Anda di halaman 1dari 41

Portofolio

MDR TB

Periode:

6 Agustus – 1 September 2018

Oleh :

Dita Triyasa, S.Ked 04054821719092


Dika Dwiyasa, S.Ked 04054821820070

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN


ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus dengan Judul :

MDR TB

Disusun Oleh:
Dita Triyasa, S.Ked 04054821719092
Dika Dwiyasa, S.Ked 04054821820070

Telah diterima sebagai salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.

Palembang, Agustus 2018

Kepala Puskesmas Sukarami

drg. Purnamawati
NIP. 19980907 199903 2 001

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
portofolio ini dengan judul “MDR TB”. Portofolio ini merupakan salah satu syarat
dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian IKM-IKK FK UNSRI.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. H. M. A. Husnil Farouk, MPH selaku pembimbing
yang telah memberikan pengarahan dan saran yang mendukung sehingga
portofolio ini dapat terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Pimpinan Puskesmas Sukarami, drg. Purnamawati. Dokter Pembimbing
Puskesmas, dr. Dahlia, beserta staf, teman-teman dan semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan portofolio ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan portofolio ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Demikianlah penulisan portofolio ini, semoga bermanfaat, amin.

Palembang, Agustus 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul………………………………………………................... i
Halaman Pengesahan………………………………………… ................ ii
Kata Pengantar……………………………………………………… ...... iii
Daftar Isi…………………………………………………………............ iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien ..................................................................... 3
2.2 Anamnesis ............................................................................. 3
2.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................. 4
2.4 Rencana Pemeriksaan Penunjang ......................................... 5
2.5 Diagnosis Kerja .................................................................... 6
2.6 Tatalaksana ........................................................................... 6
2.7 Prognosis ............................................................................... 6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi……………………………………………… .......... 7
3.2 Epidemiologi …….…………………………………………… 8
3.3 Suspek TB MDR ................................................................... 10
3.4 Faktor yang mempengarui Resistensi ................................... 10
3.5 Mekanisme Terjadinya Resistensi ........................................ 14
3.6 Diagnosis …………………….............................................. 17
3.7 Tatalaksana ........................................................................... 18
BAB IV PENCEGAHAN/PEMBINAAN
4.1 Genogram…………………………………… ...................... 26
4.2 Analisis Home Visite……………………………………… . 26
4.3 Upaya Pencegahan dan Pembinaan ..................................... 30

iv
DAFTAR PUSTAKA………………………………… .......................... 31

LAMPIRAN 1…………………………………………………… .......... 33

LAMPIRAN 2……………………………………………… .................. 35

LAMPIRAN 3………………………………………………………... ... 36

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terlebih lagi multi drug
resistant tuberculosis (TB-MDR) telah menjadi masalah kesehatan yang serius di
beberapa negara, termasuk Indonesia.1 Laporan WHO tahun 2007 menyatakan
telah terjadi mono resisten OAT 10,3%, poli resisten OAT 17,0% dan TB-MDR
2,9%.1 Pada tahun 2009 di dunia diperkirakan terdapat kasus TB-MDR sebanyak
250.000 kasus namun hanya 12% atau 30.000 kasus yang sudah terkonfirmasi.2
Berdasarkan data WHO, Indonesia berada pada peringkat ke-8 dari 27 negara
dengan kasus TB-MDR terbanyak di dunia.3
Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari
Amerika, khususnya pada penderita TB dengan AIDS, ternyata menimbulkan
angka kematian yang amat tinggi (70-90%) dalam waktu yang amat singkat
(hanya 4-16 minggu lamanya antara diagnosis sampai terjadinya kematian).
Laporan kemudian berdatangan dari berbagai rumah sakit dan penjara, mula-mula
dari daerah New York dan kemudian di berbagai negara dari Hongkong yang
menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 20% infeksi TB terjadi dari kuman yang
telah resisten. Laporan dari Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus
tuberkulosis paru yang telah diteliti detemukan 35% adalah resisten terhadap
setidaknya satu jenis obat, yang resisten terhadap sedikitnya dua macam obat
adalah 11,6%, tiga macam obat 3,9% dan empat macam obat 2,8%. Di Pakistan
resistensi terhadap RM, INH, dan EMB dilaporkan masing-masing adalah 17,7%,
14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi terhadap INH dan SM adalah 13,9% dan
7,4%, sementara resistensi terhadap dua obat atau lebih adalah 41%. Penelitian
dari Saudi Arabia menyebutkan bahwa resistensi terhadap RMP, SM dan INH
adalah 7,2%, 3,3% dan 1,2%. 4
Kasus TB dengan resistensi OAT merupakan kasus yang sulit ditangani,
membutuhkan biaya yang lebih besar, efek samping obat yang lebih banyak
dengan hasil pengobatan yang kurang memuaskan. TB dengan resistensi OAT ini
1
terutama berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya yang tidak
adekuat.5 Pada pasien yang memiliki riwayat pengobatan TB sebelumnya
kemungkinan terjadi resistensi sebesar 4 kali lipat sedangkan terjadinya TB-MDR
sebesar 10 kali lipat.3 Data di Indonesia menyatakan pada TB kasus baru
didapatkan TB-MDR 2% dan kasus TB yang telah diobati didapatkan 19%.4 Oleh
karena itu sangat diperlukan strategi penatalaksanaan yang tepat pada kasus TB
dengan resistensi OAT agar tidak berlanjut menjadi extensively drug resistant
tuberculosis (TB-XDR).5

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. Ss
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 58 tahun
Agama : Kristen
Alamat : Jl. Kebun Bunga RT. 39, lrg. Melati Putih
Pekerjaan : Pensiun (Supir Tangki)

2.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis tanggal 10 Agustus 2018)


Keluhan utama :
Muntah darah yang kambuh sejak tahun 2012.
Riwayat perjalanan penyakit :
Sejak tahun 2006 os mengeluh badan lemas, menggigil dan demam yang
tidak terlalu tinggi. Os tinggal di Medan dan jauh dari layanan kesehatan
sehingga os belum berobat. Os pindah ke Palembang dan keluhan dirasakan
semakin bertambah berat. Os mengatakan berobat dan diberi obat 6 bulan.
Setelah pengobatan 6 bulan selesai os dinyatakan sembuh. Pada tahun 2007 os
juga terdiagnosa kencing manis.
Pada tahun 2012 os mengeluhkan keluhan yang sama tetapi sesekali os
merasakan sesak dan muntah darah. Kemudian os berobat dan diberi obat
selama 8 bulan. Os rutin minum obat dan kembali dinyatakan selesai
pengobatan dan sembuh.
Tahun 2016 os berobat dengan keluhan yang sama ke RS Myria dan
dirujuk ke RSMH untuk dilakukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut.
Setelah dilakukan pemeriksaan, hasil menunjukkan bahwa os mengalami
MDR TB paru.

3
Riwayat Penyakit Dahulu:
a. Riwayat Keluhan Serupa : penderita mengalami keluhan yang
sama sejak ± 12 tahun yang lalu dan
berulang ± 6 tahun yang lalu.
b. Riwayat Kencing Manis : sejak tahun 2007.
c. Riwayat Darah Tinggi : disangkal
d. Riwayat Sakit Ginjal : disangkal
e. Alergi Obat dan Makanan : disangkal
f. Riwayat Asma : disangkal
g. Riwayat Operasi : disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Ibu pasien memiliki riwayat kencing manis.
Riwayat Sosial
Penderita seorang pensiunan swasta yaitu supir tangki yang pekerjaannya
selalu mengendarai truk baik dalam kota maupun sampai ke luar kota.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 10 Agustus 2018)


STATUS GENERALIS
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Sensorium : compos mentis
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 88x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,8C
Berat Badan : 60kg
Tinggi : 160 cm
Keadaan gizi : 23,4(normoweight)

KEADAAN SPESIFIK
Kepala :
4
 Mata : konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), pupil bulat, isokor, 
3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
 Hidung : deviasi septum tidak ada, sekret tidak ada
 Telinga : Meatus akustikus eksternus lapang, sekret
(-/-), membran timpani intak
 Tenggorokan : arkus faring simetris, faring hiperemis (-),
uvula di tengah
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-).
Thoraks : bentuk simetris
 Cor : bunyi jantung I dan II (+) normal, HR= 90
x/menit, murmur (-), gallop (-)
 Pulmo : vesikuler (+) normal,rhonkhi (+/+),
wheezing (-/-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,
tympani, bising usus (+) normal, nyeri
tekan (-)
Ekstremitas atas :
Pergerakan motorik normal, tanda-tanda inflamasi (-/-), oedem (-/-),eritem
(-/-), clubbing finger (-/-), kuku nekrosis (-/-), akral hangat (+/+),
deformitas(-/-), nyeri gerak (-/-), krepitasi (-/-).
Ekstremitas bawah :
Pergerakan motorik lutut terbatas (0/0), tanda-tanda inflamasi (-/-), oedem
(-/-), eritem (-/-), akral hangat (+/+), deformitas (-/-), nyeri gerak (-/-),
krepitasi (-/-).
Genitalia eksterna : tidak diperiksa

2.4 ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Rontgen thoraks
Cek Sputum BTA
Gene Expert
5
Elektrokardiogram (EKG)

2.5 DIAGNOSIS KERJA


MDR TB

2.6 PENATALAKSANAAN
2.6.1 Non Farmakologis
Edukasi: Edukasi yang diberikan pada penderita ini yaitu,
memberikan pengertian bahwa penatalaksanaan pasien TB
menggunakan kombinasi modalitas non farmakologis dan
farmakologis yang dinilai sebagai cara yang paling efektif. Edukasi
mengenai pengertian, faktor risiko, pengelolaan, tujuan dari
pengelolaan dan komplikasi. Serta faktor lingkungan yang juga
berperan penting dalam menunjang keberhasilan pengobatan.

2.6.2 Farmakologis
OAT kategori untuk MDR TB.

2.7 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : dubia

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Berdasarkan Guidelines for the programmatic management of drug
resistant tuberculosis: emergency update oleh WHO (2008) resisten terhadap
OAT dinyatakan bila hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya
pertumbuhan M. Tuberculosis in vitro saat terdapat satu atau lebih OAT.1
Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap OAT, yaitu: 5

Mono resisten :resisten terhadap satu obat lini pertama

Poli resisten :resisten terhadap lebih dari satu OAT lini


pertama selain kombinasi isoniazid dan
rifampisin.

Multi drug resistant (MDR) :resisten terhadap sekurang-kurangnya


isoniazid dan rifampisin

Extensively drug resistant (XDR) :TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah


satu obat golongan flourokuinolon dan
sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini
kedua (kapreomisin, kanamisin dan
amikasin).

Total Drug Resistance(TDR) :resisten baik dengan lini pertama maupun lini
kedua. Pada kondisi ini tidak ada lagi obat
yang bisa dipakai.

7
Mono resisten MDR TB XDR TB

•resisten pada satu •resisten pada •MDR TB + resisten


OAT lini pertama Isoniazid dan pada golongan
Rifampisin flouroquinolone
dan salah satu obat
injeksi lini 2
(Amikasin,
Kanamisin,
Kapreomisin)

Gambar 1. Tahapan perkembangan resistensi TB 6

Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi: resistensi primer,


resistensi sekunder dan resitensi inisial. Resistensi primer adalah resistensi yang
terjadi M. tuberculosis terhadap OAT, dimana penderita tidak memiliki riwayat
pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT, namun kurang dari 1
(satu) bulan. Sedangkan resistensi sekunder, pasien telah mempunyai riwayat
pengobatan OAT minimal 1(satu) bulan. Pada resistensi inisial, bila tidak
diketahui pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya
atau belum pernah.7

3.2 Epidemiologi
Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/TB-MDR ) merupakan
masalah terbesar terhadap pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Pada tahun
2010 WHO menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap merata 2%
pertahun. Prevalens TB diperkirakan WHO meningkat 4,3% di seluruh dunia dan
lebih dari 200 kasus baru terjadi di dunia. Di Negara berkembang prevalens TB-
MDR berkisar antara 4,6%-22,2%.”WHO Report On Tuberculosis Epidemic
1995” menyatakan bahwa resisitensi ganda kini menyebar dengan amat cepat di
berbagai belahan dunia. Lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh
kuman tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis
khususunya Rifampisin dan INH, serta kemungkinan pula ditambah obat lainnya.
Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari
Amerika, khususnya pada penderita TB dengan AIDS, ternyata menimbulkan

8
angka kematian yang amat tinggi (70-90%) dalam waktu yang amat singkat
(hanya 4-16 minggu lamanya antara diagnosis sampai terjadinya kematian).
Laporan kemudian berdatangan dari berbagai rumah sakit dan penjara, mula-mula
dari daerah New York dan kemudian di berbagai negara dari Hongkong yang
menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 20% infeksi TB terjadi dari kuman yang
telah resisten. Laporan dari Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus
tuberkulosis paru yang telah diteliti detemukan 35% adalah resisten terhadap
setidaknya satu jenis obat, yang resisten terhadap sedikitnya dua macam obat
adalah 11,6%, tiga macam obat 3,9% dan empat macam obat 2,8%. Di Pakistan
resistensi terhadap RM, INH, dan EMB dilaporkan masing-masing adalah 17,7%,
14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi terhadap INH dan SM adalah 13,9% dan
7,4%, sementara resistensi terhadap dua obat atau lebih adalah 41%. Penelitian
dari Saudi Arabia menyebutkan bahwa resistensi terhadap RMP, SM dan INH
adalah 7,2%, 3,3% dan 1,2%.4
Indonesia menduduki rangking ke 8 dari 27 negara-negara yang
mempunyai bebantinggi dan prioritas kegiatan untuk MDR/XDR. Beban TB-
MDR di 27 negara ini menyumbang 85% dari beban TB-MDR global. Di negara-
negara yang termasuk dalam daftar ini minimal diperkirakan terdapat 4000 kasus
TB-MDR atau sekurangkurangnya10% dari seluruh kasus baru TB-MDR.
Laporan WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2008 kasus TB-MDR di
Indonesia sebesar 6.427. Angka tersebut merujuk pada perkiraan angka TB-MDR
sebesar 2% dari kasus TB baru dan 20% dari kasus TB pengobatan ulang.8

9
Gambar 2. Atas: Persentase kasus baru TB-MDR di tahun 2010-2011. Bawah: Persentase TB-
MDR dari pasien TB yang telah di tangani di tahun 2010-2011.13

3.3 Suspek TB-MDR


Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah:9
1. Kasus TB paru kronik.
2. Pasien TB paru gagal pengobatan kategori 2.
3. Pasien TB yang pernah diobati TB termasuk OAT lini kedua seperti
kuinolon dan kanamisin.
4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1.
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah
sisipan dengan kategori 1.
6. TB paru kasus kambuh.
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1
dan atau kategori 2.
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR
konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-
MDR.

3.4 Faktor Faktor Terjadinya Resistensi


Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau TB-MDRakan
menyebabkan lebih banyakOAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis.
Kegagalan ini bukan hanya merugikanpasien tetapi juga meningkatkan penularan
pada masyarakat.TB resistensi obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu
fenomena buatan manusia,Sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak
10
adekuat yang menyebabkan terjadinyapenularan dari pasien TB-MDR ke.orang
lain / masyarakat. Faktor penyebab resitensi OATterhadap kuman M. tuberculosis
antara lain: 9
1. FAKTOR MIKROBIOLOGIK
 Resisten yang natural
 Resisten yang didapat
 Amplifier effect
 Virulensi kuman
 Tertular galur kuman –MDR
2. FAKTOR KLINIK
A. Penyelenggara kesehatan
 Keterlambatan diagnosis
 Pengobatan tidak mengikuti guideline
 Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya
yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang
tinggi terhadap OAT yang digunakan misal rifampisin atau INH
 Tidak ada guideline/pedoman
 Tidak ada / kurangnya pelatihan TB
 Tidak ada pemantauan pengobatan
 Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada
satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman
tuberkulosis telah resisten pada paduan yang pertama maka ”penambahan”
1 jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten.
 Organisasi program nasional TB yang kurang baik
B. Obat
 Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga
membosankan pasien
 Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit
atau sampai selesai gagal

11
 Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah
makan, atau ada diare
 Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap
yang mana bioavibiliti rifampisinnya berkurang
 Regimen / dosis obat yang tidak tepat
 Harga obat yang tidak terjangkau
 Pengadaan obat terputus
C. Pasien
 Kurangnya informasi atau penyuluhan
 Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll
 Efek samping obat
 Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada
 Masalah sosial
 Gangguan penyerapan obat
3. FAKTOR PROGRAM
 Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan
 Amplifier effect
 Tidak ada program DOTS-PLUS
 Program DOTS belum berjalan dengan baik
 Memerlukan biaya yang besar
4. FAKTOR AIDS–HIV
 Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar
 Gangguan penyerapan
 Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar
5. FAKTOR KUMAN
Kuman M. tuberculosis super strains
 Sangat virulen
 Daya tahan hidup lebih tinggi
 Berhubungan dengan TB-MDR

12
Lima penyebab terjadinya TB-MDR (“SPIGOTS”):9
1. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants
resisten. Hal ini amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT
lini pertama
2. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan
menyebabkanpenyebaran galur resitensi obat. .Penyebaran ini tidak hanya
pada pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama,
penjara dan keluarga pasien
3. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak
sembuh danakan menyebarkan kuman. Pengobatan TB-MDR sulit diobati
serta memerlukanpengobatan jangka panjang dengan biaya mahal
4. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang
mendapatpengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan
menyebabkan bertambah banyakOAT yang resisten (’’The amplifier
effect”). Hal ini menyebabkan seleksi mutasiresisten karena penambahan
obat yang tidak multipel dan tidak efektif
5. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi sakit TB dan
akanmemperpanjang periode infeksious

Sedangkan menurut Aditama dkk ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi
terhadap OAT yaitu: 11
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.
2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang
kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap
obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja
pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut.
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau
tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian
bepindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu
berhenti lagi, demikian seterusnya.
4. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam
suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi
13
karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka
“penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan menambah
panjangnya daftar obat yang resisten saja.
5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan
secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.
6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti
pengirimannya sampai berbulan-bulan.

3.5 Mekanisme Terjadinya Resistensi


A. Mekanisme Resistensi Terhadap INH
Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang
larut air sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini
dengan menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang
sangat penting pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung
dengan oksigen seperti rekasi katase peroksidase.12, 14
Mutan M.tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan
dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid

14
diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase
(katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi
missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase dan
peroksidase.14
Tabel 1. Obat Antitbuberkulosis dan Gen yang terlibat dalam resistensi 10

B. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin


Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces
mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun
ekstraseluler.12,14 Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau
menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung DNA.
Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram
negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi,
biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau
lebih.12 Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas
barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA.
Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari
mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai
(chain formation) tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA
polymerase manusia tidak terganggu.
Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom
dengan frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3,
dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi
pada gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya
perubahan pada tempat ikatan obat tersebut12.
C. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide
Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting
sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja
efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5).
Pada keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek.12
Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme

15
yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat
tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam
pyrazinoat.14
Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas
pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam
pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan
mutasi pada gen pncA, yang menyandikan pyrazinamidase.14,15
D. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol
Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif
hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada
dosis standar. Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim
arabinosyltransferase yang memperantarai polymerisasi arabinose menjadi
arabinogalactan yang berada di dalam dinding sel.14
Resistensi ethambutol pd M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan
mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase.
Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan
pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus.14
E. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin
Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari
Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein
dengan menganggu fungsi ribosomal.14
Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah
diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen
16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua
target diyakini terlibat pada ikatan streptomysin ribosomal.14 Mutasi yang utama
terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang
resisten terhadap streptomysin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%.15Pada
sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi resistensi
mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang
resisten terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi silang terhadap
capreomysin maupun amikasin.14
16
3.6 Diagnosis TB-MDR
Tuberkulosis paru dengan resistensi ganda (TB-MDR) dicurigai kuat jika
kultur basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur
kembali positif setelah terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik
dan riwayat penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat,
yaitu:
1) TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan
tidak sesuai standar terapi;
2) Kontak dengan kasus TB-MDR;
3) Gagal terapi atau kambuh;
4) Infeksi human immnodeficiency virus (HIV);
5) Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB12
Diagnosis TB-MDR tergantung pada pengumpulan dan proses kultur
spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien
tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak
bisa,
dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua
harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai.12
Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB.
Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional
berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa
metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya,
maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru.Yang termasuk metode terbaru
ini adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik
khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini
dipertimbangkan sebagai petanda TB-MDR khususnya pada suasana dengan
prevalensi TB-MDR yang tinggi. Sementara metode fenotipik, di lain sisi,
merupakan metode yang lebih sederhana dan lebih mudah diimplementasikan
pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin.15
Metode fenotipik Metode fenotipik baru Metode genotipik

17
konvensional

Metode proporsional Metode phage-based Rangkaian DNA

Metode rasio resistensi Metode kolorimetri Teknik hybridisasi fase


Agar

Metode konsenstrasi The nitrate reductase Teknik real-time


absolut assay Polymerase Chain
Reaction (PCR)

Metode radiometri The microscopic Microarrays


BACTEC observation broth-drug
susceptibility assay

Tabung indicator Metode agar thin-layer


pertumbuhan
mikobakterial

Tabel 2. Metode fenotipik dan genotipik untuk deteksi resistensi OAT 15

3.7 Tatalaksana
Idealnya regimen pengobatan kasus TB dengan resistensi obat disusun
berdasarkan hasil in vitro drug susceptibility (DST) yang dilakukan pada masing-
masing pasien. Namun yang menjadi kendala adalah hasil pemeriksaan ini baru
dapat diperoleh dalam 1-2 bulan. Oleh karena itu pada beberapa kondisi berikut
ini antara lain pasien dengan riwayat gagal pengobatan sebelumnya, pasien yang
sebelumnya pernah mendapat terapi OAT, pasien yang ada kontak dengan kasus
TB resisten OAT dan pasien yang lahir dan tinggal pada daerah endemis TB,
resistensi obat harus di antisipasi dan terapi harus dimulai tanpa menunggu hasil
DST. Selanjutnya pemilihan regimen pengobatan kasus dengan resistensi OAT
disusun berdasarkan pada pola resistensi obat, regimen pengobatan yang telah
digunakan sebelumnya, penyakit yang menyertai dan efek samping yang
berhubungan dengan obat.5

18
Tabel 3. Pengelompokan OAT16

Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan


MDR adalah sebagai berikut:16
 Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif.
 Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan
silang (cross-resistance)
 Membatasi pengunaan obat yang tidak aman
 Gunakan obat dari golongan/kelompok 1 - 5 secara hirarkis
sesuaipotensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada
pertimbangan khusus dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan
kondisi program.
 Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama
minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.
 Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan
 Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan
jarakpemeriksaan 30 hari.
 Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahaplanjutan
menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment,dengan
PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan.

19
Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini
adalahpaduan standar (standardized treatment)yaitu:16

Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara
laboratoris dan dapat disesuaikan bila: 16
 Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau riwayat
penggunaan sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya
resistensi terhadap etambutol.
 Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada :
o Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test,
kemudian hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang
berbeda.
o Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas
sebelumnya sehingga dicurigai telah ada resistensi.
o Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat
diidentifikasi penyebabnya.
o Terjadi perburukan klinis.
Ting- Obat Dosis Aktiviti Rasio kadar
katan
Harian antibakteri Puncak
Serum
terhadap MIC

1 Aminoglikosid 15 mg/kg Bakterisid


menghambat
a.Streptomisin organisme yang 20-30

b. Kanamisin multiplikasi aktif 5-7,5

atau amikasin

c. Kapreomisin 10-15

2 Thionamides 10-20 mg/kg Bakterisid 4-8

20
(etionamid

Protinamid)

3 Pirazinamid 20-30 mg/kg Bakterisid pada 7,5-10


pH asam

4 Ofloksasin 7,5-15 mg/kg Bakterisid 2,5-5


mingguan

5 Ethambutol 15-20 mg/kg Bakteriostatik 2-3

6 Sikloserin 10-20 mg/kg Bakteriostatik 2-4

7 PAS asam 10-12 g Bakteriostatik 100

Tabel 4. Tingkatan OAT untuk pengobatan TB-MDR11

Fase-fase Pengobatan TB-MDR


I. Fase Pengobatan intensif
Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi
(kanamisin atau kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya selama 6
bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan
a. Fase rawat inap di RS 2-4 minggu
Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk:
 Menilai keadaan pasien secara cermat
 Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping
 Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif
Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan:
 Tidak ditemukan efek samping
 Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai dengan
pedoman pengobatan TB MDR
b. Fase rawat jalan
Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh petugas
kesehatan dengan disaksikan PMO kepada pasien. Pada fase rawat jalan ini obat
oral ditelan di rumah pasien hanya pada libur

21
II. Fase pengobatan lanjutan
 Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan
 Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan
 Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR
mengambil obat setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap 1
bulan

Pemantauan Dan Hasil Pengobatan


Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap
pengobatandan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB –
batuk,berdahak, demam dan BB menurun – umumnya membaik dalam beberapa
bulanpertama pengobatan.Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak
dan biakan. Hasil ujikepekaan TB MDR dapat diperoleh setelah 2 bulan.
Pemeriksaan dahak danbiakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap
2 bulan pada faselanjutan.Evaluasi pada pasien TB MDR adalah:
 Penilaian klinis termasuk berat badan
 Penilaian segera bila ada efek samping
 Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulanpada
fase lanjutan
 Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversibiakan
 Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan
akankegagalan pengobatan
 Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat
suntikan(Kanamisin dan Kapreomisin)
 Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-
tandahipotiroid
Konversi dahak
Definisi konversi dahak: pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali
berurutandengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `Tanggal
set pertama dari sediaan apus dahak dan kultur yang negatifdigunakan sebagai

22
tanggal konversi (dan tanggal ini digunakan untukmenentukan lamanya
pengobatan fase intensif dan lama pengobatan).
Penyelesaian pengobatan fase intensif
 Lama pemberian suntikan atau fase intensif di tentukan oleh hasil
konversikultur
 Anjuran minimal untuk obat suntikan harus dilanjutkan paling kurang 6
bulandan sekurang-kurangnya 4 bulan setelah pasien menjadi negatif dan
tetapnegatif untuk pemeriksaan dahak dan kultur
Lama pengobatan
 Lama pengobatan yang dianjurkan ditentukan oleh konversi dahak
dankultur
 Anjuran minimal adalah pengobatan harus berlangsung
sekurangkurangnya18 bulan setelah konversi kultur sampai ada bukti-
bukti lain untukmemperpendek lama pengobatan
Hasil pengobatan TB-MDR (atau kategori IV)
 Sembuh. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai
protokol program dan telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur
negatif berturut-turut dari sampel dahak yang diambil berselang 30 hari
dalam 12 bulan terakhir pengobatan. Jika hanya satu kultur positif
dilaporkan selama waktu tersebut, dan bersamaan waktu tidak ada bukti
klinis memburuknya keadaan pasien, pasien masih dianggap sembuh,
asalkan kultur yang positif tersebut diikuti dengan paling kurang 3 hasil
kultur negatif berturut-turut yang diambil sampelnya berselang
sekurangnya 30 hari
 Pengobatan lengkap. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan
pengobatan sesuai protokol program tetapi tidak memenuhi definisi
sembuh karena tidak ada hasil pemeriksaan bakteriologis
 Meninggal. Pasien kategori IV meninggal karena sebab apapun selama
masa pengobatan TB MDR.
 Gagal. Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang
dicatat dalam 12 bulan terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika
23
salah satu dari 3 kultur terakhir hasilnya positif. Pengobatan juga dapat
dikatakan gagal apabila tim ahli klinis memutuskan untuk menghentikan
pengobatan secara dini karena perburukan respons klinis, radiologis atau
efek samping.
 Lalai/Defaulted. Pasien kategori IV yang pengobatannya terputus selama
berturut-turut dua bulan atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan
medik
 Pindah. Pasien kategori IV yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan
lain dan hasil pengobatan tidak diketahui

Pencegahan terjadinya resistensi obat

WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus


TB, selain relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat
menurunkan risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan
yang terbaik adalah dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif,
penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat
untuk mencegah terjadinya resistensi OAT.
Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan
kasus baru TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif
pada pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu
pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang
penting, pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secar gratis. Jangan
pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal
dukungan kelangsungan program dan ketersediaan dana untunk penanggulangan
TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai
“evidence based” dan tes kepekaan kuman.
Strategi DOTSPlus
Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sama
dengan strategi DOTS, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan
kepada penanganan MDR TB. Strategi DOTSPlus juga sama terdiri dari 5
komponen kunci:
24
1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR (multi
drug resistance)
2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu
menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan
dan uji kepekaan yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan
pengawasan yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT).
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Setiap komponen dalam
penanganan TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih
banyak dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan
program DOTS plus akan memperkuat Program Penanggulangan TB
Nasional.

3.9 Prognosis
Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis
pada penderita TB-MDR. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan bahwa
adanya keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua, malnutris, infeksi HIV, riwayat
mengunakan OAT dengan jumlah cukup banyak sebelumnya, terapi yang tidak
adekuat (<2 macam obat yang aktif) dapat menjadi petanda prognosis buruk pada
penderita tersebut.18
Dengan mengetahui beberapa petanda diatas dapat membantu klinisi intuk
mengamati penderita lebih seksama dan dapat memperbaiki hal yang menjadi
penyebab seperti malnutrisi.18

25
BAB IV
PENCEGAHAN DAN PEMBINAAN

4.1 Genogram Keluarga Tn. SR


Tn. SS, 58tahun Ny. RT, 55 tahun

Anak 1 Anak 2

4.2 Analisis Hasil Home Visit (9 Fungsi Keluarga)


4.2.1. Fungsi Holistik
Fungsi holistik merupakan fungsi keluarga yang meliputi fungsi
biologis, fungsi psikologis, dan fungsi sosial ekonomis.
a. Fungsi Biologis
Tn. SS terdiagnosa MDR TB pada tahun 2016. Tidak ada
gejala klinis yang serupa yang dikeluhkan oleh keluarga Tn. SS.
Keluarga Tn. SS mengakui adanya riwayat kencing manis sejak tahun
2007. Ibu Tn. SS memiliki riwayat kencing manis. Istri Tn. SS, yaitu
Ny. RT mempunyai penyakit darah tinggi sejak tahun 2017. Ayah Ny.
RT memiliki riwayat darah tinggi. Dapat disimpulkan bahwa fungsi
biologis pada pasien ini kurang baik, dimana pasien memiliki penyakit
dengan resiko meular tinggi dan jenis penyakit yang dapat diturunkan
sehingga edukasi yang tepat sangat diperlukan.
b. Fungsi Psikologis
Keluarga Tn. SS menyatakan bahwa terdapat kerjasama yang
baik di dalam anggota keluarga. Apabila terdapat masalah, maka akan
26
diselesaikan dengan cara musyawarah. Berdasarkan uraian tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa fungsi psikologis keluarga ini berjalan
dengan baik.
c. Fungsi Sosial-Ekonomi
Tn. SS adalah pensiunan swasta (supir tangki) dan Ny. T
adalah IRT. Mereka mengaku tidak pernah mengalami konflik dengan
tetangga sekitar dan sering ikut berpartisipasi di dalam kegiatan di
sekitar rumahnya. Dari sudut pandang sosial, keluarga Tn.SS memiliki
sosialisasi yang baik.

4.2.2. Fungsi Fisiologis


Fungsi fisiologis keluarga diukur dengan APGAR score. APGAR
score adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga ditinjau
dari sudut pandang setiap anggota keluarga terhadap hubungannya dengan
anggota keluarga yang lain. APGAR score meliputi:
a. Adaptation
Keluarga ini mampu beradaptasi antar sesama anggota keluarga,
saling mendukung, saling menerima, dan memberikan saran satu sama
yang lainnya.
b. Partnership
Komunikasi dalam keluarga ini sudah baik, mereka saling
berbagi informasi, saling mengisi antar anggota keluarga dalam setiap
masalah yang dialami oleh keluarga tersebut.
c. Growth
Keluarga ini juga saling memberikan dukungan antar anggota
keluarga akan hal-hal yang baru yang dilakukan anggota keluarga
tersebut.
d. Affection
Interaksi dan hubungan kasih sayang antar anggota keluarga ini
sudah terjalin dengan cukup baik.

27
e. Resolve
Keluarga ini memiliki rasa kebersamaan yang sangat tinggi dan
selalu menghabiskan waktu bersama-sama dengan anggota keluarga
lainnya. Adapun skor APGAR keluarga ini adalah 9,5 dengan
interpretasi Baik. (Data terlampir).

4.2.3. Fungsi Patologis


Fungsi patologis dinilai dengan SCREEM score, dengan rincian
sebagai berikut.
a. Social, interaksi keluarga ini dengan tetangga sekitar cukup baik.
b. Culture, keluarga ini memberikan feedback yang baik terhadap
budaya, tata karma, dan perhatian terhadap sopan santun.
c. Religious, keluarga ini cukup taat menjalankan ibadah sesuai dengan
ajaran agama yang dianutnya.
d. Economic, status ekonomi keluarga ini cukup.
e. Educational, tingkat pendidikan keluarga ini tergolong cukup. Tn. SS
adalah tamatan SMA dan Ny. RT adalah tamatan SMA.
f. Medical, keluarga ini tergolong cukup mendapat pelayanan kesehatan
yang memadai dan segera mencari pengobatan ke puskesmas bila
mengalami penurunan kondisi kesehatan.

4.2.4. Fungsi Hubungan Antarmanusia


Hubungan interaksi antar anggota keluarga maupun antar keluarga
dengan masyarakat sekitar sudah terjalin dengan baik dibuktikan dengan
seringnya keluarga Tn. SS berpartisipasi di dalam kegiatan sosial di
lingkungan tempat tinggal.

4.2.5. Fungsi Keturunan (Genogram)


Keluarga Tn. SS dan Ny. T mempunyai 1anak laki-laki dan 1 anak
perempuan yang mana anak pertamasudah mempunyai keluarga. Fungsi
keturunan ini dalam keadaan baik.
28
4.2.6. Fungsi perilaku (Pengetahuan, Sikap dan Tindakan)
Fungsi perilaku keluarga, cukup baik. Namun demikian, masih
terdapat tindakan yang kurang tepat di dalam menghadapi penyakit. Tn.SS
yaitu kurang menjaga pola hidupnya seperti olahraga untuk menurunkan
gula darah dan tekanan darahnya dan masih memakan yang tidak
dianjurkan untuk kencing manis dan hipertensi seperti diet tinggi garam
dan kurang mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan.

4.2.7. Fungsi Nonperilaku (Lingkungan, Pelayanan kesehatan, Keturunan)


Lingkungan cukup sehat dan para tetangga juga menjalin
kerjasama dengan baik, keluarga ini juga aktif memeriksakan diri ke
tempat pelayanan kesehatan, jarak rumah dengan puskesmas/rumah sakit
tidak terlalu jauh.

4.2.8. Fungsi Indoor


Gambaran lingkungan di dalam rumah sudah memenuhi syarat-
syarat kesehatan, lantai dan dinding dalam keadaan bersih, ventilasi,
sirkulasi udara dan pencahayaan baik, sumber air bersih terjamin, jamban
ada di dalam rumah, pengelolaan sampah dan limbah sudah cukup baik.

4.2.9. Fungsi Outdoor


Gambaran lingkungan di luar rumah sudah cukup baik, jarak
rumah keluarga Tn. SS dengan rumah tetangganya tidak terlalu rapat, tidak
ada kebisingan di sekitar rumah, jarak rumah dengan jalan raya cukup
jauh, kebersihan di sekitar perumahan juga bersih walaupun jalan menuju
perumahan ini masih banyak yang berlubang.

29
4.3. Upaya Pencegahan dan Pembinaan
Upaya pencegahan dan pembinaan yang saya ajukan selaku pembina
kesehatan keluarga Tn. SS adalah:
Diseased-oriented point of view
Penatalaksanaan yang diberikan berupa non farmakologis dan non
farmakologis. Edukasi yang diberikan pada penderita ini yaitu, memberikan
pengertian bahwa penatalaksanaan pasien TB menggunakan kombinasi
modalitas non farmakologis dan farmakologis yang dinilai sebagai cara yang
paling efektif. Kepatuhan dalam minum OAT sangat penting dalam
keberhasilan pengobatan. Maka diperlukan pula partisipasi keluarga untuk
memotivasi pengobatan pasien dan juga karena TB paru dapat menular
terutama yang sering kontak. Oleh karena itu pada kasus ini, dilakukan
pendekatan kedokteran keluarga dan berdasarkan bukti sehingga
penatalaksaan pasien dapat tepat dan sesuai. Edukasi mengenai pengertian,
faktor risiko, pengelolaan, tujuan dari pengelolaan dan komplikasi.
Dari hasil pengamatan terhadap lingkungan rumah pada saat
kunjungan pertama didapatkan kondisi dalam rumah cukup terang dengan
pencahayaan sinar matahari yang cukup. Kebersihan dalam rumah cukup
bersih tetapi peletakan barang masih berantakan. Rumah berada di
lingkungan pemukima yang tidak terlalu padat. Kemudian kepada keluarga
dijelaskan bahwa selain gagal pengobatan, lingkungan juga sangat
mempengaruhi semakin buruknya sakit yang diderita pasien. Menjaga
kebersihan dalam dan luar rumah dapat mencegah semakin buruknya
penyakit pasien. Pasien dan keluarga pasien juga diajarkan cara batuk yang
baik serta memakai penutup mulut seperti masker jika pasien mau keluar
rumah.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. 2016. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:


Kementrian Kesehatan RI.
2. WHO. 2016. Global Tuberculosis Report 2016 (diakses dari
whqlibdoc.who.int)
3. Zumla A et al, 2013, Tuberculosis, Journal of medicine : England
4. Raviglion MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. In: Harrison’s Principles of internal
medicine. 15th Edition. USA: McGraw-Hill, 2001.
5. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA, Brooks GF, Butel JS, Ornston LN.
Mikrobiologi Kedokteran, Buku II Edisi I Jakarta: Salemba Medika, 2005.
6. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2016. Tuberkulosis
Temukan Obati Sampai Sembuh. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta
7. Dinas Kesehatan Kota Palembang. 2015. Profil Kesehatan Kota Palembang
Tahun 2015.
8. Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan penyehatan lingkungan: Jakarta
9. Novak, PD. 2002. Kamus Saku Kedokteran Dorland/Alih Bahasa, edisi 25.
EGC. Jakarta
10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
11. Asril Bahar, Tuberkulosis Paru, dalam ilmu penyakit dalam, balai penerbit
FKUI, Jakarta 1987
12. Rahajoe NN, Basir D, Kartasasmita CB, editor. Pedoman nasional
tuberculosis anak. Jakarta : UKK Pulmonologi PP IDAI; 2005.
13. Purdy K. Tuberculosis. In: Osborn, Dewitz, editors. Pediatrics. 1st ed.
Philadelphia:Elsevier;2005. p.811-18.
14. Departemen Kesehatan Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia. 2010. Panduan
Tatalaksana Tuberkulosis edisi ke-1. Departemen Kesehatan Indonesia dan
Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta.

31
15. Fatimah, Siti. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang berhubungan
dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilacap Tahun 2008. Universitas
Diponegoro: Semarang.
16. Martiana, T., Isfandiari, M.A., Sulistyowati, M., Nurmala, I. 2007. Analisis
Risiko Penularan Tuberculosis Paru Akibat Faktor Perilaku dan Faktor
Lingkungan pada Tenaga Kerja di Industri. Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Negeri Semarang, Indonesia.
17. Alfin SK. 2012. Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB); Sebuah
Tinjauan Kepustakaan. FK: Universitas Syiah Kuala.
18. Syahrini H. 2008. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Adam Malik Medan FK USU.

32
LAMPIRAN 1
Foto Rumah

33
34
LAMPIRAN 2
APGAR SCORE

Skor untuk masing-masing kategori adalah :


0 = Jarang/tidak sama sekali
1 = Kadang-kadang
2 = Sering/selalu
Tiga kategori penilaian yaitu :
≤ 5 = Kurang
6-7 = Cukup
8-10 = Baik

Variabel APGAR APGAR


Penilaian Ayah Ibu
Adaptation 2 2
Partnership 2 2
Growth 2 2
Affection 2 2
Resolve 2 1
Total 10 9

Rata-rata APGAR score pada keluarga ini = 9,5 (Baik)

35
LAMPIRAN 3
SCREEM SCORE

Variabel Penilaian Penilaian


Social Interaksi keluarga ini dengan tetangga sekitar cukup
baik.
Culture Keluarga ini memberikan feedback yang baik
terhadap budaya, tata karma, dan perhatian terhadap
sopan santun.
Religious Keluarga ini taat menjalankan ibadah sesuai dengan
ajaran agama yang dianutnya.
Economic Status ekonomi keluarga ini cukup.
Educational Tingkat pendidikan keluarga ini tergolong cukup. Tn.
SS tamatan SMA dan Ny. RT adalah tamatan SMA.
Medical Keluarga ini tergolong cukup mendapat pelayanan
kesehatan yang memadai.

36

Anda mungkin juga menyukai