Anda di halaman 1dari 81

BAB II

PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN

IPA DI SEKOLAH DASAR

A. IPA DAN HAKIKAT IPA

Istilah Ilmu Pengetahuan Alam diterjemahkan dari kata natural science

yang merupakan bagian dari science. Kata natural mengandung pengertian

alamiah atau berhubungan dengan alam, sedangkan kata science diterjemahkan

sebagai ilmu pengetahuan. Jadi secara harfiah, natural science adalah ilmu

pengetahuan tentang kejadian-kejadian alam atau fenomena-fenomena alam.

Dalam perkembangannya natural science sering disebut sebagai science yang

dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sains atau IPA. Bagi para ahli, IPA

seringkali dipandang sebagai proses dan produk. Pandangan ini diperkuat oleh

pernyataan Anderson (1969) yang mengungkapkan bahwa science is a way of

looking at the world (sains merupakan cara bagaimana memandang dunia). Dalam

hal ini sains dipandang sebagai suatu cara atau metode untuk mempelajari dunia

atau alam. Metode untuk mempelajari fenomena alam adalah melalui observasi

dan eksperimen, sehingga dalam mempelajari sains tidak akan terlepas dari

kemampuan melakukan observasi dan eksperimen.

Sains adalah suatu rangkaian konsep yang saling berkaitan dan bagan-

bagan konsep yang telah berkembang sebagai suatu hasil eksperimen dan

observasi yang bermanfaat untuk eksperimentasi serta observasi lebih lanjut.

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan sains didasari

21
oleh tuntutan kebutuhan masyarakat pada zamannya. Hal ini mengandung

pengertian bahwa sains selain sebagai produk juga merupakan suatu proses yang

berkelanjutan sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia.

Brown (2002) menyatakan bahwa sains tidak hanya mencakup produk dan

proses, namun di dalam sains terkandung pula nilai (value) atau sikap. Lebih rinci

Brown menyatakan bahwa sains mencakup hal-hal berikut:

1) Science attitudes (sikap ilmiah), seperti: keyakinan, nilai-nilai,

gagasan/pendapat, objektif, jujur, menghargai pendapat orang lain dan

sebagainya.

2) Scientific process or methods (metode ilmiah), yaitu cara khusus dalam

memecahkan masalah atau penyelidikan seperti: membuat hipotesis,

merancang dan melaksanakan eksperimen, mengumpulkan dan menyusun

data, mengevaluasi data, menafsirkan dan menyimpulkan data, serta

membuat teori dan mengkomunikasikannya.

3) Scientific products (produk ilmiah), yaitu berupa fakta, konsep, prinsip,

hukum, teori tentang fenomena alam dan sebagainya.

4) Science as a technology, yang diaplikasikan untuk menunjang

kesejahteraan hidup manusia.

Pendapat tersebut menjelaskan bahwa sains bukan hanya sekedar

kumpulan pengetahuan tentang fenomena alam, tetapi juga menyangkut metode

ilmiah dan sikap ilmiahnya serta aplikasi teknologi sebagai hasil dari

perkembangan sains. Phenix (2002) menyatakan bahwa sains merupakan suatu

metode untuk dapat mengamati sesuatu atau dunia dan sebagai pola pikir.

22
Pernyataan yang dikemukakan oleh Phenix sebenarnya merupakan penguatan

terhadap apa yang telah diungkapkan oleh Einsten puluhan tahun sebelumnya.

Einstein (dalam Darmojo, 1985) menyatakan bahwa:

”Science is the attempt to make the chaotic diversity of our sense


experience correspond to a logically uniform system of thought. In this
system single experience must be correlated with the theoretic structure in
such a way that the resulting coordination is unique and convincing”.

Sains harus difahami dari berbagai aspek, Brown (2002) mengemukakan

ada lima aspek dalam memandang sains, yaitu: sains sebagai institusi atau

kelembagaan, sains sebagai metode ilmiah, sains sebagai faktor utama dalam

memelihara dan mengembangkan produksi, sains sebagai salah satu faktor utama

yang mempengaruhi kepercayaan dan sikap manusia terhadap alam semesta dan

manusia serta sains sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang sistematis dan

logis. Berdasarkan pandangan-pandangan ini, maka hakekat sains dari waktu ke

waktu mengalami perkembangan dan tidak bisa dilepaskan dari perkembangan

pelaksanaan metode ilmiah yang bergantung kepada kemajuan teknologi saat itu.

Hal ini dapat difahami karena kegiatan observasi dan eksperimentasi banyak

dipengaruhi oleh penggunaan peralatan atau instrumen yang digunakan, karena

banyak fenomena alam yang tidak dapat secara langsung diamati oleh manusia

dengan panca inderanya tanpa menggunakan bantuan teknologi. Teknologi

diperlukan agar pengamatan dari panca indera dapat diperbesar hasilnya. Hammer

et al. (2006) menyatakan bahwa dalam kehidupan modern tidak ada lagi aspek

kehidupan manusia yang tidak terjamah oleh pengaruh sains dan teknologi,

sehingga terjadi interaksi antara sains dan teknologi. Sains dan teknologi saling

23
berpengaruh satu sama lainnya. Perkembangan teknologi dipicu oleh

perkembangan sains dan sebaliknya sains akan meningkatkan produktivitasnya

apabila teknologi dirasakan sudah tidak memenuhi kebutuhan yang diperlukan

oleh manusia.

B. HAKIKAT PENDIDIKAN IPA DI SEKOLAH DASAR

1. Landasan Pengembangan Pendidikan IPA di Sekolah Dasar

Secara formal pendidikan dimulai dari sekolah dasar, dengan demikian

dapat dikatakan bahwa pendidikan di Sekolah Dasar memegang peranan penting

dalam meletakkan fondasi bagi terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas.

Menurut Sukmadinata (2003), sekolah dasar sebagai satuan pendidikan memiliki

fungsi dalam menyiapkan lulusannya untuk mencapai tiga sasaran. Sasaran

pertama adalah pengembangan kepribadian siswa. Sebagai lembaga pendidikan

formal pertama, sekolah dasar berfungsi untuk memberikan dasar-dasar yang kuat

untuk pembentukan kepribadian, pengembangan fisik, sikap, moral, nilai, potensi

dan kemampuan dasar bagi pemenuhan kebutuhan, keamanan dan kesejahteraan

pribadinya. Sasaran kedua adalah pengembangan potensi dan kemampuan untuk

menjalin hubungan dalam masyarakat. Siswa sekolah dasar merupakan calon

warga masyarakat, namun sebenarnya sekarang mereka sudah menjadi warga

masyarakat anak-anak. Sebagai anak-anak, siswa sekolah dasar harus dapat

berinteraksi, menjalin hubungan dan kerja sama dengan sesamanya serta mampu

mematuhi aturan dan nilai-nilai yang ada dilingkungannya. Sasaran ketiga adalah

24
pengembangan potesi dan kemampuan untuk melanjutkan studi ke jenjang

selanjutnya. Dengan demikian sekolah dasar harus memberikan dasar-dasar

pengetahuan, kemampuan, keterampilan, motivasi bagi siswanya untuk

melanjutkan studi ke jenjang selanjutnya. Terlebih dengan disahkannya undang-

undang pendidikan, maka siswa wajib belajar selama 9 tahun. Dengan demikian

sekolah menengah pertama (SMP) merupakan jenjang yang wajib diikuti oleh

siswa setelah mereka menempuh pendidikan di sekolah dasar. Dengan ketiga

sasaran ini maka sekolah dasar dituntut untuk memberikan landasan yang kuat

dalam segi kognitif, afektif dan psikomotor. Hal ini diperlukan dalam memberikan

landasan yang kuat untuk selanjutnya diperkaya dan diperluas pada tahap

perkembangan berikutnya.

Sasaran-sasaran pendidikan dasar di atas, dapat dicapai dengan baik

apabila kompetensi yang ada pada diri peserta didik dapat dimunculkan secara

optimal melalui sistem pendidikan. Sukmadinata (2003) mengelompokkan lima

macam kompetensi yang harus dimiliki oleh manusia, yaitu: kompetensi dasar,

kompetensi umum, kompetensi akademis, kompetensi vokasional dan kompetensi

profesional. Siswa dalam usia sekolah dasar setidaknya dapat memiliki tiga

kompetensi dari lima kompetensi yang disebutkan di atas, yaitu kompetensi dasar,

kompetensi umum dan kompetensi akademis. Kompetensi dasar merupakan

kompetensi atau kecakapan awal yang perlu dikuasai anak untuk menguasai

kompetensi-kompetensi yang lebih tinggi. Berbicara, menulis, membaca dan

berhitung merupakan kompetensi dasar yang diajarkan mulai dari kelas satu

sebagai bekal untuk penguasaan kompetensi yang lebih tinggi di kelas berikutnya

25
terutama dalam memahami dan menguasai bidang studi yang diajarkan. Termasuk

ke dalam kompetensi dasar adalah kemampuan untuk menjaga dan memelihara

diri, berinteraksi dengan orang lain dan mengenal lingkungan. Kompetensi umum

merupakan penguasaan kecakapan, kemampuan yang diperlukan dalam kehidupan

di keluarga dan masyarakat sekitar (Sukmadinata, 2003). Contoh tindakan yang

termasuk ke dalam kecakapan umum untuk siswa sekolah dasar misalnya:

menyebrang di zebra cross; menghidupkan dan mematikan barang-barang

elektronik di rumah seperti misalnya televisi, radio, komputer dll; naik atau turun

dari kendaraan umum, merawat benda-benda miliknya sendiri; mengendarai

sepeda; menggunakan alat-alat telekomunikasi seperti telepon rumah, handphone

dan telepon umum. Kompetensi akademis merupakan kecakapan dan kemampuan

yang berkenaan dengan aplikasi konsep, prinsip dan pengetahuan dalam

kehidupan peserta didik. Dengan memiliki kecakapan akademis atau disebut pula

kemampuan operasional peserta didik tidak hanya tahu dan mengerti pengetahuan

yang terdiri dari konsep, prinsip atau hukum berbagai bidang studi yang mereka

pelajari (seperti misalnya: IPA, IPS, matematika, bahasa Indonesia dsb.), tetapi

lebih jauh dari itu, mereka dapat menerapkan atau menggunakannya dalam

kehidupan atau keseharian mereka. Peserta didik yang memiliki kompetensi

akademik misalnya dalam bidang IPA yang berkaitan dengan tekanan air dapat

menerapkan pengetahuannya untuk memindahkan benda-benda berat di darat dan

di air. Siswa yang memiliki kompetensi akademik dalam bidang bahasa Indonesia

yang berkaitan dengan menyusun kalimat, dapat berbicara dengan struktur yang

baik dan membuat karangan. Sukmadinana (2003) berpendapat bahwa kompetensi

26
akademis atau operasional pada siswa sekolah dasar masih bersifat umum,

terutama kompetensi yang berkaitan dengan keterampilan intelektual dan

keterampilan sosial.

Sejalan dengan pernyataan Sukmadinata, Parkay et al. (2006) menyatakan

bahwa pendidikan di sekolah dasar dikembangan untuk mencapai tujuan-tujuan

tertentu yang dirinci menjadi sebelas tujuan, yaitu: (1) Membantu peserta didik

mengembangkan rasa percaya diri dan percaya terhadap orang lain serta

meningkatkan keinginan untuk berinisiatif, (2) Mengenalkan organisasi dan

struktur tanpa menghalangi kreativitas dan ekspresi diri, (3) Mengembangkan

kecakapan sosial melalui belajar kelompok besar maupun kecil dan aktivitas

individu, (3) Membangun fisik peserta didik yang sehat, (4) Dalam pendidikan

dasar diajarkan hal-hal yang fundamental dalam aspek komunikasi dan

menghitung, (5) Membangun keinginan untuk belajar berbagai bidang pelajaran

dengan mengenalkan mereka terhadap beragam bidang pengetahuan,

(6) Mengembangkan rasa percaya diri dan memperoleh rasa aman dengan

menyediakan kesempatan pada setiap anak untuk mencapai kesuksesan,

(7) Menyediakan kesempatan bagi peserta didik untuk mengalami bagaimana

mencapai kepuasan, (8) Mengembangkan apresiasi terhadap hal-hal yang

berharga dan apresiasi terhadap perbedaan yang dimiliki setiap orang,

(9) Mengembangkan proses konseptualisasi, pemecahan masalah, pengarahan diri

dan berkreasi. (10) Membangun rasa peduli peserta didik terhadap lingkungan,

masyarakat lokal maupun global, masa depan dan kesejahteraan orang lain,

27
(11) Membantu peserta didik untuk memiliki dan mengembangankan nilai-nilai

moral.

Menurut England Parliament Office of Science and Technology (2003)

secara umum sasaran pendidikan IPA di sekolah dasar dikelompokkan dalam dua

kategori, yaitu: (1) Untuk menstimulasi rasa ingin tahu siswa tentang dunia di

sekitar mereka dan mendorong cara berpikir kritis serta berpikir kreatif, (2)

Menciptakan landasan bagi pembelajaran IPA di sekolah menengah. Untuk

memenuhi tujuan ini maka peserta didik selain perlu memperoleh pengetahuan

IPA, juga memiliki kemampuan menggunakan metode ilmiah yang meliputi:

mengidentifikasi pertanyaan yang dapat diajukan secara ilmiah, merencanakan

dan melakukan penelitian, mengevaluasi data dan mengenali keterbatasan dari

pekerjaan yang mereka lakukan dan yang dilakukan orang lain. Dengan demikian

maka pendidikan IPA yang dilangsungkan di sekolah dasar memiliki target tidak

hanya menekankan pada penguasaan konsep-konsep IPA tetapi juga

pengembangan metode ilmiah dan sikap ilmiah dalam memahami fenomena alam

sesuai dengan hakekat IPA. Dengan karakteristik tersebut, maka landasan

pengembangan pembelajaran IPA tidak dapat dipisahkan dari hakikat IPA, yaitu:

proses, produk, dan nilai.

National Science Education Standar (NSES, 1996) menyatakan bahwa

dalam belajar IPA, siswa diajak untuk mendeskripsikan objek, kejadian,

mengajukan pertanyaan, memperoleh pengetahuan, mengkonstruksikan

penjelasan tentang fenomena alam. Penjelasan-penjelasan tersebut dapat

dilakukan dengan berbagai cara yang kemudian dikomunikasikan pada orang lain.

28
Pembelajaran IPA merupakan “proses aktif” yang tidak hanya melibatkan

aktivitas mental (minds-on) tetapi juga melibatkan aktivitas fisik (hands-on).

Pembelajaran IPA harus melibatkan siswa dalam berinvestigasi melalui kegiatan

inkuiri, dimana siswa saling berinteraksi satu sama lainnya dan dengan guru.

Inkuiri didefinisikan dalam National Science Education Standards (NSES,

1996) sebagai berikut:

“…..Scientific inquiry refers to the diverse ways in which scientists


study the natural world and propose explanations based on the
evidence derived from their work. Inquiry also refers to the activities
of students in which they develop knowledge and understanding of
scientific ideas, as well as an understanding of how scientists study
the natural world”

Inkuiri merupakan cara dimana ilmuwan mempelajari fenomena alam dan

mencari penjelasan berdasarkan bukti-bukti yang mereka peroleh dari hasil kerja

mereka. Inkuiri dalam proses pembelajaran merupakan aktivitas siswa dimana

mereka mengembangkan pengetahuan dan pemahaman tentang ide-ide ilmiah

serta memahami bagaimana ilmuwan bekerja dalam mempelajari fenomena alam.

Siswa yang terlibat dalam kegiatan inkuiri, terlibat dengan aktivitas yang sama

sebagaimana halnya ilmuwan mengembangkan pengetahuan tentang fenomena

alam pada dunia nyata. Kegiatan inkuiri merupakan manifestasi dari sains sebagai

proses. Keterampilan inkuiri dilakukan oleh siswa dalam berbagai cara seperti

observasi, inferensi dan eksperimentasi yang melibatkan proses-proses sains dan

memerlukan pengetahuan ilmiah. Keterampilan inkuiri dikomunikasikan oleh

siswa dengan menggunakan penalaran ilmiah dan berpikir kritis untuk

mengembangkan penalaran tentang sains. Para siswa pada semua jenjang dan

29
dalam setiap ranah sains harus memiliki kesempatan untuk menggunakan inkuiri.

Inkuiri digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bertindak

dalam berbagai cara. Mengajukan pertanyaan, merencanakan dan melakukan

penyelidikan, menggunakan perangkat dan teknik yang tepat untuk

mengumpulkan data, berpikir kritis dan logis tentang hubungan diantara bukti-

bukti penjelasan, menyusun dan menganalisis penjelasan-penjelasan alternatif,

dan mengkomunikasikan argumen-argumen ilmiah merupakan keterampilan-

keterampilan yang digunakan ketika melakukan inkuiri.

Wetzel (2008) lebih lanjut mengungkapkan pentingnya proses inkuiri

sebagai landasan pengembangan pembelajaran IPA dalam setiap jenjang

pendidikan termasuk pendidikan di sekolah dasar. Menurut Wetzel pendidikan

IPA di sekolah dasar sangat diperlukan untuk meletakkan pondasi untuk mencapai

sukses dalam bidang IPA di masa yang akan datang. Bila dalam pembelajaran

IPA siswa hanya diajak untuk menghafal fakta-fakta saja maka akan

menghilangkan rasa keingintahuan siswa tentang alam dan lingkungannya. Selain

itu pembelajaran IPA di sekolah dasar harus bersifat menyenangkan dan menarik

bagi siswa. Apabila siswa diajak untuk terlibat lebih banyak dalam kegiatan ber-

IPA maka siswa akan mengambil manfaat yang lebih dibandingkan hanya sekedar

menghafal fakta-fakta. Dengan demikian pembelajaran IPA di sekolah dasar

melibatkan proses inkuiri, berpikir kritis, mengajukan pertanyaan, integrasi

dengan teknologi dan kegiatan-kegiatan lain yang menantang siswa (Wetzel,

2008).

30
Inkuiri merupakan aktivitas yang melibatkan keterampilan-keterampilan

dasar mengobservasi, membuat inferensi, mengklasifikasi, memprediksi,

berhipotesis dan berkomunikasi. Keterampilan-keterampilan tersebut dinamakan

sebagai keterampilan proses sains. Sehingga dapat dikatakan bahwa keterampilan

proses sains perlu dimiliki agar siswa dapat berinkuiri. Pentingnya keterampilan

proses sains (KPS) terutama pada pendidikan dasar dinyatakan oleh Rustaman

(2001) bahwa dalam pembelajaran IPA keterampilan-keterampilan proses sains

merupakan keterampilan-keterampilan yang digunakan saat mereka melakukan

inkuiri ilmiah. England Parliament Office of Science and Technology (2003)

menyatakan hal yang serupa bahwa dalam pembelajaran IPA, selain pengetahuan

terhadap konten IPA, siswa perlu memiliki kecakapan dalam berinkuiri yang

dibangun berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki siswa,

ketertarikan dan ide siswa yang berhubungan erat dengan konteks kehidupan

sehari-hari siswa untuk mendorong terjadinya diskusi. Landasan untuk memiliki

kecakapan ini tidak lain adalah keterampilan proses sains. Menurut Strawitz

(1993) dari penelitian yang dilakukan oleh Aiello et al. (1984), Jones (1983) dan

Lawrence (1975) diperoleh hasil bahwa kemampuan guru dalam menguasai

keterampilan proses sains berkaitan erat dengan pencapaian hasil belajar siswa

dan pengembangan kemampuan siswa untuk mengemukakan argumen. Lebih

lanjut Strawitz mengungkapkan bahwa kemampuan guru menggunakan

keterampilan proses sains dalam pembelajaran merupakan syarat utama bagi

penyiapan guru sains sekolah dasar. Dari pernyataan tersebut, maka dapat

31
disimpulkan bahwa keterampilan proses sains merupakan aspek penting dalam

pembelajaran IPA.

2. Tujuan Pendidikan IPA Sekolah Dasar

Suatu tujuan pendidikan ditetapkan untuk menentukan arah kegiatan

pendidikan yang dilaksanakan. Menurut Sandall & Barbara (2003) tujuan

pembelajaran IPA di sekolah dasar adalah membangun rasa ingin tahu siswa,

ketertarikan siswa tentang alam dan dirinya, dan menyediakan kesempatan untuk

mempraktekan metode ilmiah serta mengkomunikasikannya. Tujuan pendidikan

IPA di Indonesia dinyatakan dalam tujuan kurikuler mata pelajaran IPA Sekolah

Dasar yang dinyatakan dalam peraturan menteri (PERMEN) No. 22 tahun 2006

Tentang Standar Isi sebagai cakupan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan

dan teknologi.

“Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada


SD/MI/SDLB dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, dan
mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menanamkan
kebiasaan berpikir dan perilaku ilmiah yang kritis, kreatif dan mandiri”.

Tujuan kurikuler tersebut diuraikan secara rinci dalam lampiran standar isi

PERMEN No. 22 tahun 2006. Berdasarkan PERMEN No. 22 tahun 2006 mata

Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan

sebagai berikut: a) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha

Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya; b)

Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang

bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari; c)

32
Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang adanya

hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan

masyarakat; d) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam

sekitar memecahkan masalah dan membuat keputusan; e) Meningkatkan

kesadaran untuk berperan dalam memelihara, menjaga dan melestarikan

lingkungan alam; f) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala

keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan; g) Memperoleh bekal

pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan

pendidikan ke SMP/MTs. Dengan melihat rumusan tujuan yang tertuang dalam

PERMEN No.22 tahun 2006, maka dapat dikatakan bahwa tujuan pembelajaran

IPA di Sekolah Dasar mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Hal ini

menunjukkan bahwa pembelajaran IPA di Sekolah Dasar bedasarkan PERMEN

No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi mengandung ketiga unsur hakikat

pembelajaran IPA, yaitu sebagai proses, produk dan nilai.

Tujuan yang tertuang dalam PERMEN No. 22 tahun 2006 tentang Standar

Isi dirumuskan untuk mencapai kompetensi lulusan yang memiliki kemampuan

sebagai berikut: a) Dapat melakukan pengamatan terhadap gejala alam dan

menceritakan hasil pengamatannya secara lisan dan tertulis; b) Memahami

penggolongan hewan dan tumbuhan, serta manfaat hewan dan tumbuhan bagi

manusia, upaya pelestariannya dan interaksi antara mahluk hidup dengan

lingkungannya; c) Memahami bagian-bagian tubuh pada manusia, hewan dan

tumbuhan serta fungsinya dan perubahan pada makhluk hidup; d) Memahami

beragam sifat benda hubungannya dengan penyusunnya, perubahan wujud benda

33
dan kegunaanya; e) Memahami berbagai bentuk energi, perubahan dan

kemanfaatnya; f) Memahami matahari sebagai pusat tata surya, kenampakan dan

perubahan permukaan bumi dan hubungan peristiwa alam dengan kegiatan

manusia (PERMEN No. 23 Tahun 2006).

Pentingnya rumusan tujuan pembelajaran juga dinyatakan oleh National

Science Eductaion Standard (NSES, 1996). Menurut NSES aspek yang paling

penting dalam penyelenggaraan IPA adalah dirumuskannya tujuan. Tujuan

tersebut dapat bersifat jangka pendek ataupun jangka panjang. Tugas guru adalah

mengelaborasikan standar yang telah ditentukan ke dalam tujuan jangka pendek

maupun jangka panjang dalam setiap pembelajaran yang dilangsungkannya.

Tujuan jangka pendek dan jangka panjang pembelajaran yang dirumuskan

tersebut selain mengacu pada standar, juga mengacu pada misi pembelajaran yang

ditetapkan oleh sekolah, tujuan pendidikan yang dirumuskan oleh negara dan

pengalaman serta ketertarikan siswa secara individual maupun sebagai kelompok.

Menurut Tytler (2005), tujuan pembelajaran IPA di berbagai jenjang

pendidikan termasuk pendidikan di sekolah dasar lebih diarahkan pada perspektif

mengembangkan scientific literacy (melek sains). Berbagai hasil penelitian dalam

bidang pendidikan IPA menyatakan bahwa sains sebagai suatu ilmu merupakan

campuran bahasa yang melibatkan penggunaan berbagai macam bentuk

penyajian, dimana model-model bahasa, angka-angka, grafik dan bentuk-bentuk

tabel terintegrasi untuk menyajikan penjelasan ilmiah (Lemke, 2004; Russel &

Mc.Guigan, 2001). Penggunaan-penggunaan model tersebut adalah representasi

dari melek sains. Hal ini berimbas terhadap pemahaman bahwa pembelajaran

34
sains yang efektif melibatkan pemahaman representasi yang berbeda terhadap

sains sebagai proses dan sains sebagai konsep. Untuk mengembangkan siswa

terhadap melek sains siswa perlu menginterpretasikan dan mengkonstruk teks-teks

sains seperti tabel, grafik, diagram dan laporan ilmiah (Norris & Philip, 2003

dalam Tytler: 2005). Siswa sekolah dasar harus dikenalkan pada berbagai macam

model representasi dari konsep-konsep sains dan memahami, menerjemahkan

serta menghubungkan representasi-representasi tersebut sebagai bagian dari

pembelajaran terhadap hakikat pengetahuan sains, inkuiri dan pelaporan ilmiah.

Dari penelitiannya Tytler (2005) berkesimpulan bahwa dengan tujuan utama dari

pembelajaran sains sekolah dasar yaitu scientific literacy (melek sains), maka

fokus pembelajaran sains di sekolah dasar lebih dari sekedar pengembangan aspek

kognitif siswa.

Pendapat tentang pentingnya scientifc literacy dikemukakan pula oleh

National Standard Teacher Association (NSTA, 2008). Dalam Science for all:

Including Each Student (NSTA: 2008), dikemukakan bahwa tema utama dalam

National Science Education Standard (NSES) adalah bahwa sains harus

diperuntukan bagi semua siswa. Semua siswa yang belajar sains pada semua

jenjang pendidikan termasuk pendidikan dasar harus memiliki kesempatan untuk

memperoleh scientific literacy level tinggi tanpa memperdulikan warna kulit,

gender atau apakah orang yang cacat atau normal. Hal ini dikarenakan bahwa

pada masa sekarang kita telah memasuki masyarakat teknologi. Dalam

masyarakat teknologi dibutuhkan orang-orang yang mampu bertindak sebagai

berpikir ilmiah (science thinker) dan mampu mengambil keputusan secara tepat.

35
3. Isi Kurikulum IPA di Sekolah Dasar

Sebelum berbicara tentang isi kurikulum, terlebih dahulu akan dikaji

tentang pengertian dari kurikulum menurut beberapa ahli. Istilah kurikulum

seringkali dimaknai secara berbeda oleh para praktisi, teoritis ataupun peneliti.

Tyler (1934) dan Taba (1962) mempersepsikan kurikulum sebagai rencana

program pengajaran atau rancangan pembelajaran di kelas. Kurikulum diartikan

pula sebagai pengalaman atau kegiatan belajar siswa dibawah arahan program

yang dikembangkan oleh sekolah (Parkay et al., 2006). Zais (1934) memaknai

kurikulum sebagai daftar atau kumpulan mata pelajaran yang akan dipelajari oleh

siswa. Kurikulum sering pula dimaknai sebagai seperangkat rencana dan

pengaturan tujuan, isi, bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai

pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran (UU RI Nomor 23 Tahun

2003). Miller & Seller (1985) mempersepsikan kurikulum sebagai seperangkat

interaksi yang didesain baik secara eksplisit atau implisit untuk memfasilitasi

pembelajaran dan pengalaman siswa. Interaksi tersebut, terjadi antara siswa

dengan guru, siswa dengan siswa, siswa dengan materi pelajaran, siswa dengan

alat bantu dan media pembelajaran yang digunakan. Miller & Seller (1985) juga

mengungkapkan bahwa interaksi dapat terjadi pada level permukaan maupun

level yang lebih dalam. Pada level permukaan siswa menyerap pelajaran dari

buku. Pada level yang lebih dalam interaksi terjadi antara guru dan siswa ketika

berhadapan dengan masalah baru dan bersama-sama memecahkan permasalahan

yang dihadapi. Sedangkan pada level yang lebih dalam lagi siswa terlibat dalam

36
kegiatan percobaan, pada level ini teradi interaksi yang bersifat saling

menguntungkan antara siswa dengan guru. Zais (1976) mengemukakan bahwa

kurikulum terdiri dari komponen tujuan, materi pelajaran, pengalaman belajar dan

evaluasi.

Isi kurikulum juga didefinisikan secara beragam oleh para ahli. Saylor dan

Alexander (1996) mendefinisikan isi kurikulum dalam cakupan yang luas, tapi

dinilai dapat menggambarkan konsep tentang isi kurikulum. Menurut Saylor dan

Alexander (1966) isi kurikulum adalah:

“fakta, observasi, persepsi, ketajaman, sensibilitas, desain, dan solusi


yang tergambarkan dari apa yang difikiran oleh seseorang yang secara
keseluruhan diperoleh dari pengalaman dan semua itu merupakan
komponen yang menyusun fikiran yang mereorganisasi dan menyusun
kembali hasil dari pengalaman tersebut kedalam adat dan pengetahuan,
ide, konsep, generalisasi, prisip, rencana dan solusi”

Definisi lain tentang konsep isi kurikulum dikemukakan oleh Hyman (1973) yang

juga bersifat luas. Bila aspek skills (proses) dan affects (nilai) dihilangkan, maka

pengertian dari isi kurikulum yang dikemukakan Hyman tidak berbeda dengan

yang apa dikemukakan oleh Saylor dan Alexander. Menurut Hyman (1973), isi

kurikulum adalah:

‘”pengetahuan (yaitu fakta, penjelasan, prinsip, definisi), skills dan


process (yaitu membaca, menulis, menghitung, dansa, membuat keputusan
berlandaskan cara berpikir kritis, menkomunikasikan), dan nilai (yaitu
percaya terhadap hal-hal yang baik dan buruk, benar dan salah, indah
dan jelek)”

Zais (2006) setuju dengan pendapat para ahli di atas, bahwa isi kurikulum

mengandung tiga elemen, yaitu: pengetahuan, proses dan nilai yang ketiganya

tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan pemikiran

37
tersebut, maka para penyusun kurikulum harus mempertimbangkan untuk

memasukkan ketiga elemen tersebut dalam konstruksi kurikulum. Dari pengertian

tentang isi kurikulum, dapat dikatakan bahwa isi kurikulum IPA merupakan topik-

topik yang berisi fakta, konsep dan hukum yang harus dipelajari dalam IPA,

pengalaman dan keterampilan serta nilai-nilai yang harus diperoleh dan dimiliki

siswa pada saat siswa mempelajari IPA. Hal ini mengandung arti bahwa isi

kurikulum IPA tidak selalu difokuskan pada aspek pengetahuan tetapi juga pada

proses bagaimana pengetahuan tersebut dikonstruksi.

Amerika Serikat, Jepang, Australia dan Indonesia adalah negara-negara

yang menganut kurikulum berbasis standar atau standard based curriculum

Dalam standard based curriculum, pencapaian dinyatakan oleh standar. Masing-

masing negara merumuskan standar dengan cara yang berbeda. Misalnya di

Amerika Serikat terdapat dua standar, yaitu content standard dan performance

standard. Content standard berisi standar-standar untuk pencapaian konten IPA

dan performance standard merupakan standar yang harus dicapai guru dalam

proses pembelajaran untuk mengkonstruksi suatu konten.

National Standard Teacher Association (NSTA, 2003) mengelompokkan

kurikulum pendidikan IPA untuk negara Amerika Serikat ke dalam delapan

kelompok, yaitu: 1) IPA sebagai paduan antara konsep dan proses (standar ini

ditentukan untuk mengembangkan gagasan siswa dalam memahami alam

semesta), 2) IPA sebagai inkuiri (standar ini ditetapkan untuk mengembangkan

kecakapan-kecakapan siswa, misalnya dalam mengobservasi, menginferensi dan

bereksperimentasi sebagai realisasi dari IPA sebagai proses), 3) Fisika (physical

38
sciences), 4) Biologi dan kimia (life sciences), 5) Ilmu bumi dan antariksa (earth

and space science). Standar 3, 4, 5 dan 6 merupakan isi materi yang berfokus

pada fakta, konsep, prinsip, teori dan model yang penting untuk diketahui,

dipahami dan digunakan oleh siswa 6) Sains dan teknologi, 7) Sains dalam

pandangan personal dan sosial. Standar 6 dan 7 dirumuskan untuk

mengembangkan kecakapan siswa dalam mengambil keputusan 8) Sejarah dan

hakekat IPA (standar ini dirumuskan agar siswa memahami sejarah yang berisi

nilai-nilai tentang segala sesuatu yang sedang terjadi di alam dapat mengubah

keadaan alam semesta).

Dalam revisi Science for Teacher Preparation tahun 2003 NSTA

kurikulum IPA yang terdiri dari delapan kelompok direduksi menjadi lima

kelompok, yang terdiri dari: 1) IPA terpadu, 2) Biologi, 3) Fisika, 4) Ilmu bumi

dan antariksa dan 5) IPA sebagai pandangan interdisiplin, dan 6) IPA sebagai

subjek yang penting untuk dipelajari peserta didik. Sementara England

Parliament Office of Science and Technology (2003) di Inggris menetapkan

bahwa kurikulum IPA untuk usia 5 – 11 terdiri dari tiga area pengetahuan, yaitu:

(1) Proses-proses kehidupan dan makhluk hidup, yang meliputi kesehatan

manusia dan nutrisi, nutrisi untuk tumbuhan, klasifikasi hewan dan tumbuhan,

habitat hewan dan tumbuhan, (2) Materi dan penyusunnya, yang meliputi

bagaimana materi dapat digunakan, bagaimana materi dapat berubah

(pembakaran, pembekuan dan perebusan), dan bagaimana materi-materi tersebut

dicampurkan dan dipisahkan, (3) Proses-proses fisika yang meliputi sirkuit listrik,

usaha, bagaimana suara dan cahaya merambat serta astronomi.

39
Rumusan standar yang serupa dengan Amerika Serikat dikembangkan pula

di Australia dengan istilah yang berbeda. Standar pencapaian pembelajaran sains

di Australia dielaborasikan ke dalam dua aspek, yaitu science knowledge and

understanding (pemahaman dan pengetahuan sains) serta science at work (kerja

dalam sains). Contoh dari standar pembelajaran sains Australia tertera pada tabel

2.1.

Tabel 2.1
Science Learning Standar Negera Bagian Victoria

Grade 4 (Kelas 4)

Tujuan umum pembelajaran science di kelas empat adalah:


· Mengembangkan pengetahuan secara sistematis tentang IPA dan konsep IPA
yang diambil dari bidang biologi, kimia, fisika, lingkungan, serta bumi dan
antariksa
· Mengekplorasi konsep tentang hubungan (misalnya rantai makanan dalam
suatu lingkungan, kejadian (misalnya perubahan benda secara kimia dan
fisika)
· Mengeksplorasi model (misalnya susunan planet dalam sistem tata surya),
dan sistem (misalnya sistem yang terjadi di dalam tubuh manusia seperti
sistem pencernaan, peredaran darah, sistem rangka yang satu sama lain saling
berhubungan membentuk sistem kehidupan dalam tubuh manusia).
Science knowledge and understanding Science at work
· Menjelaskan karakteristik dari · Menganalisis sains yang
perubahan secara kimia dan fisika berhubungan dengan isu-isu lokal
· Menjelaskan macam-macam dan sosial dan menjelaskan
perubahan dari materi yang hubungan sains dengan kehidupan
sebelumnya telah mereka ketahui mereka dan kehidupan orang lain
· Menerapkan model dan sistem · Mendisain percobaan sederhana
secara tepat untuk menunjukkan untuk mengumpulkan data dan
kompleksitas struktur dan hubungan mengambil kesimpulan
antar struktur yang mencakup: tubuh · Menjelaskan tujuan dari eksperimen
manusia dan fungsi-fungsi (sistem) yang mereka lakukan dan
yang ada di dalamnya menghubungkan tujuan mereka
· Menjelaskan hubungan antar sistem dengan sifat data yang mereka
yang ada dengan lingkungan kumpulkan
· Menjelaskan bagaimana bumi dan · Menggunakan diagram dan simbol
bulan berperan sebagai sistem yang untuk menjelaskan prosedur yang
sederhana di dalam sistem yang digunakan ketika mereka melaprkan
hasil penyelidikan mereka

40
lebih besar yaitu sistem tata surya · Menggumpulkan data secara
· Secara kualitatif siswa diminta untuk sitematis, menganalisis data secara
mendeskripsikan perubahan gerak kualitatif dalam hubungannya
yang dihubungkan dengan dengan kesalahan dan pengukuran
keberadaan usaha · Menggunakan bebagai macam atau
alat ukur dan bahan-bahan sederhana
dan menunjukkan tanggung jawab
dalam menggunakan alat-alat
tersebut
· Menggunakan istilah hubungan dan
sebab ketika mereka mendiskusikan
dan menarik kesimpulan dari data
yang mereka kumpulkan
· Mendisain dan membuat model
sederhana dan menuliskan
konstribusi sains sebagai titik sentral
untuk menjelaskan model yang
mereka buat.
· Menjelaskan kontribusi yang telah
diberikan oleh ilmuwan Australia
untuk mengembangkan dan
mengubah pengetahuan sains
Grade 5 (Kelas 5)

Tujuan umum:
· Mengembangkan pengetahuan tentang sains dengan memasukan konsep-
konsep yang bersifat abstrak, teori, prinsip dan model yang diambil dari
biologi, kimia, ilmu bumi, lingkungan, fisika dan antariksa.
· Menerapkan situasi tertentu seperti misalnya perupahan kecepatan reaksi
kimia, menggunakan sistem gigi untuk mendemonstrasikan hubungan antara
usaha dan energi, memodelkan gempa bumi sebagai contoh proses geologi
dan menghubungkan faktor-faktor yang diperlukan untuk memperoleh
keseimbangan alam agar spesies dapat mempertahankan hidup.
· Mengembangkan pemahaman mereka sebagai organisme yang tersusun dari
sel-sel yang berbeda dan sistem-sistem yang berkerja sama.
· Mengeksplorasi bagaimana metode ilmiah mengarahkan pada penemuan
tentang pengetahuan yang baru dan memahami.
· Mengembangkan pemahaman mereka melalui penggunaan ide-ide sains (teori,
hukum, prinsip dan model) yang diterapkan pada situasi tertentu.
· Membuat disain penelitian dengan memanipulasi kontrol dan menampilkan
data dalam bentuk yang sesuai seperti misalnya diagram, simbol atau
rangkuman sebuah prosedur dan melaporkan hasil penelitiannya dalam
berbagai macam bentuk format.
· Menggunakan bebagai macam alat seperti misalnya model-model dalam
komputer, gambar dan simulasi untuk menjelaskan dan menginterpretasikan

41
observasi yang mereka lakukan.
· Menunjukan tanggung jawab atas keselamatan kerja dan perilaku yang sesuai
dengan etika ketika melangsungkan penelitian yang menggunakan peralatan
standar dan bahan-bahan kimia.
· Menunjukan tanggung jawab terhadap pemilihan pengunaan benda ataupun
setelah benda tersebut selesai digunakan.
Science knowledge and understanding Science at work
· Menggunakan model untuk · Mendemonstrasikan teknik
menjelaskan struktur dan penyusun penggunaan peralatan dan bahan
suatu benda, reaksi kimia dan faktor kimia secara aman dan menyiapkan
yang mempengaruhi kecepatan prosedur untuk melangsungkan
reaksi kimia. percobaan.
· Menjelaskan struktur dan fungsi sel · Mendesain investigasi yang
dan bagaimana sel yang berbeda- melibatkan pengukuran, penggunaan
beda bekerja sama. peralatan dan perlengkapan
· Menjelaskan masa lampau dan masa laboratorium serta metode untuk
kini, sistem dalam makhluk hidup meningkatkan ketepatan dalam
dan makhluk tak hidup serta pengukuran.
pengaruh manusia terhadap sistem- · Melakukan observasi secara
sistem tersebut. sistematis dan mencatat data sesuai
· Menganalisis apa yang diperlukan dengan tujuan. Menilai ketepatan
oleh makhluk hidup untuk bertahan pemilihan peralatan dan ketepatan
hidup dan beradaptasi di jaman pengukuran, mengomentari
sekarang dan masa yang akan realibilitas prosedur yang digunakan
datang. dan kesimpulan diambil berdasarkan
· Menjelaskan bagaimana karaktersitik hasil uji terhadap hipotesis yang
makhluk hidup yang dapat diamati diajukan.
digunakan untuk menentukan · Menggunakan simbol dan diagram
pengelompokan mahluk hidup. yang sesuai ketika mereka
· Menggunakan contoh-contoh mesin melaporkan hasil investigasi mereka.
yang digunakan sehari-hari, · Menggunakan model dan gambar
peralatan dan perlengkapan untuk dari software komputer untuk
menunjukan bagaimana model- menginterpretasi dan menjelaskan
model termodinamika menjelaskan hasil observasinya.
energi dan perubahan energi serta · Mendemonstrasikan prosedur dasar
hubungan antara usaha dan gerak. penggunaan sampling dan
· Menggunakan skala waktu untuk merepresentasikan hubungan yang
menjelaskan bagaimana bumi terjadi dalam ekosistem dalam
berubah dan dimana letak bumi bentuk grafik.
dalam susunan tata surya. · Menggunakan simulasi untuk
· Membedakan ide-ide tentang alam memprediksikan pengaruh perubahan
semesta yang disasari oleh sains dan terhadap ekosistem.
yang tidak didasari oleh sains. · Bekerja secara efektif dalam
· Menggunakan model-model fisik kelompok, menggunakan ide-ide
dan teoritis untuk menginvestigasi sains untuk membuat model sebuah

42
proses geologi alat.
· Mengidentifikasi, menganalisis dan
mengajukan pertanyaan terhadap
pertanyaan-pertanyaan mereka
sendiri yang berhubugan dengan ide-
ide sains atau isu-isu menarik
(Sumber: Victorian Curriculum and Assessment Authority, 2005: 15).

Dari Tabel 2.1 dapat dilihat bahwa isi pembelajaran IPA di negara bagian

Victoria untuk siswa kelas 4 dan 5 yang dirumuskan dalam standar mencakup

aspek proses, produk, nilai serta teknologi yang terkandung dalam sains yang

berhubungan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Dalam pembelajaran yang

dilangsungkan di negara bagian Victoria, konsep-konsep IPA tidak dipelajari

sebagai konsep yang hanya dihafal tetapi bagaimana konsep tersebut

dikembangkan melalui aktivitas berinkuiri yang melibatkan penggunaan alat,

pengumpulan data dan pengambilan kesimpulan. Konsep-konsep sains yang

dipelajari oleh siswa kelas 4 dan kelas 5 merupakan konsep yang berinteraksi

dengan konteks sosial berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari siswa.

Jepang merumuskan standar untuk pembelajaran dalam bentuk tujuan

(objectives), sehingga rumusannya lebih operasional. Tujuan umum yang

dirumuskan dalam Kurikulum Standar Kurikulum Nasional Jepang adalah:

“ To enable students to take an active interest in natural things and


phenomena, and carry out observation and experiments with a sense
of purpose, while also fostering foundation for the ability to
perform investigations scientifically and positive attitude for doing
so. To enable students to deepen understanding to natural things
and phenomena, and to cultivate scientific ways of looking and
ways of thinking” (Kumano, 2009).

43
Rumusan tujuan dalam standar kurikulum nasional Jepang secara eksplisit

menyatakan pentingnya observasi, investigasi dan eksperimentasi dalam

pembelajaran IPA yang ditujukan untuk meningkatkan ketertarikan siswa

terhadap alam dan fenomena atau gejala-gejala yang terjadi di alam. Perubahan

kebijakan untuk merumuskan standar baru di Jepang didasari oleh hasil dari

TIMSS dan PISA dimana pembelajaran sains di Jepang memiliki nilai yang

rendah pada aspek menerapkan pengetahuan yang diperoleh dalam mata pelajaran

IPA dalam kehidupan sehari-hari siswa. Standar pendidikan IPA di Jepang

menetapkan aktivitas observasi, investigasi dan eksperimentasi diperlukan untuk

meningkatkan pemahaman siswa terhadap alam dan gejala yang terjadi di alam

serta meningkatkan cara berpikir dan cara pandang terhadap alam.

Indonesia merumuskan standar dengan cara yang berbeda dari negara-

negara Amerika Serikat, Jepang dan Australia. Standar yang dirumuskan tidak

memisahkan antara standar isi dan standar proses. Standar dirumuskan untuk

pencapaian kompetensi pada setiap materi yang dipelajari siswa. Standar-standar

tersebut tertuang dalam dalam Peraturan Menteri yang disingkat PERMEN, yaitu

PERMEN No.22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. Dalam PERMEN 22 tahun

2006 dirumuskan ruang lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-

aspek berikut: 1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan,

tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan; 2) Benda/materi,

sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas; 3) Energi dan

perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat

sederhana; 4) Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan

44
benda-benda langit lainnya. Keempat ruang lingkup tersebut dijabarkan menjadi

standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa mulai dari

kelas 1 sampai kelas 6.

Standar Kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik untuk

pembelajaran IPA di kelas 4 dan 5 tertera pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2
Standar Kompetensi Pembelajaran IPA di Kelas 4 dan Kelas 5

NO Ruang Lingkup Kajian Rumusan Standar Kompetensi


Kelas 4
1. Mahluk hidup dan 1) Memahami hubungan antara struktur organ
proses kehidupan tubuh manusia dengan fungsinya, serta
pemeliharaannya
2) Memahami hubungan antara struktur bagian
tumbuhan dengan fungsinya
3) menggolongkan hewan berdasarkan jenis
makanannya,
4) Memahami daur hidup beragam jenis mahluk
hidup,
5) Memahami hubungan sesama mahluk hidup
dan antara mahluk hidup dengan
lingkungannya
2. Benda dan sifatnya Memahami beragam sifat dan perubahan wujud
benda serta berbagai cara penggunaan benda
berdasarkan sifatnya
3. Materi energi dan 1) Memahami gaya dapat mengubah gerak
perubahannya dan/atau bentuk suatu benda,
2) Memahami berbagai bentuk energi dan cara
penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari
4. Bumi dan alam semesta 1) Memahami perubahan kenampakan
permukaan bumi dan benda langit
2) Memahami perubahan lingkungan fisik dan
pengaruhnya terhadap daratan
3) Memahami hubungan antara sumber daya
alam dengan lingkungan, teknologi dan
masyarakat
Kelas 5
1 Makhluk hidup dan 1) Mengidentifikasi fungsi organ tubuh manusia
proses kehidupan dan hewan

45
2) Memahami cara tumbuhan hijau membuat
makanan
3) Mengidentifikasi cara makhluk hidup
menyesuaikan diri dengan lingkungan
2. Benda dan sifatnya Memahami hubungan antara sifat bahan dengan
penyusunnya dan perubahan sifat benda sebagai
hasil suatu proses
3. Energi dan 1) Memahami hubungan antara gaya, gerak, dan
perubahannya energi serta fungsinya
2) Menerapkan sifat-sifat cahaya melalui
kegiatan membuat suatu karya atau model
Bumi dan alam semesta Memahami perubahan yang terjadi di alam dan
hubungannya dengan penggunaan sumber daya
alam

(Sumber: PERMEN No. 22 tahun 2006).

Hasan (2009) mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum berbasis

standar seperti halnya yang dianut oleh kurikulum tingkat satuan pendidikan

(KTSP) terdiri dari dua jenjang, yaitu jenjang nasional dan jenjang satuan

pendidikan. Hubungan antar kedua jenjang tersebut digambarkan sebagai berikut:

Kualitas Kualitas
J
E kehidupan kehidupan
N masyarakat masyarakat
J masa depan masa kini
A
N
G

N Kualitas yang
A Evaluasi harus E
S dikembangkan
I V
O A
N
A L
L U
Standar Isi Standar Kompetensi A
Lulusan
S
I
S P
A E Masyarakat
T N Kurikulum
U D
A I Tingkat
N D Satuan Gambar 2.1
I Diagram Kebijakan
K Pendidikan
A Pengembangan KTSP (Hasan,
N 2009)

46
Gambar 2.1 menggambarkan keseluruhan proses pengembangan

kurikulum. Patokan pengembangan kurikulum di Indonesia yang merupakan

bagian-bagian yang dianggap penting secara nasional ditentukan secara nasional,

yang dimuat dalam PERMEN No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi (SI) dan

PERMEN No 23 Tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Standar tersebut

bukan kurikulum, tetapi merupakan bagian penting dari pengembangan suatu

kurikulum (Hasan, 2009). Dari diagram pengembangan kebijakan KTSP yang

digambarkan oleh Hasan (2009) dapat disimpulkan bahwa memahami pokok-

pokok pikiran yang dirumuskan dalam SI dan SKL oleh para pengembang

kurikulum yaitu guru, merupakan suatu hal yang kritikal dalam menentukan

keberhasilan pengembangan dokumen dan impelentasi KTSP. Lebih lanjut Hasan

(2009) mengungkapkan bahwa tanpa pemahaman yang baik mengenai ide

kurikulum yang dikembangkan di tingkat nasional, maka sangat besar

kemungkinan KTSP yang dikembangkan tidak sesaui dengan pemikiran para

pengembang kurikulum.

Bila dibandingkan antara rumusan standar yang dilkembangkan oleh

science learning standard negara bagian Victoria dan rumusan standar Jepang,

rumusan standar isi dalam PERMEN 22 Tahun 2006 Tentang standar Isi dan

standar kompetensi lulusan dalam PERMEN 23 Tahun 2006 Tentang Standar

Kompetensi Lulusan, maka terdapat perbedaan antara standar yang dikembangkan

di Negara Indonesia dengan standar-standar yang dikembangkan oleh Amerika

Serikat, Jepang dan Australia. Standar-standar di Negara-negara tersebut secara

eksplisit merumuskan sains sebagai produk, proses, dan nilai. Sedangkan standar

47
yang dirumuskan di Indonesia dalam PERMEN NO. 22 dan NO. 23 sifatnya

masih global atau umum, menggunakan kata memahami. Dengan mengacu pada

pendapat di atas dan pernyataan yang dikemukakan oleh Hasan (2009), maka

dapat disimpulkan bahwa kunci keberhasilan pengembangan KTSP adalah

kemampuan guru dalam mengelaborasikan standar kompetensi dan kompetensi

dasar yang rumusannya masih bersifat umum menjadi rumusan-rumusan tujuan

yang lebih objektif.

4. Strategi Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar

Setiap siswa merupakan individu yang memiliki karakteristik tertentu yang

sifatnya khusus dan unik. Secara garis besar karakteristik siswa dapat dibedakan

menjadi karakteristik yang berkaitan dengan aspek fisik dan psikis yang keduanya

saling mempengaruhi satu sama lain (Sukmadinata, 2004). Siswa di sekolah dasar

ditandai dengan karakteristik secara fisik yang senantiasa mengalami

perkembangan. Dengan demikian, salah satu fungsi pembelajaran si sekolah dasar

adalah membantu siswa untuk untuk mencapi perkembangan yang optimal.

Dalam segi psikis, perkembangan siswa dapat terjadi dalam berbagai

macam aspek, yaitu: perkembangan aspek kognitif, perkembangan aspek sosial

dan kemandirian, perkembangan dalam hal erotis (rangsangan seksual),

perkembangan dalam hal motivasi dan perkembangan dalam segi moral. Menurut

Boyd (1996) pembelajaran di sekolah dasar hendaknya dilangsungkan selaras

dengan karakteristik perkembangan siswa baik yang ditinjau dari empat aspek

perkembangan yang telah disebutkan di atas.

48
Perkembangan aspek kognitif yang banyak diacu dalam pendidikan adalah

perkembangan yang digagaskan oleh Piaget. Piaget (1980) menyatakan bahwa

tahapan perkembangan individu terjadi dalam empat tahap, yaitu: 1) Tahap

sensori motor (usia 0-2 tahun). Pada tahap ini anak berpikir melalui proses

penginderaan, melihat, mendengar, meraba, mencium, dan mengecap; 2) Tahap

pra-operasional (usia 2-7 tahun). Pada tahap ini pemikiran anak masih dalam taraf

pra konsep dan masih banyak terkait dengan intuisi serta fantasi; 3) Tahap

operasional konkrit (usia 7 – 11 tahun). Dalam tahap ini anak sudah mampu

berpikir secara logis namun masih terkait dengan hal-hal konkrit; dan 4) Tahap

operasional formal (usia 11 tahun ke atas). Pada tahap ini anak sudah mencapai

tahap berpikir tingkat tinggi, analisis-sintesis, evaluasi, pemecahan masalah dll.

Perkembangan aspek sosial dan kemandirian dikemukakan oleh Erickson

(2002). Erickson menyatakan bahwa anak pada usia 0-1 tahun telah memiliki

kemampuan untuk mempercayai dan tidak mempercayai lingkungan (trust Vs

mistrust). Pada usia 1-3 tahun anak telah memiliki rasa otonomi dan rasa malu

(autonomy Vs shame). Pada usia 3-6 tahun anak telah memiliki kemampuan untuk

berinisiatip walaupun masih disertai rasa bersalah (initiative Vs guilt). Usia 6 – 12

tahun anak sudah mampu menghasilkan suatu karya tetapi masih disertai dengan

rasa rendah diri terhadap hasil karya yang dihasilkannya (industry Vs inferiority).

Usia 12 – 18 tahun anak memasuki masa remaja, mereka telah memiliki identitas

diri meskipun masih disertai kebimbangan akan peran dirinya (identity Vs role

confusion).

49
Freud (1990) membagi tahap perkembangan segi erotis menjadi lima

tahap, yaitu: 1) Oral stage (usia 0-2 tahun). Pada tahap ini rangsangan berpusat

disekitar mulutnya; 2) Anal stage (usia 2-4 tahun). Pada tahap ini anak merasa

puas terhadap apa yang dikeluarkan melalui anusnya, 3) Phalic stage (usia 4 – 6

tahun). Pada usia ini rangsangan berpusat di sekitar kelaminnya; 4) Latency stage

(usia 6 – 12 tahun). Pada tahap ini dorongan erotis tidak nampak karena

tersembunyi oleh kegiatan fisik dan motorik yang sangat aktif; dan 5) Genital

stage (usia 12 tahun ke atas) dimana anak sudah memperlihatkan dorongan

seksual yang sesungguhnya.

Tahap perkembangan dalam segi moral dikemukakan oleh Kohlberg

(1975). Kohlberg membedakan tahap perkembangan segi moral menjadi 3 tahap

dengan tidak menentukan periode tahapan usia. Tahap-tahap tersebut adalah:

1) Prakonvensi, yang dibedakan dalam dua tingkat yaitu mencari hukuman

(obedience and punishment) serta mencari keuntungan pribadi (naively egoistic

orientation). Pada tahap ini anak berbuat baik karena menginginkan ganjaran atau

menghindari hukuman, atau memperoleh imbalan dan keuntungan bagi dirinya;

2) Konvensi, yang dibedakan dalam dua tingkat yaitu mencari hukuman

(obedience and konvensi terdiri dari tiga tingkat, yaitu: Good boy-nice girl

orientation, respect for authority, social order. Pada tahap ini anak berbuat baik

karena ingin pujian dan mematuhi peraturan yang berlaku; 3) Pasca Konvensi,

terdiri dari dua tahap, yaitu : contextual legalistic orientation (mematuhi nilai

yang tidak tertulis) dan conscience orientation (kata hati). Pada tahap ini anak

50
berbuat baik karena sesuai dengan nilai-nilai tidak tertulis yang ada di masyarakat,

mengikuti katahatinya, dan berbuat baik tanpa pamrih.

Selanjutnya perkembangan motivasi dikemukakan oleh Maslow (1943)

yang membedakan tahap perkembangan aspek moral menjadi lima tahapan, yaitu:

1) Physiological needs, yang merupakan motif paling dasar dimana orang berbuat

untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya; 2) Safety needs atau motif pengamanan

dimana orang berbuat untuk mencari rasa aman, menghindari ancaman dan

gangguan; 3) Love and belonging needs atau motif kasih sayang dan

persahabatan, dimana orang berbuat baik untuk mendapatkan kasih sayang dan

membina persahabatan dengan yang lain; 4) Esteem needs yang didasari oleh

motif harga diri. Dalam hal ini perbuatan yang dilakukan oleh seseorang didasari

oleh dorongan untuk memelihara dan mengembangkan harga diri; 5) Self

actualization needs yang merupakan dorongan tertinggi yang didasari oleh motif

aktualisasi diri. Perbuatan seseorang dalam tahap ini didasari oleh keinginan

untuk mengaktualisasikan diri atau merealisasikan semua potensi yang

dimilikinya.

Dengan mengacu pada perkembangan siswa yang di uraikan di atas, maka

siswa kelas empat dan lima SD dari aspek perkembangan kognitif berada pada

tahap tahap operasional kongkrit, dimana dalam tahap ini mereka sudah mampu

berpikir secara logis namun masih terkait dengan hal-hal kongkrit. Dari aspek

perkembangan sosial dan kemandirian, mereka berada pada tahap industry versus

inferiority, dimana anak sudah mampu menghasilkan suatu karya tetapi masih

disertai dengan rasa rendah diri terhadap hasil karya yang dihasilkannya. Dalam

51
aspek perkembangan erotis siswa kelas empat dan lima berada pada latency stage.

Dalam tahap laten ini dorongan erotis tidak nampak karena tersembunyi oleh

kegiatan fisik dan motorik yang sangat aktif. Berdasarkan ciri dari aspek

perkembangan kognitif, sosial dan erotis, maka pembelajaran di sekolah dasar

termasuk di dalamnya dalam melangsungkan pembelajaran IPA memiliki

karakteristik child centeredness yang menempatkan siswa sebagai subjek dalam

pembelajaran, project based learning dimana siswa beraktivitas untuk

menghasilkan karya, pembelajaran yang menyenangkan dan penggunaan media

dalam pembelajaran (Boyd, 1984:40). Pembelajaran tidak hanya dapat

dilangsungkan di dalam kelas, alam dan lingkungan sekitar dapat digunakan

sebagai sumber belajar sehingga siswa dapat secara langsung berinteraksi dengan

alam dan mengekplorasi alam sekitar mereka. Sumber belajar tidak hanya

diperoleh dari buku-buku teks tetapi melalui pengamatan terhadap objek-objek

yang berada di sekitar siswa.

Frensham et al. (1994) mengungkapkan bahwa pada kelas yang lebih

rendah, pembelajaran IPA di sekolah dasar harus lebih difokuskan pada kegiatan

pengamatan/observasi terhadap objek-objek yang ada di sekitar siswa melalui

kegiatan sederhana. Sedangkan Wortham (2006) menyatakan bahwa pembelajaran

IPA dapat diintegrasikan dengan topik-topik lain pada bidang lain seperti bahasa,

IPS dan lain-lain yang disajikan dalam bentuk tema (tematik) untuk kelas yang

lebih rendah (kelas 1 sampai kelas 3). Pada kelas yang lebih tinggi (4 sampai 6)

lebih dituntut untuk disajikan melalui kegiatan individual tanpa diintegrasikan

dengan bidang studi lain. Siswa mulai dapat diajak untuk melakukan eksplorasi

52
terhadap alam melalui kegiatan inkuiri. Lebih lanjut Boyd (1984),

mengungkapkan bahwa pembelajaran di sekolah dasar termasuk di dalamnya

pembelajaran IPA harus menghindari subject based dimana materi diambil dari

buku-buku teks, tetapi dikembangkan dari pengalaman yang paling dekat dengan

siswa.

Dengan melihat karakteristik dari pembelajaran IPA di sekolah dasar,

maka strategi pembelajaran yang besifat hands-on sekaligus minds-on yang

dilandasi oleh proses inkuiri merupakan strategi yang harus dikembangkan dalam

praktek pembelajaran IPA. Strategi ini dipadukan dengan model pembelajaran

kooperatif atau kolaboratif dimana siwa dibiasakan untuk berinteraksi dengan

sesamanya dalam melakukan pemecahan masalah tentang fenomena alam yang

terjadi di sekitar mereka (Anneta & Dotger, 2006; Sato, 2006). Menurut Sandall

& Barbara (2003) strategi pembelajaran IPA di sekolah dasar harus didasarkan

pada pengetahuan tentang bagaimana siswa belajar dan apa kebutuhan mereka.

Konsep yang diajarkan pada peserta didik merupakan contoh dari materi semua

area. Pembelajaran diarahkan untuk mencapai tiga kelompok tujuan, yaitu

persiapan untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang selanjutnya, pemenuhan

kebutuhan pribadi dan mengenalkan isu-isu sosial (Yager & Hidayat, 1988).

Selain itu pembelajaran diarahkan pada pengembangan kecakapan keterampilan

proses sains. Dengan demikian dalam pembelajaran siswa harus terlibat secara

aktif dalam pengumpulan data dan merencanakan investigasi. Informasi hasil

pengumpulan data harus ditampilkan dalam berbagai macam bentuk. Apa yang

53
dipelajari harus merefleksikan bagaimana materi tersebut dikembangkan sesuai

dengan usia mereka (Yager, 2008).

NSTA (1990) menyatakan bahwa best practice pembelajaran IPA di

sekolah dasar adalah dengan melibatkan siswa dalam melakukan aktivitas IPA

(learning by doing). Siswa harus diberi waktu, materi dan kesempatan untuk

menemukan sesuatu dalam lingkungan mereka. IPA harus dijadikan sebagai

penyeimbang dalam aktivitas di kelas. Siswa pada setiap kelas di jenjang sekolah

dasar harus mampu menampilkan gagasan dan tanggung jawab ketika mereka

berinkuiri. Dengan demikian pembelajaran IPA harus dilakukan secara terstruktur

dan siswa dapat menggunakan gaya belajar mereka sendiri.

Pembelajaran IPA dapat dilakukan melalui aktivitas eksplorasi terhadap

alam, namun tentu saja hasil yang ingin diperoleh dari kegiatan tersebut harus

ditentukan dengan jelas. Siswa harus memahami bahwa mereka diharapkan untuk

melakukan aktivitas sebagai berikut: mengajukan dan mengarahkan pertanyaan,

mendesain percobaan yang sesuai, mengumpulkan dan mencatat data dari hasil

penemuan mereka, melihat pola dan hubungan, dan menilai validitas dari

percobaan yang mereka lakukan (NSTA, 1990). Dengan kegiatan-kegiatan

tersebut, maka strategi pembelajaran IPA berorientasi pada aktivitas inkuiri yang

menekankan keterampilan proses sains dan pemecahan masalah.

Ada beberapa alasan mengapa keterampilan proses dan pemecahan

masalah lebih diutamakan dalam pembelajaran IPA. Menurut NSTA (1990),

alasan pertama bahwa kita sekarang berada dalam era ”ledakan ilmu

pengetahuan” (knowledge explotion). Pada era ini diperkirakan pengetahuan baru

54
atau informasi akan dihasilkan 2 – 5 kali lipat setiap tahunnya. Oleh karenanya

tidak mungkin bagi guru untuk memberikan dan mengajarkan informasi-informasi

tersebut pada siswa, tetapi guru dapat mengajarkan pada siswa bagaimana

menganalisis informasi dan mencari informasi baru. Alasan kedua yang diberikan

oleh NSTA (1990) bahwa dengan memberikan semua informasi pada siswa

sekolah dasar, maka batang tubuh ilmu IPA akan menyusut. Hal ini dapat

dipahami karena IPA bukanlah hanya sekedar konsep-konsep yang harus

dipelajari oleh siswa, tetapi juga merupakan proses, nilai serta teknologi. Alasan

yang ketiga adalah kita tidak bisa meprediksikan informasi yang mana yang

diberikan pada siswa sekolah dasar yang nantinya akan mereka pakai bila mereka

memilih karir dalam bidang IPA pada abad berikutnya. Alasan terakhir adalah

bahwa manusia-manusia yang hidup pada abad 21 akan menghadapi masalah-

masalah baru yang harus mereka temukan pemecahannya. Manusia yang sukses

pada abad mendatang adalah manusia yang dibekali dengan kemampuan untuk

memecahkan masalah yang mereka hadapi. Dengan alasan-alasan tersebut, maka

IPA harus dipandang sebagai kata kerja (verb) dari pada kata benda (noun). IPA

adalah cara berpikir dan bertindak daripada dipandang sebagai kumpulan fakta

(NSTA, 1990).

C. PROFESIONALISME GURU DALAM MELANGSUNGKAN

PEMBELAJARAN IPA

Tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan mutu pendidikan di sebuah

negara tidak terlepas dari adanya upaya pemerintah negara tersebut untuk

55
meningkatkan kualitas tenaga pengajar. Sebagai upaya untuk meningkatkan

pendidikan di Indonesia, pemerintah dan DPR RI telah mensyahkan Undang-

Undang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Salah satu tuntutan

yang dikemukakan dalam undang-undang tersebut adalah diselenggarakannya

pembinaan guru untuk menjadi profesional. Profesional diartikan sebagai orang

yang menyandang suatu jabatan atau pekerjaan yang dilakukan dengan keahlian

atau keterampilan yang tinggi. Hal ini juga pengaruh terhadap penampilan atau

performa seseorang dalam melakukan pekerjaan di profesinya. Sedangkan

Profesionalisme merupakan komitmen para anggota suatu profesi untuk

meningkatkan kemampuannya secara terus menerus.

Konsekuensi dari disyahkannya Undang-Undang RI Nomor 14 tahun 2005

tentang Guru dan Dosen merupakan penghargaan yang tinggi terhadap profesi

guru dan dosen. Tetapi di sisi lain pengakuan tersebut mengharuskan guru untuk

memenuhi berbagai persyaratan agar mencapai standar minimal seorang

profesional. Dalam pasal 8 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pengakuan

terhadap guru sebagai tenaga profesional akan diberikan pada guru yang telah

memenuhi kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikat pendidik yang

dipersyaratkan. Kualifikasi akademik diperoleh melalu pedidikan tinggi program

sarjana atau diploma empat (UUGD pasal 9, 2005) dan serifikat pendidik

diperoleh setelah mengikuti pendidkan profesi (UUGD pasal 10, 2005).

Kualifikasi kompetensi yang harus dimiliki guru berdasarkan UUGD meliputi

empat kompetensi, yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,

kompetensi sosial dan kompetensi profesional.

56
Shulman (1987) menyatakan kriteria yang berbeda dengan apa yang

dituliskan dalam UUGD. Menurut Shulman, guru profesional adalah guru yang

memiliki pengetahuan mencakup lima kategori, yaitu guru yang memiliki

pengetahuan tentang: kurikulum (curriculum knowledge), materi/isi (content

knowledge), pedagogi (general pegagogical knowledge), konten pedagogi

(pedagogical content knowledge), peserta didik dan karakteristik peserta didik

(knowledge of learners and their characteristics)

Curriculum knowledge, merupakan pengetahuan guru terhadap kurikulum.

Guru yang memiliki pengetahuan tentang kurikulum adalah guru yang mengenal

dengan baik kebijakan-kebijakan yang dikembangkan pada tingkat nasional,

wilayah dan lokal (NSTA, 2003). Dalam konteks pendidikan di Indonesia, guru

yang memiliki pemahaman terhadap kurikulum merupakan guru yang memahami

pentingnya isi yang tertuang dalam dokumen PERMEN No. 22 Tahun 2005

Tentang Standar Isi dan dokumen PERMEN No. 23 Tahun 2005 Tentang Standar

Kompetensi Lulusan. Dalam konteks KTSP, guru yang memiliki pengetahuan

kurikulum merupakan guru yang dapat memahami apa yang dirumuskan oleh

standar (Hasan, 2009) dan dapat mengelaborasikan standar-standar tersebut

menjadi aktivitas sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh standar dalam silabus

dan rencana pembelajaran yang disusunnya.

Content knowledge merupakan pengetahuan tentang materi IPA. NSTA

(1998) menyatakan bahwa konten merujuk pada dua hal, yaitu: konsep dan prinsip

yang dipahami melalui IPA serta konsep dan hubungannya dengan domain dalam

IPA. Content knowledge atau pengetahuan tentang konten dalam standar

57
penyiapan guru IPA yang dinyatakan oleh NSTA (1998) merujuk pada konsep

dan keterkaitan antar konsep yang dikonstruksi melalui investigasi secara

profesional dalam IPA dan melalui proses investigasi ilmiah. NSTA (2003)

menyatakan bahwa secara operasional konten didefinisikan sebagai pengetahuan

dan kecakapan yang dipelajari atau harus dipelajari dalam kurikulum pendidikan

IPA. Hal ini meliputi konsep-konsep IPA dan hubungan antar konsep-konsep

tersebut, aplikasi IPA dalam konteks teknologi, kemampuan matematis dan

aplikasinya, metode dan proses untuk melakukan investigasi ilmiah. Dari definisi

tentang konsep yang dinyatakan oleh NSTA, maka dapat dikatakan bahwa konsep

IPA merupakan produk dan proses.

NSTA (2003) menyatakan bahwa latar belakang pendidikan dengan

penguasaan konsep yang kuat merupakan salah satu aspek yang sangat dianjurkan

untuk dimiliki oleh guru IPA. Lebih lanjut NSTA (2003) menyatakan bahwa guru

yang siap dengan konten dapat menunjukan bahwa mereka: memahami dan

berhasil mengajarkan tentang konsep, prinsip, teori, hukum dan keterkaitan

keterkaitannya pada siswa; memahami dan berhasil mengajarkan kesatuan konsep

sains; memahami dan berhasil mengajarkan siswa aplikasi sains untuk personal

dan teknologi; memahami penelitian dan dapat mendesain, melakukan,

melaporkan dan mengevaluasi investigasi dalam sains; memahami dan berhasil

menggunakan matematika untuk mengolah data dan mencari pemecahan masalah.

Pedagogical knowledge, merupakan kemampuan guru dalam memahmai

pedagogi dalam pembelajaran. Blatchford, et al. (2002) dan Reece & Walker

(1997) mendefinisikan pedagogi sebagai:

58
” the practice (or the art, the science or the craft) of teaching, but in the
early years any adequate conception of educative practice must be wide
enough to include the provision of learning environments for play and
exploration” (Blatchford, et al., 2002).

Dari pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa pedagogi merupakan

pelaksanaan dalam pembelajaran yang termasuk di dalamnya seni dan ilmu

mengajar. Pengertian pedagogi sendiri meliputi pelaksanaan pembelajaran yang

menyediakan lingkungan belajar bagi siswa untuk bermain dan bereksplorasi.

Einfield (2009) menyatakan bahwa tindakan dan strategi untuk mengajar,

organisasi untuk memperoleh pengalaman belajar, menyediakan lingkungan

belajar sesuai dengan kebutuhan peserta didik, evaluasi terhadap pengetahuan

sebelum dan sesudah pembelajaran serta transformasi ide-ide menjadi bagian-

bagian yang dapat difahami peserta didik merupakan aktivitas pedagogi guru.

NSTA (1998) dalam standarnya menuliskan bahwa guru disarankan dapat

menyediakan kesempatan bagi seluruh peserta didiknya untuk memahami IPA

dan melakukan aktivitas ber-IPA. Pernyataan ini mengandung arti bahwa guru

harus memiliki kemampuan untuk menggunakan pedagogi yang meliputi:

memenuhi kebutuhan setiap siswa, merencanakan aktivitas yang mendorong

siswa untuk mempelajari masalah yang berkaitan dengan IPA dan meningkatkan

kemampuan siswa untuk lebih memperdalam IPA. Kemampuan-kemampuan ini

dapat dicapai apabila guru memiliki keterampilan bertanya.

Dengan demikian aspek-aspek yang terlibat dalam semua aktivitas

pembelajaran mulai dari membuka pelajaran, penggunaan strategi pembelajaran,

penggunaan keterampilan bertanya guru, penggunaan media pembelajaran,

pengembangan asesmen dan evaluasi dalam pembelajaran serta menutup pelajaran

59
merupakan aspek-aspek yang termasuk kedalam pedagogical knowledge. Guru

sebagai agen pembelajaran di kelas harus memiliki keterampilan untuk

meningkatkan keterlibatan siswa dalam aktivitas pembelajaran mereka. Oleh

karena itu menciptakan situasi agar siswa belajar melalui berbagai strategi adalah

salah satu tuntutan dari guru untuk melangsungkan pembelajaran yang efektif.

Pedagogical content knowledge atau pemahaman terhadap konten

pedagogi merupakan aspek yang dinilai penting dalam pembelajaran IPA

(Loghran, Berry, Munhall 2006, Einfield, 2009). Pedagogical content knowledge

atau biasa disingkat dengan PCK pertama kali dikenalkan oleh Shulman pada

tahun 1987. Menurut Shulman (1987) kunci utama untuk membedakan

pengetahuan dalam mengajar terletak pada irisan antara konten dan pedagogi.

PCK merupakan pengetahuan yang dikembangkan oleh guru dari waktu ke waktu

dan melalui pengalaman tentang bagaimana mengajarkan materi-materi tertentu

dengan cara tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa.

Dari pernyataan-pernyataan tersebut, pengetahuan tentang konten

pedagogi atau pedagogical content knowledge merupakan pengetahuan yang

dimiliki oleh seseorang terhadap konten tertentu dan pedagogi yang

dikembangkan melalui pengalaman pribadinya untuk lebih mengenali lagi

bagimana dan dengan cara apa konten tersebut dapat dapat dipahami lebih baik

oleh siswa melalui strategi-strategi tertentu. Guru yang memiliki kemampuan

pedagogical content knowledge merupakan guru yang memiliki pemahaman yang

baik terhadap konten yang diajarkannya. Pemahaman konten yang tinggi ini

dipadukan dengan kepiawaian guru dalam mengembangkan, menggunakan dan

60
mengadaptasi prosedur-prosedur mengajar, strategi dan pendekatan, untuk

digunakan di kelas tertentu.

Knowing of learners atau pengatahuan terhadap pembelajar merupakan

salah satu kunci sukses dari mengajar guru. The Board of Regent University of

Winsconsic (2006) menyatakan bahwa untuk memilih metode mengajar yang

efektif dan membantu siswa belajar, maka guru harus mengetahui siapa peserta

didik yang aka dihadapinya. Bagaimana latar belakang, kebiasaan dan dari mana

siswa berasal merupakan aspek-aspek yang harus diperhatikan guru ketika

mengajar. Namun secara umum, seluruh siswa menghendaki bahwa pembelajaran

yang mereka langsungkan bersifat menyenangkan bagi mereka. Dengan demikian

keterlibatan siswa dalam pembelajaran yang memiliki sifat menyenangkan dapat

meningkatkan keterlibatan mereka dalam aktivitas pembelajaran dan

meningkatkan keingintahuan mereka terhadap materi dan aktivitas yang mereka

lakukan dalam pembelajaran. Sikap demokratis yang ditampilkan guru dalam

pembelajaran dapat menunjang untuk melangsungkan pembelajaran yang

demokratis. Menurut Alobiedat & Saraierh (2009), pembelajaran yang bersifat

demokratis akan mendukung siswa untuk memiliki motivasi internal yang tinggi

dalam diri siswa sehingga menunjang keberhasilan belajar siswa.

1. Tugas Guru Dalam Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar

Pembelajaran melibatkan tiga unsur penting, yaitu kurikulum, guru dan

siswa. Dalam mengimplementasikan kurikulum, guru merupakan ujung tombak

yang dapat membawa ke mana arah pembelajaran yang dilangsungkan. Penelitian

61
yang dilakukan oleh Archer (1999) dan Abell & Smith (2003) menunjukkan

bahwa guru memiliki pengaruh yang paling penting terhadap kemajuan murid.

Persiapan guru berkorelasi kuat dengan pencapaian murid (Hammond et al., 2000;

The Finance Project, 2005; Widodo, 2006).

Dalam konteks kegiatan pembelajaran guru memiliki tugas untuk

membuat persiapan mengajar, melangsungkan pembelajaran dan melakukan

evaluasi terhadap hasil belajar untuk dimanfaatkan sebagai umpan balik

(Rustaman, 2003, Cooper, 1990). Chamot et al. (2007) menyatakan bahwa:

A key aspect of effective teaching is having a plan for what will happen
in the classroom each day. Creating such a plan involves setting realistic
goals, deciding how to incorporate required materials (course textbooks)
and other materials, and developing activities that will promote learning.

Menurut Reece & Walker (1997) persiapan mengajar memiliki dua fungsi,

yaitu: sebagai strategi atau rencana untuk melangsungkan pembelajaran dan

serangkaian arahan yang digunakan selama pembelajaran berlangsung. Kemp

(1985) menyatakan bahwa rencana pembelajaran dapat disusun berdasarkan

empat pendekatan, yaitu: mempertimbangkan karakteristik pembelajar,

berdasarkan tujuan, berdasarkan metode dan aktivitas proses pembelajaran,

berdasarkan prosedur evaluasi. Gambaran yang diberikan oleh Kemp (1985)

terhadap empat pendekatan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2.

62
siswa metode

Tujuan Evaluasi

Gambar 2.2
Pendekatan Yang Digunakan Dalam Menyusun Rencana Pembelajaran

Lebih lanjut Kemp (1985), menyebutkan bahwa terdapat sepuluh elemen

yang perlu mendapat perhatian dalam rencana pembelajaran. Elemen-elemen

tersebut adalah: 1) melakukan asesmen terhadap kebutuhan belajar dengan cara

menentukan sasaran pembelajaran, hambatan, dan prioritas yang dapat dikenali,

2) Menyeleksi topik yang akan diajarkan dan menentukan topik umum yang akan

disajikan, 3) Memeriksa karakteristik pembelajar yang menjadi pusat perhatian

ketika pembelajaran dilangsungkan, 4) Mengidentifikasi isi materi dan

menganalisis komponen yang berhubungan dengan tujuan dan sasaran

pembelajaran, 5) Merumuskan tujuan pembelajaran, 6) Mendesain aktivitas

pembelajaran untuk melengkapi rumusan tujuan, 7) Menyeleksi sumber belajar, 8)

Menspesifikasi bahan pendukung yang diperlukan dalam mengembangkan dan

melakukan aktivitas pembelajaran, 9) Menyiapkan evaluasi terhadap

pembelajaran serta 10) Menetukan kesiapan belajar siswa.

63
Rencana pelajaran dapat disusun untuk jangka waktu panjang (rencana

tahunan), unit, mingguan, dan harian. Persiapan mengajar disusun dalam silabus

dan RPP memuat aspek-aspek berikut: tujuan pembelajaran yang dielaborasikan

dari kompetensi yang diinginkan, analisis materi, langkah-langkah pembelajaran

dan alokasi waktu untuk setiap langkah pembelajaran serta evaluasi. Dalam

membuat rencana pembelajaran, guru sekolah dasar harus memfokuskan pada

konteks dimana pembelajaran tersebut dilangsungkan, aktivitas menarik apa yang

direncanakan untuk siswa serta melibatkan mereka dalam pembelajaran serta

berapa alokasi waktu yang tersedia. Sedangkan di sekolah lanjutan guru fokus

pada persiapan materi ajar yang akan disajikan untuk siswa dan bagaimana

menyajikan konten tersebut dengan cara yang menarik bagi siswa (Cooper, 1997:

28).

Pernyataan yang dikemukakan oleh Cooper (1997) mengandung

konsekuensi bahwa membuat rancangan pembelajaran dimana siswa dapat terlibat

secara aktif dalam pembelajaran yang dilangsungkan merupakan hal yang penting

terutama di sekolah dasar. Penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan siswa

dengan pembelajaran berkaitan erat dengan pencapaian siswa (Fisher et al., 1980)

merupakan asumsi lain yang mendukung pernyataan yang dikemukakan oleh

Cooper.

Dalam aktivitas membuat perencanaan pembelajaran ada dua aspek yang

harus diperhatikan. Aspek pertama adalah bagaimana guru memilih strategi

pembelajaran, yang meliputi pendekatan dan metode apa yang akan digunakan,

media apa yang akan digunakan, bagaimana pengelolaan kelas akan

64
dilangsungkan apakah siswa bekerja secara kelompok atau secara individual.

Aspek kedua adalah bagaimana guru membuat rumusan tujuan untuk sebagai

acuan pencapaian dalam pembelajaran yang dilangsungkannya (Reece & Walker,

1997; Cooper, 1997).

Houston et al. (1988) menyatakan bahwa rumusan tujuan dapat dibedakan

menjadi empat macam, yaitu: rumusan tujuan bersifat tingkah laku (behavioural

objective), rumusan tujuan bersifat pemecahan masalah (problem solving

objective), rumusan tujuan bersifat afektif (affective objective), dan rumusan

tujuan bersifat ekspresif (expressive objective). Rumusan tujuan bersifat

behavioral merupakan rumusan yang dapat diukur (measurable), diamati

(observable) dan dapat dikerjakan (workable) sebagai bukti bahwa siswa telah

menyelesaikan tujuan yang telah ditentukan. Rumusan tujuan bersifat problem

solving meminta siswa untuk melakukan proses berpikir melalui isu-isu yang

solusinya tidak dapat ditentukan secara spesifik. Rumusan tujuan bersifat

ekspresif meminta siswa untuk memiliki pengalaman pribadi atau pengalaman

dalam membuat sesuatu. Sedangkan rumusan tujuan bersifat afektif merupakan

rumusan yang hampir sama dengan rumusan tujuan bersifat ekspresif, hanya saja

diarahkan pada respon emosional siswa terhadap kurikulum dan pembelajaran.

Dari keempat macam rumusan tujuan di atas, rumusan tujuan bersifat behavioral

merupakan rumusan yang paling sering digunakan (Houston et al., 1988).

Menurut Bloom (1956) rumusan tujuan harus ditujukan pada tiga ranah,

yaitu: kognitif, afektif dan psikomotor. Domain kognitif (Bloom, 1956)

melibatkan pengetahuan dan pengembangan aspek keterampilan intelektual.

65
Domain ini meliputi pengenalan dan recalling terhadap fakta spesifik, pola-pola

prosedural dan konsep yang melibatkan penggunaan kemampuan dan

keterampilan intelektual. Domain kognitif terdiri dari enam kategori, yaitu

pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan kreasi. Dalam dimensi

pengetahuan, Anderson & Krathwool (2001) membagi dimensi ini menjadi empat

kategori, yaitu: pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan

prosedural dan pengetahuan metakognisi. Domain afektif terdiri dari lima kategori

(Krathwohl et al., 1973), yaitu: menerima fenomena, merespon fenomena,

menilai, mengorganisasikan dan menginternalisasi nilai-nilai. Kelima kategori

tersebut merupakan sikap yang berhubungan dengan emosi, seperti perasaan,

nilai, penghargaan, entusiasme, motivasi dan tingkah laku. Domain psikomotor

terdiri dari kategori, yaitu: persepsi (kemampuan menggunakan petunjuk sensoris

untuk mendorong aktivitas sensorik, menseting (kemampuan untuk mulai

bertindak), mengarahkan respon, mekanisme, respon bersifat kompleks yang

melibatkan aktivitas psikomotorik yang memiliki pola kompleks, adaptasi dan

originalitas (Bloom, 1956).

Adanya keseimbangan antara rumusan tujuan pada ranah kognitif, afektif

dan psikomotor merupakan hal yang perlu diperhatikan. Dengan mengacu pada

tujuan pendidikan dasar yang dikemukakan oleh Sukmadinata (2004) maka dapat

dikatakan bahwa pengembangan pada ranah kognitif diharapkan dapat membekali

siswa untuk selanjutnya mengembangkan pengetahuan mereka pada jenjang

pendidikan yang lebih tinggi. Di sisi lain rumusan tujuan pada ranah afektif dan

psikomotor diharapkan dapat menggali dan mengembangkan potensi peserta didik

66
untuk menjadi pribadi mandiri dan kuat baik secara fisik dan mental sehingga

siswa siap berperan serta dalam masyarakat ketika mereka beranjak menuju

remaja.

Penelitian yang dilakukan oleh Olga (1987) memperoleh hasil bahwa

pembelajaran yang dirancang dengan rumusan tujuan yang mencakup tiga domain

yang dikemukakan oleh Bloom (1956) memiliki efek positif terhadap hasil yang

diperoleh siswa. Siswa sekolah dasar yang dijadikan sebagai kelas eksperimen

dimana dalam kelas tersebut tujuan pembelajarannya dirumuskan meliputi aspek

kognitif, psikomotor dan afektif dalam pelajaran IPA terpadu memiliki sikap dan

hasil yang lebih baik dibandingkan siswa yang belajar di kelas kontrol dimana

rumusan tujuan hanya mencakup aspek kognitif. Penelitian yang dilakukan oleh

Cano (1990) menyimpulkan bahwa rumusan tujuan yang dibuat oleh guru

berpengaruh erat terhadap pencapaian siswa dan retensi siswa. Guru yang

membuat rumusan tujuan pembelajaran menjangkau berpikir tingkat tinggi

memperoleh hasil tes tertulis dan tes kinerja yang lebih baik dari siswanya

dibandingkan guru yang membuat rumusan hanya bersifat hafalan.

Rancangan yang telah dibuat kemudian diimplemetasikan dalam kegiatan

pembelajaran di kelas dengan melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam

pembelajaran, yaitu guru, siswa, media, sumber belajar, serta fasilitas ruangan

atau kelas. Cooper (1990) mengidentifikasi ada lima komponen yang menjadi

fokus perhatian ketika guru mengimplementasikan rencana pembelajaran dalam

aktivitas pembelajaran di kelas. Keenam komponen tersebut adalah: keterampilan

mengajar, keterampilan dalam mengemukakan pertanyaan, mengajarkan dan

67
memahami konsep, komunikasi interpersonal, pengelolaan kelas dan belajar

kooperatif atau kolaboratif serta melangsungkan evaluasi.

Dalam aspek keterampilan mengajar guru, Shostak (dalam Cooper, 1990)

mengemukakan ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: bagaimana guru

membuka pelajaran, menutup pelajaran, membawakan materi pelajaran.

Membuka pelajaran merupakan aksi atau pernyataan guru yang dirancang untuk

menghubungkan pengalaman siswa dengan tujuan pembelajaran. Guru yang

efektif adalah guru yang menggunakan kegiatan membuka pelajaran untuk

menempatkan siswa dalam kerangka yang sesuai dengan fikiran siswa untuk

memfasilitasi belajar baik secara fisik, mental maupun emosi.

Fungsi pertama dari membuka pelajaran adalah memfokuskan perhatian

siswa terhadap pelajaran yang akan mereka pelajari dan memotivasi siswa untuk

mengikuti pembelajaran. Penelitian yang dilakukan oleh DeCecco (1990)

menunjukan bahwa fungsi guru dalam memotivasi siswa dalam pembelajaran

adalah ”mengaitkan” siswa dalam pembelajarannya. Penelitian yang dilakukan

oleh Gagne dan Briggs menyimpulkan hal yang serupa, yaitu adanya korelasi

antara motivasi siswa dengan apa yang dilakukan oleh guru pada kegiatan

membuka pelajaran (Cooper, 1990).

Fungsi kedua dari kegiatan membuka pelajaran adalah menciptakan

organisasi kerangka untuk ide, prinsip dan informasi yang akan dipelajari

selanjutnya. Dengan mengatakan pada siswa tentang organisasi pembelajaran

yang akan dilangsungkan pada awal pembelajaran dapat meningkatkan

pemahaman dan kemampuan untuk mengemukakan serta mengaplikasikan

68
pengetahuan mereka (Breaux, 2008). DeCecco (1990) mengemukakan

memusatkan perhatian siswa sebagai fungsi yang diharapkan oleh guru. DeCecco

(1990) mendasari pernyataan ini berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan

bahwa guru dapat membentuk perilaku siswa ketika siswa diberitahu apa yang

diinginkan oleh guru dari mereka di awal pembelajaran.

Fungsi ketiga dari membuka pelajaran adalah mengembangkan

pemahaman dan aplikasi terhadap konsep-konsep abstrak melalui penggunaan

contoh dan analogi. Ide, konsep dan prinsip-prinsip yang abstrak seringkali tidak

difahami oleh kebanyakan siswa, terlebih lagi siswa seringkali mengalami

kesulitan untuk menerapkan ide-ide tersebut ke dalam situasi yang baru.

Penggunaan contoh dan analogi dapat mengatasi masalah tersebut (Cooper, 1990).

Penelitian yang dilakukan oleh Orgill dan Bodner (2004) menyimpulkan

bahwa dalam pembelajaran kimia, penggunaan analogi dalam kegiatan membuka

pelajaran dapat meningkatkan keterlibatan siswa dalam aktivitas pembelajaran.

Beal (1999), Glyn (1991) yang dikutip oleh Orgil dan Bordner (2004) menyatakan

bahwa penggunaan contoh dan analogi pada awal kegiatan pembelajaran

digunakan untuk menolong siswa untuk memahami informasi yang dikaitkan

dengan apa yang sudah dikenali oleh siswa dan digunakan untuk mengaitkan

pengetahuan baru dengan struktur pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa.

Fungsi keempat dari kegiatan membuka pelajaran adalah menstimulasi

siswa untuk tertarik dan terlibat dalam pembelajaran yang akan dilangsungkan.

Hal ini berhubungan dengan motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran

(Cooper, 1990). Grable (2008) menyatakan bahwa aspek membuka pelajaran

69
harus menyatakan pembelajaran yang akan dilangsungkan dengan

menghubungkan apa yang sudah siswa ketahui dengan apa yang akan mereka

pelajari, berhubungan dengan tujuan pembelajaran dengan cara menghubungkan

materi pelajaran yang akan dipelajari dengan pengalaman yang sudah dimiliki

oleh siswa dan melibatkan siswa dalam pembelajaran dengan berbagai cara seperti

mengajukan pertanyaan, menggunakan analogi, menampilkan gambar, objek,

keritera, mengajak siswa untuk melakukan aktivitas, dan membuat rangkuman.

Dalam pandangan konstruktivis, kegiatan membuka pelajaran sangat

diperlukan untuk menggali pengetahuan awal siswa (prior knowledge). Dengan

mengetahui pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelum pembelajaran

berlangsung, maka guru dapat menentukan dari mana pembelajarannya akan

dimulai dan bagaimana guru bersama siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan

baru dalam pembelajaran yang dilangsungkannya.

Dalam melangsungkan kegiatan inti, salah satu keterampilan yang harus

dimiliki guru adalah keterampilan mengajukan pertanyaan. Cooper (1990)

menyatakan bahwa teknik dan strategi bertanya merupakan kunci dari

pembelajaran yang interaktif. Penelitian yang dilakukan oleh Leroy dan Anita

(1992) menyimpukan bahwa pembelajaran efektif salah satunya disebabkan oleh

pertanyaan oleh guru. Siswa yang diberi pertanyaan tidak hanya bersifat hapalan

konsep memiliki hasil yang lebih baik dalam berpikir kritis dan pemecahan

masalah. Sadker & Sadker (1990) menyatakan bahwa teknik bertanya yang dapat

meningkatkan kualitas dan kuantitas respon yang diberikan oleh siswa harus

70
memperhatikan aspek-aspek berikut: waktu tunggu, probing, penghargaan pada

siswa, pemerataan pemberian pertanyaan terhadap siswa.

Beberapa ahli seperti Good (1987), Hamilton dan Brady (1991)

mengklasifikasikan pertanyaan menjadi pertanyaan akademik dan pertanyaan non

akademik. Costa (1991) mengklasifikasikan pertanyaan menjadi pertanyaan input,

pertanyaan proses, dan pertanyaan output. Jelly (1985) mengklasifikasikan

pertanyaan menjadi pertanyaan produktif dan pertanyaan non produktif.

Pertanyaan produktif adalah pertanyaan yang jawabannya bisa ditemukan melalui

kegiatan atau pengamatan, sedangkan pertanyaan non produktif adalah pertanyaan

yang jawabannya didasarkan pada buku atau sumber kedua lainnya. Dalam

pembelajaran di sekolah dasar untuk meningkatkan kemampuan anak dalam

melakukan pengamatan terhadap objek-objek biologi dalam melakukan inkuiri,

maka kemampuan untuk mengajukan pertanyaan produktif menjadi salah satu

keahlian yang harus dimiliki oleh guru maupun siswa (Widodo, 1996).

Keterampilan lain yang harus dikuasai guru dalam melangsungkan

kegiatan inti adalah bagaimana guru memfasilitasi siswa untuk mendapatkan

pengetahuan dalam pembelajaran yang dilangsungkan melalui pendekatan dan

metode yang telah dirancang dalam persiapan mengajar (RPP). Anderson &

Karthwol (1991) mengklasifikasikan pengetahuan ke dalam empat dimensi, yaitu:

factual knowledge (dimensi faktual), conceptual knowledge (dimensi konseptual),

procedural knowledge (dimensi prosedural) dan metacogintion knowledge

(dimensi metakognisi). Pada dimensi faktual pengetahuan yang dipelajari adalah

pengetahuan yang bersifat terminologi dan pengetahuan tentang hal-hal khusus

71
serta elemen-elemen, misalnya mengetahui elemen-elemen dasar seperti kata-kata

yang bersifat teknis, simbol-simbol musik, benda benda alami serta sumber

informasi yang yang dipercaya. Dalam dimensi konseptual pengetahuan yang

dipelajari oleh siswa adalah pengetahuan tentang klasifikasi, kategori, prinsip dan

generalisasi, teori, model dan struktur. Dalam dimensi ini siswa diharapkan

mampu untuk menghubungkan elemen dasar dengan struktur atau fungsi yang

lebih besar seperti misalnya aspek yang menyangkut periode (periode geologi,

teori evolusi).

Dalam dimensi prosedural pengetahuan yang harus dipelajari oleh siswa

berkaitan dengan pengetahuan tentang keahlian khusus, pengetahuan tentang

metode dan kriteria prasyarat. Pada dimensi ini siswa dapat melakukan kerja,

metode inkuiri, dan kriteria untuk menggunakan keahlian seperti misalnya

keahlian menggunakan cat air, metode imiah, dan kriteria yang digunakan dalam

mengurutkan prosedur ketika prosedur tersebut akan digunakan. Dalam strategi

metakognitif pengetahuan yang harus dipelajari siswa adalah strategi tentang

pengetahuan, pengetahuan tentang tugas kognitif yang bersifat kontekstual dan

kondisional. Dalam dimensi ini siswa memiliki pengetahuan tentang kognisi

secara umum seperti misalnya pengetahuan untuk membuat garis besar,

pengetahuan untuk membuat kritik terhadap tulisan sessorang dan pengetahuan

untuk mengetahui jenis tes yang diberikan oleh guru.

Memunculkan komunikasi interpersonal merupakan salah satu tugas yang

harus dilakukan oleh guru dalam kegiatan inti. Sadker & Sadker (1990)

menyatakan bahwa komunikasi interpersonal merupakan serangkaian tingkah laku

72
yang berfungsi untuk menstimulasi keinginan untuk berinkuiri. Kemampuan

untuk ingin melakukan inkuiri ini akan menuntun siswa untuk memperoleh

pengetahuan secara mandiri yang pada akhirnya dapat memunculkan komunikasi

yang berarti. Dengan dimilikinya komunikasi interpersonal maka guru akan

mengetahui hubungan antara materi yang dipelajari siswa dengan siswa.

Menurut Cooper (1990), kebanyakan masalah yang dihadapi oleh guru

dalam pembelajaran berkaitan dengan pengelolaan kelas. Guru-guru baru

seringkali merasa khawatir tidak dapat mengelola kelasnya dengan baik sehingga

pembelajaran yang dilansungkannya tidak efektif. Penelitian Hudson (2004)

menyimpulkan bahwa efektivitas pendidikan IPA yang dilangsungkan di Australia

adalah kemampuan guru dalam memahami pedagogical content knowledge dan

pengelolaan kelas. Berkaitan dengan karakteristik pembelajaran IPA di sekolah

dasar yang dilandasi oleh aktivitas inkuiri, maka pengelolaan dalam kelompok

kooperatif dan kolaboratif merupakan salah satu tugas yang harus dikembangkan

oleh guru. Cooper (1990) berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif dan

kolaboratif dapat meningkatkan tingkat pencapaian siswa dalam pembelajaran.

Penelitian tentang pembelajaran kooperatif dan kolaboratif telah banyak

dilakukan oleh peneliti di Indonesia maupun di luar negara-negara lain. Salah satu

contoh adalah penelitian yang dilakukan oleh Zakaria & Iksan (2006) pada

pendidikan dasar di Malaysia yang menyimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif

meningkatkan efektifitas belajar siswa karena siswa lebih terlibat secara aktif

dalam bertukar ide untuk menyelesaikan tugas mereka. Sementara situasi dalam

pembelajaran kolaboratif dipercaya dapat memfasilitasi belajar siswa melalui

73
pemberian umpan bailik yang berkelanjutan terhadap ide-ide penting yang mereka

ungkapkan. Situsi kolaboratif juga dapat memperluas wawasan berpikir siswa

(Nanes & Smith, 2000).

Aspek lain yang harus diperhatikan dalam melangsungkan pembelajaran di

sekolah dasar adalah penggunaan media pembelajaran. Guru sebagai pelaksana

dan pengembang pembelajaran harus mampu merancang dan memilih media

pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Pentingnya

penggunaan media pembelajaran di sekolah dasar dinyatakan oleh Marsh (2009)

bahwa siswa sekolah dasar berada pada rentang usia yang dikelompokkan ke

dalam kongkrit operasional berdasarkan perkembangan kognitif Piaget. Dalam

rentang usia ini penggunaan media terutama media yang bersifat konkret sangat

membantu siswa untuk mengenali lebih dekat terhadap materi yang mereka

pelajari. Penelitian yang dilakukan oleh Setyani (2005) dan Susmiati (2009)

mendukung pernyataan Marsh (2009) dengan hasil bahwa pemanfaatan media

konkrit dalam pembelajaran IPA dapat meningkatkan kualitas pembelajaran IPA

baik dalam aspek proses maupun hasil. Kolam dan kebun merupakan fasilitas

yang menyediakan media-media yang bersifat kongkrit.

Ketersediaan sarana dan prasarana yang termasuk di dalamnya tentang

media pembelajaran di sekolah dasar diatur oleh PERMEN No. 24 Tahun 2007

Tentang Standar Sarana dan Prasarana. Dalam PERMEN tersebut dinyatakan

bahwa sekolah harus memiliki fasilitas laboratorium IPA. Laboratorium dapat

memanfaatkan ruang kelas dengan didalamnya dilengkapi oleh media

pembelajaran berupa: model kerangka tubuh manusia, model tubuh manusia,

74
globe, model tata surya, kaca pembesar, cermin (datar, cekung, cembung) lensa

(datar, cekung, cembung) magnet, poster IPA (metamorfosis, hewan langa, hewan

dilindungi, tanaman khas Indonesia, contoh ekosistem, dan sistem-sistem

pernafasan hewan).

Aspek terakhir yang harus diperhatian ketika guru melangsungkan

pembelajaran adalah evaluasi. Menurut Cooper (1990) jika guru ingin

meningkatkan efektivitas dalam pembelajaran yang dilangsungkannya, maka

salah satu tugas mereka adalah meningkatkan kemampuan dalam melakukan

evaluasi. Penggunaan berbagai macam teknik evaluasi untuk mengumpulkan

informasi tentang pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh siswa

merupakan salah satu ciri dari kegiatan pembelajaran yang efektif (Kyriakides et

al., 2008).

2. Kompetensi Guru Untuk Melangsungkan Pembelajaran IPA

Sebagai komponen sentral yang berperan dalam menentukan kualitas

pembelajaran, seseorang yang memiliki jabatan profesi sebagai guru dituntut

untuk memiliki kompetensi yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan

khusus. Seacara khusus berkaitan dengan penyelenggaraan pembelajaran di kelas,

Cooper (1990) menyatakan bahwa secara umum ada empat bidang kompetensi

yang harus dimiliki oleh guru untuk menyelenggarakan pembelajaran yang

efektif. Keempat bidang tersebut adalah: 1) Memahami peserta didik dan teori

tentang pembelajaran; 2) Menampilkan sikap untuk mendorong pembelajaran dan

memahami hubungan antar manusia; 3) Memahami materi subjek yang akan

75
diajarkan pada siswa, serta; 4) Mengontrol kemampuan teknik mengajar yang

dapat memfasilitasi belajar siswa. Sedangkan menurut Bansford, Hammond dan

LePage (2003: 31), secara umum ada tiga area kompetensi yang harus dimiliki

oleh guru, yaitu: 1) Pengetahuan tentang pembelajar dan bagaimana mereka

berkembangan dalam konteks sosial; 2) Konsepsi terhadap kurikulum yang

menyangkut isi dan tujuan 3) Pemahaman tentang mengajar dan belajar dalam

konteks proses dan konten serta pembelajar (peserta didik).

Pemahaman guru terhadap bagaimana siswa berkembang dan belajar, apa

yang telah siswa pelajari sebelumnya dan bagaimana mereka akan terus belajar

ketika berada di luar kelas menjadi faktor penting untuk melangsungkan

pembelajaran yang efektif (Bansford, Hammond dan LePage,2003: 31). Berkaitan

dengan aspek memahami peserta didik, Bansford, Hammond dan LePage (2003:

31) berpendapat bahwa guru yang kompeten adalah guru yang dapat

menyeimbangkan empat komponen yang berkaitan dengan siswa, yaitu:

1) Kelemahan, kekuatan siswa, ketertarikan dan prekonsepsi yang dimiliki oleh

siswa; 2) Pengetahuan, kecakapan dan sikap yang diinginkan oleh masyarakat

untuk dimiliki oleh peserta didik dan bagaimana mereka dapat memunculkan apa

yang telah mereka pelajari; 3) Assessment terhadap pembelajaran yang membuat

apa yang difikirkan oleh siswa dapat teramati dan melalui umpan balik dapat

membimbing siswa untuk belajar lebih jauh; 4) Masyarakat dimana pembelajaran

dilangsungkan, apakah di dalam kelas atau di luar kelas.

Dalam memahami bagaimana peserta didik belajar, guru perlu

memperhatikan aspek perkembangan siswa dari berbagai domain yang saling

76
berinteraksi antar satu domain dengan domain lainnya. Domain-domain tersebut

meliputi domain fisik, sosio-emosional, moral dan kognitif seperti yang telah

diuraikan sebelumnya. Dalam konteks pembelajaran di sekolah dasar, dapat

dikatakan bahwa guru yang kompeten adalah guru yang memahami siswa yang

berada pada rentang usia 7 – 12 tahun.

Dari segi perkembangan kognitif siswa sekolah dasar berada pada tahap

operasional kongkrit. Dalam tahap ini meskipun sudah mampu berpikir secara

logis namun masih terkait dengan hal-hal kongkrit. Hal ini memiliki implikasi

pada pentingnya menghubungkan apa yang mereka pelajari dengan apa yang

mereka kenali di sekitar mereka (Boyd, 1983). Dalam aspek perkembangan erotis,

siswa sekolah dasar berada pada fase laten, dimana pada fase ini siswa

memerlukan kegiatan yang melibatkan motorik dan fisik yang tinggi. Dengan

demikian guru harus memfasilitasi siswa melalui pembelajaran yang

dilangsungkan melalui kegiatan yang melibatkan aktivitas-aktivitas físiko-motorik

siswa. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pengembangan kurikulum pada

pendidikan sekolah dasar tidak ditekankan pada konten (isi/materi pelajaran)

tetapi ditekankan pada pengetahuan dan keterampilan yang diturunkan dari

budaya dan lingkungan sosial yang melekat dengan kehidupan siswa (Boyd,

1983).

Berdasarkan dimensi perkembangan aspek sosial dan kemandirian,

Erikson (Sukmadinata, 2004) menyatakan bahwa siswa sekolah dasar berada pada

tahap industry Vs inferiority. Pada rentang usia ini mereka sudah mampu

menghasilkan suatu karya, namun masih disertai dengan rasa rendah diri terhadap

77
hasil karya yang dihasilkannya. Dengan demikian, guru yang kompeten adalah

guru yang memiliki orientasi untuk mengoptimalkan kemampuan siswa dalam

berkarya serta meningkatkan rasa percaya diri terhadap karya-karya yang mereka

hasilkan. Parkay et al. (2006) mendukung pernyataan di atas dengan berargumen

bahwa kreativitas merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan dan perlu

dibangun pada pendidikan sekolah dasar sebagai landasan untuk pengembangan

pribadi siswa.

Dalam kaitan dengan memahami kurikulum Bansford et al. (2003)

menyatakan bahwa pemahaman terhadap kurikulum memungkinkan guru untuk

dapat mengorganisasikan materi subjek serta kecakapan yang diharapkan dimiliki

oleh siswa. Guru harus memiliki kompetensi untuk mengkonstruksi kurikulum

sebagai bentuk respon terhadap standar (Kompetensi Dasar dan Standar

Kompetensi) yang telah ditetapkan, kepentingan dan pengalaman belajar siswa

yang sebelumnya telah mereka miliki serta sumber daya dan kebutuhan

masyarakat (Bansford et al., 2003). Menurut Sterim et al. (2008), pemahaman

guru terhadap isi kurikulum atau materi subjek merupakan aspek yang

mempengaruhi kepercayaan diri guru dalam mengajar. Hal senada juga

diungkapkan oleh Tytler (2004) yang menyimpulkan bahwa pemahaman terhadap

konten mempengaruhi bagaimana guru melangsungkan pembelajarannya di kelas.

Penelitian Tytler (2004) di Ausralia menyimpulkan bahwa kebanyakan

guru Sekolah Dasar tidak percaya diri untuk melangsungkan pembelajaran IPA

karena rendahnya pemahaman terhadap materi. Namun menurut Bansford et al.

(2003) kemampuan guru dalam memahami materi subjek tidak memiliki

78
hubungan yang signifikan terhadap pencapaian hasil belajar siswa. Bagi para ahli

bagaimana guru menurunkan abstraksi yang mereka miliki kedalam abstraksi

siswa merupakan hal yang penting. Kemampuan ini disebut sebagai pedagogical

content knowledge (PCK).

Akhir-akhir ini PCK dianggap sebagai salah satu aspek yang penting

dikuasai oleh guru. Ball (1991) dan Shulman (1986) menyatakan bahwa PCK

dideskripsikan sebagai pengetahuan tentang cara menyajikan dan

memformulasikan materi yang dapat diterima oleh siswa. Strategi yang digunakan

guru sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran, dengan demikian

memahami bagaimana guru menyajikan materi pelajaran, apa yang ditekankan

ketika materi tersebut disajikan dalam pembelajaran dan apa yang tidak

ditekankan dan apa metode yang dipilih guru untuk membantu siswa untuk

memahami materi pelajaran merupakan hal yang harus diperhatikan (Wong &

Lai, 2008).

Pemahaman guru terhadap teori belajar menjadi salah satu aspek penting

yang disyaratkan untuk menciptakan situasi belajar yang berpusat pada siswa

(learner-centered teaching) dan keberhasilan belajar mereka (Ferguso, 1991;

Wright et al., 1997; Rifkin et al., 2000), terutama pendidikan yang dilangsungkan

di sekolah dasar sebagai landasan yang menentukan keberhasilan belajar siswa

pada tahap selanjutnya (Parkay et al., 2006). Situasi belajar seperti ini diperlukan

terutama pada masa sekarang ini karena tuntutan standar pembelajaran lebih

tinggi dibandingkan pada masa-masa sebelumnya (Bransford et al., 2003).

Masyarakat memerlukan lebih banyak pengetahuan dan keahlian untuk bertahan

79
hidup dan meraih sukses. Dalam hal ini pendidikan memiliki kontribusi yang

tinggi terhadap sukses yang dicapai baik oleh individu maupun oleh sebuah

bangsa.

Menurut Widodo (2004) pemahaman guru terhadap teori belajar berkaitan

erat dengan persepsi guru terhadap belajar. Persepsi yang dimiliki oleh guru

tersebut direfleksikan dalam pembelajaran yang dilangsungkannya di kelas.

Dalam pendidikan terdapat dua kutub belajar, yaitu tabula rasa dan

konstruktivisme. Menurut falsafah tabula rasa siswa diumpamakan sebagai kertas

putih yang dapat diisi apa saja oleh gurunya, atau ibarat wadah kosong yang dapat

diisi apa saja oleh gurunya. Kelompok yang menganut falsafah ini akan memaknai

belajar sebagai penerimaan informasi yang bersifat pasif dan memiliki

keterbatasan dalam belajar. Sehingga pembelajaran yang dilangsungkannya

bersifat teacher centered melalui pemberian informasi atau ceramah.

Menurut falsafah konstruktivisme, belajar merupakan proses membangun

pengetahuan. Dalam pandangan konstruktivis siswa aktif dan dapat

mengembangkan diri sendiri terus menerus dalam kondisi tertentu (Rustaman,

2003). Dalam padangan konstruktivis keberhasilan belajar siswa tidak hanya

ditentukan oleh lingkungan atau kondisi belajar tetapi juga oleh pengetahuan awal

yang dimiliki oleh siswa (West & Pine, 1985) karena belajar merupakan

pembentukan ”makna” oleh siswa dari apa yang mereka lakukan, lihat dan dengan

(Frensham, 1994). Konsekuensi dari falsafah konstruktivisme dalam pembelajaran

adalah pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara utuh dari guru terhadap siswa,

namun secara aktif dibangun oleh siswa sendiri melalui pengalaman yang nyata

80
(Rustaman, 2003). Pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan Piaget (dalam Dahar,

1996) yang mengungkapkan bahwa sains merupakan proses konstruktif yang

menghendaki partisipasi aktif dari siswa.

Peran guru dalam pembelajaran yang dilandasi oleh faham

konstruktivisme bergeser dari sumber dan pemberi informasi menjadi

pendiagnosa dan fasilitator belajar siswa (Tytler, 2004). Rustaman (2003) dan

Tytler (2004) mengungkapkan bahwa pembelajaran bersifat konstruktif memiliki

empat ciri, yaitu: berkaitan dengan pengetahuan awal siswa (prior knowledge),

mengandung pengalaman yang nyata (experience), terjadi interaksi sosial (social

interaction) dan membentuk kepekaan siswa terhadap lingkungan (sense making).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2004) terhadap guru

IPA dan calon guru biologi, sebagian besar responden masih memandang bahwa

pembelajaran adalah transfer of knowledge. Implikasi dari pandangan ini adalah

pembelajaran yang bersifat teachered centered, dimana guru menganggap bahwa

siswa tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan sebelumnya dan belajar adalah

menerima apa yang diberikan oleh guru.

Dalam kaitannya dengan mengajar IPA, NSTA (2003) menetapkan 10

standar kompetensi yang harus dimiliki oleh guru untuk melangsungkan

pembelajaran IPA di kelas. Kesepuluh standar tersebut adalah: 1) Memiliki

pemahaman tentang IPA dan dapat mengartikulasikan pengetahuan IPA serta

mempraktekkan IPA yang berkembang pada masa sekarang, 2) Memahami

hakikat IPA dan dapat melibatkan siswa secara efektif dalam mempelajari sejarah,

filosofi dan praktek IPA, 3) Dapat melibatkan siswa melalui berbagai metode

81
inkuiri ilmiah dan dalam pembelajaran aktif melalui kegiatan inkuiri. Guru dapat

mendorong siswa baik secara individu maupun secara kolaborasi untuk

mengobservasi, mengajukan pertanyaan, medesain inkuiri, mengumpulkan dan

menginterpretasikan data dengan tujuan mengembangkan konsep serta

hubungannya dengan pengalaman yang dialami siswa, 4) Memahami bahwa

masyarakat harus disiapkan pada pengambilan keputusan dan mengambil tindakan

terhadap isu-isu masyarakat yang berhubungan dengan sains dan teknologi, 5)

Dapat menciptakan komunitas pembelajar yang beragam yang mampu

mengkonstruksikan arti dari pengalaman yang berhubungan dengan IPA serta

memiliki keinginan untuk mengeksplorasi pembelajaran, 6) Dapat merencanakan

dan mengaplikasikan kurikulum yang bersifat aktif, menyatu dan efektif yang

sesuai dengan tujuan dan rekomendasi dari NSES (National Science Education

Standars), 7) Mampu menghubungkan disiplin ilmu yang dimiliki dengan

kepentingan setempat maupun wilayah dengan melibatkan stakeholder dan

menggunakan sumber daya personal, institusional dan sumber daya alam dalam

pembelajaran yang mereka langsungkan, 8) Dapat mengkonstruksi dan

menggunakan strategi assessment yang efektif untuk menentukan latar belakang

serta pencapaian siswa dan memfasilitasi perkembangan kemampuan intelektual,

sosial serta personal siswa, 9) Dapat mengorganisasikan lingkungan belajar yang

aman dan efektif untuk mendukung keberhasilan siswa serta kesejahteraan semua

makhluk hidup, 10) Secara terus menerus melakukan perkembangan dan

perubahan, baik secara personal maupun secara profesional untuk memenuhi

perbedaan kebutuhan siswa, sekolah, masyarakat dan profesi.

82
Secara khusus untuk sekolah dasar NSTA (2003) menetapkan kompetensi

guru IPA yang meliputi area sebagai berikut:1) Menyatukan konsep dan proses.

Dalam pembelajaran IPA guru sekolah dasar terbiasa dan mengajarkan konsep-

konsep utama serta prinsip yang menyatukan segala usaha dalam bidang sains

yang berguna dalam setiap disiplin ilmu sains, 2) Sains sebagai inkuiri. Dalam

membelajarkan IPA guru memahami dan mempraktekkan sains sebagai proses

inkuiri, 3) Bidang keilmuan yang terdiri dari fisika, ilmu hayat dan bumi

antariksa. Guru yang membelajarkan IPA di sekolah dasar memahami konsep-

konsep utama, alat untuk melakukan inkuiri dan struktur ilmu fisika, ilmu hayat

serta ilmu bumi dan antariksa dan membuat membuat aspek-aspek dari mata

pelajaran ini menjadi bermakna bagi siswa, 4) Sains dan teknologi. Guru yang

membelajarkan IPA di sekolah dasar memahami hubungan antara benda alami

dan benda buatan manusia, dan membuat aspek materi subjek bermakna bagi

siswa dengan membuat percobaan melalui pembuatan model dari suatu benda

yang berguna dan mengembangkan kemampuan siswa untuk mengidentifikasi dan

mengkomunikasikan masalah dan mendisain, mengimplementasikan serta

mengevaluasi pemecahannya, 5) Sains dalam perspektif personal dan sosial. Guru

yang membelajarkan IPA di sekolah dasar memahami konteks sains (misalnya

hubungan berbagai sistem usaha manusia termasuk sains dan teknologi; hubungan

antara nilai-nilai sains, teknologi, personal, sosial dan kultural; relevansi dan

pentingnya sains bagi kehidupan peserta didik); proses sains (misalnya sistem

sosial dan komunitas yang menyokong jaringan dimana pembelajaran sains

dilangsungkan, hubungan antara pengajaran sains dan belajar sains sesuai dengan

83
nilai-nilai yang dianut masyarakat, serta keterlibatan masyarakat dan institusi

dalam mengajarkan sains) dan menggunakan pengetahuan-pengetahuan ini untuk

memperkaya pembelajaran sains yang dilakukan oleh semua siswa, 8) Sejarah

sains. Guru yang membelajarkan sains di SD memahami sejarah dan hakikat sains

sebagai usaha manusia dan menggunakan pengetahuan ini untuk menjadikan

materi subjek berarti bagi siswa.

Untuk menjadi guru yang memiliki keterampilan dan keahlian dalam

melangsungkan pembelajaran IPA, maka guru perlu dipersiapkan sejak mereka

berada di lembaga pendidikan guru (LPTK). NSTA (2003) dalam Standard

Science Teacher Preparation Revised 2003 menuliskan beberapa rekomendasi

untuk calon guru IPA SD sebagai guru kelas. Sebagai guru kelas, guru SD yang

tidak mendapakan spesialisasi di bidang IPA harus dipersiapkan untuk

membelajarkan IPA dengan penekanan yang kuat terhadap kegiatan observasi dan

mendeskripsikan suatu kejadian, manipulasi objek dan sistem, serta identifikasi

pola alam dengan melibatkan berbagai subjek IPA.

Guru IPA perlu dipersiapkan untuk secara efektif melibatkan siswa dalam

kegiatan manipulatif yang akan mengarah pada pengembangan konsep-konsep

melalui investigasi dan analisis terhadap pengalaman. Guru kelas di sekolah dasar

harus dipersiapkan untuk mengarahkan siswa dalam memahami keterkaitan

konsep-konsep IPA, yang meliputi: 1) Berbagai macam cara untuk

mengorganisasikan persepsi terhadap alam dan bagaimana sistem mengorganisasi

pembelajaran dan pengetahuan IPA, 2) Hakikat dari bukti-bukti IPA dan

penggunaan model untuk menjelaskannya, 3) Pengukuran sebagai cara untuk

84
mengetahui dan mengorganisasikan observasi ketetapan dan perubahan, 4)

Evolusi dari sistem alam dan faktor yang menghasilkan keseimbangan evolusi, 5)

Keterkaitan dari bentuk, fungsi dan tingkah laku dari makhluk hidup dan makhluk

tak hidup.

Lebih lanjut NSTA (2003) merekomendasikan bahwa pendidikan IPA di

SD harus saling terkait untuk mengembangkan perspektif interdisiplin. Dalam

materi biologi, sebagai guru kelas, calon guru harus disiapkan untuk mengarahkan

siswa dalam memahami aspek-aspek sebagai berikut: 6) gambaran yang

membedakan makhluk hidup dengan makhluk tak hidup, 7) karakteristik yang

membedakan tumbuhan, hewan dan makhluk hidup lain, 8) berbagai cara untuk

mengurutkan dan mengklasifikasikan makhluk hidup, 9) kehidupan organisme

dan bagaimana mereka bergantung pada lingkungan, 10) cara bagaimana

organisme saling tergantung, 11) pola reproduksi dan siklus hidup dari organisme

yang umum ditemukan, 12) pertumbuhan, perubahan dan interaksi populasi untuk

membentuk komunitas.

Dalam materi fisika, guru SD harus dipersiapkan untuk mengarahkan

siswa dalam memahami: 13) Materi yang meliputi massa, kelarutan dan

kepadatan, 14) Kombinasi materi dalam membentuk larutan, campuran dan

senyawa yang memiliki kandungan yang berbeda, 15) Variasi kandungan materi

yang berada dalam fase yang berbeda dan perubahan materi, 16) Mengurutkan

dan mengklasifikasikan materi dan energi dan sifat-sifatnya, 17) Faktor

mempengaruhi posisi, gerak dan sifat objek, 18) Mesin dan peralatan sederhana

85
seperti misalnya mur dan sekrup, 19) Cahaya, listrik, suara dan magnet, 20)

macam energi, sumber energi, dan transformasi energi sederhana.

Dalam bidang bumi dan antariksa, guru IPA harus disiapkan untuk

mengarahkan siswa dalam memahami: 21) objek alam di langit dan mengapa

benda-benda tersebut mengalami perubahan posisi dan penampakan, 22) musim

dan perubahan musim, 23) perubahan di atmosfer yang menyebabkan perubahan

cuaca dan musim, 24) perubahan di bumi yang menyebabkan pembentukan dan

erosi permukaan tanah, 25) Kandungan dasar batuan, mineral, air, udara dan

energi, 26) perbedaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan tidak dapat

diperbaharui. Untuk menciptakan perspektif interdisipliner dan membantu siswa

mengapa IPA sangat penting bagi mereka, guru kelas harus disiapkan untuk

mengarahkan siswa dalam memahami: 27) perbedaan antara IPA, sebagai

investigasi, teknologi dan sebagai disain, 28) Pengaruh dari IPA dan teknologi

terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat, serta terhadap kesehatan pribadi dan

masyarakat, 29) bagaimana menggunakan observasi, eksperimentasi,

pengumpulan data dan interferensi untuk menguji ide dan membangun konsep-

konsep secara ilmiah, 30) bagaimana menggunakan pengukuran dan matematik

untuk memperkirakan dan menghitung, mengumpulkan dan menstransformasi

data, memodelkan, serta menampilkan hasil.

Dalam konteks pembelajaran IPA di Indonesia, pemerintah melalui

PERMEN DIKNAS pada tahun 2007 menetapkan standar kualifikasi akademik

dan kompetensi guru. Berdasarkan PERMEN tersebut kompetensi yang harus

dimiliki oleh guru sekolah dasar mencakup kompetensi inti guru dan kompetensi

86
guru kelas. Berkaitan dengan kompetensi guru dalam melangsungkan

pembelajaran IPA, ada tiga kompetensi yang harus dimiliki oleh guru kelas, yaitu:

1) Mampu melakukan observasi gejala alam baik secara langsung maupun tidak

langsung, 2) Memanfaatkan konsep-konsep dan hukum-hukum ilmu pengetahuan

alam dalam berbagai situasi kehidupan sehari-hari, 3) Memahami struktur ilmu

pengetahuan alam, termasuk hubungannya fungsional antar konsep yang

berhubungan dengan mata pelajaran IPA.

Bebagai penelitian menyimpulkan bahwa kompetensi yang dimiliki oleh

guru dalam melangsungkan pembelajaran IPA diantaranya dipengaruhi oleh

faktor-faktor berikut: latar belakang pendidikan dan sertifikasi, pengalaman

mengajar dan keikutsertaan dalam program peningkatan

guru/pelatihan/workshop/training (Tytler,Waldrip, Griffiths, 2004; Arlington,

2008). Sedangkan Moeini (2009) menyatakan bahwa sumber yang dapat

meningkatkan profesionalisme guru adalah: pendidikan formal, materi dan

struktur yang diberikan dalam pendidikan, kesempatan untuk memperoleh

pengalaman dalam bidang yang sesuai, dan kebijakan yang diterapkan.

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa guru yang memiliki kualifikasi

pendidikan tinggi dan memiliki sertifikasi dapat melangsungkan pembelajaran

dengan efektif (Arlington, 2008). Selain itu kemampuan guru ditunjang oleh

pelatihan-pelatihan yang diikutinya ketika seseorang memiliki profesi sebagai

guru. Kenyataan menunjukan bahwa di Indonesia, seringkali guru memiliki latar

belakang yang tidak sesuai dengan bidang studi yang diampunya (Tim Monev

87
FPMIPA UPI, 2004). Hal ini mempengaruhi bagaimana guru melangsungkan

pembelajarannya di kelas.

Penelitian terhadap guru telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Dari

beberapa metode yang dilakukan, Tytler, Waldrip, Griffiths (2004) dan Waldrip

(2008) menyatakan tiga metode yang dapat digunakan, yaitu: metode survey,

interview atau diskusi panel dan observasi langsung di kelas. Banyak penelitian

dilakukan menggunakan metode survey yang melibatkan penggunaan instrumen

survey dan tes (Brunkohorst, 1992). Metode ini memiliki kelebihan dapat

melibatkan jumlah responden yang banyak, namun kelemahannya adalah

ketidakmampuan metode survey menyajikan detail dari interaksi pembelajaran

yang berlangsung dimana peneliti memerlukan data tersebut untuk membantu

meningkatkan pembelajaran yang dilangsungkan oleh guru (Tytler et al., 2004).

Interview (wawancara) dalam penelitian yang dilakukan oleh Goodrum et al.

(2001) di Australia dilakukan terhadap guru yang melangsungkan pembelajaran

secara efektif yang disertai dengan diskusi panel dengan para ahli pendidikan.

Melalui metode ini peneliti dapat memperoleh data tentang praktek pembelajaran

yang dilangsungkan guru serta apa yang guru yakini dalam pembelajaran tersebut

dan diskusi panel dapat menjaring keinginan terhadap pengetahuan apa yang perlu

dimiliki oleh guru di lapangan (Tytler et al., 2004). Pengamatan langsung ke

dalam kelas telah dilakukan oleh Hameyer et al. (1995) dalam pembelajaran IPA

di Jerman, Belanda, USA dan Swedia. Dari peneltian yang dilakukan dihasilkan

beberapa prinsip dari pembelajaran IPA yang efektif. Metode ini juga digunakan

88
di Australia (Tobin & Fraser, 1990) yang menghasilkan prinsip-prinsip

pengelolaan kelas.

Pengembangan profesionalisme dalam melangsungkan pembelajaran IPA

bagi guru sekolah dasar merupakan aktivitas yang penting untuk meningkatkan

pendidikan IPA (Schibeci & Hickey, 2002). Bahkan di Amerika Serikat

pengembangan profesi guru yang ditujukan untuk menigkatkan perolehan siswa

dalam IPA ditetapkan oleh Standar nasional (Bybee et al., 1977) yang didukung

oleh manual untuk mendukung gagasan nasional ini (Schibechi, 2002). Dalam

pandangan Schibechi & Hickey (2002) pengembangan profesi merupakan

keterlibatan guru dalam beragam aktivitas yang berhubungan dengan peran guru

sebagai: pengembang dan pengimplementasi kurikulum, administrator dan asesor

serta penghubung antara sekolah dengan masyarakat. Sedangkan Kyriakides et al.

(2008) menyatakan bahwa pengembangan profesionalisme guru merupakan

mekanisme penting untuk memperdalam pemahaman guru terhadap materi dan

praktek pembelajaran untuk mencapai standar yang tinggi. Commonwealth

Australia (1980) mengidentifikasi tiga kategori dari pengembangan

profesionalisme guru, yaitu: pendidikan formal misalnya diploma, sarjana dan

pasca sarjana; program non degree seperti misalnya kursus-kursus yang diadakan

oleh universitas, konferensi, pelatihan yang diselenggarakan oleh sekolah atau

program-program pengembangan sekolah; dan pendidikan informal seperti

misalnya komunitas belajar, kelompok profesi, dan pengalaman bekerja di

industri atau bidang komersial. Menurut Departemen Ketenagakerjaan Nasional

Australia (dalam Schibechi & Hickey, 2002) kelas merupakan komponen esensial

89
dari pengembangan profesional guru. Berdasarkan laporan dari Departemen

Tenaga Kerja Australia, diketahui bahwa pengembangan profesional melibatkan

faktor-faktor sebagai berikut: faktor informal dan perencanaan pembelajaran yang

disusun dengan baik, masukkan dari orang lain seperti misalnya konsultan atau

akademisi, intensitas dalam meningkatkan kualitas pembelajaran, serta melibatkan

transformasi, nilai serta keyakinan ke dalam praktek pembelajaran (Schibechi &

Hickey, 2002). Pendapat tersebut didukung oleh Anneta & Shymansky (2005)

yang menyatakan bahwa jika pengembangan profesional guru diintegrasikan

dengan praktek pembelajaran yang dilangsungkan oleh guru sehari-hari, maka

dapat meningkatkan pengetahuan dan kecakapan yang pada akhirnya berimbas

pada hasil belajar siswa.

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli yang telah

diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk melangsungkan

pembelajaran IPA di sekolah dasar, guru perlu memiliki kemampuan dalam lima

area kompetensi, yang terdiri dari:

1. Kemampuan dalam mengembangkan kurikulum (curriculum knowledge)

yang dituangkan dalam rencana pembelajaran yang meliputi kemampuan

guru dalam merumuskan tujuan pembelajaran terutama pada ranah afektif

dan psikomotor sesuai dengan tujuan yang ingin dikembangkan oleh

pendidikan di sekolah dasar, kemampuan mengorganisasi materi pelajaran,

kemampuan untuk merancang langkah pembelajaran, kemampuan untuk

mengembangkan rancangan penggunaan media pembelajaran, kemampuan

dalam merancang evaluasi terhadap pembelajaran.

90
2. Kemampuan dalam memahami materi IPA (content knowledge) yang

meliputi kemampuan yang berkaitan dengan pemahaman guru terhadap

hakikat pembelajaran dan belajar IPA yang dilandasi oleh hakikat IPA dan

falsafah konstruktivisme, wawasan guru terhadap materi IPA dengan

ditunjukkan oleh tidak adanya kesalahan konsep dan miskonsepsi serta

kemapuan memilih materi sesuai dengan standar yang ditetapkan.

3. Kemampuan yang berkaitan dengan pemahaman guru terhadap pedagogi

(pedagogical knowledge) yang meliputi kemampuan guru dalam:

membuka pelajaran, melangsungkan kegiatan inti, menutup pelajaran,

mengembangkan teknik bertanya dan mengembangkan evaluasi IPA.

4. Kemampuan yang berkaitan dengan pemahaman guru terhadap pedagogi

materi subjek (pedagogical content knowledge/PCK) yang ditunjukkan

oleh kemampuan dalam memilih strategi, pendekatan dan metode

pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik pembelajar, kemampuan

guru dalam menyederhanakan materi sesuai dengan abstraksi siswa,

kemampuan untuk memberi contoh yang relevan dengan tingkat abstraksi

siswa, kemampuan untuk memberi contoh yang dekat dengan kehidupan

siswa, kemampuan untuk menyampaikan/ mengorganisasikan konsep dari

yang paling sederhana menuju konsep yang lebih kompleks, kemampuan

untuk mengubungkan materi dengan pengalaman siswa, kemampuan

untuk memilih metode/pendekatan yang sesuai dengan karakteristik

konsep yang diajarkan, kemampuan mendorong siswa untuk berinteraksi

dengan bahan ajar, kemampuan untuk mengembangkan keterampilan

91
proses sains dalam pembelajaran, kemampuan untuk mengembangkan

bernalar siswa, kemampuan untuk memberi kesempatan pada siswa untuk

berinteraksi denga siswa lain dan kemampuan dalam memfasilitasi siswa

untuk menyusun kesimpulan sendiri.

5. Kemampuan yang berkaitan dengan pemahaman guru terhadap

karakteristik pembelajar (knowing of learners) yang ditandai oleh ciri-ciri

berikut: memiliki kedekatan yang baik dengan siswa, melangsungkan

pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa, menampilkan sikap yang

demokratis, memberi kesempatan pada siswa untuk mengajukan

pertanyaan, memberikan kesempatan yang sama kepada semua siswa

untuk berperan serta dalam mengerjakan tugas, serta memberi motivasi

pada siswa dalam proses pembelajaran

D. ANALISIS KEBUTUHAN (NEEDS ASSESSMENT)

Secara umum kebutuhan didefinisikan sebagai kesenjangan dari kondisi

yang ada dengan kondisi yang diinginkan (Borg & Gall, 2003). Kesenjangan

dapat berupa pengetahuan, kecakapan, tingkah laku atau sikap yang diperlukan

untuk ditampikan lebih efektif (Wentling, 993). Menurut Borg & Gall (2003),

needs assessment berhubungan erat dengan model evaluasi yang dilandasi oleh

objektivitas yang dapat diperlakukan sebagai pendekatan kuantitatif. Namun

analisis kebutuhan yang bersifat kualitatif juga banyak dilakukan dalam penelitian

di bidang pendidikan. Menurut Rouda & Kusy (1996) kesenjangan yang ada dapat

92
berhubungan dengan kelembagaan atau performance seseorang / individual

performance.

Beberapa masalah dapat muncul ketika melakukan analisis kebutuhan.

Salah satu masalah yang ditemukan adalah kekeliruan dalam mendefinisikan

”kebutuhan” sebagai suatu ”keinginan”. Borg dan Gall (2003) menyatakan bahwa

kebutuhan dapat dibedakan dari keinginan dengan mengidentifikasi lima tipe

kondisi yang menjadi harapan, yaitu: kondisi ideal, norma, kondisi minimum,

keinginan dan harapan. Kebutuhan dapat merupakan kesenjangan antara kondisi

yang terjadi atau kondisi yang ada dengan kondisi ideal, norma dan kondisi

minimum. Keinginan dan harapan bukan merupakan kondisi yang termasuk ke

dalam kebutuhan.

Mitcel (dalam Moeini, 2009) menyatakan bahwa analisis kebutuhan

merupakan pengujian terhadap kebutuhan yang ada untuk keperluan pelatihan

suatu organisasi atau kelompok. Analisis kebutuhan mengidentifikasi area atau

program dimana pelatihan akan dilangsungkan. Dalam analisis kebutuhan

masalah atau kebutuhan diidentifikasi dan kemudian dilanjutkan dengan

mengidentifikasi tujuan, isi, implementasi, target populasi dan luaran yang

diinginkan dari pelatihan (Cohen et al., 2009).

Analisis kebutuhan perlu dilakukan sebelum suatu program

diimplementasikan dengan tujuan agar pengembangan program tersebut mencapai

hasil atau target yang diharapkan. Dengan mengetahui apa yang dimiliki oleh

instruktur dan apa yang diinginkan oleh peserta pelatihan merupakan hal penting

yang dilakukan untuk menentukan isi dari program pelatihan. Melakukan analisis

93
kebutuhan sebelum program pelatihan dilangsungkan dapat menentukan

kecakapan apa yang perlu ditingkatkan oleh peserta pelatihan dan menyediakan

dasar bagi pengukuran terhadap keberhasilan pelatihan yang dilangsungkan.

Gaible & Burns (2005) Menyatakan bahwa guru memerlukan berbagai

kesempatan untuk meningkatkan kecakapan mereka. Pengembangan

profesionalisme guru yang efektif dimulai dengan memahami kebutuhan guru dan

lingkungan pekerjaan mereka. Analisis kebutuhan dimulai dengan identifikasi dan

definisi masalah dan langkah utama dari analisis kebutuhan dalam program

pelatihan adalah menentukan apakah pelatihan tersebut diperlukan atau tidak. Jika

pelatihan tersebut diperlukan maka harus ditentukan pelatihan apa yang harus

diberikan. Meskipun sebagian besar guru menganggap diri mereka sebagai orang

yang memiliki pengetahuan dan memiliki rasa percaya diri, tetapi dalam waktu

yang sama mereka seringkali merasakan adanya kesenjangan dari apa yang

mereka ketahui dengan tantangan yang akan dihadapi ketika mereka dituntut

untuk menjadi guru yang handal.

Kegiatan pelatihan guru yang dirancang dengan melibatkan partisipan,

maka kegiatan tersebut akan sesuai dengan apa yang diperlukan oleh peserta,

tingkat keterlibatan peserta, ketercapaian tujuan dan kepedulian peserta pelatihan.

Dalam program kegiatan pengembangan profesionalisme guru, perlu juga

diketahui apa yang tidak dikuasai oleh guru dan apa yang sudah guru kuasai.

Dengan kata lain program pelatihan akan efektif bila dilandasi oleh analisis

kebutuhan. Namun sayangnya analisis kebutuhan seringkali merupakan langkah

yang terabaikan. Apabila analisis tidak dilakukan, maka dapat menyebabkan

94
terbuangnya waktu, sumber daya, dana serta menghancurkan motivasi dan

antusiasme dari peserta yang terlibat dalam kegiatan pelatihan. Menurut Wanzare

dan Ward (2000), pengembangan staf pada abad 21 sebaiknya memberikan

kesempatan pada guru untuk berkontribusi terhadap program yang ditujukan

kebutuhan mereka dalam pelatihan yang mereka ikuti.

Rouda & Kusy (1996) menyarankan empat langkah yang dapat dilakukan

untuk melakukan analisis kebutuhan. Langkah tersebut adalah: 1) Menentukan

situasi yang diinginkan. Dalam hal ini kondisi kondisi yang diharapkan atau

kondisi yang dianggap penting diidentifikasi sebagai acuan pencapaian tujuan.

Analisis difokuskan terutama terhadap tugas, standar, keterampilan, pengetahuan

dan kemampuan yang perlu dicapai. 2) Menentukan situasi yang ada. Dalam hal

ini situasi yang sedang terjadi dianalisis untuk melihat kecakapan, pengetahuan

dan kemampuan seseorang atau organisasi. Hal lain yang perlu dianalisis dalam

tahap ini adalah tujuan, suasana dan hambatan internal serta eksternal. 3)

Menentukan kesenjangan antara situasi yang ada dengan situasi yang diinginkan.

Dalam tahap ini hasil pengataman terhadap kondisi yang ada dibandingkan

dengan apa yang seharusnya dicapai/berlangsung. 4) Mengidentifikasi prioritas

dan kepentingan. Dalam tahap ini daftar kebutuhan dibuat dan kemudian dibuat

skala prioritas. Kebutuhan mana yang memang dapat dipecahkan oleh program

yang akan dikembangkan, bagaimana prioritas dari kebutuhan tersebut dan

kebutuhan mana yang harus diantisipasi oleh kebijakan.

Moeini (2009) menyatakan langkah awal dari kegiatan analisis kebutuhan

adalah menentukan kategori kebutuhan untuk menentukan informasi apa yang

95
perlu dikumpulkan. Burton dan Meril (dalam Moeini (2009) menentukan enam

kategori kebutuhan yang biasanya digunakan untuk merencanakan dan

melangsungkan aktivitas analisis kebutuhan. Kategori tersebut adalah: kebutuhan

normatif, kebutuhan komparatif, keinginan, kebutuhan yang ditampilkan,

kebutuhan antisipatif atau kebutuhan masa depan, dan kebutuhan yang diperlukan

saat ini. Setelah menentukan kategori kebutuhan, selanjutnya dikembangkan

strategi untuk mengumpulkan data tentang kebutuhan peserta pelatihan. Langkah

selanjutnya adalah menganalisis data dengan melibatkan statistik deskriptif dan

model statistik inferensial untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan

kebutuhan mereka untuk melangsungkan pembelajaran.

Analisis kebutuhan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara,

diantaranya adalah: observasi langsung, penggunaan angket, konsultasi dengan

ahli, melakukan review terhadap literatur yang relevan, melakukan pengamatan

terhadap kelompok, memberikan tes atau ujian, mencuplik sampel dari pekerjaan

kelompok atau individual. Rouda & Kusy (1996) menyarankan untuk melakukan

analisis kebutuhan dengan melibatkan gabungan dari cara-cara tersebut. Halim et

al. (2008) melakukan penelitian terhadap guru-guru IPA di Malaysia untuk

analisis kebutuhan yang diperlukan oleh guru dalam melangsungkan pembelajaran

di kelas. Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, ada tiga kategori yang

menjadi kebutuhan yang sangat mendesak untuk dipecahkan, yaitu: Penggunaan

ICT dalam pembelajaran IPA, 2) peningkatan kemampuan guru IPA dan 3)

penggunaan bahasa inggris dalam pembelajaran IPA. Sedangkan Bekiroglu

96
(2007) melakukan penelitian analisis kebutuhan terhadap guru-guru IPA sekolah

dasar di Turki melalui metode survey.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bekiroglu (2007) guru-

guru IPA di Turki memerlukan peningkatan dalam hal: mengembangkan materi

IPA; meningkatkan kemampuan dalam menggunakan peralatan laboratorium,

komputer dan software komputer. Guru-guru memerlukan pelatihan untuk

mengintegrasikan fasilitas-fasilitas pembelajaran tersebut di dalam pembelajaran

yang mereka langsungkan. Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh

Bekiroglu et al. (2007), Sultana (2005) melakukan penelitian terhadap guru-guru

IPA sekolah dasar di Pakistan dengan menggunakan metode pemberian tes, dan

observasi. Dari hasil penelitian yang dilakukannya, mereka menyimpulkan bahwa

guru sekolah dasar di Pakistan memerlukan pelatihan tentang: penggunaan

gambar atau ilustrasi dalam pembelajaran, pengembangan assessment, inovasi

dalam pembelajaran, penggunaan komputer dalam pembelajaran.

Wentling (1996) menyebutkan ada tiga langkah yang harus dilakukan

dalam melakukan melakukan analisis kebutuhan, yaitu: mengidentifikasi

kebutuhan, melakukan observasi terhadap apa yang telah dimiliki oleh calon

peserta pelatihan dan menentukan kesenjangan. Identifikasi kebutuhan dilakukan

dengan cara membuat daftar tugas dari pekerjaan yang harus dilakukan oleh calon

peserta pelatihan. Berkaitan dengan pelatihan guru dalam melangsungkan

pembelajaran IPA, maka daftar tugas yang dibuat adalah tugas-tugas yang

berkaitan dengan merencanakan pembelajaran IPA, melangsungkan pembelajaran

IPA dan menyelenggarakan evaluasi terhadap pembelajaran yang telah

97
dilangsungkannya. Setelah daftar tugas disusun, maka dilakukan verifikasi untuk

mereview daftar yang telah disusun tersebut. Langkah ini melibatkan tenaga ahli

dan dapat pula dilakukan dengan melakukan wawancara dengan praktisi yang

berpengalaman. Setelah daftar tersebut direview selanjutnya ditentukan derajat

kepentingan dari daftar pekerjaan yang yang telah disusun. Aktivitas identifikasi

terhadap apa yang telah dimiliki oleh calon peserta pelatihan merupakan langkah

berikutnya yang dapat dilakukan melalui teknik observasi, wawancara dan

pemberian angket.

Langkah selanjutnya adalah menentukan penyebab dari kesenjangan.

Masalah merupakan tingkah laku yang digarapkan dikurangi tingkah laku yang

sebenarnya. (Masalah = tingkah laku yang diharapkan – tingkah laku yang

sebenarnya/nampak). Dalam rumus ini dinyatakan sebagai ”masalah” bukan

sebagai ”masalah pelatihan”. Hal ini menandakan bahwa tidak semua kesenjangan

antara apa yang diharapkan dengan apa yang ada dapat diperbaiki melalui

program pelatihan. Banyak kegiatan lain yang dapat digunakan untuk lebih tepat

bagi pemecahan masalah, misalnya masalah dapat saja diselesaikan dengan

memperbaiki kebijakan pemerintah.

Orang tidak menampakkan tingkah laku sesuai dengan yang diharapkan

dengan bermacam-macam alasan. Dengan demikian perlu dilakukan klasifikasi

terhadap masalah yang dihadapi. Klasifikasi tersebut dapat dilakukan dengan

mengumpulkan bukti yang menolong kita untuk memahami penyebab dari

permasalahan yang ada. Ada tiga alasan utama yang menyebabkan mengapa

orang tidak menampilkan tingkah laku sesuai dengan apa yang diharapkan: 1)

98
tidak mengetahui bagaimana atau kapan tingkah laku tersebut harus ditampilkan,

2) tidak ada motivasi, 3) terhalang oleh kebijakan organisasi atau lingkungan

(Wentling, 1993). Dengan demikian, alasan mengapa orang tidak menampilkan

tingkah laku sesuai dengan apa yang diharapkan dapat digolongkan ke dalam tiga

masalah, yaitu: pengetahuan dan kecakapan, motivasi dan organisasi atau

lingkungan.

Dari ketiga masalah di atas, masalah pengetahuan dan kecakapan

seringkali dipilih sebagai sasaran pelatihan. Meskipun masalah motivasi,

organisasi dan lingkungan merupakan masalah yang sulit untuk dipecahkan tetapi

program pelatihan yang efektif dapat membantu dalam memecahkan masalah-

masalah yang berkaitan dengan ketiga masalah di atas. Hal yang perlu digaris

bawahi adalah bahwa tidak semua permasalahan dapat dipecahkan melalui

program pelatihan. Proses identifikasi masalah dilakukan untuk membantu dalam

menghubungkan pelatihan dengan permasalahan yang perlu dipecahkan melalui

pelatihan. Jika hal ini tidak tercapai, maka dapat saja program pelatihan yang

dilaksanakan sangat baik namun tidak memecahkan permasalahan yang diangkat

dalam pelatihan.

Rossett & Sheldon (2001) menyatakan bahwa kebutuhan untuk

menentukan kecakapan apa yang perlu ditingkatkan melalui program pelatihan

dapat dilakukan mlalui analisis konten dan analisis kerja. Analisis konten

merupakan analisis terhadap dokumen yang digunakan untuk menjawab

pertanyaan tentang pengetahuan apa yang perlu ditingkatkan untuk memenuhi

suatu pekerjaan. Sedangkan analisis kerja merupakan analisis terhadap pekerjaan

99
yang diperlukan untuk menampilkan pekerjaan yang terbaik. Analisis kerja

disebut pula sebagai job analysis atau task analysis. Analisis ini digunakan untuk

mencari tugas dan kecakapan utama yang diperlukan oleh sebuah pekerjaan.

Analisis kerja membantu untuk meyakinkan bahwa program pelatihan akan

meningkatkan kecakapan-kecakapan yang diperlukan dalam pekerjaan tersebut

(WHO, 2000).

Untuk menentukan kebutuhan yang dilakukan melalui analisis kebutuhan

Wentling (1993) mengurutkan kecakapan yang terendah dimiliki oleh guru

menuju kecakapan yang paling dikuasai oleh guru. Suatu kebutuhan dinyatakan

sebagai kecakapan yang perlu ditingkatkan oleh sekelompok orang-orang tertentu

dalam pekerjaan mereka, apabila kecakapan tersebut tidak dimiliki oleh kurang

dari 50% masyarakat. Kauffman (2003), menentukan kebutuhan dengan cara yang

berbeda dengan Wentling. Kebutuhan berdasarkan Kauffman (2003) ditentukan

dengan mengkategorikan kebutuhan ke dalam dua kelompok, yaitu kebutuhan

yang sangat diperlukan dan kebutuhan yang diperlukan. Kebutuhan yang sangat

diperlukan merupakan kecakapan yang apabila tidak dimiliki oleh guru akan

berdampak besar pada efektivitas dan efisiensi sebuah pekerjaan. Sedangkan

kebutuhan yang termasuk kelompok diperlukan merupakan kecakapan yang

apabila tidak dimiliki mungkin akan berdampak pada efisiensi dan efektivitas

suatu pekerjaan. Lebih lanjut Kauffman (2003) menyatakan bahwa skala prioritas

terhadap kebutuhan dapat dilakukan dengan meminta pendapat para ahli atau

merujuk pada pendapat para ahli di bidang tertentu. Dari pendapat Wentling

(1993) dan Kauffman (2003) maka kebutuhan guru dalam melangsungkan

100
pembelajaran IPA dapat ditentukan dengan memadukan kedua cara tersebut, yaitu

dengan melihat skala prioritas dan urutan dari kecakapan yang ditampilkan oleh

guru dalam melangsungkan pembelajaran IPA dan mengembangkan rencana

pembelajaran IPA.

101

Anda mungkin juga menyukai