Anda di halaman 1dari 3

Asal Usul Kerajaan di Nusantara

Asal Usul Kerajaan di Nusantara


Penulis: Jacinta F. Rini
02-10-2009
Masyarakat nusantara jaman pra-sejarah mempunyai sistem kemasyarakatan dan tata kehidupan sosial yang

berbeda dengan di masa ini. Masyarakat nusantara awalnya tidak mengenal sistem pemerintahan yang

berorientasi politik seperti di abad modern. Menurut sejarawan Paul Michel Munoz, istilah “kerajaan” pertama

kali digunakan oleh orang-orang Cina, dengan criteria bahwa sebuah kerajaan itu harus ada batasan patok-

patok wilayah yang jelas, ada birokrasi dan struktur pemerintahan, ada sistem pemungutan pajak dan

kerajaan di pimpin oleh raja dengan menganut sistem kedinastian. Implikasinya, orang-orang yang terpilih

menjadi raja memiliki garis keturunan biologis.

Sebaliknya, tata kehidupan dan pemerintahan masyarakat nusantara tidak memiliki batas wilayah yang jelas

karena tergantung dari di mana kah domisili orang yang dianggap pemimpin dan sampai di mana pengaruh

kekuasaan orang itu. Dimasa itu tidak ada pemerintahan birokrasi dan structural, tidak ada sistem pajak yang

formal legal serta tidak terdapat aturan pewarisan kedinastian karena kepemimpinan terbatas pada usia

orangnya, bukan garis keturunannya. Pengangkatan seorang penguasa di masa itu juga sangat tergantung

dari kemampuannya melakukan negosiasi dengan para pedagang pendatang, atau melakukan strategi-strategi

pengamanan “militer” dengan bekerja sama berbagai pihak demi keamanan territorial, bahkan ada pula yang

dipilih karena dianggap mempunyai kesaktian.

Pola ini menjelaskan sejarah munculnya kerajaan Gilingaya atau Salaka nagara yang pada

kelanjutannya akhirnya melahirkan kerajaan Tarumanegara. Pada masa itu, Aki Tirem seorang penguasa local,

bukanlah raja seperti definisi kerajaan ala Cina atau ala modern. Kesaktian, kebijaksanaan dan kepandaian

Aki Tirem pada masa itu (seperti dalam ramuan obat-obatan) dan di akui oleh masyarakat setempat sehingga

beliau dituakan dan sangat dihormati. Terbukti pula dari kemampuannya menggalang kerja sama dengan

Dewawarman, yang disebut sebagai duta keliling dan pedagang dari India, untuk menjaga wilayah perairan

dari perompak-perompak Cina yang membahayakan jalur perdagangan di wilayah perairan barat – barat laut.

Ketika pada akhirnya Dewawarman mendirikan kerajaan Gilingaya, dan beberapa tahun sesudahnya kerajaan

itu hanya menjadi salah satu kadipaten dari Tarumanegara, menjelaskan bahwa proses pergantian wilayah

dan kekuasaan tidak perlu terjadi karena peperangan maupun penundukan.

Namun para pendatang khususnya yang dari Cina menganggap fluktuasi yang terjadi di nusantara akibat

perpindahan wilayah kekuasaan atau pergantian pemimpin sebagai kekacauan politik, chaos, bahkan

menganggap di wilayah nusantara kerap terjadi anarkisme. Dalam perspektif O.W Wolters yang di tuliskan

dalam bukunya History, Culture and Region in South East Asian perspectives (1999) , adalah lebih tepat

menggunakan istilah “mandala” untuk menggambarkan pola masyarakat lokal. Dengan model “mandala”, maka

bisa dijelaskan bahwa sebuah “kerajaan” mempunyai garis wilayah, namun tidak mempunyai batasan yang

jelas.

Pertumbuhan “kerajaan” nusantara sampai seperti definisi Cina maupun definisi yang kita kenal sekarang ini,

melalui tiga fase, yakni fase lokal, fase regional dan fase imperial. Ketiga fase ini juga dianggap sebagai fase

pembentukan Negara.

1. Fase lokal

Pada fase lokal, wilayah kekuasaan pemimpin sebatas sejauh mana ia bisa menguasai dan mengelola sumber

daya manusia maupun alamnya. Tidak ada invasi militer atau penaklukan terhadap wilayah penduduk lain.
Yang ada adalah penyerbuan terhadap masyarakat untuk mengambil sumber daya manusia dan hasil-hasil

bumi di tempat itu, demi menambah kekayaan dan cadangan pangan komunitasnya.

2. Fase Regional

Fase regional ditandai dengan meluasnya wilayah penguasa, melampaui batas wilayah semula lewat invasi

“militer” terhadap wilayah lain. Namun, yang patut di catat, penaklukan tidak disertai dengan pembinasaan

atau pemaksaan agar penguasa dan masyarakat setempat mengganti semua sistem nilai, tata cara, adat,

kebiasaan yang sama dengan sang penakluk. Sebaliknya, penakluk tetap mempertahankan kedudukan

penguasa setempat, namun mereka harus tunduk dan mengakui wewenang penakluknya dengan secara

reguler mengirimkan upeti atau menyepakati perjanjian bilateral. Agar diakui dan mau menjalankan aturan,

maka pemimpin atau raja yang melakukan invasi itu setidaknya punya superioritas, bisa dalam bentuk

superioritas spiritual atau kekuatan lain yang bisa melegitimasi penaklukan tersebut.

Ada kemungkinan, pola seperti ini lah yang diterapkan Maha Patih Gajah Mada saat mempersatukan

nusantara, karena di saat Majapahit eksis, di berbagai kerajaan taklukan dari sepanjang Pulau Sumatera

hingga Nusa Tenggara, kehidupan sosial ekonomi masih terus berlangsung.Kitab Negarakertagama pupuh

XIII-XV mengisahkan bahwa masing-masing wilayah kerajaan mempunyai otonomi sendiri dalam mengelola

sumber daya alam dan ekonomi. Sistem monopoli raja tertinggi (Maha Raja) terbatas pada urusan

perdagangan.

3. Fase Imperial

Pada fase imperial terjadi perluasan dan penggabungan wilayah dua mandala. Penaklukan disertai

penghancuran baik penghancuran harta benda dan sumber daya alam, penghancuran peradaban dan

kebudayaan serta penghancuran spiritual. Akuisisi tidak terbatas pada wilayahnya saja, akuisisi juga di

praktekkan terhadap kekuasaan raja setempat / yang di taklukkan. Tujuan dari akuisisi dan penaklukkan

adalah kekuasaan. Pada saat kerajaan itu di taklukkan, maka segenap pejabat pemerintah juga diganti oleh

pejabat-pejabat baru yang di tunjuk oleh raja penakluk. Dari analisa Paul Munoz, kerajaan di nusantara tidak

mencapai fase imperial, bahkan saat puncak kejayaan Majapahit maupun Sriwijaya, tidak ada penaklukan

(penghancuran) dan peleburan terhadap “mandala” lain.

Penutup

Dilihat dari perspektif kejawaan, pola tersebut menguatkan hipotesa bahwa tata kemasyarakatan dan

kepemimpinan nusantara yang asli, mempunyai ciri khas tersendiri , di tandai dengan tidak adanya

penaklukkan atas dasar perebutan kekuasaan dan penghancuran budaya, peradaban bahkan tatanan nilai

sosial serta kehidupan spiritual. Penaklukan dan pengakuan kedaulatan raja tertentu tidak serta merta

meniadakan tata nilai, budaya dan tradisi masyarakat setempat. Kekuasaan seorang pemimpin di tentukan

oleh kemampuannya dan keterbatasan usia, sehingga pemimpin tidak harus keturunan langsung dari raja atau

penguasa terdahulu, berbeda dengan apa yang di ketahui oleh masyarakat dewasa ini.

Di edit oleh: Yohanes Papu

Daftar Pustaka :

Munoz, P.M, Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia . Perkembangan Sejarah

dan Budaya Asia Tenggara (Jaman Pra Sejarah – Abad XIV), Mitra Abadi, Yogyakarta.
Sumber : http://terrajawa.net/
Diposting oleh Ilmu Titen di 03.28 Rabu, 23 Juni 2010

Anda mungkin juga menyukai