Anda di halaman 1dari 23

Fajar Abhirama A.

I
240210160076

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat
tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomi.
Limbah yang mengandung bahan polutan yang memiliki sifat racun dan
berbahaya dikenal dengan limbah B-3, yang dinyatakan sebagai bahan yang
dalam jumlah relative sedikit tetapi berpotensi untuk merusak lingkungan hidup
dan sumber daya (Kristanto, 2004).
Menurut Kristanto (2004), berdasarkan nilai ekonomisnya, limbah
dibedakan menjadi limbah yang memiliki nilai ekonomis dan limbah yang tidak
memiliki nilai ekonomis. Limbah yang memiliki nilai ekonomis yaitu limbah
dimana dengan melalui suatu proses lanjut akan memberikan suatu nilai tambah.
Limbah yang tidak memiliki nilai ekonomis adalah suatu limbah yang walaupun
telah dilakukan proses lanjut dengan cara apapun tidak akan memberikan nilai
tambah kecuali sekedar untuk mempermudah sistem pembuangan. Limbah jenis
ini sering menimbulkan masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Menurut (Sumanti & Rialita, 2010) umumnya limbah khusunya pada hasil
industri pangan memiliki karakteristik volume cairan yang tinggi, berbeban
rendah, memiliki ciri-ciri lain seperti memiliki volume aliran, BOD yang tinggi,
COD yang tinggi, DO yang rendah, suhu limbah tergolong panas dari suhu
normal, memiliki kadar pH yang bervariasi, memiliki konsentrasi padatan
tersuspensi, memiliki kandungan organik yang tinggi. Limbah tersebut bila dapat
ditangani dengan baik dapat dijadikan bahan alternatif seperti pupuk maupun
produk bioetanol.
4.1 Pengamatan Karakteristik Limbah
Praktikum ini mengamati karakteristik limbah dengan dilakukan
pengamatan berupa pH, warna, aroma, suhu, dan jumlah endapan. Penilaian
warna pada limbah diamati secara visual, pengukuran pH menggunakan pH meter
pada limbah, aroma dinilai dengan menggunakan indera penciuman, suhu limbah
diukur dengan menggunakan termometer, dan endapan dengan cara menyaring
endapan dan dikeringkan menggunakan oven.
Fajar Abhirama A. I
240210160076

Tabel 1. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Limbah Cair Kelas B


Karakteristik
Kel. Sampel Suhu Wendapan
pH Warna Bau
(oC) (g)
Limbah
sabun +
1 Rumah 7,72 putih keruh 27 0,0716
sampah
Tangga
asam dan
merah muda busuk
2 Limbah Buah 4,50 28 0,3874
pucat pekat buah-
buahan
sedikit
sedikit bau
3 Air Sungai 8,50 kekungingan 26 0,0057
tanah
(keruh)
Limbah
sampah
4 Industri 8,72 keruh ++ 25 1,0169
menyengat
Tekstil
jingga
Limbah
5 7,88 kecoklatan bau amis 23 0,0264
Daging
(keruh)
kuning
6 Limbah Ikan 8,49 amis ++ 25,8 0,8393
keruh
bau susu
7 Limbah Susu 8,15 putih keruh 28 0,0483
agak asam
tidak
8 Air bersih 7,00 jernih 27 0,0051
berbau
tahu
9 Limbah Tahu 5,90 putih keruh busuk, bau 30 0,0261
selokan
keruh,
Limbah
10 8,33 kuning sulfur ++ 29 0,0084
Karbohidrat
kehijauan
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018)
Air merupakan suatu kebutuhan yang paling penting bagi makhluk hidup
akan keberlangsungan hidupnya karena air memegang peran yang penting pada
metabolisme tubuh. Air secara umum tidak memiliki warna, tidak berbau, dan
berada pada pH yang netral ( tidak asam maupun basa). Limbah yang terbentuk
dari hasil sampingan dari seuah proses harus dibuang kedalam perairan yang
pastinya sudah tidak berbahaya bagi lingkungan perairan tersebut. Proses
Fajar Abhirama A. I
240210160076

penanganan limbah yang kurang sesuai akan mencemari lingkungan dan membuat
biota perairan akan mati. Menurut Wardhana (2004) secara kualitatif penanganan
limbah secara efektif atau tidaknya dapat dilihat dari segi fisik seperti suhu,
warna, au, pH hingga kadar endapan pada limbah tersebut.
Berdasarkan hasil praktikum pada tabel diatas menyatakan bahwa dari 10
sampel yang ada, tidak ada sampel yang memiliki warna yang jernih seperti air
biasa. Untuk limbah rumah tangga, limbah tahu, dan limbah susu berwarna putih
keruh, limbah buah memiliki warna merah muda pucat yang pekat, limbah air
sungai berwarna keruh sama seperti limbah tekstil namun lebih keruh limbah
tekstil, limbah daging dan ikan memiliki kemiripan warna yaitu keruh kecoklatan
and kekuningan, lalu limbah karbohidrat memiliki warna keruh kunng yang
kehijauan
Warna limbah yang dihasilkan oleh limbah rumah tangga dan limbah yang
berasal dari industri pangan memiliki warna yang keruh ini menurut
Arvanitoyannis dan Kassaveti (2008) diakibatkan oleh rendahnya kemampuan
biodegradasi, kandungan keasaman, adanya endapan ataupun konsentrasi
komponen fenolik yang tinggi serta tingginya kandungan material padatan yang
terdapat pada limbah tersebut. Air limbah yang memiliki warna bening tidak
menjamin limbah tersebut bebas dari kandungan-kandungan yang berbahaya,
menurut wardhana (2004) menyatakan bahwa tampilan air limbah yang jernih
(bening) tidak akan menjamin bebasnya kandungan zat-zat beracun, melainkan
tentu masih dimungkinkan terdapat kandungan zat berbahaya
Pengamatan pH pada air biasanya memiliki kisaran derajat keasamaan
(pH) 7,0. Limbah yang diolah secara benar akan memiliki tingkat pH yang
mendekati normal atau netral, namun ada beberapa limbah yang memiliki pH jauh
dari kata netral, hal ini disebabkan oleh buruknya pengolahan limbah tersebut
ataau juga hasil mengunakan mikroba ataupun proses lain yang dapat
mempengaruhi pH tersebut (Kosseva & Webb, 2013). Berdasarkan pengamatan
pada tabel diatas limbah yang memiliki pH paling rendah ialah limbah buah
dengan nilai 4,5. Hal ini dimungkinkan karena air yang dikeluarkan oleh buah
tersebut banyak mengandung senyawa organik yang tergolong tinggi. Limbah
yang memiliki pH yang mendekati dengan pH air ialah limbah daging dan limbah
Fajar Abhirama A. I
240210160076

rumah tangga dengan nilai 7,88 dan 7,72, hal ini disebabkan oleh adanya
dekomposisi bahan-bahan yang mengandung protein dan banyaknya senyawa-
senyawa amonia yang bersifat sebagai buffer. Buffer ini disebabkan karena dari
penggunaan pupuk yang mengandung senyawa seperti amonia (NH3) dengan
konsentrasi tertentu (Arvanitoyannis dan Kassaveti, 2008). Untuk beberapa
limbah yang berasal dari industri pangan seperti coca cola yang menjadi sampel
limbah karbohidrat, memiliki pH yang cukup mendekati pH netra;, hal ini
dikarenakan adanya perlakuan (treatment) sehingga pada saat dikeluarkan ke
lingkungan sekitar akan memiliki pH mendekati pH air (Brand et al., 2017).
Menurut Siradz, et al. (2008) menyatakan bahwa, fluktuasi nilai pH pada
air limbah dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain :

a. Bahan organik atau limbah organik. Meningkatnya keasaman dipengaruhi


oleh bahan organik yang membebaskan CO2 jika mengalami proses
penguraian.
b. Bahan anorganik atau limbah anorganik. Air limbah industri bahan
anorganik umumnya mengandung asam mineral dalam jumlah tinggi
sehingga kemasamannya juga tinggi.
c. Basa dan garam basa dalam air seperti NaOH2, dan Ca(OH)2,
d. Hujan asam

Aroma asam pada seluruh sampel limbah disebabkan oleh pH yang asam,
limbah rumah tangga yang memiliki aroma berbau sabun dan sampah terjadi
perombakan struktur organik oleh bakteri pembusuk yang menyebabkan aroma
yang tidak sedap dan juga disebabkan karena banyaknya limbah yang berasal dari
pencucian dengan menggunakan sabun, lalu pada limbah yang memiliki aroma
amis disebabkan oleh dekomposisi kandungan amonia seperti senyawa belerang
dan bahan kimia hasil penguraian asam amino. Otot juga mengandung zat
trimetillamin oksida atau TMAO, terurai menjadi trimetilamina dan dimetilamina.
Kedua campuran senyawa inilah yang menimbulkan bau amis khususnya pada
ikan. Adanya bau busuk dari air limbah sebagian besar diakibatkan oleh
adanya material volatile, gas terlarut, hasil samping dari pembusukan bahan
organik dari mikroorganisme (Sugiharto,1987).
Fajar Abhirama A. I
240210160076

Air limbah yang hendak dibuang memiliki temperatur yang mendekati


temperatur air. Hal tersebut telah disesuaikan dengan Bertoldi et al (1983) yang
menyatakan bahwa temperatur buangan limbah yang telah diberi perlakuan
penjernihan harus berada pada suhu 30-35oC sehingga mikroba dapat bertahan
hidup dan menguraikannya.
Berdasarkan pada tabel diatas bila diurutkan dari yang memiliki suhu
tertinggi secara berurutan ialah limbah tahu, karbohidrat, susu dan buah, rumah
tangga dan air bersih, air sungai, ikan, industri tekstil, lalu yang terakhir adalah
limbah daging.. Hal tersebut disebabkan oleh adanya oksigen yang terlarut atau
berdifusi pada air sehingga berpengaruh pada kondisi temperatur air. Menurut
Wardhana (2004) menyatakan bahwa semakin tinggi suhu, maka oksigen yang
terlarut rendah, dan begitu sebaliknya. Faktor lain yang bertanggung jawab atas
keadaan suhu tersebut ialah lama penyimpanan yang juga dapat mempengaruhi
temperatur.
Kandungan endapan tentu akan berpengaruh pada biooksidasi pada air
(Jenie & Rahayu, 1993). Endapan tentu akan mempengaruhi intensitas warna
yang dihasilkan melalui tingkat kekeruhan pada air limbah. Perhitungan massa
endapan dengan menghitung massa cawan, massa kertas saring dan massa
endapan hasil filtrasi. Adapun mekanisme perhitungannya adalah sebagai berikut :

W1 = W0 + Wkertas
W2 = W0 + W1 + Wendapan
W3 = W2 − W1
W3 × 103
W4 =
Vsampel
1L
Keterangan
W0 = Cawan Kosong (g)
W1 = Cawan + Kertas (g)
W2 = Cawan + Kertas + Endapan (g)
W3 = Endapan (W2 – W1) (g)
W4 = Endapan (mg/L)
Fajar Abhirama A. I
240210160076

Berdasarkan data pada tabel diatas, limbah yang memiliki endapan


tertinggi adalah limbah tekstil dengan besar 1,0169 gram dan yang terendah
adalah limbah air bersih dengan besar 0,0051 gram. Hal tersebut dapat terjadi
karena adanya zat pengotor selain limbah tersebut yang ikut terambil dalam
pengambilan sampel. Menurut Wardhana (2004) menyatakan bahwa pada
umumnya bahan buangan tersebut, tergolong bahan buangan organik dan
anorganik yang akan berisiko terhadap kondisi kesehatan masyarakat, apabila
limbah rumah tangga dan limbah industri pangan tidak tertangani dengan baik.

4.2 Pengamatan BOD pada Limbah

DO dapat diartikan sebagai jumlah atau banyaknya oksigen yang terlarut


dalam air. DO ini dapat dijadikan suatu indikator dari karakterisasi air limbah cair,
dan juga sebagai penilai secara keseluruhan akan lingkungan hidup (Näykki et al.,
2013). BOD atau Biochemical Oxygen Demand diartikan sebagai banyaknya
oksigen yang diperlukan untuk proses degradasi biokimia (Wardhana, 2004).

Tabel 2. Hasil Pengamatan BOD


Hari Ke-0 (VDO0) Hari Ke-5 (VDO5)
V V
Kel Sampel BOD
Titrasi DO0 FP Titrasi DO5 FP
(mL) (mL)
Limbah
1 Rumah 1,00 172,8 15 1,00 172,8 15 0
Tangga
Limbah
2 0,20 137,28 15 0,25 171,6 15 25,74
Buah
449,2
3 Air Sungai 0,25 172,8 60 0,65 60 276,48
8
Limbah
4 0,1 345,6 300 0,5 1728 300 16588,8
Tekstil
Limbah
5 0,2 34,56 15 0,1 17,28 15 10,368
Daging
6 Limbah Ikan - - - - - - -
Limbah 2073,
7 0,2 691,2 300 0,6 300 6912
Susu 6
8 Air Bersih 0,25 2,880 1 0,80 9,216 1 0,25344
Limbah
9 0,10 3,456 3 0,15 5,184 3 0,20736
Tahu
Limbah
10 4,05 699,84 15 0,5 86,4 15 368,064
Karbohidrat
Sumber : (Dokumentasi Pribadi, 2018)
Fajar Abhirama A. I
240210160076

Berdasarkan hasil data di atas, limbah yang memiliki BOD tertinggi


adalah limbah tekstil dengan hasil 16588,8 mg/L, dan limbah yang memiliki
BOD terendah adalah limbah rumah tangga dengan hasil 0 mg/L. BOD yang
sangat tinggi dapat disebabkan karena limbah tersebut telah tercemar oleh bahan
organik dalam jumlah yang tinggi yang menyebabkan oksigen yang dibutuhkan
oleh mikroorganisme untuk mengurai senyawa organik tersebut semakin tinggi
(Mara & Horan, 2003). Namun hasil ini tidak sejalan karena seharusnya limbah
tekstil tidak kaya akan bahan organik, seharusnya limbah tekstil memiliki angka
BOD yang rendah karena tingginya kandungan anorganik pada limbah. Angka
BOD yang tinggi ini akan berpengaruh terhadap kualitas air, sehingga dalam
pengelolaan limbah tentu sangat diperlukan penanganan khusus untuk
menurunkan kadar BOD sehingga tidak berpengaruh lagi terhadap lingkungan
sekitar. Menurut Li et al (2013) menyatakan bahwa besar atau kecilnya nilai BOD
pada limbah dipengaruhi oleh material organik, pH, dan suhu limbah.

Pengujian BOD mempunyai kelemahan salah satunya yaitu fase lag yang
tidak dapat diduga panjangnya terjadi sebelum pertumbuhan aktif dimulai.
Panjang lag akan mempengaruhi nilai BOD 5 hari dengan menggeser kurva
sepanjang sumbu waktu. Fase stasioner disebabkan oleh habisnya nutrien yang
terbatas (Jenie & Rahayu, 1993).

4.3 Pengamatan COD pada Limbah

COD dapat diartikan sebagai material organik yang dapat dioksidasi


dengan dikromat dalam metode standar tertentu. COD juga digunakan sebagai
parameter kondisi limbah dan juga air akan adanya bahan kimia anorganik dan
organik yang terlarut dalam air (Wardhana, 2004). Secara mendasar, COD
diartikan sebagai kebutuhan oksigen untuk mengoksidasi komponen kimia yang
besarnya 2 kali dari BOD5 (Mara & Horan, 2003). Prosedur yang dilakukan pada
praktikum ini diawali dengan mengencerkan sampel dengan aquades hingga 10
mL. Berikut hasil pengamatannya:
Fajar Abhirama A. I
240210160076

Tabel 3. Hasil Pengamatan COD


V
V blanko COD
Kel Limbah Na2S2O3 FP
(mL) (ppm)
(mL)
Limbah
1 Rumah 21,8 4 -368,64
Tangga
Limbah
2 20,5 4 1144
Buah
3 Air Sungai 20,3 4 1601.60
Limbah
4 20,3 300 30240
Tekstil
Limbah
5 21.0 20,60 1/12 19,07
Daging
6 Limbah Ikan 20,8 1 23,04
Limbah
7 18,0 1 345,60
Susu
8 Air Bersih 21.0 1 0
Limbah
9 22,5 4 -2745,6
Tahu
Limbah
10 25 4 -460,8
Karbohidrat
Sumber : (Dokumentasi Pribadi, 2018)
Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum ini, nilai COD terbesar
terdapat pada limbah tekstil dengan rata-rata 30240 ppm, disusul dengan limbah
air sungai dengan rata-rata 1601 ppm. Nilai COD terendah, terdapat pada limbah
tahu dengan nilai -2745,6 ppm. Rendahnya nilai COD dari suatu limbah
menandakan adanya senyawa terkandung senyawa nonbiodegradasi yang kecil
Adapun tingginya nilai COD tentu mengandung fraksi nonbiodegradasi yang
besar (Jenie & Rahayu, 1993).

Nilai COD yang besar seperti pada sampel buah dan sampel air sungai
dipengaruhi oleh tingginya kadar zat-zat organik pada limbah tersebut. (Kosseva
& Webb, 2013; Arvanitoyannis, 2008). Limbah tekstil menurut Patel & Vashi
(2010) memiliki ambang batas maksimum yang dapat dikeluarkan sesuai dengan
CPCB (Central Pollution Control Board) sebesar 250 ppm. Berdasarkan data tabel
diatas, limbah tekstil ini menghasilkan COD sebesar 30240 ppm. Angka ini lebih
besar dari 250 ppm yang sudah dikemukakan sebelumnya oleh patel & Vashi
(2010), hal ini diakibatkan kemungkinan besar disebabkan karena adanya
kesalahan selama proses pengamatan dilakukan, atau juga dapat disebabkan
Fajar Abhirama A. I
240210160076

karena tidak adanya treatment atau pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang
yang dapat meningkatkan kadar COD pada limbah ini.

Limbah rumah tangga memiliki COD sebesar -368,64 ppm. Hal itu tidak
sesuai dengan literaatur yang ada, seharusnya limbah rumah tangga memliki hasil
COD yang lumayan tinggi, hal itu disebabkan oleh tingginya kandungan organik
dan beberapa komponen anorganik yang sulit didegradasi sehingga menyebabkan
kadar COD yang tinggi. Penyebab nilai COD yang tinggi dapat dipengaruhi oleh
air dari air mandi, bekas cucian baju dan piring yang umumnya mengandung
deterjen pada proses pemakaiannya (Nursanthary et al., 2012).

Berdasarkan data pada tabel, sampel air bersih memiliki COD yang
terkecil yakni sebesar 0 ppm. Hal tersebut dikarenakan mengandung kandungan
organik dan anorganik yang rendah. Nilai COD ini diakibatkan oleh adanya
perlakuan terlebih dahulu atau treatment sebelum di alirkan yang menjadikan
kadarnya rendah. Menurut PP (Peraturan Pemerintah) No. 82 Tahun 2001
menyatakan bahwa kandungan COD yang diharuskan pada pengelolaan air
minum (PDAM) ialah sebesar 10 mg/L atau 10 ppm. Maka air bersih yang
menjadi sampel sudah sesuai dengan peraturan yang ada.

4.4 Pengamatan Bakteri Koliform pada Limbah

Bakteri koliform merupakan golongan mikroorganisme yang umum


digunakan sebagai indikator, dimana bakteri ini dapat menjadi indikator
penentuan kontaminasi sumber air oleh mikroorganisme patogen. Bakteri
koliform merupakan bakteri yang sering digunakan untuk indikator adanya polusi
kotoran. Bakteri koliform dibedakan menjadi dua, yaitu koliform fekal
(Escherichia coli) dan koliform nonfekal (Enterobacter aerogenes). Bakteri
koliform fekal ditemukan didalam saluran usus hewan dan manusia, sehingga
sering terdapat dalam feses. Bakteri ini sering digunakan sebagai indikator
kontaminasi kotoran. Koliform nonfekal bukan merupakan flora normal di dalam
saluran pencernaan, melainkan ditemukan pada tanaman atau hewan yang telah
mati, dan sering menimbulkan lendir pada makanan. Berikut ini hasil datanya:
Fajar Abhirama A. I
240210160076

Tabel 4. Hasil Pengamatan Uji Koliform


Kel. Uji Penduga
Nilai
Limbah LBDS LBSS LBSS Uji Penguat
MPN
10 1 0,1

Bakteri fekal

Limbah
1 Rumah 0 2 1 0,093
Tangga
Bakteri fekal

Bakteri fekal

(-)

Limbah
2 3 3 3 >24,00
Buah
Bakteri fekal

Bakteri fekal

3 Air Sungai 1 1 1 0,11 (-)

(-)
Fajar Abhirama A. I
240210160076

Kel. Uji Penduga


Nilai
Limbah LBDS LBSS LBSS Uji Penguat
MPN
10 1 0,1

(-)

Limbah
4 Industri 0 0 1 0,03 Bakteri Fekal
Tekstil

Limbah (-)
5 0 1 1 0,061
Daging

(-)

Bakteri fekal

Limbah
6 1 1 1 0,11
Ikan
Bakteri fekal

Bakteri fekal
Fajar Abhirama A. I
240210160076

Kel. Uji Penduga


Nilai
Limbah LBDS LBSS LBSS Uji Penguat
MPN
10 1 0,1
Bakteri fekal

Bakteri fekal
Limbah
7 3 3 3 >24,00
Susu

Bakteri fekal

Bakteri fekal

8 Air bersih 1 1 1 0,11

Bakteri fekal

Bakteri fekal

Limbah
9 3 3 0 2,40
Tahu

Limbah
10 3 3 3 >24,00
Karbohidrat

Bakteri fekal
Fajar Abhirama A. I
240210160076

Kel. Uji Penduga


Nilai
Limbah LBDS LBSS LBSS Uji Penguat
MPN
10 1 0,1

Bakteri fekal

Bakteri fekal
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018)
Dalam pengujian bakteri koliform digunakan metode uji MPN dimana
Metode MPN terdiri dari tiga tahap, yaitu uji pendugaan (presumtive test), uji
penetapan (confirmed test), dan uji kelengkapan (completed test). Dalam uji tahap
pertama, keberadaan coliform masih dalam tingkat probabilitas rendah; masih
dalam dugaan. Uji ini mendeteksi sifat fermentatif coliform dalam sampel. Karena
beberapa jenis bakteri selain coliform juga memiliki sifat fermentatif, diperlukan
uji konfirmasi untuk mengetes kembali kebenaran adanya coliform dengan
bantuan medium selektif diferensial. Uji kelengkapan kembali meyakinkan hasil
tes uji konfirmasi dengan mendeteksi sifat fermentatif dan pengamatan mikroskop
terhadap ciri-ciri coliform: berbentuk batang, Gram negatif, tidak-berspora
(Fardiaz,1989). Output metode MPN adalah nilai MPN. Nilai MPN adalah
perkiraan jumlah unit tumbuh (growth unit) atau unit pembentuk-koloni (colony-
forming unit) dalam sampel. Namun, pada umumnya, nilai MPN juga diartikan
sebagai perkiraan jumlah individu bakteri. Satuan yang digunakan, umumnya per
100 mL atau per gram. Semakin kecil nilai MPN, maka air tersebut memiliki
kualitas yang semakin baik dan layak minum. Metode MPN memiliki limit
kepercayaan 95 persen sehingga pada setiap nilai MPN, terdapat jangkauan nilai
MPN terendah dan nilai MPN tertinggi (Fardiaz,1989).
Pengujian bakteri koliform pada praktikum ini menggunakan 3 jenis uji
diantaranya uji penduga, uji penguat, uji pelengkap. Uji penduga merupakan uji
yang dilakukan pada sampel untuk mengetahui benar atau tidaknya keberadaan
bakteri koliform pada suatu sampel. Uji ini menggunakan media LBSS dan
Fajar Abhirama A. I
240210160076

LBDS. LBDS mempunyai kekuatan dua kali lipat dibandingkan dengan LBSS.
Uji ini menggunakan alat tabung Durham yang kemudian dihitung dengan metode
MPN. LBSS dibuat dengan melarutakan 18 gr LB kedalam 1L air, sedangkan
LBDS dibuat dengan melarutkan dua kali bahan yang dilarutkan dalam
pembuatan LBSS, yaitu 36 gr dalam 1L air. LBDS mengandung Beef extract
sebanyak 3 gr, peptone sebesar 5 gr, laktosa sebesar 10 gr, dan Bromthymol Blue
sebanyak 0,2 % per liternya. Sedangkan LBSS hanya mengandung laktosa sebesar
5 gr per ml. Dalam pembuatan LBDS (Lactose Broth Double Strength) dan LBSS
(Lactose Broth Single Strength) ini dilarutkan juga neutral red sehingga larutan
berwarna merah keoranyean. Neutral red ini digunakan sebagai penguji adanya
koliform yang menghasilkan asam hingga warna menjadi kuning atau timbul
kekeruhan (Anonim, 2009). Tabung positif dinyatakan dengan timbulnya
kekeruhan dan gelembung udara (gas) yang dihasilkan mikroorganisme yang
terlihat pada tabung durham setelah dilakukan proses inkubasi dengan suhu 37°C
selama 2 hari.
Uji penguat merupakan tahap uji setelah uji penduga. Uji ini dilakukan
untuk memastikan bahwa hasil dari uji sebelumnya merupakan bakteri fekal atau
nonfekal. Uji ini menggunakan media EMB. Media EMB berfungsi untuk
memilah mikroba yang memfermentasikan laktosa seperti S. aureus, P.
aerugenosa, Salmonella, terutama E. coli. EMB sendiri mengandung laktosa,
sehingga mikroba yang memfermentasi laktosa akan menghasilkan koloni dengan
inti berwarna gelap dengan kilap logam, sedangkan mikroba lain yang dapat
tumbuh koloninya tidak berwarna.
Pertumbuhan bakteri fekal ditandai dengan koloni bulat berwarna merah
kehijauan mengkilap, sedangkan akteri nonfekal ditandai dengan terbentuk koloni
bulat atau melebar berwarna merah muda, merah, atau kuning. E.coli merupakan
jenis bakteri fekal. Maka dari itu, jika pada uji penguat terdapat pertumbuhan
bakteri fekal, dilakukan uji pelengkap. Uji pelengkap dilakukan untuk memastikal
apakah benar bakteri fekal tersebut merupakan bakteri jenis E.coli. Uji pelengkap
menggunakan media NA yang kemudian diamati melalui mikroskop.
Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel pengamatan didapatkan hasil
pengamatan pada sampel limbah rumah tangga memiliki nilai MPN sebesar 0,093
Fajar Abhirama A. I
240210160076

dengan tabung seri LBDS 10, LBSS 1 dan LBSS 0,1 dengan angka 0, 2, 1
menunjukan hasil positif bahwa ada bakteri fekal pada uji penguat. Pada sampel
limbah buah didapatkan nilai MPN sebesar >24,00 tabung seri LBDS 10, LBSS 1
dan LBSS 0,1 dengan angka 3, 3, 3 serta positif adanya bakteri fekal pada tabung
seri LBDS 10. Pada sampel limbah air sungai didapatkan nilai MPN sebesar
0,11dengan tabung seri LBDS 10, LBSS 1 dan LBSS 0,1 dengan angka 1, 1, 1
serta memiliki hasil negati mengandung bakteri fekal. Pada sampel limbah
industri tekstil didapatkan nilai MPN sebesar 0,03 dengan tabung seri LBDS 10,
LBSS 1 dan LBSS 0,1 dengan angka 0, 0, 1 serta positif bakteri fekal. Pada
sampel limbah daging didapatkan nilai MPN sebesar 0,061 dengan tabung seri
LBDS 10, LBSS 1 dan LBSS 0,1 dengan angka 0, 1, 1 serta positif mengandung
E. Coli. Pada sampel limbah ikan didapatkan nilai MPN sebesar 0,11 dengan
tabung seri LBDS 10, LBSS 1 dan LBSS 0,1 dengan angka 1, 1, 1, serta positif
mengandung bakteri fekal. Pada sampel limbah susu didapatkan nilai MPN
sebesar >24,00 dengan tabung seri LBDS 10, LBSS 1 dan LBSS 0,1 dengan angka
3, 3, 3, serta positif mengandung bakteri fekal. Pada sampel air bersih didapatkan
nilai MPN sebesar 0,11 dengan tabung seri LBDS 10, LBSS 1 dan LBSS 0,1
dengan angka 1, 1, 1, positif mengandung bakteri fekal. Pada sampel limbah tahu
didapatkan nilai MPN sebesar 2,40 dengan tabung seri LBDS 10, LBSS 1 dan
LBSS 0,1 dengan angka 3, 3, 0 serta mengandung bakteri fekal. Pada sampel
limbah karbohidrat didapatkan nilai MPN sebesar >24,00 dengan tabung seri
LBDS 10, LBSS 1 dan LBSS 0,1 dengan angka 3,3,3 serta positif mengandung
bakteri fekali. Perbedaan angka dan Uji Kelengkapan dikarenakan beberapa faktor
yakni diantaranya adalah intensitas kontaminan yang berbeda pada sampel
diantara adanya kemungkinan kontaminasi silang pada sampel yang berasal dari
udara seperti Bacillus sp, Pseudomonas, Sarcina dan Staphylococcus (Pelzcar,
1986).
Dengan adanya pertumbuhan E.Coli pada sampel ditandai dengan adanya
warna hijau metalik dimana menandakan bakteri gram negative yang
memfermentasi laktosa dan menghasilkan asam yang membentuk warna
kompleks (Atmojo, 2016). Bakteri E. Coli dalam air dapat menjadi indikator
adanya pencemaran air oleh tinja. E. Coli digunakan sebagai indikator
Fajar Abhirama A. I
240210160076

pemeriksaan kualitas bakteriologis secara universal dalam analisis dengan alasan


E. Coli secara normal hanya ditemukan di saluran pencernaan manusia (sebagai
flora normal) atau hewan mamalia, atau bahan yang telah terkontaminasi dengan
tinja manusia atau hewan, jarang sekali ditemukan dalam air dengan kualitas
kebersihan yang tinggi. E. Coli mudah diperiksa di laboratorium dan
sensitivitasnya tinggi jika pemeriksaan dilakukan dengan benar dan bila dalam air
tersebut ditemukan E. Coli, maka air tersebut dianggap berbahaya bagi
penggunaan domestic. Selain itu sebagai indikatror adanya kemungkinan bakteri
enterik patogen yang lain dapat ditemukan bersama-sama dengan E. Coli dalam
air tersebut (Gause, G. F. 1946).
4.5 Pengamatan TPC
Metode ini merupakan analisis untuk menguji cemaran mikroba dengan
menggunakan metode pengenceran dan metode cawan tuang. Metode cawan
tuang adalah metode per plate. Metode ini dilakukan dengan mengencerkan
sumber isolate yang telah diketahui beratnya ke dalam 9 ml larutan garam
fisiologis, larutan yang digunakan sekitar 1 ml suspense ke dalam cawan petri
steril, dilanjutkan dengan menuangkan media penyubur (nutrient agar), NA /
media penyubur merupakan nutrisi untuk makanan mikroba.(Dwidjoseputro.
2005). Berikut ini data hasil pengamatan yang telah dilakukan.
Tabel 5. Hasil Pengamatan TPC
Pengenceran
TPC (unit
Kel. Limbah Dokumentasi
10-5 10-6 koloni/mL)

Limbah
245 10-5
1 Rumah 30 koloni 3,0 x 107
koloni
Tangga

10-6

Limbah 392 296


2 3,92 x 107
Buah koloni koloni

10-5
Fajar Abhirama A. I
240210160076

Pengenceran
TPC (unit
Kel. Limbah Dokumentasi
10-5 10-6 koloni/mL)

10-6

3 Air Sungai
20
TBUD 2,00 x 106 10-5
koloni

10-6

Limbah
10-5
4 Industri TBUD TBUD TBUD
Tekstil

10-6
Fajar Abhirama A. I
240210160076

Pengenceran
TPC (unit
Kel. Limbah Dokumentasi
10-5 10-6 koloni/mL)

10-5
Limbah
5 106 90 5,03 x 107
Daging

10-6

10-5
Limbah
6 109 63 3,69 x 107
Ikan

10-6

Limbah 31
7 TBUD 3,1 x 106
Susu Koloni

10-5
Fajar Abhirama A. I
240210160076

Pengenceran
TPC (unit
Kel. Limbah Dokumentasi
10-5 10-6 koloni/mL)

10-6

10-5
14
8 Air bersih TBUD 1,4 x 106
koloni

10-6

Limbah
9 Negatif Negatif -
Tahu

Limbah 7
10 9 Koloni 7,0 x 105
Karbohidrat Koloni

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018)


Berdasarkan tabel hasil pengamatan didapatkan hasil sampel limbah
rumah tangga pada kelompok 1 memiliki nilai TPC sebesar 3,0 x 107 cfu/ml
dengan jumlah bakteri sebanyak 245 koloni pada pengenceran 10-5 dan 30 koloni
pada pengenceran 10-6. Pada kelompok 2 nilai TPC sebesar 3,92 x 107 cfu/ml
dengan jumlah bakteri sebanyak 392 koloni pada pengenceran 10-5 dan 296 koloni
Fajar Abhirama A. I
240210160076

pada pengenceran 10-6. Sampel limbah air sungai pada kelompok 3 memiliki nilai
TPC sebesar 2,00 x 106 cfu/ml dengan jumlah bakteri sebanyak 20 koloni pada
pengenceran 10-5 dan TBUD pada pengenceran 10-6. Sampel limbah tekstil pada
kelompok 4 memiliki nilai TPC sebesar TBUD dengan jumlah bakteri TBUD
pada pengenceran 10-5 dan 10-6. Sampel limbah daging pada kelompok 5
memiliki nilai TPC sebesar 5,03 x 107 cfu/ml dengan jumlah bakteri sebanyak 106
koloni pada pengenceran 10-5 dan 90 koloni pada pengenceran 10-6.. Sampel
limbah ikan pada kelompok 6 memiliki nilai TPC sebesar 3,69 x 107 cfu/ml
dengan jumlah bakteri sebanyak 109 koloni pada pengenceran 10-5 dan 63 koloni
pada pengenceran 10-6 . Sampel limbah susu pada kelompok 7 memiliki nilai TPC
sebesar 3,1 x 106 cfu/ml dengan jumlah bakteri sebanyak 31 koloni pada
pengenceran 10-5 dan menjadi TBUD pada pengenceran 10-6. Sampel air bersih
pada kelompok 8 memiliki nilai TPC sebesar 1,4 x 106 cfu/ml dengan jumlah
bakteri sebanyak 14 koloni pada pengenceran 10-5 dan TBUD pada pengenceran
10-6. Sampel limbah tahu pada kelompok 9 memiliki nilai TPC 0 alias tidak
ditemukan adanya pertumbuhan bakteri. Sampel limbah karbohidrat pada
kelompok 10 memiliki nilai TPC sebesar 7,0 x 105 cfu/ml dengan jumlah bakteri
sebanyak 7 koloni pada pengenceran 10-5 dan 9 koloni pada pengenceran 10-6.
Dengan baku mutu air bersih yang diatur oleh Permenkes RI
416/Menkes/PER/IX.2010 dimana bakteri koliform pada air bersih masuk dalam
parameter mikrobiologi dengan syarat 0/100 mL maka hampir selutuh sampel
kecuali limbah tahu, tidak layak konsumsi bahkan sampel air bersih pun. Hal ini
dikarenakan melebihi standar baku yang ada. Dengan begitu juga dibuktikan
bahwa hampir seluruh sampel terkontaminasi mikroba, dimana dengan adanya
pertumbuhan E.Coli pada sampel ditandai dengan adanya warna hijau metalik
dimana menandakan bakteri gram negative yang memfermentasi laktosa dan
menghasilkan asam yang membentuk warna kompleks (Atmojo, 2016).
Fajar Abhirama A. I
240210160076

V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan, maka dihasilkan
kesimpulan sebagai berikut :
1. Limbah dengan tingkat warna atau intensitas kekeruhan tertinggi secara
kualitatf terdapat pada limbah tekstil dan limbah daging.
2. Limbah dengan pH terendah terdapat pada limbah buah dengan nilai 4,50
dan yang tertinggi pada limbah industri tekstil dengan nilai pH sebesar
8,72.
3. Suhu tertinggi pada limbah terdapat pada limbah tahu dengan suhu 30oC.
4. Limbah dengan endapan terbanyak adallah limbah industri tekstil sebesar
1,0169 mg/L dan limbah dengan endapan terendah adalah limbah air
bersih sebesar 0,0051 mg/L.
5. Nilai BOD terbesar berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terdapat
pada limbah industril tekstil dengan nilai 16588,8 mg/L.
6. Nilai BOD terendah berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan
terdapat pada limbah rumah tangga sebesar 0 mg/L.
7. Nilai COD terbesar berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terdapat
pada limbah air sungai sebesar 1601,60 ppm.
8. Nilai COD terendah berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan
terdapat pada limbah tahu sebesar -2745,6 ppm.
9. Hampir semua sampel pada pengujian bakteri koliform memiliki hasil
posistif adanya bakteri fekal atau E. coli kecuali limbah air sungai dan
limbah daging.
10. Nilai bakteri terbesar pada pengujian TPC berdasarkan pengamatan yang
telah dilakukan terdapat pada sampel limbah industril tekstil dengan hasil
TBUD.
Fajar Abhirama A. I
240210160076

DAFTAR PUSTAKA

Atmojo, A.T. 2016. Mikrobiologi Umum. Universitas Brawijaya, Malang.

Arvanitoyannis dan Kassaveti, A. 2008. Fish Industry Waste: Treatments,


Environmental Impacts, Current and Potential Uses. International Journal
of Food Science and Technology.

Bertoldi M, Vallini G, dan Pera A. 1983. The biology of composting. Waste Mgmt
Res. 1 : 157-176.

Brandt, M.J., K.M. Johnson, A.J. Elphinston, dan D.D. Ratnayaka. 2017. Twrot's
Water Supply. Elsevier, Ltd., Oxford.

Dwidjoseputro. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.

Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian


Bogor. Bogor.

Gause, G. F. 1946 Litmocidin, A New Antibiotic Substance Produced by


Roactinomyces Cyaneus. J. Bacteriol., 51. Official Chemical Method.
1979. Fish Inspection Branch Fisheries And Ocean. Science Press.
Canada.

Himanshu Patel, RT Vashi, Treatment of Textile Wastewaterby Adsorption and


Coagulation. Journal of Chemistry, 7, 4, (2010) 1468-1476

Jenie, B.S.L., dan W.P. Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan.
Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Kosseva, M.R., & C. Webb. 2013. Food Industry Waste : Assessment and
Recuperation of Commodities. Elsevier, Inc., London.

Kristanto, P. 2013. Ekologi Industri. Yogyakarta: Andi offset.

Li, H., A. Shi, M. Li, dan X. Zhang. 2013. Effect of pH, Temperature, Dissolved
Oxygen, and Flow Rate of Overlying Water on Heavy Metals Release from
Storm Sewer Sediments. Journal of Chemistry, 2013 : 1-11.

Mara, D., dan N. Horan. 2003. Handbook of Water and Wastewater Microbiology.
Academic Press, London.

Näykki, T., L. Jalukse, I. Helm, dan I. Leito. 2013. Dissolved Oxygen


Concentration Interlaboratory Comparison: What Can We Learn? Water,
5: 420-442.

Nursanthary, D.L., E.R. Colby, dan H. Santosa. 2012. Pengolahan Air Limbah
Rumah Tangga Secara Biologis dengan Media Lumpur Aktif : Suatu
Usaha Pemanfaatan Kembali Air Limbah Rumah Tangga untuk
Fajar Abhirama A. I
240210160076

Kebutuhan Mandi dan Cuci. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri,


1(1) : 454-460.

Pelczar, M. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Erlangga, Jakarta

Pemerintah RI. 2001. Peraturan Pemerintah RI No. 82 Tahun 2001 tentang


Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Republik
Indonesia, Jakarta.

Siradz, S.A., E.S. Harsono, dan I. Purba. 2008. Kualitas Air Sungai Code,
Winongo dan Gajahwong, Daerah Istiewa Yogyakarta. Jurnal Ilmu Tanah
dan Lingkungan, 8(2) : 121-125.

Sugiharto, 1987. Dasar-dasar pengelolaan air limbah. Universitas Indonesia ,


Jakarta.

Sumanti, D.M., dan T. Rialita. 2010. Penanganan Limbah Industri Pangan.


Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian,
UniversitasPadjadjaran, Bandung.

Wardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Ed. 3. Penerbit Andi,


Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai