Anda di halaman 1dari 1

Tak dapat dinafikan, masa kanak-kanak adalah masa penuh bahagia bagi kita orang-orang dewasa

yang melihatnya. Mereka tak memiliki beban kehidupan, jauh dari tanggungjawab, dan penuh dengan
keriangan. Saat mereka berjumpa dengan susah, mereka kan mengadu pada orangtuanya, saat
mereka senang, mereka kan leluasa mencurahkan apa rasanya pada kedua orangtua. Sehingga masa-
masa mereka adalah masa yang sungguh polos dan tidak ada drama apapun didalamnya. Hingga
sampai nanti mereka beranjak besar dan kenal pada lingkungan sekitarnya.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ialah pribadi yang santun, urusan pendidikan dan dakwah beliau,
tidak hanya dilakukan kepada para kaum dewasa dan orangtua saja. Namun hingga menyentuh anak-
anak yang hidup disekeliling Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian diantaranya bersama dengan
Nabi sehari-hari. Hingga mereka tumbuh dewasa dan mengerti arti kehilangan yang sebenarnya saat
ditinggalkan oleh beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Salah satu kebaikan beliau, ialah beliau senantiasa menunjukkan rasa senangnya pada anak-anak dan
kerap menasihati mereka pada suatu ketika. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang dikisahkan oleh
Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu, ketia ia mengisahkan:

“Pada saat masih kecil, aku tinggal dalam asuhan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika,
tanganku bergerak kesana-kemari diatas piring. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepadaku, “Wahai anak (kecil), sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan
makanlah makanan yang ada disekitarmu.” Sejak saat itu, kebiasaan ini menjadi cara makanku.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

Selain itu beliau juga mendoakan sahabat kecil lainnya yakni Ibnu Abbas dengan doa, “Ya Allah,
berikanlah kefakihan padanya di dalam agama ini dan ajarilah ia ilmu takwil (tafsir Al Quran)”

Dari apa yang dilakukan beliau, jelaslah kiranya bahwa kepada anak kecil, pendidikan untuk menjadi
baik harus tetap ada. Ia harus tercermin pada dua sikap para orangtuanya yang mendidik. Pertama
ialah dididik dengan nasihat-nasihat yang baik juga sikap yang pasti. Serta kedua ialah senantiasa
didoakan baik saat anak tersebut hadir dihadapan atau saat orangtua dalam kesendirian.

Kerap kita kesal dengan polah anak yang menyebalkan. Namun memang itulah fitrah anak-anak.
Bukankah kita dahulu pernah berada dalam posisi mereka sebelum akhirnya kita kenal dunia seperti
saat ini? Bukankah kita juga paham, bahwa kita pernah ada pada posisi mereka, tapi mereka tidak ada
pada posisi kita.

Itulah, dibutuhkan sebuah kehati-hatian dalam memperlakukan seorang anak, termasuk menjaga diri
kita untuk mengatur tempo emosi, dan memahami keadaan kita, bahwa anak-anak adalah pribadi
lemah, sedangkan kita kuat. Hingga nanti berbalik kita kembali lemah, dan mereka akan kuat seperti
kita hari ini. Yakinlah, mendidik dengan kekerasan tidak akan mendatangkan kebaikan, namun didiklah
dengan kebijaksanaan, karena yang demikian mendatangkan pengharapan. Bahwa anak-anak hari ini
adalah penerus kita di masa datang. Jangan sia-siakan apa yang menjadi usia terbaik mereka. Usia
dimana kita dihadirkan untuk menjaga amanah Allah tersebut dengan sebaik-baiknya.

“Janganlah kalian mendoakan keburukan untuk diri sendiri, jangan mendoakan keburukan untuk
anak-anak kalian, dan jangan mendoakan keburukan untuk harta kalian. Jangan sampai kalian
(berdoa) bertepatan dengan waktu yang doa padanya dikabulkan, lalu Dia mengabulkan untuk kalian”
(HR. Muslim).

Jangan hardik ia dengan ucapan sembarangan, jangan doakan ia binasa karena emosi sesaat kita, dan
jangan jadikan kita menjadi para penyesal yang tak berguna dikemudian hari. Anak-anak adalah aset
kita, jaga dan perbaiki dengan penjagaan terbaik dan kebaikan yang bijak. (Abu Haniina Rizki)

Anda mungkin juga menyukai