Anda di halaman 1dari 19

Laporan Pendahuluan Fraktur Maxila

I. Definisi
Fraktur maksila merupakan bagian dari trauma maxilofasial. Fraktur
maxilofasial atau fraktur wajah adalah putusnya kontinuitas tulang, tulang
epifisis atau tulang rawan sendi. Fraktur maksila adalah kerusakan pada tulang
maxilla yang seringkali terjadi akibat adanya trauma, periodontitis maupun
neoplasia. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontuinitas jaringan
tulang dan tulang rawan yang umumnya yang disebabkan oleh ruda paksa
(Lukman Nurma, Ningsih, 2009).
Secara anatomis maksila atau rahang atas merupakan tulang
berpasangan. Maksila memiliki sepasang rongga berupa sinus maksilaris, ke
atas berhubungan dengan tulang frontal dan tulang nasal, ke lateral dengan
tulang zygoma dan inferior – medial pada prosesus frontalis maksila. Maksila
merupakan tulang yang tipis, pada bagian lateral lebih tebal dan padat, pada
bagian ini disangga oleh zygomatimaksilari (Stack & Ruggiero, 2006)
Maxila dibentuk oleh tulang maksila dan palatum, merupakan tulang
terbesar setelah mandibula (Moe, 2013). Masing-masing maxila mempunyai
bagian :
1. Corpus : yang berbentuk pyramid dengan empat permukaan dinding yaitu:
a) Facies orbitalis yang ikut membentuk dasar kavum orbita
b) Facies nasalis yang ikut membentuk dinding lateral cavum nasi
c) Facies infra temporalis yang menghadappostero-lateral
d) Facies anterior
2. Processus, terdiri dari empat, yaitu :
a) Processus frontalisyang bersendi pada os frontal, nasal dan lakrimalis
b) Processus zygomaticus yang bersendi pada os zygomatikus
c) Processus alveolaris yang ditempati akar gigi
d) Processus palatinus yang memisahkan cavum nasi dengan cavum oris
Corpus maksilaris merupakan bangunan berongga, berdinding tipis,
terutama pada facies nasalis. Rongga ini disebut sinus maksilaris, yang
merupakan salah satu danyang terbesar dari empat sinus paranasalis yang ada.
Besar sinus bervariasi tergantung usia dan perluasan processus. Dibawah
mukosanya, pada dinding anteriordan posterior terdapat anyaman syaraf yang
dibentuk oleh cabang nervus maxilaris yang masuk melalui kanalis alveolaris
dan kanalis infraorbita bersama dengan vasanya untuk mensyarafi gigi rahang
atas. Akar gigi yang tumbuh pada processus alveolaris kadang dapat
menembus sinus. Terdapat otot-otot kecil dan tipis yang melekat pada maksila
dan termasuk dalam golongan otot mimik yang mendapat persyarafan motorik
dari N VIII.

II. Etiologi
Penyebab fraktur fasio maksila adalah trauma, misalnya diakibatkan
oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, cedera
olahraga, kecelakaan akibat peperangan, dan tindakan kekerasan serta fraktur
patologis (Fonseca & Walker, 2005).
Penyebab fraktur terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas. Hal ini terjadi
dikarenakan kurangnya perhatian terhadap keselamatan jiwa pada
saat berkendaraan, seperti tidak menggunakan pelindung kepala atau helm,
kecepatan dan rendahnya kesadaran tentang etikaberlalu-lintas (Devadiga &
Prasad, 2007).
Trauma maxillofacial cukup sering terjadi. Hampir semua dokter, baik
itu dokter umum maupun dokter spesialis bedah mendapatkan pasien trauma
wajah selama praktiknya. Dokter bedah plastik yang memiliki keahlian khusus
dalam anatomi wajah, latar belakang estetika, dankeahlian dalam
penyembuhan luka sering kali mendapatkan rujukan untuk menangani pasien
trauma wajah.(Tiwana Paul, et al, 2006).
Fraktur maksila juga dapat terjadi pada anak-anak, dengan peningkatan
prevalensi seiring dengan meningkatnya usia anak terkait dengan peningkatan
aktivitas fisik. Fraktur maksila pada anak berbeda secara signifikan
dibandingkan dengan orang dewasa baik itu dari segi pola, maupun treatment.
Dengan demikian, adanya frakturmaxillofacial harus dapat didiagnosis
danditangani dengan tepat dan akurat untuk menghindari gangguan
pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya, mengingat adanya gangguan
fungsional dan masalah estetika yang mungkin terjadi (Andrea et al, 2008).

III. Manifestasi Klinis


1. Fraktur Le fort I
Tidak terdapat edema wajah, tidak ada ekimosis sirkumorbital dan
subkonjungtiva, maksila dapat turun kebawah atau ke arah lateral, pada
intra orbital terjadi maloklusi dan ekimosis, pada palpasi terlihat mobilitas
maxila.
2. Fraktur Le Fort II dan III
Terjadi ekimosis dan perdarahan subkonjungtiva, perdarahan hidung
dan naso faring, pendataran atau pemanjangan profil muka, ada
kemungkinan terjadi parestesi daerah infra orbita dan cerebrocranial fluid
rhinorrhea. Pada trauma yang berat bagian tengah wajah akan terdesak
kearah posteroinferior, sehingga palatum bertemu denganlidah, edema,
perdarahan dan pada akhirnya akan menyumbat jalan nafas.
Secara umum, gejala klinis yang muncul diantaranya:
1. Nyeri ketika mulut dibuka dan daerah yang fraktur dipegang
2. Bentuk infra orbita asimetris
3. Edema
4. Hidung atau mulut mengeluarkan darah.
5. Terjadi kerusakan pada bagian hidung.
6. Dislokasi, berupa perubahan posisi rahang yg menyebabkan maloklusi
atau tidak berkontaknya rahang bawah dan rahang atas.
7. Pergerakan rahang yang abnormal, dapat terlihat bila
penderita menggerakkan rahangnya atau pada saat dilakukan (Grabb and
Smith 2007; Thomas, 2007).

IV. Klasifikasi
Menurut Thornton,Talavera & Garza (2006) klasifikasi fraktur maxilla
dibagi menjadi:
1. Fraktur Sepertiga Bawah Wajah
Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah.
2. Fraktur Sepertiga Tengah Wajah
Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang
palatina, dan tulang nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam
pembentukan tiga rongga utama wajah : bagian atas rongga mulut dan nasal
dan juga fosa orbital. Rongga lainnya ialah sinus maksila. Sinus maksila
membesar sesuai dengan perkembangan maksila orang dewasa. Banyaknya
rongga di sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio ini sangat rentan
terkena fraktur. Fraktur Le Fort dibagi atas 3, yaitu :
a. Le Fort I
Pada fraktur lefort tipe satu alveolus, bagian yg menahan gigi pada
rahang atas terputus, dan mungkin jatuh ke dalam gigi bawah.
Ketidaksetabilan terjadi jika dilakukan pemeriksaan fisik pada hidung dan gigi
incisivus. Garis Fraktur berjalan dari sepanjang maksila bagian bawah sampai
dengan bawah rongga hidung. Disebut juga dengan fraktur “guerin”.
Kerusakan yang mungkin :
1) Prosesus arteroralis
2) Bagian dari sinus maksilaris
3) Palatum durum
4) Bagian bawah lamina pterigoid
b. Le Fort II
Pada tipe dua terdapat ketidakstabilan setinggi os. Nasal. Garis fraktur
melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita,
pinggir infraorbita dan menyeberang ke bagian atas dari sinus maksilaris juga
kea rah lamina pterogoid sampai ke fossa pterigo palatine. Disebut juga
fraktur “pyramid”. Fraktur ini dapat merusak system lakrimalis, karena sangat
mudah digerakkan maka disebut juga fraktur ini sebagai “floating maxilla
(maksila yang melayang) ”
c. Le Fort III (craniofacial disjunction).
Pada tipe tiga, fraktur dengan disfungsi kraniofacial komplit. Tipe
fraktur ini mungkin kombinasi dan dapat terjadi pada satu sisi atau dua
sisi. Garis Fraktur melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang
ethmoid junction melalui fissure orbitalis superior melintang kea rah
dinding lateral ke orbita, sutura zigomatikum frontal dan sutura temporo-
zigomatikum. Disebut juga sebaga “cranio-facial disjunction”. Merupakan
fraktur yang memisahkan secara lengkap sutura tulang dan tulang cranial.
Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral,di mana bagian
yang terkena trauma dan besarnya tekanan yang dihasilkan
dapat mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk
mengakibatkan trauma intracranial. Komplikasi yang mungkin terjadi pada
fraktur ini adalah keluarnya cairan otak melalui atap ethmoid dan lamina
cribiformis. (Suardi, 2012).
3. Fraktur Sepertiga Atas Wajah
Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra
orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya
bersifat depressed ke dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier yang
dapat meluas ke daerah wajah yang lain.
4. Fraktur Dentoalveolar
Fraktur dentoalveolar sering terjadi pada anak-anak karena terjatuh
saat bermain atau dapat pula terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor.
Struktur dentoalveolar dapat terkena trauma yang langsung maupun tidak
langsung. Trauma langsung biasanya dapat menyebabkan trauma pada gigi
insisif sentral maksila karena berhubungan dengan posisinya yang terekspos
(Andreasen et al, 2007).

V. Patofisiologi
Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari
massa dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat
deselerasi menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak
tinggi dan rendah-dampak kekuatan didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil
dari 50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak parameter pada cedera yang
dihasilkan karena jumlah gaya yang dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan
pada tulang wajah berbeda regional. Tepi supraorbital, mandibula (simfisis dan
sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan
rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk
merusak zygoma dan tulang hidung.
1. Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi.
Bagiananterior dan / atau posterior sinus frontal mungkin terlibat.
Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika dinding posterior sinus
frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.
2. Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu
fraktur yang terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial.
Ketika kekuatan menyerang pinggiran orbital, tekanan intraorbital
meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan merusak bagian-bagian
terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke
dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup
tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.
3. Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh
trauma langsung.
4. Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari
hidung ke tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada
canthus medial, aparatus lacrimalis, atau saluran nasofrontal.
5. Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung
zygomatic dapat mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan
zygomaticotemporal.
6. Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan
patah tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang
melalui zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary
dan artikulasi dengan tulang sphenoid. Garis fraktur biasanya
memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata
serentak yang umum.
7. Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan
bentuk U-rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral
di lokasi terpisah dari lokasi trauma langsung.
8. Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah
energi langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui
bagian alveolar rahang atas atau rahang bawah
9. Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi
mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih
rendah
VI. Pathway

Trauma Langsung Trauma Tidak Kondisi


Langsung Patologis

Fraktur

Diskontinuitas Pergeseran fagmen Pembedahan


tulang tulang

MK : Nyeri Post operasi


Pembedahan Akut
Jaringan Sekitar Kerusakan Fragmen
Tulang
Efek anastesi Luka insisi
Tekanan Sumsum
Deformitas Laserasi Spasme Tulang Lebih
Kulit Otot Tinggi dari Kapiler Mual, Muntah Inflamasi bakteri

Gangguan
Perfusi MK: Peningkatan MK : MK: Resiko
Melepaskan Ketidakseimban Infeksi
Pergerakan Kerusakan Tekanan
katekolamin gan nutrisi
Integritas Kapiler
Kulit kurang darai
kebutuhan MK: Kerusakan
MK: tubuh
Hambatan Protein Metabolisme Integritas Kulit
Mobilitas Plasma Asam Lemak
Fisik Hilang

Bergabung
Edema
dengan trombosit

Penekanan
Pembuluh Emboli
Darah
Penurunan
Perfusi Penyumbatan
Jaringan (Kusuma H, & Nurarif A H, 2015).
pembuluh darah
MK: Ketidakefektifan
Perfusi Jaringan perifer

VII. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Radiologi.
Pada kecurigaan fraktur maksila yang didapat secara klinis,
pemeriksaan radiologi dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos, namun CT scan merupakan
pilihan untuk pemeriksaan diagnostik. Teknik yang dipakai pada foto polos
diantaranya; waters, caldwell, submentovertex, dan lateral view. Jika terjadi
fraktur maksila, maka ada beberapa kenampakan yang mungkin akan kita
dapat dari foto polos. Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas pada sinus
maksila, pemisahan pada rima orbita inferior, sutura zygomaticofrontal, dan
daerah nasofrontal. Dari film lateral dapat terlihat fraktur pada lempeng
pterigoid. Diantara pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik untuk menilai
fraktur maksila adalah dari potongan aksial. Namun potongan koronal pun
dapat digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan cukup baik. Adanya
cairan pada sinus maksila bilateral menimbulkan kecurigaan adanya fraktur
maksila.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Walaupun perdarahan yang tertunda jarang menimbulkan masalah
yang serius, tetapi karena diperlukan untuk tindakan bedah pada waktu
selanjutnya, maka sebagian besar trauma orofasial mayor harus dilakukan
pemeriksaan golongan darah untuk keperluan transfusi. Namun selain itu juga
diperlukan pemeriksaan darah rutin yang meliputi :
a) Hemoglobin / Haemoglobin (Hb)
b) Hematokrit (Ht)
c) Leukosit: hitung leukosit (leukocyte count) dan hitung jenis
(differential count)
d) Hitung trombosit / platelet count
e) Laju endap darah (LED) / erythrocyte sedimentation rate (ESR)
f) Hitung eritrosit
Pemeriksaan klinis dilakukan berbeda pada masing-masing Le Fort :
1. Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi
dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis. Sedangkan
secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada
pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan
palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior.
Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri.
2. Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis, dan
edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung
bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang
dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral,
pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi
dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika
dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat
bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan
dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral,
foto wajah polos dan Computed Tomography (CT) scan.
3. Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral.
Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi.
Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah kelopak mata,
ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada
maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto
rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.

VIII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada fraktur maksila tahap awal meliputi pembebasan
jalan nafas, kontrol pendarahan, penutupan luka pada soft tissue, dan
menempatkan segmen tulang yang fraktur sesuai dengan posisinya melalui
fiksasi intermaksilari (Fraioli, 2008).
Jika pada awal kejadian jalan nafas mengalami perdarahan dan
obstruksi maka harus segera dilakukan tindakan, kadang diperlukan
tracheostomy, dilanjutkan dengan reduksi dan fixasi jika memungkinkan.
Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi
maksilo mandibular, dan suspensi kranio mandibular yang didapatkan dari
pengawatan sirkum zigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi,
maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau
secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch
bar (Fraioli, 2008).
Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le
Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan
dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan
molding digital dan splinting (Baumann, Troulis& Kaban, 2004)
Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakanarch
bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau
pemasangan pelat pada sutura zigomatikofrontalis dan suspensi
kraniomandibular pada prosessuszigomatikus ossis frontalis (Fitriana dan
Syamsudin, 2013).
Manajemen pasca operasi terdiri dari perawatan secara umum pada
pasien seperti kebersihan gigi dan mulut, nutrisi yang cukup, dan antibiotik
selama periode perioperasi.
IX. Komplikasi
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif
serta gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema, dan
pembengkakan soft tissue. Infeksi pada luka maksilari lebih jarang
dibandingkan pada luka fraktur mandibula. Padahal luka terkontaminasi saat
tejadi cedera oleh segmen gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur. Infeksi
akibat fraktur yang melewati sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali terdapat
obstruksi sebelumnya. Pada Le Fort II dan III, daerah kribiform dapat pula
mengalami fraktur, sehingga terjadi rhinorrhea cairan serebrospinal. Selain itu,
kebutaan juga dapat terjadi akibat pendarahan dalam selubung dural nervus
optikus. Komplikasi akhir dapat berupa kegagalan penyatuan tulang yang
mengalami fraktur, penyatuan yang salah, obstruksi sistem lakrimal,
anestesia/hipoestesia infraorbita, devitalisasi gigi, ketidakseimbangan otot
ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus. Kenampakan wajah juga dapat berubah
(memanjang, retrusi).

X. Konsep Asuhan Keperawatan Fraktur Maxila


A. Pengkajian
Menurut NANDA (2015), fase pengkajian merupakan sebuah
komponen utama untuk mengumpulkan informasi, data, menvalidasi data,
mengorganisasikan data, dan mendokumentasikan data. Pengumpulan data
antara lain meliputi:
1. Biodata
1) Identitas Pasien (nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
pekerjaan, agama, suku, alamat, status, tanggal masuk, tanggal
pengkajian, diagnose medis)
2) Identitas penanggung jawab (nama, umur, pekerjaan, alamat,
hubungan dengan pasien)
2. Keluhan Utama
Alasan atau keluhan yang menonjol pada pasien fraktur maxila datang
ke rumah sakit adalah panas tinggi dan pasien lemah.

3. Diagnosa Medis
Diisi dengan diagnose (penyakit) yang ditegakkan oleh dokter
4. Riwayat Kesehatan
Keluhan utama, Riwayat penyakit sekarang, sejarah penyakit dulu,
riwayat penyakit keluarga.
5. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral), edema,
dan hematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila ke
bawah dan belakang mengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada
pergigian posterior.
b. Palpasi.
Palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada sutura
zygomaticomaxillary, mengindikasikan fraktur pada rima orbital
inferior.
c. Manipulasi Digital.
Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara memegang dengan
kuat bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan keempat jari
lainnya, sedangkan tangan yang satunya menjaga agar kepala pasien
tidak bergerak. Jika maksila digerakkan maka akan terdengar suara
krepitasi jika terjadi fraktur.
d. Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea.
Cairan serebrospinal dapat mengalami kebocoran dari fossa kranial
tengah atau anterior (pneumochepalus) yang dapat dilihat pada kanal
hidung ataupun telinga. Fraktur pada fossa kranial tengah atau anterior
biasanya terjadi pada cedera yang parah. Hal tersebut dapat dilihat
melalui pemeriksaaan fisik dan radiografi.
e. Maloklusi Gigi.
Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan
kuat ke arah fraktur maksila. Informasi tentang kondisi gigi terutama
pola oklusal gigi sebelumnya akan membantu diagnosis dengan tanda
maloklusi ini. Pada Le Fort III pola oklusal gigi masih dipertahankan,
namun jika maksila berotasi dan bergeser secara signifikan ke belakang
dan bawah akan terjadi maloklusi komplit dengan kegagalan gigi-gigi
untuk kontak satu sama lain.
f. Aktifitas/Istirahat :
Keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian tulang yang
mengalami fraktur, pembekaan dan nyeri.
g. Sirkulasi
Hypertensi, ansietas karena nyeri.Tachikardi, Nadi teraba lemah
bahkan tidak ada pada bagian distal yang cedera dan pucat pada bagian
yang terkena. Pembengkakan jaringan atau hematoma pada bagian yang
terkena cedera.
h. Neurosensori
Hilang gerakan,Spasme otot, kesemutan (parastesia).

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera fisik (Luka insisi).
2. Kerusakan Integritas kulit berhubungan dengan laserasi kulit dari
bekas jahitan post operasi.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan inflamasi bakteri.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual muntah.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
musculoskeletal.
6. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan perifer berhubungan dengan trauma.

C. Intervensi
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
1. Nyeri Akut Tujuan : Setelah 1. Kaji tingkat nyeri yang
berhubungan dilakukan tindakan dialami pasien dengan
dengan agen keperawatan selama skala nyeri (0 - 10),
cidera fisik 3x24 jam diharapkan tetapkan tipe nyeri
(Luka insisi). nyeri berkurang atau yang dialami pasien,
hilang respon pasien terhadap
nyeri
Kriteria Hasil : 2. Kaji faktor-faktor yang
1. Rasa nyaman mempengaruhi reaksi
pasien terpenuhi pasien terhadap nyeri
2. Ekspresi tidak 3. Berikan posisi yang
meringis nyata dan, usahakan
3. Nadi normal (80- situasi ruang yang
100 x/menit) terang
4. Skala nyeri 4. Berikan suasana
menurun gembira bagi pasien,
5. Nyeri berkurang alihkan perhatian
atau hilang pasien dari rasa nyeri
5. Berikan kesempatan
pada pasien untuk
berkomunikasi dengan
teman-teman atau
orang terdekat.
6. Kolaborasi dengan
dokter pemberian
analgetik

2. Kerusakan Setelah dilakukan 1. Anjurkan pasien untuk


Integritas kulit tindakan keperawatan menggunakan pakaian
berhubungan selama 2x24 jam yang longgar
dengan laserasi diharapkan tidak 2. Hindari kerutan pada
kulit dari bekas terjadi kerusakan tempat tidur
jahitan post integritas kulit dengan 3. Jaga kebersihan kulit
operasi kriteria hasil : agar tetap bersih dan
1. Integritas kulit kering
yang baik bisa 4. Mobilisasi pasien
dipertahankan (ubah posisi pasien)
(sensasi, elastisitas, setiap dua jam sekali
temperature, 5. Monitor kulit akan
hidrasi, pgmentasi) adanya kemerahan
2. Tidak ada luka/ lesi 6. Membersihkan ,
pada kulit memantau dan
3. Perfusi jaringan meningkatkan proses
baik penyembuhan pada
4. Menunjukkan luka yang ditutup
pemahaman dalam dengan jahitan
proses perbaikan 7. Kaji proses
kulit dan mencegah penyembuhan area
terjadinya cedera insisi
berulang
5. Mampu melindungi
kulit dan
mempertahankan
kelembapan kulit
dan perawatan
alami
3. Resiko infeksi Setelah dilakukan 1. Kaji keadaan luka
berhubungan tindakan keperawatan (konti-nuitas dari kulit)
dengan selama 3x24 jam terhadap ada- nya:
inflamasi bakteri diharapkan tidak edema, rubor, kalor,
terjadi resiko infeksi dolor, fungsi laesa.
dengan kriteria hasil : 2. Anjurkan pasien untuk
1. Klien bebas dari tidak memegang
tanda dan gejala bagian yang luka.
infeksi 3. Merawat luka dengan
2. Menunjukkan meng-gunakan tehnik
kemampuan untuk aseptic
mencegah tinulnya 4. Mewaspadai adanya
infeksi keluhan nyeri
3. Jumlah leukosit mendadak,
dalam batas normal keterbatasan gerak,
4. Menunjukkan edema lokal, eritema
perilaku hidup pada daerah luka.
sehat 5. Kolaborasi dengan tim
medis lain dalam
pemberian terapi obat

4. Ketidakseimban Tujuan : Setelah 1. Observasi keadaan


gan nutrisi dilakukan tindakan umam pasien dan
kurang dari keperawatan selama 3 keluhan pasien
kebutuhan tubuh x 24 jam 2. Tentukan program diet
berhubungan diharapkan perubahan dan pola makan pasien
dengan mual status nutrisi kurang dan bandingkan dengan
muntah. dari kebutuhan tubuh makanan yang dapat
dapat dihabiskan oleh pasien
teratasi. 3. Berikan makanan dalam
porsi kecil dan
Kriteria Hasil : frekuensi sering.
1. Mencerna jumlah 4. Berikan makanan yang
kalori dan nutrisi mudah ditelan seperti
yang tepat bubur dan dihidangkan
2. Pasien mampu saat masih hangat.
menghabiskan 5. Catat jumlah dan porsi
makanan sesuai makanan yang
dengan porsi yang dihabiskan
dibutuhkan atau 6. Timbang berat badan
diberikan setiap hari atau sesuai
3. Tidak muntah indikasi
4. Menunjukkan 7. Kolaborasi pemberian
tingkat energi asupan makanan dengan
biasanya tim gizi
5. Berat badan stabil 8. Kolaborasi dalam
atau bertambah pemberian antiemetik
6. Hb 10-14 g/dl sesuai advis Dokter
5. Hambatan Setelah dilakukan 1. Monitoring vital sign
mobilitas fisik tindakan keperawatan sebelum/sesudah latihan
berhubungan selama 3x24 jam dan lihat respon pasien
dengan diharapkan pasien saat latihan
gangguan mampu melakukan 2. Konsultasikan dengan
musculoskeletal. aktifitas fisik sesuai terapi fisik tentang
kemampuannya rencana ambulasi sesuai
dengan kriteria hasil : dengan kebutuhan
a. Pasien meningkat 3. Bantu klien untuk
dalam aktivitas menggunakan tongkat
fisik saat berjalan dan cegah
b. Mengerti tujuan terhadap cedera
dari peningkatan 4. Ajarkan pasien atau
mobilitas tenaga kesehatan lain
c. Memperagakan tentang teknik ambulasi
penggunaan alat 5. Kaji kemampuan pasien
d. Mendemostrasikan dalam mobilisasi
teknik/perilaku 6. Latih pasien dalam
yang pemenuhan kebutuha
memungkinkan ADLs secara mandiri
melakukan sesuai kemampuan
aktivitas 7. Dampingi dan bantu
pasien saat mobilisasi
dan bantu penuhi
kebutuhan klien
6. Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1. Monitor adanya daerah
Perfusi Jaringan tindakan keperawatan tertentu yang hanya
perifer selama 2 x 24 jam peka terhadap panas,
berhubungan diharapkan perfusi dingin, tajam, tumpul
dengan trauma. jaringan perifer 2. Monitor adanya
efektif. paretese
Dengan kriteria hasil : 3. Instruksikan keluarga
a. Tekanan systole untuk mengobservasi
dan diastole dalam kulit jika ada isi atau
rentang yang laserasi
diharapkan 4. Gunakan sarung tangan
b. Tidak ada untuk proteksi
ortostatik 5. Monitor adanya plebitis
hipertensi 6. Moitor kemampuan
c. Berkomunikasi BAB
dengan jelas dan 7. Diskusikan mengenai
sesuai kemampuan penyebab perubahan
sensasi
8. Kolaborasi dalam
pemberian analgesik

D. Implementasi
Implementasi adalah serangkai kegiatan yang di lakukan oleh perawat
untuk membantu klien dari status masalah kesehatan yang di hadapi ke
status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kreteria hasil yang
di harapkan (Gordon, 1994, dalam potter dan perry, 2010)

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan sebagai
pengukuran dari keberhasilan rencana tindakan keperawatan. Hasil
evaluasi dapat berupa :
a. Tujuan tercapai
Jika pasien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan
b. Tujuan tercapai sebagian
Jika pasien menunjukkan perubahan sebagian dari standart yang telah
ditetapkan
c. Tujuan tidak tercapai
Pasien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama sekali bahkan
timbul masalah baru

DAFTAR PUSTAKA

Lukman, Nurma Ningsih, 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan


Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Moe. K S (2013), Maxillary and Le Fort Fractures.Emedicine. Medscape.

Budiharja AS, Rahmat M. Trauma Oral Dan Maksilofasial. Juwono L:


Editor.Jakarta: EGC, 2011: p.33-171.

Fitriana E, Syamsuddin E &Fathurrahman. (2013). Karakteristik, Insiden


Danpenatalaksanaan Fraktur Maksilofasial Pada Anak Di Rumah Sakit Dr.
Hasan Sadikin Bandung. Bandung: FK Universitas Padjajaran. p. 1-14.
Suardi EP, Jaya A, Maliawan S, Kawiyana S (2012). Fraktur Pada Tulang
Maksila. Bali. FK Universitas Udayana, p. 1-19.

M.Taylor, Cynthia., Ralph, Sheila. 2012. Diagnosis Keperawatan dengan


Rencana Asuhan Keperwatan. Jakarta:EGC

Perry& Potter. 2010. Fundamental Of Nursing Consep, Proces and Practice.


Jakarta: EGC

Kusuma H, & Nurarif A H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) NIC-NOC.
Yogyakarta: Media Hardy

Anda mungkin juga menyukai