Anda di halaman 1dari 4

Hijauan merupakan makanan utama bagi ternak ruminansia dan berfungsi tidak

hanya sebagai pengenyang tetapi juga berfungsi sebagai sumber nutrisi, yaitu protein,
energi, vitamin dan mineral. Hijauan yang bernilai gizi tinggi cukup memegang peranan
penting karena dapat menyumbangkan zat pakan yang baik bagi ternak. Hijauan
makanan ternak secara umum dapat dibagi atas 3 golongan yaitu rumput (Gramineae),
leguminosa/legum (Leguminoseae) dan golongan non rumput dan non leguminosa.
Perbedaan jenis hijauan antara legum dan rumput secara umum adalah pada kandungan
nutrisinya yaitu pada kandungan serat kasar dan protein kasar. Rumput mempunyai
produksi bahan kering (BK) dan kandungan serat kasar yang lebih tinggi dibanding
legum, sementara itu legum mempunyai kandungan protein kasar yang lebih tinggi dari
rumput. Berdasarkan hal ini maka rumput merupakan hijauan sumber serat dan legum
adalah hijauan sumber protein untuk ternak ruminansia. Perbedaan antar legum dan non
legum pada kandungan protein kasar dan serat kasar, legum juga cendrung
menghasilkan lebih banyak bahan kering yang dapat dicerna (digestible dry matter) per
hektar dibanding kebanyakan rumput tropik padang pengembalaan. Bagaimanapun juga
legum lebih memerlukan tanah yang lebih subur dan memerlukan biaya yang lebih
tinggi untuk menghasilkan per unit berat bahan kering (Abdullah, 2013).
Indigofera merupakan tanaman pakan ternak (TPT) dari kelompok Leguminosa
pohon. Indigofera merupakan tanaman dari kelompok kacangan (famili Fabaceae) dengan
genus Indigofera. Leguminosa pohon ini memiliki prodiktivitas yang tinggi dan
kandungan nutrien yang cukup baik, terutama kandungan proteinnya yang tinggi.
Tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang kaya akan nitrogen, posfor,
kalium dan kalsium. Nilai nutrisi tepung daun indigofera yaitu protein kasar 27,97%,
serat kasar 15,25%, Ca 0,22% dan P 0,18%. Selanjutnya disebutkan bahwa sebagai sumber
protein, tepung daun indigofera mengandung pigmen yang cukup tinggi seperti xantofil
dan carotenoid (Simanihuruk, 2009). Indigofera dahulu dikenal dengan nama tanaman
tarum (nila) karena mengandung zat pewarna alami biru nila, memiliki sekitar 700
spesies lebih, berasal dari daerah tropis Afrika, Asia, Australia, Amerika Utara dan
Selatan. Sekitar 280 spesies Indigofera merupakan tumbuhan asli Afrika dan lebih dari 40
spesies asli berasal dari Asia Tenggara. Indigofera adalah sejenis leguminosa pohon yang
memiliki ketinggian antara 1-2 meter bahkan lebih dan dapat dipanen pada umur antara
6-8 bulan dengan produksi biomasa serta kandungan nutrisi yang tinggi pada kondisi
yang normal dan suboptimal. Spesies indigofera merupakan tanaman semak yang
mencapai tinggi di atas dua meter, berdiri tegak, percabangan banyak dengan bentuk
daun oval sampai lonjong dan bentuk morfologi bunga seperti kupu-kupu berukuran
antara 2-3 cm, warna bunga bervariasi dari kuning sampai merah dan merah muda tetapi
secara umum berwarna merah muda sehingga sangat menarik perhatian lebah madu
(Tjelele 2006).
Klasifikasi tanaman Indigofera sp (Hassen et al. 2006) sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Class : Dicotyledonae
Family : Rosales
Subfamily : Leguminosainosae
Genus : Indigofera
Spesies : Indigofera zollingeriana
Perlakuan biji sebelum tanam merupakan tahapan penting mengingat biji
Indigofera sp mempunyai kulit luar yang keras. Kulit biji yang keras merupakan faktor
pembatas terhadap masuknya air dan oksigen ke dalam biji. Kulit biji yang keras sulit air
untuk menembus dan oksigen yang sangat penting dalam proses perkecambahan.
Sehingga jika ditanam tanpa perlakuan maka daya kecambahnya akan rendah.
Pemberian perlakuan benih sebelum ditanam meningkatkan pemecahan dormansi benih
pada kebanyakan Indigofera yang diuji. Skarifikasi lebih efektif memecahkan dormansi
benih. Benih dikatakan dorman apabila benih tersebut sebenarnya hidup tetapi tidak
berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara umum dianggap telah
memenuhi persyaratan bagi suatu perkecambahan. Dormansi pada benih dapat
berlangsung selama beberapa hari, semusim bahkan sampai beberapa tahun tergantung
pada jenis tanaman dan dormansinya.Pertumbuhan tidak akan terjadi selama benih
belum melalui masa dormansinya atau sebelum dikenakan suatu perlakuan khusus
terhadap benih tersebut. Dormansi dapat dipandang sebagai salah satu keuntungan
biologis dari benih dalam mengadaptasikan siklus pertumbuhan tanaman terhadap
keadaan lingkungannya, baik musim maupun variasi-variasi yang kebetulan terjadi
sehingga secara tidak langsung benih dapat menghindarkan dirinya dari kemusnahan
alam (Christiana, 2018).
Faktor-faktor yang menyebabkan hilangnya dormansi pada benih sangat
bervariasi tergantung pada jenis tanaman dan tentu saja tipe dormansinya, antara lain
karena temperatur yang sangat rendah di musim dingin, perubahan temperatur yang
silih berganti, menipisnya kulit biji, hilangnya kemampuan untuk menghasilkan zat-zat
penghambat perkecambahan, adanya kegiatan dari mikroorganisme. Proses dormansi
dapat dipatahkan dengan beberapa proses diantaranya proses pendinginan, pemanasan,
kejutan atau goresan pada biji, zat pengatur tumbuh, asam dan basa ataupun dengan
cara biologi dengan menggunakan bantuan mikroba (Kamil,2006).
Skarifikasi merupakan salah satu upaya pretreatment atau perawatan awal pada
benih, yang ditujukan untuk mematahkan dormansi, serta mempercepat terjadinya
perkecambahan biji yang seragam. Beberapa jenis biji tanaman memerlukan masa
istirahat sesudah panen. After ripening period ini menunjukkan adanya perubahan
biokimia dan fisiologis dalam biji yang lambat sebelum tumbuh menjadi tanaman upaya
ini dapat berupa pemberian perlakuan secara fisis, dan mekanis, maupun kimia
(Christiana, 2018).
Teknik skarifikasi pada berbagai jenis benih harus disesuaikan dengan tingkat
dormansi fisik. Berbagai teknik untuk mematahkan dormansi fisik menurut Christiana
(2018) antara lain seperti:
a. Perlakuan mekanis
Perlakuan mekanis pada kulit biji, dilakukan dengan cara penusukan,
pengoresan, pemecahan, pengikiran atau pembakaran, dengan bantuan pisau, jarum,
kikir, kertas gosok, atau lainnya adalah cara yang paling efektif untuk mengatasi
dormansi fisik.
Seluruh permukaan kulit biji dapat dijadikan titik penyerapan air. Pada benih
legum, lapisan sel palisade dari kulit biji menyerap air dan proses pelunakan menyebar
dari titik ini keseluruh permukan kulit biji dalam beberapa jam. Pada saat yang sama
embrio menyerap air. Skarifikasi manual efektif pada seluruh permukaan kulit biji,
tetapi daerah microphylar dimana terdapat radicle, harus dihindari. Kerusakan pada
daerah ini dapat merusak benih, sedangkan kerusakan pada kotiledon tidak akan
mempengaruhi perkecambahan.
b. Air panas
Perlakuan air panas dengan suhu 60oC pada benih memberikan hasil daya
berkecambah yang lebih baik dibandingkan perendaman dalam air dingin maupun
dalam air suhu 40oC. Proses perkecambah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan
seperti air, cahaya dan suhu. Air berperan dalam melunakkan kulit biji, memfasilitasi
masuknya O2, pengenceran protoplasma untuk aktifitas fungsi dan alat transportasi
makanan. Suhu berperan dalam pematahan dormansi, aplikasi fluktuasi suhu yang
tinggi diharapkan akan berhasil mematahkan dormansi pada kulit biji yang keras. Suhu
yang tinggi dapat melunakkan permukaan kulit biji sedangkan oksigen dibutuhkan
untuk proses oksidasi pemben-tukan energi perkecambahan. Dengan demikian dengan
perlakuan air panas pada suhu 60oC dapat mempercepat daya kecambah dari suatu
spesies tanaman hijauan leguminosa sebagai pakan ternak. Perlakuan air panas
diharapkan dapat merubah suhu pada permukaan kulit biji sehingga permukaan kulit
biji menjadi lunak, memungkinkan proses perkecambah akan berlangsung.
c. Perlakuan kimia
Perlakuan kimia dengan bahan-bahan kimia sering dilakukan untuk
memecahkan dormansi pada benih. Tujuan utamanya adalah menjadikan agar kulit biji
lebih mudah dimasuki oleh air pada waktu proses imbibisi. Larutan asam kuat seperti
asam sulfat dengan konsentrasi pekat membuat kulit biji menjadi lunak sehingga dapat
dilalui air dengan mudah. Larutan asam sulfat pekat (H 2SO4) menyebabkan kerusakan
pada kulit biji dan dapat diterapkan baik pada legum dan non legum. Lamanya
perlakuan larutan asam harus memperhatikan dua hal yaitu kulit biji dapat diretakkan
untuk memungkinkan imbibisi dan larutan asam tidak mengenai embrio. Perendaman
selama 15-45 menit dalam larutan asam sulfat pekat menghasilkan perkecambahan 98%.
Perendaman selama 1-10 menit terlalu cepat untuk dapat mematahkan dormansi,
sedangkan perendaman selama 60 menit atau lebih dapat menyebabkan kerusakan.
d. Perendaman dengan air
Perendaman dalam air dapat memudahkan penyerapan air oleh benih, sehingga
kulit benih yang menghalangi penyerapan air menjadi lisis dan melemah. Selain itu juga
dapat digunakan untuk pencucian benih sehingga benih terbebas dari patogen yang
menghambat perkecambahan benih. Perendaman dengan air tergenang atau mengalir
disebut sebagai metode pencucian zat-zat penghambat perkecambahan dalam buah dan
benih. Cara yang umum dilakukan adalah dengan menuangkan benih dalam air yang
mendidih dan membiarkannya untuk mendingin dan menyerap air selama 12-24 jam.

Hal yang melatar belakangi dilakukannya praktikum ini yaitu untuk


mengetahui pengaruh skarifikasi dengan perendaman air, pupuk organik cair
dan jamu herbal terhadap perkecambahan biji indigofera (Indigofera sp).

Kondisi lingkungan selama pertumbuhan sangat mempengaruhi berkecambah tidaknya


suatu tanaman. Benih yang berkecambah mudah rusak, khususnya pada fase akhir
perkecambahan, karena penyerapan merupakan proses fisik benih dapat menyerap air
dan mengering tanpa mengalami kerusakan. Kelembaban air mutlak diperlukan untuk
perkecambahan, walau demikian air berlebihan selalu merusak karena air cenderung
menggantikan udara tanah dan menyebabkan kepadatan yang pada akhirnya membatasi
respirasi. Kelebihan air juga dapat mendorong perkembangan penyakit akibat jamur
(damping off). Tekstur tanah yang baik juga sangat penting untuk keseimbangan udara
dan air. Struktur tanah yang remah akan menjamin hubungan yang baik antara benih
dan tanah sehingga air dapat tersedia, struktur juga harus menyediakan aerasi yang
cukup untuk respirasi akar. Pada waktu yang sama struktur harus dapat mempermudah
akar melakukan penetrasi. Tekstur tanah liat medium, tidak terlalu berpasir dan tidak
terlalu halus menghasilkan kondisi perkecambahan terbaik (Utomo, 2006).
Abdullah, Ahmad. 2013. Skripsi Respon Pertumbuhan Rumput Brachiaria decumbens
Stapf. dan Legum Centrosema pubescens yang Ditanam Secara Tunggal dan
Campuran di Lahan Gambut pada Pemotongan Kedua. Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau. Pekanbaru.

Christiana, Maria Dwi. 2018. Skripsi Pengaruh Perlakuan Skarifikasi Terhadap Kualitas
Benih Indigofera Sp. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Hassen A, Rethman NFG, Apostolides Z. 2006. Morphological and agronomic


characterization of Indigofera species using multivariate analysis. Trop Grassl. 40:45-59.

Kamil J. 2006. Dasar Teknologi Benih. Angkasa Raya. Padang.

Nainahas, Kristina Igniosa. 2017. Jurnal Pengaruh Lama Perendaman Air Kelapa dan
Frekuensi Penyemprotan Urin Sapi Terhadap Pertumbuhan Bibit Pinang (Areca
catechu, L.). International Standard of Serial Number 2477-7927. Savana Cendana
2 (1) 8-10 (2017).

Nasaruddin dan Rosmawati. 2011. Pengaruh Pupuk Organik Cair (POC) Hasil Fermentasi
dan Gamal, Batang Pisang dan Serabut Kelapa Terhadap Pertumbuhan Bibit Kakao.
Jurnal Agrisistem. 7 (1): 29-37.

Parman, S. 2007. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair Terhadap Pertumbuhan dan
Produksi kentang (Solanum tuberosum L). Buletin Anatomi dan fisiologi. Vol Xv. No
2 Oktober 2007.

Simanihuruk K, Sirait J. 2009. Pemanfaatan leguminosa pohon Indigofera sp. sebagai pakan
basal kambing Boerka fase pertumbuhan. Semnas Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Bogor.

Tjelele TJ. 2006. Dry matter production, intake and nutritive value of certain Indigofera spesies
[Thesis]. [Hatfield (South Africa)]. University of Pretoria.

Utomo, B. 2006. Ekologi Benih. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Yusdema, Feisal. 2016. Jurnal Pengaruh Jenis dan Dosis Leguminosa Terhadap
Durabilitas dan Densitas Pelet konsentrat sapi perah. Universitas Padjadjaran.
Padjadjaran.

Anda mungkin juga menyukai