Anda di halaman 1dari 9

Peranan bahasa Indonesia dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Seperti yang tercantum pada Undang-undang 1945, bab XV,pasal 36, tertulis bahwa Bahasa Negara ialah Bahasa
Indonesia ”. fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara adalah :

1. Sebagai Bahasa Resmi kenegaraan,

artinya Bahasa Indonesia sering digunakaan dalam situasi-situasi formal. Seperti saat sidang MPR, dapat dibayangkan
bagaimana bila pemimpin sidang tersebut menggunakan bahasa daerahnya tentu apa yang menjadi tujuan sidang tidak
akan tersampaikan karena hanya sebagian orang yang mengerti.

2. Sebagai bahasa Pengantar pendidikan,

sama halnya seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam situasi formal seperti di sekolah, pengunaan Bahasa
Indonesia tentu sangat diperlukan agar isi informasi dapat tersampaikan. Walaupun tidak menutup kemungkinan
seorang pengajar menggunakan bahasa daerah yang umum agar pembelajaran terasa lebih akrab.

3. Sebagai Alat penghubung tingkat nasional, sebagai Negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa, tentunya
yang juga berbagai bahasa, dalam event nasional diperlukan bahasa penghubung yang dapat dimengerti oleh semua
orang .

4. Sebagai Alat pengembang Ilmu pengetahuan dan Teknologi, contohnya dalam sebuah skripsi atau tesis yang
wajib menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara Nasional yaitu:

1. Sebagai Lambang kebanggaan bangsa, tentu kita patut bangga pada Bahasa Indonesia karena tidak semua Negara
di dunia ini memiliki bahasa nasional. Seperti Negara singapura yang didalamnya tidak menggunakan bahasa
singapura melainkan bahasa inggris.

2. Sebagai Identitas Bangsa, bila kita menggunakan Bahasa Indonesia di luar negeri masyarakat disana pasti akan
langsung mengenali bahasa tersebut dari Indonesia karena tidak ada Negara lain yang menggunakan Bahasa Indonesia
.

3. Alat pemersatu dan penghubung antar daerah, artinya Bahasa Indonesia menjadi pemersatu bahasa Tradisional
yang terdapat di Indonesia.

Berikut adalah beberapa peranan bahasa Indonesia dalam kehidupan bangsa Indonesia, yaitu sebagai berikut:

1. Sebagai salah satu alat untuk mempersatukan tiap-tiap suku yang ada di Indonesia.

Ini adalah poin yang sangat penting, karena di Indonesia terdapat banyak sekali suku. mulai dari sabang sampai
merauke, tiap-tiap suku memiliki bahasa daerah yang berbeda-beda dan memiliki beragam dealek dan bahasa hanya
Bahasa Indonesia yang dapat mempersatukan perbedaan bahasa yang ada. Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut
untuk dapat saling bekerja sama dan berkomunikasi dengan baik antar sesamanya. Oleh karena itu, sebagai warga
negara yang baik dan makhluk sosial yang hidup didalam suatu masyarakat kita perlu menjunjung tinggi bahasa
persatuan kita dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebagai warga negara Indonesia wajib
hukumnya untuk dapat memahami bahasa Indonesia, karena untuk berkomunikasi sesama penduduk Indonesia, entah
itu dalam berdiskusi, melkukan jual-beli, dan masih banyak lagi kegunaannya. Dan apabila tidak adanya bahasa
pemersatu bangsa Indonesia, akan sulit bagi mereka untuk mengerti apa yang mereka dengar. Bahkan, mungkin akan
terjadi sebuah perdebatan yang bisa mengakibatkan kesalah pahaman yang bisa berujung ke perseturuan antara kedua
belah pihak. Karena itu, banyak bahasa itu bagus, tetapi lebuh bagus lagi jika ada yang bisa menyatukan mereka
semua.
2. Sebagai alat mencerdaskan bangsa.

Di Indonesia kesepakatan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai alat untuk mempersatukan suku-suku telah ada
sejak adanya sumpah pemuda. Namun seiring berkembangnya zaman, penggunaan Indonesia semakin bercampur
aduk yang terkadang mengkombinasikan bahasa Indonesia dengan bahasa asing.

3. Sebagai alat untuk berekspresi.

Bahasa Indonesia juga bisa digunakan untuk mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam diri seseorang, baik
melalui gagasan, pikiran, perasaan, dan keinginan yang dimilikinya. Misalnya menulis diary, menulis surat, bercerita,
curhat (curahan hati), puisi, lagu dan sebagainya. Dalam menulis diary dan surat, kadang kita sendiri tidak menyadari
bahwa kita juga bisa berekspresi melalui kata-kata. Entah itu sedang senang, sedih, atau bahkan kesal. Saat kita
sedang sedih juga, kita bercerita ke teman kita dengan bahasa yang bisa mengekspresikan apa yang sedang kita
rasakan. Kita juga dapat menyampaikan isi hati kita melalui pidato dan lagu, tanpa takut di dengar oleh orang lain.

4. Sebagai alat komunikasi.

Sering kita lihat diberita, tentang para demonstran yang menuntut hak mereka dengan hasil akhir ricuh. Ini juga
dikarenakan kurangnya kesabaran dan penyampaian aspirasi mereka yang harusnya dengan bahasa Indonesia yang
baik dan benar. Mereka hanya ingin keinginan mereka cepat dikabulkan, tidak mau bersabar dan menyampaikan
aspirasi mereka dengan sopan dan santun. Juga dalam dunia jurnalistik. Bahasa Indonesia dalam dunia jurnalistik
tidak kalah pentingnya. Bahasa jurnalistik adalah bahasa yang dibawakan oleh pewarta atau media massa untuk
menyampaikan informasi. Bahasa dengan ciri-ciri khas yang memudahkan penyampaian berita dan komunikatif.

5. Sebagai kontrol social

Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri sendiri atau kepada
masyarakat. Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran
dan buku-buku instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Ceramah agama atau
dakwah merupakan contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Lebih jauh lagi, orasi ilmiah atau politik
merupakan alat kontrol sosial. Iklan layanan masyarakat atau layanan sosial juga merupakan salah satu wujud
penerapan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Semua itu merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan kepada diri
seseorang, untuk memperoleh pandangan baru, sikap baru, perilaku dan tindakan yang baik. Contoh fungsi bahasa
sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah diterapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan
salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa amarah. Tuangkanlah rasa dongkol dan amarah ke dalam
bentuk tulisan. Biasanya, pada akhirnya, rasa amarah berangsur-angsur menghilang dan dapat melihat persoalan
secara lebih jelas dan tenang.

6. Sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial

Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-
pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan
dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa.
Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok
sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin
bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Cara berbahasa tertentu selain berfungsi
sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat beradaptasi kepada
lingkungan sosial tertentu, seseorang akan memilih bahasa yang akan digunakannya bergantung pada situasi dan
kondisi yang dihadapinya. Contohnya saat sedang memperkenalkan diri didepan kelas. Kita akan berusaha
mengungkapkan atau menyampaikan perkenalan kita itu dengan menggunakan bahasa yang sudah diterapkan atau
yang dapat dimengerti oleh teman-teman yang ada di kelas saat itu.
Teori Pemerolehan Bahasa

A. Pengertian Pemerolehan Bahasa

Pemerolehan bahasa (language acquisition) atau akuisisi bahasa menurut Maksan (1993:20) adalah suatu proses
penguasaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang secara tidak sadar, implisit, dan informal. Lyons (1981:252)
menyatakan suatu bahasa yang digunakan tanpa kualifikasi untuk proses yang menghasilkan pengetahuan bahasa
pada penutur bahasa disebut pemerolehan bahasa. Artinya, seorang penutur bahasa yang dipakainya tanpa terlebih
dahulu mempelajari bahasa tersebut.

Dardjowidjodjo (2003:225) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah proses penguasaan bahasa yang
dilakukan oleh anak secara natural waktu dia belajar bahasa ibunya.

Stork dan Widdowson (1974:134) mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa dan akuisisi bahasa adalah suatu
proses anak-anak mencapai kelancaran dalam bahasa ibunya.

Huda (1987:1) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah proses alami di dalam diri seseorang menguasai
bahasa. Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan hasil kontak verbal dengan penutur asli lingkungan bahasa itu.
Dengan demikian, istilah pemerolehan bahasa mengacu ada penguasaan bahasa secara tidak disadari dan tidak
terpegaruh oleh pengajaran bahasa tentang sistem kaidah dalam bahasa yang dipelajari.

Jadi pemerolehan bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa
pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa
berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah
dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan
pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua.

B. Teori Pemerolehan Bahasa

1. Teori Behaviorisme

Perkembangan bahasa adalah bentukan atau hasil dari pengaruh lingkungan. Artinya, pengetahuan merupakan hasil
dari interaksi dengan lingkungannya melalui pengkondisian stimulus yang menimbulkan respons.

Teori ini bertitik tolak pada pendapat bahwa anak dilahirkan tidak membawa apa-apa, sehingga memerlukan proses
bealajar. Proses belajar ini melalui imitasi, modeling, atau belajar reinforcement(Hetherington, 1998; Mussen
dkk,1984; Monks dkk, 2001).

Skinner memakai teori stimulus-respon dalam menerangkan perkembangan bahasa, yaitu bahwa bila anak mulai
belajar berbicara yang merupakan bukti berkembangnya bahasa anak, maka orang yang berada disekelilingnya
memberikan repons yang positif sebagai penguat (reinforcement). Dengan adanya respon positif tersebut maka anak
cenderung mengulang kata tersebut atau tertarik mencoba kata lain. Dalam teori ini, Skinner menekankan agar para
pendidik PAUD untuk senantiasa menghadirkan suasana kelas dengan latihan yang diberikan kepada anak harus
dalam bentuk pertanyaan (stimulus) dan jawaban (respons) yang dikenalkan melalui berbagai tahapan, mulai dari
yang sederhana sampai yang lebih rumit, contohnya sistem pembelajaran drilling. Pada awalnya, anak akan
memberikan respons pada setiap pembelajaran dan dapat segera memberi repons. Pendidik perlu memberikan
penguatan terhadap hasil kerja anak yang baik dengan pujian atau hadiah.

Ahli lain, Albert Bandura mencoba menerangkan dari sudut teori belajar sosial. Dia berpendapat anak belajar bahasa
karena menirukan suatu model. Tingkah laku imitasi ini tidak mesti harus menerima reinforcement sebab belajar
model dalam prinsipnya lepas dari reinforcement dari luar.

2. Teori Nativisme (Nativistic Approach)

Pelopor teori ini adalah Chomsky, seorang ahli linguistik. Ia berpendapat bahwa bahasa sudah ada dalam diri anak,
merupakan bawaan lahir, telah ditentukan secara biologis, bersifat alamiah. Pada saat seorang anak lahir, ia telah
memiliki seperangkat kemampuan berbahasa yang disebut Tata Bahasa Umum atau Universal Grammar. Jadi dalam
diri manusia sudah ada innate mechanism, yaitu bahwa bahasa seseorang itu ditentukan oleh sesuatu yang ada di
dalam tubuh manusia atau sudah diprogram secara genetik. Meskipun pengetahuan yang ada di dalam diri anak
tidak banyak mendapat rangsangan, anak tetap dapat mempelajarinya. Anak tidak sekedar meniru bahasa yang
didengarkannya, tetapi juga mampu menarik kesimpulan dari pola yang ada.

Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang
kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses
performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata
bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak disadari. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak
sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki
performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi.
Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses
pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan
proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Chaer 2003:167).

Sejak lahir anak manusia sudah dilengkapi dengan alat yang disebut dengan alat penguasaan/pemerolehan bahasa
(language acquisation device/LAD), dan hanya manusia yang mempunyai LAD. LAD ini mendapatkan inputnya dari
data bahasa dari lingkungan. LAD ini dianggap sebagai bagian fisiologis dari otak yang khusus untuk mengolah
masukan (input) dan menentukan apa yang dikuasai lebih dahulu seperti bunyi, kata, frasa, kalimat, dan seterusnya.
Meskipun kita tidak tahu persis tepatnya dimana LAD itu berada karena sifatnya yang abstrak (invisible). Dalam
bahasa juga terdapat konsep universal sehingga secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini.
Tanpa LAD, tidak mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan bisa menguasai sistem
bahasa yang rumit. LAD juga memungkinkan seorang anak dapat membedakan bunyi bahasa dan bukan bunyi
bahasa.

Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik, mana
yang dipencet itulah yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan wujudnya
seperti apa ditentukan oleh input dari sekitarnya,antara Nurture dan Nature sama-sama saling mendukung. Nature
diperlukan karena tanpa bekal kodrati makhluk tidak mungkin anak dapat berbahasa dan nurture diperlukan karena
tanpa input dari alam sekitar bekal yang kodrati itu tidak akan terwujud (Dardjowidjojo, 2003).

Teori ini berpengaruh pada pembelajaran bahasa, di mana anak perlu mendapatkan model pembelajaran bahasa
sejak dini. Anak belajar bahasa dengan cepat sebelum usia 10 tahun, apalagi menyangkut bahasa kedua (second
language). Usia lebih dari 10 tahun, anak kesulitan dalam mempelajari bahasa.

3. Teori Kognitivisme

Munculnya teori ini dipelopori oleh Jean Piaget (1954) yang mengatakan bahwa bahasa itu salah satu di antara
beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Jadi perkembangan bahasa itu ditentukan oleh
urutan-urutan perkembangan kognitif.

Perkembangan bahasa tergantung pada kemampuan kognitif tertentu, kemampuan pengolahan informasi, dan
motivasi. Piaget (Mussen dkk., 1984) dan pengikutnya menyatakan bahwa perkembangan kognitif mengarahkan
kemampuan berbahasa, dan perkembangan bahasa tergantung pada perkembangan kognitif. Menurut Piaget
struktur yang kompleks itu bukan pemberian alam dan bukan sesuatu yang dipelajari dari lingkungan melainkan
struktur itu timbul secara tak terelakkan sebagai akibat dari interaksi yang terus menerus antara tingkat fungsi
kognisi anak dengan lingkungan kebahasaannya.

Menurut kaum kognitivisme bahwa kemampuan pembelajar sudah terprogram secara biologis untuk memiliki
kemampuan kognitif dan proses belajar terjadi dengan cara memetakan kategori linguistik ke dalam kategori
kognitif, serta apa yang dipelajari adalah tata bahasa sebuah bahasa. Jadi, sebetulnya kaum kognitivisme berusaha
menggabungkan peran lingkungan dan faktor bawaan, namun lebih besar ditekankan pada aspek berpikir logis (the
power of logical thinking). Urutan pemerolehan bahasa: menuranikan struktur aksi – representasi kecerdasan –
membentuk struktur linguistik. (Lebih jelas lihat Chaer, 2003; hal, 178-179).
Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah perkembangan kognitif, barulah pengetahuan
dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa. Dari lahir sampai 18 bulan, bahasa dianggap belum ada. Anak
hanya memahami dunia melalui inderanya. Anak hanya mengenal benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir
usia satu tahun, anak sudah dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai
menggunakan simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir dihadapannya. Simbol ini kemudian
berkembang menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak.

4. Teori Interaksionisme

Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan
mental pembelajaran dan lingkungan bahasa. Pemerolehan bahasa itu berhubungan dengan adanya interaksi antara
masukan “input” dan kemampuan internal yang dimiliki pembelajar. Setiap anak sudah memiliki LAD sejak lahir.
Namun, tanpa ada masukan yang sesuai tidak mungkin anak dapat menguasai bahasa tertentu secara otomatis.

Sebenarnya, faktor intern dan ekstern dalam pemerolehan bahasa pertama oleh sang anak sangat mempengaruhi.
Benar jika ada teori yang mengatakan bahwa kemampuan berbahasa anak telah ada sejak lahir (telah ada LAD). Hal
ini telah dibuktikan oleh berbagai penemuan seperti yang telah dilakukan oleh Howard Gardner. Dia mengatakan
bahwa sejak lahir anak telah dibekali berbagai kecerdasan. Salah satu kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan
berbahasa (Campbel, dkk., 2006: 2-3).

C. Tahap Pemerolehan Bahasa

Aitchison mengemukakan beberapa tahap pemerolehan bahasa anak:

1. Tahap Satu: Mendengkur

Tahap ini mulai berlangsung pada anak usia sekitar enam minggu. Bunyi yang dihasilkan mirip dengan vokal tetapi
tidak sama dengan bunyi vokal orang dewasa.

2. Tahap Dua: Meraban

Tahap ini berlangsung ketika usia anak mendekati enam bulan. Tahap meraban merupakan pelatihan bagi alat-alat
ucap. Vokal dan konsonan dihasilkan secara serentak.

3. Tahap Tiga: Pola intonasi

Anak mulai menirukan pola-pola intonasi. Tuturan yang dihasilkan mirip dengan yang diucapkan ibunya.

4. Tahap Empat: Tuturan satu kata

Pada umur satu tahun sampai delapan belas bulan anak mulai mengucapkan tuturan satu kata. Pada usia ini anak
memperoleh sekitar lima belas kata meliputi nama orang, binatang, dan lain-lain.

5. Tahap Lima: Tuturan dua kata

Umumnya pada usia dua setengah tahun anak sudah menguasai beberapa ratus kata. Tuturan hanya terdiri atas dua
kata.

6. Tahap Enam: Infleksi kata

Kata-kata yang dianggap remeh dan infleksi mulai digunakan. Dalam bahasa Indonesia yang tidak mengenal istilah
infleksi, mungkin berwujud pemerolehan bentuk-bentuk derivasi, misalnya kata kerja yang mengandung awalan
atau akhiran.

7. Tahap Tujuh: Bentuk tanya dan bentuk ingkar


Anak mulai memperoleh kalimat tanya dengan kata tanya seperti apa, siapa, kapan, dan sebagainya. Di samping itu
anak juga sudah mengenal bentuk ingkar.

8. Tahap Delapan: Konstruksi yang jarang atau kompleks

Anak sudah mulai berusaha menafsirkan meskipun penafsirannya dilakukan secara keliru. Anak juga memperoleh
kalimat dengan struktur yang rumit, seperti pemerolehan kalimat majemuk.

9. Tahap Sembilan: Tuturan yang matang

Pada tahap ini anak sudah dapat menghasilkan kalimat-kalimat seperti orang dewasa.

Majas perbandingan

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Majas perbandingan

Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.

Contoh: Perjalanan hidup manusia seperti sungai yang mengalir menyusuri tebing-tebing, yang kadang-kadang sulit
ditebak kedalamannya, yang rela menerima segala sampah, dan yang pada akhirnya berhenti ketika bertemu
dengan laut.

Alusio: Mengungkapkan suatu hal dengan kiasan yang memiliki kesamaan dengan yang telah terjadi sebelumnya.

Contoh: Megawati berhasil menjadi Kartini modern karena menjadi presiden wanita pertama di Indonesia.

Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung, seperti
layaknya, bagaikan, umpama, ibarat, dll.

Contoh: Kau umpama air aku bagai minyaknya, bagaikan Qais dan Laila yang dimabuk cinta berkorban apa saja.

Metafora: Gaya Bahasa yang membandingkan suatu benda dengan benda lain karena mempunyai sifat yang sama
atau hampir sama.

Contoh: Cuaca mendung karena sang raja siang enggan menampakkan diri. Totok itu seperti ananta.

Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal
yang bukan manusia.

Sinestesia: Majas yang berupa suatu ungkapan rasa dari suatu indra yang dicurahkan lewat ungkapan rasa indra
lainnya.

Contoh: Dengan telaten, Ibu mengendus setiap mangga dalam keranjang dan memilih yang berbau manis. (Bau:
indera penciuman, Manis: indera pengecapan)

Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.

Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.

Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.

Contoh: Karena sering menghisap jarum, dia terserang penyakit paru-paru.(Rokok merek Djarum)

Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib.

Contoh: Lama Otok hanya memandangi ikatan bunga biji mata itu, yang membuat Otok kian terkesima.

Litotes: Ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan merendahkan diri.
Contoh: Terimalah kado yang tidak berharga ini sebagai tanda terima kasihku.

Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.

Contoh: Gedung-gedung perkantoran di kota-kota besar telah mencapai langit.

Personifikasi: Pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan
manusia.

Contoh: Hembusan angin di tepi pantai membelai rambutku.

Depersonifikasi: Pengungkapan dengan membuat manusia menjadi memiliki sifat-sifat sesuatu bukan manusia.

Contoh: Hatinya telah membatu, padahal semua orang sudah berusaha menasihatinya.

Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.

Contoh: Sejak kemarin dia tidak kelihatan batang hidungnya.

Totem pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.

Contoh: Indonesia bertanding voli melawan Thailand.

Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas
atau dianggap halus.

Contoh: Dimana saya bisa menemukan kamar kecilnya?

Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya.

Contoh: Apa kabar, Roni? (Padahal, ia sedang bicara kepada bapaknya sendiri)

Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.

Contoh: Kucing itu berpikir keras, bagaimana cara terbaik untuk menyantap tikus di depannya.

Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.

Perifrasa: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.

Eponim: Menyebutkan nama seseorang yang memiliki hubungan dengan sifat tertentu yang ingin diungkapkan.

Contoh: Kami berharap kau belajar yang giat agar menjadi Einstein.

Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud.

Asosiasi: perbandingan terhadap dua hal yang berbeda, namun dinyatakan sama.

Contoh: Masalahnya rumit, susah mencari jalan keluarnya seperti benang kusut.

Majas sindiran

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Majas sindiran

Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut.

Contoh: Suaramu merdu seperti kaset kusut.

Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar.


Contoh : Kamu tidak dapat mengerjakan soal yang semudah ini? Dasar otak udang isi kepalamu!

Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar
dari ironi).

Contoh: Kamu kan sudah pintar ? Mengapa harus bertanya kepadaku ?

Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan,
kebiasaan, dll.

Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.

Majas penegasan

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Majas penegasan

Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.

Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang
sebenarnya tidak diperlukan.

Contoh: Saya naik tangga ke atas.

Repetisi: Perulangan kata, frasa, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat.

Contoh : Dia pasti akan datang, dan aku yakin, dia pasti akan datang ke sini.

Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang berlainan.

Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan.

Contoh: Dengar daku. Dadaku disapu.

Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frasa, atau klausa yang sejajar.

Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.

Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek tertentu.

Contoh: Kutulis surat ini kala hujan gerimis. (Salah satu kutipan puisi W.S. Rendra)

Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang berlainan.

Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/kurang penting meningkat kepada
hal yang kompleks/lebih penting.

Contoh: Baik rakyat kecil, kalangan menengah, maupun kalangan atas berbondong-bondong menuju ke TPS untuk
memenuhi hak suara mereka.

Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih penting menurun kepada
hal yang sederhana/kurang penting.

Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.

Contoh: Dikejar oleh Anna kupu-kupu itu dengan begitu gembira.

Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan tersebut.

Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada.
Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan
maksud yang sesungguhnya.

Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata penghubung.

Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung.

Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur kalimat.

Eksklamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.

Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi bagian suatu keseluruhan.

Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya.

Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.

Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat.

Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu
konstruksi sintaksis.

Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstruksi sintaksis yang
kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.

Contoh: Perlu saya ingatkan, Kakek saya itu peramah dan juga pemarah.

Majas pertentangan

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Majas pertentangan

Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya
benar.

Oksimoron: Paradoks dalam satu frasa.

Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu dengan yang lainnya.

Kontradiksi interminus: Pernyataan yang bersifat menyangkal yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya.

Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan antara peristiwa dengan waktunya

Anda mungkin juga menyukai