َّ الزكَاةَ َوا ْعت َ ِص ُموا ِب َّ فَأَقِي ُموا ال َّ صالةَ َوآتُوا “…maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kalian pada tali Allah. Dia adalah Penolong kalian, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong”. (Q.S. al-Hajj, 22 ; 78) Bahasa al-Quran merupakan bahasa yang indah dan memiliki kedalaman makna, kalimat sastra yang menakjubkan mampu memberikan gambaran tentang kandungan isinya. Seperti pada penggalan ayat di atas, perintah berzakat disandingkan dengan perintah mendirikan shalat. Redaksi seperti ini setidaknya disebut sebanyak 115 pengulangan dalam al-Qur’an. Hal ini mengindikasikan betapa pentingnya keseimbangan dalam hubungan kepada Allah (aqimu al-shalat) dan sesame makhluk (waatu al-zakat). Banyak pemaknaan yang dapat diambil dari sandingan seperti ini terlepas dari pembahasan hukum keduanya, pada kesempatan kali ini penulis berusaha memaknai dari segi hubungan bermasyarakat. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa manusia adalah makhluk social yang setiap interaksinya tidak terlepas dari manusia yang lain. Sikap saling membutuhkan akan menjadi sebuah simbiosis yang akan terus ada, mustahil seorang manusia dapat menjalani kehidupan di dunia ini seorang diri. Oleh karena itu, sikap saling menghargai dan menghormati terhadap sesama manusia harus menjadi salah satu fokus dalam kehidupan ini. Namun, pada nyatanya masih banyak muslim yang tidak sadar akan pentingnya berbuat baik terhadap sesama, tak sedikit dari mereka yang membaguskan hubungan vertikal dengan Allah tetapi lalai terhadap hubungan horizontal kepada sesama makhluk. Banyak manusia yang rajin shalat, namun tidak peka dengan kerusakan alam. Banyak manusia yang sering pergi haji dan umroh, namun tidak peka dengan kemiskinan yang melanda tetangganya. Banyak orang yang suka berpuasa, namun masih pelit dalam bersedekah harta kepada orang lain. Tidak sedikitpun salah ketika kita membangun keshalehan personal, akan tetapi bukankah setelah diperintah mendirikan shalat kita juga diperintah menunaikan zakat? Setelah membangun keshalehan personal, kita juga harus membangun keshalehan sosial. Surah al-Mu’minun ayat 1-11 menjelaskan bahwa orang yang beriman (saleh) adalah orang yang tidak hanya memperhatikan ibadah mahdlah-nya saja, tapi juga memperhatikan kepentingan sosialnya. Beberapa ibadah personal juga pada dasarnya menyiratkan untuk menjalin hubungan baik dengan makhluk sekitar. Shalat dimulai dengan kalimat “Allahu Akbar”, artinya segala pekerjaan kalau diniatkan mencari ridla Allah akan bernilai ibadah. Shalat akan tidak bernilai ibadah ketika niatnya adalah riya’. Kemudian diakhiri dengan salam (doa keselamatan) ke kanan dan ke kiri, hal ini menyiratkan agar manusia tidak lupa dengan manusia lain disekelilingnya. Manusia diharuskan menjaga keselamatan dan menyebarkan kedamaian kepada manusia lain. Sehingga shalat akan berimplikasi pada nahi mungkar atau mencegah perbuatan buruk yang akan merugikan manusia lain, sebagaimana firman Allah:
َاء َوا ْل ُم ْنك َِر
ِ صالةَ ت َ ْن َهى ع َِن ا ْلفَ ْحش َّ ب َوأَقِ ِم ال َّ صالةَ إِ َّن ال ِ وح َي ِإلَ ْيكَ ِم َن ا ْل ِكتَا ِ ُ اتْ ُل َما أ َ ُصنَع ون َّ َّللاِ أ َ ْكبَ ُر َو ْ َ َّللاُ يَ ْعلَ ُم َما ت َّ َولَ ِذك ُْر “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur'an) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah- ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-‘Ankabut, 29; 45) Di dalam sebuah hadis melalui riwayat Imran dan Ibnu Abbas secara marfu' telah disebutkan:
َّللاِ إِ َّال بُ ْعدًا ِ ص َالتُهُ ع َِن ا ْلفَ ْحش َ َُم ْن لَ ْم ت َ ْن َهه “Barang siapa yang salatnya masih belum dapat mencegah dirinya dari mengerjakan perbuatan keji dan munkar, maka tiada lain ia makin bertambah jauh dari Allah.” Puasa selain bertujuan untuk menjaga dari makan, minum, seks dan hal-hal lain yang membatalkan, juga sebagai ibrah/pelajaran bagi manusia untuk merasakan kekurangan orang lain (lapar dan dahaga) yang seharusnya mempunyai implikasi peka terhadap kondisi orang-orang yang serba kekurangan. Sehingga selain sebagai media melatih diri, puasa diharapkan juga membuat orang yang menjalankannya akan terbuka untuk menolong orang lain yang kekurangan. Apalagi ditambah dengan penjelasan Hadist nabi tentang keutamaan bersedekah di bulan Ramadlan. Esensi dari ibadah shalat dan puasa sebagaimana dijelaskan diatas tidak hanya berhenti pada orang yang melaksanakannya, namun juga harus disadari bahwa esensi shalat dan puasa mempunyai implikasi sosial yang tinggi, yang ketika implikasi sosialnya dilupakan, maka ibadahnya akan sia-sia belaka. Artinya ketika orang tersebut rajin shalat dan puasa, tapi masih berbuat kemungkaran, maka orang tersebut belum bisa dikatakan sebagai orang yang saleh. Sikap saleh tidak hanya diukur dari seberapa banyak orang itu shalat dalam sehari, puasa dalam satu tahun, pergi umroh dan haji, tapi juga diukur dengan seberapa banyak jasa yang dia hasilkan untuk orang lain, seberapa besar pengabdian yang dilakukan dalam melestarikan lingkungan, seberapa baik teladan yang diberikan pada orang lain dan sebagainya. Artinya saleh tidak hanya memikirkan legalitas formal seperti yang terdapat dalam rukun Islam misalnya, tapi juga memikirkan implikasi sosialnya. Ketika hal ini diabaikan, yang terjadi adalah muslim namun tidak Islami. Karena pada dasarnya tugas manusia sebagai khalifah/wakil Allah dimuka bumi untuk merawat dan mengelola bumi sebagaimana mestinya akan kembali kepada manusia sendiri, bukan kepada Allah swt. Ketika manusia beribadah (personal dan sosial) dimuka bumi, maka ketentramanlah yang akan didapat, dan sebaliknya ketika manusia mengabaikannya, maka kehancuranlah yang akan didapat. Pada kesimpulannya, untuk membangun keshalehan sosial perlu didasari oleh keshalehan secara personal, begitupula keshalehan personal menuntut dan membimbing manusia untuk mampu shaleh secara sosial.