Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan stres akut (juga disebut shock psikologis, mental shock, atau
sekedar shock) adalah sebuah kondisi psikologis yang timbul sebagai tanggapan
terhadap peristiwa yang mengerikan. "Respons stres akut" pertama kali
dideskripsikan oleh Walter Cannon pada tahun 1920 sebagai sebuah teori bahwa
hewan-hewan begangguan terhadap ancaman dengan pembuangan umum dari
sistem saraf simpatik. Respons ini kemudian dikenal sebagai tahap pertama dari
sindrom adaptasi umum yang mengatur tanggapan stres di antara vertebrata dan
organisme lain.
Gangguan stres akut ditandai dengan perkembangan kecemasan yang
parah, disosiatif, dan gejala lain yang terjadi dalam waktu satu bulan setelah
terkena stresor traumatis yang ekstrem (misalnya, menyaksikan kematian atau
kecelakaan serius). Sebagai tanggapan terhadap peristiwa traumatik, individu
mengembangkan gejala disosiatif. Individu dengan gangguan stres akut
mempunyai penurunan respon emosional, seringkali sulit atau tidak mungkin
untuk mengalami kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan menyenangkan
sebelumnya, dan sering merasa bersalah karena mengejar tugas-tugas kehidupan
biasa. Seseorang dengan gangguan stress akut dapat mengalami kesulitan
berkonsentrasi, merasa terlepas dari tubuh mereka, pengalaman dunia sebagai
tidak nyata atau mimpi, atau mengalami kenaikan kesulitan mengingat detail
spesifik dari peristiwa traumatik (amnesia disosiatif).1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gangguan Stres Akut (Acute Stress Disorder/ASD) adalah sebuah
kondisi psikologis yang timbul sebagai tanggapan terhadap peristiwa yang
mengerikan, hasil dari sebuah peristiwa traumatis di mana seseorang mengalami
atau saksi suatu peristiwa yang menyebabkan korban/saksi untuk mengalami
ekstrim, mengganggu atau tidak terduga takut, stres, (dan kadangkadang rasa
sakit) dan yang melibatkan atau mengancam serius, dirasakan cedera serius
(biasanya kepada orang lain), atau kematian. Gangguan stres akut adalah variasi
dari Post- Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan adalah pikiran dan tubuh
terhadap perasaan (baik yang dirasakan dan nyata) yang intens etidakberdayaan.1

2.2 Epidemiologi

Secara umum, prevalensi seumur hidup gangguan stress akut sebesar


8% sementara 5-15% mengalami bentuk subklinis. Pada kelompok yang pernah
mengalami trauma sebelumnya, prevalensinya antara 5-75%. Wanita memiliki
risiko yang lebih tinggi (10-12%) dibandingkan pria (5-6%) pada kelompok usia
dewasa muda.

2.3 Etiologi

Stresor atau peristiwa traumatis di mana seseorang mengalami atau


saksi suatu peristiwa yang menyebabkan korban/saksi untuk mengalami ekstrim,
mengganggu atau tidak terduga takut, stres, (dan kadang-kadang rasa sakit) dan
yang melibatkan atau mengancam, cedera serius, atau kematian.

Walaupun stresor diperlukan, namun stresor tidak cukup untuk


menyebabkan gangguan. Faktor-faktor yang harus ikut dipertimbangkan adalah
faktor biologis individual, faktor psikososial sebelumnya dan peristiwa yang
terjadi setelah trauma. Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi tampaknya

2
memainkan peranan penting dalam menentukan apakah gangguan akan
berkembang, yaitu :

1. Adanya trauma masa anak-anak


2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti sosial
3. Sistem pendukung yang tidak adekuat
4. Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik
5. Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi
6. Persepsi lokus kontrol eksternal
7. Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai taraf ketergantungan

Jika trauma terjadi pada masa anak-anak maka akan terjadi


penghentian perkembangan emosional, sedangkan jika terjadi pada masa dewasa
akan terjadi regresi emosional.1

2.4 Manifestasi Klinis

Gejala menunjukkan variasi yang besar, tetapi biasanya mereka


menyertakan sebuah keadaan awal dari "linglung", dengan beberapa penyempitan
bidang kesadaran dan penyempitan perhatian, ketidakmampuan untuk memahami
rangsangan, dan disorientasi. Keadaan ini dapat diikuti baik oleh penarikan lebih
lanjut dari situasi sekitarnya, atau dengan agitasi dan overeaktifitas. Tanda-tanda
panik otonom kecemasan (takikardia, berkeringat, kemerahan) yang umumnya
hadir. Gejala biasanya muncul dalam beberapa menit dari dampak dari stres
rangsangan atau aktivitas, dan menghilang dalam waktu 2-3 hari (seringkali dalam
beberapa jam). Amnesia sebagian atau lengkap untuk episode mungkin ada.

Seseorang dengan Gangguan Stress akut dapat mengalami kesulitan


berkonsentrasi, merasa terlepas dari tubuh mereka, pengalaman dunia sebagai
tidak nyata atau mimpi, atau mengalami kenaikan kesulitan mengingat detail
spesifik dari peristiwa traumatik (amnesia disosiatif). Peristiwa traumatik yang
dialami kembali terus-menerus dalam setidaknya salah satu dari cara berikut:
berulang, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik, atau rasa menghidupkan

3
kembali pengalaman atau penderitaan pemaparan pada pengingat dari peristiwa
traumatik.1

2.5 Diagnosis

Kriteria diagnostik untuk gangguan stress akut menurut PPDGJ III


adalah sebagai berikut :2

1. Harus ada kaitan waktu kejadian yang jelas antara terjadinya pengalaman
stressor luar biasa (fisik atau mental) dengan onset dari gejala, biasanya
setelah beberapa menit atau segera setelah kejadian.
2. Selain itu ditemukan gejala-gejala :
a. Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-ubah;
selain gejala permulaan berupa keadaan terpaku (daze), semua hal
berikut dapat terlihat : depresi, ansietas, kemarahan, kecewa,
overaktif, dan penarikan diri. Akan tetapi tidak satupun dari gejala
tersebut yang mendominasi gambaran klinisnya untuk waktu yang
lama.
b. Pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dari lingkup stresornya,
gejala dapat menghilang dengan cepat (dalam beberapa jam);
dalam hal di mana stres menjadi berkelanjutan atau tidak dapat
dialihkan, gejala-gejala biasanya baru mereda setelah 24-48 jam
dan biasanya hampir menghilang setelah 3 hari.
3. Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan kambuhan mendadak
dari gejala-gejala pada individu yang sudah menunjukkan gangguan
psikiatrik lainnya.
4. Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan diri memegang
peranan dalam terjadinya atau beratnya suatu gangguan stres akut.

4
Kriteria diagnostik untuk gangguan stress akut menurut DSM IV
adalah sebagai berikut:3

A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari
berikut ini ditemukan:
1. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu
kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian
atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau
ancaman kepada integritas diri atau orang lain.
2. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak
berdaya atau horor.
B. Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang
menakutkan, individu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut :
1. Perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas
emosi.
2. Penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada
dalam keadaan tidak sadar)
3. Derealisasi
4. Depersonalisasi
5. Amnesia disosiatif (yaitu, ketidakmampuan untuk mengingat aspek
penting dari trauma)
C. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu
cara berikut: bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang
rekuren, atau suatu perasaan hidupnya kembali pengalaman atau
penderitaan saat terpapar dengna pengingat kejadian traumatik.
D. Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi
trauma (misalnya, pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat,
orang).
E. Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya, sulit
tidur, iritabilias, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon
kejut yang berlebihan, dan kegelisahan motorik).

5
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain,
menganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang
diperlukan, seperti meminta bantuan yang diperlukan atau menggerakan
kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga
tentang pengalaman traumatik.
G. Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu
dan terjadi dalam 4 minggu setelah traumatik
H. Gangguan tidak disebabkan karena efek fisiologis langsung dari suatu
zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis
umum, tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan psikotik singkat dan
tidak semata-mata suatu eksaserbasi gangguan Aksis I atau Aksis II dan
telah ada sebelumnya.

Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat


perilaku menghindar, kesadaran berlebih (hiperarousal) otonomik, atau riwayat
trauma yang dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik. Sebagian
karena publikasi yang luas dan telah diterima, istilah gangguan stress
pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus juga mempertimbangkan
kemungkinan suatu gangguan buatan atau berpura-pura.

2.6 Diagnosis Banding

1. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Pada PTSD, pasien harus mengalami suatu stress emosional yang besar
yang bersifat traumatik bagi setiap orang. Peristiwa trauma tersebut
termasuk trauma peperangan, bencana alam, penyerangan, pemerkosaan,
dan kecelakaan yang serius. PTSD terdiri dari pengalaman kembali trauma
melalui mimpi dan pikiran yang membangunkan (waking through),
penghindaran yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan
penumpulan responsivitas pada penderita tersebut, kesadaran berlebihan
(hyperarousal) yang persisten. Menurut DSM-IV perbedaan antara

6
gangguan stress akut dengan PTSD adalah lamanya gejala berlangsung
yaitu pada gangguan stress akut berlangsung 2 hari hingga 1 bulan
sedangkan pada PTSD berlangsung lebih dari 1 bulan.4

2. Gangguan Panik
Gangguan panik adalah ditandai dengan terjadinya serangan panik yang
spontan dan tidak diperkirakan. Gangguan panik ini sering disertai dengan
adanya agoraphobia yaitu ketakutan berada sendirian di tempat-tempat
publik. Pasien ini dibawa berobat ke rumah sakit dengan keluhan
berteriak-teriak ketakutan serta berguling-guling di lantai tempat kerjanya
sehingga hal ini mendukung adanya suatu serangan panic yang spontan.
Selain itu, pasien juga menghindari tempat-tempat umum atau transportasi
umum.

2.7 Penatalaksanaan
Gangguan ini dapat diatasi sendiri dengan waktu atau mungkin
berkembang menjadi gangguan yang lebih berat seperti PTSD. Namun hasil
Creamer, O'Donnell dan Pattison's (2004) penelitian terhadap 363 pasien
menunjukkan bahwa diagnosa Gangguan Stres akut hanya memiliki validitas
prediktif terbatas untuk PTSD. Namun tidak menemukan bahwa pengalaman
kembali peristiwa traumatik dan gairah lebih baik prediktor PTSD. Obat dapat
digunakan untuk jangka waktu yang sangat singkat (sampai empat minggu)

Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menilai efektivitas


konseling dan psikoterapi bagi orang-orang dengan ASD. Terapi perilaku kognitif
yang mencakup eksposur dan restrukturisasi kognitif ternyata efektif dalam
mencegah PTSD pada pasien yang didiagnosis dengan klinis ASD dengan hasil
yang signifikan pada 6 bulan follow-up. Kombinasi relaksasi, restrukturisasi
kognitif, imaginal eksposur dan vivo eksposur lebih unggul untuk mendukung
konseling.5

7
2.8 Prognosis
Prognosis untuk gangguan ini sangat baik. Jika berkembang ke
gangguan lain (biasanya PTSD), tingkat keberhasilan dapat bervariasi sesuai
dengan spesifikasi yang terjadi pada gangguan.1

2.9 Stress
Stres adalah sekumpulan rangsangan biologis yang timbul akibat
adanya rangsangan yang merugikan baik secara fisik, mental atau emosional,
internal atau eksternal, yang umumnya mengganggu homeostasis suatu organisme.
Stres adalah suatu tekanan atau sesuatu yang terasa menekan dalam diri individu.
Stres dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan antara harapan dan kenyataan
yang diinginkan oleh individu, baik keinginan yang bersifat jasmaniah maupun
rohaniah. Stres adalah persepsi, baik nyata maupun imajinasi. Persepsi terhadap
stres berasal dari rasa takut atau marah. Perasaan ini dapat diekspresikan dalam
sikap tidak sabar, frustasi, iri, tidak ramah, depresi, bimbang, cemas, rasa bersalah
dan khawatir atau apatis.4

Berbagai penelitian menuliskan stres dibagi menjadi dua bagian, yaitu


stress positif/eustress dan stres negatif/distress. Eustress atau stres positif
merupakan situasi atau kondisi apapun yang dapat memotivasi atau memberikan
inspirasi, misalnya promosi jabatan. Stres negatif/distress adalah stres yang
menekan hingga dapat membuat individu menjadi marah, tegang, bingung, cemas,
merasa bersalah, atau kelelahan. Distress dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu
stres akut dan stres kronik. Stres akut berlangsung dalam waktu yang singkat
namun cukup kuat, kemudian menghilang dengan cepat, seperti stres saat mencari
lahan parker di tempat kerja, terburu-buru mencari nomor telepon dan terlambat
datang ke rapat. Stres kronik merupakan stres yang muncul tidak terlalu kuat
namun dapat bertahan dalam waktu lama dari hitungan hari hingga bulanan,
sebagai contoh masalah keuangan dan kejenuhan kerja. Stres kronik yang dialami
berulang kali dapat memengaruhi kesehatan dan produktivitas individu.1

8
2.9.1 Gejala stres
Gejala-gejala stres menurut Wijaya (2010) antara lain:
a) Gejala fisikal
Tidur tidak teratur (insomnia), mudah lelah, diare, tegang pada
leher dan bahu.
b) Gejala emosional atau suasana perasaan
Gelisah, mudah marah, merasa harga diri menurun, gejala
intelektual, susah berkonsentrasi, sulit atau lambat membuat
keputusan.
c) Gejala interpersonal
Kehilangan kepercayaan terhadap orang lain, mudah
mempersalahkan orang lain, tidak peduli dengan orang lain
(Christyanti et al., 2010).

2.1.2 Tahapan stres

Menurut Dr. Robert J. Van Amberg, tahapan-tahapan stres adalah


sebagai berikut:
1. Stres tahap I
Tahapan ini merupakan tahap paling ringan. Ciri dari tahap ini, yaitu
semangat kerja besar atau berlebihan, awareness atau kewaspadaan meningkat,
merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya, merasa senang
dengan pekerjaan dan bersemangat. Namun tanpa disadari stres pada tahapan ini
dapat menyebabkan cadangan energi habis.
2. Stres tahap II
Pada tahapan ini individu dapat merasakan letih saat bangun pagi,
mudah lelah terutama sesudah makan siang, mudah lelah menjelang sore hari,
sering mengeluh gangguan sistem pencernaan atau perut tidak nyaman, detak
jantung meningkat lebih dari biasanya, otot-otot daerah punggung dan tengkuk
terasa tegang serta tidak dapat relaks

9
3. Stres tahap III
Individu pada tahapan ini akan memperlihatkan keluhan-keluhan,
seperti gangguan sistem pencernaan yang makin menguat, peningkatan
ketegangan otot, perasaan tidak nyaman, suasana perasaan yang semakin mudah
berubahubah, gangguan pola tidur seperti sulit tidur, terbangun tengah malam dan
sulit kembali tidur, atau bangun dini hari dan tidak dapat kembali tidur, gangguan
pengendalian koordinasi tubuh seperti badan terasa sempoyongan seakan ingin
pingsan. Individu pada tahapan ini sebaiknya berkonsultasi dengan tenaga
profesional seperti psikiater atau psikolog klinis untuk memperoleh tatalaksana
yang komprehensif.
4. Stres tahap IV
Ciri-ciri stres pada tahap IV, antara lain kesulitan bertahan melakukan
aktivitas rutin, aktivitas yang semula menyenangkan dan mudah menjadi
membosankan dan terasa lebih sulit, semula tanggap terhadap situasi menjadi
kehilangan kemampuan untuk merespon secara memadai, ketidakmampuan
melaksanakan kegiatan sehari-hari, gangguan pada pola tidur semakin meningkat
disertai mimpi-mimpi menegangkan, seringkali menolak ajakan karena tidak ada
semangat dan kegairahan, daya konsentrasi dan daya ingat menurun, timbul
perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
5. Stres tahap V
Stres tahap V merupakan kelanjutan dari stres tahap IV yang memiliki
gambaran utama, seperti kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam,
ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana,
gangguan sistem pencernaan semakin berat, timbul perasaan ketakutan dan
kecemasan yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik.
6. Stres tahap VI
Tahapan ini disebut dengan tahapan klimaks karena seseorang
mengalami serangan panik dan perasaan takut mati. Ciri-ciri stres tahap VI adalah
debaran jantung teramat keras, sesak nafas, tubuh gemetar, dingin dan keringat
berkucuran, ketiadaan tenaga untuk hal ringan, pingsan dan kolaps.

10
2.9.3 Respons terhadap Stres
Respons terhadap stres memiliki beberapa aspek yaitu respons
fisiologi, respons kognitif, respons emosi dan respons tingkah laku.
1) Respons Fisiologi
Respons fisiologi merupakan suatu respons individu secara fisik yang
ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, denyut nadi, dan
system pernafasan. Kondisi normal sistem tubuh adalah bekerja untuk
mempertahankan suatu keseimbangan internal yang disebut homeostasis.
Homeostasis tubuh dapat terganggu ketika berhadapan dengan stressor. Tubuh
mencoba untuk mengembalikan homeostasis dengan melakukan respons berupa
adaptasi. Respons ini dikenal sebagai GAS (General Adaptation Syndrome) atau
sindrom adaptasi menyeluruh yang pertama kali dicetuskan oleh Hans Selye pada
tahun 1936. Terdapat tiga fase dalam model ini, yakni reaksi alarm, resistensi dan
kelelahan.4
 Reaksi alarm
Reaksi ini dimulai ketika otak mempersepsikan adanya stressor, baik
nyata atau imajinasi. Korteks cerebri akan mengaktivasi sistem saraf otonom
sebagai respons persiapan tubuh untuk bertahan terhadap stressor. Sistem saraf
otonom adalah bagian sistem saraf pusat yang mengatur fungsi tubuh secara
unconsciousness seperti fungsi jantung dan sistem hormonal serta sistem
pernafasan. Sistem saraf otonom terbagi dua bagian, yakni system saraf simpatis
dan sistem saraf parasimpatis. Sistem saraf simpatis memberi energi pada tubuh
untuk melakukan respons fight or flight dengan cara meningkatkan sekresi
hormon stres. Sistem saraf parasimpatis bekerja menghambat respons stres yang
bekerja berlawanan dengan kerja system saraf simpatis3
Respons stres yang diaktifkan sistem saraf simpatis mencetuskan
perubahan struktur biokimia tubuh dan kelenjar hipotalamus merupakan pusat
control dari sistem saraf simpatis. Hipotalamus merespons stressor dengan
mengeluarkan lebih banyak energi dengan cara menstimulasi kelenjar adrenal
untuk melepaskan hormon epinefrin atau adrenalin. Epinefrin menyebabkan
peningkatan aliran darah, melebarkan jalan nafas untuk meningkatkan pertukaran

11
oksigen, peningkatan frekuensi nafas, menstimulasi hati untuk mengeluarkan
glukosa sebagai energi otot dan dilatasi pupil untuk meningkatkan sensitivitas
terhadap cahaya sehingga tubuh siap untuk bertindak.
Fase reaksi alarm dapat mencetuskan reaksi stres yang lebih lama
sebagai respons tambahan untuk fight or flight. Hipotalamus memproduksi CRH
(Corticotropin Releasing Hormone), sebuah hormon yang mengatur kelenjar
hipofisis untuk mengeluarkan hormon ACTH (Adrenokortikotropin hormon).
ACTH menyebabkan pelepasan hormon cortisol oleh kelenjar adrenal. Hormon
ini meningkatkan kadar glukosa untuk membantu memenuhi kebutuhan energi
yang menyebabkan otak melepaskan endorfin, suatu hormon yang dapat
mengurangi rasa sakit.
 Fase resistensi
Fase resistensi terjadi ketika tubuh mencoba mengembalikan
homeostasis dengan mengendalikan fase alarm, namun karena stressor tetap
berlangsung sehingga tubuh tidak dapat beristirahat sempurna maka tingkatan
metabolisme diberbagai jaringan tetap tinggi. Contoh dari fase ini adalah saat
individu mendapat informasi, orang yang disayangi didiagnosis kanker stadium
akhir maka respons yang akan timbul berupa kesedihan dan kecemasan yang luar
biasa. Ketenangan akan timbul setelah individu beradaptasi beberapa waktu
kemudian, meskipun tubuh tetap tidak dapat berisitirahat secara total. Organ dan
sistem resistensi akan tetap bekerja sepanjang hari.
 Fase kelelahan
Usaha panjang tubuh untuk beradaptasi dengan stres selanjutnya akan
sampai pada tahap kelelahan yang berlebih. Fase ini terjadi ketika energy fisik dan
emosi yang digunakan untuk melawan stressor sudah habis. Pada fase ini tubuh
memasuki fase stres kronik, dimana kelenjar adrenal berkelanjutan menghasilkan
kortisol. Kortisol yang menetap lama dalam darah dapat menurunkan imunitas
atau kemampuan sistem imun, tekanan darah meningkat berlebihan, mudah sakit
dan gangguan tubuh dalam mengendalikan kadar gula darah.

12
2) Respons Kognitif
Stressor dapat memengaruhi respons kognitif individu, yang dapat
dilihat dengan kekacauan proses pikir, gangguan atensi, gangguan fungsi daya
ingat, gangguan orientasi, gangguan kalkulasi, gangguan fungsi daya nilai dan
lainnya.
3) Respons Emosi
Stressor memengaruhi suasana perasaan individu, dapat timbul berupa
ketakutan, kecurigaan, malu, marah dan sedih.
4) Respons Tingkah Laku
Respons tingkah laku individu terhadap stres dibedakan menjadi dua
yaitu fight (melawan situasi yang menekan) dan flight (menghindari situasi yang
menekan).

2.9.4 Manajemen stres


Manajemen stres merupakan suatu teknik yang dapat membantu
individu untuk menghadapi tantangan hidupnya. Manajemen stres mencakup
beberapa teknik, yaitu:
a) Pengurangan ketegangan
Teknik pengurangan ketegangan dilakukan individu dengan memberikan
latihan relaksasi pada otot. Relaksasi mendalam dan menerapkan
keterampilan tersebut di kehidupan keseharian dapat menurunkan tingkatan
stres dan bermanfaat untuk peningkatan fungsi kekebalan tubuh.
b) Restrukturisasi kognitif
Restrukturisasi kognitif antara lain dilakukan dengan mengubah system
persepsi dan kejernihan interpretasi logis individu, meningkatkan kapasitas
intelektual hingga memengaruhi perasaan dan perilaku individu.
c) Pelatihan keterampilan behavioural
Individu yang kurang memiliki keterampilan dalam menyelesaikan tugas
yang menantang akan menjadikan tantangan tersebut sebagai stressor dan
menimbulkan beban pada individu tersebut. Keterampilan behavioural atau

13
perilaku adalah memberikan keterampilan yang diperlukan individu dalam
menghadapi berbagai stressor sehingga stressor tidak lagi menjadi beban.
d) Pendekatan perubahan lingkungan
Pendekatan perubahan lingkungan dapat membantu individu agar tetap
sehat dengan memodifikasi lingkungan menjadi bentuk dukungan sosial

2.9.5 Pengukuran Stres


Pengukuran stres dapat dilakukan dengna berbagai cara, pada
penelitian ini menggunakan SRQ-20 dan SDS.

2.9.5.1 SRQ-20 (Self Reporting Questionnaire 20)


Tahap pengembangan instrumen SRQ-20 dimulai dengan penapisan
sejumlah pertanyaan oleh panel aktif di WHO (World Health Organization),
terhadap instrumen SRQ-20 yang dikembangkan di beberapa negara. Pada tahap
lanjut instrumen tersebut dibandingkan dengan empat instrumen penilaian lainnya,
yaitu PASSR (The Patient Self Report Symtom Farm), The Post Graduate
Institute Health Quetionnaire N2, GHQ (The General Health Quetionnaire), PSE
(The Present State Examintaion). Hasil dari perbandingan tersebut didapati 32
pertanyaan dan akhirnya setelah dilakukan berbagai penelitian lanjut menjadi 20
pertanyaan.
Kuesioner SRQ-20 memiliki pembagian klasifikasi diagnosis yang
sesuai dengan ICD 10 (International Classification of Disease). Pembagian
klasifikasi SRQ-20 tersebut terdiri dari :
1. Depression:
 Depressive episodic
 Recurent depressive disorder
 Dysrithimia
2. Anxiety Related Disorder:
 Phobic anxiety disorders
 Panic disorder
 Generalized anxiety disorder

14
 Mixed anxiety-depressive disorder
 Obsesiv compulsive disorder
 Adjustmen disorder
3. Somatoform disorder
 Somatization disorder
 Undifferentiated somatoform disordes
 Other neurothic disorder: neurasthenia

Kuesioner ini dapat dipakai individu yang telah terlatih untuk


mengetahui adanya tanda dan gejala gangguan mental kearah depresi dan ansietas.
Proses pengisian kuesioner ini memiliki beberapa peraturan yang dapat
memengaruhi hasil pengisian diantaranya ialah:
1. Saat melakukan pengisian kuesioner, responden tidak boleh
mendiskusikan pertanyaan baik sesama responden maupun ke
pewawancara.
2. Responden dianjurkan hanya menjawab pertanyaan dengan jawaban ya
atau tidak.
3. Responden yang tidak yakin dalam menjawab pertanyaan, maka
diharapkan tetap memberikan jawaban yang terbaik menurut dirinya.
4. Pertanyaan yang dibacakan oleh pewawancara boleh diulang jika,
responden belum mendapatkan jawaban.
5. Pemberian informasi tambahan yang diijinkan adalah bahwa pertanyaan
dapat didiskusikan satu kali ketika semua pertanyaan sudah terjawab.
6. Jawaban kuesioner bersifat rahasia

2.9.5.2 SDS (Survei Diagnosis Stres)


SDS (Survei Diagnosis Stres) merupakan alat ukur stres yang
dikembangkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan
RI (Afrianti et al., 2007). Kuesioner ini terdiri dari 30 pertanyaan yang mencakup
macam-macam sumber stressor kerja, yaitu:

15
a) Ketaksaan peran
Ketaksaan peran terjadi pada individu yang tidak memiliki cukup informasi
untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti perannya dalam
tugas yang diberikan. Sasaran yang tidak jelas mengarah pada
ketidakpuasan kerja, kurang memiliki kepercayaan diri, rasa tak berguna,
rasa harga diri menurun, penurunan suasana perasaan dan motivasi rendah
untuk bekerja (Hermita, 2011). Poin penilaian ketaksaan peran pada
pertanyaan nomor 1, 7, 13, 19 dan 25.
b) Konflik peran
Konflik peran merupakan keadaan dimana terdapat tugas yang sama pada
dua atau lebih individu dalam kegiatan (Hermita, 2011). Poin penilaian pada
konflik peran terdiri dari pertanyaan nomor 2, 8, 14, 20 dan 26.
c) Beban kerja berlebih kuantitatif
Beban kerja berlebih kuantitatif yaitu jumlah atau banyaknya pekerjaan
yang harus ditanggung oleh individu. Poin penilaian pada beban kerja
berlebih kuantitatif terdiri dari pertanyaan nomor 3, 9, 15, 21 dan 27.
d) Beban kerja berlebih kualitatif
Beban kerja berlebih kualitatif merupakan suatu pekerjaan yang harus
ditanggung oleh individu berdasarkan kualitas. Poin penilaian pada beban
kerja berlebih kualitatif terdiri dari pertanyaan nomor 4, 10, 16, 22 dan 28.
e) Pengembangan karir
Pengembangan karir merupakan proses peningkatan kemampuan kerja
individu yang dilakukan dalam rangka mencapai suatu rencana karir yang
diinginkan. Poin penilaian pada pengembangan karir terdiri dari pertanyaan
nomor 5, 11, 17, 23 dan 29.
f) Tanggung jawab terhadap orang lain.
Tanggung jawab terhadap orang lain merupakan kewajiban yang
berhubungan dengan orang lain. Poin penilaian pada tanggung jawab
terhadap orang lain terdiri dari pertanyaan nomor 6, 12, 18, 24 dan 30

16
BAB III
PENUTUP

Gangguan Stres Akut (Acute Stress Disorder/ASD) adalah sebuah


kondisi psikologis yang timbul sebagai tanggapan terhadap peristiwa yang
mengerikan, hasil dari sebuah peristiwa traumatis di mana seseorang mengalami
atau saksi suatu peristiwa yang menyebabkan korban/saksi untuk mengalami
ekstrim, mengganggu atau tidak terduga takut, stres, (dan kadangkadang rasa
sakit) dan yang melibatkan atau mengancam serius, dirasakan cedera serius
(biasanya kepada orang lain), atau kematian. Gangguan ini dapat diatasi sendiri
dengan waktu atau mungkin berkembang menjadi gangguan yang lebih berat
seperti PTSD. Prognosis untuk gangguan ini sangat baik. Jika berkembang ke
gangguan lain (biasanya PTSD), tingkat keberhasilan dapat bervariasi sesuai
dengan spesifikasi yang terjadi pada gangguan.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan HI. Sadock BJ.Synopsis of Psychiatry Behavioral Science/Clinical


Psychiatry.10th ed.New York: Lippincot Williams & Wilkins.2007.pg:
322:28.
2. Maslim. Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III:
Reaksi Akut Stres. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Atmajaya.2001; pg 53.
3. American Psychiatric association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder (DSM-IV). 4th ed.Washington,DC:American Psychiatric
Association; 2000.
4. Kapita Selekta Kedokteran. 3th ed. Jakarta : Penerbit Media Aesculapsius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001.pg :189:192.

18

Anda mungkin juga menyukai