Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), mengatakan
Guillain Barre Syndroem (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan
seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan
apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi
yang menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh
kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepimenyebabkan sistem ini sulit
menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap
kerja sistem syaraf.1
Angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,6-1,6 setiap 10.000-40.000
penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan berkembang tidak
nampak. Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan wanita. Data
RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan pada akhir tahun 2010-
2011 tercatat 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai varian jumlahnya
per bulan. Pada Tahun 2012 berbagai kasus di RSCM mengalami kenaikan sekitar
10%.2
Keadaan tersebut di atas menunjukkan walaupun kasus penyakit GBS
relatif jarang ditemukan namun dalam beberapa tahun terakhir ternyata jumlah
kasusnya terus mengalami peningkatan. Meskipun bukan angka nasional negara
Indonesia, data RSCM tidak dapat dipisahkan dengan kasus yang terjadi di negara
ini, karena RSCM merupakan salah satu Rumah Sakit pusat rujukan nasional.
Berdasarkan fakta di atas perlu kita mengenal penyakit GBS secara lebih rinci.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Guillain Barre Syndrome (GBS)


2.1.1 Definisi
Guillain Barre Syndrome atau GBS adalah suatu polineuropati yang
bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu
setelah infeksi akut. Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis
yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan
dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan
nervus kranialis.4
2.1.2 Sejarah
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry
pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry
ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan
terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916,
Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas
berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai
peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik.
Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert
dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain
berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada
pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat
perlambatan kecepatan hantar saraf EMG5
2.1.3 Epiemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim.
Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musism panas
dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada
penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada
setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak
bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir
musim panas dan musim gugur.3

2
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9
kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical
Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per
100.000 orang 3
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74
tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah
dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita
sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita
adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada
kelompok ras yang tidak spesifik.5
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak.
Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia
adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita
laki-laki dan wanita hamper sama. Sedangkan penelitian di Bandung
menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia
rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana
terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.3
2.1.4 Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan,
yaitu:5
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia

2.1.5 Patogenesa, Peran Imunitas Seluler, dan Patologi

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang


mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum

3
diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan
saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi.4

Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang


menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:4
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi
mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari
peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan
proses demyelinisasi saraf tepi.

Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon


imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. 4

Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan


penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari
sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan
sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid danperedaran.

Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus
dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah
menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan
imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen
presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada
limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi
marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa
TNF.4

Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh


aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf,
untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag

4
akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping
menghasilkan TNF dan komplemen.4
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran
pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada
saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga
atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung
myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan
makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas.
Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara
progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf
tepi telah hancur.4
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi
adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada
endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila
peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian.
Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis
dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.3

2.1.6 Gejala Klinis dan Kriteria Diagnosa


Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks
tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami
demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan
motorik perifer.7

Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah kriteria dari National


Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS),
yaitu:4,7
I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis
 Terjadi kelemahan yang progresif
 Hiporefleks sampai arefleks

5
II. Ciri-ciri yang sangat kuat menyokong diagnosis GBS
a. Ciri-ciri klinis
 Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
 Relatif simetris
 Gejala gangguan sensibilitas ringan
 Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5%
kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak
lain
 Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas
berhenti, dapat memanjang sampai beberapa bulan.
 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dangejala vasomotor.
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat diagnose:
 Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial
 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
 Varian:
o Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
o Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
c. Gambaran elektrolit yang mendukung diagnose
o Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80%
kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari
normal

2.1.7 Diagnosis Banding


Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan
kriteria diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang
harus dibedakan dengan keadaan lain, seperti:4
 Mielitis akuta
 Poliomyelitis anterior akuta
 Porphyria intermitten akuta

6
 Polineuropati post difteri

2.1.8 Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara
umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat
sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan
angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus
diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).6
Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid
tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.4,6,7
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan
faktorautoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang
lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml
plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan
saat awal onset gejala (minggu pertama).4,6,7
Pengobaan imunosupresan
1. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih
menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari
selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari
tiap 15 hari sampai sembuh.
2. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
 6 merkaptopurin (6-MP)
 Azathioprine
 Cyclophosphamid

7
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah,
mual dan sakitkepala.
2.1.9 Prognosis
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada
sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95%
terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan
keadaan antara lain:4
 Pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
 Mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
 Progresifitas penyakit lambat dan pendek
 Pada penderita berusia 30-60 tahun7

8
BAB III
STATUS ORANG SAKIT

Nomor rekam medis : 01.05.28.54


Tanggal masuk : 04 April 2018
Ruangan : Ruangan Melati (Bangsal Neurologi)

Anamnesa Pribadi
Nama : Raja Sahnan
Umur : 20 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Suku : Batak
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : Wiraswata
Alamat : Dusun IV Tanjung Selamat, Kecamatan Percut Sei Tuan
Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara

Anamnesa Penyakit
Secara autoanamnesa dan alloanamnesa
Keluhan Utama : Lemah pada ekskremitas atas dan bawah
Telaah :
Hal ini dialami pasien sejak ± 4 hari sebelum masuk rumah sakit, keluhan muncul
secara tiba-tiba saat os bangun pagi. Keluhan dialami mulai dari ujung-ujung
kedua tangan kaki dan tangan. Rasa yang muncul mulai rasa kebas-kebas pada
ujung-ujung jari. Lalu menjalar hingga ke pangkal tangan dan kaki. Beberapa
minggu sebelumnya os sempat mengalami batuk.
Anamnesa Penyakit Keluarga:
Tidak dijumpai

9
Riwayat penyakit dahulu dan kecelakaan:
Tidak dijumpai

Intoksikasi dan obat-obatan:


Tidak dijumpai

Riwayat alergi:
Tidak dijumpai

Pemeriksaan Jasmani
Status Present
Sensorium : Compos mentis (E4V5M6)
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 86 x/i
Pernapasan : 20x/i
Suhu : 36,5oC

Status Generalis
Kepala
Bentuk : normal, simetris.
Rambut : berwarna hitam, distribusi merata
Mata : reflex cahaya (+/+), pupil isokor, anemis (-/-), ikterus (-/-)
Telinga : bentuk dalam batas normal, sekret (-)
Hidung : septum deviasi (-), sekret (-)
Mulut : mukosa bibir kering (-), lidah kotor (-), gusi tidak ada perdarahan

Leher
Trakea : medial
KGB : tidak membesar
TVJ : R-2 cm H2O

Thoraks

10
Inspeksi : simetris, pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : stem fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : suara pernapasan : vesikuler
suara tambahan : tidak dijumpai

Abdomen
Inspeksi : simetris
Palpasi : soepel, hepar, renal dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : peristaltik usus (+) normal

Ekstremitas
Superior : edema (-/-), sianosis (-)
Inferior : edema (-/-) sianosis (-)

11
Status Neurologis
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : compos mentis, GCS = 15 (E4V5M6)

Rangsangan Meningeal
 Kaku kuduk : (-)
 Tanda Kernig : (-)
 Tanda Laseque : (-)
 Tanda Brudzinki I : (-)
 Tanda Brudzinki II : (-)

Peningkatan Tekanan Intrakranial


 Muntah : (-)
 Sakit kepala : (-)
 Kejang : (-)

Pemeriksaan Nervus Cranialis


 N. Olfactorius (I)
Dextra Sinistra
Daya penghidu normosemia normosemia

 N. Opticus (II)
Dextra Sinistra
Refleks ancaman dijumpai dijumpai
Refleks cahaya dijumpai dijumpai
Pupil isokor, bulat, ±3 mm isokor, bulat, ±3 mm
Lapangan pandang dalam batas normal dalam batas normal
Pengenalan warna Baik baik

12
 N. Oculomotorius (III)

Dextra Sinistra
Gerakan bola mata ke
baik baik
medial
Gerakan bola mata ke atas baik baik
Gerakan bola mata ke bawah baik baik
Strabismus tidak dijumpai tidak dijumpai
Nistagmus tidak dijumpai tidak dijumpai
Ptosis tidak dijumpai tidak dijumpai

Pupil isokor, bulat, ±3 mm isokor, bulat, ±3 mm


Refleks cahaya dijumpai dijumpai

 N. Trochlearis (IV)
Dextra Sinistra
Gerakan bola mata ke bawah medial baik baik

 N. Trigeminus (V)
Dextra Sinistra
Menggigit baik baik
Membuka mulut simetris simetris
Rasa nyeri dijumpai dijumpai
Rasa suhu dijumpai dijumpai
Rasa raba dijumpai dijumpai
Refleks masseter dijumpai dijumpai
Refleks kornea dijumpai dijumpai

 N. Abducens (VI)
Dextra Sinistra
Gerakan bola mata ke lateral baik baik

 N. Facialis (VII)
Dextra Sinistra
Mimik wajah simetris simetris
Mengerutkan kening simetris simetris
Menutup mata simetris simetris
Memperlihatkan gigi Simetris, kurang Simetris, kurang
maksimal maksimal

13
Menggembungkan pipi simetris simetris
Pengecapan 2/3 depan tidak dilakukan pemeriksaan
lidah

 N. Vestibulocochlearis (VIII)
Dextra Sinistra
Mendengar suara dijumpai dijumpai
Tes rhinne tidak dilakukan pemeriksaan
Tes weber tidak dilakukan pemeriksaan
Tes swabach tidak dilakukan pemeriksaan
Vertigo tidak dijumpai
Nistagmus tidak dijumpai
Tinnitus tidak dijumpai

 N. Glossopharingeus (IX)
Hasil pemeriksaan
Posisi uvula medial
Pengecapan 1/3 belakang lidah tidak dilakukan pemeriksaan
Posisi lidah medial

14
 N. Vagus (X)
Hasil pemeriksaan
Menelan Mengalami sedikit kesulitan
Refleks muntah dijumpai

 N. Asesorius (XI)
Hasil pemeriksaan
Menengadah kepala baik
Memalingkan wajah baik
Mengangkat bahu simetris
Sikap bahu Simetris

 N. Hipoglossus (XII)
Hasil pemeriksaan
Menjulurkan lidah simetris
Atrofi lidah tidak dijumpai
Artikulasi jelas
Tremor lidah tidak dijumpai

Sistem Motorik
 Trofi
Dextra Sinistra
Ekstremitas superior eutrofi eutrofi
Ekstremitas inferior eutrofi eutrofi

 Tonus otot
Dextra Sinistra
Ekstremitas superior normotonus normotonus
Ekstremitas inferior normotonus normotonus

 Kekuatan Otot
Dextra Sinistra
Ekstremitas superior 3/3/3/3 3/3/3/3
Ekstremitas inferior 2/2/2/2 2/2/2/2

 Sikap

15
Hasil pemeriksaan
Duduk Dijumpai, namun butuh
bantuan
Berdiri sulit dinilai
Berbaring dijumpai

 Gerakan spontan abnormal


Hasil pemeriksaan
Tremor tidak dijumpai
Chorea tidak dijumpai
Ballismus tidak dijumpai
Distonia tidak dijumpai
Spasmus tidak dijumpai
Tic tidak dijumpai

 Tes Sensibilitas
Hasil pemeriksaan
Ekstreroseptik
 raba dijumpai
 nyeri dijumpai
 suhu dijumpai
Propioseptik
 rasa gerak dijumpai
 rasa posisi dijumpai
 rasa getar dijumpai
 rasa tekan dijumpai

 Refleks fisiologis
Dextra Sinistra
Biceps Tidak dijumpai Tidak dijumpai
Triceps Tidak dijumpai Tidak dijumpai
Brachioradialis Tidak dijumpai Tidak dijumpai
APR Tidak dijumpai Tidak dijumpai

16
KPR Tidak dijumpai Tidak dijumpai

 Refleks patologis
Dextra Sinistra
Babinsky tidak dijumpai tidak dijumpai
Chaddock tidak dijumpai tidak dijumpai
Oppenheim tidak dijumpai tidak dijumpai
Schaffer tidak dijumpai tidak dijumpai
Gordon tidak dijumpai tidak dijumpai
Gonda tidak dijumpai tidak dijumpai
Hoffman tidak dijumpai tidak dijumpai
Tromner tidak dijumpai tidak dijumpai

 Koordinasi
Hasil pemeriksaan
Bicara baik
Menulis baik
Percobaan apraksia tidak dijumpai
Tes telunjuk hidung baik
Tes telunjuk- telunjuk baik
Tes romberg sulit dinilai
 Vegetatif
Hasil pemeriksaan
Vasomotorik baik
Sudomotorik baik
Pilo-erektor baik
Miksi baik
Defekasi baik
Potensio dan libido tidak dilakukan pemeriksaan

 Tanda Perangsangan Radikuler


Hasil pemeriksaan
Laseque tidak dijumpai
Cross laseque tidak dijumpai

17
Lhermitte test tidak dilakukan pemeriksaan
Nafziger test tidak dilakukan pemeriksaan

 Gejala-gejala serebellar
Hasil pemeriksaan
Ataksia tidak dijumpai
Disartria tidak dijumpai
Tremor tidak dijumpai
Nistagmus tidak dijumpai
Fenomena rebound tidak dijumpai

 Gejala-gejala ekstrapiramidal
Hasil pemeriksaan
Tremor tidak dijumpai
Rigiditas tidak dijumpai
Bradikinesia tidak dijumpai

 Fungsi luhur
Hasil pemeriksaan
Kesadaran compos mentis (E4V5M6)
Orientasi baik
Ingatan lama baik
Ingatan baru baik
Reaksi emosi baik
Daya pertimbangan baik
Agnosia tidak dijumpai

Hasil Pemeriksaan
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 16.0 g/dl 12 - 16
Leukosit 10.98 103 /ul 4.0 - 11.0

18
Hematokrit 48.1 % 36.0 - 48.0
Trombosit 306 103 /ul 150 - 400
Eritrosit 6.01 106 /ul 4.00 – 5.40
Ureum 28.00 mg/dl 10.00 – 50.00
Creatinin 0.74 mg/dl 0.60 – 1.20
Asam urat 6.50 mg/dl 3.50 – 7.00
Glukosa adrandom 95.00 mg/dl < 140
Natrium 145.00 Mmol/dl 136 - 155
Kalium 4.40 Mmol/dl 3.5 – 5.5
Clorida 108.00 Mmol/dl 95 -103

Pemeriksaan Penunjang
-

KESIMPULAN PEMERIKSAAN
Diagnosa
Diagnosa Fungsional : Tetraparese
Diagnosa Etiologi : Autoimunitas
Diagnosa Anatomi :
Diagnosa Kerja : Susp. Gullian Barre Syndrome

Penatalaksanaan
 Tirah baring
 IVFD NaCl 0,9 % 15 gtt/i
 Inj. ranitidin 1 amp/12 jam
 Inj. Metylprednisolon 125 mg/6 jam
 Inj. Vit. B12/12 Jam dalam 100cc NaCl 0,9%
 Inj. Ceftriaxon 2 gr/12 jam

Prognosa
Dubia ad Bonam

19
BAB IV
FOLLOW UP PASIEN

1.1 Follow Up Pasien


Tanggal S O A P
04 April Lemah Sensorium: CM Tetraparese  Tirah
2018 pada TD: 120/80 ec. baring
ekskremita HR: 86 x/i Susp.Guillain  IVFD NaCl

s atas dan RR: 18 x/i Barre 0,9 % 15

bawah Temp: 36,8°C Syndrome gtt/i


 Inj.
PF:
ranitidin 1
Kepala:
amp/12 jam
anemis (-/-),  Inj.
ikterik (-/-) Metylpredn
Leher: TVJ R-2 isolon 125
cmH2O, pemb.KGB mg/6 jam
(-)  Inj. Vit.
Thorax: B12/12 Jam
SP: vesikuler dalam
ST: (-) 100cc NaCl
Abdomen: soepel, 0,9%
 Inj.
hepar, lien, renal tidak
Ceftriaxon
teraba
2 gr/12 jam
Extremitas: edema (-/-)

20
Tanggal S O A P
05 April Lemah Sensorium: CM Tetraparese  Tirah
2018 pada TD: 120/80 ec. baring
ekskremita HR: 86 x/i Susp.Guillain  IVFD NaCl

s atas dan RR: 18 x/i Barre 0,9 % 15

bawah Temp: 36,8°C Syndrome gtt/i


 Inj.
PF:
ranitidin 1
Kepala:
amp/12 jam
anemis (-/-),  Inj.
ikterik (-/-) Metylpredn
Leher: TVJ R-2 isolon 125
cmH2O, pemb.KGB mg/6 jam
(-)  Inj. Vit.
Thorax: B12/12 Jam
SP: vesikuler dalam
ST: (-) 100cc NaCl
Abdomen: soepel, 0,9%
 Inj.
hepar, lien, renal tidak
Ceftriaxon
teraba
2 gr/12 jam
Extremitas: edema (-/-)

Tanggal S O A P
06 April Lemah Sensorium: CM Tetraparese  Tirah
2018 pada TD: 120/80 ec. baring
ekskremita HR: 86 x/i Susp.Guillain  IVFD NaCl

s atas dan RR: 18 x/i Barre 0,9 % 15

bawah Temp: 36,8°C Syndrome gtt/i


 Inj.
PF:
ranitidin 1
Kepala:
amp/12 jam
anemis (-/-),  Inj.
ikterik (-/-) Metylpredn

21
Leher: TVJ R-2 isolon 125
cmH2O, pemb.KGB mg/8 jam
 Inj. Vit.
(-)
B12/12 Jam
Thorax:
dalam
SP: vesikuler
100cc NaCl
ST: (-)
0,9%
Abdomen: soepel,
 Inj.
hepar, lien, renal tidak
Ceftriaxon
teraba
2 gr/12 jam
Extremitas: edema (-/-)

Tanggal S O A P
07 April Lemah Sensorium: CM Tetraparese  Tirah
2018 pada TD: 120/80 ec. baring
ekskremita HR: 86 x/i Susp.Guillain  IVFD NaCl

s atas dan RR: 18 x/i Barre 0,9 % 15

bawah Temp: 36,8°C Syndrome gtt/i


 Inj.
PF:
ranitidin 1
Kepala:
amp/12 jam
anemis (-/-),  Inj.
ikterik (-/-) Metylpredn
Leher: TVJ R-2 isolon 125
cmH2O, pemb.KGB mg/8 jam
(-)  Inj. Vit.
Thorax: B12/12 Jam
SP: vesikuler dalam
ST: (-) 100cc NaCl
Abdomen: soepel, 0,9%
 Inj.
hepar, lien, renal tidak
Ceftriaxon
teraba
2 gr/12 jam
Extremitas: edema (-/-)

22
Tanggal S O A P
08 April Lemah Sensorium: CM Tetraparese  Tirah
2018
pada TD: 120/80 ec. baring
ekskremita HR: 86 x/i Susp.Guillain  IVFD NaCl

s atas dan RR: 18 x/i Barre 0,9 % 15

bawah Temp: 36,8°C Syndrome gtt/i


 Inj.
PF:
ranitidin 1
Kepala:
amp/12 jam
anemis (-/-),  Inj.
ikterik (-/-) Metylpredn
Leher: TVJ R-2 isolon 125
cmH2O, pemb.KGB mg/12 jam
(-)  Inj. Vit.
Thorax: B12/12 Jam
SP: vesikuler dalam
ST: (-) 100cc NaCl
Abdomen: soepel, 0,9%
 Inj.
hepar, lien, renal tidak
Ceftriaxon
teraba
2 gr/12 jam
Extremitas: edema (-/-)
Tanggal S O A P
09 April Lemah Sensorium: CM Tetraparese  Tirah
2018
pada TD: 120/80 ec. baring
ekskremita HR: 86 x/i Susp.Guillain  IVFD NaCl

s atas dan RR: 18 x/i Barre 0,9 % 15

bawah Temp: 36,8°C Syndrome gtt/i


 Inj.
PF:
ranitidin 1
Kepala:
amp/12 jam
anemis (-/-),  Inj.
ikterik (-/-) Metylpredn
Leher: TVJ R-2 isolon 125

23
cmH2O, pemb.KGB mg/12 jam
 Inj. Vit.
(-)
B12/12 Jam
Thorax:
dalam
SP: vesikuler
100cc NaCl
ST: (-)
0,9%
Abdomen: soepel,
 Inj.
hepar, lien, renal tidak
Ceftriaxon
teraba
2 gr/12 jam
Extremitas: edema (-/-)

Tanggal S O A P
10 April Lemah Sensorium: CM Tetraparese  Tirah
2018
pada TD: 120/80 ec. baring
ekskremita HR: 86 x/i Susp.Guillain  IVFD NaCl

s atas dan RR: 18 x/i Barre 0,9 % 15

bawah Temp: 36,8°C Syndrome gtt/i


 Inj.
PF:
ranitidin 1
Kepala:
amp/12 jam
anemis (-/-),  Inj.
ikterik (-/-) Metylpredn
Leher: TVJ R-2 isolon 125
cmH2O, pemb.KGB mg/12 jam
(-)  Inj. Vit.
Thorax: B12/12 Jam
SP: vesikuler dalam
ST: (-) 100cc NaCl
Abdomen: soepel, 0,9%
 Inj.
hepar, lien, renal tidak
Ceftriaxon
teraba
2 gr/12 jam
Extremitas: edema (-/-)
R/ Rujuk ke

24
RSHAM
(Rumah Sakit
Haji Adam
Malik)

25
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem
kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan
otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan
syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh
bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf ini menyebabkan sistem ini sulit
menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap
kerja sistem syaraf . Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan
wanita. Pasien yang diduga mengidap GBS diharuskan melakukan tes darah
lengkap, berupa pemeriksaan kimia darah secara komplit, lumbal puncti berfungsi
untuk mengambil cairan otak, electromyogram (EMG) untuk merekam kontraksi
otot dan pemeriksaan kecepatan hantar syaraf.
Pengobatan GBS adalah dengan pemberian imunoglobulin secara intravena
dan plasmapharesis atau pengambilan antibodi yang merusak sistem saraf tepi
dengan jalan mengganti plasma darah. Selain terapi pokok tersebut juga perlu
dilakukan pemberian fisioterapi dan perawatan dengan terapi khusus serta
pemberian obat untuk mengurangi rasa sakit Pencegahan dapat dilakukan dengan
menjaga kesehatan supaya tidak mengalami infeksi dan melakukan pemantauan
keamanan vaksin.

26
DAFTAR PUSTAKA
1) Center for disease control (CDC). 2012. Guillain Barre Syndrome
(GBS) http://www.cdc.gov/flu/protect/vaccine//guillainbarre.htm.
Diakses pada tanggal 15 April 2018 pada pukul 18:16.

2) Anonim.2012. Guillain Barre Syndrome (GBS).


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/guillainbarresyndrome.html.
Diakses pada tanggal 15 April 2018 pada pukul 18:17.

3) Rahayu, Tutiek. 2012. Mengenal Guillain Barre Syndrome (GBS).


Yogyakarta : FMIPA UNY

4) Munir, Badrul. 2017. Neurologi Dasar Edisi Kedua. Jakarta: Sagung


Seto. Hal 330-349.

5) Burn, Ted M. 2008. Guillain-Barre Syndrome. Thieme Medical


Publihers: Semin Neurol 2008; 28(2):152-167

6) Seneviratne, Udaya. 2000.Guillain-Barre Syndrome. Postgrad Med


2000;76:774-782

7) Markam, Soemarmo. Penuntun Neurologi. Tangerang: Binarupa


Aksara Publiher (Kelompok Karisma Pulishing Grup). Hal 258-259.

27

Anda mungkin juga menyukai