Oleh
Emanuel Sujatmoko
ABSTRACT
Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang didasarkan pada otonomi sering
tidak dapat dilakukan sendiri, kecuali harus dilakukan kerjasama dengan
pemerintah daerah lainnya. Dalam kerjasama antar pemerintah daerah tersebut
terkadang lahir perselisihan berkenaan dengan pelaksanaan kerjasama yang telah
disepakati. Untuk menyelesaikan perselisihan yang lahir dari kerjasama antar
pemerintah daerah para pihak diharapkan dapat menyelesaikan secara
musyawarah, namun bila musyawarah tersebut gagal, maka penyelesaian
dilakukan melalui Gubernur atau Menteri Dalam Negeri. Penyelesaian perselisihan
ini lebih menekankan aspek pengawasan ataupun politik. Untuk itu penyelesaian
perselisihan yang lahir akibat adanya kerjasama antar pemerintah daerah perlu
melalui lembaga peradilan, yaitu melalui Mahkamah Agung setelah upaya
musyawarah dan melalui Gubernur atau Menteri Dalam Negeri telah ditempuh,
namun ada pihak-pihak yang berselisih tidak dapat menerima putusan tersebut.
1. Pendahuluan
1
Kerjasama antar pemerintah daerah sebagaimana dimaksudkan dalam
pasal 195 ayat (1) Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 dimaksudkan untuk
maupun secara substansi, karena hal tersebut tidak dapat dilakukan sendiri oleh
suatu Daerah kecuali ada kerjasama antar pemerintah daerah. Lebih lanjut
tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah menyatakan bahwa: “kerja
keterikatan daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam kerangka Negara
yang didasarkan pada hukum perdata maupun hukum publik, merupakan suatu
perjanjian yang tidak dapat melepaskan dari dari karakter hubungan hukum
2
keperdataan, sekalipun pada projectontwikkelingsovereenkomst yang hampir
seluruhnya dimonipoli oleh badan atau pejabat tata usaha Negara”. 1 Kerja sama
Kota Surabaya yang dituangkan dalam Naskah Perjanjian Kerja Sama antara
bentuk produk hukum yaitu perjanjian kerja sama dan keputusan bersama. Hal
tersebut di atas berbeda dengan kerja sama antar Kabupaten Pacitan, Kabupaten
Bersama antara Bupati Pacitan, Bupati Wonogiri, Bupati Gunung Kidul. Dalam
kerja sama ini dituangkan dalam bentuk keputusan bersama dan bukan dalam
Malang dan Kota Batu tentang Pengelolaan Bandar Udara Abdulrachman Saleh.
1
H.M. Laica Marzuki, Op cit. h. 151
3
Selain itu juga dalam kerjasama antara Kabupaten Pacitan, Kabupeten Wonogiri,
timbul dari perjanjian kerja sama antara Kabupaten Pacitan, Kabupeten Wonogiri,
menyatakan:
dari peradilan yang ada, tidak ada satu badan peradilanpun yang berwenang
bahwa:
4
kebupaten/kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri
menyelesaiakan perselisihan dimaksud.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
bersifat final.
kewenangan yang telah diserahkan kepada daerah, melainkan lahir dari apa yang
pemerintah meliputi perjanjian yang tunduk pada hukum perdata dan perjanjian
yang tunduk pada hukum publik. Dalam hal perselisihan lahir dari perjanjian yang
merupakan subyek hukum yang dapat berlalu lintas dalam bidang hukum perdata,
atau penyelesaian tersebut dapat dilakukan melalui badan arbitrse. Hal demikian
tentunya tidak berlaku terhadap perjanjian yang didasarkan pada hukum publik,
5
peradilan tata usaha Negara, maka peradilan tersebut tidak mempunyai
kewenangan, karena obyek sengketa tata usaha negara yaitu keputusan tata
usaha Negara.
Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan pasal 198 Undang-Undang Nomor 32
kelembagaan Negara ini dapat kita simpulkan bahwa masalah antar wewenang
penyelesaian sengketa melalui badan peradilan yang ada kiranya sangat berkaitan
Padmo Wahjono, Hukum Antar Wewenang, Dalam Pejabat Sebagai Calon Tergugat
2
Dalam Peradilan Tata Usaha Negara, buku kesatu, Koprim Prajamukti Depdagri 1989, h. 33
6
2. Karakteristik Sengketa Daerah
atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,
mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan,
yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.” 3 Rochmat
pertentangan faham atau ketidak sesuaian faham antara dua orang atau lebih”. 4
perselisihan faham antara dua orang/kelompok atau lebih terhadap suatu obyek
3
http://books.google.co.id, 2008
4
Richmat Soemitro, Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak Di Indonesia , cet.
IV, Eresco, Jakarta – Bandung, 1976, h. 8
5
Ibid
7
adanya penyelenggaraan kewenangan pemerintahan. Bila sengketa tersebut
pejabat tata usaha negara dengan seseorang atau badan hukum perdata akibat
dengan warga masyarakat atau perorangan tidak hanya berupa sengketa tata
6
Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia , edisi kedua, cet. 3,
Liberty, Yogyakarta, h. 40, membagi aturan hukum menjadi aturan hukum publik (public law) yaitu
aturan hukum yang mengatur kepentingann umum, atau dapat dikatakan sebagai aturan hukum
yang ,mengatur hubungan hukum antara negara dengan perseorangan atau hubungan negara
dengan alat perlengkapannya. Hukum privat (private law) yaitu aturan hukum yang mengatur
kepentingan perseorangan atau dapat dikatakan sebagai aturan hukum yang mengatur hubungan
hukum antara orang yang satu dengan orang lain
7
Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap UndangUndang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
8
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 menyatakan : Mahkamah
Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-
undangan di bawah ini Undang-undang.
8
melahirkan sengketa antar pemerintah daerah. Sengketa tersebut antara lain
sengketa antara Kabupaten Malang dengan Kota Batu akibat dari pemekaran
daerah. Sengketa serupa juga terjadi antara Pemerintah Provinsi Bali dengan
sengketa berkenaan dengan perbatasan antara satu daerah dengan daerah lain,
sengketa ini antar lain sengketa perbatasan antara Kabupaten Magelang dengan
Kota Magelang, bahkan pada era undang-undang nomor 32 tahun 2004 sengketa
perbatasan tersebut juga terjadi di Jawa Timur antara Kabupaten Blitar dengan
Kabupaten Kediri, bahkan sengketa ini bukan hanya soal perbatasan melainkan
Sengketa ini disebabkan oleh Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur nomor
Perselisihan Batas Daerah Antara Kabupaten Blitar dengan Kabupaten Kediri Yang
Terletak pada Kawasan Gunung Kelut di Provinsi Jawa Timur, yang menyerahkan
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, dimana Gubernur Jawa Timur pejabat
9
Perhatikan Siti Zuhro, , et.al, Konflik & Kerjasama Antar Daerah: Studi
Pengelolaan Hubungan Kewenangan Daerah dan Antar Daerah di Jawa Timur, Bangka,
Belitung, dan Kalimanatan Timur, Pusat Penelitian Politik-LIPI, Jakarta, 2004
9
berbeda dengan sengketa perbatasan antara Kabupaten Seram bagian Barat
Menteri Dalam Negeri Nomor 29 tahun 2010 tentang Batas daerah Kabupaten
Seram Bagian Barat Dengan Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku. Sengketa
tersebut mengingat bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang-
10
Penyelesaian sengketa antar pemerintah daerah dalam melaksanakan
fungsi pemerintahan, maupun sengketa batas wilayah tidak dapat diselesaikan
melalui Mahkamah Konstitusi, walaupun Pemerintahan Daerah merupakan salah
satu dari pemohon atau termohon dalam sengketa antar wewenang lembaga
negara. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 8 tahun 2006 tentang Peraturan Mahkamah Konstitusi Tentang
Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara,
sebagai berikut:
(1) Lembaga negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam
perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah:
a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
d. Presiden;
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); 2
f. Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945.
(2) Kewenangan yang dipersengketakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945.
(3) Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai
pemohon ataupun termohon dalam sengketa kewenangan teknis
peradilan (yustisial).
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, mengatur dan mengurus sendiri
peraturan daerah dan peraturan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan.”11
11
Perhatikan ketentuan Pasal 18 ayat (2), ayat (5), ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Perhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/SKLN/2006
tanggal 12 Juli 2006 menyatakan bahwa “Mahkamah berpendapat bahwa pemerintahan daerah
adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945 karena diberikan
kewenangan oleh Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2), serta
11
Sengketa pemerintahan yang berkarakter hukum perdata lahir dari suatu
secara bebas, tidak memenuhi kewajiban atau prestasi seperti yang diperintahkan
yang timbul dikarenakan perbuatan orang lain yang bersifat melanggar hukum
“onrehtmatig” yaitu:14
hukum perdata. Dari pasal 1365 BW bahwa seseoarang atau badan hukum hanya
12
a Perbuatan yang menimbulkan kerugian itu bersifat melanggar
hukum (perbuatan melanggar hukum);
b Kerugian itu timbul sebagai akibat perbuatan tersebut (hubungan
kausal);
c Pelaku tersebut bersalah (kesalahan); dan
d Norma yang dilanggar mempunyai “streking” untuk mengelakkan
timbulnya kerugian (relativitas).
(negara tidak tunduk kepada hukum perdata). Baru pada tanggal 24 Nopember
juga jika ketentuan yang dilanggar itu bersifat hukum publik dan pelanggar itu
penguasa, juga terdapat sengketa karena adanya ingkar janji atau sering disebut
bagi debitur yang lalai suatu perikatan untuk membayar ganti rugi. “Perikatan
untuk membayar ganti rugi mempunyai sifat subsidiair, sejauh selalu didahului
13
wanpretatie itu untuk membayar ganti rugi yang dikuasai oleh Pasal 1243 BW dan
kerjasama antar pemerintah daerah ada yang berbentuk keputusan bersama, dan
kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk mewujudkan tujuan bersama.
satu pihak tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian
pendapatan, yang tidak dilakukan sejak tahun 2008. Kewajiban tersebut tertuang
dalam Pasal 14 ayat (2) huruf b perjanjian kerjasama Walikota Kepala Daerah
18
Ibid.
14
tanggal 2 Oktober 1982. Ketentuan tersebut juga dituangkan dalam Pasal 8 ayat
(2) huruf b Keputusan Bersama Walikota Kepala Daerah Tingkat II Surabaya Dan
Pasal 14
(1) Apabila kerjasama antar pemerintah daerah dalam satu provinsi terjadi
perselisihan, dapat diselesaikan dengan cara:
a. musyawarah; atau
b. Keputusan Gubernur.
(2) Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
bersifat final dan mengikat.
Pasal 15
19
Pasal 8 Keputusan Bersama Walikota Kepala daerah Tingkat II Surabaya dengan Bupati
Kepala Daerah Tingkat II Sidoarjo, menyatakan:
(1) Penggunaan pendapatan terminal Bungurasih selama 10 (sepuluh) tahun pertama diatur sebagai
berikut:
a 20% (dua puluh perseratus) dari total penerimaan/pendapatan tahunan untuk Pemerintah
Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya;
(2) Penggunaan pendapatan Terminal Bungurasih setalah 10 (sepuluh) tahunh kemudian diatur
sebagai berikut:
a 40% (empat puluh perseratus) dari total penerimaan/pendapatan tahunan untuk
Pemerintah Kotamadya daerah Tingkat II Surabaya;
b 30% (tiga puluh perseratus) dari total penerimaan/pendapatan tahunan untuk Pemerintah
Kabupaten Daerah Tingkat II Sidoarjo.
15
(1) Apabila kerja sama daerah provinsi dengan provinsi lain atau antara
provinsi dengan kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi atau antara
daerah kabupaten/kota dengan daerah kabupaten atau daerah kota dari
provinsi yang berbeda terjadi perselisihan,dapat diselesaikan dengan
cara:
a. musyawarah; atau
b. Keputusan Menteri.
(2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bersifat
final dan mengikat.
Pasal 16
(1) Apabila kerja sama daerah dengan pihak ketiga terjadi perselisihan,
diselesaikan sesuai kesepakatan penyelesaian perselisihan yang diatur
dalam perjanjian kerja sama.
(2) Apabila penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak terselesaikan, perselisihan diselesaikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
secara normatif melalui pejabat yang diberi wewenang, yaitu gubernur untuk
dalam satu provinsi. Dalam hal sengketa kerjasama tersebut antara dua privinsi
Menteri Dalam Negari. Kedudukan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur tersebut
dipertegas dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 tahun 2009 tentang
16
Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 Pasal 48 menamakan cara
diberikan oleh Presiden. Lembaga penyelesaian ini disebut juga peradilan semu.
konsisten, hal tersebut dikarenakan yang dimaksud pihak ketiga dalam kerjasama
para pihak telah bermusyawarah namun tidak mencapai kata sepakat dalam
17
dinyatakan dalam Pasal 130 ayat (1) dan ayat (2) Herzien Inlandsch Reglement
(H.I.R), bahwa:20
(1). Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang,
maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan
memperdamaikan mereka.
(2). Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu
bersidang, diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu, dalam mana
kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat
itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai
putusan yang biasa.
(3). Keputusan yang sedemikian tidak diizinkan dibanding.
antara pihak pembentuk hukum dengan warga masyarakat yang dikenai hukum
dalam kedudukan yang tidak sederajat. Hal tersebut berbeda dengan hukum
perdata pada dasarnya dibentuk oleh para pihak berdasarkan kesepakatan dan
penyelesaian melalui Gubernur atau melalui Menteri Dalam Negeri, dan putusan
20
M. Karjadi, Reglemen Indonesia Yang Dibaharui (S.1941 No.44 ), terjemahan
Politeia Bogor, tanpa tahun. h. 38
18
suatu instansi yang lebih tinggi dan berada dalam suatu jenjang secara vertical.” 21
kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, kemungkinan besar akan terjadi
21
Dalam H.T.N Syamsah, Kedudukan Pengadilan Pajak Dihubungkan Dengan
Sistem Peradilan Di Indonesia, Unida Press, Bogor, 2010, h, 82
22
Ibid
23
Ibid
19
perbedaan aliran politik antara pemerintahan daerah kabupaten/kota dengan
berbeda.
tentang:
20
(1). Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan
perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang.
(2). Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3). Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik
berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun
berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.
(4). Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
(5). Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam
Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan ciri khas predikat negara
21
sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara yang mempunyai kewenangan untuk
masing badan peradilan tersebut, tidak ada satupun badan peradilan yang
pemerintah daerah. Walaupun demikian tidak berarti tidak ada badan peradilan
sengketa yang timbul akibat dari keputusan tata usaha negara merupakan
kewenangan peradilan tata usaha negara. Selain itu peradilan umum sesuai
22
perdata antara subyek hukum perdata dengan subyek hukum perdata, dan
dalam Pasal 14 dan pasal 15 Peraturan Presiden Nomor 50 tahun 2007 lebih
Nomor 50 tahun 2007, bila mengacu pada pendapat Syahran Basah,24 tidak
tidak terdapat hukum acara sebagai dasar hukum proses penyelesaian sengketa
atau Menteri Dalam Negeri lebih merupakan suatu bentuk pengawasan, hal
24
Menurut Syahran Basah Dalam H.T.N. Syamsah, Kedudukan Pengadilan Pajak
Dihubungkan Dengan Sistem Peradilan Di Indonesia. Unida press, Bogor, 2010. H. 136.
unsur peradilan menjadi lima, yaitu:
a Adanya aturan hukum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan;
b Adanya suatu sengketa hukum yang konkrit;
c Ada sekurang-kurangnya dua pihak (audi alterem partem);
d Adanya badan peradilan yang berwenang memutuskan sengketa (nemo index in
causa sua)
e Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum (rechtstoepassing) “in
concreto” untuk menjamin ditaatinya hukum materiil diatas.
23
Naskah kerjasama antar pemerintah daerah baik yang dituangkan dalam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2), bahwa “peraturan Daerah yang
undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.” Pengawasan yang
prinsip-prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai manifestasi dari
merdeka merupakan ciri khas negara dengan predikat negara hukum. Dalam
Agung, dan putusan Mahkamah Agung diucapkan dalam siding terbuka untuk
24
Agung merupakan tugas dalam bidang penegakan hukum secara represif. Hal
diatur dalam Pasal 145 ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 tahun
Memperhatikan ketentuan Pasal 145 ayat (5) dan ayat (6) Undang-
segi-segi positif:
25
Bagir Manan, Hubungan Antar Pusat dan Daerah Berdasarkan asas Desentralisasi
Menurut UUD 1945, Desertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1990, h. 271.
25
3 Pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar putusan semata-mata
berdasarkan pertimbangan hukum yang lebih menjamin obyektifitas isi
suatu putusan.
lebih rendah dari undang-undang. “Hak mengiji secara materiil yang dilakukan
jangka waktu tertentu tidak dilakukan pencabutan oleh pejabat yang berwenang.
26
Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan
Konstitusi, Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, 2004. H. 25
26
terhadap produk hukum daerah. Kewenangan pengawasan secara represif
lebih bersifat penyelesaian politik, dan tidak dilakukan oleh organ yang netral
terlepas dari kepentingan politik. Untuk itu diperlukan lembaga yang netral tidak
dalam negeri, apabila para pihak belum dapat menerima keputusan tersebut,
antar daerah merupakan salah satu produk hukum daerah yang sifatnya
mengatur. Selain itu alternatif penyelesaian melalui badan peradilan sebagai suatu
ada. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undan-Undang Nomor 48 tahun
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Untuk mewujudkan asas
27
tersebut.” Dalam usaha menyelesaikan sengketa kerjasama antara daerah yang
dilimpahkan kepada Pengadilan Tinggi yang meliputi wilayah hukum para pihak.
5. Penutup
Pemerintah telah ditempuh, dan masih ada salah satu pihak atau para pihak
masih belum puas atas putusan Gubernur atau Menteri Dalam Negeri.
antar daerah, sehingga hukum represif ditinggalkan dan akan menuju hukum
28
DAFTAR BACAAN
Henry Black Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, USA, 1990.
29
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara ,
Cet ke 3, Konstitusi Press, Jakarta, 2006
30
Peter Leyland and Gordon Anthony, Texbook on Administrative Law , Sixth
edition, Oxford Ubiversity Press, 2009
31
--------------------------, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta. 1999.
Turpin Colin, Government Contrac, The Chaucer Press Ltd, Bungay, Sulfolk,
1972.
32