalis.3
Intraoperatif
a) Anestesi dan memposisikan pasien. Marsupialisasi dapat dilakukan pada pasien
rawat jalan dan prosedur dilakukan pada ruang operasi menggunakan unilateral
pudendal nerve block atau general anesthesia. Pasien ditempatkan pada posisi
litotomi dorsal standar.3
b) Insisi kulit. Insisi vertical atau elliptical sekitar 2 cm dibuat melalui kulit pada
penonjolan kista menggunakan scalpel dengan blade no.10 atau 15. Insisi dibuat
pada bagian atas kista, hingga mencapai dan paralel terhadap hymen pada arah
jam 5 atau 7 (sesuai sisi yang terlibat), dan diposisikan pada medial Hart line.
Posisi mengikuti anatomi normal ostium ductus glandula dan mencegah
terbentuknya fistulous tract terhadap bagian luar labium majus.3
c) Insisi kista. Dibuat inisisi vertical kedua, kemudian buka dinding kista, dan
berikan tekanan sehingga pus atau mucus keluar. Pus dapat diambil untuk kultur.
Allis clamp ditempatkan pada dinding kista superior, inferior, lateral dextra, dan
sinistra dan keluarkan. Setelah drainase, cavitas dieksplorasi dengan ujung cotton
swab kecil untuk membuka lokulasi cairan potensial. Periksa secara hati-hati
untuk mencegah terjadinya perforasi melalui dinding ductus dan bulbus
verstibulum terdekat dengan kaya vascularisasi. Sebagai tambahan, biopsi
dinding kista setelah drainase cavitas dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya adenocarcinoma glandula Bartholin yang jarang terjadi.
Hal ini dapat dipertimbangkan pada pasien dengan usia lebih tua dari 40 tahun
atau jika ditemukan komponen padat yang menyertai kista.3

31
d) Penutupan luka. Tepi dinding kista dijahit ke tepi kulit berdekatan dengan jahit
interuptus menggunakan 2-0 atau 3-0 gauge delayed-absorbable suture. Tidak
diperlukan tampon/drain.3,5

Gambar 2.15 Marsupialisasi glandula Bartholin3


Postoperatif
Penggunaan Cool pack selama 24 jam pertama setelah pembedahan dapat
meminimalisir nyeri, pembengkakan, dan pembentukan hematoma. Setelah itu, warm
sitz bath, satu atau dua kali sehari, berguna dalam halpain relief dan wound hygiene.
Aktivitas dapat dilakukan kembali dengan cepat, meskipun coitus dicegah hingga
penyembuhan luka selesai.3
Pasien dapat kontrol kembali dalam minggu pertama setelah pembedahan untuk
memastikan tepi ostium tidak terjadi adhesi satu sama lain. Dalam 2-3 minggu,
penyusutan luka membentuk muara ductus dengan ukuran 5 mm atau lebih kecil lagi.
Tingkat rekurensi setelah marsupialisasi rendah. Dicatat oleh Jacob (1960) hanya 4
rekurensi pada 152 kasus.3
4. Eksisi/Ekstirpasi
Indikasi:Abses/kista persisten, abses/kista rekuren, terdapat indurasi pada basal
kista yang sulit dicapai dengan marsupialisasi, kista pada usia >40 tahun (dapat
menjadi ganas). Keuntungan: kecil kemungkinan rekuren. Kerugian/Komplikasi:
perdarahan (a. pudenda), hematoma, selulitis, pembentukan scar yang nyeri, sisa

32
jaringan kista yang tidak terangkat sepenuhnya sehingga dapat terjadi rekuren, fungsi
lubrikasi tidak ada.5
Eksisi dilakukan jika terjadi rekurensi berulang. Sebaiknya tindakan ini
dilakukan di kamar operasi oleh karena biasanya akan terjadi perdarahan yang
banyakyang berasal dari plexus venosus bulbus vestibuli, dan pernah dilaporkan
terjadinya septik syok pasca tindakan.Komplikasi lain adalah selulitis dan
dyspareuni.5

5. Sitz Bath
Kadang-kadang, perendaman dalam bak berisi air hangat (mandi sitz) beberapa
kali sehari selama tiga atau empat hari membantu mengecilkan kista dan kista
terinfeksi dan pecah.5
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengobatan abses Bartholin:2
a. Pada umumnya, antibiotik tidak diindikasikan pada pasien imunokompeten
dengan abses Bartholin. Antibiotik khususnya diberikan jika disertai selulitis.
b. Jika tidak tersedia Word catheter, insisi sederhana dan drainase dengan
pembalutan dapat dilakukan. Gauze packing harus dilepas dalam waktu 24-48
jam.
c. Semua pasien harus diinstruksikan untuk mulai sitz baths 1-2 hari post
prosedur dan menghindari vaginal intercourse hingga Wordcatheter atau
pembalutan dilepaskan.
d. Berikan analgesik untuk pasien.
e. Pasien yang lebih tua dari 40 tahun sebaiknya dilakukan biopsiuntuk
kemungkinan Bartholin gland cancer.
f. Pasien dengan rekurensi multiple dan riwayat pengobatan sebelumnya
sebaiknya dilakukan pengobatan definitif (complete excision).

Pasien yang mempresentasikan adanya tanda-tanda malignancy harus dilakukan


follow-up ginekologik yang ketat untuk dilakukan biopsi dan kemungkinan eksisi.
Pada kista yang tidak mengalami komplikasi dan asimptomatik, pasien dapat
diinstruksikan untuk melakukan sitz bath. Sitz bath (tiga kali sehari) selama beberapa

33
hari dapat memberikan peningkatan dengan resolusi atau ruptur spontan dengan
resolusi dari kista.1
L. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi pada kasus abses Bartholin adalah sebagai
berikut:2
a. Perdarahan
Perdarahan berlebihan adalah komplikasi potensial untuk prosedur
pembedahan.
b. Rekurensi
Rekurensi adalah komplikasi paling umum setelah insisi dan drainase (±
30%). Premature dislodgement dari Word catheter terjadi pada penutupan
insisi dan tingginya tingkat rekurensi.
c. Missed diagnosis dari Bartholin duct carcinoma
Malignant tumors dari jaringan ikat vulva sangatlah jarang terjadi. Ketika
terlokalisir pada area glandula Bartholin, tumor tesebut dapat disalah artikan
sebagai lesi benigna, yang menyebabkan tertundanya diagnosis. Bentuk jarang
dari carcinoma ini memiliki insiden sekitar 0,1 kasus per 100.000 wanita.
d. Infeksi progresif dan sepsis
Pasien dengan compromised immune systems dapat menunjukkan komplikasi
jarang berupa infeksi progresif dan sepsis. Terapi semua pasien
immunocompromised dengan antibiotik.
e. Komplikasi lain
Abses Bartholin dapat pula menyebabkan komplikasi seperti tachycardia fetal
dan maternal, chorioamnionitis (E.coli), dan sternoclavicular septic arthtitis.

M. PROGNOSIS
Kelalaian diagnosis dari adanya malignancy dapat memberikan outcome yang
lebih buruk pada pasien.1
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada kasus ini pasien didiagnosis sebagai abses kelenjar Bartholini


berdasarkan dari anamnesis keluhan pasien dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini Pasien G3P1A1, 23 tahun usia kehamilan
20-21 minggu mengeluhkan nyeri pada labia minora sinistra, disertai benjolan

34
yang membesar terasa adanya kalor, pus (+) dan mengganggu aktivitas. Pasien
juga mengalami leukorhea, febris sejak 3 hari yang lalu, retensio urin karena
nyeri sejak 2 hari terakhir sebelum masuk rumah sakit. Riwayat keluhan serupa
pada kehamilan pertama tahun 2011 namun bengkak tidak sebesar sekarang.
Pada Pemeriksaan ginekologi: pada vulva tampak discharge ewarna putih
kekuningan, volume sedikit, berbau, status lokalis pada inspeksi tampak massa
berfluktuasi dan hiperemis di labia minora sinistra meluas ke labia majora
sinistra, bentuk sferis. Palpasi teraba massa dengan konsistensi lunak,
berfluktuasi, disertai nyeri saat disentuh dan nyeri tekan, teraba lebih hangat
dibandingkan daerah sekitarnya. Ukuran ± 3×2 cm. Adapun, pada pemeriksaan
darah rutin menunjukkan WBC: 13,4 x103/μL dan Hb : 10,8 g/dl
Pada dasarnya, epidemiologi kista ataupun abses Bartholini kebanyakan
terjadi pada wanita usia reproduktif, antara 20 sampai 30 tahun. Namun, tidak
menutup kemungkinan dapat terjadi pada wanita yang lebih tua atau lebih muda.
Pada pasien ini, pasien berumur 23 tahun dan termasuk dari usia reproduktif,
sehingga dari segi epidemiologi sudah sesuai, selain itu dari riwayat higienitas
pasien termasuk memiliki status higienitas yang buruk terbukti dari riwayat
keputihan yang berlangsung dalam beberapa bulan terakhir ini. Keadaan ini dapat
menjadi media yang baik bagi mikrobakteri untuk hidup sehingga menimbulkan
sumbatan dan infeksi pada kelenjar Bartholini.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang diperoleh telah sesuai
dengan teori tanda dan gejala kelenjar Bartholini yang telah terinfeksi. Keluhan
pasien pada umumnya adalah adanya bengkak yang awalnya terasa seperti ada
benjolan sebesar kelereng, nyeri saat berjalan, duduk, beraktivitas fisik, teraba
massa unilateral pada labia minora sebesar telur ayam, lembut, dan berfluktuasi,
atau terkadang tegang dan keras, umumnya tidak disertai demam, kecuali jika
terinfeksi dengan mikroorganisme yang ditularkan melalui hubungan seksual
atau ditandai dengan adanya perabaan kelenjar limfe pada inguinal, biasanya ada

35
sekret di vagina, kira-kira 4 sampai 5 hari pasca pembengkakan, terutama jika
infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang ditularkan melalui hubungan seksual.
Pada Bartholinitis akut, kelenjar membesar, merah, nyeri dan lebih panas
dari daerah sekitarnya. Isinya cepat menjadi nanah yang dapat keluar melalui
duktusnya, atau jika duktus tersumbat, mengumpul di dalamnya dan menjadi
abses yang kadang-kadang dapat menjadi sebesar telur bebek. Jika belum
menjadi abses, keadaan bisa diatasi dengan antibiotik, jika sudah bernanah akan
mencari jalan sendiri atau harus dikeluarkan dengan sayatan. Radang pada
kelenjar Bartholin dapat terjadi berulang-ulang dan akhirnya dapat menjadi
menahun dalam bentuk kista Bartholin.
Tatalaksana yang dilakukan pada pasien ini berupa tatalaksana
medikamentosa dan non medikamentosa. Medikamentosa: injeksi Cefotaxime
2x1 gr iv, pemberian terapi oral berupa asam mefenamat 3x1 tablet,
metronidazole 3x1 tablet dan pemberian antasida sirup 3x1C. Pasien di kompres
NaCl 0,9% setiap pagi hari.
Menurut teori abses Bartholini memerlukan drainase kecuali kalau terjadi
rupture spontan. Banyak literatur menyebutkan tindakan marsupialisasi hanya
digunakan pada kista Bartholini. Namun sekarang digunakan juga untuk abses
kelenjar Bartholini karena memberi hasil yang sama efektifnya. Marsupialisasi
adalah suatu teknik membuat muara saluran kelenjar Bartholini yang baru
sebagai alternatif lain dari pemasangan word kateter. Prinsipnya adalah membuat
insisi elips dengan scalpel di luar atau di dalam cincin hymen (jangan di luar
labia mayor karena dapat timbul fistel). Insisi harus cukup dalam mengiris kulit
dan dinding kista di bawahnya (untuk kemudian dibuang). Apabila terdapat
lokulasi, dibersihkan. Kemudian dinding kista didekatkan dengan kulit
menggunakan benang 3.0 atau 4.0 dan dijahit interrupted. Angka rekurens sekitar
10%. Keuntungan dari marsupialisasi adalah komplikasi lebih kecil dari
ekstirpasi dan fungsi lubrikasi dipertahankan. Komplikasi berupa dispareuni,
hematoma, infeksi.

36
Pemberian antibiotik seharusnya disesuaikan dengan bakteri penyebab yang
dapat diketahui secara pasti dari hasil pengecatan Gram maupun kultur pus dari
abses kelenjar Bartholini. Namun pada pasien ini pemeriksaan tersebut tidak
dilakukan. Namun terapi yang diberikan untuk mengobati infeksi dan gejala pada
pasien ini sesuai dengan teori bahwa antibiotik yang bisa digunakan adalah
antibiotik yang berspektrum luas dan diberikan antinyeri untuk mengurangi
keluhan nyeri pada pasien ini. Cefotaxime adalah sefalosporin generasi ketiga
dengan efisiensi spektrum luas terhadap bakteri Gram-negatif, efficacy yang
lebih rendah terhadap bakteri Gram-positif, dan efficacy yang lebih tinggi
terhadap bakteri resisten. Serta pemberian asam mefenamat sebagai analgesic.
Edukasi yang perlu diberikan pada pasien sebelum pulang dapat berupa
edukasi untuk melakukan perawatan pada abses yang sudah rupture secara
spontan dengan baik dan menjaga higienitas diri terutama daerah genital.
Menurut teori jika abses dengan didrainase dengan baik dan kekambuhan
dicegah, prognosisnya baik. Tingkat kekambuhan umumnya dilaporkan kurang
dari 20%. Namun, sayangnya pada kasus ini, pasien pulang atas permintaan
sendiri.

BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat


disimpulkan bahwa:
1. Abses Bartholini terbentuk ketika terjadi infeksi pada obstruksi ostium dari
duktus, yang menyebabkan distensi dari glandula atau duktus dengan cairan.

37
2. Etiologi dari abses Bartholini yaitu peradangan pada kista yang terbentuk akibat
sumbatan duktus sekretorius dari kelenjar Bartholini
3. Tanda dan gejala abses bartholini yaitu pembengkakan labial unilateral yang
nyeri, nyeri saat berjalan dan duduk, nyeri menghilang diikuti dengan adanya
discharge akibat adanya ruptur spontan.
4. Terapi utama terhadap abses Bartholini adalah insisi dinding kista dan drainase
cairan kista atau abses, yang disebut dengan prosedur marsupialisasi.P
engosongan dan drainase eksudat abses dapat pula dilakukan dengan memasang
kateter Word. Berikan juga antibiotika untuk mikroorganisme yang sesuai dengan
hasil pemeriksaan apus atau kultur bakteri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Quinn A. Bartholin Gland Diseases. Medscape (Serial Online). 2017 (Citied 2017
December 25); (3 Screens). Available from:
<https://emedicine.medscape.com/article/777112-overview#showall >.
2. Shlamovitz GZ. Bartholin Abscess Drainage. Medscape (Serial Online). 2017
(Citied 2017 December 25); (10 Screens). Available
from:<https://emedicine.medscape.com/article/80260-overview#showall>.
3. Hoffman BL, Schorge JO, Bradshaw KD, Halvorson LM, Schaffer JI, Corton
MM. Williams Gynecology. Third Edition. United States: McGraw-Hill
Education; 2016.
4. Anwar M, Baziad A, Prabowo P (editor). Ilmu Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta:
PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.

38
5. Sabrina N, Juliansyah R. Kista Bartholin + Bartholinitis. Case Report Session.
Bagian Obstetri dan Ginekologi RS Al-Ihsan Bandung; 2011.
6. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T (editor). Ilmu Kandungan. Edisi
kedua. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2009.
7. Norwitz ER, Schorge JO. At a Glance Obstetri dan Ginekologi. Edisi Kedua.
Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.

39

Anda mungkin juga menyukai