Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRESENTASI KASUS

Sindroma Guillain-Barre (GBS)

Oleh :
dr. Nisa Salsabila Shafarudin

Pendamping :
dr. H. Ryan Ramdhan

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KABUPATEN BEKASI
01 JUNI 2018 s/d 31 MEI 2019
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI………………………………………………………………. 1
BAB I. ILUSTRASI KASUS
1.1. Identitas Pasien…………..………………….…………………..... 2
1.2. Anamnesis…….…………....……………....…………..…….…... 2
1.3 Pemeriksaan Fisik………….………………….…………………... 2
1.4. Pemeriksaan Penunjang.…………………………..…………….... 3
1.5. Diagnosis…………….……..………….…….…………………..... 4
1.6. Penatalaksanaan……..…………………….….…………………... 4
1.7. Follow Up………….……………….………….………..……….... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Definisi………..………………………………………………...... 10
2.2. Epidemiologi............…...…..……………...……………….......... 10
2.3. Etiologi........……..…………….………………………...….......... 11
2.4. Klasifikasi ……………………………………………………... 12
2.5. Patofisiologi ……………………………………………………… 12
2.6. Penegakkan Diagnosis................…………….…………….……... 13
2.7 Diagnosis Banding...................................……………….…............ 15
2.8. Tata Laksana……………………………….…...………….…...... 15
2.9. Prognosis........................................................................................ 16

BAB III. PEMBAHASAN


3.1. Anamnesis……………………….…………..………………......... 17
3.2. Pemeriksaan Fisik…….……….....……………...……………....... 17
3.3. Pemeriksaan Penunjang……………….……..................………... 18
3.4. Diagnosis...……………………….……….……………….…........ 19
3.5. Tata Laksana….……………………………....………………....... 19

BAB IV. DISKUSI KASUS……………………………………………….... 20


BAB V. KESIMPULAN................................................................................. 21
BAB VI. DAFTAR PUSTAKA…………………………………………….... 22

1
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1. Identitas pasien
Nama : An. SFA
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir/Usia : 29 Oktober 2007 / 10 tahun
Alamat : Cibitung
Pekerjaan :-
Agama : Islam
Rekam Medis : 133636
Tanggal Masuk IGD : 17 Oktober 2018
Tanggal Masuk Ranap : 17 Oktober 2018
DPJP IGD : dr. Riza
DPJP Rawat inap : dr. Ijun, Sp.S

2. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan utama tidak bisa menggerakkan hampir seluruh badan.
2 hari SMRS, OS mengeluh nyeri punggung sepulang sekolah, kemudian malamnya OS tidak
bisa menggerakkan kedua kakinya. Esoknya, OS mulai tidak bisa menggerakkan tubuh dan
tangannya.
Sejak pagi SMRS keluhan disertai dengan sesak, mual dan muntah 1x, serta baal di seluruh
tubuh. Demam (-), batuk pilek (-) kejang (-) riwayat trauma (-). BAB BAK tak ada keluhan (harus
memakai popok karena tidak bisa berjalan).
RPD : OS pernah mengalami hal serupa saat usia 3 tahun, namun sembuh sendiri tanpa berobat

3. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum : CM, GCS E4V5Mx
Tanda vital :
 TD: 119/77 SpO2: 97%
 N: 106 x/m

2
 R : 20 x/m S: 36,4
 BB : 44 kg
Status Generalis
 Kepala : tidak ada kelainan
 Leher : tidak ada kelainan
 Thoraks : tidak ada kelainan
 Abdomen : tidak ada kelainan
 Ekstremitas : tidak ada kelainan
Status Neurologis
■ Motorik
– Kekuatan:
■ Ekstremitas atas : 2111/1112
■ Ekstremitas bawah : 1111/1111
■ Nervus kranialis : parese CN III dan VII
– Trofi: atrofi (-)
– Tonus: hipotonus
– Reflek fisiologis: biseps +1/+1 triceps +1/+1 patella -/- Achilles -/-
– Reflek patologis: Babinski (-/-)
■ Sensorik
– Paresis setinggi CN. V r. maksilaris
■ Proprioseptif: kesan paresis (+)
■ Cerebellum (nose to finger test): tidak dapat dilakukan
■ Meningeal Sign: kaku kuduk (-) kernig (-) laseque (-)

4. Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin OT : 39
Hb : 13,9 PT : 56
Ht : 42,1 GDS : 79
Leukosit : 12.000 Na : 143
Trombo : 285.000 K : 4,3
Eritrosit : 5,4 Klorida : 104

3
5. Diagnosis
Suspek Sindroma Guillain-Barre

6. Penatalaksanaan
Terapi IGD:
 IVFD asering 500 cc 20 tpm + Neurobion I A
 DC

Advise dr. Ijun, Sp.S


 O2 Nasal kanul 4 lpm
 IVFD Asering 500 cc/12 jam
 Inj. Methyl Prednisolon 3x125 mg
 Inj, Ranitidin 2x50 mg
 Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
 PICU

4
1.7 Follow Up

5
6
7
8
Hasil Analisis CSF (20/10/18): Hasil Lab (29/10/18)

■ Makroskopik: Hb : 14,2
– Warna: bening Ht : 43
– Kejernihan: jernih Leukosit : 20.000
– Bekuan: negatif Trombo : 448.000
■ Mikroskopik: Eritrosit : 5,51
– Jumlah sel: 2 GDS : 98
■ Kimia: Na : 141
– Nonne: negatif K : 5,5
– Pandy: negatif Klorida : 101
– Protein: 10 Protein total : 7,6
– Glukosa CSF: 96 Albumin :4
– Glukosa serum: 98 Globulin : 3,6
– Chlorida: 119

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Sindrom Guillain-Barre (SGB), juga dikenal dengan nama poli-neuritis infeksiosa
atau polineuritis idiopatik akut, merupakan bentuk polineuritis yang akut, progresif cepat,
serta berpotensi fatal dan menyebabkan kelemahan otot serta gangguan sensoris.
Secara khas digambarkan dengan kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia.
Secara patologi SGB memiliki 2 pola gambaran patologi, yaitu: bentuk demielinisasi dan
aksonopati. Demielinisasi segmental pada SGB dihubungkan dengan adanya infiltrasi sel-
sel inflamasi.1
Sindrom ini dapat terjadi pada segala usia meskipun paling sering ditemukan pada
usia antara 30-50 tahun. SGB dialami laki-laki dan perempuan sama seringnya.
Kesembuhan terjadi spontan dan komplet pada 95% pasien sekalipun gangguan motorik
atau refleks yang ringan dapat menetap pada kaki dan tungkai. Prognosis sindrom ini paling
baik jika keluhan dan gejala sudah menghilang sebelum 15 hingga 20 hari sesudah awitan
penyakit.2
SGB merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia
dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi
pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian,
meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.
Kelainan ini dimediasi oleh imun dan sering terjadi sesudah infeksi virus
(sitomegalovirus, Virus Epstein Barr) atau Campylobacter jejuni.3

2.2. Epidemiologi

Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per
100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan
penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang
mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan

10
paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras
didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia
dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.4
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian
Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita
3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana
terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.3

2.3. Etiologi

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain2:

 Infeksi
 Vaksinasi
 Pembedahan
 Penyakit sistematik:
 Keganasan
 systemic lupus erythematosus
 tiroiditis
 penyakit Addison
 Kehamilan atau dalam masa nifas

SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu
sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi
gastrointestinal.

11
Tabel 1 Infeksi akut yang berkaitan dengan SGB

2.4. Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu3:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia

2.5. Patofisiologi

Manifestasi patologis yang utama adalah demielinisasi segmental saraf perifer.


Keadaan ini menghalangi transmisi impuls elektris yang normal di sepanjang radiks saraf
sensoris. Karena sindrom ini menyebabkan inflamasi dan perubahan degeneratif pada
radiks saraf posterior (sensoris) maupun anterior (motorik), maka tanda-tanda gangguan
sensoris dan motorik akan terjadi secara bersamaan.

12
Mekanisme imun seluler dan humoral tampak ikut berperan, lesi inflamasi awal
akan menyebabkan infiltrasi limfosit dan makrofag pada komponen mielin. Pada gambaran
dengan mikroskop elektron tampak bahwa makrofag merusak selubung mielin. Faktor
imun humoral seperti antibodi, antimielin dan komplemen ikut berperan dalam proses
opsonisasi makrofag pada sel Schwann.5
Proses ini dapat diamati baik pada radiks saraf, saraf tepi, dan saraf kranialis.
Sitokin ikut pula berperan, hal ini ditunjukkan dengan korelasi klinik Tumor Necrotic
Factor (TNF) dengan beratnya kelainan elektrofisiologik. Respon imun pada SGB
dipercaya langsung menyerang komponen glikolipid dari aksolemma dan selubung mielin.
Antibodi pada saraf perifer akan mengaktivasi sistem komplemen dan makrofag, sehingga
akan muncul sitotoksisitas seluler yang tergantung pada antibodi terhadap komponen
mielin dan aksolemma. Kerusakan selubung mielin akan menyebabkan demielinisasi
segmental, yang menyebabkan menurunnya kecepatan hantar saraf dan conduction block.6
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan
jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
SGB tipe aksonal disebut pula sebagai Acute Motor Aaxonal Neuropathy (AMAN),
yang terutama ditandai oleh kerusakan aksonal yang nyata, dan ditunjukkan dengan
Compound Muscle Action Potential (CMAP) distal yang rendah.

2.6. Penegakkan Diagnosis

Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SGB ditandai dengan timbulnya
suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului
parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin
pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.

Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu4:
13
1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
a) Terjadinya kelemahan yang progresif
b) Hiporefleksi
2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
a) Ciri-ciri klinis:
a. Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam
4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan
90% dalam 4 minggu.
b. Relatif simetris
c. Gejala gangguan sensibilitas ringan
d. Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf
otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot
menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau
saraf otak lain
e. Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat
memanjang sampai beberapa bulan.
f. Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi
dangejala vasomotor.
g. Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b) Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
a. Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan
pada LP serial
b. Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
c. Varian:
1. Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
2. Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
c) Gambaran elektrodiagnostik (EMG) yang mendukung diagnosa:
a. Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus
b. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal

14
2.7. Diagnosis Banding
Meski tanda dan gejala sesuai kriteria NINCDS, namun di awal onset, SGB masih perlu
untuk dibedakan dengan beberapa penyakit berikut:
 Mielitis akuta
 Poliomyelitis anterior akuta
 Porphyria intermitten akuta
 Polineuropati post difteri

2.8. Tata Laksana


Pada sebagian besar penderita, SGB dapat sembuh dengan sendirinya. Pengobatan
secara umum bersifat simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh
sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala
sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah
mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas
(imunoterapi).7
1. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
2. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi
yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik,
berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih
sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan
mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat
bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
3. Pengobatan imunosupresan:
a. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.

15
b. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
 6 merkaptopurin (6-MP)
 azathioprine
 cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit
kepala.
2.9. Prognosis

Kematian penderita GBS berkisar antara 2%-10% dengan penyebab kematian


karena kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom, infeksi paru, dan emboli paru.
Sebagian besar penderita (60-80%) sembuh secara sempurna dalam waktu 6 bulan,
sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan dengan kelainan motorik ringan
dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki. Sekitar 3-5 % penderita mengalami relaps.3

Faktor prediktor prognosis yang buruk adalah: (1) usia > 40 tahun, (2) amplitudo
CMAP yang rendah, dan (3) perlunya ventilasi mekanik. Sementara 95% terjadi
penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain2:

 pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal


 mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
 progresifitas penyakit lambat dan pendek
 pada penderita berusia 30-60 tahun

16
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

3.1. Anamnesis
OS datang dengan keluhan utama tidak bisa menggerakkan hampir seluruh badan.
2 hari SMRS, OS mengeluh nyeri punggung sepulang sekolah, kemudian malamnya OS
tidak bisa menggerakkan kedua kakinya. Esoknya, OS mulai tidak bisa menggerakkan tubuh
dan tangannya.
Sejak pagi SMRS keluhan disertai dengan sesak, mual dan muntah 1x, serta baal di seluruh
tubuh. Demam (-), batuk pilek (-) kejang (-) riwayat trauma (-). BAB BAK tak ada keluhan
(harus memakai popok karena tidak bisa berjalan).
RPD : OS pernah mengalami hal serupa saat usia 3 tahun, namun sembuh sendiri tanpa
berobat
Pada anamnesis sudah ditanyakan gejala yang penting sebagai kriteria diagnosis SGB,
yaitu adanya kelumpuhan yang bersifat progresif. Selain itu juga sudah ditanyakan
kemungkinan infeksi akut sebelum munculnya gejala SGB, meskipun hasilnya tidak
didapatkan pada pasien ini.

3.2. Pemeriksaan Fisik


 Keadaan Umum : CM, GCS E4V5Mx
Tanda vital :
 TD: 119/77 SpO2: 97%
 N: 106 x/m
 R : 20 x/m S: 36,4
 BB : 44 kg
Status Generalis
 Kepala : tidak ada kelainan
 Leher : tidak ada kelainan
 Thoraks : tidak ada kelainan
 Abdomen : tidak ada kelainan
 Ekstremitas : tidak ada kelainan

17
Status Neurologis
■ Motorik
– Kekuatan:
■ Ekstremitas atas : 2111/1112
■ Ekstremitas bawah : 1111/1111
■ Nervus kranialis : parese CN III dan VII
– Trofi: atrofi (-)
– Tonus: hipotonus
– Reflek fisiologis: biseps +1/+1 triceps +1/+1 patella -/- Achilles -/-
– Reflek patologis: Babinski (-/-)
■ Sensorik
– Paresis setinggi CN. V r. maksilaris
■ Proprioseptif: kesan paresis (+)
■ Cerebellum (nose to finger test): tidak dapat dilakukan
■ Meningeal Sign: kaku kuduk (-) kernig (-) laseque (-)
Dari pemeriksaan fisik, didapati adanya penurunan kekuatan motorik, fungsi sensorik, dan
beberapa gangguan nervus cranialis. Selain itu juga didapatkan adanya penurunan refleks
fisiologis, yang semakin memperkuat diagnosis SGB.

3.3. Pemeriksaan Penunjang


Darah rutin OT : 39
Hb : 13,9 PT : 56
Ht : 42,1 GDS : 79
Leukosit : 12.000 Na : 143
Trombo : 285.000 K : 4,3
Eritrosit : 5,4 Klorida : 104
Dari pemeriksaan lab, didapati adanya sedikit peningkatan leukosit, sementara hasil
lainnya dalam batas normal. Seharusnya dilakukan juga EMG dan analisis CSF untuk lebih
bisa memastikan diagnosis SGB, namun pemeriksaan tidak tersedia di RSUD sehingga tidak
dilakukan.

18
3.4.Diagnosis
Suspek Guillain-Barre Syndrome

Diagnosis sudah tepat, karena meski sudah mengarah ke SGB, namun hasil anamnesis
dan pemeriksaan fisik masih belum bisa dengan pasti menyingkirkan beberapa diagnosis
bandingnya.

3.5. Penatalaksanaan
Terapi IGD:
 IVFD asering 500 cc 20 tpm + Neurobion I A  maintenance cairan dan terapi
suportif untuk vitamin saraf
 DC  diperlukan karena pasien tidak mampu mobilisasi sendiri

Advise dr. Ijun, Sp.S


 O2 Nasal kanul 4 lpm  karena pasien mengeluh mulai merasa sesak
 IVFD Asering 500 cc/12 jam  maintenance cairan
 Inj. Methyl Prednisolon 3x125 mg  kortikosteroid, sesuai
 Inj, Ranitidin 2x50 mg  simtomatik
 Inj. Ceftriaxone 2x1 gr  antibiotik karena didapati leukositosis
 PICU  antisipasi perburukan kondisi pasien

Berdasarkan tinjauan pustaka, pasien yang dicurigai SGB sebenarnya akan sembuh dengan
sendirinya, namun terapi simtomatis dapat meningkatkan prognosis dan kecepatan pemulihan.
Pada pasien ini hanya diberikan kortikosteroid, sementara plasmaparesis dan imunosupresan tidak
diberikan.

19
BAB IV
DISKUSI KASUS

20
BAB V

KESIMPULAN

Sindrom Guillain-Barre (poliradikuloneuropati demielinasi inflamatorik akut)


merupakan paralisis asendens yang dapat membawa kematian dan disertai dengan
kelemahan yang dimulai pada ekstremitas distal tapi kemudian dengan cepat menjalar ke
otot-otot proksimal. Terjadi demielinasi segmental dan sel-sel inflamasi kronik yang
mengenai radiks saraf serta saraf perifer. Penyebab GBS sampai saat ini belum diketahui
penyebabnya dan termasuk kelompok penyakit autoimun akibat suatu infeksi atau keadaan
tertentu yang mendahuluinya.

Gejala dini yang biasanya dirasakan adalah kelemahan otot yang simetris (tanda
neurologi utama), parestesia pada kaki dan tangan dengan kelemahan dari lengan. Paralisis
dari tungkai dahulu dan kemudian disusul dengan kelemahan dari lengan. Pemeriksaan
penunjang meliputi pemeriksaan CSF dan pemeriksaan eletromiografi. Pada umumnya
pengobatan GBS meliputi plasmaparesis, imunosupresan, dan pemakaian kortikosteroid.
Namun pemakaian kortikosteroid masih diragukan manfaatnya.

Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik, tetapi pada sebagian
kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa.

21
BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

1. William G, Mcphee S. Patofisiologi Penyakit: Pengantar Menuju Kedokteran Klinis Edisi


5. Jakarta: Penerbit EGC. 2007.

2. Jennifer P, Wels W, dkk. Guillan-Barre Sindrome dalam Professional Guide to


Pathophysiology. Jakarta: Penerbit EGC. 2011.

3. Rizaldy, P. Sindrom Guillain-Barre : Kajian Pustaka. Jurnal Kedokteran: Dexa Medica.


2007.

4. Center for disease control (CDC). Guillain Barre Syndrome (GBS). 2012.
http://www.cdc.gov/flu/protect/vaccine//guillainbarre.htm . Diakses pada tanggal 31
Oktober 2018 pada pukul 12:17.

5. Laurale, S. Fisiologi Neuron dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke sistem. Jakarta:
Penerbit EGC. 2010.

6. Robbins, C. Penyakit saraf perifer dalam Dasar Patologis Penyakit. Jakarta: Penerbit
EGC. 2010.

7. Japardi, I. Sindroma Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


2002.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1958/1/bedahiskandar%20japardi46.pdf.
Diakses pada tanggal 31 Oktober 2018 pukul 13.14.

22

Anda mungkin juga menyukai