Anda di halaman 1dari 734

HIMPUNAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG
PERKAWINAN

Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah


Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT
atas Inayah-Nya buku himpunan Peraturan Perundang-
Undangan tentang Perkawinan ini dapat disusun dan
digandakan. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada
junjungan kita Nabi Muhamad SAW, keluarganya dan
sahabatnya.
Buku himpunan Peraturan Perundang-Undangan
tentang Perkawinan edisi II ini merupakan penyempurnaan dari
buku himpunan Peraturan Perundang- Undangan tentang
Perkawinan edisi I yang dicetak pada tahun 2009.
Penyempurnaan dimaksud adalah dengan menghilangkan
beberapa peraturan yang sudah tidak relevan lagi dan
ditambah dengan beberapa peraturan yang terbaru.
Dengan diterbitkannya buku himpunan peraturan
Perundang- Undangan edisi II, diharapkan dapat melengkapi,
menyempurnakan dan mengkompilasi berbagai buku peraturan
tentang perkawinan, baik sebagai landasan hukum, pedoman,
pembinaan dan penyuluhan maupun sebagai bahan referensi
dan kajian.
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang
Perkawinan ini disusun secara sistematis berdasarkan

i
perngelompokan peraturan menurut bidang masalah. Dengan
pengelempokan ini diharapkan dapat digunakan secara lebih
praktis dan lebih mudah, baik bagi aparat Pemerintah terkait,
khususnya Pegawai Pencatat Nikah/Penghulu, yang dalam
melaksanakan tugas kesehariannya dituntut untuk
meningkatkan pelayanan secara cepat dan tepat, maupun bagi
masyarakat yang menggunakannya sebagai referensi,
informasi dan kajian.
Harapan kami semoga buku ini bermanfaat untuk
peningkatan pelayanan dan kesadaran hukum masyarakat.
Kepada semua pihak yang turut membantu tersusunnya
buku ini, kami mengucapkan terima kasih.

ii
Sambutan
Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Segala puji bagi Allah SWT berkat rahmat dan inayah-Nya,
buku Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan ini
dapat digandakan dan diterbitkan. Kami menyambut gembira dan
memberikan perhargaan yang tinggi atas inisiatif Direktorat Urusan
Agama Islam dan Pembinaan Syariah yang telah menerbitkan Buku
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan.
Pelayanan perkawinan merupakan salah satu bentuk
pelayanan publik yang dalam pelaksanaanya harus mengikuti
ketentuan dan aturan yang telah ditetapkan. Himpunan Peraturan
Perundang-Undangan merupakan kumpulan berbagai peraturan
yang terdiri dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Instruksi
Presiden, Peraturan /Keputusan Bersama Menteri, Peraturan
/Keputusan Menteri, dan lain sebagainya yang mengatur tentang
perkawinan.
Buku ini diharapkan menjadi pedoman bagi para penghulu,
PPN, dan Kepala KUA dalam melaksanakan tugas sehari-hari, serta
sebagai bahan referensi atau rujukan bagi mereka yang sedang
melakukan kajian atau penelitian tentang perkawinan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah bekerja secara maksimal demi terwujudnya buku ini, semoga
iii
Allah SWT senantiasa meridhai amal baik kita dan semoga buku ini
bermanfaat. Amin.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta , Agustus 2015

iv
DAFTAR ISI
HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TENTANG PERKAWINAN

Kata Pengantar i
Sambutan iii
KELOMPOK UNDANG-UNDANG

 Undang-Undang Nomor 22 Tahun1946 tentang


Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk……………………..… 1
 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Penetapan Berlakunya UU-RI Nomor 22 Tahun 1946...... 12
 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan…………………………………………………… 21
 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama……………..……………………………… 53
 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama………………… 116
 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang
Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan……………….. 136

KELOMPOK PERATURAN PEMERINTAH

 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang


Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan…………………………………………………… 158
 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang
lzin Perkawinan dan Perceraian

v
bagi Pegawai Negeri Sipil……………..……………………. 187
 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983……………………………………… 205
 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Jenis Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak……. 218
 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
19 Tahun 2015 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Kementerian Agama………………………………………… 221

KELOMPOK INSTRUKSI PRESIDEN

 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991………………….. 234


 Kompilasi Hukum Islam…………………………………….. 236

KELOMPOK KEPUTUSAN / PERATURAN MENTERI BERSAMA

 Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Luar


Negeri Nomor 589 Tahun 1999 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara
Indonesia di Luar Negeri……………………………….…… 310
 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Kepala BKN
Nomor 20 Tahun 2005 dan Nomor 14A Tahun 2005
tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional
Penghulu dan Angka Kreditnya………………………........ 314

KELOMPOK KEPUTUSAN MENTERI

 Keputusan menteri dalam negeri Nomor : 221a tahun


1975 Tentang Pencatatan perkawinan dan perceraian
pada kantor catatan sipil sehubungan dengan

vi
berlakunya undang-undang perkawinan
serta peraturan pelaksananya……………………………… 369
 Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991
tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Rl
Nomor 1 Tahun 1991……………………………………….. 373
 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1994 tentang
Pendaftaran Surat Bukti Perkawinan Warga Negara
Indonesia yang dilangsungkan di Luar Negeri…………… 377
 Keputusan Menteri Agama Nomor 411 Tahun 2000
tentang Penetapan Jumlah Uang Iwadh dalam Rangka
Sighat Taklik bagi Umat Islam……………………………… 381
 Keputusan Menteri Agama Nomor 463 Tahun 2000
tentang Pendelegasian Wewenang Pengangkatan
Pegawai Pencatat Nikah di Luar Negeri………………….. 385
 Keputusan Menteri Agama Nomor 517 Tahun 2001
tentang Penataan Organisasi
Kantor Urusan Agama Kecamatan………………………… 389
 Keputusan Menteri Agama Nomor Dj.II / 1209 Tahun
2013 Tentang SOP Pada KUA Kecamatan………………. 395
 Keputusan Menteri Agama Nomor 75 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Agama
Nomor 99 Tahun 2013 Tentang Penetapan Blangko
Daftar Pemeriksaan Nikah, Akta Nikah, Buku Nikah,
Duplikat Buku Nikah, Buku Pencatatan Rujuk, Dan
Kutipan Buku Pencatatan Rujuk…………………………… 418
 Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor 63 Tahun 2003 Tentang

vii
Pedoman Umum Layanan Publik………………………….. 441

KELOMPOK PERATURAN MENTERI

 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007


tentang Pencatatan Nikah………………………………….. 457
 Peraturan Menteri Agama Nomor 46 Tahun 2014
Tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak
Atas Biaya Nikah Atau Rujuk di Luar Kantor Urusan
Agama Kecamatan………………………………………….. 475
 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor Per / 62 / M.Pan / 6 / 2005 tentang
Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya……. 494
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 / Pmk.02 /
2014 Tentang Petunjuk Penyusunan Rencana
Penerimaan Negara Bukan Pajak
Kementerian Negara / Lembaga....................................... 517

KELOMPOK INSTRUKSI BERSAMA DIREKTUR JENDERAL

 Instruksi Bersama Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji


Departemen Agama dan Dirjen Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman
Departemen Kesehatan Nomor 02 Tahun 1989
dan 162-1 / PD.03.04.EL tentang Imunisasi Tetanus
Toxoid Calon Pengantin………………………………......... 530

viii
KELOMPOK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL

 Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor


18 Tahun 1993 tentang
Pengangkatan Wakil PPN, PPN dan Kepala PPN………. 533
 Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam Nomor DJ.II / 542 Tahun 2013 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah………….. 538
 Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor: DJ.II / 748 Tahun
2014 Tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah Atau Rujuk di
Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan………………...... 567
 Keputusan Dirjen Nomor 436 / 2015 Tentang Perubahan
Atas Keputusan Dirjen Nomor 748 Tahun 2014…………. 594
 Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor
Per-17 / PB / 2013 Tentang Ketentuan Lebih Lanjut
Tata Cara Pembayaran Penerimaan Negara
Bukan Pajak Atas Beban Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara………………………………………… 599

KELOMPOK INSTRUKSI DIREKTUR JENDERAL

 Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor Dj.II.l / 1 Tahun 2015


Tentang Pengangkatan Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah (P3N)…………………………………………………... 623

ix
KELOMPOK KEPUTUSAN / PERATURAN MENTERI AGAMA

 Keputusan Menteri Agama Nomor 444 Tahun 2002


Tentang Perubahan Lampiran Model A2 PMA Nomor 45
Tahun 1975 yang telah diubah dengan KMA……….......... 625
KELOMPOK KEPUTUSAN / PERATURAN BERSAMA DIREKTUR
JENDERAL

 Keputusan Bersama Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji


dan Dirjen Protokol dan Konsuler Nomor 280/07 Tahun
1999 dan D/447 Tahun 1999 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perkawinan WNI di Luar Negeri

- BAB I Pendahuluan
- BAB II Ketentuan Pokok
- BAB III Pejabat Pelaksana
- BAB IV Tata Cara Perkawinan
- BAB V Tata Cara Perceraian
- BAB VI Tata Cara Rujuk
- BAB VII Penutup………………………………………… 630
 Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor D|.II / 1142 Tahun
2013 Tentang Petunjuk Teknis Pengisian Dan Penulisan
Blangko Nikah……………………………………………….. 669

KELOMPOK SURAT EDARAN

 Surat Edaran No. DII/ED/Pw.00/03/84


Tentang Petunjuk Pelaksanaan Upacara Akad Nikah
dan Khutbah Nikah…………………………………………... 683
 Surat Edaran Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor:

x
D / ED / HK.00 / 04 / 1990 Tentang Pencatatan Talak
dan Cerai berkenan dengan berlakunya
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989……………………….. 696
 Surat Departemen Luar Negeri Nomor :
660 / 90 / 43 Tentang Perwakilan Republik Cina
Taiwan di Indonesia........................................................... 698
 Surat Nomor : D/PW.01/3188/1994 Perihal Pendaftaran
Surat Bukti Perkawinan WNI yang
dilangsungkan di Luar Negeri………………………………. 699
 Surat Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor :
Dj.II.2 / I / PW.00 / 408 / 2008 tentang
Penetapan Angka Kredit (PAK)…………………………….. 701
 Surat Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor :
Dj.II.2 / I / PW.01 / 098 / 2009 tentang
Surat Keterangan Untuk Nikah……………………………... 702
 Surat Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor :
Dj.II.2 / I / HM.01 / 942 / 2009 tentang
Asas Pencatatan Perkawinan………………………………. 703
 Surat Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor :
Dj.II.2/I/PW.01/1087/2009 tentang
Persyaratan Legalisasi………………………………………. 704
 Surat Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor :
Dj.II / HK.00 / 074 / 2008 tentang
Instruksi Menteri Agama…………………………………….. 705
 Surat Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor :
DII / 2 / HK.03.4 / 2860 / 1989 tentang
PPN yang berwenang mencatat Itsbat Nika………………. 706

xi
 Surat Edaran Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor:
DII / C / HM.00 / 5666 / 1994 Perihal
Peningkatkan Pelayanan……………………………………. 707
 Surat Edaran Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor:
DII / 2 / PW.01 / 6672 / 1994 Perihal
Keterangan Untuk Nikah……………………………………. 709
 Surat Edaran Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor:
D / Z / 01 / 706 / 1995 Perihal
Rekomendasi Nikah…………………………………………. 712
 Dt.II.1 / 1 / Hm.01 / 2075 / 2015 Tentang
Penetapan Angka Kredit (PAK)…………………………….. 716
Nomor – Nomor Telepon Penting Dilingkungan
Kementrian Agama……………...……………………………….... 719

xii
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1946
TENTANG
PENCATATAN NIKAH, NIKAH, TALAK DAN RUJUK

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : 1. bahwa peraturan pencatatan nikah, talak dan


rujuk seperti yang diatur di dalam
Huwelijksordonnantie S.1929 No. 348 jo. S.
1931 No. 467. Vorstenlandsche
Huwelijkorddonnantie S. 1933 No. 98 dan
Huwelijksordonnantie Buitengewesten S.
1932 No. 482 tidak sesuai lagi dengan
keadaan masa sekarang, sehingga perlu
diadakan peraturan baru yang sempurna dan
memenuhi syarat keadilan sosial;
2. bahwa pembuatan peraturan baru yang
dimaksudkan di atas tidak mungkin
dilaksanakan di dalam waktu yang singkat;
3. bahwa sambil menunggu peraturan baru itu
perlu segera diadakan peraturan pencatatan
nikah, talak dan rujuk untuk memenuhi
keperluan yang sangat mendesak;

Mengingat : ayat (1) pasal 5, ayat (1) pasal 20, dan pasal IV
dari Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar, dan
Maklumat Wakil Presiden Republik Indonesia
tertanggal 16 Oktober 1945 No. X;

1
Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat :

Memutuskan :
I. Mencabut: 1. Huwelijksordonnantie S. 1929 No. 348 jo. S
1931 No. 467.
2. Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie S.
1933 No. 98;
II. Menetapkan : Peraturan sebagai berikut :

UNDANG-UNDANG TENTANG PENCATATAN NIKAH, TALAK


DAN RUJUK

Pasal 1
(1) Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya
disebut nikah, diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang
diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk
olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama
Islam, selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan
kepada pegawai pencatat nikah.
(2) Yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan
menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya
pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai
yang ditunjuk olehnya.
(3) Bila pegawai itu tidak ada atau berhalangan, maka
pekerjaan itu dilakukan oleh orang yang ditunjuk sebagai
wakilnya oleh kepala Jawatan Agama Daerah.
(4) Seorang yang nikah, menjatuhkan talak atau merujuk,
diwajibkan membayar biaya pencatatan yang banyaknya
ditetapkan oleh Menteri Agama.
Dari mereka yang dapat menunjukkan surat keterangan
tidak mampu dari kepala desanya (kelurahannya) tidak
dipungut biaya.
Surat keterangan ini diberikan dengan percuma.

2
Biaya pencatatan nikah, talak dan rujuk dimasukkan di
dalam Kas Negeri menurut aturan yang ditetapkan oleh
Menteri Agama.
(5) Tempat kedudukan dan wilayah (ressort) pegawai pencacat
nikah ditetapkan oleh kepala Jawatan Agama Daerah.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian pegawai pencatat nikah
diumumkan oleh kepala Jawatan Agama Daerah dengan
cara yang sebaik-baiknya.

Pasal 2
(1) Pegawai pencatat nikah dan orang yang tersebut pada ayat
(3) pasal 1 membuat catatan tentang segala nikah yang
dilakukan di bawah pengawasannya dan tentang talak dan
rujuk yang diberitahukan kepadanya; catatan yang
dimaksudkan pada pasal 1 dimasukkan di dalam buku
pendaftaran masing-masing yang sengaja diadakan untuk
hal itu, dan contohnya masing-masing ditetapkan oleh
Menteri Agama.
(2) Dengan tidak mengurangi peraturan pada ayat (4) pasal 45
peraturan meteri 1921 (zegelverordening 1921), maka
mereka itu wajib memberikan petikan dari pada buku-
pendaftaran yang tersebut di atas ini kepada yang
berkepentingan dengan percuma tentang nikah yang
dilakukan di bawah pengawasannya atau talak dan rujuk
yang dibukukannya dan mencatat jumlah uang yang dibayar
kepadanya pada surat petikan itu.
(3) Orang yang diwajibkan memegang buku pendaftaran yang
tersebut pada ayat (1) pasal ini serta membuat petikan dari
buku-pendaftaran yang dimaksudkan pada ayat (2) di atas
ini, maka dalam hal melakukan pekerjaan itu dipandang
sebagai pegawai umum (openbaar ambtenaar).

Pasal 3
(1) Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah
dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan
pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau

3
wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp 50,-
(Lima puluh rupiah).
(2) Barang siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada
ayat (2) pasal 1 dengan tidak ada haknya, dihukum
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp 100,-(seratus rupiah).
(3) Jika seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk
sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal 1, tidak
memberitahukan hal itu di dalam seminggu kepada pegawai
yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya,
maka ia dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp 50,- (Lima
puluh rupiah).
(4) Orang yang tersebut pada ayat (2) pasal 1 karena
menjalankan pengawasan dalam hal nikah, ataupun karena
menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk menerima
biaya pencatatan nikah, talak dan rujuk lebih dari pada yang
ditetapkan oleh Menteri Agama menurut ayat (4) pasal 1
atau tidak memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam
buku-pendaftaran masing-masing sebagai yang dimaksud
pada ayat (1) pasal 2, atau tidak memberikan petikan dari
pada buku- pendaftaran tersebut di atas tentang nikah yang
dilakukan di bawah pengawasannya atau talak dan rujuk
yang dibukukannya, sebagai yang dimaksud pada ayat (2)
pasal 2, maka dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga)
bulan atau denda sebanyak- banyaknya Rp 100,- (seratus
rupiah).
(5) Jika terjadi salah satu hal yang tersebut pada ayat pertama,
kedua dan ketiga dan ternyata karena keputusan hakim,
bahwa ada orang kawin tidak dengan mencukupi syarat
pengawasan atau ada talak atau rujuk tidak diberitahukan
kepada yang berwajib, maka biskal anpir hakim kepolisian
yang bersangkutan mengirim salinan keputusannya kepada
pegawai pencatat nikah yang bersangkutan dan pegawai
itu memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-
pendaftaran masing-masing dengan menyebut surat
keputusan hakim yang menyatakan hal itu.

4
Pasal 4
Hal-hal yang boleh dihukum pada pasal 3 dipandang
sebagai pelanggaran.

Pasal 5
Peraturan-peraturan yang perlu untuk menjalankan
Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Agama.

Pasal 6
(1) Undang-undang ini disebut "Undang-undang Pencatatan
nikah, talak dan rujuk" dan berlaku untuk Jawa dan Madura
pada hari yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
(2) Berlakunya Undang-undang ini di daerah luar Jawa dan
Madura ditetapkan dengan Undang- undang lain.

Pasal 7
Dengan berlakunya Undang-undang ini untuk Jawa dan
Madura Huwelijksordonnatie S. 1929 No. 348 jo. S 1931 No. 467
dan Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie S. 1933 No. 98
menjadi batal.

Ditetapkan di Linggarjati
Pada Tanggal 21 Nopember 1946.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEKARNO

MENTERI AGAMA
FATOERACHMAN

Diumumkan
Pada Tanggal 26 Nopember 1946.

SEKRETARIS NEGARA
A.G. PRINGGODIGDO

5
MEMORI PENJELASAN
MENGENAI
USUL UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN
BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
TANGGAL 21 NOPEMBER 1946 No. 22 TAHUN 1946
TENTANG PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK
DISELURUH DAERAH LUAR JAWA DAN MADURA

Undang-undang tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun


1946 Republik Indonesia dulu memang dimaksudkan untuk
dilakukan buat seluruh Indonesia, tetapi berhubung keadaan
belum mengijinkannya, maka berlakunya Undang-undang
tersebut diluar Jawa dan Madura akan ditentukan oleh Undang-
undang lain (pasal 6 ayat 2 Undang-undang tanggal 21
Nopember 1946 No. 22 tahun 1946 Republik Indonesia).
Kini Negara Kesatuan telah berbentuk dan keadaan sudah
mengijinkan untuk melaksanakan berlakunya Undang-undang
No. 22 tahun 1946 tersebut diluar Jawa dan Madura.
Sebagai diketahui di daerah-daerah luar Jawa dan Madura,
kecuali di Sumatera yang telah ditetapkan berlakunya Undang-
undang No. 22 tahun 1946 tersebut oleh Pemerintah Darurat
Republik Indonesia dengan keputusannya tanggal 14 Juni 1949
No. 1/pdri/ka, masih berlaku "Huwelijksodonnantie
Buitengewesten" (Staatsblad 1932 No. 482) yang mempunyai
sifat-sifat yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini
sebagai diterangkan dalam penjelasan Umum dari Undang-
undang No. 22 tahun 1946 tersebut diatas.
Didaerah-daerah Swapraja diluar Jawa dan Madura, yang
tidak sedikit jumlahnya "Huwelijksordonnantie Buitengewesten"
pada umumnya tidak berlaku, sehingga cara pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk di daerah Swapraja tersebut beraneka warna
adanya menurut peraturan-peraturan yang berlaku untuk tiap-
tiap Swapraja masing-masing.
Didaerah-daerah yang dulu masuk Negara Bagian sebagai
Negara Sumatera Timur, Pasundan, Negara Jawa Timur dan
sebagainya, berhubung dengan pergantian-pergantian
6
Pemerintah mungkin masih ada daerah-daerah yang masih
menjalankan peraturan- peraturan tentang pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk yang lain dari pada Undang-undang No, 22
tahun 1946 tersebut diatas.
Untuk menghilangkan keragu-raguan ini, maka dinyatakan
bahwa Undang-undang No. 22 tahun 1946 berlaku untuk seluruh
Indonesia, untuk tempat-tempat yang menjalankan Undang-
undang tersebut ditetapkan menjalankan Undang-undang itu
mulai tanggal 1 April 1951. Begitu itu agar supaya dapat diatur
peralihan, hingga tidak terjadi stagnatie, vacuum, atau
kekacauan.
Dengan dicabutnya semua peraturan tentang pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk dan digantikannya dengan Undang-
undang No. 22 tahun 1946, maka akan ada peraturan tentang
pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang satu, yang berlaku
untuk seluruh Indonesia.
Perlu kiranya diketahui, bahwa Undang-undang ini hanya
mengenai pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk dan tidak
mengurangai usaha-usaha yang tengah dikerjakan oleh Panitya
Penyelidik Hukum Perkawinan Talak dan Rujuk yang dipimpin
oleh Saudara Mr. Teuke Mohd. Hasan, didalam mempersiapkan
Undang-undang baru sesuai dengan keinginan-keinginan yang
diajukan didalam Parlemen a.l. Saudara yang terhormat Nyonya
Mudigdio.

PENJELASAN UMUM
Peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk seperti termuat
dalam Huwelijksordonnantie S. 1929 No.348 jo. S. 1931 No. 467,
Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie S. 1933 No. 98 dan
Huwelijksordonnantie Buitengewesten S. 1932 No. 482 tidak
sesuai lagi dengan keadaan masa sekarang, sehingga perlu
diadakan peraturan baru yang selaras dengan Negara yang
modern.
Untuk melaksanakan peraturan itu dibutuhkan penyelidikan
yang teliti dan saksama, sehingga sudah barang tentu tidak akan
tercapai di dalam waktu yang singkat. Akan tetapi untuk
7
mencukupi kebutuhan pada masa ini berhubung dengan
keadaan yang sangat mendesak perlu peraturan-peraturan
pencatatan nikah, talak dan rujuk tersebut di atas, dicabut serta
diganti oleh peraturan yang baru yang dapat memenuhi
sementara keperluan-keperluan pada masa ini.
Peraturan-peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk
tersebut di atas kesemuanya bersifat propinsialistis yang tidak
sesuai dengan keadaan sekarang. Negara Indonesia ialah
Negara kesatuan, dan sudah sepantasnya bahwa peraturan-
peraturannya bersifat kesatuan pula. Dari itu
Huwelijksordonnantie S. 1929 No. 348 jo. S. 1931 No. 467,
Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie S. 1933 No. 98 dan
Huwelijksordonnantie Buitengewesten S. 1932 No. 482 patut
dicabut. Selain dari pada itu peraturan di dalam
Huwelijksordonnantie-Huwelijksordonnantie itu memberi
kesempatan untuk mengadakan tarip ongkos pencatatan nikah,
talak dan rujuk yang berbeda-beda, sehingga tiap- tiap
kabupaten mempunyai peraturan sendiri-sendiri. Hal sedemikian
itu tentu perlu dirobah serta diganti dengan peraturan yang satu,
untuk seluruh Indonesia. Dimana berhubung dengan keadaan
belum memungkinkan, disitu peraturan yang baru ini tentu belum
dapat dijalankan, akan tetapi pada azaznya, peraturan ini
diuntukkan untuk seluruh Indonesia serta harus segera
dijalankan, dimana keadaan telah mengizinkan.
Selanjutnya peraturan-peraturan yang dicabut itu, tidak
menjamin penghasilannya para pegawai pencatat nikah, hanya
digantungkan pada banyak sedikitnya ongkos yang didapatnya
dari mereka yang menikah, menalak dan merujuk. Dengan jalan
demikian maka pegawai pencatat nikah menjalankan
kewajibannya dengan tidak semestinya, hanya semata-mata
ditujukan untuk memperbesar penghasilannya, kurang
memperhatikan hukum-hukum Islam yang sebenarnya.
Perbuatan sedemikian itu, merupakan suatu koruptie serta
merendahkan derajat pegawai nikah, tidak saja dapat celaan dari
pihak perkumpulan-perkumpulan Wanita Indonesia, akan tetapi
juga dari pihak pergerakan Islam yang mengetahui betul-betul
syarat-syaratnya talak dan sebagainya, tidak setuju dengan cara
8
menjamin penghidupan pegawai nikah sedemikian itu. Pun para
pegawai nikah sendiri merasa keberatan dengan adanya
peraturan sedemikian itu. Selain dari pada penghasilannya tidak
tentu, juga aturan pembagian on kos nikah, talak dan rujuk
kurang adil, ya'ni pegawai yang berpangkat tinggi dalam
golongan pegawai nikah mendapat banyak, kadang-kadang
sampai lebih dari Rp 1.000,- (Bandung, Sukabumi d.l.l.) akan
tetapi yang berpangkat rendah sangat kurangnya, antara Rp
3,50 – Rp 10,-.
Selain dari pada itu ongkos nikah (pekah) oleh beberapa
golongan ummat Islam dipandangnya sebagai "haram",
sehingga tidak tenteramlah mereka itu mendapat penghasilan
tersebut. Koruptie serta keberatan-keberatan lainnya hanya
dapat dilenyapkan, jika pimpinan yang bersangkut-paut dengan
perkawinan, talak dan rujuk diserahkan pada satu instansi, serta
para pegawai pencatat nikah diberi gaji yang tetap, sesuai
dengan kedudukan mereka dalam masyarakat.
"Undang-undang Pencatatan nikah, talak dan rujuk
(Undang-undang No. 22 tahun 1946) dimaksudkan untuk
dijalankan di seluruh Indonesia; akan tetapi sebelum keadaan
mengidzinkannya serta undang- undang baru itu belum mulai
berlaku, aturan yang lama masih dianggap sah. Waktu
berlakunya "Undang-undang Pencatatan nikah, talak dan rujuk"
untuk tanah Jawa dan Madura ditetapkan oleh Menteri Agama,
sedang di daerah-daerah di luar tanah Jawa dan Madura akan
ditentukan oleh Undang-undang lain.

Penjelasan pasal-pasal
Pasal 1
Maksud pasal ini ialah supaya nikah, talak dan rujuk menurut
agama Islam dicatat agar mendapat kepastian hukum.
Dalam Negara yang teratur segala hal-hal yang bersangkut-
paut dengan penduduk harus dicatat, sebagai kelahiran,
pernikahan, kematian dan sebagainya. Lagi pula perkawinan
bergandengan rapat dengan waris-malwaris, sehingga

9
perkawinan perlu dicatat menjaga jangan sampai ada
kekacauan.
Menurut hukum agama Islam nikah itu ialah perjanjian
antara bakal suami atau wakilnya dan wali perempuan atau
wakilnya. Biasanya wali memberi kuasa kepada pegawai
pencatat nikah untuk menjadi wakilnya; tetapi ia boleh pula
diwakili orang lain dari pada pegawai yang ditunjuk oleh Menteri
Agama, atau ia sendiri dapat melakukan akan nikah itu.
Pada umumnya jarang sekali Wali melakukan akad nikah
sebab sedikit sekali yang mempunyai kepandaian yang
dibutuhkannya untuk melakukan akad nikah itu.
Ancaman dengan denda sebagai tersebut pada ayat (1) dan
(3) pasal 3 Undang-undang ini bermaksud supaya aturan
administrasi ini diperhatikan : akibatnya sekali-kali bukan, bahwa
nikah, talak atau rujuk itu menjadi batal karena pelanggaran itu.
Yang dimaksud dengan mengawasi ialah kecuali hadlir pada
ketika perjanjian nikah itu diperbuat, pun pula memeriksa, ketika
kedua belah pihak (wali dan bakal suami) menghadap pada
pegawai pencatat nikah ada tidaknya rintangan untuk nikah dan
apakah syarat-syarat yang ditentukan oleh Hukum Agama Islam
tidak dilanggar. Selanjutnya perobahan yang penting dalam
pasal ini ialah bahwa kekuasaan untuk menunjuk pegawai
pencatat nikah, menetapkan besarnya biaya pencatat nikah,
talak dan rujuk, menetapkan tempat kedudukan dan wilayah
pegawai pencatat nikah, jatuh masing-masing dari tangan
Bupati/Raad Kabupaten ke tangan Menteri Agama, atau pegawai
yang ditunjuk olehnya atau pada kepala Jawatan Agama Daerah,
sedang biaya nikah talak dan rujuk tidak dibagai-bagai lagi
antara pegawai-pegawai pencatat nikah akan tetapi masuk ke
Kas Negeri dan pegawai pencatat nikah diangkat sebagai
pegawai Negeri.
Yang dimaksud dengan Jawatan Agama Daerah ialah
Jawatan Agama Keresidenan atau Jawatan Agama di Kota
Jakarta Raya.

10
Surat keterangan tidak mampu harus diberikannya dengan
percuma, menjaga supaya orang yang tidak mampu jangan
diperberat.

Pasal 2
Sudah terang, dan tidak ada perubahan, kecuali contoh-
contoh buku pendaftaran, surat nikah, talak dan rujuk dan
sebagainya ditetapkan tidak lagi oleh Bupati, akan tetapi oleh
Menteri Agama, agar supaya mendapat kesatuan.

Pasal 3
Maksud pasal 3 ini sama dengan pasal 3 dari
Huwelijksordonnantie S. 1929 No. 348 hanya saja pelanggaran
terhadap aturan pemberitahuan tentang talak yang dijatuhkan
dan rujuk yang dilakukan dinaikkan dari Rp 5,- menjadi Rp 50,-
agar supaya hakim dapat memberi denda setimpal dengan
kesalahannya. Oleh karena sering terjadi orang isteri yang telah
dirujuk kembali, akan tetapi oleh karena tidak diberi tahu oleh
pegawai pencatat nikah, sebab pegawai pencatat nikah tidak
diberitahukannya oleh suami yang merujuk, menjadi tidak
mengetahui hal perujukan akan kawin lagi dengan orang lain,
kemudian datang suaminya yang lama, sehingga perkawinan
tidak dapat dilangsungkan; atau telah kawin dengan orang lain
kemudian datang suami yang lama, sehingga perkawinan yang
baru itu dibubarkan. Lebih menyedihkan lagi jika perkawinan
yang baru sudah begitu rukun sehingga telah mempunyai anak.
Lain-lain pasal sudah terang dan tidak perlu dijelaskan lagi.

MENTERI AGAMA

H. FATOERACHMAN

11
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1954
TENTANG
PENETAPAN BERLAKUNYA UNDANG - UNDANG
REPUBLIK INDONESIA TANGGAL 21 NOPEMBER
1946 NO. 22 TAHUN 1946 TENTANG PENCATATAN
NIKAH, TALAK DAN RUJUK DI SELURUH DAERAH
LUAR JAWA DAN MADURA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : 1. Bahwa kini di Indonesia berlaku beberapa


macam peraturan tentang pencatatan nikah,
talak dan rujuk bagi Umat Islam antara lain-
lain:
a. Undang-undang Republik Indonesia
tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun
1946 dan
b. Huwelijksordonnantie Buitengewesten
Staatsblad 1932 No. 482;
c. Peraturan-peraturan tentang pencatatan
nikah, talak dan rujuk yang berlaku di
daerah-daerah Swapraja;
d. Peraturan-peraturan lain yang berlaku
didaerah diluar Jawa dan Madura;
2. Bahwa Undang-undang Republik Indonesia
No. 22 tahun 1946, yang dalam
penjelasannya, diperuntukkan buat seluruh
Indonesia;
12
3. Bahwa berhubung dengan terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu
adanya satu macam Undang-undang tentang
pencatatan nikah, talak dan rujuk;
Mengingat : Pasal 89 dan pasal 117 Undang-undang Dasar
Sementara Republik Indonesia;

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

MEMUTUSKAN:

Dengan mencabut Huwelijksordonnantie Buitengesten


Staatsblad 1932 No. 482 dan semua Peraturan-peraturan (juga
dari Pemerintah Swapraja) tentang pencatatan nikah, talak dan
rujuk untuk Umat Islam yang berlainan dan yang bertentangan
dengan Undang - undang tanggal 21 Nopember 1946 No. 22
tahun 1946 Republik Indonesia.

Menetapkan : UNDANG – UNDANG TENTANG PENETAPAN


BERLAKUNYA UNDANG – UNDANG
REPUBLIK INDONESIA TANGGAL 21
NOPEMBER 1946 No. 22 TAHUN 1946
TENTANG PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN
RUJUK DISELURUH DAERAH LUAR JAWA
DAN MADURA SEBAGAI BERIKUT :

Pasal 1
Undang-undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember
1946 No. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan
rujuk berlaku untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura.

Pasal 1A
Perkataan biskal-gripir hakim kepolisian yang tersebut
dalam pasal 3 ayat 5 Undang-undang Republik Indonesia No. 22
tahun 1946 diubah menjadi Panitera Pengadilan Negara.

13
Pasal 2
Peraturan-peraturan yang perlu untuk melaksanakan apa
yang tersebut dalam pasal 1 Undang-undang ini ditetapkan oleh
Menteri Agama.
Pasal 3
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada Tanggal 26 Oktober 1954

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.
SOEKARNO

Diundangkan
Pada Tanggal 2 Nopember 1954.

MENTERI KEHAKIMAN
ttd.
DJODY GONDOKUSUMO

MENTERI AGAMA

ttd.
K.H. MASJKUR

14
MEMORI PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 1954 TENTANG
PENETAPAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
TANGGAL 21 NOPEMBER 1946

Undang-undang tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun


1946 Republik Indonesia dulu memang dimaksudkan untuk
dilakukan buat seluruh Indonesia, tetapi berhubung keadaan
belum mengijinkannya, maka berlakunya Undang-undang
tersebut diluar Jawa dan Madura akan ditentukan oleh Undang-
undang lain (pasal 6 ayat 2 Undang-undang tanggal 21
Nopember 1946 No. 22 tahun 1946 Republik Indonesia).
Kini Negara Kesatuan telah terbentuk dan keadaan sudah
mengijinkan untuk melaksanakan berlakunya Undang-undang
No. 22 tahun 1946 tersebut diluar Jawa dan Madura.
Sebagai diketahui di daerah-daerah luar Jawa dan Madura,
kecuali di Sumatera yang telah ditetapkan berlakunya Undang-
undang No. 22 tahun 1946 tersebut oleh Pemerintah Darurat
Republik Indonesia dengan surat keputusannya tanggal 14 Juni
1949 No. I/pdri/ka, masih berlaku "Huwelijksordinnantie
Buitengewesten" (Staatsblad 1932 No. 482) yang mempunyai
sifat-sifat yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini
sebagai diterangkan dalam penjelasan Umum dari Undang-
undang No. 22 tahun 1946 tersebut diatas.
Di daerah-daerah Swapraja di luar Jawa dan Madura, yang
tidak sedikit jumlahnya Huwelijksornonnantie Buitengewesten
pada umumnya tidak berlaku, hingga cara pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk di daerah Swapraja tersebut beraneka-warna
adanya menurut peraturan-peraturan yang berlaku untuk tiap-
tiap Swapraja masing- masing.
Di daerah-daerah yang dulu masuk Negara Bagian sebagai
Negara Sumatera Timur, Pasundan, Negara Jawa Timur dan
sebagainya, berhubung dengan pergantian-pergantian
15
Pemerintah mungkin masih ada daerah-daerah yang masih
menjalankan peraturan-peraturan tentang pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk yang lain daripada Undang-undang No. 22
tahun 1946 tersebut di atas.
Untuk menghilangkan keragu-raguan ini, maka dinyatakan
bahwa Undang-undang No. 22 tahun 1946 berlaku untuk seluruh
Indonesia, untuk tempat-tempat yang belum dijalankan Undang-
undang tersebut, ditetapkan menjalankan Undang-undang itu
mulai tanggal 1 April 1951. Begitu itu agar supaya dapat diatur
peralihan, hingga tidak terjadi stagnatie, vacuum, atau
kekacauan.
Dengan dicabutnya semua peraturan tentang pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk dan digantikannya dengan Undang-
undang No. 22 tahun 1946, maka akan ada peraturan tentang
pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang satu, yang berlaku
untuk seluruh Indonesia.
Perlu kiranya diketahui, bahwa Undang-undang ini hanya
mengenai pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk dan tidak
mengurangi usaha-usaha yang tengah dikerjakan oleh Panitya
Penyelidik Hukum Perkawinan Talak dan Rujuk yang dipimpin
oleh Saudara Mr. Teuku Mohd. Hasan, di dalam mempersiapkan
Undang-undang baru sesuai dengan keinginan-keinginan yang
diajukan di dalam Parlemen antara lain saudara yang terhormat
Nyonya Mudigdio.

PENJELASAN UMUM
Peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk seperti termuat
dalam Huwelijksordonnantie S. 1929 No. 348 jo. S. 1931 No. 467
Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie Buitengewesten S. 1932
No. 482 tidak sesuai lagi dengan keadaan pada masa sekarang,
sehingga perlu diadakan peraturan baru yang selaras dengan
Negara yang modern.
Untuk melaksanakan peraturan ini dibutuhkan penyelidikan
yang teliti dan seksama, sehingga sudah barang tentu tidak akan
tercapai di dalam waktu yang singkat.

16
Akan tetapi untuk mencukupi kebutuhan pada masa ini
berhubungan dengan keadaan yang sangat perlu peraturan-
peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk tersebut di atas,
dicabut serta diganti oleh peraturan yang baru yang dapat
memenuhi sementara keperluan-keperluan pada masa ini.
Peraturan-peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk
tersebut di atas kesemuanya bersifat propinsialitas yang tidak
sesuai dengan keadaan sekarang. Negara Indonesia ialah
Negara Kesatuan, dan sudah sepantasnya peraturan-peraturan
bersifat kesatuan pula. Dari itu Huwelijksordonnantie S. 1929 No
348 jo. S. 1931 Nr 467, Vorstenlsndsche Huwelijksordonnantie
S. 1933 No 98 dan Huwelijksordonnsntie Buitengewesten S.
1932 No 482 patut dicabut. Selain dari pada itu peraturan
didalam Huwelijksordonnantie-huwelijksordonnantie itu memberi
kesempatan untuk mengadakan tarip ongkos pecatatan nikah.
talak dan rujuk yang berbeda-beda, sehingga tiap-tiap
kabupaten mempunyai peraturan sendiri-sendiri. Hal sedemikian
itu tentu dirubah serta diganti dengan peraturan yang satu, untuk
seluruh Indonesia. Dimana berhubung dengan keadaan belum
memungkinkan, disitu peraturan yang baru ini tentu belum dapat
dijalankan, akan tetapi pada azasnya, peraturan ini diuntukkan
untuk seluruh Indonesia serta harus segera dijalankan, dimana
keadaan telah mengizinkan.
Selanjutnya peraturan-peraturan yang dicabut itu, tidak
menjamin penghasilannya para pegawai pencatat nikah, hanya
digantungkan pada banyak sedikitnya ongkos yang didapatnya
dari mereka yang menikah, menalak dan merujuk. Dengan jalan
demikian maka pegawai pencatatan nikah menjalankan
kewajibannya dengan tidak semestinya hanya semata-mata
ditujukan untuk memperbesar penghasilannya, kurang
memperhatikan hukum-hukum Islam yang sebenarnya.
Perbuatan sedemikian itu, yang merupakan suatu korupsi serta
merendahkan derajat pegawai nikah, tidak saja dapat celaan dari
pihak perkumpulan-perkumpulan Wanita-Indonesia, akan tetapi
juga dari pihak pergerakkan Islam yang mengetahui betul-betul
syarat-syaratnya talak dan sebagainya tidak setuju dengan cara
menjamin penghidupan pegawai nikah sedemikian. Pun para
17
pegawai nikah sendiri merasa keberatan dengan adanya
peraturan sedemikian itu. Selain daripada penghasilannya tiada
tentu juga aturan pembagian ongkos nikah, talak rujuk kurang
adil, yakni pegawai yang berpangkat tinggi dalam golongan
pegawai nikah mendapat banyak kadang-kadang sampai lebih
dari Rp. 100,- (Bandung, Sukabumi dan lain-lain) akan tetapi
yang berpangkat rendah sangat kurangnya, antara Rp. 3,50 - Rp.
10,-
Selain dari pada itu ongkos nikah (ipekah) oleh beberapa
golongan ummat Islam dipandangnya sebagai "haram",
sehingga tidak tenteramlah mereka itu mendapat penghasilan
tersebut. Korupsi serta keberatan-keberatan lainnya hanya
dapat dilenyapkan, jika pimpinan yang bersangkut-paut dengan
perkawinan, talak dan rujuk diserahkan pada satu instantie, serta
para pegawai pencatat nikah diberi gaji yang tetap sesuai
dengan kedudukan mereka dalam masyarakat. "Undang-undang
Pencatatan nikah, talak dan rujuk" (Undang-undang No 22 tahun
1946) dimaksudkan untuk dijalankan diseluruh Indonesia; akan
tetapi sebelum keadaan mengijinkannya serta Undang-undang
baru itu belum mulai berlaku, aturan yang lama masih dianggap
sah. Waktu berlakunya "Undang-undang Pencatatan nikah, talak
dan rujuk untuk tanah Jawa dan Madura. akan ditentukan oleh
Undang-undang lain.
Penjelasan pasal-pasal

Pasal 1
Maksud pasal ini ialah supaya nikah, talak dan rujuk menurut
agama Islam supaya dicatat agar mendapat kepastian hukum.
Dalam Negara yang teratur segala hal-hal yang bersangkut-
paut dengan penduduk harus dicatat, sebagai kelahiran,
pernikahan, kematian dan sebagainya. Lagi pula perkawinan
bergandengan rapat dengan waris-mal-waris sehingga
perkawinan perlu dicatat menjaga jangan sampai ada
kekacauan.
Menurut hukum agama Islam nikah itu ialah perjanjian
antara bakal suami atau wakilnya dan wali perempuan atau

18
wakilnya. Biasanya wali memberi kuasa kepada pegawai
pencatat nikah untuk menjadi wakilnya; tetapi ia boleh pula
diwakili orang lain daripada pegawai yang ditunjuk oleh Menteri
Agama, atau ia sendiri dapat melakukan akad nikah itu. Pada
umumnya jarang sekali Wali melakukan akad nikah, sebab
sedikit sekali yang mempunyai kepandaian yang dibutuhkannya
untuk melakukan akad nikah itu.
Ancaman dengan denda sebagai tersebut pada ayat 1 dan
3 pasal 3 Undang-undang ini bermaksud supaya aturan
administrasi ini diperhatikan; akibatnya sekali-kali bukan, bahwa
nikah, talak dan rujuk itu menjadi batal karena pelanggaran itu.
Yang dimaksud dengan mengawasi ialah kecuali hadir pada
ketika perjanjian nikah itu diperbuat, pun pula memeriksa, ketika
kedua belah (wali dan bakal suami) menghadap pada pegawai
pencatat nikah ada tidaknya rintangan untuk nikah dan apakah
syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum agama Islam tidak
dilanggar. Selanjutnya perubahan yang penting-penting dalam
pasal ini ialah bahwa kekuasaan untuk menunjuk pegawai
pencatat nikah, menetapkan tempat kedudukan dan wilayah
pegawai pencatat nikah, jatuh masing-masing dari tangan
Bupati/Raad Kabupaten ketangan Menteri Agama, atau pegawai
yang ditunjuk olehnya atau pada Kepala Jawatan Agama
Daerah, sedang biaya nikah, talak dan rujuk tidak dibagi-bagi lagi
antara pegawai-pegawai pencatat nikah, akan tetapi masuk ke
Kas Negera dan Pegawai pencatat nikah diangkat sebagai
pegawai Negeri.
Yang dimaksud dengan Jawatan Agama Daerah ialah
Jawatan Agama Karesidenan atau Jawatan Agama di Kota
Jakarta Raya dan Surakarta.
Surat keterangan tidak mampu harus diberikannya dengan
percuma, menjaga supaya orang yang tidak mampu jangan
diperberat.

19
Pasal 2
Sudah terang, dan tidak ada perubahan, kecuali contoh-
contoh buku pendaftaran, surat nikah, talak dan rujuk dan
sebagainya ditetapkan tidak lagi oleh Bupati, akan tetapi oleh
Menteri Agama, agar supaya mendapat kesatuan.
Pasal 3
Maksud pasal 3 ini sama dengan pasal dari
Huwelijksordonnantie S. 1929 No. 348 hanya saja pelanggaran
terhadap aturan pemberitahuan tentang talak yang dijatuhkan
dan rujuk yang dilakukan dinaikkan dari Rp. 5,- menjadi Rp. 50,-
agar supaya hakim dapat memberi denda setimpal dengan
kesalahannya. Oleh hakim dapat memberi denda setimpal
dengan kesalahannya. Oleh karena sering terjadi orang isteri
yang telah dirujuk kembali, akan tetapi oleh karena tidak
diberitahukannya oleh pegawai pencatat nikah, sebab pegawai
pencatat nikah, tidak diberitahukannya oleh suami yang merujuk,
menjadi tidak mengetahui hal perujukan akan kawin lagi dengan
orang lain kemudian datang suaminya yang lama, sehingga
perkawinan tidak dapat dilangsungkan; atau telah kawin dengan
orang lain kemudian datang suami yang lama, sehingga
perkawinan yang baru itu dibubarkan. Lebih menyedihkan lagi
jika perkawinan yang baru sudah begitu rukun sehingga telah
mempunyai anak.
Lain-lain pasal sudah terang dan tidak perlu dijelaskan lagi.
TERMASUK LEMBARAN NEGARA NOMOR 98 TAHUN 1954.
Diketahui:

MENTERI KEHAKIMAN
Ttd.
DJODY GONDOKUSUMO

20
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN

DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta


cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu
adanya Undang-undang tentang Perkawinan
yang berlaku bagi semua warga negara.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1) dan pasal


29 Undang-undang Dasar 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Nomor IV/MPR/1973.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik


Indonesia.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN

21
BAB I
DASAR PERKAWINAN

Pasal 1
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
(Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi RI
hari Kamis, 18 Juni 2015 menyatakan menolak permohonan
para pemohon untuk seluruhnya )
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 3
(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang
isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-
undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke
Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya
memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari
seorang apabila :
a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai
isteri;

22
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-
undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup isteri- isteri dan anak-anak
mereka.
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini
tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-
isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada
kaber dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat
izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini
cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

23
(4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang
dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah
seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah
lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.

Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai
usia 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat
minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang
diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang
atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4)
Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan
dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak
mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah
atau ke atas;

24
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang
saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu
dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan
bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri
lebih dari seorang;
f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
praturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Pasal 9
Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3
ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan
yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara
mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang
hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 11
(1) Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka
waktu tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan
diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12
Tata cara perkawinan diatur dalam peraturan perundang-
undangan tersendiri.

25
BAB III
PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal 13
Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara,
wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon
mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga
mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah
seorang dari calon mempelai berada di bawah
pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-
nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai
yang lain, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang
seperti yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 15
Barang siapa yang karena perkawinan dirinya masih terikat
dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih
adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru
dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4
Undang-undang ini.

Pasal 16
(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal
12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.

Pasal 17
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan
dalam daerah hukum dimana perkawinan akan

26
dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada
pegawai pencatat perkawinan.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai
permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.

Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan
Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan
pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.

Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan
belum dicabut.

Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan
melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan
bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam
Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12
Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan
perkawinan.

Pasal 21
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa
terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut
Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan
perkawinan.
(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak
yang ingin melangsungkan perkawinan yang oleh pegawai
pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan
tertulis dari penolakkan tersebut disertai dengan alasan-
alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana
pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan

27
berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan
menyerahkan surat keterangan penolakkan tersebut di atas.
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara
singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan
menguatkan penolakkan tersebut ataukah memerintahkan,
agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan
yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada
pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahukan
tentang maksud mereka.

BAB IV
BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 23
Yang dapat mengajukan Pembatalan perkawinan yaitu :
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari
suami atau isteri.
b. Suami atau isteri.
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum
diputuskan.
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-
undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum
secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi
hanya setelah perkawinan itu putus.

Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan
salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya
perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang
baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 Undang-undang ini.

28
Pasal 25
Permihonan pembatalan perkawinan diajukan kepada
Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan
dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau
isteri.

Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah
atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang
saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam
garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa
dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasrkan
alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka setelah
hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat
memperlihatkan akte perkawinan yang tidak berwenang dan
perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan
dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu
berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai
diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka
itu telah menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6
(enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami
isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan
Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan
berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.
29
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik,
kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan
perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain
yang lebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b
sepanjang mereka memperoleh hak - hak dengan itikad
baik sebelum keputusan tentang pembatalan
mempunyai kekuatan hukum tetap.

BAB V
PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua
belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan
perjanjian tertilis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga tersangkut.
(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana
melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak
dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada
persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.

BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI

Pasal 30
Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan
masyarakat.

30
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing - masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum.
(3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Pasal 32
(1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1)
pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama.

Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang
lain.

Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

31
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak
atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur
menurut hukumnya masing- masing.

BAB VIII
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA

Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.

Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa
antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami
isteri.
(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur
dalam peraturan perundangan tersebut.

Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal
ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

32
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibuatau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu,
bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi
kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa
ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan
sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

BAB IX
KEDUDUKAN ANAK

Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah.

Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum mempunyai darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya – Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-IX Tahun 2011)

(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan


diatur dalam Peraturan Pemerintah.

33
Pasal 44
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang
dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan
bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari
perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya
anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-
anak mereka sebaik-baiknya
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara
kedua orang tua putus.

Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak
mereka yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus
ke atas bnila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di
bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

34
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak
itu menghendakinya.

Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut
kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk
waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain,
keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara
kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang
dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih
berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak
tersebut.

BAB XI
PERWAKILAN

Pasal 50
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah
kekuasaan wali.
(2) Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan
maupun harta bendanya.

Pasal 51
(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan
kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat
wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.

35
(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut
atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil,
jujurdan berkelakuan baik.
(3) Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya
dan harta bendanya sebaik- baiknya dengan menghormati
agama dan kepercayaan itu.
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di
bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan
mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak
atau anak-anak itu.
(5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang
berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang
ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

Pasal 52
Terhadap wali berlaku juga pasal 48 Undang-undang ini.

Pasal 53
(1) Wali dapat di cabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang
tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini.
(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimna
dimaksud pada ayat (1) pasal ini oleh Pengadilan ditunjuk
orang lain sebagai wali.

Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda
anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau
keluarga tersebut dengan keputisan Pengadilan, yang
bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti kerugian
tersebut.

36
BAB XII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Bagian Pertama
Pembuktian Asal-usul Anak

Pasal 55
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte
kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak
ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan
tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang
memenuhi syarat.
(3) atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka
instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum
Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte
kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Bagian Kedua
Perkawinan di Luar Indonesia

Pasal 56
(1) Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara
Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan
warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut
hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak
melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di
wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus
didaftarkan di Kantor Pencatat perkawinan tempat tinggal
mereka.

37
Bagian Ketiga
Perkawinan Campuran

Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-
undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga-
negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang
melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh
kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan
dalam Undang- undang Kewarganegaraan Republik Indonesia
yang berlaku.

Pasal 59
(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat
perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum
yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum
perdata.
(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia
dilakukan menurut Undang- undang perkawinan ini.

Pasal 60
(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum
terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan
oleh pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam
ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan
untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh
mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak
masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan
surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan
surat keterangan itu, maka atas permintaan yang
38
berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan
dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding
lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat
keterangan itu beralasan atau tidak.
(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak
beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti
keterangan tersebut ayat (3).
(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan
tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak
dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah
keterangan itu diberikan.

Pasal 61
(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang
berwenang.
(2) Barang siapa yang melangsungkan perkawinan campuran
tampa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai
pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan
pengganti keterangan yang disebut pasal 60 ayat (4)
Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 1(satu) bulan.
(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan
sedangkan ia mengetaui bahwa keterangan atau keputusan
pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum
jabatan.

Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai
dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.

Bagian Keempat
Pengadilan

Pasal 63
(1) Yang dimaksudkan dengan Pengadilan dalam Undang-
undang ini ialah:
39
a. Pengadilan agama mereka yang beragama Islam.
b. Pengadilan Umum bagi yang lainnya.
(2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh
Pengadilan Umum.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan yang tejadi sebelum Undang-undang ini
berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama,
adalah sah.

Pasal 65
(1) dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik
berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat
(2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-
ketentuan berikut :
a. Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama
kepada semua isteri dan anaknya;
b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai
hak atas harta bersama yang telah ada sebelum
perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu
terjadi;
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta
bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-
masing.
(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari
seorang menurut Undang- undang ini tidak menentukan lain,
maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.

40
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka
dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan- ketentuan
yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen
(Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan
Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken
S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang
ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 67
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkannya, yang pelaksanaanya secara efektif lebih
lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan
pengaturan pelaksanaan, diatur lebuh lanjut oleh Peraturan
Pemerintah.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundang Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta,
pada tanggal 2 Januari 1974
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO JENDERAL TNI.


Diundangkan di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1974
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA R.I

SUDHARMONO, SH.
MAYOR JENDERAL TNI.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1974 NOMOR 128
41
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN

PENJELASAN UMUM:

1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah


mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang
sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan
landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi
pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam
masyarakat kita.
2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai
golongan warganegara dan berbagai daerah seperti berikut :
a. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam
berlaku hukum Agama yang telah diresipiir dalam Hukum
Adat;
b. bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum
Adat;
c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen
berlaku Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesia (S.
1933 Nomor 74);
d. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia
keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit
perubahan;
e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan
warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya
tersebut berlaku hukum Adat mereka;
f. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia
keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka
berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini disatu pihak
42
harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung
dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,
sedangkan di lain fihak harus dapat pula menampung segala
kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang
undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-
unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan
Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.
4. Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau
azas-azas mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan
dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Azas-azas atau
prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini
adalah sebagai berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling
membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan
mencapai kesejahteraan sprituil dan material.
b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu
perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan
adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran,
kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan,
suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya
apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena
hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan,
seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun
demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari
seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-
pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila
dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan
oleh Pengadilan.
43
d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami
isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa
berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang
baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan diantara calon suami isteri yang masih
dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai
hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah
bahwa batas umur yang lobih rendah bagi seorang
wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang
lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang
ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria
maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi
pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka
undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu
serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.
f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak
dan kedudukan suami baik dalam kehidupan
rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat,
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam
keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama
oleh suami-isteri.
5. Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut
segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang
terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan
menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula
apabila mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak
mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.

44
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila
yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai
peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat
hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan
perkawinan, Pemeliharaan dan Pendidikan menjadi hak dan
kewajiban orang tua.

Pasal 2
Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada
Perkawinan diluar hukum rnasing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar
1945. Yang dimaksud dengan hukurn masing-masing agamanya
dan kepereayaannya itu termasuk ketentuan perundang-
undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain dalam Undang- undang ini.

Pasal 3
1. Undang-undang ini menganut asas monogami.
2. Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa
apakah syarat yang tersebut dalam Pasal 4 dan 5 telah
dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan
hukum perkawinan dari salon suami mengizinkan adanya
poligami.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

45
Pasal 6
1. Oleh karena perkawinan mernpunyai rnaksud agar suami
dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan
bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka
perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang
melangsungkan Perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan
dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti
mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan
hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-
undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang ini.
2. Cukup jelas.
3. Cukup jelas.
4. Cukup jelas.
5. Cukup jelas.
6. Cukup jelas.

Pasal 7
1. Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu
ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.
2. Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-
ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi
terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933 Nomor
74) dinyatakan tidak berlaku.
3. Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.

46
Pasal 10
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan
isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu
tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus
benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-
masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan
kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-
benar saling menghargai satu sama lain.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Ketentuan Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-
undang Nomor 32 Tahun 1954.

Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.

47
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Pengertian "dapat" pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa
tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya
masing-masing tidak menentukan lain.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Yang dimaksud dengan "perjanjian" dalam pasal ini tidak
termasuk taklik-talak.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.

48
Pasal 35
Apabila perkawinan Putus, maka harta bersama tersebut diatur
menurut Hukumnya masing-masing.
Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing; ialah
hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.
Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
1. Cukup jelas.
2. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian
adalah :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok,
pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima)
tahun atau hukuman yang libel berat setelah perkawinan
berlangsung.
d. Salah satu pihak inelakukan kekeiaman atau
penganiayaan berat yang mernbahayakan terhadap
pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit
yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah-tangga.

49
3. Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan
sumpah.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Yang dimaksud dengan "kekuasaan" dalam pasal ini tidak
termasuk kekuasaan sebagai wali-nikah.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.

50
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.

51
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3019

Disalin kembali sesuai


Dari salinan

Ka. Sub. Bag. Tikron DEPAG

tt.

M.S. SJAHRIAN
NIP. 270374

52
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989


TENTANG
PERADILAN AGAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai


negara hukum yang berdasarkan Pancasila
dan Undang- Undang Dasar 1945, bertujuan
mewujudkan tata kehidupan bangsa yang
sejahtera, aman, tenteram, dan tertib;
b. bahwa untuk mewujudkan tata kehidupan
tersebut dan menjamin persamaan
kedudukan warga negara dalam hukum
diperlukan upaya untuk menegakkan
keadilan, kebenaran, ketertiban, dan
kepastian hukum yang mampu memberikan
pengayoman kepada masyarakat;
c. bahwa salah satu upaya untuk menegakkan
keadilan, kebenaran, ketertiban, dan
kepastian hukum tersebut adalah melalui
Peradilan Agama sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman;
d. bahwa pengaturan tentang susunan,
kekuasaan, dan hukum acara pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama yang
53
selama ini masih beraneka karena didasarkan
pada :
1. Peraturan tentang Peradilan Agama di
Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun
1882 Nomor 152 dihubungkan dengan
Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan
610);
2. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan
Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian
Residensi Kalimantan Selatan dan Timur
(Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan
639);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1957 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama/ Mahkamah Syar'iyah di Luar
Jawa dan Madura (Lembaran Negara
Tahun 1957 Nomor 99).
perlu segera diakhiri demi terciptanya
kesatuan hukum yang mengatur Peradilan
Agama dalam kerangka sistem dan tata
hukum nasional berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
e. bahwa sehubungan dengan pertimbangan
tersebut, dan untuk melaksanakan Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman dipandang perlu menetapkan
undang-undang yang mengatur susunan,
kekuasaan, dan hukum acara pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama.
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) Pasal 24,
dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2951);
54
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara
Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3316).

Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN
AGAMA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian Pertama
Pengertian

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam.
2. Pengadilan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama di lingkungan Peradilan Agama.
3. Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Agama dan Hakim
pada Pengadilan Tinggi Agama.
4. Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai Pencatat Nikah
pada Kantor Urusan Agama.
5. Juru Sita dan atau Juru Sita Pengganti adalah Juru Sita dan
atau Juru Sita Pengganti pada Pengadilan Agama.

55
Bagian Kedua
Kedudukan

Pasal 2
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-
undang ini.

Pasal 3
(1) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama
dilaksanakan oleh :
a. Pengadilan Agama;
b. Pengadilan Tinggi Agama.
(2) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama
berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan
Negara Tertinggi.

Bagian Ketiga
Tempat Kedudukan

Pasal 4
(1) Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di
ibukota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah
kotamadya atau kabupaten.
(2) Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota propinsi,
dan daerah hukumnya meliputi wilayah Propinsi.

Bagian Keempat
Pembinaan

Pasal 5
(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan
Pengadilan dilakukan oleh Menteri Agama.

56
(3) Pembinaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara.

BAB II
SUSUNAN PENGADILAN

Bagian Pertama
Umum

Pasal 6
Pengadilan terdiri dari :
(1) Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat
Pertama;
(2) Pengadilan Tinggi Agama, yang merupakan Pengadilan
Tingkat Banding.

Pasal 7
Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden.

Pasal 8
Pengadilan Tinggi Agama dibentuk dengan Undang-undang.

Pasal 9
(1) Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim
Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita.
(2) Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan,
Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.

Pasal 10
(1) Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang Ketua dan
seorang Wakil Ketua.
(2) Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari seorang
Ketua dan seorang Wakil Ketua.
(3) Hakim Anggota Pengadilan Tinggi Agama adalah Hakim
Tinggi.

57
Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, dan Juru Sita

Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim

Pasal 11
(1) Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan
kehakiman.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta
pelaksanaan tugas Hakim ditetapkan dalam Undang-
undang ini.

Pasal 12
(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim
sebagai pegawai negeri dilakukan oleh Menteri Agama.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara.

Pasal 13
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan
Agama, seorang calon harus memenuhi syarat- syarat
sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945;
e. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai
Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya
atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun
tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi
G.30.S/PKI", atau organisasi terlarang yang lain;
f. pegawai negeri;
g. sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai
hukum Islam;
58
h. berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima)
tahun;
i. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua dan Wakil Ketua
Pengadilan Agama diperlukan pengalaman sekurang -
kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim Pengadilan
Agama.

Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan
Tinggi Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, dan i;
b. berumur serendah-rendahnya 40 (empat puluh) tahun;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun
sebagai Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Agama
atau 15 (lima belas) tahun sebagai Hakim Pengadilan
Agama.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi
Agama diperlukan pengalaman sekurang- kurangnya 10
(sepuluh) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Agama
atau sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun bagi Hakim
Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat Ketua
Pengadilan Agama.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan
Tinggi Agama diperlukan pengalaman sekurang- kurangnya
8 (delapan) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Agama
atau, sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun bagi Hakim
Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat Ketua
Pengadilan Agama.

Pasal 15
(1) Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku
kepala Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan
persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

59
(2) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri Agama berdasarkan persetujuan
Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 16
(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan
Hakim wajib mengucapkan sumpah menurut agama Islam
yang berbunyi sebagai berikut :
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung,
dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak
memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada
siapa pun juga".
"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga
suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai
dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945,
dan segala Undang-undang serta peraturan lain yang
berlaku bagi Negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan
menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan
dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku
dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik- baiknya dan
seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil
Ketua, Hakim Pengadilan yang berbudi baik dan jujur dalam
menegakkan hukum dan keadilan".
(2) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama diambil
sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Agama.
(3) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama serta
Ketua Pengadilan Agama diambil sumpahnya oleh Ketua
Pengadilan Tinggi Agama.
(4) Ketua Pengadilan Tinggi Agama diambil sumpahnya oleh
Ketua Mahkamah Agung.

60
Pasal 17
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-
undang, Hakim tidak boleh merangkap menjadi :
a. pelaksana putusan Pengadilan;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan
suatu perkara yang diperiksa olehnya;
c. pengusaha.
(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain
jabatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan
hormat dari jabatannya karena :
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi Ketua, Wakil
Ketua, dan Hakim Pengadilan Agama, dan 63 (enam
puluh tiga) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pengadilan Tinggi Agama;
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia
dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara.

Pasal 19
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan
hormat dari jabatannya dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana
kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam
menjalankan tugas pekerjaannya;
d. melanggar sumpah jabatan;
e. melanggar larangan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 17.
61
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan
alasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b
sampai dengan e dilakukan setelah yang bersangkutan
diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di
hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
(3) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan
Hakim serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua
Mahkamah Agung bersama-sama dengan Menteri Agama.

Pasal 20
Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya, tidak
dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri.

Pasal 21
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak
dengan hormat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
19 ayat (1), dapat diberhentikan sementara dari jabatannya
oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri
Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), berlaku juga
ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(2).

Pasal 22
(1) Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan
yang diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim
tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Apabila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan dalam
perkara pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21
ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, maka ia dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya.

62
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian
dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan
pemberhentian sementara serta hak-hak pejabat yang
dikenakan pemberhentian, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 24
(1) Kedudukan protokol Hakim diatur dengan Keputusan
Presiden.
(2) Tunjangan dan ketentuan-ketentuan lainnya bagi Ketua,
Wakil Ketua, dan Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 25
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan
hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan
Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama, kecuali dalam hal:
a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau
b. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana mati, atau
c. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap
keamanan negara.

Paragraf 2
Panitera

Pasal 26
(1) Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Kepaniteraan
yang dipimpin oleh seorang Panitera.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama
dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang
Panitera Muda, beberapa orang Panitera Pengganti, dan
beberapa orang Juru Sita.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Tinggi
Agama dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang
Panitera Muda, dan beberapa orang Panitera Pengganti.

63
Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari'ah atau
sarjana muda hukum yang menguasai hukum Islam;
f. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun
sebagai Wakil Panitera atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera
Muda Pengadilan Agama, atau menjabat Wakil Panitera
Pengadilan Tinggi Agama.

Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi
Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27
huruf a, b, c, dan d;
b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun
sebagai Wakil Panitera atau 8 (delapan) tahun sebagai
Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama, atau 4 (empat)
tahun sebagai Panitera Pengadilan Agama.

Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan
Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27
huruf a, b, c, d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun
sebagai Panitera Muda atau 6 (enam) tahun sebagai
Panitera Pengganti Pengadilan Agama.

64
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi
Agama, seorang calon harus memenuhi syarat- syarat sebagai
berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27
huruf a, b, c, dan d;
b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun
sebagai Panitera Muda atau 7 (tujuh) tahun sebagai
Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama, atau 4
(empat) tahun sebagai Wakil Panitera Pengadilan Agama,
atau menjabat Panitera Pengadilan Agama.

Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan
Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27
huruf a, b, c, d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai
Panitera Pengganti Pengadilan Agama.

Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi
Agama, seorang calon harus memenuhi syarat- syarat sebagai
berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27
huruf a, b, c, d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai
Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama, atau 4
(empat) tahun sebagai Panitera Muda atau 8 (delapan)
tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama, atau
menjabat Wakil Panitera Pengadilan Agama.

65
Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan
Agama, seorang calon harus memenuhi syarat- syarat sebagai
berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27
huruf a, b, c, d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai
pegawai negeri pada Pengadilan Agama.

Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan
Tinggi Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27
huruf a, b, c, d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai
Panitera Pengganti Pengadilan Agama atau 10 (sepuluh)
tahun sebagai pegawai negeri pada Pengadilan Tinggi
Agama.

Pasal 35
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-
undang, Panitera tidak boleh merangkap menjadi wali,
pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang
di dalamnya ia bertindak sebagai Panitera.
(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain
jabatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat dan ayat
(2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama berdasarkan
persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 36
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
Pengadilan diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh
Menteri Agama.

66
Pasal 37
Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera,
Panitera Muda, dan Panitera Pengganti diambil sumpahnya
menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan yang
bersangkutan.
Bunyi sumpah adalah sebagai berikut:

"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh


jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung dengan
menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan
atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga".

"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak


melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali- kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga
suatu janji atau pemberian".

"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan


mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar
dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala
undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara
Republik Indonesia".

"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan


jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak
membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam
melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya seperti layaknya bagi seorang Panitera, Wakil Panitera,
Panitera Muda, Panitera Pengganti yang berbudi baik dan jujur
dalam menegakkan hukum dan keadilan".

67
Paragraf 3
Juru Sita

Pasal 38
Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan
Juru Sita Pengganti.

Pasal 39
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita, seorang calon harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat
atas;
f. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun
sebagai Juru Sita Pengganti.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita Pengganti, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(1) huruf a, b, c, d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun
sebagai pegawai negeri pada Pengadilan Agama.

Pasal 40
(1) Juru Sita diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama
atas usul Ketua Pengadilan Agama.
(2) Juru Sita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua
Pengadilan Agama.

Pasal 41
Sebelum memangku jabatannya, Juru Sita dan Juru Sita
Pengganti diambil sumpahnya menurut agama Islam oleh Ketua
Pengadilan Agama.

68
Bunyi sumpah adalah sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh
jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan
atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga".
"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali- kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga
suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar
dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala
undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara
Republik Indonesia".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan
jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak
membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam
melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya seperti layaknya bagi seorang Juru Sita, Juru Sita
Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan
hukum dan keadilan".

Pasal 42
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-
undang, Juru Sita tidak boleh merangkap menjadi wali,
pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang
di dalamnya ia sendiri berkepentingan.
(2) Juru Sita tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Juru Sita selain
jabatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama berdasarkan
persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

69
Bagian Ketiga
Sekretaris

Pasal 43
Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Sekretariat yang
dipimpin oleh seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil
Sekretaris.

Pasal 44
Panitera Pengadilan merangkap Sekretaris Pengadilan.

Pasal 45
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan
Agama, seorang calon harus memenuhi syarat- syarat sebagai
berikut :
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari'ah, atau
sarjana muda hukum yang menguasai hukum Islam atau
sarjana muda administrasi;
f. berpengalaman di bidang administrasi peradilan.

Pasal 46
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan
Tinggi Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
45 huruf a, b, c, d, dan f;
b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam.

Pasal 47
Wakil Sekretaris Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Agama.

70
Pasal 48
Sebelum memangku jabatannya Wakil Sekretaris diambil
sumpahnya menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan yang
bersangkutan.
Bunyi sumpah adalah sebagai berikut :
"Demi Allah, saya bersumpah :
bahwa saya, untuk diangkat menjadi Wakil Sekretaris, akan setia
dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945, Negara dan Pemerintah;
bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan
yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian,
kesadaran, dan tanggung jawab;
bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan
negara, Pemerintah, dan martabat Wakil Sekretaris serta akan
senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada
kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;
bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut
sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan;
bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan
bersemangat untuk kepentingan negara".

BAB III
KEKUASAAN PENGADILAN

Pasal 49
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
:
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam;
c. wakaf dan shadaqah.

71
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau
berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang
berlaku.
(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan
bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut.

Pasal 50
Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan
lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa
tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum.

Pasal 51
(1) Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang
mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan
Agama dalam tingkat banding.
(2) Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang
mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa
kewenangan mengadili antar-Pengadilan Agama di daerah
hukumnya.

Pasal 52
(1) Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan,
dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi
pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta.
(2) Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 49 dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi
tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-
undang.

72
Pasal 53
(1) Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera,
Sekretaris, dan Juru Sita di daerah hukumnya.
(2) Selain tugas sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1),
Ketua Pengadilan Tinggi Agama di daerah hukumnya
melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di
tingkat Pengadilan Agama dan menjaga agar peradilan
diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Ketua Pengadilan
dapat memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan, yang
dipandang perlu.
(4) Pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
ayat (2), dan ayat (3), tidak boleh mengurangi kebebasan
Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

BAB IV
HUKUM ACARA

Bagian Pertama
Umum

Pasal 54
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku
pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali
yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.

Pasal 55
Tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai sesudah
diajukannya suatu permohonan atau gugatan dan pihak-pihak
yang berperkara telah dipanggil menurut ketentuan yang
berlaku.

73
Pasal 56
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa
dan memutusnya.
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak
menutup kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara
damai.

Pasal 57
(1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA.
(2) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA.
(3) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan.

Pasal 58
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang.
(2) Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha
sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan.

Pasal 59
(1) Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum,
kecuali apabila undang-undang menentukan lain atau jika
Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam
berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan
secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan
sidang tertutup.

74
(2) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1) mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta
penetapan atau putusannya batal menurut hukum.
(3) Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.

Pasal 60
Penetapan dan putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai
kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum.

Pasal 61
Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat
dimintakan banding oleh pihak yang berperkara, kecuali apabila
undang-undang menentukan lain.

Pasal 62
(1) Segala penetapan dan putusan Pengadilan, selain harus
memuat alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga harus
memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili.
(2) Tiap penetapan dan putusan Pengadilan ditandatangani oleh
Ketua dan Hakim-hakim yang memutus serta Panitera yang
ikut bersidang pada waktu penetapan dan putusan itu
diucapkan.
(3) Berita Acara tentang pemeriksaan ditandatangani oleh Ketua
dan Panitera yang bersidang.

Pasal 63
Atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama dapat
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang
berperkara.

Pasal 64
Penetapan dan putusan Pengadilan yang dimintakan banding
atau kasasi, pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali

75
apabila dalam amarnya menyatakan penetapan atau putusan
tersebut dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada
perlawanan, banding, atau kasasi.

Bagian Kedua
Pemeriksaan Sengketa Perkawinan

Paragaraf 1
Umum

Pasal 65
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Paragraf 2
Cerai Talak

Pasal 66
(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan
menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada
Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan
ikrar talak.
(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon
dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang
ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri,
permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di
luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka

76
dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta
Pusat.
(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah
istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-
sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar
talak diucapkan.

Pasal 67
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 di
atas memuat :
a. nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami,
dan termohon, yaitu istri;
b. alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.

Pasal 68
(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis
Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di
Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam
sidang tertutup.

Pasal 69
Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan-
ketentuan Pasal 79, Pasal 80 ayat (2), Pasal 82, dan Pasal 83.

Pasal 70
(1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak
tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan
perceraian, maka Pengadilan menetapkan bahwa
permohonan tersebut dikabulkan.
(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1), istri dapat mengajukan banding.
(3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum
tetap, Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar
talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk
menghadiri sidang tersebut.
77
(4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa
khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar
talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau
kuasanya.
(5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut,
tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim
wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan
ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya.
(6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak
ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang
menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun
telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka
gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak
dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.

Pasal 71
(1) Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang
ikrar talak.
(2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa
perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan
tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.

Pasal 72
Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
71 berlaku ketentuan-ketentuan dalam Pasal 84 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 85.

Paragraf 3
Cerai Gugat

Pasal 73
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan

78
sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin
tergugat.
(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri,
gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di
luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka
dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta
Pusat.

Pasal 74
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu
pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh
putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup
menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang berwenang
yang memutuskan perkara disertai keterangan yang
menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.

Pasal 75
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa
tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka Hakim
dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada
dokter.

Pasal 76
(1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq,
maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus
didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga
atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.
(2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang
sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat
seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak
ataupun orang lain untuk menjadi hakam.

79
Pasal 77
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan
penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan
bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat
mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu
rumah.

Pasal 78
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan
penggugat, Pengadilan dapat :
a. menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
pemeliharaan dan pendidikan anak;
c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama
suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami
atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Pasal 79
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal
sebelum adanya putusan Pengadilan.

Pasal 80
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis
Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di
Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang
tertutup.

Pasal 81
(1) Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat
hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap.

80
Pasal 82
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian,
Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak.
(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang
secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat
kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap
secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara
khusus dikuasakan untuk itu.
(3) Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri,
maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus
menghadap secara pribadi.
(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan
dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal 83
Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan
perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah
diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai.

Pasal 84
(1) Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk
berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa bermeterai
kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi
tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk
mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang
disediakan untuk itu.
(2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda
dengan wilayah Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan
dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai
dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat
perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat
Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan
perkawinan.
81
(3) Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu
helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) disampaikan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah
di tempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.
(4) Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat
bukti cerai kepada para pihak selambat- lambatnya 7 (tujuh)
hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.

Pasal 85
Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 84, menjadi tanggung jawab Panitera
yang bersangkutan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk,
apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas
suami atau istri atau keduanya.

Pasal 86
(1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri,
dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama
dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan
perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda
terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada
putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal
itu.

Paragraf 4
Cerai Dengan Alasan Zina

Pasal 87
(1) Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas
alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan
pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti
dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut,
dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan
itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya
82
peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari
pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau
tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh
pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk
meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama.

Pasal 88
(1) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
87 ayat (1) dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya
dapat dilaksanakan dengan cara lain.
(2) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
87 ayat (1) dilakukan oleh istri maka penyelesaiannya
dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku.

Bagian Ketiga
Biaya Perkara

Pasal 89
(1) Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada
penggugat atau pemohon.
(2) Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang
bukan merupakan penetapan atau putusan akhir akan
diperhitungkan dalam penetapan atau putusan akhir.

Pasal 90
(1) Biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89,
meliputi :
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan
untuk perkara itu;
b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan
biaya pengambilan sumpah yang diperlukan dalam
perkara itu;
c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan
setempat dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan
oleh Pengadilan dalam perkara itu;
83
d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas
perintah Pengadilan yang berkenaan dengan perkara
itu.
(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Menteri Agama dengan
persetujuan Mahkamah Agung.

Pasal 91
(1) Jumlah biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 90 harus dimuat dalam amar penetapan atau putusan
Pengadilan.
(2) Jumlah biaya yang dibebankan oleh Pengadilan kepada
salah satu pihak berperkara untuk dibayarkan kepada pihak
lawannya dalam perkara itu, harus dicantumkan juga dalam
amar penetapan atau putusan Pengadilan.

BAB V
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Pasal 92
Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para Hakim.

Pasal 93
Ketua Pengadilan membagikan semua berkas perkara dan atau
surat-surat lain yang berhubungan dengan perkara yang
diajukan ke Pengadilan kepada Majelis Hakim untuk
diselesaikan.

Pasal 94
Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diadili
berdasarkan nomor urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu
yang karena menyangkut kepentingan umum harus segera
diadili, maka perkara itu didahulukan.

84
Pasal 95
Ketua Pengadilan wajib mengawasi kesempurnaan pelaksanaan
penetapan atau putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.

Pasal 96
Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi
perkara dan mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan
Panitera Pengganti.

Pasal 97
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
bertugas membantu Hakim dengan menghadiri dan mencatat
jalannya sidang Pengadilan.

Pasal 98
Panitera bertugas melaksanakan penetapan atau putusan
Pengadilan.

Pasal 99
(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima
di Kepaniteraan.
(2) Dalam daftar perkara sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) tiap perkara diberi nomor urut dan dibubuhi catatan
singkat tentang isinya.

Pasal 100
Panitera membuat salinan atau turunan penetapan atau putusan
Pengadilan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 101
(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas
perkara, penetapan atau putusan, dokumen, akta, buku
daftar, biaya perkara, uang titipan pihak ketiga, surat-surat

85
berharga, barang bukti, dan surat-surat lain yang disimpan di
Kepaniteraan.
(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas
perkara tidak boleh dibawa keluar dari ruangan
Kepaniteraan, kecuali atas izin Ketua Pengadilan
berdasarkan ketentuan undang-undang.
(3) Tata cara pengeluaran surat asli, salinan atau turunan
penetapan atau putusan, risalah, berita acara, akta, dan
surat-surat lain diatur oleh Mahkamah Agung.

Pasal 102
Tugas dan tanggung jawab serta tata kerja Kepaniteraan
Pengadilan diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.

Pasal 103
(1) Juru Sita bertugas :
a. melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh
Ketua Sidang;
b. menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-
teguran, dan pemberitahuan penetapan atau putusan
Pengadilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan
undang-undang,
c. melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan;
d. membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya
diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
(1) Juru Sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum
Pengadilan yang bersangkutan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Juru Sita
diatur oleh Mahkamah Agung.

Pasal 105
(1) Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan
administrasi umum Pengadilan.
(2) Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata
kerja Sekretariat diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama.

86
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 106
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini :
1. semua Badan Peradilan Agama yang telah ada dinyatakan
sebagai Badan Peradilan Agama menurut Undang-undang
ini;
2. semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai
Peradilan Agama dinyatakan tetap berlaku selama
ketentuan baru berdasarkan Undang-undang ini belum
dikeluarkan, sepanjang peraturan itu tidak bertentangan
dengan Undang-undang ini.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 107
(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan
Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dan
Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan Nomor 610);
b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi
Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan
dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan
Nomor 639);
c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah
di luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun
1957 Nomor 99), dan
d. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
63 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019),
dinyatakan tidak berlaku.

87
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 236 a
Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB), Staatsblad
Tahun 1941 Nomor 44, mengenai permohonan pertolongan
pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-
orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 108
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 29 Desember 1989
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 29 Desember 1989
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


TAHUN 1989 NOMOR 49
Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT KABINET R.I


Kepala Biro Hukum Dan Perundang-undangan

Bambang Kesowo, SH, LLM

88
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG PERADILAN AGAMA

I. UMUM
1. Dalam Negara Hukum Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum
dalam sistem dan penyelenggaraan hukum merupakan hal
pokok yang sangat penting dalam usaha mewujudkan
suasana perikehidupan yang aman, tenteram, dan, tertib
seperti yang diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal-hal tersebut
dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas untuk
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna
menegakkan hukum dan keadilan dengan baik. Salah satu
lembaga untuk menegakkan hukum dalam mencapai
keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum
adalah badan-badan peradilan sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yang masing-masing mempunyai lingkup
kewenangan mengadili perkara atau sengketa di bidang
tertentu dan salah satunya adalah Badan Peradilan Agama.
a. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukum Badan Peradilan Agama sebelum Undang-
undang ini adalah:
b. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan
Madura (Staatsblad 1882 Nomor 152 dan Staatsblad
1937 Nomor 116 dan Nomor 610);
c. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi
Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan
dan Timur (Staatsblad 1937 Nomor 638 dan Nomor
639);
d. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah
89
di luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun
1957 Nomor 99).
Keragaman dasar hukum Peradilan Agama tersebut
mengakibatkan beragamnya pula susunan, kekuasaan, dan
hukum acara Peradilan Agama.
Dalam rangka penerapan Wawasan Nusantara di bidang
hukum yang merupakan pengejawantahan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka
keragaman tersebut perlu segera diakhiri demi terciptanya
kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama dalam
kerangka sistem dan tata hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan
biaya ringan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 diperlukan adanya
perombakan yang bersifat mendasar terhadap segala
peraturan perundang-undangan yang mengatur Badan
Peradilan Agama tersebut di atas dan menyesuaikannya
dengan Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang merupakan induk dan
kerangka umum serta merupakan asas dan pedoman bagi
semua lingkungan peradilan.
Dengan demikian, Undang-undang yang mengatur
Susunan, Kekuasaan, dan Hukum Acara Pengadilan dalam
Lingkungan Peradilan Agama ini merupakan pelaksanaan
ketentuan-ketentuan dan asas yang tercantum dalam
Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970, Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2951).
2. Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Agama,
dalam Undang-undang ini dilaksanakan oleh Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang berpuncak pada
Mahkamah Agung, sesuai dengan prinsip-prinsip yang
ditentukan oleh Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.

90
Dalam Undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan,
hukum acara, kedudukan para Hakim, dan segi-segi
administrasi lain pada Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama.
Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama
untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-
perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah
berdasarkan hukum Islam.
Bidang perkawinan yang dimaksud disini adalah hal-hal
yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).
Bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa
yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan,
penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan
pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut,
bilamana pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum
Islam.
Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum
berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum
apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan.
Dalam rangka mewujudkan keseragaman kekuasaan
Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama di seluruh
wilayah Nusantara, maka oleh Undang-undang ini
kewenangan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura serta
sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur
mengenai perkara kewarisan yang dicabut pada tahun 1937,
dikembalikan dan disamakan dengan kewenangan
Pengadilan Agama di daerah-daerah yang lain.
Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan tingkat
banding terhadap perkara-perkara yang diputus oleh
Pengadilan Agama dan merupakan Pengadilan tingkat
pertama dan terakhir mengenai sengketa mengadili antar-
Pengadilan Agama di daerah hukumnya.

91
3. Mengingat luasnya lingkup tugas dan beratnya beban yang
harus dilaksanakan oleh Pengadilan, maka perlu adanya
perhatian yang besar terhadap tata cara dan pengelolaan
administrasi Pengadilan. Hal ini sangat penting, karena
bukan saja menyangkut aspek ketertiban dalam
menyelenggarakan administrasi, baik di bidang perkara
maupun kepegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan kantor,
dan lain-lain, tetapi juga akan mempengaruhi kelancaran
penyelenggaraan Peradilan itu sendiri. Oleh karena itu,
penyelenggaraan administrasi Peradilan dalam Undang-
undang ini dibedakan menurut jenisnya dan dipisahkan
penanganannya, walaupun dalam rangka koordinasi
pertanggungjawaban tetap dibebankan kepada seorang
pejabat, yaitu Panitera yang merangkap sebagai Sekretaris.
Selaku Panitera, ia menangani administrasi perkara dan hal-
hal administrasi lain yang bersifat teknis peradilan (yustisial).
Dalam pelaksanaan tugas ini Panitera dibantu oleh seorang
Wakil Panitera dan beberapa orang Panitera Muda.
Selaku Sekretaris, ia menangani administrasi umum seperti
administrasi kepegawaian dan sebagainya. Dalam
pelaksanaan tugasnya ia dibantu oleh seorang Wakil
Sekretaris.
Dengan demikian, staf Kepaniteraan dapat memusatkan
perhatian terhadap tugas dan fungsinya membantu Hakim
dalam bidang peradilan, sedangkan tugas administrasi yang
lain dapat dilaksanakan oleh staf Sekretariat.
4. Hakim adalah unsur yang sangat penting dalam
penyelenggaraan peradilan. Oleh karena itu, maka syarat-
syarat pengangkatan dan pemberhentian serta tata cara
pengangkatan dan pemberhentiannya diatur dalam Undang-
undang ini.
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku
Kepala Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan
persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Agar Pengadilan sebagai penyelenggara Kekuasaan
Kehakiman bebas dalam memberikan keputusan, perlu

92
adanya jaminan bahwa, baik Pengadilan maupun Hakim
dalam melaksanakan tugas terlepas dari pengaruh
Pemerintah dan pengaruh yang lain.
Agar tugas penegakan hukum dan keadilan itu dapat
dilaksanakan oleh Pengadilan, maka dalam Undang-undang
ini dicantumkan persyaratan yang senantiasa harus
dipenuhi oleh seorang Hakim, seperti bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berwibawa, jujur, adil, dan
berkelakuan tidak tercela.
Untuk memperoleh hal tersebut di atas maka dalam setiap
pengangkatan, pemberhentian, mutasi, kenaikan pangkat,
tindakan atau hukuman administrasi terhadap Hakim
Pengadilan Agama perlu adanya kerjasama, konsultasi, dan
koordinasi antara Mahkamah Agung dan Departemen
Agama.
Agar para pejabat peradilan tidak mudah dipengaruhi baik
moril maupun materiil, maka perlu adanya pengaturan
tersendiri mengenai tunjangan dan ketentuan lain bagi para
pejabat peradilan, khususnya para Hakim; demikian pula
mengenai kepangkatan dan gajinya.
Untuk lebih mengukuhkan kehormatan dan kewibawaan
Hakim serta Pengadilan, maka perlu juga dijaga mutu
(keahlian) para Hakim dengan diadakannya syarat-syarat
tertentu untuk menjadi Hakim yang diatur dalam Undang-
undang ini.
Selain itu, diadakan juga larangan-larangan bagi para Hakim
untuk merangkap jabatan penasihat hukum, pelaksana
putusan pengadilan, wali, pengampu, dan setiap jabatan
yang bersangkutan dengan suatu perkara yang akan atau
sedang diadili olehnya.
Namun, belum cukup hanya dengan memerinci larangan-
larangan seperti tersebut di atas. Agar Peradilan dapat
berjalan dengan efektif, maka Pengadilan Tinggi Agama
diberi tugas pengawasan terhadap Pengadilan Agama di
dalam daerah hukumnya. Hal ini akan meningkatkan
koordinasi antar-Pengadilan Agama dalam daerah hukum

93
suatu Pengadilan Tinggi Agama, yang pasti akan
bermanfaat dalam kesatuan putusan yang dijatuhkan,
karena Pengadilan Tinggi Agama dalam melakukan
pengawasan tersebut dapat memberikan teguran,
peringatan, dan petunjuk. Kecuali itu, perbuatan dan
kegiatan Hakim secara langsung dapat diawasi sehingga
jalannya peradilan yang sederhana, cepat, dan dengan
biaya ringan akan terjamin.
Petunjuk-petunjuk yang menimbulkan sangkaan keras,
bahwa Hakim melakukan perbuatan tercela, melakukan
kejahatan dan kelalaian yang terus menerus dalam
menjalankan tugas pekerjaannya, dapat mengakibatkan
bahwa ia diberhentikan tidak dengan hormat oleh Presiden
selaku Kepala Negara setelah diberi kesempatan membela
diri.
Hal itu dicantumkan dengan tegas dalam Undang-undang
ini, mengingat luhur dan mulianya tugas Hakim, sedangkan
dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri, baginya
tetap berlaku ancaman- ancaman terhadap perbuatan
tercela sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980
Nomor 50).
5. Undang-undang ini selain mengatur susunan dan
kekuasaan juga mengatur Hukum Acara Peradilan Agama.
Bagaimanapun sempurnanya lembaga peradilan itu dengan
penataan susunan organisasinya dan penegasan
kekuasaannya, namun apabila alat untuk dapat
menegakkan dan mempertahankan kekuasaannya itu
belum jelas, maka lembaga peradilan tersebut tidak akan
dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik. Oleh
karena itu maka pengaturan Hukum Acara Peradilan Agama
itu sangat penting dan karenanya pula maka sekaligus diatur
dalam Undang-undang ini.
Hukum Acara Peradilan Agama selama ini masih terdapat
dalam berbagai peraturan dan surat edaran, baik dalam

94
Staatsblad, Peraturan Pemerintah, Surat Edaran Mahkamah
Agung dan Departemen Agama maupun dalam Undang-
undang Perkawinan dan segala peraturan pelaksanaannya.
Prinsip-prinsip pokok peradilan yang telah ditetapkan dalam
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, antara lain
ketentuan bahwa sidang pengadilan harus terbuka untuk
umum, setiap keputusan dimulai dengan DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA,
peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan dan ketentuan-ketentuan yang lain, dalam Undang-
undang ini lebih ditegaskan dan dicantumkan kembali.
Karena Peradilan Agama merupakan peradilan khusus
dengan kewenangan mengadili perkara- perkara tertentu
dan untuk golongan rakyat tertentu sebagaimana yang
ditegaskan dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu mengenai perkara
perdata tertentu antara orang-orang yang beragama Islam,
maka hukum acara perdata pada Peradilan Umum oleh
Undang-undang ini dinyatakan berlaku pada Pengadilan
dalam Lingkungan Peradilan Agama, kecuali mengenai hal-
hal yang secara khusus diatur oleh Undang-undang ini.
6. Peradilan Agama adalah salah satu dari empat lingkungan
peradilan negara yang dijamin kemerdekaannya dalam
menjalankan tugasnya sebagaimana yang diatur dalam
Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Peradilan Agama yang kewenangannya mengadili perkara-
perkara tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu,
yaitu mereka yang beragama Islam, sejajar dengan
peradilan yang lain. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat
mengurangi kedudukan Peradilan Agama oleh Undang-
undang ini dihapus, seperti pengukuhan keputusan
Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri. Sebaliknya
untuk memantapkan kemandirian Peradilan Agama oleh
Undang-undang ini diadakan Juru Sita, sehingga
Pengadilan Agama dapat melaksanakan keputusannya

95
sendiri, dan tugas-tugas kepaniteraan dan kesekretariatan
tidak terganggu oleh tugas-tugas kejurusitaan.
7. Di samping itu perkara-perkara di bidang perkawinan
merupakan sengketa keluarga yang memerlukan
penanganan secara khusus sesuai dengan amanat Undang-
undang Perkawinan. Oleh karena itu, maka dalam Undang-
undang ini diatur secara khusus hal-hal yang berkenaan
dengan sengketa perkawinan tersebut dan sekaligus untuk
meningkatkan pengaturan hukum acara sengketa
perkawinan yang sampai saat diundangkannya Undang-
undang ini masih diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975.
Undang-undang Perkawinan bertujuan antara lain
melindungi kaum wanita pada umumnya dan pihak istri pada
khususnya, namun dalam hal gugatan perceraian yang
diajukan oleh istri, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 menentukan bahwa gugatan harus diajukan ke
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tergugat sesuai dengan prinsip hukum acara
perdata umum.
Untuk melindungi pihak istri, maka gugatan perceraian
dalam Undang-undang ini diadakan perubahan, tidak
diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman tergugat tetapi ke Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.

I. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas

96
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama
ada di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, yang
daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau
kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya
pengecualian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Usul pembentukan Pengadilan Agama diajukan oleh
Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua
Mahkamah Agung
Pasal 8
Cukup jelas

97
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Hakim adalah pegawai negeri sehingga baginya berlaku
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Kepegawaian. Oleh karena itu, Menteri Agama
wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
Hakim dalam rangka mencapai daya guna dan hasil guna
sebagaimana lazimnya bagi pegawai negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas

98
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

99
Pasal 18
Ayat (1)
Pemberhentian dengan hormat Hakim atas permintaan
sendiri, mencakup pengertian pengunduran diri dengan
alasan Hakim yang bersangkutan tidak berhasil
menegakkan hukum dalam lingkungan rumah tangganya
sendiri. Pada hakikatnya situasi, kondisi, suasana, dan
keteraturan hidup di rumah tangga setiap Hakim
Pengadilan merupakan salah satu faktor yang penting
peranannya dalam usaha membantu meningkatkan citra
dan wibawa seorang Hakim itu sendiri.
Yang dimaksud dengan "sakit jasmani atau rohani terus
menerus" ialah yang menyebabkan sipenderita ternyata
tidak mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan
baik.
Yang dimaksud "tidak cakap" ialah misalnya yang
bersangkutan banyak melakukan kesalahan besar dalam
menjalankan tugasnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dipidana" ialah dipidana dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela"
ialah apabila Hakim yang bersangkutan karena sikap,
perbuatan, dan tindakannya, baik di dalam maupun di
luar Pengadilan merendahkan martabat Hakim.
Yang dimaksud dengan "tugas pekerjaan" ialah semua
tugas yang dibebankan kepada yang bersangkutan.
Ayat (2)
Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan
alasan dipidana karena melakukan tindak pidana
kejahatan, yang bersangkutan tidak diberi kesempatan
untuk membela diri, kecuali apabila pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya itu kurang dari 3 (tiga) bulan.

100
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Seorang Hakim tidak boleh diberhentikan dari
kedudukannya sebagai pegawai negeri sebelum
diberhentikan dari jabatannya sebagai Hakim.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
kepegawaian, Hakim bukan jabatan dalam eksekutif.
Oleh sebab itu, pemberhentiannya harus tidak sama
dengan pegawai negeri yang lain.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam perkara
pidana adalah Pengadilan Negeri dan/atau Pengadilan
Militer.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pangkat dan gaji Hakim diatur tersendiri berdasarkan
peraturan yang berlaku.

101
Yang dimaksud dengan ketentuan lain adalah hal-hal
yang antara lain menyangkut kesejahteraan seperti
rumah dinas, dan kendaraan dinas.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d pasal
ini, yaitu setia kepada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, harus diartikan mencakup juga syarat
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf e Undang-undang ini.
Yang dimaksud dengan "sarjana muda syari'ah atau
sarjana muda, hukum" termasuk mereka yang telah
mencapai tingkat pendidikan hukum sederajat dengan
sarjana muda syari'ah atau sarjana muda hukum, dan
dianggap cakap untuk jabatan itu.
Masa pengalaman disesuaikan dengan eselon, pangkat,
dan syarat-syarat lain yang berkaitan. Alih jabatan dari
Pengadilan Tinggi Agama ke Pengadilan Agama atau
sebaliknya dimungkinkan dalam eselon yang sama.
Pasal 28
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf
d sama dengan Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.

102
Pasal 29
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf
d sama dengan Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 30
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf
d sama dengan Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 31
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf
d sama dengan Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 32
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf
d sama dengan Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 33
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf
d sama dengan Penjelasan Pasal 27 alinea. pertama.
Pasal 34
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf
d sama dengan Penjelasan Pasal 27 alinea pertama.
Pasal 35
Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1),
(2), dan (3) berlaku juga bagi Wakil Panitera, Panitera
Muda, dan Panitera Pengganti.
Pasal 36
Pengangkatan atau pemberhentian Panitera, Wakil
Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti dapat
juga dilakukan berdasarkan usul Ketua Pengadilan yang
bersangkutan.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
103
Pasal 39
Ayat (1)
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d ayat
ini, yaitu setia kepada Pancasila dan Undang- undang
Dasar 1945, harus diartikan mencakup juga syarat
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf e Undang-undang ini.
Ayat (2)
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf
d sama dengan penjelasan ayat (1).
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1),
(2), dan (3) berlaku juga bagi Juru Sita Pengganti.
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d Pasal
ini, yaitu setia kepada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, harus diartikan mencakup juga syarat
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf e Undang-undang ini.
104
Pasal 46
Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam butir a huruf
d sama dengan Penjelasan Pasal 45.
Pasal 47
Pengangkatan atau pemberhentian Wakil Sekretaris
Pengadilan dapat juga dilakukan berdasarkan usul Ketua
Pengadilan.
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan antara lain adalah:
1. izin beristri lebih dari seorang
2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang
belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal
orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus
ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat
Nikah;
6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10. penyelesaian harta bersama;
11. mengenai penguasaan anak-anak;

105
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya
bertanggung jawab tidak memenuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan
oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu
kewajiban bagi bekas isteri.
14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan
dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18. menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang
belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang
ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada
penunjukan wali oleh orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali
yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda
anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal usul seorang anak;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian
keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi
sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan dijalankan menurut
peraturan yang lain.

Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 50
Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa
dimaksud tidak berarti menghentikan proses peradilan di
Pengadilan Agama atas objek yang tidak menjadi
sengketa itu.
Pasal 51
Ayat (1)

106
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Pemberian keterangan, pertimbangan, dan nasihat
tentang hukum Islam dikecualikan dalam hal-hal yang
berhubungan dengan perkara yang sedang atau akan
diperiksa di Pengadilan.
Ayat (2)
Yang dimaksud "oleh Undang-undang" adalah ditetapkan
atau diatur dalam undang-undang tersendiri, sedangkan
yang dimaksud "berdasarkan undang-undang" adalah
ditetapkan atau diatur dalam Peraturan Pemerintah
berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "seksama dan sewajarnya" ialah
antara lain bahwa penyelenggaraan peradilan harus
dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970, yaitu yang dilakukan dengan
sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas

107
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penetapan dan putusan dalam
ayat ini adalah penetapan dan putusan Pengadilan
Agama, Pengadilan Tinggi Agama, dan Mahkamah
Agung.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Alasan penting yang dijadikan dasar oleh Hakim untuk
memerintahkan pemeriksaan sidang tertutup harus
dicatat dalam Berita Acara Sidang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 60

108
Yang dimaksud dengan penetapan adalah keputusan
Pengadilan atas perkara permohonan, sedangkan
putusan adalah keputusan Pengadilan atas perkara
gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
109
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas

110
Pasal 73
Ayat (1)
Berbeda dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 66 ayat (2), maka untuk melindungi pihak
istri gugatan perceraian diajukan ke Pengadilan Agama
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Ayat (1)
Syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus
menerus antara suami dan istri.
Ayat (2)
Hakam ialah orang yang ditetapkan Pengadilan dari
pihak keluarga suami atau pihak keluarga istri atau pihak
lain untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan
terhadap syiqaq.
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Ayat (1)

111
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 82
Ayat (1)
Selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan
dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada
semua tingkat peradilan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 85
Atas kelalaiannya itu, Panitera atau Pejabat Pengadilan
yang ditunjuk dapat dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
112
Pasal 86
Ayat (1)
Hal tersebut adalah demi tercapainya prinsip bahwa
peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 88
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 91

113
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Yang berwenang menentukan bahwa suatu perkara
menyangkut kepentingan umum adalah Ketua
Pengadilan.
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Berdasarkan catatan Panitera, disusun berita acara
persidangan.
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)

114
dimaksud dengan "dibawa keluar" meliputi segala bentuk
dan cara apa pun juga yang memindahkan isi daftar
catatan, risalah, agar tidak jatuh ketangan pihak yang
tidak berhak.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 104
Cukup jelas
Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 108
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 3316

115
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 3 TAHUN 2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG PERADILAN AGAMA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia


merupakan negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan
untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa,
negara, dan masyarakat yang tertib, bersih,
makmur, dan berkeadilan;
b. bahwa Peradilan Agama merupakan
lingkungan peradilan di bawah Mahkamah
Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman
yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan;
c. bahwa Peradilan Agama sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan
116
menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
Mengingat: 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4359);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3400);
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4338).

Dengan Persetujuan Bersama:


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

117
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN
1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

Pasal 1
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3400) diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 2
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini.
2. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan pasal baru yakni
Pasal 3A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3A
Di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan
pengkhususan pengadilan yang diatur dengan Undang-
Undang.”
3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 4
(1) Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota
kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah
kabupaten/kota.
(2) Pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibu kota
provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah
provinsi.”

118
4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut :

Pasal 5
(1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi,
dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa
dan memutus perkara.
5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut :

Pasal 11
(1) Hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan
tugas kekuasaan kehakiman.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian,
serta pelaksanaan tugas hakim ditetapkan dalam
Undang-Undang ini.
6. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut :

Pasal 12
(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim
dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung.
(2) Pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.
7. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 13
(1) Untuk dapat diangkat sebagai calon hakim pengadilan
agama, seseorang harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. warga negara Indonesia;
119
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. sarjana syariah dan/atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak
tercela; dan
h. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai
Komunis Indonesia termasuk organisasi
massanya, atau bukan orang yang terlibat
langsung dalam Gerakan 30 September/Partai
Komunis Indonesia.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi hakim harus pegawai
negeri yang berasal dari calon hakim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan berumur paling rendah 25
(dua puluh lima) tahun.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil ketua
pengadilan agama harus berpengalaman paling
singkat 10 (sepuluh) tahun sebagai hakim pengadilan
agama.
8. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan tinggi
agama, seorang hakim harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,
huruf g, dan huruf h;
b. berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun;
c. pengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai
ketua, wakil ketua, pengadilan agama, atau 15
(lima belas) tahun sebagai hakim pengadilan
agama; dan

120
d. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua pengadilan tinggi
agama harus berpengalaman paling singkat 5 (lima)
tahun sebagai hakim pengadilan tinggi agama atau 3
(tiga) tahun bagi hakim pengadilan tinggi agama yang
pernah menjabat ketua pengadilan agama.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi wakil ketua pengadilan
tinggi agama harus berpengalaman paling singkat 4
(empat) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi agama
atau 2 (dua) tahun bagi hakim pengadilan tinggi agama
yang pernah menjabat ketua pengadilan agama.”
9. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 15
(1) Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(2) Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan
diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
10. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 16
(1) Sebelum memangku jabatannya, ketua, wakil ketua,
dan hakim pengadilan wajib mengucapkan sumpah
menurut agama Islam.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berbunyi sebagai berikut
"Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan
memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
menjalankan segala peraturan perundang-undangan
dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
berbakti kepada nusa dan bangsa".

121
(3) Wakil ketua dan hakim pengadilan agama
mengucapkan sumpah di hadapan ketua pengadilan
agama.
(4) Wakil ketua dan hakim pengadilan tinggi agama serta
ketua pengadilan agama mengucapkan sumpah di
hadapan ketua pengadilan tinggi agama.
(5) Ketua pengadilan tinggi agama mengucapkan sumpah
di hadapan Ketua Mahkamah Agung.
11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 17
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-
undang, hakim tidak boleh merangkap menjadi:
a. pelaksana putusan pengadilan;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan
dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya;
atau
c. pengusaha.
(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi advokat.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh hakim selain
jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut :

Pasal 18
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi
ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan agama,
dan 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil
ketua, dan hakim pengadilan tinggi agama; atau
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.

122
(2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang
meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan
dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden.”
13. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 19
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim diberhentikan tidak
dengan hormat dari jabatannya dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak
pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam
menjalankan tugas pekerjaannya;
d. melanggar sumpah jabatan; atau
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud
dalam.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat
dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan setelah
yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya
untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan
Hakim.
(3) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata
kerja Majelis Kehormatan Hakim, serta tata cara
pembelaan diri diatur lebih lanjut oleh Ketua Mahkamah
Agung.
14. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 20
Seorang hakim yang diberhentikan dari jabatannya dengan
sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri.
15. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

123
Pasal 21
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum
diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dapat diberhentikan
sementara dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah
Agung.
(2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku juga ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
16. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 25
Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan dapat ditangkap
atau ditahan atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat
persetujuan Ketua Mahkamah Agung, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan;
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan
yang diancam dengan pidana mati; atau
c. disangka telah melakukan kejahatan terhadap
keamanan negara.
17. Ketentuan Pasal 2, 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan agama,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana syari'ah atau
sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;

124
f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai
wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda
pengadilan agama, atau menjabat wakil panitera
pengadilan tinggi agama; dan
g. sehat jasmani dan rohani.
18. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan tinggi
agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf g;
b. berijazah serendah-rendahnya sarjana syari'ah atau
sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
c. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai
wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda
pengadilan tinggi agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai
panitera pengadilan agama.
19. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan
agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf
a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai
panitera muda atau 4 (empat) tahun sebagai panitera
pengganti pengadilan agama.
20. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

125
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan
tinggi agama, seorang calon harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf
a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf g;
b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam; dan
c. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai
panitera muda pengadilan tinggi agama, 5 (lima) tahun
sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, atau
3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera pengadilan
agama, atau menjabat sebagai panitera pengadilan
agama.
21. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan
agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf
a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai
panitera pengganti pengadilan agama.
22. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan
tinggi agama, seorang calon harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf
a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai
panitera pengganti pengadilan tinggi agama, 3 (tiga)
tahun sebagai panitera muda, 5 (lima) tahun sebagai
126
panitera pengganti pengadilan agama, atau menjabat
sebagai wakil panitera pengadilan agama.
23. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti
pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 27
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g;
dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun. Sebagai
pegawai negeri pada pengadilan agama.
24. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti
pengadilan tinggi agama, seorang calon harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud Pasal 27 huruf a, huruf
b, huruf c, huruf e, dan huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai
panitera pengganti pengadilan agama atau 8
(delapan) tahun sebagai pegawai negeri pada
pengadilan tinggi agama.
25. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 35
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-
undang, panitera tidak boleh merangkap menjadi wali,
pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara
yang di dalamnya ia bertindak sebagai Panitera.
(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi advokat.

127
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh panitera selain
jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
26. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 36
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera
pengganti pengadilan diangkat dan diberhentikan dari
jabatannya oleh Mahkamah Agung.

27. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 37
(1) Sebelum memangku jabatannya, panitera, wakil
panitera, panitera. muda, dan panitera pengganti
mengucapkan sumpah menurut agama Islam dihadapan
ketua pengadilan yang bersangkutan.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi
sebagai berikut :
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak
langsung dengan menggunakan atau cara apa pun juga,
tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu
kepada siapapun juga."
"Saya bersumpah untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun
juga sesuatu janji atau pemberian.
"Saya bersumpah bahwa saya, akan setia kepada dan
akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
segala undang-undang serta peraturan perundang-
undangan lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan
Republik Indonesia".

128
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan
menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan
dengan tidak . membeda-bedakan orang dan akan
berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang
panitera, wakil panitera, panitera muda, panitera
pengganti, yang berbudi baik dan jujur dalam
menegakkan hukum dan keadilan”."
28. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 39
(1) Untuk dapat diangkat menjadi jurusita, seorang calon
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. berijazah paling rendah Sekolah Menengah Umum
atau yang sederajat;
f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai
jurusita pengganti; dan
g. sehat jasmani dan rohani.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi jurusita pengganti,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g,
dan;
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai
pegawai negeri pada pengadilan agama.”
29. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

129
Pasal 40
(1) Jurusita pengadilan agama diangkat dan diberhentikan
oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua
pengadilan yang bersangkutan.
(2) Jurusita pengganti diangkat dan diberhentikan oleh
ketua pengadilan yang bersangkutan.
30. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 41
(1) Sebelum memangku jabatannya, jurusita. atau jurusita
pengganti wajib mengucapkan sumpah menurut agama
Islam di hadapan ketua pengadilan yang bersangkutan.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi
sebagai berikut :
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak
langsung dengan menggunakan nama atau cara apa
pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang
sesuatu kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali
akan menerima langsung atau tidak langsung dari
siapapun juga sesuatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya, akan setia kepada dan
akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
segala undang-undang serta peraturan perundang-
undangan lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan
Republik Indonesia".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan
menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama,
dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan
berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi

130
seorang juru sita atau juru sita pengganti yang berbudi
baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".”
31. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 42
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-
undang, jurusita tidak boleh merangkap menjadi wali,
pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara
yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan.
(2) Jurusita tidak boleh merangkap advokat.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh jurusita selain
jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
32. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 44
Panitera pengadilan tidak merangkap sekretaris pengadilan.
33. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 45
Untuk dapat diangkat menjadi sekretaris, wakil sekretaris
pengadilan agama, dan pengadilan tinggi agama seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. berijazah paling rendah sarjana syari'ah atau sarjana
hukum yang menguasai hukum Islam;
f. berpengalaman di bidang administrasi peradilan; dan
g. sehat jasmani dan rohani.
34. Ketentuan Pasal 46 dihapus.

131
35. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 47
Sekretaris dan wakil sekretaris pengadilan diangkat dan
diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
36. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 48
(1) Sebelum memangku jabatannya, sekretaris, dan wakil
sekretaris mengucapkan sumpah menurut agama Islam
di hadapan ketua pengadilan yang bersangkutan.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi
sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk
diangkat menjadi sekretaris/wakil sekretaris akan setia
dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara,
dan pemerintah.
"Saya bersumpah bahwa saya, akan menaati peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan
tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya
dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung
jawab".
"Saya bersumpah bahwa saya, akan senantiasa
menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah,
martabat sekretaris/wakil sekretaris serta akan
senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada
kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan".
"Saya bersumpah bahwa saya, akan memegang rahasia
. sesuatu yang menurut sifatnya atau perintah harus saya
rahasiakan".
"Saya bersumpah bahwa saya, akan bekerja dengan
jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan
negara".”

132
37. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 49
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. warta;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.
38. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 50
(1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain
dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49,
khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus
lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.
(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara
orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa
tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
39. Di antara Pasal 52 dan Pasal 53 disisipkan satu pasal baru
yakni Pasal 52A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 52A
Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal
dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah.

133
40. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 90
(1) Biaya perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89,
meliputi:
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang
diperlukan untuk perkara tersebut;
b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan
biaya pengambilan sumpah yang diperlukan dalam
perkara tersebut;
c. biaya yang diperlukan untuk melakukan
pemeriksaan setempat dan tindakan- tindakan lain
yang diperlukan pengadilan dalam perkara tersebut;
dan
d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain
atas perintah pengadilan yang berkenaan dengan
perkara tersebut.
(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Mahkamah Agung.
41. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 105
(1) Sekretaris pengadilan bertugas menyelenggarakan
administrasi umum pengadilan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab,
susunan organisasi, dan tata kerja sekretariat diatur oleh
Mahkamah Agung.
42. Di antara Pasal 106 dan BAB VII disisipkan satu pasal baru
yakni Pasal 106A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 106A
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku peraturan
perundang-undangan pelaksana Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
berdasarkan Undang-Undang ini.
134
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan Di Jakarta, Pada Tanggal 20 Maret 2006

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 20 Maret 2006


MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006


NOMOR 22

135
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23
TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan tertib


administrasi kependudukan secara nasional,
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 pada hakikatnya berkewajiban
memberikan perlindungan dan pengakuan
terhadap penentuan status pribadi dan status
hukum atas setiap Peristiwa Kependudukan
dan Peristiwa Penting yang dialami oleh
Penduduk dan/atau Warga Negara Indonesia
yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. bahwa dalam rangka peningkatan pelayanan
Administrasi Kependudukan sejalan dengan
tuntutan pelayanan Administrasi
Kependudukan yang profesional, memenuhi
standar teknologi informasi, dinamis, tertib,
dan tidak diskriminatif dalam pencapaian
standar pelayanan minimal menuju pelayanan
prima yang menyeluruh untuk mengatasi
136
permasalahan kependudukan, perlu
dilakukan penyesuaian terhadap beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan;
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 26 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4674);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG - UNDANG TENTANG PERUBAHAN


ATAS UNDANG - UNDANG NOMOR 23 TAHUN
2006 TENTANG ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674) diubah
sebagai berikut:

137
1. Ketentuan angka 14, angka 20, dan angka 24 Pasal 1
diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan
penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan
Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk,
Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi
Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk
pelayanan publik dan pembangunan sektor lain.
2. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang
Asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
3. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-undang sebagai Warga
Negara Indonesia.
4. Orang Asing adalah orang bukan Warga Negara
Indonesia.
5. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam
urusan pemerintahan dalam negeri.
6. Penyelenggara adalah Pemerintah, pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab
dan berwenang dalam urusan Administrasi
Kependudukan.
7. Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah
kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang
melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi
Kependudukan.
8. Dokumen Kependudukan adalah dokumen resmi yang
diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang mempunyai
kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang
dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil.
9. Data Kependudukan adalah data perseorangan dan/atau
data agregat yang terstruktur sebagai hasil dari kegiatan
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

138
10. Pendaftaran Penduduk adalah pencatatan biodata
Penduduk, pencatatan atas pelaporan Peristiwa
Kependudukan dan pendataan Penduduk rentan
Administrasi Kependudukan serta penerbitan Dokumen
Kependudukan berupa kartu identitas atau surat
keterangan kependudukan.
11. Peristiwa Kependudukan adalah kejadian yang dialami
Penduduk yang harus dilaporkan karena membawa
akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu
Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan/atau surat
keterangan kependudukan lainnya meliputi pindah
datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas
menjadi tinggal tetap.
12. Nomor Induk Kependudukan, selanjutnya disingkat NIK,
adalah nomor identitas Penduduk yang bersifat unik atau
khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang
terdaftar sebagai Penduduk Indonesia.
13. Kartu Keluarga, selanjutnya disingkat KK, adalah kartu
identitas keluarga yang memuat data tentang nama,
susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas
anggota keluarga.
14. Kartu Tanda Penduduk Elektronik, selanjutnya disingkat
KTP-el, adalah Kartu Tanda Penduduk yang dilengkapi
cip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai
bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana.
15. Pencatatan Sipil adalah pencatatan Peristiwa Penting
yang dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan
Sipil pada Instansi Pelaksana.
16. Pejabat Pencatatan Sipil adalah pejabat yang melakukan
pencatatan Peristiwa Penting yang dialami seseorang
pada Instansi Pelaksana yang pengangkatannya sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
17. Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh
seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati,
perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan
anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan
perubahan status kewarganegaraan.

139
18. Izin Tinggal Terbatas adalah izin tinggal yang diberikan
kepada Orang Asing untuk tinggal di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu yang
terbatas sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
19. Izin Tinggal Tetap adalah izin tinggal yang diberikan
kepada Orang Asing untuk tinggal menetap di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
20. Petugas Registrasi adalah pegawai yang diberi tugas dan
tanggung jawab memberikan pelayanan pelaporan
Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting serta
pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan di
desa/kelurahan atau nama lainnya.
21. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan,
selanjutnya disingkat SIAK, adalah sistem informasi yang
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk
memfasilitasi pengelolaan informasi administrasi
kependudukan di tingkat Penyelenggara dan Instansi
Pelaksana sebagai satu kesatuan.
22. Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang
disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi
kerahasiaannya.
23. Kantor Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya disingkat
KUAKec, adalah satuan kerja yang melaksanakan
pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk pada tingkat
kecamatan bagi Penduduk yang beragama Islam.
24. Unit Pelaksana Teknis Instansi Pelaksana, selanjutnya
disebut UPT Instansi Pelaksana, adalah satuan kerja di
tingkat kecamatan yang bertanggung jawab kepada
Instansi Pelaksana.
2. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 5
Pemerintah melalui Menteri berwenang menyelenggarakan
Administrasi Kependudukan secara nasional, meliputi:

140
a. koordinasi antarinstansi dan antardaerah;
b. penetapan sistem, pedoman, dan standar;
c. fasilitasi dan sosialisasi;
d. pembinaan, pembimbingan, supervisi, pemantaua,
evaluasi dan konsultasi.
e. pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan
berskala nasional;
f. menyediakan blangko KTP-el bagi kabupaten/kota;
g. menyediakan blangko dokumen kependudukan selain
blangko KTP-el melalui Instansi Pelaksana; dan
h. pengawasan.
3. Ketentuan huruf d Pasal 6 diubah, sehingga Pasal 6 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 6
Pemerintah provinsi berkewajiban dan bertanggung jawab
menyelenggarakan urusan Administrasi Kependudukan,
yang dilakukan oleh gubernur dengan kewenangan meliputi:
a. koordinasi penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan;
b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi
pelaksanaan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan
Sipil;
c. pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan;
d. penyajian Data Kependudukan berskala provinsi
berasal dari Data Kependudukan yang telah
dikonsolidasikan dan dibersihkan oleh Kementerian
yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan
dalam negeri; dan
e. koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan.
4. Ketentuan ayat (1) huruf g Pasal 7 diubah, sehingga Pasal 7
berbunyi sebagai berikut:

141
Pasal 7
(1) Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban dan
bertanggung jawab menyelenggarakan urusan
Administrasi Kependudukan, yang dilakukan oleh
bupati/walikota dengan kewenangan meliputi:
a. koordinasi penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan;
b. pembentukan Instansi Pelaksana yang tugas dan
fungsinya di bidang Administrasi Kependudukan;
c. pengaturan teknis penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan;
d. pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan;
e. pelaksanaan kegiatan pelayanan masyarakat di
bidang Administrasi Kependudukan;
f. penugasan kepada desa untuk
menyelenggarakan sebagian urusan Administrasi
Kependudukan berdasarkan asas tugas
pembantuan;
g. penyajian Data Kependudukan berskala
kabupaten/kota berasal dari Data Kependudukan
yang telah dikonsolidasikan dan dibersihkan oleh
Kementerian yang bertanggung jawab dalam
urusan pemerintahan dalam negeri; dan
h. koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dilaksanakan
oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
5. Ketentuan ayat (1) huruf c dan ayat (5) Pasal 8 diubah,
sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8
(1) Instansi Pelaksana melaksanakan urusan Administrasi
Kependudukan dengan kewajiban yang meliputi:

142
a. mendaftar Peristiwa Kependudukan dan mencatat
Peristiwa Penting;
b. memberikan pelayanan yang sama dan profesional
kepada setiap Penduduk atas pelaporan Peristiwa
Kependudukan dan Peristiwa Penting;
c. mencetak, menerbitkan, dan
mendistribusikan Dokumen Kependudukan;
d. mendokumentasikan hasil Pendaftaran Penduduk
dan Pencatatan Sipil;
e. menjamin kerahasiaan dan keamanan data atas
Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting; dan
f. melakukan verifikasi dan validasi data dan informasi
yang disampaikan oleh Penduduk dalam pelayanan
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a untuk pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk bagi
Penduduk yang beragama Islam pada tingkat
kecamatan dilakukan oleh pegawai pencatat pada
KUAKec.
(3) Pelayanan Pencatatan Sipil pada tingkat kecamatan
dilakukan oleh UPT Instansi Pelaksana dengan
kewenangan menerbitkan Akta Pencatatan Sipil.
(4) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
persyaratan dan tata cara Pencatatan Peristiwa Penting
bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai
agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan atau bagi penghayat kepercayaan
berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai UPT Instansi
Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
prioritas pembentukannya diatur dengan Peraturan
Menteri.
6. Ketentuan ayat (2) Pasal 12 diubah, sehingga Pasal 12
berbunyi sebagai berikut :

143
Pasal 12
(1) Petugas Registrasi membantu kepala desa atau lurah
dan Instansi Pelaksana dalam Pendaftaran Penduduk
dan Pencatatan Sipil.
(2) Petugas Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diangkat dan diberhentikan oleh bupati/walikota
diutamakan dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi
persyaratan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman
pengangkatan dan pemberhentian serta tugas pokok
Petugas Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Menteri.
7. Ketentuan ayat (1) Pasal 27 diubah, sehingga Pasal 27
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27
(1) Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk
kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 60
(enam puluh) hari sejak kelahiran.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada
Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta
Kelahiran.
8. Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 32 diubah dan ayat (2)
dihapus, sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32
(1) Pelaporan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (1) yang melampaui batas waktu 60
(enam puluh) hari sejak tanggal kelahiran, pencatatan
dan penerbitan Akta Kelahiran dilaksanakan setelah
mendapatkan keputusan Kepala Instansi Pelaksana
setempat.
(2) Dihapus.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara pencatatan kelahiran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
144
9. Ketentuan ayat (1) Pasal 44 diubah, sehingga Pasal 44
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44
(1) Setiap kematian wajib dilaporkan oleh ketua rukun
tetangga atau nama lainnya di domisili Penduduk
kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak tanggal kematian.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada
Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan Akta
Kematian.
(3) Pencatatan kematian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan berdasarkan keterangan kematian
dari pihak yang berwenang.
(4) Dalam hal terjadi ketidakjelasan keberadaan
seseorang karena hilang atau mati tetapi tidak
ditemukan jenazahnya, pencatatan oleh Pejabat
Pencatatan Sipil baru dilakukan setelah adanya
penetapan pengadilan.
(5) Dalam hal terjadi kematian seseorang yang tidak jelas
identitasnya, Instansi Pelaksana melakukan
pencatatan kematian berdasarkan keterangan dari
kepolisian.
10. Ketentuan ayat (2) Pasal 49 diubah, sehingga Pasal 49
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49
(1) Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada
Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal surat pengakuan anak oleh ayah dan
disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan.
(2) Pengakuan anak hanya berlaku bagi anak yang orang
tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut
hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum
negara.

145
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada
register akta pengakuan anak dan menerbitkan
kutipan akta pengakuan anak.
11. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 50 diubah dan
penjelasan ayat (1) Pasal 50 diubah, sehingga Pasal 50
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50
(1) Setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang
tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak yang
bersangkutan melakukan perkawinan dan
mendapatkan akta perkawinan.
(2) Pengesahan anak hanya berlaku bagi anak yang
orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah
menurut hukum agama dan hukum negara.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada
register akta pengesahan anak dan menerbitkan
kutipan akta pengesahan anak.
12. Ketentuan ayat (2) Pasal 58 ditambahkan 4 (empat) huruf,
yakni huruf bb, huruf cc, huruf dd, dan huruf ee, serta
ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4), sehingga Pasal 58
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 58
(1) Data Kependudukan terdiri atas data perseorangan
dan/atau data agregat Penduduk.
(2) Data perseorangan meliputi:
a. nomor KK;
b. NIK;
c. nama lengkap;
d. jenis kelamin;
e. tempat lahir;
f. tanggal/bulan/tahun lahir;
g. golongan darah;

146
h. agama/kepercayaan;
i. status perkawinan;
j. status hubungan dalam keluarga;
k. cacat fisik dan/atau mental;
l. pendidikan terakhir;
m. jenis pekerjaan;
n. NIK ibu kandung;
o. nama ibu kandung;
p. NIK ayah;
q. nama ayah;
r. alamat sebelumnya;
s. alamat sekarang;
t. kepemilikan akta kelahiran/surat kenal lahir;
u. nomor akta kelahiran / nomor surat kenal
lahir;
v. kepemilikan akta perkawinan/buku nikah;
w. nomor akta perkawinan/buku nikah;
x. tanggal perkawinan;
y. kepemilikan akta perceraian;
z. nomor akta perceraian/surat cerai;
aa. tanggal perceraian;
bb. sidik jari;
cc. iris mata;
dd. tanda tangan; dan
ee. elemen data lainnya yang merupakan aib
seseorang.
(3) Data agregat meliputi himpunan data perseorangan
yang berupa data kuantitatif dan data kualitatif.
(4) Data Kependudukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang digunakan untuk
semua keperluan adalah Data Kependudukan dari
Kementerian yang bertanggung jawab dalam urusan
pemerintahan dalam negeri, antara lain untuk
pemanfaatan:
a. pelayanan publik;
b. perencanaan pembangunan;
c. alokasi anggaran;
d. pembangunan demokrasi; dan
147
e. penegakan hukum dan pencegahan kriminal.
13. Ketentuan ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)
Pasal 63 diubah dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 63
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 63
(1) Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing
yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17
(tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin
wajib memiliki KTP-el.
(2) Dihapus.
(3) KTP-el sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
secara nasional.
(4) Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib melaporkan perpanjangan masa berlaku atau
mengganti KTP-el kepada Instansi Pelaksana paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal masa
berlaku Izin Tinggal Tetap berakhir.
(5) Penduduk yang telah memiliki KTP-el wajib
membawanya pada saat bepergian.
(6) Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
memiliki 1 (satu) KTP-el.
14. Ketentuan Pasal 64 diubah, sehingga Pasal 64 berbunyi
sebagai berikut :

Pasal 64
(1) KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda
Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK,
nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan,
agama, status perkawinan, golongan darah, alamat,
pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku,
tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan
tandatangan pemilik KTP-el.
(2) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
nomor identitas tunggal untuk semua urusan pelayanan
publik.

148
(3) Pemerintah menyelenggarakan semua pelayanan
publik dengan berdasarkan NIK sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Untuk menyelenggarakan semua pelayanan publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah
melakukan integrasi nomor identitas yang telah ada
dan digunakan untuk pelayanan publik paling lambat 5
(lima) tahun sejak Undang-Undang ini disahkan.
(5) Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang
agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi
penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani
dan dicatat dalam database kependudukan.
(6) Dalam KTP-el sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tersimpan cip yang memuat rekaman elektronik data
perseorangan.
(7) KTP-el untuk:
a. Warga Negara Indonesia masa berlakunya
seumur hidup; dan
b. Orang Asing masa berlakunya disesuaikan
dengan masa berlaku Izin Tinggal Tetap.
(8) Dalam hal terjadi perubahan elemen data, rusak, atau
hilang, Penduduk pemilik KTP-el wajib melaporkan
kepada Instansi Pelaksana untuk dilakukan perubahan
atau penggantian.
(9) Dalam hal KTP-el rusak atau hilang, Penduduk pemilik
KTP-el wajib melapor kepada Instansi Pelaksana
melalui camat atau lurah/kepala desa paling lambat 14
(empat belas) hari dan melengkapi surat pernyataan
penyebab terjadinya rusak atau hilang.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perubahan
elemen data penduduk sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.
15. Ketentuan ayat (1) Pasal 68 ditambahkan 1 (satu) huruf,
yakni huruf f, sehingga Pasal 68 berbunyi sebagai berikut:

149
Pasal 68
(1) Kutipan Akta Pencatatan Sipil terdiri atas
kutipan akta:
a. kelahiran;
b. kematian;
c. perkawinan;
d. perceraian;
e. pengakuan anak; dan
f. pengesahan anak.
(2) Kutipan Akta Pencatatan Sipil memuat:
a. jenis Peristiwa Penting;
b. NIK dan status kewarganegaraan;
c. nama orang yang mengalami Peristiwa
Penting;
d. tempat dan tanggal peristiwa;
e. tempat dan tanggal dikeluarkannya akta;
f. nama dan tanda tangan Pejabat yang
berwenang; dan
g. pernyataan kesesuaian kutipan tersebut dengan
data yang terdapat dalam Register Akta
Pencatatan Sipil.
16. Ketentuan Pasal 76 diubah, sehingga Pasal 76 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 76
Ketentuan mengenai penerbitan Dokumen Kependudukan
bagi petugas khusus yang melakukan tugas keamanan
negara diatur dalam Peraturan Menteri.
17. Ketentuan Pasal 77 diubah, sehingga Pasal 77 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 77
Setiap orang dilarang memerintahkan dan/atau memfasilitasi
dan/atau melakukan manipulasi Data Kependudukan
dan/atau elemen data Penduduk.

150
18. Ketentuan Pasal 79 diubah, sehingga Pasal 79 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 79
(1) Data Perseorangan dan dokumen kependudukan wajib
disimpan dan dilindungi kerahasiaannya oleh Negara.
(2) Menteri sebagai penanggung jawab memberikan hak
akses Data Kependudukan kepada petugas provinsi dan
petugas Instansi Pelaksana serta pengguna.
(3) Petugas dan pengguna sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilarang menyebarluaskan Data Kependudukan
yang tidak sesuai dengan kewenangannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, ruang
lingkup, dan tata cara mengenai pemberian hak akses
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Menteri.
19. Di antara Pasal 79 dan Pasal 80 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 79A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 79A
Pengurusan dan penerbitan Dokumen Kependudukan tidak
dipungut biaya.
20. Di antara BAB VIII dan BAB IX disisipkan 1 (satu) BAB, yakni
BAB VIIIA sehingga berbunyi sebagai berikut :

BAB VIIIA
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
PEJABAT STRUKTURAL

Pasal 83A
(1) Pejabat struktural pada unit kerja yang menangani
Administrasi Kependudukan di provinsi diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri atas usulan gubernur.
(2) Pejabat struktural pada unit kerja yang menangani
Administrasi Kependudukan di kabupaten/kota diangkat
151
dan diberhentikan oleh Menteri atas usulan
bupati/walikota melalui gubernur.
(3) Penilaian kinerja pejabat struktural sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara
periodik oleh Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan
prosedur pengangkatan dan pemberhentian pejabat
struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), serta penilaian kinerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan.
21. Ketentuan Pasal 84 diubah, sehingga Pasal 84 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 84
(1) Data Pribadi Penduduk yang harus dilindungi memuat:
a. Keterangan tentang cacat fisik dan/atau mental;
b. sidik jari;
c. iris mata;
d. tanda tangan; dan
e. elemen data lainnya yang merupakan aib
seseorang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai elemen data lainnya
yang merupakan aib seseorang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e diatur dalam Peraturan Pemerintah.
22. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 86 diubah dan di antara
ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a),
sehingga Pasal 86 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 86
(1) Menteri sebagai penanggung jawab memberikan hak
akses Data Pribadi kepada petugas provinsi dan petugas
Instansi Pelaksana.
(2) (1a) Petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang menyebarluaskan Data Pribadi yang tidak
sesuai dengan kewenangannya.

152
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, ruang
lingkup, dan tata cara mengenai pemberian hak akses
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Menteri.
23. Ketentuan Pasal 87 dihapus.

Pasal 87
Dihapus.
24. Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) BAB, yakni
BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB IXA
PENDANAAN

Pasal 87A
Pendanaan penyelenggaraan program dan kegiatan
Administrasi Kependudukan yang meliputi kegiatan fisik dan
non fisik, baik di provinsi maupun kabupaten/kota
dianggarkan dalam anggaran pendapatan dan belanja
negara.

Pasal 87B
Penyediaan pendanaan penyelenggaraan program dan
kegiatan Administrasi Kependudukan dianggarkan mulai
anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan tahun
anggaran 2014.
25. Ketentuan Pasal 94 diubah, sehinggaPasal 94 berbunyi
sebagai berikut :

Pasal 94
Setiap orang yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi
dan/atau melakukan manipulasi Data Kependudukan
dan/atau elemen data Penduduk sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77 dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

153
26. Di antara Pasal 95 dan Pasal 96 disisipkan 2 (dua) pasal,
yakni Pasal 95A dan Pasal 95B yang berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 95A
Setiap orang yang tanpa hak menyebarluaskan Data
Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79
ayat (3) dan Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 86 ayat (1a) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

Pasal 95B
Setiap pejabat dan petugas pada desa/kelurahan,
kecamatan, UPT Instansi Pelaksana dan Instansi
Pelaksana yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi
dan/atau melakukan pungutan biaya kepada Penduduk
dalam pengurusan dan penerbitan Dokumen
Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79A
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp75.000.000,00
(tujuh puluh lima juta rupiah).
27. Ketentuan Pasal 96 diubah, sehingga Pasal 96 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 96
Setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak,
menerbitkan, dan/atau mendistribusikan blangko Dokumen
Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf f dan huruf g dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
28. Di antara Pasal 96 dan Pasal 97 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 96A yang berbunyi sebagai berikut:

154
Pasal 96A
Setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak,
menerbitkan, dan/atau mendistribusikan Dokumen
Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
29. Ketentuan Pasal 101 diubah, sehingga Pasal 101
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 101
Pada saat Undang-Undang ini berlaku:
a. Pemerintah wajib memberikan NIK kepada setiap
Penduduk.
b. semua instansi pengguna wajib menjadikan NIK sebagai
dasar penerbitan dokumen paling lambat 1 (satu) tahun
terhitung sejak instansi pengguna mengakses data
kependudukan dari Menteri.
c. KTP-el yang sudah diterbitkan sebelum Undang-
Undang ini ditetapkan berlaku seumur hidup.
d. keterangan mengenai alamat, nama, dan nomor induk
pegawai pejabat dan penandatanganan oleh pejabat
pada KTP-el sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
ayat (1) dihapus setelah database kependudukan
nasional terwujud.
30. Ketentuan Pasal 102 diubah, sehingga Pasal 102
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 102
Pada saat Undang-Undang ini berlaku:
a. semua singkatan “KTP” sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan harus dimaknai “KTP-el”;
b. semua kalimat “wajib dilaporkan oleh Penduduk
kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya
peristiwa” sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
155
Kependudukan harus dimaknai ”wajib dilaporkan oleh
Penduduk di Instansi Pelaksana tempat Penduduk
berdomisili”; dan
c. semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan Administrasi Kependudukan dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang- Undang ini.
31. Ketentuan Pasal 103 diubah, sehingga Pasal 103
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 103
(1)Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
(2)Semua peraturan pelaksanaan dari Undang- Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan harus disesuaikan dengan Undang-
Undang ini paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-
Undang ini diundangkan.

Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 24 Desember 2013

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

156
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Desember 2013

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013


NOMOR 232

157
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 9 TAHUN 1975
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk kelancaran pelaksanaan Undang-


undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3019), dipandang perlu
untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang
mengatur ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari
Undang-undang tersebut;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3019).

158
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG


PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
a. Undang-undang adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan ;
b. Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi mereka
yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang
lainnya ;
c. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan dalam Lingkungan
Peradilan Umum;
d. Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan
dan perceraian.

BAB II
PENCATATAN PERKAWINAN

Pasal 2
(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh
Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk.
(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya
itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat
perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai
pencatatan perkawinan.

159
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang
khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan
berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara
pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan
Pemerintah ini.

Pasal 3
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai
Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat
(2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan
oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

Pasal 4
Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon
mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.

Pasal 5
Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/ kepercayaan,
pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah
seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama
istri atau suaminya terdahulu.

Pasal 6
(1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan
kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah
syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak
terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.
(2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat
(1) Pegawai Pencatat meneliti pula :
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon
mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat
160
kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang
menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang
diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan
itu;
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan,
pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai;
c. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam
Pasal 6 ayat(2),(3),(4) dan (5) Undang-undang, apabila
salah seorang calon mempelai atau keduanya belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;
d. Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-
undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang
suami yang masih mempunya isteri;
e. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal
7 ayat (2) Undang-undang;
f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau
dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi
perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
g. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon
mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;
h. Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan
oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon
mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri
karena sesuatu alasan yang penting, sehingga
mewakilkan kepada orang lain.

Pasal 7
(1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai
Pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan
untuk itu.
(2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan
perkawinan sebagai dimaksud Undang-undang dan atau
belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat
(2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segera
diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang
tua atau kepada wakilnya.
161
Pasal 8
Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan
serta tiada sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat
menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan
kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara
menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang
ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu
tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

Pasal 9
Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan
memuat :
a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat
kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon
mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah
kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka
terdahulu ;
b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan
dilangsungkan.

BAB III
TATACARA PERKAWINAN

Pasal 10
(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak
pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai
Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan
Pemerintah ini.
(2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut
masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu,
perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat
dan dihadiri oleh dua orang saksi.

162
Pasal 11
(1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan
Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta
perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat
berdasarkan ketentuan yang berlaku.
(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai
itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan
Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi
yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,
ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka
perkawinan telah tercatat secara resmi.

BAB IV
AKTA PERKAWINAN

Pasal 12
Akta perkawinan memuat :
a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan,
pekerjaan dan tempat kediaman suami-isteri;
Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin,
disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu ;
b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman orang tua mereka;
c. Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4)
dan.(5) Undang-undang;
d. Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
Undang-undang;
e. Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-
undang;
f. Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
Undang-undang;
g. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
HANKAM/PANGAB bagi anggota Angkatan Bersenjata;
h. Perjanjian perkawinan apabila ada;

163
i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama
Islam ;
j. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan
tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan
melalui seorang kuasa.

Pasal 13
(1) Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai
pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua
disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor
pencatatan Perkawinan itu berada.
(2) Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan
akta perkawinan.

BAB V
TATACARA PERCERARIAN

Pasal 14
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan
surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi
pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya
disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada
Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pasal 15
Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang
dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam waktu selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim Surat dan
juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.

Pasal 16
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang
pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud

164
dalam Pasal 14 apabila memang terdapat alasan-alasan seperti
yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan
Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang
bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.

Pasal 17
Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk
menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 16, Ketua
Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya
perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada
Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk
diadakan pencatatan perceraian.

Pasal 18
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu
dinyatakan di depan sidang pengadilan.

Pasal 19
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok,
pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima)
tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.
165
Pasal 20
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau
kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman tergugat.
(2) Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak
diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang
tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan
ditempat kediaman penggugat.
(3) Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri,
gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat
kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan
permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan
Republik Indonesia setempat.

Pasal 21
(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal
19 huruf b, diajukan kepada Pengadilan ditempat
kediaman penggugat.
(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah
lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat
meninggalkan rumah.
(3) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau
menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah
kediaman bersama.

Pasal 22
(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal
19 huruf f, diajukan kepada Pengadilan di tempat
kediaman tergugat.
(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila
telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab
perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar
pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan
suami-isteri itu.

166
Pasal 23
Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami-
isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf c
maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti
penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan
yang memutuskan perkara disertai keterangan yang
menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.

Pasal 24
(1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas
permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan
pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan,
Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri tersebut untuk
tidak tinggal dalam satu rumah.
(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas
permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat :
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh
suami
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
pemeliharaan dan pendidikan anak ;
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang- barang yang menjadi hak
bersama suami-isteri atau barang-barang yang
menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi
hak isteri.

Pasal 25
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri
meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai
gugatan perceraian itu.

Pasal 26
(1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa
gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau

167
kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang
tersebut.
(2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita;
bagi Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas
yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama.
(3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan.
Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya,
panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang
dipersamakan dengan itu.
(4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan
disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh
penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.
(5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat
gugatan.

Pasal 27
(1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut
dalam Pasal 20 ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara
menempelkan gugatan pada papan pengumuman di
Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau
beberapa surat, kabar atau mass media lain yang
ditetapkan oleh Pengadilan.
(2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar
atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2
(dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara
pengumuman pertama dan kedua.
(3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai
dimaksud ayat (2) dengan persidangan ditetapkan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
(4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud
dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak
hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali
apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.

168
Pasal 28
Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) panggilan disampaikan
melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 29
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya
berkas/surat gugatan perceraian.
(2) Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang
pemeriksaan gugatan perceraian perlu diperhatikan
tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan
tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa
mereka.
(3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut
dalam Pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan
perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan
terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada
Kepaniteraan Pengadilan.

Pasal 30
Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri
datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.

Pasal 31
(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha
mendamaikan kedua pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan
dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal 32
Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan
gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-
alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh
penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.

169
Pasal 33
Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan
perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 34
Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang
terbuka. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala
akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada
daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat,
kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak
jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 35
(1) Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk
berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan
Pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/yang telah
dikukuhkan, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat
ditempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai Pencatat
mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang
diperuntukkan untuk itu.
(2) Apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang
berbeda dengan daerah hukum Pegawai Pencatat dimana
perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan
dimaksud ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap/telah dikukuhkan tanpa bermeterai dikirimkan
pula kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan
dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat tersebut dicatat
pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan, dan
bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan
itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta.
(3) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat
(1) menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan
apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi
bekas suami atau isteri atau keduanya.

170
Pasal 36
(1) Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari setelah perceraian diputuskan menyampaikan putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap itu
kepada Pengadilan Negeri untuk dikukuhkan.
(2) Pengukuhan dimaksud ayat (1) dilakukan dengan
membubuhkan kata-kata "dikukuhkan" dan ditandatangani
oleh hakim Pengadilan Negeri dan dibubuhi cap dinas pada
putusan tersebut.
(3) Panitera Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari setelah diterima putusan dari Pengadilan Agama,
menyampaikan kembali putusan itu kepada Pengadilan
Agama.

BAB VI
PEMBATALAN PERKAWINAN

Pasal 37
Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh
Pengadilan.

Pasal 38
(1) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh
pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua
suami-isteri, suami atau isteri.
(2) Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan
dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan
perceraian.
(3) Hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan
pembatalan perkawinan dan putusan Pengadilan,
dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut dalam Pasal 20
sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini.

171
BAB VII
WAKTU TUNGGU

Pasal 39
(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai
berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu
tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu
tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3
(tiga) kali suci dengan sekurang- kurangnya 90
(sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang
bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari ;
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan.
(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan
karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan
bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
(3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang
waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan
bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang
waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

BAB VIII
BERISTERI LEBIH DARI SEORANG

Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari
seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Pengadilan.

Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :

172
a. ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang
suami kawin lagi, ialah :
- bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai isteri;
- bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan;
- bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik
persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan
itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus
diucapkan didepan sidang pengadilan.
c. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk
menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak,
dengan memperlihatkan :
I. surat keterangan mengenai penghasilan suami
yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat
bekerja; atau
II. surat keterangan pajak penghasilan; atau
III. surat keterangan lain yang dapat diterima oleh
Pengadilan;
d. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka
dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat
dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Pasal 42
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada
Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan
mendengar isteri yang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-
lampirannya.

Pasal 43
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi
pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan
173
memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih
dari seorang.

Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan
perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang
dimaksud dalam Pasal 43.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 45
(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka :
a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur
dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah
ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya
Rp. 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah);
b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang
diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44
Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi- tingginya Rp. 7.500,-(tujuh ribu lima ratus
rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) diatas
merupakan pelanggaran.

BAB X
PENUTUP

Pasal 46
Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah ini, maka ketentuan-ketentuan lainnya yang
berhubungan dengan pengaturan tentang perkawinan dan

174
perceraian khusus bagi anggota Angkatan Bersenjata diatur
lebih lanjut oleh Menteri HANKAM/PANGAB.

Pasal 47
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur di dalam Peraturan
Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 48
Petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang masih dianggap perlu
untuk kelancaran pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, diatur
lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Agama, baik bersama-sama maupun dalam bidangnya
masing-masing.

Pasal 49
(1) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1
Oktober 1975;
(2) Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, merupakan
pelaksanaan secara efektif dari Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya,


memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 April 1975


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 April 1975
MENTERI / SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO,SH.
175
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN

UMUM
Untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2
Januari 1974 secara efektif masih diperlukan peraturan-
peraturan pelaksanaan, antara lain yang menyangkut masalah
pencatatan perkawinan, tatacara pelaksanaan perkawinan,
tatacara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian,
tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus
perkawinan, pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal
seorang suami beristeri lebih dari seorang dan sebagainya.
Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan
tentang masalah-masalah tersebut, yang diharapkan akan
dapat memperlancar dan mengamankan pelaksanaan dari
Undang-undang tersebut. Dengan keluarnya Peraturan
Pemerintah ini maka telah pastilah saat mulainya pelaksanaan
secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 tersebut, ialah
pada tanggal 1 Oktober 1975.
Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini
diperlukan langkah-langkah persiapan dan serangkaian
petunjuk petunjuk pelaksanaan dari berbagai Departemen /
Instansi yang bersangkutan, khususnya dari Departemen
Agama, Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam
Negeri, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan
lancar, maka perlu ditetapkan jangka waktu enam bulan sejak

176
diundangkannya Peraturan Pemerintah ini untuk mengadakan
langkah-langkah persiapan tersebut.

PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
(1) dan (2)
Dengan adanya ketentuan tersebut dalam pasal ini maka
pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi,
yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, dan Kantor
Catatan Sipil atau instansi/ pejabat yang membantunya.
(3) Dengan demikian maka hal-hal yang berhubungan dengan
tatacara pencatatan perkawinan pada dasarnya dilakukan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut dari Pasal 3
sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini,
sedangkan ketentuan-ketentuan khusus yang menyangkut
tatacara pencatatan perkawinan yang diatur dalam berbagai
peraturan, merupakan pelengkap bagi Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 3
(1) Cukup jelas.
(2) Cukup jelas.
(3) Apabila terdapat alasan yang sangat penting untuk segera
melangsungkan perkawinan meskipun belum lampau 10
(sepuluh) hari, misalnya karena salah seorang dari calon
mempelai akan segera pergi ke luar negeri untuk
melaksanakan tugas negara, maka yang demikian itu
dimungkinkan dengan mengajukan permohonan
dispensasi.
Pasal 4
Pada prinsipnya kehendak untuk melangsungkan
perkawinan harus dilakukan secara lisan oleh salah satu
atau kedua calon mempelai, atau oleh orang tuanya atau

177
wakilnya. Tetapi apabila karena sesuatu alasan yang sah
pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan
secara lisan itu tidak mungkin dilakukan, maka
pemberitahuan dapat dilakukan secara tertulis. Selain itu
maka yang dapat mewakili calon mempelai untuk
memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinan
adalah wali atau orang lain yang ditunjuk berdasarkan
kuasa khusus.
Pasal 5
Bagi mereka yang memiliki nama kecil dan nama keluarga,
maka dalam pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan, dicantumkan baik nama kecil maupun nama
keluarga. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki nama
keluarga, maka cukup mencantumkan nama kecilnya saja
ataupun namanya saja.
Tidak adanya nama kecil atau nama keluarga sekali-kali
tidak dapat dijadikan alasan untuk penolakan
berlangsungnya perkawinan.
Hal-hal yang harus dimuat dalam pemberitahuan tersebut
merupakan ketentuan minimal, sehingga masih
dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya
mengenai wali nikah, bagi mereka yang beragama Islam.
Pasal 6
(1) Cukup jelas.
(2) Huruf f :
Surat kematian diberikan oleh Lurah/Kepala Desa yang
meliputi wilayah tempat kediaman suatu atau isteri
terdahulu. Apabila Lurah/Kepala Desa tidak dapat
memberikan keterangan dimaksud berhubung tidak adanya
laporan mengenai kematian itu, maka dapat diberikan
keterangan lain yang sah, atau keterangan yang diberikan
dibawah sumpah oleh yang bersangkutan dihadapan
Pegawai Pencatat.
Pasal 7
(1) Cukup jelas.
178
(2) Yang dimaksud dengan "diberitahukan kepada mempelai
atau kepada orang tua atau kepada wakilnya", adalah
bahwa pemberitahuan mengenai adanya halangan
perkawinan itu harus ditujukan dan disampaikan kepada
salah satu daripada mereka itu yang datang
memberitahukan kehendak untuk melangsungkan
perkawinan.
Pasal 8
Maksud pengumuman tersebut adalah untuk memberi
kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan
mengajukan keberatan-keberatan bagi dilangsungkannya
suatu perkawinan apabila yang demikian itu diketahuinya
bertentangan dengan hukum agamanya dan
kepercayaannya itu yang bersangkutan atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 9
Pengumuman dilakukan :
- di kantor pencatatan perkawinan yang daerah
hukumnya meliputi wilayah tempat perkawinan
dilangsungkan, dan
- di kantor/kantor-kantor pencatatan perkawinan tempat
kediaman masing- masing calon mempelai.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Hal-hal yang harus dimuat dalam Akta Perkawinan yang
ditentukan di dalarn pasal ini merupakan ketentuan minimal
sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain,
misalnya mengenai nomor akta; tanggal, bulan, tahun
pendaftaran; jam, tanggal, bulan dan tahun pernikahan
dilakukan; nama dan jabatan dari Pegawai Pencatat; tanda
tangan para mempelai Pegawai Pencatat, para saksi, dan
179
bagi yang beragama Islam wali nikah atau yang
mewakilinya; bentuk dari mas kawin atau izin Balai Harta
Peninggalan bagi mereka yang memerlukannya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf f:
Persetujuan yang dimaksud disini dinyatakan secara
tertulis atas dasar sukarela, bebas dari tekanan,
ancaman atau paksaan.
Huruf g:
Menteri HANKAM/PANGAB mengatur lebih lanjut
mengenai Pejabat yang ditunjuknya yang berhak
memberikan izin bagi anggota Angkatan Bersenjata.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Pasal ini berikut Pasal-pasal 15, 16, 17, dan 18 mengatur
tentang cerai talak.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan
berpendapat adanya alasan- alasan untuk perceraian dan
setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak
dan tidak berhasil, kemudian menyaksikan perceraian yang
dilakukan oleh suami itu dalam sidang tersebut.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas.

180
Pasal 20
(1) Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh
seorang isteri yang melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau
seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
agama Islam.
(2) Cukup jelas.
(3) Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
(1) Cukup jelas.
(2) Sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu
hendaknya dipertimbangkan oleh hakim apakah benar-
benar berpengaruh dan prinsipiil bagi keutuhan
kehidupan suami-isteri.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 24
(1) Izin Pengadilan untuk memperkenankan suami-isteri
tidak berdiam bersama dalam satu rumah hanya
diberikan berdasarkan pertimbangan demi kebaikan
suami-isteri itu beserta anak-anaknya.
(2) Bahwa proses perceraian yang sedang terjadi antara
suami-isteri tidak dapat dijadikan alasan bagi suami
untuk melalaikan tugasnya memberikan nafkah kepada
isterinya. Demikian pula tugas kewajiban suami-isteri
itu terhadap anak-anaknya. Harus dijaga jangan
sampai harta kekayaan baik yang dimiliki bersama-
sama oleh suami-isteri, maupun harta kekayaan isteri
atau suami menjadi terlantar atau tidak terurus dengan
baik, sebab yang demikian itu bukan saja menimbulkan

181
kerugian kepada suami-isteri itu melainkan mungkin
juga mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
(1) Cukup jelas.
(2) Cukup jelas.
(3) Cukup jelas.
(4) Meskipun tergugat atau kuasanya tidak hadir, tetapi
yang demikian itu tidak dengan sendirinya merupakan
alasan bagi dikabulkannya gugatan perceraian apabila
gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan atau
alasan-alasan sebagaimana dimaksud Pasal 19
Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
(1) Penetapan waktu yang singkat untuk mengadakan
sidang pemeriksaan gugatan perceraian adalah
sebagai usaha mempercepat proses penyelesaian
perkara perceraian. Karena makin cepat perkara itu
dapat diselesaikan oleh Pengadilan makin baik, bukan
saja bagi kedua suami- isteri itu melainkan bagi
keluarga, dan apabila mereka mempunyai anak
terutama bagi anak-anaknya.
(2) Hendaknya jangka waktu antara penyampaian
panggilan dan sidang diatur agar baik pihak-pihak
maupun saksi-saksi mempunyai waktu yang cukup
untuk mengadakan persiapan guna menghadapi sidang
tersebut. Terutama kepada tergugat harus diberi waktu
yang cukup untuk memungkinkannya mempelajari
secara baik isi gugatan.
182
(3) Cukup jelas.
Pasal 30
Dalam menghadapi perkara perceraian, pihak yang
berperkara, yaitu suami dan isteri, dapat menghadiri sendiri
sidang atau didampingi kuasanya atau sama sekali
menyerahkan kepada kuasanya dengan membawa surat
nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lainnya
yang diperlukan.
Pasal 31
(1) Cukup jelas.
(2) Usaha untuk mendamaikan suami-isteri yang sedang
dalam pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan
perceraian tidak terbatas pada sidang pertama
sebagaimana lazimnya dalam perkara perdata,
melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu belum
diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah
pihak Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang
atau badan lain yang dianggap perlu.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Apabila pengadilan telah berusaha untuk mencapai
perdamaian, akan tetapi tidak berhasil, maka gugatan
perceraian diperiksa dalam sidang tertutup.
Pemeriksaan dalam sidang tertutup ini berlaku juga bagi
pemeriksaan saksi-saksi. Apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan terdapat alasan-alasan yang dapat dijadikan
dasar perceraian, hakim mengabulkan kehendak suami
atau isteri untuk melakukan perceraian.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.

183
Pasal 36
(1) Pengukuhan oleh Pengadilan Negeri terhadap suatu
putusan Pengadilan Agama hanya dilakukan apabila
putusan itu telah mempunyai kekuatan hakim yang
tetap.
Dengan perkataan lain, maka terhadap suatu putusan
Pengadilan Agama yang dimintakan banding atau
kasasi, masih belum dilakukan pengukuhan.
Pengukuhan tersebut bersifat administratip; Pengadilan
Negeri tidak melakukan pemeriksaan ulang terhadap
putusan Pengadilan Agama dimaksud.
(2) Cukup jelas.
(3) Cukup jelas.
Pasal 37
Mengingat, bahwa pembatalan suatu perkawinan dapat
membawa akibat yang jauh baik terhadap suami isteri
maupun terhadap keluarganya, maka ketentuan ini
dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pembatalan
suatu perkawinan oleh instansi lain di luar Pengadilan.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
(1) Cukup jelas.
(2) Bagi wanita yang kawin kemudian bercerai, sedangkan
antara wanita itu dengan bekas suaminya belum pernah
terjadi hubungan kelamin, maka bagi wanita tersebut
tidak ada waktu tunggu; ia dapat melangsungkan
perkawinan setiap saat setelah perceraian itu.
(3) Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Huruf c sub iii : Apabila tidak mungkin diperoleh surat
keterangan sebagaimana dimaksud pada sub i atau ii,
184
maka dapat diusahakan suatu surat keterangan lain yakni
sepanjang Pengadilan dapat menerimanya.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Dalam pasal ini diatur tentang sanksi hukuman denda bagi
pihak mempelai yang melanggar ketentuan Pasal 3, 10 ayat
(3) dan 40 dan sanksi hukuman kurungan atau denda bagi
pejabat pencatat perkawinan yang melanggar ketentuan
Pasal 6, 7, 8, 9,10 ayat (1), 11, 13, dan 44. Pejabat Yang
melanggar ketentuan tersebut dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini maka
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang perkawinan yang telah ada, apabila telah
diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak
berlaku lagi. Selain hal yang tersebut diatas maka dalam
hal suatu ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini telah diatur didalam peraturan perundangan
tentang perkawinan yang ada maka diperlakukan Peraturan
Pemerintah ini yakni apabila :
a. peraturan perundangan yang telah ada memuat
pengaturan yang sama dengan Peraturan Pemerintah;
b. peraturan perundangan yang telah ada belum lengkap
pengaturannya;
185
c. peraturan perundangan yang telah ada bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.

186
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 10 TAHUN 1983
TENTANG
IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI
NEGERI SIPIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun


1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 telah diatur ketentuan tentang perkawinan
yang berlaku bagi segenap warga negara dan
penduduk Indonesia;
b. bahwa Pegawai Negeri Sipil wajib memberikan
contoh yang baik kepada bawahannya dan
menjadi teladan sebagai warga negara yang baik
dalam masyarakat, termasuk dalam
menyelenggarakan kehidupan berkeluarga;
c. bahwa dalam rangka usaha meningkatkan disiplin
Pegawai Negeri Sipil dalam melakukan
perkawinan dan perceraian, dipandang perlu
untuk menetapkan Peraturan Pemerintah
mengenai izin perkawinan dan perceraian bagi
Pegawai Negeri Sipil;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

187
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang
Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda
Pegawai (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor
42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2906);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3019);
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3041);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun
1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3153);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3050);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1975
tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan,
Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 26,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3058);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1976
tentang Keanggotaan Pegawai Negeri Sipil
Dalam Partai Politik dan Golongan Karya;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3176);

188
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG IZIN
PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI
NEGERI SIPIL.

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan
a. Pegawai Negeri Sipil adalah:
1. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974;
2. Yang dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil yaitu
(a) Pegawai Bulanan di samping pensiun;
(b) Pegawai Bank milik Negara;
(c) Pegawai Badan Usaha milik Negara;
(d) Pegawai Bank milik Daerah;
(e) Pegawai Badan Usaha milik Daerah;
(f) Kepala Desa, Perangkat Desa, dan petugas yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di Desa;
b. Pejabat adalah :
1. Menteri;
2. Jaksa Agung;
3. Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;
4. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi
Negara
5. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I;
6. Pimpinan Bank milik Negara;
7. Pimpinan Badan Usaha milik Negara;
8. Pimpinan Bank milik Daerah;
9. Pimpinan Badan Usaha milik Daerah;

Pasal 2
(1) Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan
pertama, wajib memberitahukannya secara tertulis kepada
Pejabat melalui saluran hierarki dalam waktu selambat-
lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan itu
dilangsungkan.

189
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku
juga bagi Pegawai Negeri Sipil yang telah menjadi
duda/janda yang melangsungkan perkawinan lagi.

Pasal 3
(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian
wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Permintaan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
(3) Dalam surat permintaan izin perceraian harus dicantumkan
alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin
perceraian itu.

Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari
seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi
isteri kedua/ ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.
(3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri
kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil,
wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (3) diajukan secara tertulis.
(5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang
mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih dari
seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat.

Pasal 5
(1) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan
Pasal 4 diajukan kepada Pejabat melalui surat tertulis.
(2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai
Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan
perceraian atau untuk beristeri lebih dari seorang, maupun
untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, wajib
memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada
Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu
190
selambat- lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal
ia menerima permintaan izin dimaksud.

Pasal 6
(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk melakukan
perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib
memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang
dikemukakan dalam surat permintaan izin dan
pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan.
(2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan
dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka
Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari
isteri/suami dari Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan
permintaan izin itu atau dari pihak lain yang dipandang
dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.
(3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat berusaha lebih
dahulu merukunkan kembali suami isteri yang bersangkutan
dengan cara memanggil mereka secara langsung untuk
diberi nasehat.

Pasal 7
(1) Izin untuk bercerai dapat diberikan oleh Pejabat apabila
didasarkan pada alasan-alasan yang ditetapkan oleh
peraturan perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) Izin untuk bercerai karena alasan isteri mendapat cacat
badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri, tidak diberikan oleh Pejabat.
(3) Izin untuk bercerai tidak diberikan oleh Pejabat apabila
a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang
dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
b. tidak ada alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1),
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; dan/atau

191
d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal
sehat.

Pasal 8
(1) Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai
Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian
gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya.
(2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang
bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya, dan
sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.
(3) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka
bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil
pria kepada bekas isterinya ialah setengah dari gajinya.
(4) Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia
tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak
berlaku, apabila isteri meminta cerai karena dimadu.
(6) Apabila bekas isteri Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan kawin lagi, maka haknya atas bagian gaji dari
bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia kawin
lagi.

Pasal 9
(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih
dari seorang atau untuk menjadi isteri
kedua/ketiga/keempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 wajib memperhatikan dengan seksama alasan alasan
yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan
pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan.
(2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan
dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka
Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri
Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin atau
dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan
keterangan yang meyakinkan.

192
(3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat memanggil
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sendiri atau
bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat.

Pasal 10
(1) Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan
oleh Pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah
satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal
ini.
(2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ialah
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan; atau
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
(3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ialah
a. ada persetujuan tertulis dari isteri;
b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan
mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai
lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang
dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan;
dan
c. ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anaknya.
(4) Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh
Pejabat apabila :
a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang
dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
b. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif
dalam ayat (3);
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;

193
d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal
sehat; dan/atau
e. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas
kedinasan.

Pasal 11
(1) Izin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri
kedua/ketiga/ keempat, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3), hanya dapat diberikan oleh Pejabat
apabila :
a. ada persetujuan tertulis dari isteri bakal suami;
b. bakal suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk
membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya
yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak
penghasilan; dan
c. ada jaminan tertulis dari bakal suami bahwa ia akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(2) Izin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri
kedua/ketiga/ keempat, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3), tidak diberikan oleh Pejabat apabila :
a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang
dianut oleh Pegawai Negeri Sipil wanita yang
bersangkutan atau bakal suaminya;
b. tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1);
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; dan/atau
d. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas
kedinasan.

Pasal 12
Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian atau
akan beristeri lebih dari seorang yang berkedudukan sebagai :
(1) Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Menteri,
Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Bank Indonesia, Kepala

194
Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, dan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, wajib meminta izin
lebih dahulu dari Presiden.
(2) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II termasuk
Walikota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Walikota
Administratif, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri
Dalam Negeri.
(3) Pimpinan Bank milik Negara kecuali Gubernur Bank
Indonesia dan pimpinan Badan Usaha milik Negara, wajib
meminta izin lebih dahulu dari Menteri yang secara teknis
membawahi Bank milik Negara atau Badan Usaha milik
Negara yang bersangkutan.
(4) Pimpinan Bank milik Daerah dan pimpinan Badan Usaha
milik Daerah, wajib meminta izin lebih dahulu dari Kepala
Daerah yang bersangkutan.

Pasal 13
Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan
perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, untuk
beristeri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1), atau untuk menjadi isteri kedua/
ketiga/keempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3),
dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia
menerima permintaan izin tersebut.

Pasal 14
Pejabat dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada
Pejabat lain dalam lingkungannya, serendah-rendahnya
Pejabat eselon IV atau yang dipersamakan dengan itu, untuk
memberikan atau menolak pemberian izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, sepanjang mengenai
permintaan izin yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil
golongan II ke bawah atau yang dipersamakan dengan itu.

195
Pasal 15
(1) Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan
wanita atau pria sebagai suami isteri tanpa ikatan
perkawinan yang sah.
(2) Setiap atasan wajib menegur apabila ia mengetahui ada
Pegawai Negeri Sipil bawahan dalam lingkungannya yang
melakukan hidup bersama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).

Pasal 16
Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan Pasal 3 ayat
(1) dan Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dijatuhi
hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak
atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 17
Pegawai Negeri Sipil yang melakukan hidup bersama dengan
wanita atau pria sebagai suami isteri, dan setelah ditegur
atasannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 masih terus
melakukannya, dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai
Negeri Sipil.

Pasal 18
Ketentuan Peraturan Pemerintah ini tidak mengurangi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3019), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050), dan peraturan
perundang-undangan lainnya.

196
Pasal 19
Setiap Pejabat atau Pejabat lain yang ditunjuk olehnya
membuat dan memelihara catatan perkawinan dan perceraian
Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya masing-masing.

Pasal 20
(1) Pejabat atau Pejabat lain yang ditunjuk olehnya
menyampaikan salinan sah surat pemberitahuan
perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
tembusan surat pemberian izin atau penolakan
pemberiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
kepada :
a. Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara,
sepanjang menyangkut Pegawai Negeri Sipil
dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka I dan angka 2
huruf (a);
b. Pimpinan masing-masing Bank milik Negara, Badan
Usaha milik Negara, Bank milik Daerah, dan Badan
Usaha milik Daerah, sepanjang menyangkut Pegawai
Negeri Sipil dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2
huruf (b), (c), (d), dan (e);
c. Bupati Kepala Daerah Tingkat II, sepanjang
menyangkut Pegawai Negeri Sipil dimaksud dalam
Pasal 1 huruf a angka 2 huruf (f).
(2) Berdasarkan salinan dan tembusan surat-surat dimaksud
dalam ayat (1) Kepala Badan Administrasi Kepegawaian
Negara, Pimpinan masing-masing Bank milik Negara,
Badan Usaha milik Negara, Bank milik Daerah, Badan
Usaha milik Daerah, serta Bupati Kepala Daerah Tingkat II,
membuat dan memelihara :
a. catatan perkawinan dan perceraian;
b. kartu isteri/suami.

Pasal 21
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah
ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
197
Pasal 22
Ketentuan-ketentuan teknis pelaksanaan Peraturan Pemerintah
ini ditetapkan oleh Kepala Badan Administrasi Kepegawaian
Negara.

Pasal 23
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 April 1983


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO

198
PENJELASAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1983
TENTANG
IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI
PEGAWAI NEGERI SIPIL

UMUM
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menurut azas monogami, yaitu seorang pria hanya mempunyai
seorang isteri dan seorang wanita hanya mempunyai seorang
suami. Namun demikian hanya apabila dipenuhi berbagai
persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan, seorang
pria dimungkinkan beristeri lebih dari seorang apabila ajaran
agama yang dianutnya mengizinkan dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku serta
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal, maka perceraian sejauh mungkin
dihindarkan dan hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang
sangat terpaksa. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila ada
alasan-alasan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
peraturan perundang-undangan.
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga
maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan
demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan
dan diputuskan bersama oleh suami isteri.
Pegawai Negeri Sipil adalah unsur Aparatur Negara, Abdi
Negara, dan Abdi Masyarakat yang harus menjadi teladan yang
199
baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan
ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka
kehidupan Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang oleh kehidupan
berkeluarga yang serasi, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil
dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu
oleh masalah-masalah dalam keluarganya.
Sehubungan dengan contoh dan keteladanan yang harus
diberikan oleh Pegawai Negeri Sipil kepada bawahan dan
masyarakat, maka kepada Pegawai Negeri Sipil dibebankan
ketentuan disiplin yang tinggi. Untuk melakukan perkawinan
dan perceraian Pegawai Negeri Sipil harus memperoleh izin
terlebih dahulu dari Pejabat yang bersangkutan. Pegawai
Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang dan
Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri
kedua/ketiga/keempat dari seorang yang bukan Pegawai
Negeri Sipil diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari
Pejabat. Demikian juga Pegawai Negeri Sipil yang akan
melakukan perceraian harus memperoleh izin terlebih dahulu
dari Pejabat. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil wanita tidak
diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari
Pegawai Negeri Sipil.
Ketentuan berupa keharusan memperoleh izin terlebih dahulu
dari Pejabat bagi perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri
Sipil tersebut tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang
berlaku bagi lembaga perkawinan dan perceraian itu sendiri.
Keharusan adanya izin terlebih dahulu tersebut mengingat yang
bersangkutan mempunyai kedudukan sebagai Pegawai Negeri
Sipil.
Dalam Peraturan Pemerintah ini pengertian Pegawai Negeri
Sipil meliputi selain Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian termasuk juga Pegawai Bulanan di
samping pensiun, Pegawai Bank milik Negara, Pegawai Badan
Usaha milik Negara, Pegawai Bank milik Daerah, Pegawai
Badan Usaha milik Daerah, dan Kepala Desa, Perangkat Desa,

200
serta petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
Desa.

PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Setiap atasan yang menerima permintaan izin untuk
melakukan perceraian atau untuk beristeri lebih dari seorang
atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, wajib
memberikan pertimbangan secara tertulis kepada Pejabat.
Pertimbangan itu harus memuat hal-hal yang dapat
digunakan oleh Pejabat dalam mengambil keputusan,
apakah permintaan izin itu mempunyai dasar yang kuat atau
tidak. Sebagai bahan dalam membuat pertimbangan, atasan
yang bersangkutan dapat meminta keterangan dari
suami/isteri yang bersangkutan atau dari pihak lain yang
dipandangnya dapat memberikan keterangan yang
meyakinkan.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
201
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pada dasarnya, dalam rangka usaha merukunkan kembali
isteri yang bersangkutan, Pejabat harus memanggil mereka
secara langsung dan memberikan nesehat secara pribadi.
Tetapi apabila tempat kedudukan Pejabat dan tempat
suami/isteri yang bersangkutan berjauhan, maka Pejabat
dapat memerintahkan Pejabat lain dalam lingkungannya
untuk berusaha merukunkan kembali suami/isteri tersebut.
Pasal 7.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan ditetapkan bahwa salah satu alasan dapat
terjadinya perceraian ialah salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/isteri. Namun demikian,
seorang Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian
karena alasan isteri tertimpa musibah tersebut tidaklah
memberikan keteladanan yang baik, meskipun ketentuan
peraturan perundang-undangan memungkinkannya. Oleh
karena itu izin untuk bercerai dengan alasan tersebut tidak
diberikan. Alasan tersebut hanyalah dapat merupakan salah
satu syarat alternatif yang harus disertai syarat-syarat
kumulatif lainnya bagi Pegawai Negeri Sipil untuk minta izin
beristeri lebih dari seorang. (Lihat Pasal 10 ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.

202
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
huruf a
Yang dimaksud dengan tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai isteri, adalah apabila isteri yang bersangkutan
menderita penyakit jasmaniah atau rohaniah sedemikian
rupa, sehingga ia tidak dapat memenuhi kewajibannya
sebagai isteri baik secara biologis maupun lainnya yang
menurut keterangan dokter sukar disembuhkan lagi.
huruf b
Yang dimaksud dengan cacad badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan, adalah apabila isteri yang
bersangkutan menderita penyakit badan yang menyeluruh
yang menurut keterangan dokter sukar disembuhkan.
huruf c
Yang dimaksud dengan tidak dapat melahirkan keturunan,
adalah apabila isteri yang bersangkutan menurut keterangan
dokter tidak mungkin melahirkan keturunan atau sesudah
pernikahan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun tidak
menghasilkan keturunan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
203
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR : 3250

204
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 45 TAHUN 1990
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAHAN
NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN
DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara


seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, maka beristri lebih dari seorang
dan perceraian sejauh mungkin harus
dihindarkan;
b. bahwa Pegawai Negeri Sipil adalah unsur
aparatur negara, abdi negara dan abdi
masyarakat yang harus menjadi teladan yang
baik bagi masyarakat dalam tingkah laku,
tindakan dan ketaatan kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk
menyelenggarakan kehidupan berkeluarga;
c. untuk dapat melaksanakan kewajiban yang
demikian itu, maka kehidupan Pegawai Negeri
Sipil harus ditunjang oleh kehidupan yang serasi,
sejahtera, dan bahagia, sehingga setiap Pegawai
205
Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya tidak
akan banyak terganggu oleh masalah-masalah
dalam keluarga;
d. bahwa dalam rangka usaha untuk lebih
meningkatkan dan menegakkan disiplin Pegawai
Negeri Sipil serta memberikan kepastian hukum
dan rasa keadilan dipandang perlu mengubah
beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3019);
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3041);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3050);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1975
tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan
dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 26,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3058);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3176);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi
Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun
1983 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3250);
206
ME MUTUSK AN :

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK


INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN
1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN
PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Pasal 1
Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil yaitu :
Mengubah ketentuan Pasal 3 sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut :

“Pasal 3
(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian
wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu
dari pejabat;
(2) Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai
penggugat atau bagi Pegawai Negeri Sipil yang
berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau
surat keterangan sebagaimana dimaksud alam ayat (1)
harus mengajukan permintaan secara tertulis;
(3) Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya
gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan,
harus dicantumkan alasan yang lengkap yang
mendasarinya.”
Mengubah ketentuan Pasal 4 sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut :

“Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari
seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi
istri kedua/ketiga/keempat.

207
(3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diajukan secara tertulis.
(4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang
mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang.”
Mengubah ketentuan ayat (2) Pasal 5 sehingga berbunyi
sebagai berikut :
“(2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari
Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk
melakukan perceraian dan atau untuk beristri lebih
dari seorang wajib memberikan pertimbangan dan
meneruskannya kepada pejabat melalui saluran
hierarki dalam jangka waktu selambatlambatnya tiga
bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan
izin dimaksud”.
Mengubah ketentuan Pasal 8 sebagai berikut :
a. Diantara ayat (3) dan ayat (4) lama disisipkan satu
ayat yang dijadikan ayat (4) baru, yang berbunyi
sebagai berikut :
“(4) Pembagian gaji kepada bekas istri tidak
diberikan apabila alasan perceraian disebabkan
karena istri berzinah, dan atau melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir
maupun batin terhadap suami, dan atau istri
menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang
sukar disembuhkan, dan atau istri telah
meninggalkan suami selama dua tahun berturut-
turut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain diluar kemampuannya.”
b. Ketentuan ayat (4) lama selanjutnya dijadikan ketentuan
ayat (5) baru.
c. Mengubah ketentuan ayat (5) lama dan selanjutnya
dijadikan ayat (6) baru sehingga berbunyi sebagai
berikut:
“(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5)
tidak berlaku, apabila istri minta cerai karena dimadu,
dan atau suami berzinah, dan atau suami melakukan
208
kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun
batin terhadap istri, dan atau suami menjadi pemabuk,
pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan
atau suami telah meninggalkan istri selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin istri dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain diluar kemampuannya.”
d. Ketentuan ayat (6) lama selanjutnya dijadikan ketentuan
ayat (7) baru.
Mengubah ketentuan ayat (1) Pasal 9 sehingga berbunyi
sebagai berikut :
“(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristri
lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) wajib memperhatikan denagan
seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam urat
permintaan izin dan pertimbangan dari atasan
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.”
Ketentuan Pasal 11 dihapuskan seluruhnya.
Ketentuan Pasal 12 lama dijadikan ketentuan Pasal 11
baru, dengan mengubah ketentuan ayat (3) sehingga
berbunyi sebagai berikut.”:
“(3) Pimpinan Bank Milik Negara dan pimpinan Badan
Usaha Milik Negara, wajib meminta izin lebih dahulu
dari Presiden.”
Mengubah ketentuan Pasal 13 lama dan selanjutnya
dijadikan ketentuan Pasal 12 baru,sehingga berbunyi
sebagai berikut :

“Pasal 12
Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan
perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan untuk
beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1), dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka
waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia
menerima permintaan izin tersebut.”

209
Ketentuan Pasal 14 lama selanjutnya dijadikan ketentuan
Pasal 13 baru.
Mengubah ketentuan Pasal 15 lama dan selanjutnya
dijadikan ketentuan Pasal 14 baru, sehingga berbunyi
sebagai berikut:

“Pasal 14
“Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan
wanita yang bukanisterinya atau dengan pria yang bukan
suaminya sebagai suami tanpa ikatan perkawinan yang
sah.“
Mengubah ketentuan Pasal 16 Lama dan selanjutnya
dijadikan ketentuan Pasal 15 baru, sehingga berbunyi
sebagai berikut :

“Pasal 15
(1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih
kewajiban/ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2), Pasal 3 ayat
(1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14, tidak melaporkan
perceraiannya dalam jangka waktu selambat-lambatnya
satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, dan tidak
melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat
dalam jangka waktu selambatlambatnya satu tahun erhitung
sejak perkawinan tersebut dilangsungkan, dijatuhi salah
satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan
Pasal 4 ayat (2), dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian
tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil;
(3) Atasan yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat 2,dan
Pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 12, dijatuhi salah
satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun l980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil”

210
Mengubah ketentuan Pasal 17 lama dan selanjutnya
dijadikan ketentuan Pasal 16 baru, sehingga berbunyi
sebagai berikut:

“Pasal 16
Pegawai Negeri Sipil yang menolak melaksanakan ketentuan
pembagian gaji sesuai dengan ketentuan Pasal 8, dijatuhi salah
satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil “
Sesudah Pasal 16 baru ditambah satu ketentuan baru, yang
dijadikan Pasal 17 baru yang berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 17
(1) Tata cara penjatuhan hukuman disiplin berdasarkan
ketentuan Pasal 15 dan atau Pasal 16 Peraturan
Pemerintah ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
(2) Hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil terhadap pelanggaran Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah ini,
berlaku bagi mereka yang dipersamakan sebagai Pegawai
Negeri Sipil menurut ketentuan pasal 1 huruf a angka 2
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983.”

Pasal 2
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

211
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 September 1990
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEH ARTO

Diundang di Jakarta
pada tanggal 6 September 1990
MENTERI/SEKETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


TAHUN 1990 NOMOR 61

212
PENJELASAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 45 TAHUN 1990
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG
IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN
BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

UMUM
Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara, abdi
negara. dan abdi masyarakat diharapkan dapat menjadi teladan
yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan
ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pegawai Negeri Sipil harus menaati kewajiban tertentu dalam
hal hendak melangsungkan perkawinan, beristri lebih dari satu,
dan atau bermaksud melakukan perceraian.
Sebagai unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi
masyarakat Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan
tugasnya diharapkan tidak terganggu oleh urusan kehidupan
rumah tangga/keluarganya.
Dalam pelaksanaannya, beberapa ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tidak jelas. Pegawai Negeri
Sipil tertentu yang seharusnya terkena ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dapat menghindar, baik
secara sengaja maupun tidak, terhadap ketentuan tersebut.
Disamping itu ada kalanya pula Pejabat tidak dapat mengambil
tindakan yang tegas karena ketidakjelasan rumusan ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 itu sendiri,
sehingga dapat memberi peluang untuk melakukan penafsiran
213
sendiri-sendiri. Oleh karena itu dipandang perlu melakukan
penyempurnaan dengan menambah dan atau mengubah
beberapa ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 tersebut.
Beberapa perubahan yang dimaksud adalah mengenai
kejelasan tentang keharusan mengajukan permintaan izin
dalam hal akan ada perceraian, larangan bagi Pegawai Negeri
Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat,
pembagian gaji sebagai akibat terjadinya perceraian yang
diharapkan dapat lebih menjamin keadilan bagi kedua belah
pihak.
Perubahan lainnya yang bersifat mendasar dan lebih memberi
kejelasan terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 ialah mengenai pengertian hidup bersama yang
tidak diatur sebelumnya. Dalam Peraturan Pemerintah ini
disamping diberikan batasan yang lebih jelas, juga ditegaskan
bahwa Pegawai Negeri Sipil dilarang melakukan hidup
bersama. Pegawai Negeri Sipil yang melakukan hidup bersama
dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980.
Mengingat faktor penyebab pelanggaran terhadap Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 berbeda-beda maka sanksi
terhadap pelanggaran yang semula berupa pemberhentian
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai
Negeri Sipil, dalam Peraturan Pemerintah ini diubah menjadi
salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, hal mana dimaksudkan
untuk lebih memberikan rasa keadilan.
Mereka yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil,
apabila melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah ini, dikenakan pula
hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil.

214
PASAL DEMI PASAL
Pasal 3
Ayat (1)
Ketentuan ini berlaku bagi setiap Pegawai Negeri Sipil
yang akan melakukan perceraian, yaitu bagi Pegawai
Negeri Sipil yang mengajukan gugatan perceraian
(penggugat) wajib memperoleh izin lebih dahulu dari
Pejabat, sedangkan bagi Pegawai Negeri sipil yang
menerima gugatan perceraian (tergugat) wajib
memperoleh surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat
sebelum melakukan perceraian.
Ayat (2)
Permintaan izin perceraian diajukan oleh penggugat
kepada Pejabat secara tertulis melalui saluran hierarki
sedangkan tergugat wajib memberitahukan adanya
gugatan perceraian dari suami/istri secara tertulis melalui
saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya
enam hari kerja setelah menerima gugatan perceraian.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa selama
berkedudukan sebagai istri kedua/ketiga/keempat
dilarang menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
215
Setiap atasan yang menerima permintaan izin untuk
melakukan perceraian atau untuk beritri lebih dari
seorang wajib memberikan perimbangan secara tertulis
kepada Pejabat. Pertimbangan itu harus memuat hal-hal
yang dapat digunakan oleh Pejabat dalam mengambil
keputusan, apakah permintaan izin itu mempunyai dasar
yang kuat atau tidak.
Sebagai bahan dalam membuat pertimbangan, atasan
yang bersangkutan dapat meminta keterangan dari
suami/istri yang bersangkutan atau dari pihak lain yang
dipandang dapat memberikan yang meyakinkan.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
216
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (12)
Cukup jelas
Pasal 14
Yang dimaksud dengan hidup bersama adalah melakukan
hubungan sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah yang
seolah-olah merupakan suatu rumah tangga.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (16)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup Jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 3424

217
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 22 TAHUN 1997
TENTANG
JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA
BUKAN PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan mengenai


penetapan jenis dan penyetoran Penerimaan Negara
Bukan Pajak dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun
1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara
Bukan Pajak ke Kas Negara.

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3687).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG JENIS DAN


PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN
PAJAK.
218
Pasal 1
Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah penerimaan
Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan
perpajakan, yang jenisnya sebagaimana dimaksud dalam
lampiran I dan II Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 2
Seluruh jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam lampiran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib disetor langsung
ke Kas Negara.

Pasal 3
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 2, tata cara
penggunaan jenis penerimaan dari kegiatan pendidikan dan
pelayanan kesehatan diatur oleh Menteri Keuangan.

Pasal 4
Pengelolaan penerimaan dalam rangka kegiatan reboisasi,
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini.

Pasal 5
Tatacara pengelolaan jenis-jenis penerimaan dari kegiatan
tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak, diatur dengan Peraturan Pemerintah
tersendiri.

Pasal 6
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dilakukan oleh
Departemen dan Lembaga Non Departemen yang belum
tercakup dalam lampiran Peraturan Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 akan diusulkan sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari lampiran Peraturan Pemerintah ini dan
pencantumannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah
tersendiri.

219
Pasal 7
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan
Peraturan Pemerintah ini diatur oleh Menteri Keuangan.

Pasal 8
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan Di Jakarta, Pada Tanggal 7 Juli 1997


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO

Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 7 Juli 1997


MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997
NOMOR 57

220
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 19 TAHUN 2015
TENTANG
JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA
BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN
AGAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk melakukan penyesuaian jenis dan


tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang berlaku pada Kementerian Agama
sebagaimana telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif
atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
Berlaku pada Departemen Agama, sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004
tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen
Agama, perlu mengatur kembali jenis dan tarif
atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
berlaku pada Kementerian Agama;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20

221
Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan
Pajak, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang berlaku pada
Kementerian Agama;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
43, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3687);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997
tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3694) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan
Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 85,Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3760).
MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG JENIS


DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA
BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA
KEMENTERIAN AGAMA.
Pasal 1
(1) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada
Kementerian Agama meliputi kegiatan yang berasal dari:
a. Perguruan Tinggi Agama Negeri; dan
222
b. Kantor Urusan Agama Kecamatan.
(2) Jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam
Lampiran Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 2
(1) Terhadap jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
berasal dari Perguruan Tinggi Agama Negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a untuk mahasiswa
Diploma dan Sarjana mulai Tahun Angkatan 2013 berlaku
Uang Kuliah Tunggal dengan memperhatikan Biaya Kuliah
Tunggal dan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi
Agama Negeri.
(2) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam
Peraturan Menteri Agama mengenai penetapan Biaya
Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal.
Pasal 3
(1) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
Berasal dari Perguruan Tinggi Agama Negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dikelompokkan
dalam:
a. kategori untuk jenis Seleksi Ujian Masuk,
Sumbangan Pembinaan Pendidikan, Praktikum
Diploma dan Sarjana, Biaya Pendidikan lainnya; dan
b. kelas untuk jenis Jasa penggunaan guest house yang
terkait dengan layanan pendidikan untuk mahasiswa
dan dosen.
(2) Ketentuan mengenai kriteria dan pengelompokan
kategori/kelas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur
dengan Peraturan Menteri Agama.
Pasal 4
(1) Terhadap Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
berasal dari Perguruan Tinggi Agama Negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a
untuk mahasiswa Diploma dan Sarjana sebelum Tahun
223
Angkatan 2013 berupa sumbangan pembinaan
pendidikan dan praktikum sebagaimana tercantum dalam
lampiran dapat dikenakan tarif:
a. Rp0,00 (Nol Rupiah) untuk mahasiswa yang tidak
mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana;
dan
b. Paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk
mahasiswa yang berprestasi.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengenaan tarif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri Agama setelah mendapatkan
persetujuan Menteri Keuangan.
Pasal 5
(1) Setiap warga Negara yang melaksanakan nikah atau rujuk
di Kantor Urusan Agama Kecamatan atau di luar Kantor
Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf b tidak dikenakan biaya pencatatan
nikah atau rujuk.
(2) Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar Kantor
Urusan Agama Kecamatan dikenakan biaya transportasi
dan jasa profesi sebagai penerimaan dari Kantor Urusan
Agama Kecamatan sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran Peraturan Pemerintah ini.
(3) Terhadap warga Negara yang tidak mampu secara
ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan
nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan tarif
Rp0,00 (nol rupiah).
(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara untuk dapat
dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah) kepada warga Negara
yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban
bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar
Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Agama
setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

224
Pasal 6
Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada
Kementerian Agama wajib disetor langsung secepatnya ke Kas
Negara.
Pasal 7
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada
Departemen Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4455), sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004
tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
Berlaku pada Departemen Agama (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 139, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5545), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 April 2015
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 April 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015
NOMOR 78
225
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2015
TENTANG
JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN
PAJAK YANG
BERLAKU PADA KEMENTERIAN AGAMA

I. UMUM
Untuk mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak guna
menunjang pembangunan nasional, Penerimaan Negara Bukan
Pajak pada Kementerian Agama sebagai salah satu sumber
penerimaan negara, perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk
peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Kementerian Agama telah memiliki jenis dan tarif atas jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada
Departemen Agama sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004
tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
Berlaku pada Departemen Agama, namun guna melakukan
penyesuaian jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak pada Kementerian Agama, perlu mengatur
kembali jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama dengan
Peraturan Pemerintah ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3

226
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA


REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5689

227
LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2015
TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG
BERLAKU PADA KEMENTERIAN AGAMA

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA


BUKAN PAJAK
YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN AGAMA

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF


I. PERGURUAN TINGGI AGAMA NEGERI
A. Seleksi Ujian Masuk
1. Diploma dan Sarjana untuk Jalur Mandiri
a. Kategori I per calon mahasiswa Rp 250.000,00
b. Kategori II per calon mahasiswa Rp 150.000,00
c. Kategori III per calon mahasiswa Rp 100.000,00
d. Kategori IV per calon mahasiswa Rp 50.000,00
2. Magister
a. Kategori I per calon mahasiswa Rp 500.000,00
b. Kategori II per calon mahasiswa Rp 375.000,00
c. Kategori III per calon mahasiswa Rp 250.000,00
d. Kategori IV per calon mahasiswa Rp 125.000,00
3. Doktor
a. Kategori I per calon mahasiswa Rp 1.000.000,00
b. Kategori II per calon mahasiswa Rp 750.000,00
c. Kategori III per calon mahasiswa Rp 500.000,00
d. Kategori IV per calon mahasiswa Rp 250.000,00
B. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP)

1. Diploma dan Sarjana sebelum Tahun Angkatan


2013

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF

per mahasiswa per


a. Kategori I Rp 1.200.000,00
semester

per mahasiswa per


b. Kategori II Rp 900.000,00
semester

228
per mahasiswa per
c. Kategori III Rp 600.000,00
semester

per mahasiswa per


d. Kategori IV Rp 400.000,00
semester

2. Pasca Sarjana

per mahasiswa per


a. Kategori I Rp 5.000.000,00
semester

per mahasiswa per


b. Kategori II Rp 3.750.000,00
semester

per mahasiswa per


c. Kategori III Rp 2.500.000,00
semester

per mahasiswa per


d. Kategori IV Rp 1.250.000,00
semester

3. Doktor

per mahasiswa per


a. Kategori I Rp 8.000.000,00
semester

per mahasiswa per


b. Kategori II Rp 6.000.000,00
semester

per mahasiswa per


c. Kategori III Rp 4.000.000,00
semester

per mahasiswa per


d. Kategori IV Rp 2.000.000,00
semester

C. Praktikum Diploma dan Sarjana sebelum Tahun


Angkatan 2013

per mahasiswa per


a. Kategori I Rp 2.500.000,00
semester

per mahasiswa per


b. Kategori II Rp 1.875.000,00
semester

per mahasiswa per


c. Kategori III Rp 1.250.000,00
semester

per mahasiswa per


d. Kategori IV Rp 625.000,00
semester

D. Biaya Pendidikan lainnya

1. Matrikulasi Magister, Doktor

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF

per mahasiswa per


a. Kategori I Rp 1.750.000,00
semester

per mahasiswa per


b. Kategori II Rp 1.300.000,00
semester

229
per mahasiswa per
c. Kategori III Rp 875.000,00
semester

per mahasiswa per


d. Kategori IV Rp 300.000,00
semester

2. Ma’had

per mahasiswa per


a. Kategori I Rp 750.000,00
semester

per mahasiswa per


b. Kategori II Rp 625.000,00
semester

per mahasiswa per


c. Kategori III Rp 500.000,00
semester

per mahasiswa per


d. Kategori IV Rp 375.000,00
semester

3. Keanggotaan Perpustakaan
a. Kategori I per orang Rp 200.000,00
b. Kategori II per orang Rp 150.000,00
c. Kategori III per orang Rp 100.000,00
d. Kategori IV per orang Rp 50.000,00
4. Daftar Ulang Perpanjangan Studi
a. Sarjana sebelum Tahun Angkatan 2013

per mahasiswa per


1) Kategori I Rp 500.000,00
semester

per mahasiswa per


2) Kategori II Rp 400.000,00
semester

per mahasiswa per


3) Kategori III Rp 300.000,00
semester

per mahasiswa per


4) Kategori IV Rp 200.000,00
semester

b. Magister

per mahasiswa per


1) Kategori I Rp 1.250.000,00
semester

per mahasiswa per


2) Kategori II Rp 950.000,00
semester

per mahasiswa per


3) Kategori III Rp 625.000,00
semester

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF

per mahasiswa per


4) Kategori IV Rp 300.000,00
semester

c. Doktor

230
per mahasiswa per
1) Kategori I Rp 3.000.000,00
semester

per mahasiswa per


2) Kategori II Rp 2.500.000,00
semester

per mahasiswa per


3) Kategori III Rp 2.000.000,00
semester

per mahasiswa per


4) Kategori IV Rp 1.500.000,00
semester

5. Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) Diploma dan


Sarjana sebelum Tahun Angkatan 2013

a. Kategori I per mahasiswa Rp 750.000,00


b. Kategori II per mahasiswa Rp 562.000,00
c. Kategori III per mahasiswa Rp 375.000,00
d. Kategori IV per mahasiswa Rp 200.000,00

6. Kuliah Kerja Nyata (KKN)/Kuliah Pengabdian


Masyarakat (KPM) Diploma dan Sarjana sebelum
Tahun Angkatan 2013

a. Kategori I per mahasiswa Rp 800.000,00


b. Kategori II per mahasiswa Rp 700.000,00
c. Kategori III per mahasiswa Rp 500.000,00
d. Kategori IV per mahasiswa Rp 450.000,00
7. Ujian Akhir

a. Skripsi dan Sarjana sebelum Tahun Angkatan


2013

1) Kategori I per mahasiswa Rp 1.000.000,00


2) Kategori II per mahasiswa Rp 750.000,00
3) Kategori III per mahasiswa Rp 500.000,00
4) Kategori IV per mahasiswa Rp 250.000,00
b. Tesis Magister
1) Kategori I per mahasiswa Rp 3.800.000,00
2) Kategori II per mahasiswa Rp 2.850.000,00
3) Kategori III per mahasiswa Rp 1.900.000,00
4) Kategori IV per mahasiswa Rp 1.000.000,00
c. Desertasi Doktor Terbuka dan Tertutup
JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF
1) Kategori I per mahasiswa Rp 16.000.000,00
2) Kategori II per mahasiswa Rp 12.000.000,00
3) Kategori III per mahasiswa Rp 8.000.000,00
4) Kategori IV per mahasiswa Rp 5.000.000,00

231
8. Wisuda

a. Diploma dan Sarjana sebelum Tahun Angkatan


2013

1) Kategori I per mahasiswa Rp 600.000,00


2) Kategori II per mahasiswa Rp 500.000,00
3) Kategori III per mahasiswa Rp 400.000,00
4) Kategori IV per mahasiswa Rp 300.000,00
b. Magister
1) Kategori I per mahasiswa Rp 1.000.000,00
2) Kategori II per mahasiswa Rp 750.000,00
3) Kategori III per mahasiswa Rp 500.000,00
4) Kategori IV per mahasiswa Rp 300.000,00
c. Doktor
1) Kategori I per mahasiswa Rp 1.000.000,00
2) Kategori II per mahasiswa Rp 900.000,00
3) Kategori III per mahasiswa Rp 800.000,00
4) Kategori IV per mahasiswa Rp 700.000,00
9. Layanan Bahasa Asing

per mahasiswa per


a. Kategori I Rp 400.000,00
kegiatan

per mahasiswa per


b. Kategori II Rp 300.000,00
kegiatan

per mahasiswa per


c. Kategori III Rp 200.000,00
kegiatan

per mahasiswa per


d. Kategori IV Rp 100.000,00
kegiatan

10. Layanan Kesehatan Mahasiswa


a. Kategori I per mahasiswa Rp 200.000,00
b. Kategori II per mahasiswa Rp 150.000,00
c. Kategori III per mahasiswa Rp 100.000,00
d. Kategori IV per mahasiswa Rp 50.000,00

11. Pembinaan dan Pengembangan Mahasiswa


Magister

per mahasiswa per


a. Kategori I Rp 2.000.000,00
angkatan

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF

per mahasiswa per


b. Kategori II Rp 1.500.000,00
angkatan

per mahasiswa per


c. Kategori III Rp 1.000.000,00
angkatan

232
per mahasiswa per
d. Kategori IV Rp 500.000,00
angkatan

E. Jasa penggunaan guest house (sesuai tugas dan


fungsi)

a. Kelas I per hari per orang Rp 250.000,00


b. Kelas II per hari per orang Rp 150.000,00
c. Kelas III per hari per orang Rp 750.000,00
d. Kelas IV per hari per orang Rp 50.000,00

per peristiwa nikah


II. KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN Rp 600.000,00
atau rujuk

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JOKO WIDODO

233
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 1 TAHUN 1991

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa Alim Ulama Indonesia dalam lokakarya


yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai
dengan 5 Pebruari 1998 telah menerima baik tiga
rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu
Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II
tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang
Hukum Perwakafan;
b. bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam
huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh
masyarakat yang memerlukannya dapat
dipergunakan sebagai pedoman dalam
menyelesaikan masalah-masalah di bidang
tersebut;
c. bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam
tersebut dalam huruf a perlu disebarluaskan.

Mengingat : Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.

MENGINSTRUKSIKAN
Kepada : Menteri Agama
Untuk
PERTAMA :
Menyebarkan luaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri
dari:
234
a. Buku I tentang Hukum Perkasinan
b. Buku II tentang Hukum Kewarisan
c. Buku III tentang Hukum Perwakafan
Sebagai telah diterima dalam Loka Karya di Jakarta
pada tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1988, untuk
digunakan oleh instansi Pemerintah dan oleh
masyarakat yang memerlukannya.
KEDUA :
Melaksanakan Instruksi ini dengan sebaik-baiknya dengan
penuh tanggungjawab.

Dikeluarkan di Jakarta Pada tanggal 10 Juni 1991


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan

BAMBANG KESOWO, SH, LL M.

235
KOMPILASI HUKUM ISLAM
BUKU I
HUKUM PERKAWINAN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dengan :
a. Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah
terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria
dengan seorang wanita,
b. Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri
Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak
dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah;
c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali
dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau
wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi;
d. Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada
calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau
jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam;
e. Taklik-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon
mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam
Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada
suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang
akan datang;
f. Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah
harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama
suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung
selanjutnya sisebut harta bersama, tanpa mempersoalkan
terdaftar atas nama siapapun;
g. Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan
mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa
atau mampu berdiri sendiri;

236
h. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada
seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum
sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang
tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih
hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
i. Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan
isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan
atas persetujuan suaminya;
j. Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang
dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.

BAB II
DASAR-DASAR PERKAWINAN
Pasal 2
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.

Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-
undang No. 32 Tahun 1954.
237
Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap
perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.

Pasal 7
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah
yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan
Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama
terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian;
b. Hilangnya Akta Nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu
syarat perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-
Undang No.1 Thaun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah
suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak
yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan
dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik
yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau
putusan taklik talak.

238
Pasal 9
(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan
karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya
kepada Pengadilan Agama.
(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dalam ayat (1) tidak
dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke
Pengadilan Agama.

Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku
Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat
Nikah.

BAB III
PEMINANGAN
Pasal 11
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang
berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula
dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.

Pasal 12
(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang
masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa
iddahya.
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa
iddah raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang.
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang
dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum
putus atau belaum ada penolakan dan pihak wanita.
(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan
tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-
diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan
meninggalkan wanita yang dipinang.

239
Pasal 13
(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak
bebas memutuskan hubungan peminangan.
(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan
dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agar
dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan
dan saling menghargai.

BAB IV
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
Bagian Kesatu Rukun
Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.

Bagian Kedua Calon Mempelai


Pasal 15
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,
perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang
telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7
Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri
sekurang- kurangnya berumur 16 tahun
(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam
pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.
Pasal 16
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.

240
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa
pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau
isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak
ada penolakan yang tegas.
Pasal 17
(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat
Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon
mempelai di hadapan dua saksi nikah.
(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang
calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat
dilangsungkan.
(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna
rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau
isyarat yang dapat dimengerti.
Pasal 18
Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan
pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana
diatur dalam bab VI.

Bagian Ketiga Wali Nikah


Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki
yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan
baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari :
a. Wali nasab;
b. Wali hakim.

241
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan
kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok
yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan
calon mempelai wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus
keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah
dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki
kandung atau saudara laki-laki seayah,
dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-
laki kandung ayah, saudara seayah dan
keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek,
saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-
laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa
orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang
paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat
kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan
aka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat
kandung dari kerabat yang seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya
sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama
dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak
menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua
dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak
memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali
nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur,

242
maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain
menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila
wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya
atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal
atau enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru
dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan
pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Bagian Keempat
Saksi Nikah
Pasal 24
(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan
akad nikah.
(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah
seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu
ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad
nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan
ditempat akad nikah dilangsungkan.

Bagian Kelima
Akad Nikah
Pasal 27
Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas
beruntun dan tidak berselang waktu.

243
Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah
yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 29
(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria
secara pribadi.
(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan
kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria
memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa
penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk
mempelai pria.
(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon
mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh
dilangsungkan.

BAB V
MAHAR
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon
mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati
oleh kedua belah pihak.
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan
kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan
sejak itu menjadi hak pribadinya.

Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan
mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau
244
sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya
menjadi hutang calon mempelai pria.
Pasal 34
(1) Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun
dalam perkawinan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu
akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan.
Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang,
tidak mengurangi sahnya perkawinan.
Pasal 35
(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib
membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam
akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi
besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib
membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat
diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya
atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang
yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.

Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar
yang ditetapkan, penyelasaian diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau
kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia menerimanya
tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas.
(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena
cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang

245
tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan,
mahar dianggap masih belum dibayar.

BAB VI
LARANGAN KAWIN
Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita disebabkan :
(1) Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang
menurunkannya atau keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
(2) Karena pertalian kerabat semenda :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau
bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang
menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas
isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan
dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut
garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya
menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan
kemenakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi
sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan
keturunannya.

246
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
denagn seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah
dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 41
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang
wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau
sesusuan dengan isterinya;
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau
keturunannya;
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun
isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa
iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4
(empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali
perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah
seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang
yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.
Pasal 43
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak
tiga kali;
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau
bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian

247
perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis
masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

BAB VII
PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian
perkawinan dalam bentuk :
1. Taklik talak dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam.
Pasal 46
(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum
Islam.
(2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-
betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh.
Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus
mengajukan persoalannya ke pengadilan Agama.
(3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib
diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik
talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 47
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua
calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang
disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan
harta dalam perkawinan.
(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi
percampuran harta pribadi dan pemisahan harta

248
pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan Islam.
(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh
juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-
masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi
dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah
harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut
tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga.
(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi
ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi
pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan
kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah
tangga.
Pasal 49
(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua
harta, baik yang dibawa masing- masing ke dalam
perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama
perkawinan.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1)
dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi
yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan,
sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang
diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada
para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai
tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai
Pencatat Nikah
(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas
persetujuan bersama suami isteri dan wajib

249
mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah
tempat perkawinan dilangsungkan
(3) Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat
kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan
baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan
suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.
(4) Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak
dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan
dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak
ketiga.
(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak
boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat
sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada
isteri untuk memeinta pembatalan nikah atau mengajukannya.
Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua,
ketiga dan keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat
kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri
yang akan dinikahinya itu.

BAB VIII
KAWIN HAMIL
Pasal 53
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat
(1) dapat dialngsungkan tanpa menunggu lebih dahulu
kelahiran anaknya.

250
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita
hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak
yang dikandung lahir.

Pasal 54
(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak
boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh
bertindak sebagai wali nikah.
(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali
nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak
sah.
BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 55
(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas
hanya sampai empat isteri.
(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus
mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak
mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.
Pasal 56
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus
mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1)
dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur
dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau
keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :

251
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2)
maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus
pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu:
a. adanya pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri
atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau
denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,
persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri
pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-
isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak
ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-
kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu
mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan
permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang
berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55
ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tenyang
pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang
bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap
penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau
kasasi.
252
BAB X
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 60
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari
suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan
Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami
atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 61
Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah
perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama
atau ikhtilaafu al dien.

Pasal 62
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah,
saudar, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon
mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan
(2) Ayah kandung yang tidak penah melaksankan fungsinya
sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya unuk
mencegah perkawinan yang akna dilakukan oleh wali nikah
yang lain.
Pasal 63
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri
yang masih terikat dalam perkawinan dalam perkawinan
dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan
melangsungkan perkawinan.

253
Pasal 64
Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan
berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat
perkawinan tidak terpenuhi.
Pasal 65
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan
Agama dalam daerah Hukum di mana perkawinan akan
dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada
Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai
permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat
(1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Pasal 66
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan
belum dicabut.
Pasal 67
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik
kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama
oleh yang mencegah atau dengan putusan Pengadilan Agama.
Pasal 68
Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan
atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui
adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8,
pasal 9, pasal 10 atau pasal 12 Undang-undang No.1 Tahun
1974 meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal 69
(1) Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap
perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-
undang No.1 Tahun 1974 maka ia akan menolak
melangsungkan perkawinan.
(2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak
yang ingin melangsungkan perkawinan oleh Pegawai
254
Pencatat Nikah akan diberikan suatu keterangan tertulis
dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan
penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berjak mengajukan
permohonan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah
mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan
penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan,
dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut
diatas.
(4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan
acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apabila
akan menguatkan penolakan tersebut ataukah
memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan
yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para
pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan
tentang maksud mereka.

BAB XI
BATALNYA PERKAWINAN
Perkawinan batal apabila :
Pasal 70
Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak
melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang
isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah
talak raj`i;
a. seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya;
b. seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi
tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut
pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi
ba`da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa
iddahnya;
c. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai
hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat

255
tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8
Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu :
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus
kebawah atau keatas.
2. berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara
orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya.
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu
dan ibu atau ayah tiri.
4. berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak
sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
d. isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau
kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya.
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan
Agama;
b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui
masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari
suami lain;
d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan
sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang-
undang No.1. tahun 1974;
e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan
oleh wali yang tidak berhak;
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan
dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu
256
berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah
sangka mengenai diri suami atau isteri
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka
itu menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri,
dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 73
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
adalah :
a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke
bawah dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan
perkawinan menurut Undang-undang.
d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya
cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum
Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
tersebut dalam pasal 67.
Pasal 74
(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan
kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal
suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan.
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan
pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap
dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut
terhadap :
a. perkawinan yang batal karena salah satu suami atau
isteri murtad;
b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

257
c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak
dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan pembatalan
perkawinan kekutan hukum yang tetap.
Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan
hukum antara anak dengan orang tuanya.

BAB XII
HAK DAN KEWJIBAN SUAMI ISTERI
Bagian Kesatu Umum
Pasal 77
(1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah
dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan
masyarakat
(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang
satu kepada yang lain;
(3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan
memelihara anak-anak mereka, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan
pendidikan agamanya;
(4) suami isteri wajib memelihara kehormatannya;
(5) jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Agama
Pasal 78
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan
oleh suami isteri bersama.

258
Bagian Kedua
Kedudukan Suami Isteri
Pasal 79
(1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
(2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum.
Bagian Ketiga
Kewajiban Suami
Pasal 80
(1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah
tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah
tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri
bersama.
(2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya
(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada
isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan
yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan
bangsa.
(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendididkan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada
ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada
tamkin sempurna dari isterinya.
(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban
terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf
a dan b.
259
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur
apabila isteri nusyuz.
Bagian Keempat
Tempat Kediaman
Pasal 81
(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan
anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk
isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah
talak atau iddah wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan
anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka
merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga
berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan,
sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah
tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan
kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan
lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat
perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang
lainnya.

Bagian Kelima
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dari Seorang
Pasal 82
(1) Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang
berkewajiban memberikan tempat tiggal dan biaya hidup
kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut
besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-
masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
(2) Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat
menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.

260
Bagian Keenam Kewajiban Isteri
Pasal 83
(1) Kewajibn utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan
batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum
islam.
(2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah
tangga sehari-hari dengan sebaik- baiknya.
Pasal 84
(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau
melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan
yang sah
(2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap
isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak
berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku
kembali sesudah isteri nusyuz
(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri
harus didasarkan atas bukti yang sah.

BAB XIII
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing- masing suami atau
isteri.
Pasal 86
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami
dan harta isteri karena perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh
olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak
suami dan dikuasi penuh olehnya.

261
Pasal 87
(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta
yang diperoleh masing-masing sebagai hasiah atau
warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing,
sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing
berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
Pasal 88
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang
harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan
kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri
maupun harta sendiri.
Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun
harta suami yang ada padanya.
Pasal 91
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di
atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
(2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak
bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak
maupun kewajiban.
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan
oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pasal 92
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak
diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.

262
Pasal 93
1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri
dibebankan pada hartanya masing-masing.
2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk
kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada
harta suami.
4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan
kepada harta isteri

Pasal 94
1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai isteri lebih dari seorang,masing- masing
terpisah dan berdiri sendiri.
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami
yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad
perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.

Pasal 95
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf
c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136
untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa
adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu
melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan
harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
2. Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta
bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan
Agama.
Pasal 96
1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama
menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama,.
2. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri
yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan
263
sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya
secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.

BAB XIV
PEMELIHARAAN ANAK
Pasal 98
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa
adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat
fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan
perkawinan.
(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat
terdekat yang mampu menunaikan kewajiban trsebut
apabila kedua orang tuanya tidak mampu.
Pasal 99
Anak yang sah adalah :
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang
sah;
b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan
dilahirkan oleh isteri tersebut.
Pasal 100
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 101
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang
isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan
pengingkarannya dengan li`an.
264
Pasal 102
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir
dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya
atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah
suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan
berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan
perkaranya kepada Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu
tersebut tidak dapat diterima
Pasal 103
(1) Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan
akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat
(1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak
setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan
bukti bukti yang sah.
(3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat
(2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam
daerah hukum Pengadilan Agama trwebut mengeluarkan
akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Pasal 104
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggung jawabkan
kepada ayahnya. Apabila ayahya stelah meninggal dunia,
maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang
berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau
walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan
dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun
dengan persetujuan ayah dan ibunya.

265
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan
kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya
sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Pasal 106
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan
harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah
pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau
menggadaikannya kecuali karena keperluan yang
mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu
menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat
dihindarkan lagi.
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang
ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban
tersebut pada ayat (1).

BAB XV
PERWALIAN
Pasal 107
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai
umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan
perkawinan.
(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta
kekayaanya.
(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan
tugas perwaliannya, maka pengadilan Agama dapat
menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai
wali atas permohonan kerabat tersebut.

266
(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut
atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil,
jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.
Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan
hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak
atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.

Pasal 109
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang
atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain
atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk,
penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalah
gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan
orang yang berada di bawah perwaliannya.

Pasal 110
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang
berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan
berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan
dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang
berada di bawah perwaliannya.
(2) Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan
harta orang yang berada dibawah perwaliannya, kecuali
bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang
berada di bawah perwaliannya yang tidak dapat
dihindarkan.
(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada
di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang
timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam
pasal 51 ayat (4) Undang-undang No.1 tahun 1974,
pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus

267
dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun
satu kali.

Pasal 111
(1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang
berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan
telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah.
(2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama
berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang
yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang
diserahkan kepadanya.
Pasal 112
Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya
menurut kepatutan atau bil ma`ruf kalau wali fakir.

BAB XVI
PUTUSNYA PERKAWINAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 113
Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian,
b. Perceraian, dan
c. atas putusan Pengadilan.
Pasal 114
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian
dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan
perceraian.

268
Pasal 115
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan;
b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima)
tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak lain;
e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami atau isteri;
f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami melanggar taklik talak;
h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Pasal 117
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan
cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.
269
Pasal 118
Talak Raj`i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami
berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.

Pasal 119
(1) Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk
tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya
meskipun dalam iddah.
(2) Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1)
adalah :
a. talak yang terjadi qabla al dukhul;
b. talak dengan tebusan atahu khuluk;
c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 120
Talak Ba`in Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga
kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat
dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan
setelah bekas isteri, menikah degan orang lain dan kemudian
terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.
Pasal 121
Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang
dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri
dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122
Talak bid`i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang
dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri
dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci
tersebut.
Pasal 123
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu
dinyatakan di depan sidang pengadilan.

270
Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri
untuk selama-lamnya.
Pasal 126
Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan
atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir
dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau
pengingkaran tersebut.
Pasal 127
Tata cara li`an diatur sebagai berikut :
a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina
dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah
kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila
tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”
b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut
dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan
atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah
kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya
:tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”;
c. tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan
satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d. apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara
huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`an.
Pasal 128
Li`an hanya sah apabila dilakukann di hadapan sidang
Pengadilan Agama.

Bagian Kedua
Tata Cara Perceraian
Pasal 129
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya
mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri

271
disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang
untuk keperluan itu.
Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak
permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat
diminta upaya hukum banding dan kasasi
Pasal 131
1. Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari
permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu
selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon
dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan
talak.
2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati
kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk
menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin
lagi hidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan Agama
menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk
mengikrarkan talak.
3. Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap
suami mengikrarkan talaknya disepan sidang Pengadilan
Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6
(enam) bulah terhitung sejak putusan Pengadilan Agama
tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum
yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur
dan ikatan perkawinan yang tetap utuh.
5. Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama
membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap
empat yang merupakan bukti perceraian baik bekas suami
dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan
kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan

272
ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri dan
helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama
Pasal 132
1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada
Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi
tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
2. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri,
Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan
tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik
Indonesia setempat.
Pasal 133
1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal
116 huruf b, dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun
terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan
meninggalkan rumah.
2. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau
menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah
kediaman besama.
Pasal 134
Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116
huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi
Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan
pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta
orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.
Pasal 135
Gugatan perceraraian karena alsan suami mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai
dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan
putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup
menyapaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan
perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan
itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
273
Pasal 136
(1) Selama berlangsungya gugatan perceraian atas
permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan
pertimbangan bahaya yang mingkin ditimbulkan,
Penghadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri
tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas
permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama
dapat :
a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh
suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami isteri atau barang-barang yang
menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi
hak isteri
Pasal 137
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal
sebelum adanya putusan pengadilan Agama mengenai
gugatan perceraian itu.
Pasal 138
(1) Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat
tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan
dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan
pengumuman di Pengadilan Agama dan
mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar
atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan
Agama.
(2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar
atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2
(dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara
pengumuman pertama dan kedua

274
(3) Tenggang waktu antara penggilan terakhir sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dengan persidangan ditetapkan
sejurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
(4) Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir,
gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila
gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
Pasal 140
Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 132 ayat (2), panggilan disampaikan
melalui perwakilan Republik Indonesia setempat
Pasal 141
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian
(2) Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu
diperhatian tenyang waktu pemanggilan dan diterimanya
panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau
kuasa meeka.
(3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut
dalam pasal 116 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan
perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan
terhitung sejak dimasukkanya gugatan perceraian pada
Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Pasal 142
1. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami
isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.
2. Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk
kepentingan pemeriksaan Hakim dapat memerintahkan
yang bersangkutan untuk hadir sendiri.
Pasal 143
1. Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak.
275
2. Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan
dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Pasal 144
Apabila terjadi pedamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan
perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang
ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat
pada waktu dicapainya perdamaian.
Pasal 145
Apabila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan
perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 146
(1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam
sidang terbuka.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya
terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang
telah mempuntai kekuatan hukum yang tetap
Pasal 147
(1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka panitera
Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat putusan
tersebut kepada suami isteri atau kuasanya dengan
menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang
bersangkutan.
(2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan
satu helai salinan putusan Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai
kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
tinggal isteri untuk diadakan pencatatan.
(3) Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat Keterangan
kepada masing-masing suami isteri atau kuasanya bahwa
putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan
bekas istri.

276
(4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang
yang tesedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan
bahwa mereka telah bercerai.
(5) Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian,
tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta
tanda tangan panitera.
(6) Apabila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat
Nikah tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu
helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana
dimaksud dalam ayat(2) dikirimkan pula kepada Pegawai
Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan
dilangsungka dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di
luar Negeri Salinan itu disampaikan kepada Pegawai
Pencatat Nikah Jakarta.
(7) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat
(1) menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan,
apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi
bekas suami atau isteri atau keduanya.
Pasal 148
(1) Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian
dengan jalan khuluk, menyanpaikan permohonannya
kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggalnya disertai alasan atau lasan-alasannya.
(2) Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan
memanggil isteri dan suaminya untuk didengar
keterangannya masing-masing.
(3) Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama
memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan
memberikan nasehat-nasehatnya.
(4) Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl
atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan
penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan
talaknya didepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap

277
penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan
kasasi.
(5) Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang
diatur dalam pasal 131 ayat (5)
(6) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya
tebusanatau iwadl Pengadilan Agama memeriksa dan
memutuskan sebagai perkara biasa.

BAB XVII
AKIBAT PURUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu Akibat Talak
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami
wajib:
a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya,
baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut
qobla al dukhul;
b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri
selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak
ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan
separoh apabila qobla al dukhul;
d. memeberikan biaya hadhahan untuk anak-anaknya yang
belum mencapai umur 21 tahun
Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas istrinya
yang masih dalam iddah.
Pasal 151
Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak
menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.

278
Pasal 152
Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas
suaminya kecuali ia nusyuz.

Bagian Kedua
Waktu Tunggu
Pasal 153
(1) Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku
waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan
perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
(2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai
berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian,
walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan
130 (seratus tiga puluh) hari:
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu
tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali
suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan
puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90
(sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang
janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan;
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang
janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan.
(3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan
karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan
bekas suaminya qobla al dukhul.
(4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang
waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan
Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap,

279
sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian,
tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
(5) Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada
waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka
iddahnya tiga kali waktu haid.
(6) Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui,
maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam
waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya
menjadi tiga kali waktu suci.
Pasal 154
Apabila isteri bertalak raj`i kemudian dalam waktu iddah
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5)
dan ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka
iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung
saat matinya bekas suaminya.
Pasal 155
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena
khuluk, fasakh dan li`an berlaku iddah talak.

Bagian Ketiga
Akibat Perceraian
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan
hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal
dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping
dari ayah.

280
b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk
mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;
c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat
menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun
biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas
permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan
Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat
lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung
jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya
sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri
(21 tahun)
e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan
nafkah anak, Pengadilan Agama membverikan putusannya
berdasarkan huruf (a),(b), dan (d);
f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan
ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan
dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
Pasal 157
Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana
tersebut dalam pasal 96, 97

Bagian Keempat
Mut`ah
Pasal 158
Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat :
a. belum ditetapkan mahar bagi isteri ba`da al dukhul;
b. perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159
Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat
tersebut pada pasal 158

281
Pasal 160
Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan
kemampuan suami.

Bagian Kelima
Akibat Khuluk
Pasal 161
Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan
tak dapat dirujuk

Bagian Keenam
Akibat Li`an
Pasal 162
Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk
selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada
ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi
nafkah.

BAB XVIII
RUJUK

Bagian Kesatu Umum


Pasal 163
(1) Seorang suami dapat merujuk isterinya yang dalam masa
iddah.
(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak
yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan
qobla al dukhul;
b. putusnya perkawinan berdasarkan putusan
pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain
zina dan khuluk.

282
Pasal 164
Seorang wanita dalam iddah talak raj`i berhak mengajukan
keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan
Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi

Pasal 165
Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat
dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Pasal 166
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku
Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak
sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan
duplikatbya kepada instansi yang mengeluarkannya semula.

Bagian Kedua
Tata Cara Rujuk
Pasal 167
(1) Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-
sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal
suami isteri dengan membawa penetapan tentang
terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan
(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan
Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah.
(3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah memeriksa dan meyelidiki apakah suami yang akan
merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut
hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan
masih dalam iddah talak raj`i, apakah perempuan yang
akan dirujuk itu adalah isterinya.

283
(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-
masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi
menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
(5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah
atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati
suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka
yang berhubungan dengan rujuk.
Pasal 168
(1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan
ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan
beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai
Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat
keterengan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku
Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.
(2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15
(lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
(3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan
dari daftar lembar kedua, dengan berita acara tentang
sebab-sebab hilangnya.
Pasal 169
(1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan
tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada
Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang
bersangkutan, dan kepada suami dan isteri masing-masing
diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh
yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
(2) Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan
Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Pengadilan
Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk
mengurus dan mengambil Kutipan akta Nikah masing-
284
masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh
Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia ppada
Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan
benar telah rujuk.
(3) Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya
rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan
Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera.
BAB XIX
MASA BERKABUNG

Pasal 170
(1) Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib
melaksanakan masa berkabung selama masa iddah
sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga
timbulnya fitnah.
(2) Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa
berkabung menurut kepatutan.

BUKU II
HUKUM KEWARISAN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 171
Yang dimaksud dengan:
a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing.
b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau
yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan
harta peninggalan.
285
c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh
pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya
maupun hak-haknya.
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari
harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris
selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk
kerabat.
f. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris
kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah
pewaris meninggal dunia.
g. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan
tanpa imbalan dari seseorang kepada aorang lain yang
masih hidup untuk dimiliki.
h. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk
hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada
orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.
i. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan.

BAB II
AHLI WARIS
Pasal 172
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari
Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,
sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum
dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.

286
Pasal 173
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
dihukum karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh
atau menganiaya berat para pewaris;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.
Pasal 174
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
- golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki,
saudara laki-laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak
perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau
janda.
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Pasal 175
(1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
a. mengurus dan menyelesaikan sampai
pemakaman jenazah selesai;
b. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa
pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban
pewaris maupun penagih piutang;
c. menyelesaikan wasiat pewaris;
d. membagi harta warisan di antara wahli waris yang
berhak.

287
(2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau
kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai
harta peninggalannya.

BAB III
BESARNYA BAHAGIAN
Pasal 176
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh
bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama
mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anask perempuan
bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-
laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
Pasal 177
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam
bagian.1
Pasal 178
(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua
saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang
saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.
(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil
oleh janda atau duda bila bersama- sama dengan ayah.
Pasal 179
Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak,
maka duda mendapat seperempat bagaian.
Pasal 180

1
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 2 Tahun 1994,
maksud pasal tersebut ialah : ayah mendapat sepertiga bagfian bila pewaris
tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak,
ayah mendapat seperenam bagian
288
Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka
janda mendapat seperdelapan bagian.
Pasal 181
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah,
maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-
masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua
orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat
sepertiga bagian.
Pasal 182
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah,
sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau
seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila saudara
perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara
perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka
mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.
Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan
saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara
laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.

Pasal 183
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam
pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari
bagiannya.
Pasal 184
Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu
melaksanakan hak dan kewajibannyua, maka baginya diangkat
wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.

289
Pasal 185
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris
maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya,
kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian
ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Pasal 186
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari
pihak ibunya.
Pasal 187
(1) bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan,
maka oleh pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli
waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana
pembagian harta warisan dengan tugas:
a. mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik
berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang
kemudian disahkan oleh para ahli waris yang
bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang;
b. menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan
pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan
c.
(2) Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan
harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang
berhak.
Pasal 188
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan
dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain
untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara
ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan
Agama untuk dilakukan pembagian warisan.

290
Pasal 189
(1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang
luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan
kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk
kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.
(2) Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak
dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang
bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan
tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris
yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris
yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Pasal 190
Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-
masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari
rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan
bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya.
Pasal 191
Bila pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali atau ahli
warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut
atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya
kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan
kesejahteraan umum.

BAB IV
AUL DAN RAD
Pasal 192
Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli
warisnya Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang
lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut
dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah
itu harta warisnya dibagi secara aul menutu angka pembilang.

291
Pasal 193
Apabila dalam pembarian harta warisan di antara para ahli
waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih
kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris
asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan
secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing- masing ahli waris
sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka.

BAB V
WASIAT
Pasal 194
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21
tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat
mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain
atau lembaga.
(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari
pewasiat.
(3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan
sesudah pewasiat meninggal dunia.
Pasal 195
(1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi,
atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan
Notaris.
(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya
sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli
waris menyetujui.
(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua
ahli waris.
(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini
dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau
tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris.

292
Pasal 196
Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus
disebutkan dengan tegas dan jelas siapa- siapa atau lembaga
apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang
diwasiatkan.
Pasal 197
(1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat
berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dihukum karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat;
b. dipersalahkan secara memfitrnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan sesuatu
kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara
atau hukuman yang lebih berat;
c. dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman
mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut
atau merubah wasiat untuk kepentingan calon
penerima wasiat;
b. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau
memalsukan surat wasiat dan pewasiat.
(2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk
menerima wasiat itu:
a. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai
meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat;
b. mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak
untuk menerimanya;
c. mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah
menyatakan menerima atau menolak sampai ia
meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
(3) Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.

293
Pasal 198
Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun
pemanfaatan suatu benda haris diberikan jangka waktu
tertentu.
Pasal 199
(1) Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon
penerima wasiat belum menyatakan persetujuan atau
sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik
kembali.
(2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan
disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan
disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte
Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
(3) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat
dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua
orang saksi atau berdasarkan akte Notaris.
(4) Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya
dapat dicabut berdasartkan akte Notaris.

Pasal 200
Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena
suatu sebab yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan
yang terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia, maka
penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa.
Pasal 201
Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan
ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya
dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.
Pasal 202
Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan
sedangkan harta wasiat tidak mencukupi, maka ahli waris dapat
menentukan kegiatan mana yang didahulukan pelaksanaannya.
294
Pasal 203
(1) Apabila surat wasiat dalam keadaan tertup, maka
penyimpanannya di tempat Notaris yang membuatnya atau
di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada
hubungannya.
(2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal
199 maka surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan
kembali kepada pewasiat.
Pasal 204
(1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang
tertutup dan disimpan pada Notaris, dibuka olehnya di
hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan
dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat itu.
(2) Jikas surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada
Notaris maka penyimpan harus menyerahkan kepada
Notaris setempat atau Kantor Urusan Agama setempat dan
selanjutnya Notaris atau Kantor Urusan Agama tersebut
membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal
ini.
(3) Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui
maka oleh Notaris atau Kantor Urusan Agama diserahkan
kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya.
Pasal 205
Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang
termasuk dalam golongan tentara dan berada dalam daerah
pertewmpuran atau yang berda di suatu tempat yang ada
dalam kepungan musuh, dibolehkan membuat surat wasiat di
hadapan seorang komandan atasannya dengan dihadiri oleh
dua orang saksi.
Pasal 206
Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan
membuat surat wasiat di hadapan nakhoda atau mualim kapal,
dan jika pejabat tersebut tidak ada, maka dibuat di hadapan
295
seorang yang menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang
saksi.
Pasal 207
Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan
pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang
memberi tuntutran kerohanian sewaktu ia mewnderita sakit
sehingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan
jelas untuk membalas jasa.
Pasal 208
Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte
tersebut.
Pasal 209
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal
176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan
terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat
diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
wasiat anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan
orang tua angkatnya.

BAB VI
HIBAH
Pasal 210
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun
berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan
sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain
atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari
penghibah.

296
Pasal 211
Hibah dan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan
sebagai warisan.
Pasal 212
Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua
kepada anaknya.
Pasal 213
Hibah yang diberikan pada swaat pemberi hibah dalam
keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus
mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
Pasal 214
Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat
membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan
Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak
bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini.

297
BUKU III
HUKUM PERWAKAFAN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 215
Yang dimaksud dengan:
(1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok
orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-
lamanya guna kepentingan ibadat atau kerpeluan umum
lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan
hukum yang mewakfkan benda miliknya.
(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk
mewakafkan benda miliknya.
(4) Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak
atau tidak bergerak uang memiliki daya tahan yang tidak
hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
(5) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang
diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
(6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya
disingkat PPAIW adalah petuga spemerintah yang
diangkat berdasarkan peraturan peraturan yang berlaku,
berkwajiban menerima ikrar dan wakif dan
menyerahkannya kepada Nadzir serta melakukan
pengawasan untuk kelestarian perwakafan.
(7) Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat
(6), diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.

298
BAB II

FUNGSI, UNSUR-UNSUR DAN SYARAT-SYARAT WAKAF


Bagian Kesatu
Fungsi Wakaf
Pasal 216
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf
sesuai dengan tujuan wakaf.

Bagian Kedua
Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf
Pasal 217
(1) Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau orang-
orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang
oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan
hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda
miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak
untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah
menurut hukum.
(3) Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215
ayat (4) harus merupakan benda milik yang bebas dari
segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.
Pasal 218
(1) Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya
secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 215 ayat (6), yang kemudian menuangkannya dalam
bentuk ikrar Wakaf, dengan didaksikan oleh sekurang-
kurangnya 2 orang saksi.

299
(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dan ketentuan
dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah
terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.
Pasal 219
(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4)
terdiri dari perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
b. sudah dewasa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. tidak berada di bawah pengampuan;
e. bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda
yang diwakafkannya.
(2) Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. badan hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia;
b. mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal
benda yang diwakafkannya.
(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada
Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah
mendengar saran dari Camat Majelis Ulama Kecamatan
untuk mendapatkan pengesahan.
(4) Nadzir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan
sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang
saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:
”Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat
menjadi Nadzir langsung atau tidak langsung dengan nama
atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan
ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun juga”
”Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan

300
menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga
suatu janji atau pemberian”.
”Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan
menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab yang
dibebankan kepada saya selaku Nadzir dalam pengurusan
harta wakaf sesuai dengan maksud dan tujuannya”.
(5) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit
perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-
kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10
orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan
Camat setempat.

Bagian Ketiga
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir
Pasal 220
(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung
jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan
pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.
(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas
semua hal yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan setempat dengan tembusan kepada
Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat
(2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan Menteri Agama.
Pasal 221
(1) Nadzir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan karena:
a. meninggal dunia;
b. atas permohonan sendiri;
c. tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai
Nadzir;
301
d. melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.
(2) Bilama terdapat lowongan jabatan Nadzir karena salah satu
alasan sebagaimana tersebut dalam ayat (1), maka
penggantinya diangkat oleh Kepala Kantor Urutan Agama
Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan
Camat setempat.
(3) Seorang Nadzir yang telah berhenti, sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) sub a, tidak dengan sendirinya
digantikan oleh salah seorang ahli warisnya.

Pasal 222
Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang
jenis dan jumlahnya ditentukan berdasarkan kelayakan atas
saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat.

BAB III
TATA CARA PERWAKAFAN DAN PENDAFTARAN BENDA
WAKAF

Bagian Kesatu
Tata Cara Perwakafan
Pasal 223
(1) Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar
wakaf di hadapan Pejabat Pembuaty Akta Ikrar Wakaf untuk
melaksanakan ikrar wakaf.
(2) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(3) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar
Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(4) Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak
yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada
Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat
sebagai berikut:

302
a. tanda bukti pemilikan harta benda;
b. jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak
bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari
Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat
yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak
dimaksud;
c. surat atau dokumen tertulis yang merupakan
kelengkapan dari benda tidak bergerak yang
bersangkutan.
Bagian Kedua
Pendaftaran Benda Wakaf
Pasal 224
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang
bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada
Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang
bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian.

BAB IV
PERUBAHAN, PENYELESAIAN DAN PENGAWASAN BENDA
WAKAF

Bagian Kesatu
Perubahan Benda Wakaf
Pasal 225
(1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan
tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari
pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
(2) Penyimpangan dari ketentuantersebut dalam ayat (1)
hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah
terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala
Kantur Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari
Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan
alasan:

303
a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti
diikrarkan oleh wakif;
b. karena kepentingan umum.

Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf
Pasal 226
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut
persoalan benda wakaf dan Nadzir diajukan kepada Pengadilan
Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Pengawasan
Pasal 227
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
Nadzir dilakukan secara bersama- sama oleh Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan
Pengadilan agama yang mewilayahinya.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 228
Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi
sebelum dikeluarkannya ketentuan ini, harus dilaporkan dan
didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan
setempat untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ini.

Ketentuan Penutup
Pasal 229
Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan
kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga
putusannya sesuai dengan rasa keadilan.

304
PENJELASAN ATAS

BUKU KOMPILASI HUKUM ISLAM

UMUM
1. Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, adalah mutlak
adanya suatu hukum nasional yang menjamin
kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan poerwujudan
kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.
2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, jo Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, Peradilan Agama mempunyai
kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan
lainnya sebagai peradilan negara.
3. Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang pada garis
besarnya meliputi bidang-bidang hukum Perkawinan,
hukum Kewarisan dan hukum Perwakafan.
4. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal
18 Pebruari 1958 Nomor B/I/735 hukum Materiil yang
dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut di
atas adalah bersumber pada 13 kitab yang kesemuanya
madzhab Syafi’i.
5. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik maka
kebutuhan hukum masyarakat semakin berkembang
sehingga kitab-kitab tersebut dirasakan perlu pula untuk
diperluas baik dengan menambahkan kitab-kitab dari
madzhab yang lain, memperluas penafsiran terhadap

305
ketentuan di dalamnya membandingkannya dengan
Yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa para ulama maupun
perbandingan di negara-negara lain.
6. Hukum Materiil tersebut perlu dihimpun dan diletakkan
dalam suatu dokumen Yustisia atau buku Kompilasi
Hukum Islam sehingga dapat dijadikan pedoman bagi
Hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai
hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara
yang diajukan kepadanya.

PASAL DEMI PASAL


Pasal 1 s/d 6
Cukup jelas
Pasal 7
Pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang
Peradilan agama.
Pasal 8 s/d 18
Cukup jelas
Pasal 19
Yang dapat menjadi wali terdiri dari wali nasab dan wali
hakim, wali anak angkat dilakukan oleh ayah kandung.
Pasal 20 s/d 71
Cukup jelas
Pasal 72
Yang dimaksud dengan penipuan ialah bila suami mengaku
jejaka pada waktu nikah kemudian ternyata diketahui sudah
beristeri sehingga terjadi poligami tanpa izin Pengadilan.
Demikian pula penipuan terhadap identitas diri.
306
Pasal 73 s/d 86
Cukup jelas
Pasal 87
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya
Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 88 s/d 93
Cukup jelas
Pasal 94
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya
Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 95 s/d 97
Cukup jelas
Pasal 98
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya
Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 99 s/d 102
Cukup jelas
Pasal 103
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya
Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 104 s/d 106
Cukup jelas
Pasal 107
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya
Undang-undang Peradilan Agama.

307
Pasal 108 s/d 118
Cukup jelas
Pasal 119
Setiap talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan agama
adalah talak ba’in sughraa.
Pasal 120 s/d 128
Cukup jelas
Pasal 129
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya
Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 130
Cukup jelas

Pasal 131
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya
Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 132
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya
Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 133 s/d 147
Cukup jelas
Pasal 148
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya
Undang-undang Peradilan Agama.

308
Pasal 149 s/d 185
Yang dimaksud dengan anak yang lahir di luar perkawinan
adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah
atau akibat hubungan yang tidak sah.
Pasal 187 s/d 228
Cukup jelas
Pasal 229
Ketentuan dalam pasal ini berlaku untuk Buku I, Buku II dan
Buku III

309
KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA RI DAN MENTERI LUAR NEGERI RI
NOMOR : 589 TAHUN 1999
NOMOR : 182/OT/X/99/01 TAHUN 1999
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PERKAWINAN WARGA
NEGARA INDONESIA DI LUAR NEGERI

MENTERI AGAMA RI DAN MENTERI LUAR NEGERI RI

Menimbang : a. Bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974


Pasal 56 ayat (1) mengatur tentang perkawinan
yang dilaksanakan di luar negeri, dan perkawinan
tersebut perlu mendapatkan perlindungan dan
kepastian hukum.
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a di atas perlu ditetapkan
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Luar Negeri tentang Petunjuk Pelaksanaan
Perkawinan Warga Negeri Indonesia di Luar
Negeri
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk;
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Penetapan berlakunya Undang-undang Nomor
22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak
dan Rujuk di Luar Jawa dan Madura;
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan;
5. Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1974
tentang Organisasi Departemen;

310
6. Keputusan Presiden RI Nomor 61 Tahun 1998
tentang Kedudukan Tugas Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Departemen sebagaimana telah
diubah dan disempurnakan dengan Keputusan
Presiden RI No.192 Tahun 1998;
7. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990
tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah;
8. Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun
1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Agam yang telah diubah dan
disempurnakan terakhir dengan Keputusan
Menteri Agama Nomor 75 Tahun 1984.
Menetapkan: KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA RI DAN
MENTERI LUAR NEGERI TENTANG PETUNJUK
PELAKSANAAN PERKAWINAN WARGA NEGARA
INDONESIA DI LUAR NEGERI.

Pasal 1
Bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam
melaksanakan perkawinan di Luar Negeri sebagaimana
dimaksud pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) menurut
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 2
Tempat Pencatatan Perkawinan Luar Negeri adalah di KBRI
atau Perwakilan Indonesia di Luar Negeri.

Pasal 3
i. Apabila terjadi perkawinan di atas Kapal Laut maka
pencatatannya di daerah di mana kapal tersebut berlabuh.
ii. Dalam hal ini di wilayah itu tidak ada Perwakilan Indonesia
maka dicatat pada Perwakilan Indonesia yang mewilayahi
daerah tersebut.

311
Pasal 4
Pegawai Pencatat Nikah yang dimaksud Pasal 1 di atas adalah
Pegawai Negeri yang diangkat dan ditunjuk khusus untuk itu.

Pasal 4
Bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam
melaksanakan perkawinan di Luar Negeri sebagaimana
dimaksud pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) menurut
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 5
Dalam hal pengangkatan Pegawai Pencatat Nikah dengan
syarat sebagai berikut:
1) Menguasai hukum menakahat dan peraturan
perundang-undangan di bidang perkawinan serta
administrasi NTCR.
2) Diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama
berdasarkan usul Menteri Luar Negeri.

Pasal 6
Bahwa untuk melaksanakan pencatatan dan pengawasan
Nikah dan Rujuk, Pegawai Pencatat Nikah berpedoman kepada
Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di
Luar Negeri (terlampir).

Pasal 7
Dalam hal wilayah dan batas-batas kekuasaan PPN untuk
Pencatat perkawinan akan ditentukan kemudian.

Pasal 8
Hal-hal teknis pelaksanaan peraturan ini lebih lanjut akan diatur
kemudian oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
dan Urusan Haji.

312
Pasal 9
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 13 Oktober 1999

Ttd. Ttd.

Menteri Agama RI Menteri Luar Negeri RI


H.A Malik Fadjar Ali Alatas, SH

313
PERATURAN BERSAMA
MENTERI AGAMA
DAN
KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA
NOMOR : 20 TAHUN 2005
NOMOR : 14A TAHUN 2005

TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN JABATAN FUNGSIONAL
PENGHULU DAN ANGKA KREDITNYA

MENTERI AGAMA DAN


KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA,

Menimbang : a. bahwa dengan Peraturan Menteri


Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
PER/62/ M.PAN/6/2005 telah ditetapkan Jabatan
Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya;
b. bahwa untuk tertib administrasi dalam
pelaksanaannya, dipandang perlu menetapkan
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Kepala
Badan Kepegawaian Negara tentang Petunjuk
Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penghulu dan
Angka Kreditnya;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
(Lembaran Negara Tahun 1946 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 694);
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun
314
1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
di daerah luar Jawa dan Madura;
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3019);
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3041) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966
tentang Pemberhentian/ Pemberhentian
Sementara Pegawai Negeri (Lembaran Negara
Tahun 1966 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2797);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3050);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977
tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3098)
sebagaimana telah beberapa kali diubah dan
ditambah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 11 Tahun 2003 (Lembaran Negara Tahun
2003 Nomor 17);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979
tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3149);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994
tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil

315
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3547);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000
tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil (Lembaran
Negara Tahun 2000 Nomor 194, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4015) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2003 (Lembaran Negara Tahun
2003 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4332);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 98Tahun 2000
tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 195,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4016);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000
tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 196,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4017)
sebagaimanatelah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 (Lembaran
Negara Tahun 2002 Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4193);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003
tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan
dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 15,
Tambahan Lembaran Negara 4263);
14. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999
tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai
Negeri Sipil;
15. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen,
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 11 Tahun 2005;
16. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi,
316
dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik
Indonesia;
17. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 tentang
Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka
Kreditnya;

MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN
KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA
TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JABATAN
FUNGSIONAL PENGHULU DAN ANGKA
KREDITNYA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Bersama ini yang dimaksud dengan :
1. Penghulu, adalah Pegawai Negeri Sipil sebagai Pegawai
Pencatat Nikah yang diberi tugas, tanggung jawab,
wewenang, dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau
pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan
nikah/ rujuk menurut agama Islam dan kegiatan
kepenghuluan.
2. Angka kredit, adalah nilai dari tiap butir kegiatan dan/atau
akumulasi nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh
Penghulu dan digunakan sebagai salah satu syarat untuk
pengangkatan dan kenaikan jabatan/ pangkat.
3. Bukti fisik, adalah dokumen yang membuktikan atas
kebenaran pelaksanaan suatu kegiatan.
4. Tim Penilai Jabatan Fungsional Penghulu, adalah tim
penilai yang dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang yang bertugas untuk menilai prestasi kerja
Penghulu.

317
5. Instansi Pembina jabatan fungsional Penghulu, adalah
Departemen Agama.
6. Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat, adalah Menteri
Agama.
7. Pejabat yang berwenang mengangkat, membebaskan
sementara, dan memberhentikan dalam dan dari jabatan
Penghulu, adalah Menteri Agama atau pejabat lain yang
ditunjuk sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan,
Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
8. Pemberhentian, adalah pemberhentian dari jabatan
Penghulu bukan pemberhentian sebagai Pegawai Negeri
Sipil.

BAB II
USUL DAN PENETAPAN ANGKA KREDIT

Pasal 2
(1) Usul penetapan angka kredit Penghulu disampaikan setelah
menurut perhitungan sementara Penghulu yang
bersangkutan, jumlah angka kredit yang disyaratkan untuk
kenaikan jabatan/ pangkat setingkat lebih tinggi telah dapat
dipenuhi dan dibuat menurut contoh formulir sebagaimana
tersebut pada Lampiran I A, I B, dan I C.
(2) Setiap usul penetapan angka kredit Penghulu wajib
dilampiri :
a. Surat Pernyataan melakukan kegiatan pelayanan dan
konsultasi nikah/ rujuk dan bukti fisiknya, serta
dibuat menurut contoh formulir sebagaimana tersebut
pada Lampiran II;
b. Surat Pernyataan melakukan kegiatan pengembangan
kepenghuluan dan bukti fisiknya, serta dibuat menurut
contoh formulir sebagaimana tersebut pada Lampiran
III;
c. Surat Pernyataan melakukan kegiatan pengembangan
profesi dan bukti fisiknya, serta dibuat menurut contoh
formulir sebagaimana tersebut pada Lampiran IV;

318
d. Surat pernyataan melakukan kegiatan penunjang
pelaksanaan tugas Penghulu dan bukti fisiknya, serta
dibuat menurut contoh formulir sebagaimana tersebut
pada Lampiran V;
e. Surat pernyataan menjalani kegiatan pendidikan dan
pelatihan (Diklat) dan bukti fisiknya, serta dibuat
menurut contoh formulir sebagaimana tersebut pada
Lampiran VI;
f. Foto copy atau salinan yang disahkan oleh pejabat
berwenang mengesahkan bukti-bukti mengenai Ijazah/
Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan dan/ atau
keterangan/ penghargaan yang pernah diterima.
(3) Penilaian dan penetapan angka kredit untuk kenaikan
pangkat, dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum
periode kenaikan pangkat sebagai berikut :
a. Untuk kenaikan pangkat periode April, angka kredit
ditetapkan paling lambat pada bulan Januari tahun yang
bersangkutan;
b. Untuk kenaikan pangkat periode Oktober, angka kredit
ditetapkan paling lambat pada bulan Juli tahun yang
bersangkutan.

Pasal 3
(1) Setiap usul penetapan angka kredit bagi Penghulu harus
dinilai secara seksama oleh Tim Penilai dengan
berpedoman pada Lampiran I Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/
6/2005.
(2) Hasil penilaian Tim Penilai sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang
menetapkan angka kredit dengan menggunakan contoh
formulir sebagaimana tersebut pada Lampiran VII, dengan
ketentuan :
a. Asli Penetapan Angka Kredit (PAK) disampaikan
kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN).
b. Tembusan PAK disampaikan kepada :
(1) Penghulu yang bersangkutan;

319
(2) Pimpinan Unit Kerja Penghulu yang bersangkutan;
(3) Sekretaris Tim Penilai yang bersangkutan;
(4) Pejabat yang berwenang menetapkan angka
kredit;
(5) Kepala Biro/ Kepala Sub Bagian Kepegawaian
Instansi yang bersangkutan.
(3) Apabila pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit
berhalangan sehingga tidak dapat menetapkan angka
kredit sampai batas waktu yang telah ditetapkan dalam
Pasal 2 ayat (3), maka pejabat yang berwenang
menetapkan angka kredit tersebut dapat mendelegasikan
kepada pejabat lain satu tingkat lebih rendah sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
PER/62/M.PAN/6/2005.
(4) Dalam rangka pengendalian dan tertib administrasi
penetapan angka kredit, maka spesimen tanda tangan
pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit dan
pejabat yang menerima delegasi wewenang untuk
menetapkan angka kredit sebagaimana dimaksud ayat (3)
disampaikan kepada Kepala BKN/ Kepala Kantor regional
BKN yang bersangkutan.
(5) Apabila terdapat pergantian pejabat yang berwenang
menetapkan angka kredit, maka spesimen tanda tangan
pejabat yang menggantikan disampaikan kepada Kepala
BKN/ Kepala Kantor regional BKN yang bersangkutan.

BAB III
TIM PENILAI

Pasal 4
(1) Syarat pengangkatan untuk menjadi anggota Tim Penilai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
PER/62/M.PAN/6/2005, yaitu :
a. Paling kurang menduduki jabatan dan/atau pangkat
setingkat dengan Penghulu yang dinilai;

320
b. Mempunyai kompetensi untuk menilai prestasi kerja
Penghulu; dan
c. Dapat aktif melakukan penilaian.
(2) Masa jabatan Tim Penilai sebagaimana dimaksud ayat (1)
adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk
masa jabatan berikutnya.
(3) Anggota Tim Penilai yang telah menjabat dalam 2 (dua)
kali masa jabatan secara berturut-turut sebagaimana
dimaksud ayat (2), dapat diangkat kembali setelah
melampaui tenggang waktu 1 (satu) masa jabatan.
(4) Dalam hal komposisi jumlah anggota Tim Penilai
sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak dapat dipenuhi,
maka Anggota Tim Penilai dapat diangkat dari pejabat lain
yang mempunyai kompetensi dalam penilaian prestasi
kerja Penghulu.

Pasal 5
(1) Tugas pokok Tim Penilai Direktorat Jenderal adalah :
a. Membantu Direktur Jenderal yang membidangi
bimbingan masyarakat Islam dan penyelenggaraan haji
Departemen Agama dalam menetapkan angka kredit
Penghulu Madya;
b. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh
Direktur Jenderal yang membidangi bimbingan
masyarakat Islam dan penyelenggaraan haji
Departemen Agama, yang berhubungan dengan
penetapan angka kredit sebagaimana dimaksud dalam
huruf a.
(2) Tugas pokok Tim Penilai Provinsi adalah :
a. Membantu Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
Provinsi dalam menetapkan angka kredit Penghulu
Pertama dan Penghulu Muda yang berada pada Kantor
Wilayah Departemen Agama Provinsi di lingkungan
masing-masing;
b. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi,

321
yang berhubungan dengan penetapan angka kredit
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(3) Tugas pokok Tim Penilai Kabupaten/ Kota adalah :
a. Membantu Kepala Kantor Departemen Agama
Kebupaten/ Kota dalam menetapkan angka kredit
Penghulu Pertama dan Penghulu Muda yang berada
pada Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota di
lingkungan masing-masing;
b. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh
Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota,
yang berhubungan dengan penetapan angka kredit
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(4) Dalam hal terdapat anggota Tim Penilai yang pensiun atau
berhalangan paling kurang 6 (enam) bulan, maka Ketua Tim
Penilai mengusulkan penggantian anggota Tim Penilai
secara definitif sesuai masa kerja yang tersisa kepada
pejabat yang berwenang menetapkan Tim Penilai.
(5) Dalam hal terdapat anggota Tim Penilai yang turut dinilai,
Ketua Tim Penilai dapat mengangkat anggota Tim Penilai
Pengganti.
(6) Tata kerja dan tata cara Tim Penilai dalam melakukan tugas
ditetapkan oleh Menteri Agama selaku Pimpinan Instansi
Pembina Jabatan Penghulu.

Pasal 6
(1) Untuk membantu Tim Penilai dalam melaksanakan
tugasnya, dibentuk Sekretariat Tim Penilai yang dipimpin
oleh seorang Sekretaris yang secara fungsional dijabat oleh
pejabat di bidang kepegawaian.
(2) Sekretariat Tim Penilai dibentuk dan ditetapkan dengan
keputusan pejabat yang berwenang sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 16 ayat (4) Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/
6/2005.

322
Pasal 7
(1) Pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit dapat
membentuk Tim Penilai Teknis yang anggotanya terdiri dari
para ahli, baik yang berkedudukan sebagai Pegawai Negeri
Sipil atau bukan Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai
kemampuan teknis yang diperlukan.
(2) Tugas pokok Tim Penilai Teknis adalah memberikan saran
dan pendapat kepada Ketua Tim Penilai dalam hal
memberikan penilaian atas kegiatan yang bersifat khusus
atau kegiatan yang memerlukan keahlian tertentu.
(3) Tim Penilai Teknis menerima tugas dari dan bertanggung
jawab kepada Ketua Tim Penilai.

BAB IV
KENAIKAN JABATAN DAN PANGKAT

Pasal 8
(1) Penetapan angka kredit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2), digunakan sebagai dasar untuk
mempertimbangkan kenaikan jabatan dan kenaikan
pangkat Penghulu sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Kenaikan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dapat dipertimbangkan apabila :
a. Paling kurang telah 1 (satu) tahun dalam jabatan
terakhir;
b. Memenuhi angka kredit yang ditentukan untuk
kenaikan jabatan setingkat lebih tinggi; dan
c. Setiap unsur penilaian prestasi kerja atau
pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan (DP-3) paling kurang bernilai
baik dalam 1 (satu) tahun terakhir.
(3) Kenaikan pangkat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dapat dipertimbangkan apabila :
a. Paling kurang telah 2 (dua) tahun dalam pangkat
terakhir;

323
b. Memenuhi angka kredit yang ditentukan untuk
kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi; dan
c. Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP-3) paling
kurang bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir.
(4) Kenaikan pangkat bagi Pegawai Negeri Sipil yang
menduduki jabatan Penghulu Madya pangkat Pembina
Tingkat I, golongan ruang IV/b menjadi Pembina Utama
Muda, golongan ruang IV/c, ditetapkan oleh Presiden
setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala BKN.
(5) Kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil yang menduduki
jabatan Penghulu Pertama, pangkat Penata Muda,
golongan ruang III/a untuk menjadi Penata Muda Tingkat I,
golongan ruang III/b sampai dengan untuk menjadi
Penghulu Madya, pangkat Pembina Tingkat I, golongan
ruang IV/b ditetapkan dengan Keputusan Menteri Agama
setelah mendapat persetujuan teknis Kepala BKN.

Pasal 9
(1) Penghulu yang memiliki angka kredit melebihi angka
kredit yang ditentukan untuk kenaikan jabatan/ pangkat
setingkat lebih tinggi, kelebihan angka kredit tersebut dapat
diperhitungkan untuk kenaikan jabatan/ pangkat
berikutnya.
(2) Apabila kelebihan jumlah angka kredit sebagaimana
dimaksud ayat (1) memenuhi jumlah angka kredit untuk
kenaikan jabatan dua tingkat atau lebih dari jabatan
terakhir yang diduduki, maka Penghulu yang bersangkutan
dapat diangkat dalam jenjang jabatan sesuai dengan
jumlah angka kredit yang dimiliki, dengan ketentuan :
a. Paling kurang telah 1 (satu) tahun dalam jabatan;
b. Setiap unsur penilaian dalam Daftar Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan (DP-3) Paling kurang bernilai
baik dalam 1 (satu) tahun terakhir.
(3) Penghulu yang naik jabatan sebagaimana dimaksud ayat
(2), setiap kali kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi
disyaratkan mengumpulkan 20% (dua puluh persen) dari

324
jumlah angka kredit untuk kenaikan pangkat setingkat lebih
tinggi tersebut, yang berasal dari unsur utama.

BAB V
PENGANGKATAN, PEMBEBASAN SEMENTARA, DAN
PEMBERHENTIAN DALAM DAN DARI JABATAN

Pasal 10
Pengangkatan, pembebasan sementara, dan pemberhentian
dalam dan dari jabatan Penghulu ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Pengangkatan pertama kali dan pengangkatan kembali
dalam jabatan Penghulu ditetapkan dengan
menggunakan contoh formulir sebagaimana tersebut
pada Lampiran VIII;
2. Pembebasan sementara dari jabatan Penghulu ditetapkan
dengan menggunakan contoh formulir sebagaimana
tersebut pada Lampiran IX;
3. Pemberhentian dari jabatan Penghulu ditetapkan dengan
menggunakan contoh formulir sebagaimana tersebut
pada Lampiran X.

Pasal 11
(1) Untuk menjamin tingkat kinerja Penghulu dalam
pencapaian angka kredit sebagai salah satu persyaratan
kenaikan jabatan/ pangkat, maka pengangkatan Penghulu
harus memperhatikan keseimbangan antara beban kerja
organisasi dengan jumlah Penghulu sesuai jenjang
jabatannya.
(2) Di samping harus memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), pengangkatan Penghulu harus
didasarkan pada formasi jabatan yang telah ditetapkan
oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

325
berdasarkan usulan Menteri Agama setelah mendapat
pertimbangan Kepala BKN.

Pasal 12
(1) Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dalam jabatan
Penghulu tidak dapat menduduki jabatan rangkap, baik
dengan jabatan fungsional lain maupun dengan jabatan
struktural.
(2) Penghulu dapat diberi tugas tambahan sebagai Kepala
KUA.

Pasal 13
(1) Penghulu Pertama, pangkat Penata Muda, golongan ruang
III/a sampai dengan Penghulu Madya, pangkat Pembina
Tingkat I, golongan ruang IV/b, dibebaskan sementara dari
jabatannya apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak diangkat dalam pangkat terakhir tidak dapat
mengumpulkan angka kredit minimal yang ditentukan untuk
kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi.
(2) Penghulu Madya, pangkat Pembina Utama Muda,
golongan ruang IV/c dibebaskan sementara dari
jabatannya apabila setiap tahun sejak diangkat dalam
jabatan/pangkatnya tidak dapat mengumpulkan angka
kredit sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) dari kegiatan
kepenghuluan dan atau pengembangan profesi.
(3) Pembebasan sementara bagi Penghulu sebagaimana
dimaksud ayat (1) dan ayat (2), didahului dengan
peringatan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sebelum
batas waktu pembebasan sementara diberlakukan dengan
menggunakan contoh formulir sebagaimana tersebut pada
Lampiran XI.
(4) Pada masa pembebasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) yang bersangkutan tetap
melaksanakan tugas-tugas Penghulu dengan memperoleh
angka kredit, tanpa memperoleh tunjangan jabatan.

326
(5) Di samping pembebasan sementara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) Penghulu juga
dibebaskan sementara dari jabatannya apabila:
a. Dijatuhi hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil berupa
hukuman disiplin tingkat sedang atau tingkat berat
berupa penurunan pangkat berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980; atau
b. Diberhentikan sementara sebagai Pegawai Negeri
Sipil berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4
Tahun 1966; atau
c. Ditugaskan secara penuh di luar jabatan Penghulu; atau
d. Cuti diluar tanggungan negara, kecuali untuk persalinan
keempat dan seterusnya; atau
e. Menjalani tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan.
(6) Penghulu yang dibebaskan sementara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5) huruf a selama menjalani
hukuman disiplin tetap dapat melaksanakan tugas
pokoknya tetapi kegiatan tersebut tidak dapat ditetapkan
angka kreditnya.
(7) Penghulu yang dibebaskan sementara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5) huruf e, selama pembebasan
sementara dapat dipertimbangkan kenaikan pangkat
secara pilihan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, apabila :
a. Paling kurang telah 4 (empat) tahun dalam pangkat
terakhir; dan
b. Setiap unsur penilaian prestasi kerja atau pelaksanaan
pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan (DP-3) sekurang-kurangnya bernilai baik
dalam 2 (dua) tahun terakhir.
(8) Penghulu yang dibebaskan sementara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5) huruf a, b, c, d, dan huruf e
selama pembebasan sementara tidak memperoleh
tunjangan jabatan.

327
Pasal 14
Penghulu diberhentikan dari jabatannya apabila :
1. Dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali jenis hukuman
disiplin tingkat berat berupa penurunan pangkat; atau
2. Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak dibebaskan
sementara dari jabatannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1), tidak dapat mengumpulkan angka kredit
yang ditentukan untuk kenaikan jabatan/ pangkat setingkat
lebih tinggi; atau
3. Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak dibebaskan
sementara dari jabatannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) tidak dapat mengumpulkan angka kredit
yang ditentukan.

BAB VI
PENGANGKATAN KEMBALI DALAM JABATAN

Pasal 15
1. Penghulu yang dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat
berupa penurunan pangkat berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 dapat diangkat
kembali dalam jabatan Penghulu, apabila masa berlakunya
hukuman disiplin tersebut telah berakhir.
2. Penghulu yang dibebaskan sementara karena
diberhentikan sementara berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 4 tahun 1966, dapat diangkat kembali
dalam jabatan Penghulu, apabila berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dinyatakan tidak bersalah atau dijatuhi hukuman
percobaan.
3. Penghulu yang ditugaskan di luar jabatan Penghulu dapat
diangkat kembali dalam jabatan Penghulu, apabila telah
selesai melaksanakan tugas di luar jabatan Penghulu.
4. Penghulu yang dibebaskan sementara karena cuti di luar
tanggungan negara dan telah diangkat kembali pada

328
Instansi semula, dapat diangkat kembali dalam jabatan
Penghulu.
5. Penghulu yang telah selesai menjalani tugas belajar lebih
dari 6 (enam) bulan, diangkat kembali dalam jabatan
Penghulu.

Pasal 16
Pegawai Negeri Sipil yang diangkat kembali dalam jabatan
Penghulu sebagaimana tersebut dalam Pasal 15, jabatannya
ditetapkan berdasarkan angka kredit terakhir yang dimiliki dan
dari prestasi di bidang kepenghuluan yang diperoleh selama
tidak menduduki jabatan fungsional Penghulu.

BAB VII
PERPINDAHAN JABATAN

Pasal 17
(1) Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dari jabatan lain ke
dalam jabatan Penghulu atau perpindahan antar jabatan
dapat dipertimbangkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, 23, dan atau Pasal 24 Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
PER/62/M.PAN/6/2005.
b. Memiliki pengalaman di bidang kepenghuluan paling
kurang 2 (dua) tahun;
c. Usia paling tinggi 5 (lima) tahun sebelum mencapai
batas usia pensiun dari jabatan terakhir yang
didudukinya; dan
d. Setiap unsur penilaian prestasi kerja (DP-3) paling
kurang bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir.
(2) Pangkat yang ditetapkan bagi Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sama
dengan pangkat yang dimilikinya, sedangkan jenjang
jabatan Penghulu ditetapkan sesuai angka kredit diperoleh
berdasarkan jenjang pendidikan formal yang ditamatkan
dan angka kredit lain yang diperoleh setelah melalui
329
penilaian dan penetapan angka kredit dari pejabat yang
berwenang yang berasal dari unsur utama lainnya.

BAB VIII
PENYESUAIAN/ INPASSING DALAM JABATAN DAN ANGKA
KREDIT

Pasal 18
(1) Pegawai Negeri Sipil yang pada saat ditetapkan Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
PER/62/M.PAN/6/2005 telah dan masih melakukan tugas
kepenghuluan berdasarkan keputusan pejabat yang
berwenang dapat diangkat ke dalam Jabatan Penghulu
melalui penyesuaian dengan ketentuan harus memenuhi
syarat :
a. Paling rendah berijazah Strata 1 (S.1)/ Diploma IV;
b. Paling rendah menduduki pangkat Penata Muda,
golongan ruang III/a; dan
c. Setiap unsur penilaian prestasi kerja atau pelaksanaan
pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan (DP-3) paling kurang bernilai baik dalam 1
(satu) tahun terakhir.
(2) Jenjang jabatan dan jumlah angka kredit penyesuaian/
inpassing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan pada pendidikan, pangkat, dan masa kerja
dalam pangkat terakhir sebagaimana tersebut dalam
Lampiran II Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005.
(3) Masa kerja dalam pangkat terakhir untuk penyesuaian/
inpassing sebagaimana dimaksud Lampiran II Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
PER/62/M.PAN/6/2005 dihitung dalam pembulatan ke
bawah, yaitu :
a. Kurang dari 1 (satu) tahun, dihitung kurang 1 (satu)
tahun;
b. 1 (satu) tahun sampai dengan kurang dari 2 (dua)
tahun, dihitung 1 (satu) tahun;
330
c. 2 (dua) tahun sampai dengan kurang dari 3 (tiga)
tahun, dihitung 2 (dua) tahun;
d. 3 (tiga) tahun sampai dengan kurang dari 4 (empat)
tahun, dihitung 3 (tiga) tahun; dan
e. 4 (empat) tahun atau lebih, dihitung 4 (empat) tahun.
(4) Penyesuaian/ inpassing dalam jabatan dan angka kredit
Penghulu, ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
mengangkat dan memberhentikan Penghulu dengan
menggunakan contoh formulir sebagaimana tersebut dalam
Lampiran XII.
(5) Penyesuaian/ inpassing dalam jabatan dan angka kredit
Penghulu sebagaimana dimaksud ayat(1) dilakukan
setelah memperhitungkan formasi Penghulu.

Pasal 19
(1) Penyesuaian/ inpassing dalam jabatan dan angka kredit
Penghulu, ditetapkan terhitung mulai tanggal ditetapkannya
Peraturan Bersama ini dan harus selesai ditetapkan paling
lambat 30 September 2006.
(2) Pegawai Negeri Sipil yang dalam masa penyesuaian/
inpassing telah dapat dipertimbangkan kenaikan
pangkatnya, maka sebelum disesuaikan dalam jabatan dan
angka kredit terlebih dahulu dipertimbangkan kenaikan
pangkatnya agar dalam penyesuaian/ inpassing jabatan
dan angka kredit telah digunakan pangkat yang terakhir.
(3) Terhitung mulai periode kenaikan pangkat 1 Oktober 2006,
kenaikan pangkat Penghulu sudah ditetapkan dengan
angka kredit disamping memenuhi syarat lain yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 20
Pegawai Negeri Sipil yang pada saat penyesuaian/ inpassing
telah memiliki pangkat tertinggi berdasarkan pendidikan terakhir
331
yang dimiliki atau jabatan terakhir yang diduduki serta telah
memiliki masa kerja 4 (empat) tahun dalam pangkat terakhir,
kenaikan pangkatnya setingkat lebih tinggi dapat
dipertimbangkan mulai periode kenaikan pangkat berikutnya
berdasarkan angka kredit yang ditetapkan dalam surat
keputusan inpassing dan telah memenuhi persyaratan lainnya.

Pasal 21
Penghulu yang sedang dibebaskan sementara karena :
a. Dijatuhi hukuman disiplin tingkat sedang atau berat berupa
penurunan pangkat; atau
b. Diberhentikan sementara sebagai PNS; atau
c. Ditugaskan secara penuh di luar jabatan Penghulu; atau
d. Menjalani cuti di luar tanggungan negara; atau
e. Menjalani tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan;
apabila mencapai batas usia pensiun Pegawai Negeri Sipil,
diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil
dengan mendapat hak-hak kepegawaian sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 22
(1) Untuk menjamin adanya persamaan persepsi, pola pikir
dan tindakan dalam melaksanakan pembinaan Penghulu,
Departemen Agama selaku Instansi Pembina Jabatan
Penghulu melaksanakan sosialisasi dan fasilitasi kepada
pejabat yang berkepentingan dan Penghulu.
(2) Untuk meningkatkan kemampuan Penghulu secara
profesional sesuai kompetensi jabatan, Departemen
Agama selaku Instansi Pembina, antara lain melakukan:
a. Penyusunan kurikulum pendidikan dan pelatihan
fungsional/ teknis fungsional bagi Penghulu;
b. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan fungsional
/ teknis bagi Penghulu;
c. Penetapan standar kompetensi Penghulu;
d. Penyusunan pedoman formasi jabatan Penghulu;
e. Pengembangan sistem informasi jabatan Penghulu;
f. Fasilitasi pelaksanaan jabatan;
332
g. Fasilitasi pembentukan organisasi profesi;
h. Fasilitasi penyusunan dan penetapan etika profesi
Penghulu; dan
i. Melakukan monitoring dan evaluasi jabatan Penghulu.

BAB X
PENUTUP
Pasal 23
Pelaksanaan teknis yang belum diatur dalam Peraturan
Bersama ini akan diatur kemudian oleh Menteri Agama dan
Kepala BKN baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri
sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
Pasal 23
Untuk mempermudah pelaksanaan Peraturan Bersama ini,
maka dilampirkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan
Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya sebagaimana
tersebut pada Lampiran XIII.
Pasal 24
Peraturan Bersama ini disampaikan kepada instansi yang
berkepentingan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Pasal 25
Peraturan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 14 September 2005
MENTERI AGAMA RI

MUHAMMAD M. BASYUNI
KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA

PRAPTO HADI

333
334
335
336
337
338
339
340
341
342
343
344
345
346
347
348
349
350
351
352
353
354
355
356
357
358
359
360
361
362
363
364
365
366
367
368
DEPARTEMEN DALAM NEGERI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR : 221A TAHUN 1975
TENTANG
PENCATATAN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN
PADA KANTOR CATATAN SIPIL SEHUBUNGAN
DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
PERKAWINAN SERTA PERATURAN
PELAKSANANYA

MENTERI DALAM NEGERI

Menimbang: a. bahwa sebelum dikeluarkannya Undang-


undang tentang Catatan Sipil yang
bersifat Nasional maka ketentuan-
ketentuan pelaksanaan tentang
perkawinan dan perceraian yang
dijalankan oleh Kantor Catatan Sipil perlu
disesuaikan dengan Undang-undang
nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan
harus diberlakukan pada tanggal 1
Oktober 1975;
b. bahwa memperhatikan surat Menteri
Kehakiman tanggal 29 September 1975
No. JHC 1/2/22 dan surat Sekretaris

369
Kabinet kepada Menteri Dalam Negeri
tanggal 30 September 1975 No. B.
1954/setkab/Anl/9/1975 maka dipandang
perlu mengeluarkan petunjuk-petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam pasal 48
Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975
sebagai pedoman bagi pejabat pelaksana
Kantor Catatan Sipil di daerah-daerah.
Mengingat : 1. Undang-undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (Lembar Negara
Tahun 1974 No.1, Tambahan Lembaran
Negara No.3019);
2. Undang-undang No.9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan (Lembar Negara Tahun 1975
No.2, Tambahan Lembaran Negara
No.3050);
Menetapkan : PELAKSANAAN PENCATATAN PER-
KAWINAN DAN PERCERAIAN PADA
KANTOR CATATAN SIPIL SEHUBUNGAN
DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-
UNDANG PERKAWINAN DENGAN
PERATURAN PELAKSANAANNYA.
Pertama : a. Sebelum dikeluarkan Undang-undang
tentang Catatan Sipil yang bersifat
Nasional, maka pencatatan perkawinan
dan perceraian dilakukan di kantor
Catatan Sipil menurut ketentuan Undang-
undang No.1 Tahun 1975 bagi mereka
yang Pencatatan Perkawinannya
dilakukan berdasarkan:
1. Ordonansi Catatan Sipil untuk
golongan Eropa (Stbl. 1849-25).

370
2. Ordonansi Catatan Sipil untuk
golongan Cina, (Stbl. 1917-130 yo
119-81).
3. Ordonansi Catatan Sipil untuk
golongan Kristen Indonesia (Stbl.
1933-279 yo 1936-607).
4. Ordonansi Catatan Sipil untuk
Perkawinan Campuran (Stbl. 1904-
279).
5. Mereka yang tidak tunduk kepada
ordonansi tersebut angka 1 sampai
dengan 4 dan mereka yang tidak
tunduk pada Undang-undang No.22
Tahun 1964 yo Undang-undang No.
32 Tahun 1954.
b. Didalam melaksanakan ordonansi-
ordonansi tersebut di atas hendaklah
memperhatikan ketentuan pada Pasal 47
Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975.
Kedua : Dalam menyelenggarakan pencatatan
perkawinan dan perceraian dimaksud pada
diktum Pertama, kantor Catatan Sipil harus
memperhatikan dan mempergunakan formulir
serta petunjuk sebagaimana terlampir dalam
keputusan ini:
1. Pedoman No. 1 tentang pelaksanaan BAB
II, BAB III dan BAB IV Peraturan
Pemerintah No.9 Tahun 1975.
2. Pedoman No. 2 tentang gugatan
Perceraian yang diatur dalam Pasal 20
dan seterusnya BAB V Peraturan
Pemerintah No.9 Tahun 1975.
3. Formulir model 1 sampai dengan model 8.

371
4. Formulir model A dan B tentang izin
perkawinan.
Ketiga : Segala sesuatu yang menyangkut pencatatan
perkawinan dan perceraian diatur lebih lanjut
oleh Menteri Dalam Negeri, dan dalam hal-hal
yang dipandang perlu akan mengadakan
konsultasi dengan Menteri Kehakiman.
Keempat : Keputusan mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Oktober 1975

MENTERI DALAM NEGERI

Ttd.
AMIR MACHMUD
Tembusan : Yth.
1. Menteri Kehakiman;
2. Menteri Agama;
3. Menteri Sekretaris Negara

372
KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR : 154 TAHUN 1991
TENTANG
PELAKSANAAN INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1991 TANGGAL 10 JUNI 1991

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa Instruksi Presiden Republik


Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal
10 Juni 1991 memerintahkan kepada
Menteri Agama untuk menyebarluaskan
Kompilasi Hukum Islam untuk digunakan
oleh Instansi Pemerintah dan oleh
masyarakat yang memerlukannya.
b. bahwa penyebarluasan Kompilasi Hukum
Islam tersebut perlu dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya dan dengan penuh
tanggung jawab.
c. bahwa oleh karena itu perlu dikeluarkan
Keputusan Menteri Agama Republik
Indonesia tentang Pelaksanaan Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor I
Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.
Mengingat : 1. Pasal 4 (1) dan Pasal 17 Undang-undang
Dasar 1945.
373
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 44 tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Organisasi Departemen.
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 1984 tentang Susunan
Organisasi Departemen dengan segala
perubahannya terakhir Nomor 4 Tahun
1990.
4. Keputusan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 1975 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja
disempurnakan terakhir dengan
Keputusan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 75 Tahun 1984.

MEMUTUSKAN
Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK
INDONESIA TENTANG PELAKSANAAN
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1991
TANGGAL 10 JUNI 1991.
Pertama: Seluruh instansi Departemen Agama dan
instansi pemerintah lainnya yang terkait agar
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di
bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan
Perwakafan sebagaimana dimaksud dalam
diktum Pertama Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor I Tahun 1991 tanggal 10
Juni 1991 untuk digunakan oleh Instansi
Pemerintah dan masyarakat yang
memerlukannya dalam menyelesaikan
masalah-masalah di bidang tersebut.
Kedua : Seluruh lingkungan Instansi tersebut dalam
diktum pertama, dalam menyelesaikan
374
masalah-masalah di bidang Hukum
Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan
sedapat mungkin menerapkan Kompilasi
Hukum Islam tersebut di samping peraturan
perundang-undangan lainnya.
Ketiga : Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam dan Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji
mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia ini dalam
bidang tugasnya masing- masing.
Keempat : Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan.

Ditetapkan di:
Jakarta Pada Tanggal : 22 Ji 1991

MENTERI AGAMA R.I.


ttd
H. MUNAWIR SJADZALI

Keputusan ini disampaikan Kepada Yth. :


1. MENKO KESRA
2. Para Menteri Kabinet Pembangunan V Bidang Kesra
3. Menteri Kehakiman
4. Sekretaris Negara
5. Sekretaris Kabinet Pembangunan V
6. Badan Pengawas Keuangan (BAPEKA) di Jakarta

375
7. Sekjen/Irjen/Para Dirjen/Kadaplitbang Agama/Staf Ahli
Menteri Agama.
8. Para Kepala Biro/Direktur/Inspektur/Kepala Puslitbang
Agama. Kepala Pusdiklat Pegawai di lingkungan
Departemen Agama.
9. Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
Propinsi/Setingkat di seluruh Indonesia.
10. Kepala Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan
Agama di seluruh Indonesia.

376
PERATURAN MENTERI AGAMA
NOMOR 1 TAHUN 1994
TENTANG
PENDAFTARAN SURAT BUKTI PERKAWINAN
WARGA NEGARA INDONESIA YANG
DILANGSUNGKAN DI LUAR NEGERI MENTERI
AGAMA REPUBLIK INDONESIA
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan
pendaftaran surat bukti perkawinan warga
negara Indonesia yang dilangsungkan di luar
negeri sebagaimana diatur dalam pasal 56
ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, perlu ditetapkan
pelaksanaan pendaftaran surat bukti tersebut.
Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan
nikah, Talak dan Rujuk diseluruh luar
Jawa dan Madura;
2. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 1954 tentang penetapan
berlakunya Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 22 tahun 1946 tentang
pencatatan nikah, Talak dan Rujuk
diseluruh luar Jawa dan Madura;

377
3. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan,
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Organisasi departemen;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 1984 tentang Susunan
Organisasi Departemen dengan segala
perubahannya terakhir dengan Nomor 83
Tahun 1993,
7. Peraturan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun1990 tentang
Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah;
8. Keputusan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 1975 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Agama dengan segala
perubahannya terakhir dengan Nomor 75
Tahun 1984.

MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK
INDONESIA TENTANG PENDAFTARAN
SURAT BUKTI PERKAWINAN WARGA
NEGARA INDONESIA YANG
DILANGSUNGKAN DI LUAR NEGERI.

378
Pasal 1
Bagi Warga Negara Indonesia beragama Islam yang telah
melakukan perkawinan di luar negeri sebagaimana
dimaksud pasal 56 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, paling lambat satu tahun setelah suami istri itu
kembali di Wilayah Indonesia, surat bukti perkawinannya
harus didaftarkan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan
yang mewilayahi tempat tinggal mereka.

Pasal 2
Syarat Pendaftaran Surat Bukti Perkawinan sebagaimana
dimaksud pasal 1 harus dilengkapi:
1. Surat Keterangan dari Kepala Desa/lurah yang
mewilayahi tempat tinggal mereka;
2. Fotocopy pasport dengan memperlihatkan aslinya;
3. Fotocopy dari bukti perkawinan;
4. Fotocopy sertificate Nikah dari KBRI atau fotocopy Akte
Nikah dari KBRI atau surat keterangan dari KBRI
setempat.
Pasal 3
(1) Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan
Agama Kecamatan yang mewilayahi tempat tinggal
suami istri tersebut melakukan pemeriksaan seperlunya
menurut formulir Daftar Pemeriksaan Nikah (model NL),
sebagaimana contoh terlampir;
(2) Apabila PPN ragu tentang keabsahan Perkawinan yang
bersangkutan menurut Agama Islam, maka yang
bersangkutan dapat dinikahkan kembali menurut hukum
Islam.
Pasal 4
Dalam hal yang bersangkutan terlambat mendaftarkan
perkawinan di Kantor Urusan Agama Kecamatan dapat
mendaftarkan surat bukti perkawinannya setelah lebih dulu
379
membuat pernyataan tertulis bermeterai Rp. 1.000,00,-
tentang sebab-sebab keterlambatannya.
Pasal 5
Pendaftaran surat bukti perkawinan sebagaimana
dimaksud pasal 1 pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan tidak dipungut biaya.
Pasal 6
Hal-hal tehnis pelaksanaan Peraturan ini lebih lanjut akan
diatur kemudian oleh Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Urusan Haji.
Pasal 7
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di :
Jakarta Pada tanggal : 2 April 1994
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

DR. H. TARMIZI TAHER

380
KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 411 TAHUN 2000
TENTANG
PENETAPAN JUMLAH UANG IWADH
DALAM RANGKAIAN SIGHAT TAKLIK TALAK
BAGI UMAT ISLAM

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa nilai nominal jumlah Uang Iwadh


dalam rangkaian taklik talak sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Model A-2.
Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun
1975, yang telah diubah dengan
Keputusan Menteri Agama Nomor 8
Tahun 1984 dipandang sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan;
b. bahwa untuk meningkatkan kualitas
ibadah sosial bagi umat islam terutama
yang memperoleh bantuan dari Uang
Iwadh, maka ketentuan jumlah Uang
Iwadh sebagaimana dimaksud butir pada
butir a. Diatas perlu disesuaiakan
c. bahwa untuk memenuhi butir b, diatas
dipandang perlu menetapkan kembali
Jumlah Uang Iwadh.
381
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946
Jo Undang-undang Nomor 32 Tahun
1954;
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun


1975 tentang Pelaksanaan
Undangundang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan;
4. Keputusan Presiden RI Nopmor 136
Tahun 1999, tentang Kedudukan, tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi dan tata
Kerja Departemen Yang telah diubah dan
disempurnakan dengan Keputusan
Presiden RI Nomor 147 Tahun 1999;
5. Peraturan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1990, tentang
Kewjiban Pegawai Pencatat Nikah.
6. Keputusan Menteri Agama Nomor 18
tahun 1975, tentang usunan Organisasi
danTata Kerja Departemen dengan
segala perubahannya terakhir dengan
Keputusan Menteri Agama Nomor 75
Tahun 1984;

Memperhatikan : Hasil keputusan pertemuan Kepala


Bidang Urusan Agama Islam/Ketua
Badan Kesejahteran Masjid (BKM)
seluruh Indonesia di Batam, pada tanggal
3 s. d 5 Juli 2000
MEMUTUSKAN;

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK


INDONESIA TENTANG PENETAPAN
382
JUMLAH UANG IWADH DALAM
RANGKAIAN SIGHAT TAKLIK TALAK BAGI
UMAT ISLAM
Pertama : Menetapkan jumlah Uang Iwadh dalam rangka
talik talak, sebesar Rp 10.000,- (Sepuluh Ribu
Rupiah).
Kedua : Dengan berlakunya Keputusan ini ketentuan
jumlah Uang Iwadh sebagaimana tercantum
dalam Peraturan Menteri agam Nomor 4 Tahun
1975 yang telah diubah dengan Keputusan
Menteri Agama Nomor 8 Tahun 1984 dinyatakan
tidak berlaku.
Ketiga : Ketentuan lain sebagaimana tercantum dalam
Keputusan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 1984
tetap berlaku sebagaimana mestinya
Keempat : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.

Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 4 Oktober 2000
MENTERI AGAMA RI.

MUHAMMAD TOLCHAH HASAN

TEMBUSAN :
1. Menteri Keuangan;
2. Sekretariat Negara;
3. Badan Pemeriksa Keuangan;
4. Sekretariat Jenderal DPR RI;
5. Sekjen / Irjen / Para Dirjen / Kabalitbang Agama
Departemen Agama;

383
6. Ketua Pengadilan Tinggai Agama dan Pengadilan
Agama seluruh Indonesia;
7. Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Seluruh
Indonesia;
8. Kepala Kandepag Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia;
9. Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Agama.

384
KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 463 TAHUN 2000
TENTANG
PENDELEGASIAN WEWENANG
PENGANGKATAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH
DI LUAR NEGERI

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka pelaksanaan


Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
pasal 56 ayat (1) yang mengatur
perkawinan di luar negeri, perlu aturan
pelaksanaannya agar perkawinan
tersebut mendapat perlindungan dan
kepastian hukum;
b. bahwa sesuai dengan Keputusan
Bersama Menteri Agama RI Nomor 589
Tahun 1999 dan Nomor 182/OT/X/99/01
Tahun 1999, pengangkatan Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) di luar negeri oleh
Menteri Agama berdasarkan usul Menteri
Luar Negeri;
c. bahwa dalam rangka efektif, efisiensi,
mendekatkan fungsi pelayanan
pencatatan nikah di luar negeri serta
untuk mempermudah dan mempercepat

385
proses pelaksanaan maupun
pengawasan nikah yang dilaksanakan di
luar negeri, dipandang perlu
pendelegasian wewenang;
d. bahwa untuk memenuhi maksud huruf a,
b dan c di atas, perlu diadakan
pendelegasian wewenang pengangkatan
Pegawai Pencatat Nikah di luar negeri.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk;
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954
tentang Penetapan Berlakunya Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di luar
Jawa dan Madura;
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan;
5. Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun
1983 tentang Penataan dan Peningkatan
Pembinaan Penyelenggaraan Catatan
Sipil;
6. Keputusan Presiden RI Nomor 136 Tahun
1999 tentang Kedudukan, Tugas,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen yang telah diubah dan
disempurnakan dengan Keputusan
Presiden RI Nomor 147 Tahun 1999;
7. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun
1990 tentang Kewajiban Pegawai
Pencatat Nikah;
386
8. Keputusan Menteri Agama Nomor 18
Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Departemen Agama,
dengan keputusan segala perubahannya,
terakhir dengan Keputusan Menteri
Agama Nomor 75 Tahun 1984;
9. Keputusan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Luar Negeri Nomor 589 dan
Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999
tentang Petunjuk Pelaksanaan
Perkawinan Warga Negara Indonesia di
Luar Negeri.

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI AGAMA
REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PENDELEGASIAN WEWENANG
PENGANGKATAN PEGAWAI PENCATAT
NIKAH DI LUAR NEGERI
Pertama : Mendelegasikan wewenang kepada Kepala-
Kepala Perwakilan RI di Luar Negeri untuk
mengangkat dan memberhentikan Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) pada Perwakilan RI di
wilayahnya.
Kedua : Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagaimana
disebut pada diktum pertama adalah pejabat
yang membidangi masalah kekonsuleran
pada Perwakilan RI di Luar Negeri dan
bertindak sebagai Penghulu.
Ketiga : Apabila pejabat tersebut pada diktum pertama
beragama selain agama Islam, maka Kepala
Perwakilan RI mengangkat pejabat lain yang
beragama Islam sebagai Pegawai Pencatat
Nikah (PPN).
387
Keempat : Apabila Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang
ditunjuk tidak menguasai hukum munakahat
dan/atau karena luasnya wilayah, Kepala
Perwakilan RI dapat mengangkat Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah yang bertindak
sebagai Penghulu.
Kelima : Penandatangan dokumen Akte Nikah dan
Kutipan Akte Nikah oleh Pegawai Pencatat
Nikah (PPN).
Keenam : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal
ditetapkan, dengan ketentuan akan ditinjau
kembali apabila di kemudian hari terdapat
kekeliruan dalam penetapan ini.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 28 November 2000
MENTERI AGAMA R.I
Ttd
MUHAMMAD THOLCHAH HASAN

388
KEPUTUSAN MENTERI AGAMA

REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 517 TAHUN 2001
TENTANG
PENATAAN ORGANISASI KANTOR URUSAN
AGAMA KECAMATAN
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk meningkatkan kinerja dan
pelayanan kepada masyarakat di bidang
perkawlnan dan pengembangan keluarga
sakinah dipandang perlu melaksanakan
penataan organlsasi Kantor Urusan Agama
Kecamatan;
Menglngat : 1. Peraturan Pemerintah Nomer 100 Tahun
2000 tentang Pengangkatan Pegawai
Negerl Sipil Dalam Jabatan Struktural;
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 102 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organlsasi dan Tata Kerja
Departemen;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 109 Tahun 2001 tentang Unit
Organlsasi dan Tugas Eselon I
Departemen;

389
4. Keputusan Menteri Agama Nomor 45
Tahun 1981 tentang Organlsasl dan Tata
Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama
Propinsi, Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kotamadya dan Balai
Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Teknis
Keagamaan Departemen Agama;
5. Keputusan Menteri Agama Nomor 337
Tahun 2000 tentang Penghapusan
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah
Departemen Agama Propinsi, Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota,
Pengadilan Agama, Kantor Urusan
Agama, Madrasah Tsanawiyah Negeri
dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri di
lingkungan Provinsi Timor Timur;
6. Keputusan Menteri Agama Nomor 1
Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Agama;
7. Keputusan Menteri Agama Nomor 111
Tahun 2001 tentang Perubahan
Nomenklatur 1 (satu) Kantor Urusan
Agama Kecamatan dan Pembentukan
111 (seratus sebelas) Kantor Urusan
Agama Kecamatan;
Memperhatikan: Persetujuan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara dalam
Surat Nomor 295/M. PANT/11/2001
tanggal 9 Nopember 2001;

390
MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI AGAMA TENTANG
PENATAAN ORGANISASI KANTOR
URUSAN AGAMA KECAMATAN

BAB I
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI
Pasal 1
(1) Kantor Urusan Agama Kecamatan berkedudukan di
wilayah kecamatan dan bertanggungjawab kepada
Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota
yang dikoordinasi oleh Kepala Seksi Urusan Agama
Islam/ Bimas Islam/ Bimas dan Kelembagaan Agama
Islam;
(2) Kantor Urusan Agama Kecamatan dipimpin oleh
seorang Kepala.
Pasal 2
Kantor Urusan Agama Kecamatan mempunyai tugas
melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama
Kabupaten/ Kota di bidang Urusan Agama Islam dalam
wilayah kecamatan.
Pasal 3
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Kantor Urusan Agama Kecamatan
menyelenggarakan fungsi :
a. menyelenggarakan statistik dan dokumentasi;
b. menyelenggarakan Surat menyurat, pengurusan Surat,
kearsipan, pengetikan dan rumah tangga Kantor Urusan
Agama Kecamatan;
c. melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk, mengurus dan
membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah
sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga
sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan
391
oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 4
Kantor Urusan Agama Kecamatan terdiri dari :
a. Kepala;
b. Pelaksana, sesuai dengan kebutuhan rasional dengan
tugas: penyelenggaraan statistik, dokumentasi, Surat
menyurat, pengurusan Surat, kearsipan, pengetikan dan
rumah tangga Kantor Urusan Agama Kecamatan;
bimbingan dan pelayanan nikah dan rujuk; pengurusan
dan pembinaan kemasjidan, zakat, wakaf, ibadah sosial
dan baitul mast; pengembangan keluarga sakinah dan
kependudukan, sesuai dengan kebijaksanaan yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bimbingan. Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
(1) Pembentukan Kantor Urusan Agama di suatu
kecamatan ditetapkan oleh Menteri Agama setelah
terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari
Menteri yang bertanggungjawab di bidang
pendayagunaan aparatur negara.
(2) Pembentukan Kantor Urusan Agama Kecamatan
dilakukan menurut keperluan dengan memperhatikan
jumlah pemeluk agama Islam yang harus dilayani;
(3) Apabila dipandang perlu dalam rangka pelaksanaan
tugas, Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
Provinsi/setingkat dapat menetapkan bahwa tugas
suatu Kantor Urusan Agama meliputi 2 (dua)
Kecamatan atau lebih.
Pasal 6
Sejak berlakunya Keputusan ini Kantor Urusan Agama
Kecamatan di lingkungan Departemen Agama adalah
392
sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini dan
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
Keputusan ini.

BAB ll
T AT AkERJ A
Pasal 7
Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan wajib menerapkan prinsip koordinasi,
integrasi dan sinkronisasi baik di lingkungan Kantor Urusan
Agama dengan instansi vertikal Departemen Agama lainnya
maupun antara unsur Departemen di Kecamatan dengan
unsur Pemerintah Daerah.
Pasal 8
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
bertanggung jawab memimpin bawahannya masing-masing,
serta memberikan pedoman, bimbingan dan petunjuk bagi
pelaksanaan tugas bawahannya.
Pasal 9
Sebagai bawahan, Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan wajib mengetahui dan mematuhi atasannya dan
melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada atasan
Pasal 10
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
menyampaikan laporan kepada Kepala Kantor Departemen
Agama Kabupaten/Kota yang membawahinya untuk
selanjutnya disusun dan diolah sebagai laporan berkala
Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
Pasal 11
Dalam menyampaikan laporan, tembusan laporan
disampaikan kepada satuan organisasi lain yang berkaitan.

393
Pasal 12
Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Kantor Urusan
Agama memberikan bimbingan terhadap bawahannya,
melalui rapat berkala.
Pasal 13
Apabila Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
berhalangan, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
dapat menunjuk pejabat pimpinan sementara untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban yang diberikan.
BAB III
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 14
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Kantor
Urusan Agama Kecamatan di Indonesia berjumlah 3.862
buah berubah Eselonisasinya dari V/a menjadi IV/b.
Pasal 15
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2001
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
t.t.d

PROF. DR. H. SAID AGIL HUSIN AL MUNAWAR, MA

394
KEPUTUSAN
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR DJ.II/1209 TAHUN 2013
TENTANG
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PADA
KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas


pelayanan masyarakat pada Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan perlu menyusun
standar operasional prosedur di lingkungan
Kantor Urusan Agama Kecamatan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu
menetapkan Keputusan Menteri Agama
tentang Standar Operasional Prosedur
Pencatatan Nikah pada Kantor Urusan
Agama Kecamatan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 98 Tahun 1946, Tambahan

395
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6941;
2. Undang-Undang Nomor 32 Ta.bun 1954
tentang Penetapan Berlakunya Undang-
Undang Republik Indonesia tanggal 21
November 1946 Nomor 22 Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura);
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019;
4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 30501);
6. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009
tentang Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011
tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian
Negara;
7. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010
tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi
Kementerian Negara serta Susunan
Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I
396
Kementerian Negara sebagaimana telah
beberapa Kali diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian
Negara serta Susunan Organisasi, Tugas,
dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
8. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun
2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Agama (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
592);
9. Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun
2012 tentang Organisasi dan Tata Keria
Instansi Vertikal Kementerian Agama Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 851);
10. Peraturan Menteri Pendayagunaan
Apartur Negara Nomor 35 Tahun 2012
tentang Pedoman Penyusunan Standar
Operational Prosedur Admnistrasi
Pemerintahan;
11. Keputusan Menteri Agama Nomor 168
Tahun 2010 tentang Pedoman penyusunan
Stander Operasional Prosedur di lingkungan
Kementerian Agama;
12. Keputusan Menteri Agama Nomor 84 Tahun
2013 tentang Pemberian Kuasa Kepada
Pimpinan Satuan Kerja Untuk Atas Nama
Menteri Agama Menetapkan Standar
Operasional Prosedur di Lingkungan
Kementerian Agama.

397
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK
INDONESIA TENTANG STANDAR
OPERASIONAL PROSEDUR PADA
KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN.
KESATU : Menetapkan Keputusan Standar Operasional
Prosedur Pencatatan Nikah pada Kantor
Urusan Agama Kecamatan sebagaimana
tercantum dalam lampiran Keputusan ini.
KEDUA : Standar Operasional Prosedur Pencatatan
Nikah pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan yang belum ditetapkan dalam
Peraturan ini akan ditetapkan kemudian oleh
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi setelah di konsultasikan dengan
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam.
KETIGA : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.

Ditetapakan di Jakarta
pada tanggal, 20 Desember 2013
a.n. MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
DIREKTUR JENDERAL

Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA

398
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita haturkan ke hadirat Allah SWT,


atas limpahan rahmat dan petunjuk-Nya, dapat disusun
Standar Operasional Prosedur (SOP) Pencatatan Nikah
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan. Penyusunan Sop
ini dilandasi suatu pemikiran bahwa tantangan yang
dihadapi Kementerian Agama dalam mengimplementasikan
reformasi birokrasi masih cukup berat.

Oleh Karena itu, untuk percepatan pelaksanaan


reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Agama telah
dikeluarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomer 168
Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Operasional Prosedur di lingkungan Kementerian Agama.
Dalam keputusan tersebut telah telah diputuskan bahwa
setiap satuan organisasi kerja di lingkungan Kementerian
Agama, baik kantor pusat maupun instansi vertikal maupun
UPT harus menyusun SOP.

Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan sebagai


ujung tombak Kementerian Agama salah satu tugasnya
adalah melayani permohonan pencatatan nikah, sehingga
perlu dibuat Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait
dengan pelayanan tersebut. SOP yang telah disusun ini

399
tentunya akan dijadikan sebuah pedoman atau acuan kerja
bagi petugas Kantor Urusan Agama Kecamatan, sehingga
pelaksanaan tugas KUA dalam melayani masyarakat dapat
berjalan dengan efektif dan efesien sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan serta dapat dipertanggungjawabkan
sehingga akan meminimalisir terjadinya kesalahan dalam
pelaksanaannya tugasnya dan masyarakat mampu
mengetahui alur dalam proses pencatatan nikah secara baik
dan benar.

Kami berharap semoga SOP ini bermanfaat terutama


dalam upaya menciptakan percepatan reformasi birokrasi
dalam pelayanan dan mewujudkan akuntabilitas kinerja di
lingkungan Kantor Urusan Agama Kecamatan bahkan
Kementerian Agama pada umumnya.

Ditetapakan di Jakarta
pada tanggal, 20 Desember 201
a.n. MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
DIREKTUR JENDERAL

Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA

400
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR

(SOP)
PENCATATAN NIKAH

KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN


KEMENTERIAN AGAMA
KABUPATEN/KOTA
TAHUN 2013

401
LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI AGAMA
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN 2013
TENTANG
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PENCATATAN
NIKAH
PADA KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Untuk mendorong penyelenggaraan pemerintah yang
lebih efektif, efisien dan akuntabel, Pemerintah telah
mencanangkan penerapan prinsip-prinsip penyelenggaraan
tata kelola kepemerintahan yang baik dan bersih (good
governance and clean goverment) melalui penerapan
reformasi birokrasi, yang secara umum ditujukan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Secara operasional wujud peningkatan kualitas
pelayanan kepada masyarakat adalah berupa perbaikan
dan penyempurnaan proses penyelenggaraan administrasi
pemerintahan sehingga lebih mencerminkan birokrasi yang
mampu menjalankan fungsi pelayanan umum yang
berkualitas, memuaskan, transparan, dan dapat
dipertanggung-jawabkan.
Sebagai upaya untuk mewujudkan pelayanan yang
berkualitas tersebut, diperlukan ketersediaan standar
operasional prosedur (SOP) sebagai pedoman/petunjuk
bagi para aparatur dalam melaksanakan tugas pelayanan
dan bagi masyarakat pengguna layanan untuk
mengetahui/memahami akan suatu prosedur pelayanan
yang dilakukan oleh aparatur. Dengan demikian dapat
402
dihindarkan tumpang tindih tanggung jawab dan kesalahan
prosedur dalam melaksanakan tugas.
Oleh karena itu untuk menjamin adanya kesamaan
pengertian dan keseragaman dalam pelayanan di bidang
pencatatan nikah, Kementerian Agama memandang perlu
menyusun standar operasional prosedur (SOP) pencatatan
nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
sebagai acuan kerja.

B. Maksud dan Tujuan


1. Maksud
Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai Unit
Pelaksana Teknis Kementerian Agama merupakan instansi
yang memberikan pelayanan langsung kepada
masyarakat. Untuk itu perlu adanya Standar Operasional
Prosedur (SOP) pencatatan nikah/rujuk pada Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan. Penerbitan SOP
tersebut dimaksudkan untuk menstandarkan prosedur-
prosedur penting dalam menyelenggarakan pelayanan.
2. Tujuan
a. Penggunaan Standar Operasional Prosedur
bertujuan untuk mendorong setiap aparatur negara
di Kantor Urusan Agama Kecamatan melaksanakan
tugas dan fungsi sesuai dengan SOP pelayanan
kepada masyarakat dalam pencatatan pernikahan;
b. Standar Operasional Prosedur yang disusun ini
diharapkan:
1) Memberikan kepastian dan keseragaman dalam
proses pelaksanaan Lukas.
2) Menunjang kelancaran dalam proses pelak-
sanaan tugas dan kemudahan pengendalian.
3) Mempertegas tanggung jawab dalam pelak-
sanaan tugas bagi

403
4) Meningkatkan daya guna dan hasil guna secara
berkelanjutan dalam melaksanakan tugas
umum pemerintahan.
5) Memberikan informasi mengenai pelaksanaan
tugas yang dilakukan oleh aparatur pemerintah
secara proporsional.
6) Memberikan kejelasan dan transparansi kepada
masyarakat sebagai penerima layanan
mengenai hak dan kewajibannya.

C. Ruang Lingkup
Standar Operasional Prosedur ini digunakan dalam
pencatatan nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan.

D. Manfaat
Manfaat Standar Operasional Prosedur pencatatan
nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
meliputi :
1. Standardisasi Cara yang harus dilakukan dalam
menyelesaikan pekerjaan, mengurangi kesalahan
atau kelalaian oleh pegawai Kantor Urusan Agama
(KUA) Kecamatan.
2. Menjamin proses yang telah ditetapkan dan
dijadwalkan dapat berlangsung sebagaimana
mestinya.
3. Menjamin tersedianya data untuk penyempurnaan
proses.
4. Meningkatkan akuntabilitas dengan melaporkan dan
mendokumentasikan hasil dalam pelaksanaan
tugas.
5. Memberikan Cara konkrit untuk perbaikan kinerja.
6. Menghindari terjadinya variasi proses pelaksanaan

404
kegiatan dan tumpang tindih.
7. Membantu pegawai menjadi lebih mandiri,
8. Membantu mengidentifikasi apabila terjadi
kesalahan prosedural.
9. Memudahkan penelusuran terjadinya
penyimpangan dan memudahkan langkah
perbaikan.
10.Meningkatkan efisiensi den efektivitas pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab pegawai Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan dan organisasi secara
keseluruhan.

E. Sistematika
Sistematika penulisan buku Standar Operasonal
Prosedur (SOP) pencatatan nikah ini terdiri dari empat Bab.
Pada Bab I Pendahuluan berisi tentang latar belakang,
maksud dan tujuan, ruang lingkup, manfaat dan sistematika
penulisan. Pada bab ini membahas tentang latar belakang
mengapa buku SOP ini ditulis, maksud dan tujuan yang
hendak dicapai, manfaat yang akan diperoleh, ruang
lingkup permasalahan apa yang dikemukakan dalam buku
ini serta sistematika penulisan.
Sementara itu, pada Bab II berisi tentang penjelasan
dan prinsip pelaksanaan SOP yang meliputi isi form SOP
dan prinsip pelaksanaan SOP. Pada bab ini dibahas
tentang isi form SOP yang memuat informasi dan istilah-
istilah tentang SOP dan beberapa prinsip dasar yang harus
dipenuhi dalam penyusunan SOP.
Selanjutnya, pada Bab III berisi SOP pencatatan nikah
pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
Kementerian Agama Kabupaten/Kota. Bab ini akan
membahas tentang uraian Standar Operasioanal Prosedur
yang ada pada KUA Kecamatan yang ada, yaitu:
1. SOP Pelayanan pendaftaran nikah;

405
2. SOP Pengisian pengumuman kehendak nikah;
3. SOP Penulisan draf aKta nikah;
4. SOP Penulisan draf buku nikah;
5. SOP Pelayanan akad nikah;
6. SOP Pengaduan masyarakat terhadap layanan
pernikahan;
7. Bagan tata Cara pelayanan pernikahan.
Dan terakhir, pada Bab IV yaitu, Penutup yang berisi
Kata akhir.

BAB II
PENJELASAN FORM DAN PRINSIP PELAKSANAAN
SOP

A. Isi Form SOP


Dokumen SOP merupakan dokumen yang berisi
prosedur-prosedur yang distandarkan, yang secara
keseluruhan prosedur-prosedur tersebut membentuk satu
kesatuan proses. Adapun informasi yang dimuat dalam
dokumen SOP antara lain sebagai berikut:
1. Nama SOP : nama prosedur yang di-SOP-Kan;
2. Satuan kerja/unit kerja: Kementerian Agama
Kabupaten/Kota;
3. Nomor SOP : nomor prosedur yang di-SOP-Kan;
4. Tanggal pembuatan: tanggal pertama Kali SOP
dibuat;
5. Tanggal revisi : tanggal SOP prosedur direvisi;
6. Tanggal efektif : tanggal mulai diberlakukan;
7. Disahkan oleh : Menteri Agama Republik Indonesia;
8. Dasar hukum : peraturan perundang-undangan
yang mendasari prosedur;
9. Keterkaitan: memberikan penjelasan mengenai
keterkaitan prosedur yang distandardisasikan
dengan prosedur lain yang distandardisasikan.
406
10. Peringatan : memberikan penjelasan mengenai
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi ketika
prosedur dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Peringatan memberikan indikasi berbagai
permasalahan yang mungkin muncul dan berada di
luar Kendali pelaksana ketika prosedur
dilaksanakan, serta berbagai dampak lain yang
ditimbulkan. Dalam hal ini dijelaskan pula
bagaimana Cara mengatasinya.
11. Kualifikasi pelaksana: memberikan penjelasan
mengenai kualifikasi pegawai yang dibutuhkan
dalam melaksanakan perannya pada prosedur yang
distandarkan.
12. Peralatan dan perlengkapan : memberikan
penjelasan mengenai daftar peralatan dan
perlengkapan yang dibutuhkan.
13. Pencatatan : memuat berbagai hal yang perlu
didata dan dicatat oleh setiap pegawai yang
berperan dalam pelaksanaan prosedur yang telah
distandardisasikan. Dalam kaitan ini, perlu dibuat
formulir-formulir tertentu yang akan diisi oleh setiap
pegawai yang terlibat dalam proses pencatatan
nikah. Setiap pegawai yang ikut berperan dalam
proses, diwajibkan untuk mencatat dan mendata
apa yang sudah dilakukannya, dan memberikan
pengesahan bahwa langkah yang ditanganinya
dapat dilanjutkan pada langkah selanjutnya.
Pendataan dan pencatatan akan menjadi dokumen
yang memberikan informasi penting mengenai
“apakah prosedur telah dijalankan dengan benar".
14.Uraian SOP: menjelaskan langkah-langkah
kegiatan secara terinci dan sistematis dari prosedur
yang distandardisasikan. Agar SOP ini terkait
dengan kinerja, maka setiap aktivitas hendaknya
mengidentifikasikan mutu baku tertentu, seperti:
waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan

407
persyaratan/kelengkapan yang diperlukan (standar
input) dan outputnya. Mutu baku ini akan menjadi
alat kendali mutu sehingga produk akhirnya (end
product) dari sebuah proses benar-benar memenuhi
kualitas yang diharapkan, sebagaimana ditetapkan
dalam standar pelayanan.

BAB III
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)
PENCATATAN NIKAH
PADA KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN
1. SOP PELAYANAN PENDAFTARAN NIKAH
2. SOP PENGISIAN PENGUMUMAN KEHENDAK NIKAH
3. SOP PENULISAN DRAF AKTA NIKAH
4. SOP PENULISAN DRAFT BUKU NIKAH
5. SOP PELAYANAN AKAD NIKAH
6. SOP PENGADUAN MASYARAKAT TERHADAP
LAYANAN PERNIKAHAN
7. BAGAN TATA CARA PELAYANAN PERNIKAHAN

B. Prinsip Pelaksanaan SOP


Pelaksanaan SOP barns memenuhi prinsip sebagai
berikut:
1. Konsisten
SOP harus dilaksanakan secara konsisten dari
waktu ke waktu, oleh siapa pun dan dalam kondisi
apa pun oleh seluruh pegawai pada Kantor Urusan
Agama Kecamatan,
2. Komitmen
SOP dilaksanakan dengan penuh langgung jawab.
3. Perbaikan berkelanjutan
Pelaksanaan SOP harus terbuka terhadap segala

408
penyempurnaan untuk memperoleh prosedur yang
benar-benar efisien dan efektif.
4. Mengikat
SOP harus mengikat pegawai dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan prosedur standar yang telah
ditetapkan.
5. Seluruh unsur memiliki peran penting
Seluruh pegawai berperan dalam setiap prosedur
yang distandardisasikan. Jika ada pegawai yang
tidak melaksanakan perannya dengan baik, maka
akan mengganggu keseluruhan proses, yang
akhirnya juga berdampak pada proses
penyelenggaraan pelayanan pada Kantor Urusan
Agama Kecamatan.
6. Didokumentasikan dengan baik
Seluruh prosedur yang telah distandardisasikan
harus didokumentasikan dengan baik, sehingga
dapat selalu dijadikan referensi.

BAB IV
PENUTUP
Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP)
pencatatan nikah pada Kantor Urusan Asama (KUA)
Kecamatan merupakan bagian kecil dari aspek
penyelenggaraan administrasi pada KUA Kecamatan, SOP
ini sebagai pedoman tentang langkah-langkah/proses
pekerjaan yang harus dilakukan dalam kaitan pencatatan
nikah memiliki peran penting dalam menciptakan kepastian
layanan yang efektif, efisien, dan konsisten dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Mengingat pentingnya SOP pencatatan nikah ini dalam
rangka menghindari kemungkinan terjadi penyimpangan
dalam prosedur dan tumpang tindih aktivitas pelayanan
yang satu dengan yang lain. Oleh Karena itu, SOP ini

409
menjadi instrumen yang penting untuk mendorong setiap
pegawai dalam melaksanakan pekerjaan dengan efisien,
memudahkan mereka dalam memantau hasil pekerjaan,
serta bekerja akan semakin terarah. Semoga bermanfaat,
Amiiin.

Ditetapakan di Jakarta
pada tanggal
a.n MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
DIREKTUR JENDERAL
BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM

Ttd.
Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA

410
411
412
413
414
415
416
417
KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 75 TAHUN 2014
TENTANG
PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI AGAMA
NOMOR 99 TAHUN 2013 TENTANG PENETAPAN
BLANGKO DAFTAR PEMERIKSAAN NIKAH, AKTA NIKAH,
BUKU NIKAH, DUPLIKAT BUKU NIKAH, BUKU
PENCATATAN RUJUK, DAN KUTIPAN BUKU
PENCATATAN RUJUK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk memberikan kepastian hukum


dalam Pencatatan Nikah, perlu menetapkan
Keputusan Mentcri Asama tentang Perubahan
Alas Keputusan Mcntcri Asama Nomor 99 Tahun
2013 tentang Pcnetapan Blangko Daftar
Pemeriksaaan Nikah, Akta Nikah, Buku Nikah,
Dllplikat Buku Nikah, Buku Pcncatatan Rujuk,
dan Kutipan Buku Pencatatan Rujuk;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1946 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 694);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik
Indonesia tanggal 21 November 1946 Nomor 22
Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura);

418
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3019);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3050);
5. Peraturan Prcsiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian
Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 13
Tahun 2014 tentang Perubahan Kelima Atas
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian
Negara;
6. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dun Fungsi Kementerian
Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan
Fungsi Eselon I Kementerian Negara
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2014
tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan
Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian
Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan
Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
7. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
419
2010 Nomor 592) sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Agama Nomor
80 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 1202);
8. Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2012
tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal
Kementerian Agama Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 851);
9. Keputusan Bersama Menteri Agama dengan
Menteri Luar Negeri Nomor 589 Tahun 1999 dan
Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara
Indonesia di Luar Negeri;
10. Keputusan Menteri Agama Nomor 517 Tahun
2001 tentang Penataan Orgsnisasi Kantor Urusan
Agama Kecamatan;
11. Keputusan Menteri Agama Nomor 99 Tahun 2013
tentang Penetapan Blangko Daftar Pemeriksaan
Nikah, Akta Nikah, Buku Nikah, Duplikat Buku
Nikah, Buku Pencatatan Rujuk, dan Kutipan Buku
Pencatatan Rujuk;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI AGAMA TENTANG PERUBAHAN ATAS
KEPUTUSAN MENTERI AGAMA NOMOR 99 TAHUN 2013
TENTANG PENETAPAN BLANGKO DAFTAR PEMERIKSAAN
NIKAH, AKTA NIKAH, BUKU NIKAH, DUPLIKAT BUKU NIKAH,

420
BUKU PENCATATAN RUJUK, DAN KUTIPAN BUKU
PENCATATAN RUJUK.
Pasal 1
Mengubah Lampiran I, II, III, IV, dan Lampiran V Keputusan
Menteri Asama Nomor 99 Tahun 2013 tentang Penetapan
Blangko Daftar Pemeriksaan Nikah, Akta NiKah, Buku Nikah,
Duplikat Buku Nikah, Buku Pencatatan Rujuk, dam Kutipan
Bukti Pencatatan Rujuk sehingga seluruhnya berbunyi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran-Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari keputusan ini.
Pasal II
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 2 Mei 2014
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,

SURYADHARMA ALI

421
422
423
424
425
426
427
428
429
430
431
432
433
434
435
436
437
438
439
440
KEPUTUSAN
MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
NOMOR : 63/KEP/M.PAN/7/2003
TENTANG
PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN
PELAYANAN PUBLIK

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA,

Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan kualitas


penyelenggaraan pelayanan publik oleh
aparatur negara perlu disusun suatu
pedoman;
b. bahwa pedoman penyelenggaraan
pelayanan publik yang telah diatur dalam
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan
Apartur Negara Nomor 81/1993 tentang
Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum,
perlu disesuaikan dengan perkembangan
yang ada, sehingga perlu disempurnakan;
c. bahwa untuk maksud tersebut sebagaimana
pada butir a dan b, dipandang perlu
mengatur kembali dengan Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik;
Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (Lembar Negara Republik

441
Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, TLN
Nomor 3821);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60,
TLN Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
sebagai Daerah Otonom;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 22/M Tahun 2000;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;
6. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu
Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada
Masyarakat;
7. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor 95/KEP/M.PAN/11/2001
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PENDAYAGUNAAN
APARATUR NEGARA TENTANG PEDOMAN
UMUM PENYELENGGARAAN PELAYANAN
PUBLIK.
PERTAMA : Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik sebagaimana tersebut dalam Lampiran
Keputusan ini merupakan acuan bagi Instansi
Pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan
publik.

442
KEDUA : Dengan berlakunya Keputusan Menteri ini, maka
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 81/1993 tentang
Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum,
dinyatakan tidak berlaku.
KETIGA : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Juli 2003
Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara

Feisal Tamin

443
LAMPIRAN KEPUTUSAN
MENTERI PENDAYAGUNAAN
APARATUR NEGARA
Nomor : 63/KEP/M.PAN/7/2003
Tanggal : 10 Juli 2003

PEDOMAN UMUM
PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Ketetapan MPR-RI Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), mengamanatkan
agar aparatur negara mampu menjalankan tugas dan
fungsinya secara profesional, produktif, transparan dan
bebas dari KKN.
Perwujudan nyata dari sikap aparatur negara dalam
menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan yang
diamanatkan oleh Tap MPR tersebut antara lain tercermin
dari penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh karena itu,
upaya untuk meningkatkan kinerja aparatur dalam
penyelenggaraan pelayanan publik terus dilakukan.
Dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan
dan peluang, aparatur negara hendaknya memberikan
pelayanan dengan berorientasi pada kebutuhan dan
kepuasan penerima pelayanan, sehingga dapat
meningkatkan daya saing dalam pemberian pelayanan
barang dan jasa.
Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, diharapkan
memberikan dampak nyata yang luas terhadap peningkatan
pelayanan terhadap masyarakat. Perlimpahan wewenang
dari Pemerintah Pusat ke Daerah memungkinkan terjadinya
penyelenggaraan pelayanan dengan jalur birokrasi yang
444
lebih ringkas dan membukan peluang bagi Pemerintah
Daerah memungkinkan terjadinya dan membuka peluang
bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan inovasi dalam
pemberian dan peningkatkan kualitas pelayanan.
Kemajuan teknologi informasi juga merupakan solusi dalam
memenuhi aspek transparansi, akuntabilitas dan partisipasi
masyarakat. Keterpaduan sistem penyelenggaraan
pemerintah melalui jaringan informasi on-line, pelayanan,
sehingga memungkinkan tersedianya data dan informasi
pada Instansi Pemerintah yang dapat dianalisis dan
dimanfaatkan secara cepat, akurat dan aman.
Oleh karena itu untuk mempercepat upaya pencapaian
sasaran terhadap peningkatkan kinerja aparatur negara
dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik
sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR RI
dimaksud, maka perlu disusun landasan yang bersifat
umum dalam suatu bentuk pedoman bagi Instansi
Pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
B. Maksud dan Tujuan
1. Maksud pedoman umum ini adalah sebagai acuan bagi
seluruh penyelenggara pelayanan publik dalam
pengaturan dan pelaksanaan kegiatan pelayanan publik
sesuai dengan kewenangannya.
2. Tujuan pedoman umum ini adalah untuk mendorong
terwujudnya penyelenggaraan pelayanan publik yang
prima dalam arti memenuhi harapan dan kebutuhan baik
bagi pemberi maupun penerima pelayanan.
C. Pengertian Umum
1. Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan
yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan
publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Penyelenggaraan Pelayanan Publik adalah Instansi
Pemerintah.
445
3. Instansi Pemerintah adalah sebutan kolektif meliputi
satuan kerja/satuan organisasi Kementerian,
Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen,
Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara,
dan Instansi Pemerintah lainnya, baik Pusat maupun
Daerah termasuk Badan Usaha Milik Negara, Badan
Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
4. Unit penyelenggara pelayanan publik adalah unit kerja
pada Instansi Pemerintah yang secara langsung
memberikan pelayanan kepada penerima pelayanan
publik.
5. pemberi pelayanan publik adalah pejabat/pegawai
instansi pemerintah yang melaksankan tugas dan fungsi
pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
6. Penerima pelayanan publik adalah orang, masyarakat,
instansi pemerintah dan badan hukum yang menerima
pelayanan dari instansi pemerintah.
7. Biaya pelayanan publik adalah segala biaya (dengan
nama atau sebutan apapun) sebagai imbal jasa atas
pemberian pelayanan publik yang besaran dan tata cara
pembayaran ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
sesuai ketentuan perundang-undangan.
8. Indeks Kepuasan Masyarakat adalah tingkat kepuasan
masyarakat dalam memperoleh pelayanan yang
diperoleh dari penyelenggara atau pemberi pelayanan
sesuai harapan dan kebutuhan masyarakat.

II. Hakekat Pelayanan Publik


Hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan
prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan
kewajiban aparatur negara sebagai abdi masyarakat.

III. Asas Pelayanan Publik


A. Transparansi

446
Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua
pihak yang membutuhkan dan disediakan secara
memadai serta mudah dimengerti.
B. Akuntabilitas
Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
C. Kondisional
Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan
penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada
prinsip efisiensi dan efektivitas.
D. Partisipatif
Mendorong peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik dengan
memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan
masyarakat.
E. Kesamaan Hak
Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku,
ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
F. Keseimbangan Hak dan Kewajiban
Pemberi dan penerima pelayanan publik harus
memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.

IV. Kelompok Pelayanan Publik


A. Kelompok Pelayanan Administratif yaitu pelayanan yang
menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang
dibutuhkan oleh publik, misalnya status
kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan
atau penguasaan terhadap suatu barang dan
sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu
Tanda Penduduk (KTP), Akte Pernikahan, Akte
Kelahiran, Akte Kematian, Buku Pemilik Kendaraan
Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat
Kepemilikan/Penguasaan Tanah dan sebagainya.
447
B. Kelompok Pelayanan Barang yaitu pelayanan yang
menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang
digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon,
penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan sebagainya.
C. Kelompok Pelayanan Jasa yaitu pelayanan yang
menghasilkan bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik,
misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan,
penyelenggaraan transportasi, pos dan sebagainya.

V. Penyelenggaraan Pelayanan Publik


Penyelenggaraan pelayanan publik perlu memperhatikan
dan menerapkan prinsip, standar, pola penyelenggaraan
biaya, pelayanan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita
hamil dan balita, pelayanan khusus, biro jasa pelayanan,
tingkat kepuasan masyarakat, pengawasan
penyelenggaraan, penyelesaian pengaduan dan sengket,
serta evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayana publik.
A. Prinsip Pelayanan Publik
1. Kesederhanaan
Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah
dipahami, dan mudah dilaksanakan.
2. Kejelasan
a. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik
b. Unit kerja/pejabat yang berwenang dan
bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan
penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam
pelaksanaan pelayanan publik;
c. Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara
pembayaran.
3. Kepastian Waktu
Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan
dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
4. Akurasi

448
Produk pelayanan publik diterima dengan benar,
tepat dan sah.
5. Keamanan
Proses dan produk pelayanan publik memberikan
rasa aman dan kepastian hukum.
6. Tanggung jawab
Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau
pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas
penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian
keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan
publik.
7. Kelengkapan sarana dan prasarana
Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan
kerja dan pendukung lainnya yang memadai
termasuk penyediaan sarana teknologi
telekomunikasi dan informatika (telematika).
8. Kemudahan Akses
Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang
memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan
dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan
informatika.
9. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan
Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan
dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan
dengan ikhlas.
10. Kenyamanan
Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur,
disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi,
lingkungna yang indah dan sehat serta dilengkapi
dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir,
toilet, tempat ibadah dan lain-lain.
8. Kemudahan Akses
Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang
memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan

449
dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan
informatika.

B. Standar Pelayanan Publik


Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus
memiliki standar pelayanan pelayanan dan
dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi
penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan
ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan
pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan
atau penerima pelayanan.
Standar pelayanan, sekurang-kurangnya meliput:
1. Prosedur pelayanan
Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi
dan penerima pelayanan termasuk pengaduan.
2. Waktu Penyelesaian
Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat
pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian
pelayanan termasuk pengaduan.
3. Biaya pelayanan
Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang
ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan.
4. Produk pelayanan
Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
5. Sarana dan prasarana
Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang
memadai oleh penyelenggara pelayanan publik.
6. Kompetensi petugas pemberi pelayanan
Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus
ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan,
keahlian, keterampilan, sikap, dan prilaku yang
dibutuhkan.

450
C. Pola Penyelenggaraan Pelayanan Publik
1. Fungsional
Pola pelayanan publik diberikan oleh penyelenggara
pelayanan, sesuai dengan tugas, fungsi dan
kewenangannya.
2. Terpusat
Pola pelayanan publik diberikan secara tunggal oleh
penyelenggara pelayanan berdasarkan pelimpahan
wewenang dari penyelenggara pelayanan terkait
lainnya yang bersangkutan.
3. Terpadu
a. Terpadu Satu Atap
Pola pelayanan terpadu satu atap diselenggarakan
dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis atas
pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses
dan dilayani melalui beberapa pintu. Terhadap jenis
pelayanan yang sudah dekat dengan masyarakat
tidak perlu disatuatapkan.
b. Terpadu Satu Pintu
Pola pelayanan terpadu satu pintu diselenggarakan
pada satu tempat yang meliputi berbagai jenis
pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan
dilayani melalui satu pintu.
4. Gugus Tugas
Petugas pelayanan publik secara perorangan atau
dalam bentuk gugus tugas ditempatkan pada instansi
pemberi pelayanan dan lokasi pemberian pelayanan
tertentu.
Selain pola pelayanan sebagaimana tersebut, instansi yang
melakuan pelayanan public dapat mengembangkan pola
penyelenggarakan pelayanannya sendiri dalam rangka
upaya menemukan dan menciptakan inovasi peningkatan
pelayanan public. Pengembangan pola penyelenggaraan
pelayanan publik dimaksud mengikuti prinsip-prinsip
sebagaimana ditetapkan dalam pedoman ini.
451
D. Biaya Pelayanan Publik
Penetapan besaran biaya pelayanan publik perlu
memperlihatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Tingkat kemampuan dan daya beli masyarakat;
2. Nilai/harga yang berlaku atas barang atau jasa;
3. Rincian biaya harus jelas untuk jeis pelayanan publik
yang memerlukan tindakan seperti penelitian,
pemeriksaan dan pengukuran dan pengujian;
4. Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan
memperhatikan prosedur sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
E. Pelayanan Bagi Penyandang Cacat, Lanjut Usia, Wanita
Hamil dan Balita
Penyelenggara pelayanan wajib mengupayakan
tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan serta
memberikan akses khusus berupa kemudahan pelayanan
bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita.
F. Pelayanan Khusus
Pelayanan jenis pelayanan publik tertentu seperti
pelayanan transportasi, kesehatan, dimungkinkan untuk
memberikan penyelenggaraan pelayanan khusus, dengan
ketentuan seimbang dengann biaya yang dikeluarkan
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, seperti perawatan VIP di rumah
sakit, dan gerbong eksekutif pada kereta api.
G. Biro Jasa Pelayanan
Pengurusan pelayanan publik pada dasarnya dilakukan
sendiri oleh masyarakat. Namun dengan pertimbangan
tertentu dan sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik tertentu dimungkinkan
adanya biro jasa untuk membantu penyelenggaraan
pelayanan publik. Status biro jasa tersebut harus jelas,
memiliki ijin usaha dari instansi yang berwenang dan dalam
452
menyelenggarakan kegiatan pelayanannya harus
berkoordinasi dengan penyelenggara pelayanan yang
bersangkutan, terutama dalam hal yang menyangkut
persyaratan, tarif jasa dan waktu pelayanan, sepanjang
tidak menganggu fungsi penyelenggaraan pelayanan publik.
Sebagai contoh, biro jasa perjalanan angkutan udara, laut,
dan darat.
H. Tingkat Kepuasan Masyarakat
Ukuran keberhasilan penyelenggaraan pelayanan
ditentukan oleh tingkat kepuasan penerima pelayanan.
Kepuasan penerima pelayanan dicapai apabila penerima
pelayanan memperoleh pelayanan sesuai dengan yang
dibutuhkan dan diharapkan. oleh karena itu setiap
penyelenggara pelayanan secara berkala melakukan survei
indeks kepuasan masyarakat.
I. Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik,
dilakukan melalui:
1. Pengawasan melekat yaitu pengawasan yang dilakukan
oleh atasan Iangsung, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Pengawasan fungsional yaitu pengawasan yang
dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional sesuai
dangan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Pengawasan masyarakat yaitu pengawasan yang
diiakukan oleh masyarakat, berupa Iaporan atau
pengaduan masyarakat tentang penyimpangan dan
kelemahan dalam panyelenggaraan pelayanan publik.
J. Penyelesaian Pengaduan dan Sengketa
1. Pengaduan
Setiap pimpinan unit penyelenggara pelayanan publik
wajib menyelesaikan setiap laporan atau pengaduan
masyarakat mengenai ketidakpuasan dalam pemberian
pelayanan sesuai kewenangannya. Untuk menampung
453
pengaduan masyarakat tersebut, unit pelayanan
menyediakan loket/kotak pengaduan, Dalam
menyelesaikan pengaduan masyarakat, pimpinan unit
penyelenggara pelayanan publik perlu memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. Prioritas penyelesaian pengaduan;
b. Penentuan pejabat yang menyelesaikan pengaduan;
c. Prosedur penyelesaian pengaduan;
d. Rekomendasi penyelesaian pengaduan;
e. Pemantauan dan evaluasi penyelesaian pengaduan;
f. Pejaporan proses dan hasil penyelesaian pengaduan
kepada pimpinan;
g. Penyampaian hasil penyelesaian pengaduan kepada
yang mengadukan;
h. Dokumentasi penyelesaian pengaduan.

2. Sengketa
Dalam hal pengaduan tidak dapat diselesaikan oleh unit
penyelenggara pelayanan publik yang bersangkutan
dan terjadi sengketa, maka penyelesaiannya dapat
dilakukan melalui jalur hukum.
K. Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Pimpinan penyelenggaraan pelayanan publik wajib secara
berkala mengadakan evaluasi terhadap kinerja
penyelenggaraan pelayanan di lingkungan instansinya
masing-masing. Kegiatan evaluasi ini dilakukan secara
berkelanjutan dan hasilnya secara berkala dilaporkan
kepada pimpinan tertinggi penyelenggara pelayanan
publik. Penyelenggara pelayanan publik yang kinerjanya
dinilai baik perlu diberikan penghargaan untuk
memberikan motivasi agar lebih meningkatkan pelayanan.
Sedangkan penyelenggara pelayanan publik yang
kinerjanya dinilai belum sesuai dengan yang diharapkan
Oleh masyarakat, perlu terus melakukan upaya
peningkatan. Dalam melakukan evaluasi kinerja-

454
pelayanan publik harus menggunakan indikator yang jelas
dan terukur sesuai ketentuan yang berlaku.
VI. Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan
Pelayanan Publik
Petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik
digunakan sebagai landasan penyusunan standar
pelayanan oleh masing-masing pimpinan unit
penyalenggara pelayanan.
A. Petunjuk palaksanaan penyelenggaraan pelayanan
publik sekurang-kurangnya memuat:
1. Landasan Hukum Pelayanan Publik
Peraturan parundang-undangan yang menjadi
dasar penyelenggaraan pelayanan.
2. Maksud dan Tujuan Pelayanan Publik
Hal-hal yang akan dicapai dari penyelenggaraan
pelayanan.
3. Sistem dan Prosedur Pelayanan Publik
Sistem dan prosedur pelayanan publik sekurang-
kurangnya memuat:
a. Tata Cara pengajuan permohonan pelayanan;
b. Tata Cara penanganan pelayanan;
c. Tata Cara penyampaian hasil pelayanan; dan
d. Tata Cara penyampaian pengaduan pelayanan.
4. Persyaratan Pelayanan Publik
Persyaratan teknis dan administratif harus dipenuhi
oleh masyarakat penerima pelayanan.
5. Biaya Pelayanan Publik
Besaran biaya dan rincian biaya pelayanan publik
6. Waktu Penyelesaian
Jangka waktu penyelesaian pelayanan publik.
7. Hak dan Kewajiban
Hak dan kewajiban pihak pemberi dan penerima
pelayanan publik.
8. Pejabat Penerima Pengaduan Pelayanan Publik
455
Penunjukan pejabat yang menangani pengaduan
pelayanan publik.
B. Pimpinan lnstansi Pemerintah pusat dan daerah
menetapkan petunjuk pelaksanaan penyeleng-garaan
pelayanan publik, sesuai dengan tugas, fungsi, dan
kewemangannya masing-masing.
VII. Lain-Lain
A. Dalam menyusun petunjuk pelaksanaan
penyelenggaraan pelayalan publik, penyelenggara
pelayanan publik dapat berkonsultasi dengan
Kememterian Pendayagunaan Aparatur Negara.
B. Masukan, saram dan penyempurnaan terhadap
pedoman umum penyalanggaraan pelayanan
publik, disampaikan kepada Sekretaris Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara.

Jakarta, 10 Juli 2003


Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara

ttd.

Feisal Tamin

456
PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2007
TENTANG PENCATATAN NIKAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : bahwa untuk memenuhi tuntutan perkembangan


tata pemerintahan dan peningkatan pelayanan
kepada masyarakat, dipandang perlu meninjau
kembali Keputusan Menteri Agama Nomor 477
Tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946


tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk;
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954
tentang Penetapan Berlakunya Undang-
Undang Republik Indonesia tanggal 21
Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk di
seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1954 Nomor 98, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 694);
3. Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974
tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

457
Agama (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4611);
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2005 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4548);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3250);
7. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2002
tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah
Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nangroe aceh
Darussalam;
8. Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 2002
tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden
Nomor 49 Tahun 2002 tentang Kedudukan,
Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Instansi Vertikal Departeman Agama;
9. Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006
tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Fungsi, Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Negara Republik
Indonesia;
10. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2007
tentang Perubahan Keenam Atas Peraturan
Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit
458
Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian
Negara Republik Indonesia;
11. Keputusan Bersama Menteri Agama dengan
Menteri Luar Negeri Nomor 589 Tahun 1999
dan Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999
tentang Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan
Warga Negara Indonesia di Luar Negeri;
12. Keputusan Menteri Agama Nomor 517
Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi
Kantor Urusan Agama Kecamatan;
13. Keputusan Menteri Agama Nomor 373
Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama
Provinsi dan Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota, sebagaimana telah diubah
dengan Keputusan Menteri Agama Nomor
480 Tahun 2003;
14. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun
2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Agama;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI AGAMA TENTANG
PENCATATAN NIKAH

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Kantor Urusan Agama Kecamatan yang selanjutnya
disebut KUA adalah instansi Departemen Agama yang
bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor
Departemen Agama kabupaten/kota di bidang urusan
agama Islam dalam wilayah kecamatan.

459
2. Kepala Seksi adalah kepala seksi yang ruang lingkup
tugasnya meliputi tugas kepenghuluan pada Kantor
Departemen Agama kabupaten/kota.
3. Penghulu adalah pejabat fungsional Pegawai Negeri Sipil
yang diberi tugas tanggung jawab, dan wewenang untuk
melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam
dan kegiatan kepenghuluan.
4. Pembantu Pegawai Pencatat Nikah adalah anggota
masyarakat tertentu yang diangkat oleh Kepala Kantor
Departemen Agama kabupaten/kota untuk membantu
tugas-tugas PPN di desa tertentu.
5. Pengadilan adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah
Syar’iyah.
6. Akta nikah adalah akta autentik tentang pencatatan
peristiwa perkawinan.
7. Buku nikah adalah kutipan akta nikah.
8. Buku pendaftaran Cerai Talak adalah buku yang digunakan
untuk mencatat pendaftaran putusan cerai talak.
9. Buku pendaftaran Cerai Gugat adalah buku yang
digunakan untuk mencatat pendaftaran putusan cerai
gugat.
10. Akta rujuk adalah akta autentik tentang pencatatan
peristiwa rujuk.
11. Kutipan Buku Pencatatan Rujuk adalah kutipan akta rujuk.

BAB II
PEGAWAI PENCATAT NIKAH
Pasal 2
1. Pegawai Pencatat Nikah yang selanjutnya disebut PPN
adalah pejabat yang melakukan pemeriksaan persyaratan,
pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk,
pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan
bimbingan perkawinan.
2. PPN dijabat oleh Kepala KUA.
3. Kepala KUA sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menandatangani akta nikah, akta rujuk, buku nikah (kutipan
akta nikah) dan/atau kutipan akta rujuk.
460
Pasal 3
1. PPN sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dalam
melaksanakan tugasnya dapat diwakili oleh Penghulu atau
Pembantu PPN.
2. Pembantu PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pengangkatan, pemberhentian, dan penetapan wilayah
tugasnya dilakukan dengan surat keputusan Kepala Kantor
Departemen Agama kabupaten/kota atas usul Kepala KUA
dengan mempertimbangkan rekomendasi Kepala Seksi
yang membidangi urusan agama Islam.
3. Pengangkatan, pemberhentian, dan penetapan wilayah
tugas Pembantu PPN sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diberitahukan kepada kepala desa/lurah di wilayah
kerjanya.
Pasal 4
Pelaksanaan tugas Penghulu dan Pembantu PPN
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dilaksanakan atas
mandat yang diberikan oleh PPN.
BAB III
PEMBERITAHUAN KEHENDAK NIKAH
Pasal 5
1. Pemberitahuan kehendak menikah disampaikan kepada
PPN, di wilayah kecamatan tempat tinggal calon isteri.
2. Pemberitahuan kehendak nikah dilakukan secara tertulis
dengan mengisi Formulir Pemberitahuan dan dilengkapi
persyaratan sebagai berikut:
a. Surat keterangan untuk nikah dari kepala desa/lurah
atau nama lainnya;
b. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir, atau surat
keterangan asal usul calon mempelai dari kepala
desa/lurah atau nama lainnya;
c. Persetujuan kedua calon mempelai;
d. Surat keterangan tentang orang tua (ibu dan ayah) dari
kepala desa/pejabat setingkat;

461
e. Izin tertulis orang tua atau wali bagi calon mempelai
belum mencapai usia 21 tahun;
f. Izin dari pengadilan, dalam hal kedua orang tua atau
walinya sebagaimana dimaksud huruf e di atas tidak
ada;
g. Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang
belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon isteri
yang belum mencapai umur 16 tahun;
h. Surat izin dari atasannya/kesatuannya jika calon
mempelai anggota TNI/POLRI;
i. Putusan pengadilan berupa izin bagi suami yang
hendak beristeri lebih dari seorang;
j. kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai
bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama;
k. Akta kematian atau surat keterangan kematian
suami/isteri dibuat oleh kepala desa/lurah atau pejabat
setingkat bagi janda/duda;
l. Izin untuk menikah dari kedutaan/kantor perwakilan
negara bagi warga negara asing.
3. Dalam hal kutipan buku pendaftaran talak/buku
pendaftaran cerai sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf j rusak, tidak terbaca atau hilang, maka harus diganti
dengan duplikat yang dikeluarkan oleh Kepala KUA yang
bersangkutan.
4. Dalam hal izin kawin sebagaimana dimaksud pda ayat(1)
huruf berbahasa asing, harus diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia oleh Penterjemah Resmi.

BAB IV
PERSETUJUAN DAN DISPENSASI USIA NIKAH
Pasal 6
Pernikahan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.

462
Pasal 7
Apabila seseorang calon mempelai belum mencapai umur 21
(dua puluh satu)tahun, harus mendapat izin tertulis kedua
orang tua.
Pasal 8
Apabila seorang calon suami belum mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan seorang calon isteri belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, harus mendapat
dispensasi dari pengadilan.
BAB V
PEMERIKSAAN NIKAH
Pasal 9
1. Pemeriksaan nikah dilakukan oleh PPN atau petugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) terhadap
calon suami, calon isteri, dan wali nikah mengenai ada atau
tidak adanya halangan untuk menikah menurut hukum
Islam dan kelengkapan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
2. Hasil pemeriksaan nikah ditulis dalam Berita Acara
Pemeriksaan Nikah, ditandatangani oleh PPN atau petugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon isteri, calon
suami dan wali nikah.oleh Pembantu PPN
3. Apabila calon suami, calon isteri, dan/atau wali nikah tidak
dapat membaca/menulis maka penandatanganan dapat
diganti dengan cap jempol tangan kiri.
4. Pemeriksaan nikah yang dilakukan oleh Pembantu PPN,
dibuat 2 (dua) rangkap, helai pertama beserta surat-surat
yang diperlukan disampaikan kepada KUA dan helai kedua
disimpan oleh petugas pemeriksa yang bersangkutan.
Pasal 10
1. Apabila calon suami, calon isteri dan wali nikah bertempat
tinggal di luar wilayah kecamatan tempat pernikahan
dilangsungkan, pemeriksaan dapat dilakukan oleh PPN di
wilayah yang bersangkutan bertempat tinggal.
463
2. PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah
melakukan pemeriksaan terhadap calon suami, dan atau
calon isteri serta wali nikah, wajib mengirimkan hasil
pemeriksaan kepada PPN wilayah tempat pelaksanaan
pernikahan.
Pasal 11
Apabila dari hasil pemeriksaan nikah ternyata terdapat
kekurangan persyaratan/ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2), maka PPN harus memberitahukan
kepada calon suami dan wali nikah atau wakilnya.
BAB VI
PENOLAKAN KEHENDAK NIKAH
Pasal 12
1. Dalam hal hasil pemeriksaan membuktikan bahwa syarat-
syarat perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) tidak terpenuhi atau terdapat halangan untuk
menikah, maka kehendak perkawinannya ditolak dan tidak
dapat dilaksanakan.
2. PPN memberitahukan penolakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada calon suami dan wali nikah disertai
alasan-alasan penolakannya.
3. Calon suami atau wali nikah dapat mengajukan keberatan
atas penolakan sebagaimana dimaksud ayat (1) kepada
pengadilan setempat. Apabila pengadilan memutuskan
atau menetapkan bahwa pernikahan dapat dilaksanakan,
maka PPN diharuskan mengizinkan pernikahan tersebut
dilaksanakan.
BAB VII
PENGUMUMAN KEHENDAK NIKAH
Pasal 13
1. Apabila persyaratan pernikahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) telah dipenuhi, PPN mengumumkan
kehendak nikah.
464
2. Pengumuman adanya kehendak nikah dilakukan pada
tempat tertentu di KUA kecamatan atau di tempat lainnya
yang mudah diketahui oleh umum di desa tempat tinggal
masing-masing calon mempelai.
3. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan selama 10 (sepuluh) hari.
BAB VIII
PENCEGAHAN PERNIKAHAN
Pasal 14
1. Pencegahan pernikahan dapat dilakukan oleh pihak
keluarga atau wali atau pengampu atau kuasa dari salah
seorang calon mempelai atau orang lain yang memiliki
kepentingan, apabila terdapat alasan yang menghalangi
dilakukannya pernikahan.
2. Pencegahan pernikahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diajukan ke pengadilan atau kepada
PPN di wilayah hukum tempat pernikahan akan
dilaksanakan dan kepada masing- masing calon
mempelai.
Pasal 15
PPN dilarang membantu melaksanakan dan mencatat peristiwa
nikah apabila :
1. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat
(2) tidak terpenuhi;
2. Mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan/
persyaratan pernikahan.
BAB IX
AKAD NIKAH
Pasal 16
1. Akad nikah tidak dilaksanakan sebelum masa
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam pasal 13
berakhir.

465
2. Pengecualian terhadap jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan karena adanya
suatu alasan yang penting, dengan rekomendasi dari
camat di wilayah yang bersangkutan.
Pasal 17
1. Akad nikah dilaksanakan dihadapan PPN atau Penghulu
dan Pembantu PPN dari wilayah tempat tinggal calon isteri.
2. Apabila akad nikah akan dilaksanakan di luar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka calon isteri
atau walinya harus memberitahukan kepada PPN wilayah
tempat tinggal calon isteri untuk mendapatkan surat
rekomendasi nikah.
Pasal 18
1. Akad nikah dilakukan oleh wali nasab.
2. Syarat wali nasab adalah:
a. Laki-laki;
b. Beragama Islam;
c. Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun;
d. Berakal;
e. Merdeka; dan
f. Dapat berlaku adil.
3. Untuk melaksanakan pernikahan wali nasab dapat
mewakilkan kepada PPN, Penghulu,Pembantu PPN atau
orang lain yang memenuhi syarat.
4. Kepala KUA kecamatan ditunjuk menjadi wali hakim,
apabila calon isteri tidak mempunyai wali nasab, wali
nasabnya tidak memenuhi syarat,berhalangan atau adhal.
5. Adhalnya wali sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditetapkan dengan keputusan pengadilan.
Pasal 19
1. Akad nikah harus dihadiri sekurang-kurangnya dua orang
saksi.
2. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi syarat-syarat:
a. Laki-laki;
466
b. Beragama Islam;
c. Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun;
d. Berakal;
e. Merdeka; dan
f. Dapat berlaku adil.
3. PPN, Penghulu, dan/atau Pembantu PPN dapat diterima
sebagai saksi.
Pasal 20
1. Akad nikah harus dihadiri oleh calon suami.
2. Dalam hal calon suami tidak dapat hadir pada sat akad
nikah, dapat diwakilkan kepada orang lain.
3. Persyaratan wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah :
a. Memenuhi syarat sebagaimana berikut:
1. Laki-laki;
2. Beragama Islam;
3. Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun;
4. Berakal;
5. Merdeka; dan
6. Dapat berlaku adil.
b. Surat kuasa yang disahkan oleh PPN atau Kantor
Perwakilan Republik Indonesia apabila calon suami
berada di luar negeri.
Pasal 21
1. Akad nikah dilaksanakan di KUA
2. Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan
PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA.
Pasal 22
1. Calon suami dan calon isteri dapat mengadakan perjanjian
perkawinan.
2. Materi perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam dan/atau
peraturan perundang-undangan.
3. Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis
diatas kertas bermeterai cukup, ditandatangani oleh kedua
467
belah pihak, disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua
orang saksi dan disahkan oleh PPN.
4. Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat 3
(tiga) rangkap:
a. Dua rangkap untuk suami dan isteri; dan
b. Satu rangkap disimpan di KUA.
Pasal 23
1. Suami dapat menyatakan sigat taklik.
2. Sigat taklik dianggap sah apabila ditandatangani suami.
3. Sigat taklik ditetapkan oleh Menteri Agama.
4. Sigat taklik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 24
1. Dalam hal suami mewakilkan qabulnya kepada orang lain,
pembacaan dan penandatanganan taklik talak oleh suami,
dilakukan pada waktu lain di hadapan PPN, Penghulu atau
Pembantu PPN tempat akad nikah dilaksanakan.
2. Dalam hal suami menolak untuk membacakan dan
menadatangani sigat taklik, isteri dapat mengajukan
keberatan kepada pengadilan agar dilakukan sigat taklik.
Pasal 25
Perjanjian perkawinan dan/atau sigat taklik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 dalam daftar
pemeriksaan nikah.
BAB X
PENCATATAN NIKAH
Pasal 26
1. PPN mencatat peristiwa nikah dalam akta nikah.
2. Akta nikah ditandatangani oleh suami, isteri, wali nikah,
saksi-saksi dan PPN.
3. Akta nikah dibuat rangkap 2 (dua), masing-masing
disimpan di KUA setempat dan Pengadilan.

468
4. Setiap peristiwa pernikahan dilaporkan ke kantor
administrasi kependudukan di wilayah tempat pelaksanaan
akad nikah.
Pasal 27
1. Buku nikah adalah sah apabila ditandatangani oleh PPN.
2. Buku nikah diberikan kepada suami dan isteri segera
setelah proses akad nikah selesai dilaksanakan.
BAB XI
PENCATATAN NIKAH
WARGANEGARA INDONESIA DI LUAR NEGERI
Pasal 28
Pencatatan Nikah bagi warganegara Indonesia yang ada di luar
negeri dilakukan sebagaimana diatur dalam Keputusan
Bersama Menteri Agama Republik Indonesia dan Menteri Luar
Negeri Republik Indonesia nomor 589 Tahun 1999 dan Nomor
182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Perkawinan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri.
BAB XII
PENCATATAN RUJUK
Pasal 29
1. Suami dan isteri yang akan melaksanakan rujuk,
memberitahukan kepada PPN secara tertulis dengan
dilengkapi akta cerai/talak.
2. PPN atau petugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) memeriksa, meneliti dan
menilai syarat-syarat rujuk.
3. Suami mengucapkan ikrar rujuk di hadapan PPN atau
Penghulu atau Pembantu PPN.
4. PPN mencatat peristiwa rujuk dalam akta rujuk yang
ditandatangani oleh suami, isteri, saksi-saksi, dan PPN.

469
Pasal 30
1. Kutipan buku pencatatan rujuk adalah sah apabila
ditandatangani oleh Kepala KUA sebagai PPN.
2. Kutipan buku catatan rujuk segera diberikan kepada suami
dan isteri setelah akta rujuk disahkan.
3. KUA menyampaikan pemberitahuan rujuk kepada
pengadilan untuk pengambilan buku nikah.
BAB XIII
PENDAFTARAN CERAI TALAK
DAN CERAI GUGAT
Pasal 31
1. Berdasarkan salinan penetapan pengadilan, PPN yang
mewilayahi tempat tinggal isteri berkewajiban
mendaftar/mencatat setiap peristiwa perceraian dalam
buku pendaftaran cerai talak atau buku pendaftaran cerai
gugat dan pada Akta Nikah yang bersangkutan.
2. Daftar atau catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi tempat dan tanggal kejadian perceraian serta
tanggal dan nomor penetapan/putusan pengadilan.
3. Masing-masing daftar/catatan peristiwa cerai talak dan/atau
cerai gugat sebagaimana dimaksud pada ayat (10)
diketahui/ditandatangani oleh Kepala KUA sebagai PPN.
BAB XIV
SARANA
Pasal 32
1. Blangko Pemeriksaan Nikah, Akta Nikah, Buku Nikah, Akta
Rujuk, Kutipan Akta Rujuk ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Agama.
2. Blangko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan
oleh Departemen Agama dalam hal ini Direktorat yang
membidangi urusan agama Islam.
3. Formulir-formulir yang digunakan dalam pendafataran dan
pemeriksaan dalam proses pendaftaran nikah, cerai, talak
dan rujuk selain yang dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
470
dengan Keputusan Direktur Jenderal yang membidangi
urusan agama Islam.
4. Formulir-formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diadakan oleh kantor wilayah Departemen Agama provinsi.
BAB XV
TATA CARA PENULISAN
Pasal 33
1. Pengisian blangko-blangko yang digunakan dalam
pendaftaran, pemeriksaan dan pendaftaran peristiwa nikah,
cerai/talak dan rujuk ditulis dengan huruf balok dan
menggunakan tinta hitam.
2. Penulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dengan menggunakan mesin ketik atau
komputer.
Pasal 34
1. Perbaikan penulisan dilakukan dengan mencoret kata yang
salah dengan tidak menghilangkan tulisan salah tersebut,
kemudian menulis kembali perbaikannnya dengan dibubuhi
paraf oleh PPN, dan diberi stempel KUA.
2. Perubahan yang menyangkut biodata suami, isteri ataupun
wali harus berdasarkan kepada putusan Pengadilan pada
wilayah yang bersangkutan.
BAB XVI
PENERBITAN DUPLIKAT
Pasal 35
Penerbitan duplikat buku nikah, duplikat kutipan putusan cerai
dan duplikat kutipan akta rujuk yang hilang atau rusak,
dilakukan oleh PPN berdasarkan surat keterangan kehilangan
atau kerusakan dari kepolisian setempat.

471
BAB XVII
PENCATATAN PERUBAHAN STATUS
Pasal 36
1. PPN membuat catatan perubahan status pada buku
pendaftaran talak atau cerai apabila orang tersebut
menikah lagi.
2. Catatan perubahan status sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi: tempat tinggal dan nomor buku nikah
serta ditandatangani dan dibubuhi tanggal oleh Kepala
KUA.
3. Apabila perceraiannya di daftar di tempat lain, PPN yang
melaksanakan pernikahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib memberitahukan pernikahan tersebut kepada
PPN tempat pendaftaran perceraian.
Pasal 37
1. Dalam hal suami beristeri lebih dari seorang, PPN
membuat catatan dalam akta nikah terdahulu bahwa suami
telah menikah lagi.
2. Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
tempat, tanggal dan nomor buku nikah serta dibubuhi
tanggal dan ditandatangani oleh Kepala KUA.
3. Apabila pernikahan ditempat yang berbeda, PPN yang
melakukan pencatatan nikah wajib memberitahukan
peristiwa nikah tersebut kepada PPN tempat terjadinya
pernikahan terdahulu.
BAB XVIII
PENGAMANAN DOKUMEN
Pasal 38
1. Kepala KUA melakukan penyimpanan dokumen
pencatatan nikah, talak, cerai dan/atau rujuk.
2. Penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di kantor KUA dengan dengan
mempertimbangkan aspek keamanan.

472
3. Jika terjadi kerusakan atau kehilangan yang disebabkan
oleh hal-hal di luar kemampuan manusia seperti
kebakaran, banjir, dan huru-hara, maka Kepala KUA
melaporkan kejadian tersebut kepada Kepala Departemen
Agama kabupaten/kota dan kepolisian, yang dituangkan
dalam berita acara yang ditandatangani oleh kepala KUA,
Kepala Kantor Departemen Agama dan kepolisian
setempat.
BAB XIX
PENGAWASAN
Pasal 39
1. Kepala KUA kecamatan melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas Penghulu dan Pembantu PPN.
2. Kepala KUA wajib melaporkan hasil pencatatan nikah,
talak/rujuk secara periodik kepada Kepala Kantor
Departemen Agama kabupaten/kota.
3. Dalam hal-hal tertentu Kepala Seksi dapat melakukan
pemeriksaan langsung ke KUA.
4. Hasil pemeriksaan dibuat dalam bentuk Berita Acara
Pemeriksaan yang ditandatangani oleh Kepala Seksi dan
Kepala KUA yang bersangkutan.
5. Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dilaporkan kepada Kepala Kantor Departemen
Agama kabupaten/kota dan seterusnya kepada Kepala
Kantor Wilayah Departemen Agama provinsi.
BAB XX
SANKSI
Pasal 40
1. PPN dan Penghulu yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan ini dikenakan
sanksi administratif sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

473
2. Pembantu PPN yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan ini dapat dikenakan sanksi
pemberhentian.
BAB XXI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Dengan berlakunya Peraturan ini ketentuan mengenai
persyaratan, pengawasan dan pencatatan nikah/rujuk,
pendaftaran cerai talak, cerai gugat sebagaimana dimaksud
dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 42
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Pasal 43
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2007
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

MUHAMMAD M. BASYUNI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2007
MENTERI HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA

ANDI MATTALATTA

474
PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2O14
TENTANG
PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
ATAS BIAYA NIKAH ATAU RUJUK
DI LUAR KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Peraturan Menteri Agama Nomor 24


Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya
Nikah dan Rujuk di luar Kantor Urusan
Agama - Kecamatan tidak sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berlaku pada Departemen
Agama;
b. bahwa pengelolaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak atas Biaya Nikah atau Rujuk dilakukan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai pengelolaan Penenmaan
Negara Bukan Pajak dan kaidah pengelolaan
keuangan Negara;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Agama tentang
475
Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak
Atas Biaya Nikah atau Rujuk di luar Kantor
Urusan Agama Kecamatan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
43, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3687);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan l3encana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4723);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997
tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3694);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999
tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang bersumber dari
Kegiatanentu (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 136, Tambatian
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3371);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Taliun 2004
tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen
Agama (Lemibaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 149, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4455)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 20.14 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku

476
pada Departemen Agama (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Norrior 139,
Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia
Nomor 5545);
6. Perturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013
tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
103, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5423);
7. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002
tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana
telah diubah terakhir dengan. Peraturan. Presiden
Nomor 53 . Tahun 2010 tentang Perubahan
Kedua Atas Keputusan Presiden Nomor 42
Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
8. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009
tentang Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 13 Tahun 2014 tentang
Perubahan Kelima Atas Peraturan Presiden
Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan
dan Organisasi Keme'nterian Negara;
9. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010
tentang Keduqukan, Tugas, clan Fungsi
Kementerian Negara serta Susunan Organissi,
Tugas, dan Fungsi Eselon I Kemnterian Negara
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun
2014 tentg Perubahan Kelima Atas Peraturan
Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dari Fungsi Kementerian
Negara. serta Susunan Organisasi, Tug ; dan
Fungsi Eselon I Kementerian Ngara;

477
10. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 338/
KMK.06/2001 tentang Izin Penggunaan Sebagian
Dru:ia Peneruaan Negara Bukan Pajak yang
Bersumber dari Pelayanan Jasa Nikah dan
Pelayanan Jasa Peradilan Agama pada
Departemen Agama;
11. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007
tenang Pencatatan Nikah;
12. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 592) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Agama Nomor 21 Tahun 2014 tentang
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri
Agama NOmor 10 Tahun 2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 1114);
13. Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2012
tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi
Vertikal Kementeriail Agama (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 851);
14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/ PMK.02/
2013 tentang Tatacara Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerima;
15. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/
PMK.05/ 2013 tentang Kedudukan dan Tanggung
Jawab Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola
Angaran Pendapatan dan Belanja Negara;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI AGAMA TENTANG
PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN
PAJAK ATAS BIAYA NIKAH ATAU RUJUK DI LUAR
KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN.

478
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Agama ini yang dimaksud dengan:
1. Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya Nikah atau
Rujuk yang selanjutnya disebut PNBP Biaya NR adalah
seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang berasal dari
Kantor Urusan Agama Kecamatan dengan satuan peristiwa
biaya nikah atau rujuk.
2. Calon Pengantin yang selanjutnya disebut Catin adalah
pria dan wanita yang telah memenuhi persyaratan
administrasi pernikahan atau rujuk berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3. penghulu adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas,
tanggung Jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh
Menteri Agama untuk melaksanakan kegiatan
kepenghuluan.
4. Daftar Isian Pelaksana Anggaran yang selanjutnya
disingkat DIPA adalah Dokumen Pelaksanaan Anggaran
yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran (PA)
dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN).
5. Bendahara Penerimaan adalah orang yang
ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan,
menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang
Pendapatan Negara Bukan Pajak dal rangka pelaksanaan
APBN pada satuan kerja Direktorat Jenderal Bimbing
Masyarakat Islam pada Kementerian Agama.
6. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat
KPA adalah pejabat yang meperoleh kuasa dari PA
untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung
jawab PA pada Kementerian Agama.
7. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat
PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/
KPA untuk mengambil keputusan dan/ atau tindakan yang
dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
479
8. Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang
selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi
kewengan oleh PA/ KPA untuk pengujian atas permintaan
pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
9. Petugas Penerima Setoran yang selanjutnya disingkat PPS
adalah pegawai yang diangkat oleh Kepala Kantor.
Kementerian Agama Kabupaten/Kota untuk menerima,
menyetorkan, dan membukukan bukti setor biaya nikah
atau rujuk pada Kantor Urusan) Agama Kecamatan yang
tidak terdapat layanan bank.
10. Bank Persepsi yang selanjutnya disebut Bank adalah Bank;
yang telah melaksanakan kerjasama dengan Menteri
Agama.
11. Slip setoran adalah bukti setor yang digunakan oleh wajib
bayar untuk menyetor penerimaan biaya nikah atau rujuk
ke rekening bendahara penerimaan.
12. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang selanjutnya
disebut Kepala KUA Kecamatan adalah pejabat yang
diangkat oleh Menteri Agama.
13. Kantor Urusan Agama Kecamatan yang selanjutnya
disingkat KUA Kecamatan adalah unit pelaksana teknis
Direktorat Jenderal bimbingan Masyarakat Islam di wilayah
kecamatan.
14. Diretur Jenderal adalah Direkur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam.
Pasal 2
Penglolaan PNBP Biaya NR, meliputi:
a. struktur pengelola;
b. mekasnisme pengelolaan PNBP Biaya NR;
c. tipologi KUA Kecamatan;
d. perangkat pencairan;
e. pelaporan;
f. syarat dan tata cara dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah);
dan
g. supervisi.

480
BAB II
STRUKTUR PENGELOLA
Pasal 3
(1) Struktur pengelolaan NBP Biaya NR terdiri dari:
a. Tingkat Pusat; dan
b. Tingkat Daerah.
(2) Struktur pengelolaan PNB Biaya NR Tingkat Pusat
sebagai mana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri
dari:
a. penanggungjawab;
b. ketua;
c. sekretaris;
d. koordinator bidang penerimaan PNBP Biaya NR;
e. koordinator bidang penggunaan PNBP Biaya NR;
f. pelaksana bidang penerimaan; dan
g. pelaksana bidang penggunaan.
(3) Struktur Pengelola PNBP Biaya NR Tingkat Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf b terdiri dari:
a. pengelola pada Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi;
b. pengelola pada Kantor Kementerian Agama
Kabupaten / Kota; dan
b. pengelola pada Kantor Urusan Agama Kecamatan.
(4) pengelola pada tingkat Kantor Wilayah Kementerian
Agama Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a terdiri dari 1 (satu) orang penanggungjawab dan 1
(satu) orang pelaksana administrasi.
(5) Pengelola pada Kantor Kementrian Agama Kabupaten/
Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri
dari 1 (satu) orang perianggungjawab dan 1 (satu) orang
pelaksana administrasi.
(6) Pengelola pada Kantor Urusan Agama Kecamatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilaksanakan
oleh 1 (satu) orang pelaksana.

481
Pasal 4
(1) Penanggungjawab sebagaimana dimaksud datam Pasal 3
ayat (2) huruf a dijabat oleh Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam.
(2) Ketua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf
b dijabat oleh Direktur Urusan Agama Islam dan
Pembinaan Syariah.
(3) Sekretaris sebagaimna dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
huruf c dijabat oleh salah satu Kepala Sub Direktorat pada
Direktorat Urusan Agama Islam dari Pembinaan Syariah.
(4) Koordinator bidang penerimaan PNBP Biaya NR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d
dijabat oleh Kepala Bagian Keuangan pada Sekretariat
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
(5) Koordinator bidang penggunaan PNBP Biaya NR
sebagaimana dimaksud dalatn Pasal 3 ayat (2) huruf e
dijabat oleh Kepala Bagian Perencanaan pada Sekretariat
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
(6) Pelaksana sebanyak 2 (dua) orang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf f dan huruf g berasal dari
pegawai pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam.
Pasal 5
(1) Pengelola PNBP Biay NR tingkat pusat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam atas nama Menteri
Agama.
(2) Pengelola PNBP Biaya NR pada Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a ditetapkan oleh Kepala
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi.
(3) Pengelola NBP Biaya NR pada Kantor Kementerian
Agama Kabupaten/ Kota dan KUA Kecamatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dari
huruf c ditetapkan oleh Kepala Kantor Kementerian Agania
Kabupaten/ Kota.
482
Pasal 6
Penanggungjawab dan pelaksana administrasi Pengelola
PNBP Biaya NR Tingkat Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi sebagaimana dimaksd dalam Pasal 3 ayat (4) terdiri
dari:
a. Kepala Bidang yang membidang Urusan Agama Islam dan
Pembinaan Syariah pada Kantor Wilayah Kementerian
Agama Provinsi sebagai penanggung jawab
b. Pelaksana pada Bidang yang membidangi Urusan Agama
Islam dan Pembinaan Syariah Pada Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi.
Pasal 7
Penangggungjawab dan pelaksana adininistrasi Pengelola
PNBP Biaya NR pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten/
Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) terdiri dari:
a. Kepala Seksi yang membidangi Urusan Agama Islam pada
Kantor Kementerian Agama Khµpaten/ Kota sebagai
penanggungjawab.
b. Pelaksana pada seksi yang membidangi Urusan Agama
Islam dan Pembinaan Syariah pada Kantor Kementerian
Agama Kabupaten/ Kota.
Pasal 8
Pengelola PNBP pada Kantor Urusan Agama Kecamatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) dilaksanakan
oleh pelaksana pada KUA Kecamatan.
BAB III
MEKANISME PENGELOLAAN PNBP BIAYA NR
Bagian Kesatu
Penyetoran, Penerimaan, dan Pencairan
Pasal 9
(1) Catin wajib menyetorkan biaya nikah atau rujuk ke rekening
Bendahara. Penerimaan pada Bank penerima setoran
sebesar Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah).
483
(2) Apabila kondisi geografis, jarak tempuh, atau tidak terdapat
layanan Bank pada wilayah kecamatan setempat, Catin
menyetorkan biaya nikah atau rujuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melalui PPS pada KUA
Kecamatan.
(3) PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
menyetorkan biaya nikah atau rujuk yang diterimanya
ke rekening Bendahara Penerimaan paling lambat 5 (lima)
hari kerja.
(4) Dalam hal penyetoran sebagaimana. dimaksud pada
ayat (3) tidak dapat dilakukan, maka penyetorannya
dilakukan. setelah mendapat izin dari Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Perbendaharaan setelah.
(5) Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar negeri,
biaya nikah atau rujuk disetor ke rekening Bendahara
Penerimaan.
Pasal 10
(1) Bank penerima setoran sebagaimana dimaks.ud dalam
Pasal 9 ayat (1) wajib menerbitkan bukti setor berupa slip
setoran atas setoran biaya nikah atau rujuk yang diterima
dari Catin.
(2) Slip setoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi:
a. identitas bank;
b. tanggal penyetoran;
c. nomor rekening yang dituju;
d. jumlah uang
e. nama penyetor;
f. nama Catin pria dan wanita;
g. alamat Catin; .
h. nama/ kode KUA Kecamatan;
i. nama/ kode kabupaten/ kota
j. nama/ kode provinsi;
k. pengesahan petugas Bank; dan
l. tanda tangan penyetor.
(3) Slip setoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat
rangkap 3(tiga) yang diperuntukkan:
484
a. lembar pertama untuk Bank;
b. lembar kedua untuk Catin; dan
c. lembar ketiga untuk KUA Kecamatan.
Pasal 11
(1) PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
wajib mengeluarkan bukti setor berupa kuitansi atas
setoran biaya nikah atau rujuk yang diterima dari
Catin.
(2) Bukti setor biaya nikah atau rujuk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala KUA
Kecamatan sebagai kelengkapan administrasi nikah atau
rujuk.
(3) Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar negeri,
bukti setor biaya nikah atau rujuk disampaikan kepada
Pegawai Pencatat Nikah yang berada di Kantor Perwakilan
Republik Indonesia di luar negeri.
Pasal 12
(1) Bendahara Penerimann wajib menyetorkan PNBP
biaya NR ke rekening Kas Negara dengan
menggunakan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP)
setiap hari kerja.
(2) Bendahara Penerimaan wajib membukukan semua
transaksi penerimaan dan penyetoran/ pelimpahan atas
penerimaan ke kas negara dalam Buku Kas Umum (BKU)
dan buku pembantu lainnya.
(3) Bukti setoran SSBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaporkan kepada petugas Sistem Akuntarisi Keuangan
(SAK) untuk dilakukan input data.
Pasal 13
(1) PPS wajib membukukan realisasi peneriman PNBP Biaya
NR dan melaporkan kepada Kepala KUA Kecamatan.
(2) Pembkuan PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib diperiksa oleh Kepala KUA Kecamatan sesuai denan
ketentuan.

485
(3) Kepala KUA Kecarnatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wajib menyampaikan laporan realisasi penerimaan
PNBP Biaya NR kepada Kepala Kantor Kementerian
Agama Kabupaten/Kota paling lambat tanggal 5 setiap
bulan.
(4) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disajikan dalam bentuk Rekapitulasi
Penerimaan Setoran Biaya Nikah atau Rujuk.
Pasal 14
(1) Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/ Kota wajib.
menyampaikan laporan realisasi penerimaan PNBP Biaya
NR kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agam
Provinsi paling lambat tanggal 10 setiap bulan.
(2) Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi wajib
menyampaikan laporan realisasi penerimaan PNBP Biaya
NR kepada Direktur Jenderal melalui Direktur Urusan
Agama Islam dan Pebinaan Syariah paling lambat tanggal
15 setiap bulan.
(3) Direktur Jenderal wajib menyampaikan laporan realisasi
penerimaan PNBP Biaya NR kepada Menteri Agama
melalui Sekretarls Jenderal Kementerian Agama paling
Iambat tanggal 20 setiap bulan.
(4) Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimakud
pada ayat (1) ayat (2) 1 dan ayat (3) terdapat hari libur
maka laporan dispaikan pada hari kerja berikutnya.
Pasal 15
Proses pencairan PNBP Biaya NR dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Penyusun Target Penerimaan dan Penggunaan PNBP
Biaya NR

486
Pasal 16
(1) Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota
wajib merumuskan target penerimaan dan penggunaan
PNBP Biaya NR dituangkan dalam bentuk proposal.
(2) Target penerimaan dan penggunaan PNBP Biaya NR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan kepada
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi.
(3) Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi
wajib melakukan telaah terhadap proposal target
penerimaan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) sebelum diusulkan kepada Direktur
Jenderal.
(4) Direktur Jenderal mengalokasikan anggaran
penggunaan PNBP Biaya NR ke dalam RKA-KL DIPA
Direktur Jenderal Kementerian Agama Kabupaten/Kota
dengan mempertimbangkan pelaksanaan program
Bimbingan Masyarakat Islam dalam proposal target
penerimaan dan penggungan PNBP NR sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Direktur Jenderal menyampaikan usul RKA-KL/DIP
kepada Menteri Agama melalui Sekretaris Jenderal
Kementerian Agama untuk mendapat persetujuan Pagu
Anggaran.
Bagian Ketiga
Penggunaan
Pasal 16
(1) PNBP biaya NR digunakan untuk penyelenggaraan
program dan kegiatan Bimbingan Masyarakat Islam
dalam rangka pelayanan nikah atau rujuk.
(2) Penggunaan PNBP Biaya NR sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi pembiayaan:
a. transport layanan bimbingan pelaksanaan nikah atau
rujuk di Iuar kantor;
b. honorarium layanan bimbingan pelakaanaan nikah
atau rujuk di luar kantor;

487
c. pengelola PNBP Biaya NR
d. kursus pra nikah;
e. supervisi administrasi nikah atau rujuk; dan
f. biaya lainnya untuk peningkatan kualitas pelayanan
nikah dan rujuk.
(3) Penggunaan PNBP Biaya NR sebagaimana dimakaud
pada ayat (2) dengan ketentuan:
a. transport dan honoraarium bimbingan pelaksanaan
nikah atau rujuk di luar kantor diberikan sesuai
dengan Tipologi KUA Kecamatan;
b. pegelola PNBP Biaya NR diberikan biaya
pengelolaan setiap bulan; dan
c. kursus pra nikah, supervise administrasi nikah atau
rujuk serta kegiatan lainnya diberikan biaya setiap
kegiatan.
BAB IV
TIPOLOGI KUA KECAMATAN
Pasal 18
Tipologi KUA Kecamatan ditentukan menurut jumlah peristiwa
nikah atau rujuk per bulan, dan kondisi geografis keberadaan
KUA Kecamatan.
Pasal 19
Tipologi KUA Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18, meliputi:
a. Tipologi A, yaitu jumlah nikah atau rujuk di atas 100
peristiwa per bulan;
b. Tipologi B, yaitu jumlah nikah atau rujuk antara 50 sampai
dengan 100 peristiwa per bulan;
c. Tipologi C, yaitu jumlah nikah atau rujuk di bawah 50
peristiwa perbulan;
d. Tipologi D1, yaitu KUA Kecamatan yang secara geografis
berada di daerah terluar, terdalam, dan di daerah
perbatasan daratan; dan

488
e. Tipologi D2, yaitu KUA Kecamatan yang secara geografis
berada di daerah terluar, terdalam, dan daerah perbatasan
kepulauan.
BAB V
PERANGKAT PENCAIRAN
Pasal 20
(1) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR pada Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam terdiri dari:
a. KPA;
b. PPK;
c. PPSPM; dan
d. Bendahara pengeluaran.
(2) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dijabat oleh Direktur
Jenderal.
(3) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dijabat oleh Direktur
Urusan Agama Islam dan Pembinaan syariah.
(4) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dijabat oleh Sekretaris
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam;
(5) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d dijabat oleh Bendara
Pengeluaran Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam.
Pasal 21
(1) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR pada Kantor
Wilayah Kementerian Agama Provinsi, terdiri dari:
a. KPA;
b. PPK;
c. PPSPM; dan
d. Bendahara pengeluaran.
(2) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dijabat oleh Kepala
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi.
489
(3) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dijabat oleh Kepala
Bidang yang membidangi Urusan Agama Islam.
(4) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dijabat oleh Kepala
Bagian Tata Usaha;
(5) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d dijabat oleh Bendahara
Pengeluaran Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi.
Pasal 22
(1) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR pada Kantor
Kementerian Agama Kabupaten/Kota, terdiri dari:
a. KPA;
b. PPK;
c. PPSPM; dan
d. Bendahara pengeluaran.
(2) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dijabat oleh Kepala
Kantor Kementerian Agama Provinsi Kabupaten/Kota.
(3) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dijabat oleh Kepala
Seksi yang membidangi Urusan Agama Islam.
(4) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dijabat oleh Kepala Sub
Bagian Tata Usaha;
(5) Perangkat pencairan PNBP Biaya NR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d dijabat oleh Bendahara
Pengeluaran Kantor Kementerian Agama
Kabupaten/Kota.

490
BAB VI
PELAPORAN
Pasal 23
(1) Kepala KUA Kecematah wajib menyampaikan laporan
penggunaan PNBP Biaya NR kepada Kepala Kantor
Kementarian Agama Kabupaten/Kota setiap bulan.
(2) Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota
wajib menyampaikan laporan realisasi penggunaan
PNBP Biaya NR kepada Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi setiap bulan.
(3) Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi wajib
menyampaikan laporan realisasi penggunaan PNBP
Biaya NR kepada Direktur Urusan Agama Islam dan
Pembinaan Syarah setiap bulan.
(4) Direktur Jenderal wajib menyampaikan laporan realisasi
penggunaan PNBP Biaya NR kepada Kepala Menteri
Agama melalui Sekretaris Jenderal Kementerian Agama
setiap triwulan.
(5) Format dan isi Laporan sebagaimana dimaksud ayat 1
menyampaikan laporan realisasi penggunaan PNBP
Biaya NR kepada Kepala Menteri Agama melalui
Sekretaris Jenderal Kementerian Agama setiap triwulan.
(6) Format dan isi Laporan sebagaimana dimaksud (1), ayat
(2) dan ayat (4) ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam.
BAB VII
SYARAT DAN TATA CARA DIKENAKAN TARIF
RP 0,00 (NOL RUPIAH)
Pasal 24
(1) Catin yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau
korban bencana dapat dikenakan biaya nikah atau rujuk
tarif Rp0,00 (nol rupiah).
(2) Kriteria tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan pada Surat Keterangan Tidak Mampu

491
(SKTM) dari lurah/kepala desa yang diketahui oleh
camat.
(3) Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bencana alam yang menyebabkan Catin
tidak dapat melaksanakan pernikahan secara wajar.
(4) Catin korban bencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memperoleh surat keterangan dari
lurah/kepala desa.
Pasal 25
(1) Surat keterangan dalam Pasal 24 ayat (2) dan ayat (4)
disampaikan kepada kepala KUA Kecamatan sebagai
syarat untuk dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah).
(2) Kepala KUA Kecamatan wajib melakukan dokumentasi
dan pelaporan data Catin yang dikenakan tarif Rp0,00
(nol rupiah).

BAB VIII
SUPERVISI
Pasal 26
(1) Kepala Seksi yang membidangi Urusan Agama
Islam/Bimbingan Masyarakat Islam pada Kementerian
Agama Kabupaten/Kota melakukan supervisi
administrasi nikah dan rujuk pelaksanaan PNBP Biaya
NR di KUA Kecamatan.
(2) Supervisi administrasi nikah dan rujuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setiap triwulan.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengelolaan PNBP Biaya NR
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal.

492
Pasal 28
Pada saat Peraturan Menteri Agama ini mulai berlaku,
Peraturan Menteri Agama Nomor 24 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya
Nikah dan Rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 29
Peraturan Menteri Agama ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2014

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014


NOMOR 1767

493
MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
NOMOR: PER/62 /M.PAN/6/2005 TENTANG
JABATAN FUNGSIONAL PENGHULU
DAN ANGKA KREDITNYA

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengembangan karier


dan peningkatan kualitas profeslonalisme
Pegawai Negeri Sipil yang menjalankan
tugas di bidang kepenghuluan, dipandang
perlu menetapkan jabatan fungsional
Penghulu dan Angka Kreditnya;
b. bahwa penetapan jabatan fungsional
Penghulu dan Angka Kreditnya sebagaimana
dimaksud di atas, ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
(Lembaran Negara Tahun 1946 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 694);
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954
tentang Penetapan Berlakunya Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di daerah
luar Jawa dan Madura;
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3019);
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Peraturan Pokok-pokok

494
Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun
1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3041) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 43
Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3890);
5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara
Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3400);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977
tentang Gaji Pegawai Negeri Sipil (Lembaran
Negara Tahun 1977 Nomor 11, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3098)
sebagaimana telah beberapa kali diubah dan
ditambah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2003
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 17);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994
tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri
Sipil (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3547);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000
tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 194,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4015)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 122,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4332);

495
10. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000
tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri
Sipil (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor
196, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4017) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002
(Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 32,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4193);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun
2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan
Jabatan Pegawai Negeri Sipil (Lembaran
Negara Tahun 2000 Nomor 198, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4019);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003
tentang Wewenang Pengangkatan,
Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai
Negeri Sipil (Lermbaran Negara Tahun 2003
Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4263);
13. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999
tentang Rumpun Jabatan Fungsional
Pegawai Negeri Sipil;
14. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian
Negara;
Memperhatikan:1. Usuh Menteri Agama dengan Surat Nomor
MA/317/2004 tanggal 31 Desember 2004;
2. Pertimbangan Wakil Kepala Badan Kepegawaian
Negara dengan Surat Nomor WK.26- 30/V.47-
6/93 tanggal 27 April 2005.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN
APARATUR NEGARA TENTANG JABATAN
FUNGSIONAL PENGHULU DAN ANGKA
KREDITNYA

496
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Penghulu, adalah Pegawai Negeri Sipil sebagai Pegawai
Pencatat Nikah yang diberi tugas, tanggung jawab,
wewenang, dan hak secara penuh oleh Menteri Agama
atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan
pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan
kegiatan kepenghuluan;
2. Kegiatan kepenghuluan, adalah kegiatan pelayanan dan
konsultasi nikah/rujuk serta pengembangan
kepenghuluan;
3. Pelayanan dan Konsultasi nikah/rujuk, adalah kegiatan
atau upaya yang dilakukan oleh Penghulu meliputi
perencanaan kegiatan kepenghuluan, pengawasan
pencatatan nikah/rujuk, pelaksanaan pelayanan
nikah/rujuk, penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk,
pemantauan pelanggaran ketentuan nikah/rujuk,
pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan
muamalah, pembinaan keluarga sakinah, serta
pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan;
4. Pengembangan Kepenghuluan, adalah kegiatan atau
upaya yang dilakukan Penghulu meliputi pengkajian
masalah hukum munakahat (bahsul masail munakahat dan
ahwal as-syaksiyah), pengembangan metode penasihatan,
konseling dan pelaksanaan nikah/rujuk, pengembangan
perangkat dan standar pelayanan nikah/rujuk, penyusunan
kompilasi fatwa hukum munakahat, serta koordinasi
kegiatan lintas sektoral di bidang nikah dan rujuk;
5. Tim Penilai Jabatan Fungsional Penghulu, adalah tim
penilai yang dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang yang bertugas untuk menilai prestasi kerja
Penghulu;

497
6. Angka kredit, adalah nilai dari butir kegiatan dan atau
akumulasi nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh
Penghulu dan digunakan sebagai salah satu syarat untuk
pengangkatan dan kenaikan jabatan/pangkat.

B A B II
RUMPUN JABATAN, KEDUDUKAN, DAN INSTANSI PEMBINA
Pasal 2
Penghulu adalah jabatan fungsional termasuk dalam Rumpun
Keagamaan.
Pasal 3
(1) Penghulu berkedudukan sebagai pelaksana teknis dalam
melakukan kegiatan kepenghuluan pada Departemen
Agama;
(2) Penghulu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
merupakan jabatan karier.
Pasal 4
Tugas pokok Penghulu, adalah melakukan perencanaan
kegiatan kepenghuluan/pengawasan pencatatan nikah/rujuk,
pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk, penasihatan dan
konsultasi nikah/rujuk, pemantauan pelanggaran ketentuan
nikah/rujuk, pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan
muamalah, pembinaan keluarga sakinah, serta pemantauan
dan evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan
kepenghuluan.
Pasal 5
Instansi Pembina Jabatan Penghulu adalah Departemen
Agama.

498
BAB III
UNSUR DAN SUB UNSUR KEGIATAN
Pasal 6
Unsur dan sub unsur kegiatan Penghulu yang dinilai angka
kreditnya terdiri dari:
1. Pendidikan, meliputi:
a. Pendidikan sekolah dan memperoleh ijazah/gelar;
b. Pendidikan dan pelatihan (diklat) fungsional
kepenghuluan dan memperoleh Surat Tanda Tamat
Pendidikan dan Pelatihan (STTPP);
c. Pendidikan dan pelatihan Prajabatan dan
memperoleh sertifikat.
2. Pelayanan dan konsultasi nikah/rujuk, meliputi:
a. Perencanaan kegiatan kepenghuluan;
b. Pengawasan pencatatan nikah/rujuk;
c. Pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk;
d. Penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk;
e. Pemantauan pelanggaran ketentuan nikah/rujuk;
f. Pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan
muamalah;
g. Pembinaan keluarga sakinah;
h. Pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan.
3. Pengembangan kepenghuluan, meliputi:
a. Pengkajian masalah hukum munakahat (bahsul
masail munakahat dan ahwal as syakhsiyah);
b. Pengembangan metode penasihatan, konseling dan
pelaksanaan nikah/rujuk;
c. Pengembangan perangkat dan standar pelayanan
nikah/rujuk;
d. Penyusunan kompilasi fatwa hukum munakahat;
e. Koordinasi kegiatan lintas sektoral di bidang
kepenghuluan.
4. Pengembangan profesi, meliputi:
a. Penyusunan karya tulis/karya ilmiah di bidang
kepenghuluan dan hukum Islam;

499
b. Penerjemahan/penyaduran buku dan karya ilmiah di
bidang kepenyhuluan dan hukum Islam;
c. Penyusunan pedoman/petunjuk teknis kepenghuluan
dan hukum Islam;
d. Pelayanan konsultasi kepenghuluan dan hukum
Islam.
5. Penunjang tugas Penghulu, meliputi:
a. Pembelajaran dan atau pelatihan di bidang
kepenghuluan dan hukum Islam;
b. Keikutsertaan dalam seminar, lokakarya atau
konferensi;
c. Keanggotaan dalam organisasi profesi Penghulu;
d. Keanggotaan dalam tim penilai jabatan fungsional
Penghulu;
e. Keikutsertaan dalam kegiatan pengabdian
masyarakat;
f. Keanggotaan dalam delegasi misi keagamaan;
g. Perolehan penghargaan/tanda jasa;
h. Perolehan gelar kesarjanaan lainnya.
BAB IV
JENJANG JABATAN DAN PANGKAT
Pasal 7
(1) Jenjang jabatan Penghulu dari yang terendah sampai
dengan yang tertinggi adalah:
a. Penghulu Pertama;
b. Penghulu Muda;
c. Penghulu Madya.
(2) Jenjang pangkat Penghulu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) sesuai dengan jenjang jabatan, adalah:
a. Penghulu Pertama:
1. Penata Muda, golongan ruang Ill/a;
2. Penata Muda tingkat I, golongan ruang Ill/b.
b. Penghulu Muda:
1. Penata, golongan ruang III/c;
2. Penata tingkat I, golongan ruang Ill/d.
c. Penghulu Madya:
500
1. Pembina, golongan ruang IV/a;
2. Pembina tingkat I, golongan ruang IV/b;
3. Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c.
(3) Jenjang pangkat untuk masing-masing jabatan Penghulu
sebagaimana di maksud ayat (2) adalah jenjang pangkat
dan jabatan berdasarkan jumlah angka kredit yang dimiliki
untuk masing-masing jenjang jabatan;
(4) Penetapan jenjang jabatan Penghulu untuk pengangkatan
dalam jabatan Penghulu ditetapkan sesuai dengan jumlah
angka kredit yang dimiliki sehingga dimungkinkan pangkat
dan jabatan tidak sesuai dengan pangkat dan jabatan
sebagaimana dimaksud ayat (2).
BAB V
RINCIAN KEGIATAN DAN UNSUR YANG DINILAI
Pasal 8
(1) Rincian kegiatan Penghulu sesuai dengan jenjang jabatan,
sebagai berikut:
a. Penghulu Pertama, yaitu:
1. Menyusun rencana kerja tahunan kepenghuluan;
2. Menyusun rencana kerja operasional kegiatan
kepenghuluan;
3. Melakukan pendaftaran dan meneliti kelengkapan
administrasi pendaftaran kehendak nikah/rujuk;
4. Mengolah dan memverifikasi data calon pengantin;
5. Menyiapkan bukti pendaftaran nikah/rujuk;
6. Membuat materi pengumuman peristiwa nikah/rujuk
dan mempublikasikan melalui media;
7. Mengolah dan menganalisis tanggapan masyarakat
terhadap pengumuman peristiwa nikah/rujuk;
8. Memimpin pelaksanaan akad nikah/rujuk melalui
proses menguji kebenaran syarat dan rukun
nikah/rujuk dan menetapkan legalitas akad
nikah/rujuk;
9. Menerima dan melaksanakan taukil wali
nikah/tauliyah wali hakim;
10. Memberikan khutbah/nasihatf doa nikah/rujuk;
501
11. Memandu pembacaan sighat taklik talak;
12. Mengumpulkan data kasus pernikahan;
13. Memberikan penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk;
14. Mengidentifikasi kondisi keluarga pra sakinah;
15. Mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah I;
16. Membentuk kader pembina keluarga sakinah;
17. Melatih kader pembina keluarga sakinah;
18. Melakukan konseling kepada kelompok keluarga
sakinah;
19. Memantau dan mengevaluasi kegiatan
kepenghuluan;
20. Melakukan koordinasi kegiatan lintas sektoral di
bidang kepenghuluan.
b. Penghulu Muda, yaitu:
1. Menyusun rencana kerja tahunan kepenghuluan;
2. Menyusun rencana kerja operasional kegiatan
kepenghuluan;
3. Meneliti kebenaran data calon pengantin, wali nikah
dan saksi di Balai Nikah;
4. Meneliti kebenaran data calon pengantin, wali nikah
dan saksi di luar Balai Nikah;
5. Meneliti kebenaran data pasangan rujuk dan saksi;
6. Melakukan penetapan dan atau penolakan
kehendak nikah/rujuk dan menyampaikannya;
7. Menganalisis pengantin; kebutuhan
konseling/penasihatan calon.
8. Menyusun materi dan disain pelaksanaan
konseling/penasihatan calon pengantin;
9. Mengarahkan/memberikan materi
konseling/penasihatan calon pengantin;
10. Mengevaluasi rangkaian kegiatan konseling/
penasihatan calon pengantin;
11. Memimpin pelaksanaan akad nikah/rujuk melalui
proses menguji kebenaran syarat dan rukun
nikah/rujuk dan menetapkan legalitas akad
nikah/rujuk;
12. Menerima dan melaksanakan taukil wali nikah/
tauliyah wali hakim;
502
13. Memberikan khutbah/nasihat/doa nikah/rujuk;
14. Memandu pembacaan sighat taklik talak;
15. Mengidentifikasi, memverifikasi, dan memberikan
solusi terhadap pelanggaran ketentuan
nikah/rujuk;
16. Menyusun monografi kasus;
17. Menyusun jadwal penasihatan dan konsultasi
nikah/rujuk;
18. Memberikan penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk;
19. Mengidentifikasi permasalahan hukum munakahat;
20. Menyusun materi bimbingan muamalah;
21. Membentuk kader pembimbing muamalah;
22. Mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah II;
23. Mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah III;
24. Menyusun materi pembinaan keluarga sakinah;
25. Membentuk kader pembina keluarga sakinah;
26. Melatih kader pembina keluarga sakinah;
27. Melakukan konseling kepada kelompok keluarga
sakinah;
28. Memantau dan mengevaluasi kegiatan
kepenghuluan;
29. Menyusun materi bahsul masail munakahat dan
ahwal as syakhsiyah;
30. Melakukan uji coba hasil pengembangan metode
penasihatan, konseling dan pelaksanaan
nikah/rujuk;
31. Melakukan uji coba hasil pengembangan perangkat
dan standar pelayanan nikah/rujuk;
32. Melakukan koordinasi kegiatan lintas sektoral di
bidang kepenghuluan.
c. Penghulu Madya, yaitu:
1. Menyusun rencana kerja tahunan kepenghuluan;
2. Menyusun rencana kerja operasional kegiatan
kepenghuluan;
3. Memimpin pelaksanaan akad nikah/rujuk melalui
proses menguji kebenaran syarat dan rukun
nikah/rujuk menetapkan legalitas akad nikah/rujuk;

503
4. Menerima dan melaksanakan taukil wali
nikah/tauliyah wali hakim;
5. Memberikan khutbah/nasihat/doa nikah/rujuk;
6. Memandu pembacaan sighat taklik talak;
7. Menganalisis kasus dan problematika rumah tangga;
8. Menyusun materi dan metode penasihatan dan
konsultasi;
9. Memberikan penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk;
10. Mengidentifikasi pelanggaran peraturan
perundangan nikah/rujuk;
11. Melakukan verifikasi pelanggaran ketentuan
nikah/rujuk;
12. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan
nikah/rujuk;
13. Mengamankan dokumen nikah/rujuk;
14. Melakukan telaahan dan pemecahan masalah
pelanggaran ketentuan nikah/rujuk;
15. Melaporkan pelanggaran kepada pihak yang
berwenang;
16. Menganalisis dan menetapkan fatwa hukum;
17. Melatih kader pembimbing muamalah;
18. Mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah III plus;
19. Menganalisis bahan/data pembinaan keluarga
sakinah;
20. Membentuk kader pembina keluarga sakinah;
21. Melatih kader pembina keluarga sakinah;
22. Melakukan konseling kepada kelompok keluarga
sakinah;
23. Memantau dan mengevaluasi kegiatan
kepenghuluan;
24. Melaksanakan bahsul masail dan ahwal as
syakhsiyah;
25. Mengembangkan metode penasihatan, konseling
dan pelaksanaan nikah / rujuk;
26. Merekomendasi hasil pengembangan metode
penasihatan, konseling pelaksanaan nikah / rujuk;
27. Mengembangkan perangkat dan standar pelayanan
nikah / rujuk;
504
28. Merekomendasi hasil pengembangan perangkat dan
standar pelayanan nikah/rujuk;
29. Mengembangkan sistim pelayanan nikah/rujuk;
30. Mengembangkan instrumen pelayanan nikah/rujuk;
31. Menyusun kompilasi fatwa hukum munakahat;
32. Melakukan koordinasi kegiatan lintas sektoral di
bidang kepenghuluan.
(2) Penghulu sebagaimana dimaksud ayat (1) yang
melaksanakan kegiatan pengembangan profesi dan
penunjang tugas Penghulu diberikan nilai angka kredit
sebagaimana tercantum dalam lampiran I.
Pasal 9
Apabila pada suatu unit kerja tidak terdapat jenjang jabatan
Penghulu yang sesuai dengan jenjang jabatannya untuk
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 8-
ayat (1), Penghulu yang satu tingkat di atas atau satu tingkat di
bawah jenjang jabatan dapat melakukan tugas tersebut
berdasarkan penugasan tertulis dari pimpinan unit kerja yang
bersangkutan.
Pasal 10
Penilaian angka kredit Penghulu yang melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada Pasal 9, ditetapkan sebagai
berikut:
1. Penghulu yang melaksanakan tugas di atas jenjang
jabatannya, angka kredit yang diperoleh ditetapkan
sebesar 80% (delapan puluh persen) dari angka kredit
setiap butir kegiatan sebagaimana tercantum dalam
lampiran I.
2. Penghulu yang melaksanakan tugas di bawah jenjang
jabatannya, angka kredit yang diperoleh ditetapkan sama
dengan angka kredit dari setiap butir kegiatan
sebagaimana tercantum dalam lampiran I.
Pasal 11
(1) Unsur kegiatan yang dinilai dalam pemberian angka kredit
terdiri dari:
505
a. Unsur utama; dan
b. Unsur penunjang.
(2) Unsur utama terdiri dari:
a. Pendidikan;
b. Pelayanan dan konsultasi nikah/rujuk;
c. Pengembangan kepenghuluan; dan
d. Pengembangan profesi Penghulu.
(3) Unsur penunjang, adalah kegiatan yang mendukung
pelaksanaan tugas Penghulu sebagaimana dimaksud pada
Pasal 6 angka 5.
(4) R incian kegiatan Penghulu dan angka kredit dari masing-
masing unsur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2),
dan (3) adalah sebagaimana tersebut dalam lampiran I.
Pasal 12
(1) Jumlah angka kredit kumulatif minimal yang harus dipenuhi
oleh setiap Pegawai Negeri Sipil untuk dapat diangkat
dalam jabatan dan kenaikan jabatan/pangkat Penghulu
adalah sebagaimana tersebut dalam lampiran III, dengan
ketentuan:
a. Paling kurang 80% (delapan puluh persen) angka
kredit berasal dari unsur utama;
b. Paling banyak 20% (dua puluh persen) angka kredit
berasal dari unsur penunjang.
(2) Penghulu Madya yang akan naik pangkat menjadi
Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b, dan menjadi
Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c, dari angka
kredit kumulatif yang disyaratkan paling kurang 12 (dua
belas) harus berasal dari kegiatan unsur pengembangan
profesi.
(3) Penghulu yang memiliki angka kredit melebihi angka kredit
yang ditentukan untuk kenaikan jabatan/pangkat setingkat
lebih tinggi, kelebihan angka kredit tersebut dapat
diperhitungkan untuk kenaikan jabatan/pangkat berikutnya.
(4) Penghulu yang memperoleh angka kredit untuk kenaikan
jabatan/pangkat pada tahun pertama dalam masa
jabatan/pangkat yang didudukinya, pada tahun berikutnya
diwajibkan mengumpulkan angka kredit paling kurang 20%
506
(dua puluh persen) dari jumlah angka kredit yang
dipersyaratkan untuk kenaikan jabatan/pangkat setingkat
lebih tinggi yang berasal dari kegiatan tugas pokok.
(5) Apabila kelebihan jumlah angka kredit sebagaimana
dimaksud ayat (3) memenuhi jumlah angka kredit untuk
kenaikan jabatan dua tingkat atau lebih dari jabatan
terakhir yang diduduki, maka Penghulu yang bersangkutan
dapat diangkat dalam jenjang jabatan sesuai dengan
jumlah angka kredit yang dimiliki, dengan ketentuan:
a. Paling kurang telah 1 (satu) tahun dalam jabatan;
b. Setiap unsur penilaian dalam DP-3 paling kurang
bernilai baik dalam 1 (satu) tahun terakhir.
(6) Penghulu yang naik jabatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (5), setiap kali kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi
disyaratkan mengumpulkan 20% (dua puluh persen) dari
jumlah angka kredit untuk kenaikan pangkat setingkat lebih
tinggi tersebut, yang berasal dari kegiatan tugas pokok.
(7) Penghulu Madya, pangkat Pembina Utama Muda,
golongan ruann IV/c, setiap tahun sejak menduduki
jabatan/pangkatnya diwajibkan mengumpulkan angka
kredit paling kurang 20 (dua puluh) angka kredit dari
kegiatan tugas pokok.
Pasal 13
(1) Penghulu yang secara bersama-sama membuat karya
tulis/karya ilmiah di bidang urusan agama Islam,
pembagian angka kreditnya ditetapkan sebagai berikut:
a. 60% (enam puluh persen) bagi penulis utama; dan
b. 40% (empat puluh persen) bagi semua penulis
pembantu,
(2) Jumlah penulis pembantu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b, paling banyak 3 (tiga) orang.

507
BAB VI
PENILAIAN DAN PENETAPAN ANGKA KREDIT
Pasal 14
(1) Untuk kelancaran penilaian dan penetapan angka kredit,
Penghulu wajib mencatat atau menginventarisir seluruh
kegiatan yang dilakukan.
(2) Apabila hasil catatan atau inventarisir seluruh kegiatan
sebagaimana dimaksud ayat (1) dipandang sudah dapat
memenuhi angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan
jabatan/pangkat, secara hirarkhi Penghulu dapat
mengajukan usul penilaian dan penetapan angka kredit.
(3) Penilaian dan penetapan angka kredit Penghulu
dilakukan paling kurang 2 (dua) kali dalam satu tahun,
yaitu setiap 3 (tiga) bulan sebelum periode kenaikan
pangkat Pegawai Negeri Sipil,
Pasal 15
(1) Pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit,
adalah:
a. Direktur Jenderal yang membidangi bimbingan
masyarakat Islam dan penyelenggaraan haji
Departemen Agama, bagi Penghulu Madya.
b. Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
Provinsi, bagi Penghulu Muda yang berada pada
Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi di
lingkungan masing- masing.
c. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota,
bagi Penghulu Pertama dan Penghulu Muda yang
berada pada Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota di lingkungan masing-masing.
(2) Dalam menjalankan tugas, pejabat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh;
a. Tim Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional
Penghulu Direktorat Jenderal yang membidangi
bimbingan masyarakat Islam dan penyelenggaraan
haji bagi Direktur Jenderal yang membidangi

508
bimbingan masyarakat Islam dan penyelenggaraan
haji Departemen Agama, yang selanjutnya disebut
Tim Penilai Direktorat Jenderal.
b. Tim Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional
Penghulu Kantor Wilayah Departemen Agama
Provinsi bagi Kepala Kantor Wilayah Departemen
Agama Provinsi, yang selanjutnya disebut Tim
Penilaf Provinsi.
c. Tim Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional
Penghulu Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota bagi Kepala Kantor Departemen
Agama Kabupaten/Kota, yang selanjutnya disebut
Tim Penilai Kabupaten/Kota.
Pasal 16
(1) Anggota Tim Penilai Jabatan Penghulu, adalah Penghulu
dengan susunan sebagai berikut :
a. Seorang Ketua merangkap anggota;
b. Seorang Wakil Ketua merangkap anggota;
c. Seorang Sekretaris merangkap anggota;
d. Paling kurang 4 (empat) orang anggota.
(2) Syarat untuk menjadi anggota Tim Penilai Penghulu, adalah
a. Jabatan/pangkat paling rendah sama dengan
jabatan/pangkat Penghulu yang dinilai;
b. Memiliki keahlian dan kemampuan untuk menilai
prestasi kerja Penghulu; dan
c. Dapat aktif melakukan penilaian.
(3) Apabila jumlah anggota Tim Penilai sebagaimana dimaksud
ayat (1) tidak dapat dipenuhi dan Penghulu, maka anggota
Tim Penilai dapat diangkat dari Pegawai Negeri Sipll lain
yang memiliki kompetensi untuk menilai prestasi kerja
Penghulu.
(4) Pembentukan dan susunan keanggotaan Tim Penilai
Direktorat Jenderal, Tim Penilai Provinsi, dan Tim Penilai
Kabupaten/Kota ditetapkan oleh:
a. Menteri Agama bagi Tim Penilai Direktorat Jenderal;
b. Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi
bagi Tim Penilai Provinsi masing-masing;
509
c. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota
untuk Tim Penilai Kabupaten/Kota masing-masing.
(5) Masa jabatan tim penilai Jabatan Fungsional Penghulu
adalah 3 (tiga) tahun.
Pasal 17
(1) Pegawai Negeri Sipil yang telah menjadi anggota tim
penilai dalam 2 (dua) masa jabatan berturut-turut, dapat
diangkat kembali setelah melampaui tenggang waktu 1
(satu) masa jabatan.
(2) Apabila terdapat anggota tim penilai yang ikut dinilai,
ketua tim penilai dapat mengangkat anggota tim penilai
pengganti.
Pasal 18
Tata kerja dan tata cara penilaian tim penilai Penghulu
ditetapkan oleh Menteri Agarna selaku Pimpinan Instansl
Pembina Jabatan Fungsional Penghulu.
Pasal 19
Usul penetapan angka kredit diajukan oleh:
a. Direktur Urusan Agama Islam kepada Direktur Jenderal
yang membidangi bimbingan masyarakat Islam dan
penyelenggaraan haji Departemen Agama untuk angka
kredit Penghulu Madya di lingkungan Departemen
Agama;
b. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi
kepada Direktur Jenderal yang membidangi bimbingan
masyarakat Islam dan penyelenggaraan haji Departemen
Agama untuk angka kredit Penghulu Madya di lingkungan
masing-masing;
c. Kepala Bidang Urusan Agama Islam kepada Kepala
Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi untuk angka
kredit Penghulu Muda di lingkungan Kantor Wilayah
Departemen Agama masing-masing;
d. Kepala Seksi yang membidangi kepenghuluan kepada
Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk
510
angka kredit Penghulu Pertama dan Penghulu Muda di
lingkungan masing-masing.
Pasal 20
(1) Angka kredit yang ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang, digunakan untuk pertimbangan kenaikan
jabatan/pangkat Penghulu sesuai dengan peraturan
perundang- undangan yang berlaku;
(2) Terhadap keputusan pejabat yang berwenang
menetapkan angka kredit, tidak dapat diajukan keberatan
oleh Penghulu yang bersangkutan.
BAB VII
PENGANGKATAN DALAM JABATAN PENGHULU
Pasal 21
Pejabat yang berwenang mengangkat Pegawai Negeri Sipil
dalam jabatan Penghulu, adalah Menteri Agama atau pejabat
lain yang ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 22
(1) Persyaratan untuk dapat diangkat pertama kali dalam
jabatan Penghulu, adalah:
a. Berijazah paling rendah Sarjana (Sl)/Diploma IV
sesuai dengan kualifikasi yang ditentukan;
b. Paling rendah menduduki pangkat Penata Muda,
golongan ruang Ill/a;
c. Lulus pendidikan dan pelatihan fungsional di bidang
kepenghuluan; dan
d. Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP-3)
paling kurang bernilai baik dalam 1 (satu) tahun
terakhir.
(2) Pengangkatan dalam jabatan Penghulu sebagaimana
dimaksud ayat (1), adalah pengangkatan yang dilakukan
melalui proses pengangkatan CPNS untuk mengisi
lowongan formasi jabatan Penghulu.

511
(3) Penentuan jenjang jabatan Penghulu sebagaimana
dimaksud ayat (1) dilakukan berdasarkan penetapan
angka kredit oleh pejabat yang berwenang menetapkan
angka kredit sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (1);
(4) Kualifikasi pendidikan dan pendidikan dan pelatihan
fungsional untuk jabatan Penghulu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan c ditetapkan lebih
lanjut oleh Menteri Agama selaku Pimpinan Instansi
Pembina Jabatan Penghulu.
Pasal 23
Di samping persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 22,
pengangkatan dalam jabatan Penghulu, harus :
a. Sesuai dengan formasi jabatan Penghulu yang telah
ditetapkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
berdasarkan usulan Menteri Agama selaku Pejabat
Pembina Kepegawaian Pusat, setelah mendapat
pertimbangan Kepala BKN;
b. Memenuhi jumlah angka kredit minimal yang ditetapkan
untuk jenjang jabatan/pangkatnya.
Pasal 24
(1) Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dari jabatan lain ke
dalam jabatan Penghulu dapat dipertimbangkan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 dan Pasal 23;
b. Memiliki pengalaman di bidang kepenghuluan paling
kurang 2 (dua)tahun; dan
c. Usia paling tinggi 5 (lims) tahun sebelum mencapai
usia pensiun berdasarkan batas usia pensiun
Pegawai Negeri Sipil.
(2) Pangkat yang ditetapkan bagi Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah sama
dengan pangkat yang dimiliki dan jenjang jabatan
Penghulu ditetapkan sesuai dengan jumlah angka kredit
yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
menetapkan angka kredit yang diperoleh dari pendidikan,
512
pelayanan dan konsultasi nikah/rujuk, pengembangan
kepenghuluan, pengembangan profesi, dan tugas
penunjang Penghulu.

BAB VIII
PEMBEBASAN SEMENTARA, PENGANGKATAN KEMBALI DAN
PEMBERHENTIAN DARIJABATAN
Pasal 25
(1) Penghulu Pertama, pangkat Penata Muda, golongan
ruang Ill/a, sampai dengan Penghulu Madya, pangkat
Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b, dibebaskan
sementara dari jabatannya apabila dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sejak diangkat dalam pangkat terakhir tidak
dapat mengumpulkan angka kredit untuk kenaikan
pangkat/jabatan setingkat lebih tinggi;
(2) Penghulu Madya, pangkat Pembina Utama Muda,
golongan ruang IV/c, dibebaskan sementara dari
jabatannya apabila setiap tahun sejak diangkat dalam
pangkatnya tidak dapat mengumpulkan paling kurang 20
(dua puluh) angka kredit dari kegiatan tugas pokok;
(3) Di samping pembebasan sementara sebagaimana
dimaksud ayat (1) dan ayat (2), Penghulu juga
dibebaskan sementara dari jabatannya apabila :
a. Dijatuhi hukuman disiplin tingkat sedang atau
tingkat berat berupa penurunan pangkat; atau
b. Diberhentikan sementara sebagai Pegawai Negeri
Sipil; atau
c. Ditugaskan secara penuh di luar jabatan
fungsional Penghulu; atau
d. Menjalani cuti di luar tanggungan negara; atau
e. Menjalani tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan.
Pasal 26
(1) Penghulu yang telah selesai menjalani pembebasan
sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat

513
(3) huruf a, d, dan huruf e dapat diangkat kembali dalam
jabatan fungsional Penghulu.
(2) Penghulu yang dibebaskan sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) huruf b, dapat
diangkat kembali dalam jabatan fungsional Penghulu
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan pihak yang
berwajib, Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan
dinyatakan tidak bersalah.
(3) Penghulu yang dibebaskan sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) huruf c, dapat
diangkat kembali dalam jabatan fungsional Penghulu
apabila berusia paling tinggi 2 (dua) tahun sebelum
mencapai usia pensiun Pegawai Negeri Sipil
(4) Pengangkatan kembali dalam jabatan fungsional
Penghulu sebagaimana dimaksud ayat (1), (2) dan ayat
(3) dapat menggunakan angka kredit terakhir yang
dimilikinya dan dari prestasi di bidang kepenghuluan
yang diperoleh selama tidak menduduki Jabatan
Fungsional Penghulu.
Pasal 27
Penghulu diberhentikan dari jabatannya apabila:
a. Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak dibebaskan
sementara dari jabatannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) tidak dapat mengumpulkan
angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan
pangkat/jabatan setingkat lebih tinggi;
b. Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak dibebaskan
sementara dari jabatannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (2), tidak dapat mengumpulkan
angka kredit yang ditentukan; atau
c. Dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat dan telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, kecuali
hukuman disiplin penurunan pangkat.
Pasal 28
Pembebasan sementara, pengangkatan kembali, dan
pemberhentian dari Jabatan Penghulu sebagaimana dimaksud
514
Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 ditetapkan oleh Menteri
Agama selaku pejabat pembina kepegawaian atau pejabat lain
yang ditunjuk olehnya.

BAB IX
PENYESUAIAN/INPASSING DALAM JABATAN
DAN ANGKA KREDIT
Pasal 29
(1) Pegawai Negeri Sipil yang pada saat ditetapkan
Peraturan ini telah dan masih melaksanakan tugas di
bidang kepenghuluan berdasarkan Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
KEP/42/M.PAN/4/2004 tentang Jabatan Fungsional
Penghulu, dapat disesuaikan/diinpassing dalam jabatan
Penghulu dengan ketentuan:
a. Berijazah serendah-rendahnya S1 atau yang
setingkat;
b. Pangkat serendah-rendahnya Penata Muda,
golongan ruang Ill/a; dan
c. Setiap unsur penilaian prestasi kerja atau
pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) sekurang-kurangnya
bernilai baik dalam 1 (satu) tahun terakhir.
(2) Angka kredit kumulatif untuk penyesuaian/inpassing
dalam jabatan Penghulu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), adalah sebagaimana tersebut dalam lampiran II;
(3) Angka kredit kumulatif sebagaimana tersebut dalam
lampiran II, hanya berlaku sekali selama masa
penyesuaian/inpassing;
(4) Untuk menjamin perolehan angka kredit bagi Pegawai
Negeri Sipil yang disesuaikan/diinpassing sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka dalam melaksanakan
penyesuaian/inpassing perlu memper-timbangkan
formasi jabatan.

515
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 30
Untuk kepentingan dinas dan atau dalam rangka menambah
pengetahuan, pengalaman, dan pengembangan karier,
Penghulu dapat dipindahkan ke jabatan struktural atau jabatan
fungsional lain sepanjang memenuhi persyaratan jabatan yang
ditentukan.
BAB XI
PENUTUP
Pasal 31
Apabila ada perubahan mendasar dalam pelaksanaan tugas
pokok Penghulu sehingga ketentuan dalam Peraturan ini tidak
sesuai lagi, maka Peraturan ini dapat ditinjau kembali.
Pasal 32
Dengan berlakunya Peraturan ini, maka Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor :
KEP/42/M.PAN/4/2004 tentang Jabatan Fungsional Penghulu
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 33
Petunjuk pelaksanaan Peraturan ini diatur lebih lanjut oleh
Menteri Agama dan Kepala Badan Kepegawaian Negara.
Pasal 34
Peraturan inl mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 3 Juni 2005

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

TAUFIQ EFFENDI
516
SALINAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK


INDONESIA
NOMOR 152/PMK.02/2014
TENTANG
PETUNJUK PENYUSUNAN RENCANA PENERIMAAN
NEGARA BUKAN PAJAK
KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan


akuntabilitas, transparansi dan tata kelola
Pemerintahan yang baik dalam perencanaan
Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu
menyusun rencana penerimaan negara
bukan pajak Kementerian Negara/Lembaga
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor
90 Tahun 2010 tentang Penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk
Penyusunan Rencana Penerimaan Negara
Bukan Pajak Kementerian Negara/Lembaga;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997


tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan

517
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3687);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999
tentang Tatacara Penggunaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari
Kegiatan Tertentu (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 136,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3871);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004
tentang Tatacara Penyampaian Rencana
dan Laporan Realisasi Penerimaan Negara
Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4353);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010
tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 152, Tambahan Negara
Republik Indonesia Nomor 5178).

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PETUNJUK PENYUSUNAN RENCANA
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang
selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan
518
tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat.
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang selanjutnya
disingkat PNBP, adalah seluruh penerimaan Pemerintah
Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.
3. Rencana PNBP adalah hasil penghitungan/penetapan target
dan pagu penggunaan PNBP yang diperkirakan dalam satu
tahun anggaran.
4. Target PNBP adalah perkiraan PNBP yang akan diterima
dalam satu tahun anggaran.
5. Pagu Penggunaan PNBP adalah perkiraan PNBP yang
akan digunakan dalam satu tahun anggaran.
6. Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian,
adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan
tertentu dalam pemerintahan.
7. Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan
instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk
melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau
peraturan perundang-undangan lainnya.
8. Bagian Anggaran adalah kelompok anggaran menurut
nomenklatur Kementerian/Lembaga dan menurut fungsi
Bendahara Umum Negara.
9. Pagu Indikatif adalah ancar-ancar pagu anggaran yang
diberikan kepada Kementerian/Lembaga sebagai pedoman
dalam penyusunan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga.
10. Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya
disebut Pagu Anggaran, adalah batas tertinggi anggaran
yang dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga dalam
rangka penyusunan Rencana Kerja Anggaran
Kementerian/Lembaga.
11.Optimalisasi rencana PNBP adalah perubahan target dan
pagu penggunaan PNBP berdasarkan hasil pembahasan
Rancangan APBN antara Pemerintah dan DPR.
12. Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya
disebut Alokasi Anggaran K/L, adalah batas tertinggi
anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada
Kementerian/Lembaga berdasarkan hasil pembahasan
519
Rancangan APBN yang dituangkan dalam berita acara hasil
kesepakatan Pembahasan Rancangan APBN antara
Pemerintah dan DPR
13. Tahun Anggaran adalah periode dari 1 Januari sampai
dengan 31 Desember.
14. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
15. Pejabat Kementerian/Lembaga adalah Sekretaris Jenderal
atau Sekretaris Utama atau pemegang jabatan setingkat
pada Kementerian/Lembaga yang bertanggung jawab atas
penyusunan target dan pagu penggunaan PNBP.
16. Satuan Kerja adalah bagian dari suatu unit organisasi pada
Instansi Pemerintah yang melaksanakan satu atau
beberapa kegiatan dari suatu program.
17. Aplikasi Target Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang
selanjutnya disingkat Aplikasi TPNBP, adalah aplikasi yang
dikelola oleh Direktorat Jenderal Anggaran, yang digunakan
untuk penyusunan rencana PNBP.
18. Sistem Informasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Online,
yang selanjutnya disingkat SIMPONI, adalah sistem
informasi yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Anggaran,
yang meliputi Sistem Perencanaan PNBP, Sistem Billing,
dan Sistem Pelaporan PNBP.
19. Aplikasi Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara,
yang selanjutnya disingkat Aplikasi SPAN, adalah sistem
terintegrasi seluruh proses yang terkait dengan pengelolaan
APBN yang meliputi modul penganggaran, modul komitmen,
modul pembayaran, modul penerimaan, modul kas, dan
modul akuntansi dan pelaporan.
BAB II
PROSES PENYUSUNAN RENCANA PNBP
Pasal 2
(1) Dalam rangka penyusunan rencana PNBP dalam
Rancangan APBN, Pejabat Kementerian/Lembaga wajib
menyampaikan rencana PNBP atas Bagian Anggaran dari
Kementerian/ Lembaga yang menjadi tugas dan

520
kewenangannya kepada Kementerian Keuangan c.q.
Direktorat Jenderal Anggaran dengan mengikuti siklus
APBN.
(2) Selain menyampaikan rencana PNBP atas Bagian
Anggaran Kementerian Keuangan, Sekretaris Jenderal
Kementerian Keuangan wajib menyampaikan rencana
PNBP Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara
kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal
Anggaran.
(3) Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun dalam bentuk target PNBP.
(4) Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk Kementerian/Lembaga yang telah memperoleh
persetujuan penggunaan dana PNBP disusun dalam
bentuk target dan pagu penggunaan PNBP.
Pasal 3
(1) Target PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(3) dan ayat (4) disusun secara realistis dan optimal
berdasarkan:
a. jenis PNBP dan tarif atas jenis PNBP;
b. akun pendapatan sesuai Bagan Akun Standar; dan
c. perkiraan jumlah/volume yang menjadi dasar
perhitungan PNBP dari masing-masing jenis PNBP.
(2) Pagu penggunaan PNBP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (4) disusun dengan mengacu pada
persetujuan penggunaan dana PNBP.
Pasal 4
Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 disusun
untuk setiap Bagian Anggaran dalam bentuk:
a. rencana PNBP tingkat Satuan Kerja;
b. rencana PNBP tingkat Unit Eselon I; dan
c. rencana PNBP tingkat Kementerian/Lembaga atau Bagian
Anggaran.

521
BAB III
RENCANA PNBP DALAM RANGKA PENYUSUNAN
PAGU INDIKATIF
Pasal 5
(1) Rencana PNBP dalam rangka penyusunan Pagu Indikatif
disusun dengan berpedoman pada rencana PNBP tahun
anggaran berjalan, realisasi PNBP tahun anggaran
sebelumnya, dan kebijakan Pemerintah.
(2) Kementerian/Lembaga wajib menyampaikan rencana
PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran.
(3) Batas akhir penerimaan rencana PNBP sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah minggu ketiga bulan
Januari.
(4) Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan dengan surat pengantar yang ditandatangani
oleh Pejabat Kementerian/Lembaga dalam bentuk
proposal yang paling sedikit berisi:
a. pokok-pokok kebijakan PNBP;
b. realisasi PNBP dua tahun anggaran terakhir;
c. perkiraan realisasi PNBP tahun anggaran berjalan;
d. target PNBP untuk tahun anggaran yang direncanakan
dan tiga tahun anggaran berikutnya;
e. justifikasi atas peningkatan atau penurunan target PNBP
tahun anggaran yang direncanakan terhadap target
PNBP tahun anggaran berjalan;
f. Arsip Data Komputer (ADK) rencana PNBP
Kementerian/Lembaga menggunakan Aplikasi TPNBP
yang menjadi satu bagian dengan SIMPONI;
g. realisasi penggunaan dana PNBP dua tahun anggaran
terakhir untuk Kementerian/Lembaga yang telah
memiliki persetujuan penggunaan sebagian dana PNBP
dan/atau untuk satker Badan Layanan Umum;
h. perkiraan realisasi penggunaan dana PNBP tahun
anggaran berjalan untuk Kementerian/Lembaga yang
telah memiliki persetujuan penggunaan sebagian dana

522
PNBP dan/atau untuk satker Badan Layanan Umum;
dan
i. pagu penggunaan PNBP untuk tahun anggaran yang
direncanakan dan tiga tahun anggaran berikutnya untuk
Kementerian/Lembaga yang telah memiliki persetujuan
penggunaan sebagian dana PNBP dan/atau untuk
satker Badan Layanan Umum.
Pasal 6
(1) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran
melakukan verifikasi atas rencana PNBP dan validasi ADK
rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
(2) Dalam hal hasil verifikasi dan validasi ADK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Kementerian
Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dapat
melakukan penyesuaian atas rencana PNBP
Kementerian/Lembaga.
(3) Dalam melakukan penyesuaian atas rencana PNBP
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian
Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dapat
melakukan koordinasi dengan Kementerian/Lembaga
terkait.
(4) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran
mengunggah ADK rencana PNBP Kementerian/Lembaga
dalam rangka penyusunan Pagu Indikatif ke dalam
Aplikasi SPAN.
Pasal 7
Dalam hal Kementerian/Lembaga tidak menyampaikan rencana
PNBP dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran
dapat melakukan perhitungan rencana PNBP
Kementerian/Lembaga.
Pasal 8
Rencana PNBP Kementerian/Lembaga dalam rangka
penyusunan Pagu Indikatif ditetapkan oleh Menteri c.q. Direktur
523
Jenderal Anggaran paling lambat pada minggu pertama bulan
Februari.

BAB IV
RENCANA PNBP DALAM RANGKA PENYUSUNAN
PAGU ANGGARAN
Pasal 9
(1) Rencana PNBP dalam rangka penyusunan Pagu Anggaran
disusun dengan berpedoman pada rencana PNBP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan perubahan
kebijakan Pemerintah.
(2) Dalam hal perubahan kebijakan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menyebabkan perubahan rencana
PNBP, Kementerian/Lembaga menyampaikan rencana
PNBP kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat
Jenderal Anggaran.
(3) Batas akhir penerimaan rencana PNBP sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah minggu kedua bulan Mei.
(4) Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling sedikit dilengkapi dengan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dengan disertai
penjelasan atas perubahan kebijakan Pemerintah yang
menyebabkan rencana PNBP.
Pasal 10
(1) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran
melakukan verifikasi atas rencana PNBP dan validasi ADK
rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(2) Dalam hal hasil verifikasi dan validasi ADK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Kementerian
Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dapat
melakukan penyesuaian atas rencana PNBP
Kementerian/Lembaga.
(3) Dalam melakukan penyesuaian atas rencana PNBP
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian
524
Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dapat
melakukan koordinasi dengan Kementerian/Lembaga
terkait.
(4) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran
mengunggah ADK rencana PNBP Kementerian/Lembaga
ke dalam Aplikasi SPAN.
Pasal 11
Dalam hal Kementerian/Lembaga tidak menyampaikan rencana
PNBP dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran
dapat melakukan perhitungan rencana PNBP Kementerian/
Lembaga.
Pasal 12
Rencana PNBP Kementerian/Lembaga dalam rangka
penyusunan Pagu Anggaran ditetapkan oleh Menteri c.q.
Direktur Jenderal Anggaran paling lambat pada minggu
keempat bulan Mei.
Pasal 13
Rencana PNBP Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 digunakan sebagai bahan dalam penyusunan
Rancangan APBN.
BAB V
RENCANA PNBP DALAM RANGKA PENYUSUNAN
ALOKASI ANGGARAN
Pasal 14
(1) Rencana PNBP dalam rangka penyusunan Alokasi
Anggaran disusun dengan berpedoman pada hasil
pembahasan Rancangan APBN antara Pemerintah dengan
DPR RI.
(2) Dalam hal hasil pembahasan Rancangan APBN
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menghasilkan
optimalisasi rencana PNBP, Kementerian/Lembaga wajib
melakukan penyesuaian rencana PNBP.
525
(3) Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) menyampaikan optimalisasi rencana PNBP secara
tertulis beserta ADK rencana PNBP kepada Kementerian
Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran paling lambat
satu minggu setelah kesepakatan antara Pemerintah
dengan DPR RI.
(4) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran
melakukan validasi atas ADK rencana PNBP sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran
mengunggah ADK rencana PNBP Kementerian/Lembaga
ke dalam Aplikasi SPAN.
Pasal 15
Rencana PNBP dalam rangka penyusunan Alokasi Anggaran
ditetapkan oleh Menteri c.q. Direktur Jenderal Anggaran paling
lambat minggu pertama bulan November.
BAB VI
RENCANA PNBP DALAM RANGKA PENYUSUNAN
RANCANGAN PERUBAHAN APBN
Pasal 16
(1) Rencana PNBP dalam rangka penyusunan Rancangan
Perubahan APBN disusun dengan berpedoman pada
perubahan asumsi dasar ekonomi makro dan/atau
perubahan kebijakan Pemerintah.
(2) Dalam hal perubahan asumsi dasar ekonomi makro
dan/atau perubahan kebijakan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menyebabkan perubahan rencana
PNBP dalam APBN, Kementerian/Lembaga menyampaikan
perubahan rencana PNBP kepada Kementerian Keuangan
c.q. Direktorat Jenderal Anggaran.
(3) Perubahan rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan dengan surat pengantar yang
ditandatangani oleh Pejabat Kementerian/Lembaga dalam
bentuk proposal yang paling sedikit berisi:
a. realisasi PNBP tahun anggaran berjalan;
526
b. perubahan target PNBP tahun anggaran berjalan;
c. justifikasi atas perubahan target PNBP tahun anggaran
berjalan;
d. ADK rencana PNBP Kementerian/Lembaga
menggunakan Aplikasi TPNBP yang menjadi satu
bagian dengan SIMPONI.
e. realisasi penggunaan dana PNBP tahun anggaran
berjalan untuk Kementerian/Lembaga yang telah
memiliki persetujuan penggunaan sebagian dana PNBP
dan/atau untuk satker Badan Layanan Umum; dan
f. perubahan pagu penggunaan PNBP tahun anggaran
berjalan untuk Kementerian/Lembaga yang telah
memiliki persetujuan penggunaan sebagian dana PNBP
dan/atau untuk satker Badan Layanan Umum.
Pasal 17
(1) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran
melakukan proses verifikasi atas perubahan rencana PNBP
dan validasi ADK perubahan rencana PNBP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16.
(2) Dalam hal hasil verifikasi dan validasi ADK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Kementerian
Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dapat
melakukan penyesuaian atas perubahan rencana PNBP
Kementerian/Lembaga.
(3) Dalam melakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat
Jenderal Anggaran dapat melakukan koordinasi dengan
Kementerian/Lembaga terkait.
(4) Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran
mengunggah ADK perubahan rencana PNBP
Kementerian/Lembaga ke dalam Aplikasi SPAN.
Pasal 18
Dalam hal Kementerian/Lembaga tidak menyampaikan
perubahan rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada Pasal
16 ayat (1), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal
527
Anggaran dapat melakukan perhitungan perubahan rencana
PNBP Kementerian/Lembaga berdasarkan capaian PNBP.
Pasal 19
Rencana PNBP dalam rangka penyusunan Rancangan
Perubahan APBN ditetapkan oleh Menteri c.q. Direktur Jenderal
Anggaran.
BAB VII
REVISI ANGGARAN YANG BERSUMBER DARI DANA PNBP
PADA TAHUN ANGGARAN BERJALAN
Pasal 20
Perubahan anggaran belanja yang bersumber dari dana PNBP
dilaksanakan sesuai Peraturan Menteri mengenai tata cara
revisi anggaran.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Dalam hal Aplikasi SPAN belum dapat diterapkan, proses
unggah data rencana PNBP Kementerian/Lembaga dilakukan
dengan Aplikasi TPNBP yang menjadi satu bagian dengan
SIMPONI.
Pasal 22
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Juli 2014
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

528
MUHAMAD CHATIB BASRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Juli 2014

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014


NOMOR 1053

529
INSTRUKSI BERSAMA
DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM
DAN URUSAN HAJI DEPARTEMEN AGAMA
DAN
DIREKTUR JENDERAL PEMBERANTASAN PENYAKIT
MENULAR DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN
PEMUKIMAN DEPARTEMEN KESEHATAN
Nomor : 02 Tahun 1989
162-I/PD.03.04.EL
TENTANG
IMUNISASI TETANUS TOXOID CALON PENGANTIN

DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM


DAN URUSAN HAJI
DAN
DIREKTUR JENDERAL PEMBERANTASAN PENYAKIT
MENULAR DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN
PEMUKIMAN

Menimbang : bahwa sebagai tindak lanjut Keputusan Bersama


Direktorat Jederal Bimbingan Masyarakat Islam
dan Urusan Haji Departemen Agama dan
Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman Departemen Kesehatan tentang
Pelaksanaan Bimbingan Terpadu Program PPM
& PLP Melalui Jalur Kegiatan Agama Islam, perlu
dikeluarkan Instruksi bersama tentang Imunisasi
Tetanus Toxoid Calon Pengantin.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960


Tentang Pokok-Pokok Kesehatan;
2. Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang
Perkawinan;
530
3. Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Organisasi Departemen;
4. Keputusan Presiden RI Nomor 15 Tahun 1984
tentang Susunan Organisasi Departemen yang
telah diubah dan disempurnakan terakhir dengan
Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen;
5. Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun
1975 tentang SUsunan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Agama yang telah diubah dan
disempurnakan terakhir dengan Keputusan
Menteri Agama Nomor 75 Tahun 1984;
6. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Kesehatan Nomor 294 Tahun 1986 dan Nomor
788/MENKES/SKB/XI/1986 tentang Bimbingan
Terpadu Program Kesehatan melalui jalur
Agama;
7. Keputusan Bersama Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Urusan Haji Departemen
Agama dan Direktur Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman Departeman Kesehatan Nomor: 94
Tahun 1987 6.567.I/PD.03.04.IF;
Tentang : Pelaksanaan Bimbingan Terpadu Program PPM &
PLP melalui Jalur Kegiatan Agama Islam
Memperhatikan:1. Hasil Evaluasi Program Imunisasi Tetanus Toxoid
Calon Pengantin di Provinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Sulawesi Selatan pada Tahun 1987.
2. Hasil Pelaksanaan Studi kasus Imunisasi Tetanus
Toxoid Calon Pengantin di Jawa Tengah tanggal
15 -19 Nopember 1988 6.567.I/PD.03.04.IF
MENGINSTRUKSIKAN
Kepada : Semua Kepala Kantor Wilayah Departemen
Agama dan Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kesehatan di Seluruh Indonesia.

531
UNTUK : 1. Memerintahkan kepada seluruh jajaran di
bawahnya melaksanakan bimbingan dan
pelayanan Imunisasi TT Calon Pengantin sesuai
dengan pedoman pelaksanaan terlampir.
2. Memantau pelaksanaan bimbingan dan
pelayanan Imunisasi TT Calon Pengantin di
daerah masing-masing.
3. Melaporkan secara berkala hasil pelaksanaan
instruksi Haji dan Dirjen PPM & PLP sesuai tugas
masing-masing Instruksi Bersama ini mulai
berlaku sejak tanggal ditetapkan untuk
dilaksanakan sebaik-baiknya dengan penuh
tanggung jawab.
DITETAPKAN DI : JAKARTA
PADA TANGGAL: 6 MARET 1989
DIREKTUR JENDERAL DIREKTUR JENDERAL
BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM PEMBERANTASAN
PENYAKIT
DAN URUSAN HAJI MENULAR DAN
PENYEHATAN
DEPARTEMEN AGAMA LINGKUNGAN PEMUKIMAN
DEPARTEMEN KESEHATAN
Ttd ttd
ANDY LOLO TONANG, SH Dr. G. HARTONO
NIP. 150014384 NIP. 14002375

TEMBUSAN DISAMPAIKAN KEPADA YTH:


1. Menteri Agama (sebagai laporan)
2. Menteri Kesehatan (sebagai laporan)
3. Para Pejabat Eselon I Departemen Agama;
4. Para Pejabat Eselon I Departemen Kesehatan;
5. Para Gubernur Kepala Daerah Tk. I;
6. Biro Hukum dan Humas Departemen Agama;
7. Biro Hukum dan Humas Departemen Kesehatan;
8. Para Pejabata Eselon II;
532
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN
MASYARAKAT ISLAM DAN URUSAN HAJI
HONOR 18 TAHUN 1993
TENTANG
PENGANGKATAN WAKIL PEGAWAI PENCATAT
NIKAH, PEGAWAI PENCATAT NIKAH DAN KEPALA
PEGAWAI PENCATAT NIKAH
DIREKTUR JENDERAL
BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM DAN URUSAN HAJI,

Menimbang : a. bahwa untuk menyesuaikan dengan


perkembangan peraturan perundang-undangan
tentang susunan organisasi dan tata kerja
Departemen Agama serta pelaksanaan pencatat
nikah, talak, cerai dan rujuk (NTCR), dipandang
perlu meninjau kembali Instruksi Kepala Jawatan
Urusan Agama Nomor 5 Tahun 1961 tentang
Penyelenggaraan Testing, Jabatan Naib dan
Penghulu Muda;
b. bahwa untuk memenuhi maksud sebagaimana
tersebut pada huruf a diatas, perlu menetapkan
persyaratan pengangkatan Wakil Pegawai
Pencatat Nikah, Pegawai Pencatat Nikah dan
Kepala Pegawai Pencatat Nikah serta tats cara
penyelenggaraan tes bagi calon Wakil Pegawai
Pencatat Nikah.
Mengingat : 1. Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 1946,
tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk;
2. Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 1954,
tentang Penetapan berlakunya Undang-undang
RI Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar
Jawa dan Madura;
3. Undang-undang RI Nomor 1Tahun1974, tentang
Perkawinan;
533
4. Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1989, tentang
Peradilan Agama;
5. Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975,
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Perkawinan;
6. Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Organisasi Departemen;
7. Keputusan Presiden RI Nomor 15 Tahun 1984
tentang Susunan Organisasi Departemen,
dengan segala perubahannya terakhir Nomor 35
Tahun 1992;
8. Peraturan Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun
1976 tentang Penunjukan Pegawai untuk
Mengangkat dan Memberhentikan Pegawai
Pencatat Nikah sorta Menetapkan Wilayahnya;
9. Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun
1989, tentang Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah;
10. Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun
1990, tentang Kewajiban Pegawai Pencatat
Nikah;
11. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 18 Tahun
1975, tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Agama, dengan segala
perubahannya terakhir Nomor 75 Tahun 1984.
MEMUTUSKAN
Dengan mencabut Instruksi Kepala Jawatan
Urusan Agama Nomor 5 Tahun 1961 tentang
Penyelenggaraan testing Jabatan Naib dan
Penghulu Muda.
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN
MASYARAKAT ISLAM DAN URUSAN HAJI
TENTANG PENGANGKATAN WAKIL PEGAWAI
PENCATAT NIKAH, PEGAWAI PENCATAT NIKAH
DAN KEPALA PEGAWAI PENCATAT NIKAH.

534
Pasal 1
Untuk diangkat menjadi Wakil Pegawai Pencatat Nikah pada
Kantor Urusan Agama Kecamatan, yang selanjutnya disingkat
Wakil PPN sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) dan
(3) Peraturan MenteriAgama RI Nomor 2 Tahun 1990
diperlukan persyaratan sebagai berikut :
a. Menguasai hukum munakahat, peraturan perundang-
undangan tentang pencatatan nikah, talak, cerai dan rujuk
sorta administrasi keuangan nikah dan rujuk;
b. Diutamakan berpendidikan sarjana syari'ahnya sederajat
dengan sarjana syari'ah;
c. Bagi yang sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil berpangkat
serendah-rendahnya Penata Muda (Illa);
d. Lulus tes yang diadakan khusus untuk menduduki Jabatan
tersebut.
Pasal 2
Untuk diangkat menjadi Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor
Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya disingkat PPN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b Peraturan
Menteri Agama RI Nomor 2 tahun 1990 diperlukan persyaratan
sebagai berikut :
a. Berpengalaman menjadi Wakil PPN sekurang-sekurangnya
tiga tahun;
b. Menguasai hukum munakahat, peraturan perundang-
undangan tentang pencatatan nikah, talak carai dan rujuk
serta administrasi keuangan nikah dan rujuk;
c. Diutamakan berpendidikan sarjana syari'ah atau sarjana
hukum yang ilmu syari'ahnya sederajat dengan sarjana
syari'ah;
d. Berpangkat serendah-rendahnya Penata Muda Tingkat I
(III/b).
Pasal 4
Pengangkatan Wakil PPN, PPN dan Kepala PPN sebagaimana
dimaksud Pasal 1, 2 dan 3 dilakukan oleh Kepala Kantor
Wilayah Departemen Agama Propinsi atas usul Kepala Kantor
Departemen AgamaKabupaten/ Kotamadya setelah mendapat
pertimbangan tertulis dari Kepala Bidang Urusan Agama
Islam/Bidang Bimas Islam/Bidang Bimas dan Binbaga Islam.

535
Pasal 5
(1) Tes bagi calon wakil PPN sebagaimana dimaksud Pasal 1
huruf d diselenggarakan untuk mengisi jabatan yang
lowong atau sebagai persiapan untuk mengisi jabatan
yang akan lowong.
(2) Tes dilakukan secara tertulis, lisan dan praktek.
(3) Bahan tes tertulis disiapkan oleh Direktorat Urusan Agama
Islam, terdiri dari :
a. Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;
b. Garis-garis Besar Haluan Negara;
c. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946, tentang
Pencatat Nikah. Talak dan Rujuk jo Undang-undang
Nomor 32 Tahun 1954;
d. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang
Perkawinan dan Peraturan-peraturan pelaksanaannya;
e. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang
Peradilan Agama;
f. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tentang
Kompilasi Hukum Islam;
g. Manajemen Perkantoran dan Kepemimpinan;
h. Kitab Fiqhus Sunnah atau yang sederajat terutama bab
munakahat dan ibadah Canters lain shalat, zakat, wakaf
dan haji);
i. administrasi pencatatan nikah, talak, cerai dan rujuk.
(4) Yang dimaksud dengan praktek pada ayat (1) termasuk
pemeriksaan calon mempelai dan pengisian formulir
nikah, talak, cerai danrujuk, melaksanakan khutbah nikah,
ijab Kabul, do'a serta membaca dan membahas kitab yang
memuat sumber hukum munakahat.
(5) Tes dilaksanakan oleh panitia yang ditetapkan oleh
Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya
dengan Kepala Seksi Urusan Agama Islam/Seksi Bimas
Islam sebagai Ketua dan Kepala Sub Seksi Kepenghuluan
sebagai sekretaris.
(6) Tes diawasi dan diperiksa oleh Bidang Urusan Agama
Islam/Bimas Islam/Binbaga Islam Berta dimonitor oleh
Direktorat UrusanAgama Islam.
(7) Peserta yang lulus tes akan mengikuti pendidikan yang
diselenggarakan khusus untuk itu.

536
Pasal 6
Hal-hal yang memertukan pengaturan lebih tanjut akan diatur
oleh Direktur Urusan Agama Islam.
Ditetapkan : JAKARTA
Pada tanggat : 18 Pebruari 1993
DIREKTUR JENDERAL
BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM DAN URUSAN HAJI

t.t.d
Drs. H. AMIDHAN
NIP. 150016353

TEMBUSAN :
1. Bapak Mentori Agama;
2. Sdr. Inspektur Jenderat DepartemenAgama;
3. Sdr. Sekretaris dan para Direktur di Lingkungan Ditjen Bimas
Islam dan Urusan Hajj;
4. Sdr. Kepata Biro Hukum dan Humas Departemen Agama;
5. Sdr. Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi
Up. Kepala Bidang Urusan Agama Islam/Bimas Islam
seluruh Indonesia;
6. Sdr. Kepala Bagian Penyusunan Program dan Peraturan
Perundang-undangan Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji.

537
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM
NOMOR: DJ.II/542 TAHUN 2013
TENTANG
PEDOMAN PENYELENGGARAAN KURSUS PRA
NIKAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM,
Menimbang : 1. bahwa dalam rangka mewujudkan keluarga yang
sakinah mawaddah warahmah perlu dilakukan
kursus pra nikah bagi remaja usia nikah;
2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam tentang Pedoman
Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2019);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4235);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4419);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor
538
12, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3050);
5. Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011
tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian
Negara;
6. Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian
Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan
Fungsi Eselon I Kemnterian Negara ;
7. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Agama;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN
MASYARAKAT ISLAM TENTANG PEDOMAN
PENYELENGGARAAN KURSUS PRA NIKAH

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
(1) kursus Pra Nikah adalah pemberian bekal pengetahuan,
pemahaman, keterampilan dan penumbuhan kesadaran
kepada remaja usia nikah tentang kehidupan rumah tangga
dan keluarga.
(2) Remaja usia nikah adalah laki-laki muslim berumur
sekurang-kurangnya 19 tahun dan perempuan muslimah 16
tahun.
(3) Keluarga sakinah adalah keluarga yang didasarkan atas
perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat spiritual dan
material secara serasi dan seimbang, diliputi suasana kasih
539
sayang antara internal keluarga dan lingkungannya, mampu
memahami, mengamalkan dan memperdalam nilai-nilai
keimanan, ketakwaan dan akhlaqul karimah.
(4) Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian
Perkawinan yang selanjutnya disebut BP4 adalah
organisasi profesional yang bersifat sosial keagamaan
sebagai mitra kerja Kementerian Agama dalam
mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warahmah.
(5) Lembaga penyelenggara kursus pra nikah adalah
organisasi keagamaan Islam yang telah memiliki akreditasi
dari Kementerian Agama.
(6) Sertifikat adalah bukti otentik keikutsertaan/kelulusan dalam
mengikuti Kursus pra nikah.
(7) Akreditasi adalah pengakuan terhadap badan atau lembaga
yang menyelenggarakan kursus pra nikah setelah dinilai
memenuhi kriteria/persyaratan yang ditetapkan oleh
Kementerian Agama.
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2
Peraturan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman
dan pengetahuan tentang kehidupan rumah tangga/keluarga
dalam mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah warahmah
serta mengurangi angka perselisihan, perceraian, dan
kekerasan dalam rumah tangga.
BAB III
PENYELENGGARA KURSUS
Bagian Kesatu
Penyelenggara
Pasal 3
(1) Penyelenggara Kursus pra nikah adalah BP4 dan
organisasi keagamaan Islam yang telah memiliki
Akreditasi dari Kementerian Agama;
540
(2) Kementerian Agama dapat menyelenggarakan kursus pra
nikah yang pelaksanaannya bekerja sama dengan Badan
Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan
(BP4) atau organisasi keagamaan Islam lainnya.
(3) Dalam pelaksanaannya BP4 dan organisasi keagamaan
Islam penyelenggara kursus pra nikah dapat bekerja sama
dengan instansi atau kementerian lain atau lembaga
lainnya.
(4) Akreditasi yang diberikan kepada BP4 dan organisasi
keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
selama 2 tahun dan selanjutnya dapat diperpanjang
dengan permohonan baru.
Bagian Kedua
Sarana
Pasal 4
Kementerian Agama menyediakan sarana pembelajaran dalam
bentuk silabus dan modul;
Bagian Ketiga
Pembiayaan
Pasal 5
Pembiayaan penyelenggaraan Kursus Pranikah dapat
bersumber dari APBN dan APBD;

Bagian Keempat
Sertifikasi
Pasal 6
1. Remaja usia nikah yang telah mengikuti Kursus Pra Nikah
diberikan sertifikat sebagai tanda bukti kelulusan;
2. Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan
oleh BP4 atau organisasi keagamaan Islam penyelenggara
kursus;
3. Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menjadi syarat kelengkapan pencatatan perkawinan;
541
BAB IV
PESERTA KURSUS
Pasal 7
Peserta kursus pra nikah adalah remaja usia nikah dan calon
pengantin yang akan melangsungkan perkawinan.

BAB V
MATERI DAN NARASUMBER
Pasal 8
(1) Materi Kursus Pra Nikah dibagi menjadi tiga kelompok,
yaitu:
a. Kelompok dasar
b. Kelompok Inti
c. Kelompok Penunjang
(2) Kursus pra nikah dilakukan dengan metode ceramah,
diskusi, tanya jawab dan penugasan yang pelaksanaannya
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan.
(3) Narasumber terdiri dari konsultan perkawinan dan
keluarga, tokoh agama, dan tokoh masyarakat yang
memiliki kompetensi sesuai dengan keahlian yang
dimaksud pada ayat (1).
(4) Materi Kursus Pra Nikah diberikan sekurang- kurangnya 16
jam pelajaran.

BAB VI
PENUTUP
Pasal 9
(1) Hal-hal teknis yang belum diatur dalam peratuan ini, akan
diatur dalam Lampiran Peraturan ini;
(2) Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

542
LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN
MASYARAKAT ISLAM KEMENTERIAN AGAMA
NOMOR DJ.II/542 TAHUN 2013
TENTANG
PEDOMAN PENYELENGGARAAN KURSUS PRA NIKAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Data statistik perkawinan di Indonesia per tahun rata-rata
mencapai 2 (dua) juta pasang. Suatu angka yang sangat
fantastis dan sangat berpengaruh terhadap kemungkinan
adanya perubahan-perubahan sosial masyarakat. Baik
buruknya kualitas sebuah keluarga turut menentukan baik
buruknya sebuah masyarakat. Jika karakter yang dihasilkan
sebuah keluarga itu baik, akan berpengaruh baik kepada
lingkungan sekitarnya, tetapi sebaliknya jika karakter yang
dihasilkan tersebut jelek, maka akan berpengaruh kuat kepada
lingkungannya dan juga terhadap lingkungan yang lebih besar
bahkan tidak mustahil akan mewarnai karakter sebuah bangsa.
Suatu masyarakat besar tentu tersusun dari masyarakat-
masyarakat kecil yang disebut keluarga. Keluarga yang terdiri
dari ayah, ibu, dan anak, memiliki peran penting dalam
mewujudkan harmonisasi dalam keluarga. Sebuah keluarga
dapat disebut harmonis apabila memiliki indikasi menguatnya
hubungan komunikasi yang baik antara sesama anggota
keluarga dan terpenuhinya standar kebutuhan material dan
spiritual serta teraplikasinya nilai-nilai moral dan agama dalam
keluarga. Inilah keluarga yang kita kenal dengan sebutan
keluarga sakinah.
Kualitas sebuah perkawinan sangat ditentukan oleh kesiapan
dan kematangan kedua calon pasangan nikah dalam
menyongsong kehidupan berumah tangga. Perkawinan sebagai
peristiwa sakral dalam perjalanan hidup dua individu. Banyak

543
sekali harapan untuk kelanggengan suatu pernikahan namun di
tengah perjalanan kandas yang berujung dengan perceraian
karena kurangnya kesiapan kedua belah pihak suami-isteri
dalam mengarungi rumah tangga. Agar harapan membentuk
keluarga bahagia dapat terwujud, maka diperlukan pengenalan
terlebih dahulu tentang kehidupan baru yang akan dialaminya
nanti. Sepasang calon suami isteri diberi informasi singkat
tentang kemungkinan yang akan terjadi dalam rumahtangga,
sehingga pada saatnya nanti dapat mengantisipasi dengan baik
paling tidak berusaha wanti-wanti jauh-jauh hari agar masalah
yang timbul kemudian dapat diminimalisir dengan baik, untuk itu
bagi remaja usia nikah atau catin sangat perlu mengikuti
pembekalan singkat (short course) dalam bentuk kursus pra
nikah dan parenting yang merupakan salah satu upaya penting
dan strategis.
Kursus pra nikah menjadi sangat penting dan vital sebagai
bekal bagi kedua calon pasangan untuk memahami secara
subtansial tentang seluk beluk kehidupan keluarga dan rumah
tangga.
Di indonesia angka perceraian rata-rata secara nasional
mencapai +200 ribu pasang per tahun atau sekitar 10 persen
dari peristiwa pernikahan yang terjadi setiap tahun. Oleh sebab
Kursus Pra Nikah bagi remaja usia nikah dan calon pengantin
merupakan salah satu solusi dan kebutuhan bagi masyarakat
untuk mengatasi atau pun mengurangi terjadinya krisis
perkawinan yang berakhir pada perceraian.
Kursus Pra Nikah merupakan proses pendidikan yang memiliki
cakupan sangat luas dan memiliki makna yang sangat strategis
dalam rangka pembangunan masyarakat dan bangsa Indonesia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk itulah akhir-akhir ini marak tumbuh badan/lembaga dari
Ormas Islam dan LSM yang menyelenggarakan kursus pra
nikah, tentunya hal ini sangat menggembirakan karena
badan/lembaga/ organisasi penyelenggara tersebut ikut
membantu pemerintah dalam menyiapkan pasangan keluarga
544
dan sekaligus ikut menghantarkan pasangan keluarga tersebut
kepada kehidupan keluarga yang diidamkan yaitu keluarga
sakinah mawaddah warahmah.
Sebagai dasar penyelenggaraan kursus pra nikah maka
diterbitkan Peraturan Dirjen Masyarakat Islam tentang Kursus
Pra Nikah ini. Dalam rangka tertib administrasi dan
implementasinya, bagi lembaga/badan/organisasi keagamaan
Islam yang akan menjadi penyelenggara kursus pranikah harus
sudah mendapatkan akreditasi dari Kementerian Agama. dan
untuk penjelasan lebih lanjut mengenai penyelenggaran kursus
pra nikah dijabarkan melalui pedoman Penyelenggaraan
Kursus Pra Nikah ini.
Penyelenggaraan Kursus pra nikah sebagaimana diatur dalam
pedoman ini berbeda dengan kursus calon pengantin yang
telah dilaksanakan pada waktu yang lalu, kursus calon
pengantin biasanya dilakukan oleh KUA/BP4 kecamatan pada
waktu tertentu yaitu memanfaatkan 10 hari setelah mendaftar di
KUA kecamatan sedangkan Kursus pra nikah lingkup dan
waktunya lebih luas dengan memberi peluang kepada seluruh
remaja atau pemuda usia nikah untuk melakukan kursus tanpa
dibatasi oleh waktu 10 hari setelah pendaftaran di KUA
kecamatan sehingga para peserta kursus mempunyai
kesempatan yang luas untuk dapat mengikuti kursus pra nikah
kapan pun mereka bisa melakukan sampai saatnya mendaftar
di KUA kecamatan.

B. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2019);
2. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahterah ;
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak ( Lembaran Negara Republik

545
Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
4. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4419);
5. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional;
6. Keputusan Presiden RI Nomor 88 Tahun 2002 tentang
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan
Perempuan dan Anak;
7. Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Perubahan keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 9
Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Negara Republik Indonesia;
8. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2006 tentang
Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara
serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I
Kementerian Negara;
9. Keputusan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Gerakan Keluarga Sakinah;
10. Keputusan Menteri Agama Nomor 480 Tahun 2008
tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Agama
Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dan
Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota;
11. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama;
12. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor
400/54/III/Bangda perihal Pelaksanaan Pembinaan
Gerakan Keluarga Sakinah.

546
C. Tujuan
Tujuan Umum :
Mewujudkan Keluarga yang sakinah, mawaddah,
warrahmah melalui pemberian bekal pengetahuan,
peningkatan pemahaman dan ketrampilan tentang
kehidupan rumah tangga dan keluarga.
Tujuan khusus :
1. Untuk menyamakan persepsi badan/lembaga
penyelenggara tentang substansi dan mekanisme
penyelenggaraan kursus pra nikah bagi remaja usia nikah
dan calon pengantin;
2. Terwujudnya pedoman penyelenggaran kursus pra nikah
bagi remaja usia nikah dan calon pengantin;

D. Pengertian Umum
1. Kursus Pra Nikah adalah pemberian bekal
pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan
penumbuhan kesadaran kepada remaja usia nikah dan
calon pengantin tentang kehidupan rumah tangga dan
keluarga
2. Keluarga Sakinah adalah Keluarga yang dibina atas
perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan
spiritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi
suasana kasih sayang antara anggota keluarga dan
lingkungannya dengan selaras, serasi serta mampu
mengamalkan, menghayati dan memperdalam nilai-nilai
keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia dalam
kehidupan bermasayarakat
3. Akreditasi Kursus Pra Nikah adalah pengakuan dari
Kementerian Agama C.q Direktorat Jenderal Bimbingan
masyarakat Islam terhadap badan/lembaga
penyelenggara kursus pra nikah melalui upaya
penilaian, visitasi dan pengawasan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku tentang penyelenggaraan
kursus pra nikah yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam.

547
4. Pedoman penyelenggaraan Kursus Pra nikah adalah
Pedoman tentang mekanisme pelayanan
penyelenggaraan kursus pra nikah, terkait dengan
standarnisasi materi, narasumber, badan/lembaga
penyelenggara, sarana dan pembiayaan, sertifikasi dan
kurikulum / silabus yang telah ditetapkan.

BAB II
PEDOMAN PENYELENGGARAAN KURSUS PRA NIKAH
Pedoman penyelenggaraan kursus pra nikah dimaksudkan
sebagai pedoman untuk para pejabat teknis di lingkungan
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam c.q Direktorat
Urusan Agama Islam di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota
dan KUA Kecamatan serta badan/lembaga yang
menyelenggarakan kegiatan Kursus Pra nikah.
Kursus dimaksudkan adalah sebagai pembekalan singkat (shot
cource) yang diberikan kepada remaja usia nikah atau calon
pengantin dengan waktu tertentu yaitu selama 24 jam pelajaran
(JPL) selama 3 (tiga) hari atau dibuat beberapa kali pertemuan
dengan JPL yang sama. Waktunya pelaksanaan dapat
disesuaikan dengan kesempatan yang dimiliki oleh peserta.
Pelaksanaan Kursus Pra Nikah di beberapa negara ASEAN
seperti Malaysia dan Singapura dilaksanakan oleh badan atau
lembaga masyarakat dengan dukungan regulasi dari
pemerintah. Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS) merupakan
contoh negara yang menyelenggarakan kursus pra nikah
selama satu sampai tiga bulan dengan 8 kali pertemuan,
sedangkan Jabatan Kemajuan Agama Islam Malaysia (JAKIM)
melaksanakan kursus pra nikah selama 3 bulan dengan 8
sampai 10 kali pertemuan. Adapun Waktu pelaksanaannya
disesuaikan dengan waktu libur yang dimiliki oleh peserta
kursus yang umumnya pegawai atau buruh.
Penyelenggaraan Kursus pra nikah sebagaimana diatur dalam
pedoman ini berbeda dengan kursus calon pengantin yang
telah dilaksanakan pada waktu yang lalu, kursus calon
548
pengantin biasanya dilakukan oleh KUA/BP4 kecamatan pada
waktu tertentu yaitu memanfaatkan 10 hari setelah mendaftar di
KUA kecamatan sedangkan Kursus pra nikah lingkup dan
waktunya lebih luas dengan memberi peluang kepada seluruh
remaja atau pemuda usia nikah untuk melakukan kursus tanpa
dibatasi oleh waktu 10 hari setelah pendaftaran di KUA
kecamatan sehingga para peserta kursus mempunyai
kesempatan yang luas untuk dapat mengikuti kursus pra nikah
kapan pun mereka bisa melakukan sampai saatnya mendaftar
di KUA kecamatan.

BAB III
PENYELENGGARA KURSUS PRA NIKAH
Sesuai ketentuan pasal 3 ayat (1) Peraturan Dirjen Masyarakat
Islam Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah:
bahwa penyelenggara kursus pra nikah adalah Badan
Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4)
atau lembaga/organisasi keagamaan Islam lainnya sebagai
penyelenggara kursus pra nikah yang telah mendapat
Akreditasi dari Kementerian Agama.
Dengan ketentuan ini maka penyelenggaraan kursus pra nikah
dapat dilaksanakan oleh badan/lembaga di luar instansi
pemerintah dalam hal ini KUA kecamatan, tetapi
pelaksanaannya dilakukan oleh badan/lembaga/organisasi
keagamaan Islam yang telah memenuhi ketentuan yang di
tetapkan oleh Pemerintah. Pemerintah dalam hal ini adalah
Kementerian Agama berfungsi sebagai regulator, pembina, dan
pengawas. Berbeda pelaksanaannya dengan kursus calon
pengantin yang dilakukan pada waktu yang lalu dilaksanakan
langsung oleh KUA/BP4 kecamatan. Penyelenggaraan kursus
pra nikah sebagaimana diatur dalam pedoman ini memberi
kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk ikut serta
berpartisipasi dalam pembinaan dan pembangunan keluarga
serta mengurangi angka perceraian dan kekerasan dalam
keluarga. Kementerian Agama sebagai regulator dan pengawas
bertanggung jawab untuk memberikan bimbingan pembinaan

549
kepada badan/lembaga/organisasi keagamaan Islam
penyelenggara kursus pranikah agar pembekalan dapat
terarah, tepat sasaran dan berhasil sesuai dengan yang
diharapkan, selain itu pembinaan dan pembangunan keluarga
tidak lagi tertumpuk pada tanggungjawab pemerintah secara
sepihak tapi menjadi tanggungjawab bersama masyarakat
untuk bahu-membahu meningkatkan kualitas keluarga dalam
upaya menurunkan angka perceraian, dan kekerasan dalam
rumah tangga yang selama ini marak di masyarakat.
Dalam upaya meningkatkan peran serta masyarakat, BP4
dapat berfungsi sebagai penyelenggara sebagaimana halnya
badan/lembaga swasta lainnya karena BP4 sesuai keputusan
Munas Ke XIV tahun 1999 menjadi organisasi yang mandiri,
profesional dan mitra kerja Kementerian Agama, sehingga BP4
sama kedudukan dan fungsinya seperti organisasi lainnya, BP4
tidak lagi menjadi lembaga semi resmi pemerintah yang
berbasis pada dua kaki yaitu pemerintah dan masyarakat. Oleh
karena itu badan/lembaga penyelenggara kursus termasuk BP4
harus mendapatkan akreditasi dari Kementerian Agama.

BAB IV
AKREDITASI BAGI PENYELENGGARA KURSUS PRANIKAH
a. Akreditasi
1. Pengertian Akreditasi
Akreditasi Kursus Pra Nikah adalah pengakuan dari
Kementerian Agama C.q Direktorat Jenderal Bimbingan
masyarakat Islam terhadap organisasi keagamaan Islam
penyelenggara kursus pranikah kursus pra nikah melalui
upaya penilaian, visitasi dan pengawasan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku tentang penyelenggaraan kursus
pra nikah yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam.
2. Wewenang Akreditasi

550
a) Akreditasi di tingkat pusat merupakan kewenangan
Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Cq. Direktorat
Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah;
b) Akreditasi di tingkat Provinsi merupakan
kewenangan Kanwil Kementerian Agama Provinsi
Cq. Bidang Urusan Agama Islam;
c) Akreditasi di tingkat Kabupaten/Kota merupakan
kewenangan Kantor kementerian Agama
Kabupaten/Kota Cq. Kasi Urusan Agama Islam
dengan melibatkan kantor Urusan Agama
Kecamatan.
3. Tujuan Akreditasi
Akreditasi bagi penyelenggara kursus pranikah bertujuan untuk :
a. Menentukan tingkat kelayakan suatu organisasi
keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah
dalam menyelenggarakan kursus pranikah;
b. Memperoleh gambaran tentang kinerja organisasi
keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah;
c. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan kursus
pranikah yang dilaksanakan oleh badan/lembaga/
organisasi keagamaan Islam.
4. Fungsi Akreditasi penyelenggara kursus pranikah
Fungsi akreditasi penyelenggara kursus pranikah adalah
untuk:
a) Pengetahuan; yakni untuk mengetahui bagaimana
kelayakan & kinerja badan/lembaga/organisasi
penyelenggara kursus dilihat dari berbagai unsur
yang terkait, mengacu kepada baku kualitas yang
dikembangkan berdasarkan indikator- indikator
program kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi
keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah
kursus pranikah;
b) Akuntabilitas; yakni agar organisasi keagamaan
Islam penyelenggara kursus pranikah dapat
mempertanggungjawabkan apakah layanan yang

551
diberikan memenuhi harapan atau keinginan
masyarakat;
c) Kepentingan pengembangan; yakni agar organisasi
keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah
dapat melakukan peningkatan kualitas atau
pengembangan berdasarkan masukan dari hasil
akreditasi.
5. Karakteristik Sistem Akreditasi bagi Penyelenggara
Kursus Pranikah
Sistem akreditasi Penyelenggara kursus pranikah
memiliki karakteristik :
a) Keseimbangan focus antara kelayakan dan kinerja
badan/lembaga/organisasi keagamaan Islam
penyelenggara kursus pranikah;
b) Keseimbangan antara penilaian internal dan
eksternal;
c) Keseimbangan antara penetapan formal
penyelenggaraan kursus pranikah dan umpan balik
perbaikan.
6. Komponen Penilaian Akreditasi
Komponen penilaian Akreditasi penyelenggara kursus
pranikah mencakup enam komponen yaitu:
a) kurikulum dan proses belajar mengajar;
b) administrasi dan manajemen;
c) organisasi dan kelembagaan;
d) sarana prasarana;
e) ketenagaan;
f) pembiayaan;
g) peserta didik;
Masing-masing komponen dijabarkan ke dalam beberapa
aspek yang dituangkan dalam beberapa indikator
Instrumen Visitasi.
7. Prosedur Akreditasi Penyelenggara Kursus Pranikah
Akreditasi bagi penyelenggara kursus pranikah akan
dilaksanakan dengan melalui prosedur/langkah-langkah
sebagai berikut :

552
a) organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus
pranikah mengajukan permohonan akreditasi kepada
Kementerian Agama RI;
b) visitasi oleh asesor;
c) penetapan hasil akreditasi;
d) penerbitan sertifikat dan laporan akreditasi.
8. Persyaratan Akreditasi Bagi Penyelenggara Kursus
Pranikah
Penyelenggara kursus pranikah dapat mengajukan
permohonan akreditasi dengan memenuhi persyaratan
sebagai berikut;
a) memiliki surat keputusan/surat izin kelembagaan;
b) memiliki tenaga pengajar/tutor yang memiliki
kompetensi akademis maupun teknis yang dibuktikan
dengan ijazah;
c) memiliki kurikulum/silabi serta bahan ajar kursus
pranikah sesuai standar yang telah ditetapkan oleh
pemerintah (Kementerian Agama);
d) memiliki sarana dan prasarana yang memadai (
ruang kantor/ruang belajar/ruang kursus, media/alat
bantu pembelajaran, komputer/mesin tik, daftar
registrasi peserta kursus pranikah, papan plank
lembaga dan pengumuman, buku pengelolaan
keuangan, jadwal penyelenggaraan kursus pranikah,
file kepegawaian/tenaga pengajar;
e) profil badan/lembaga.
9. Hasil Akreditasi
Hasil akreditasi berupa sertifikat akreditasi penyelenggara
kursus pranikah.
10. Mekanisme Penetapan Akreditasi
Laporan tim visitasi (asesor) yang memuat hasil visitasi,
catatan verifikasi, dan rumusan saran bersama dengan
hasil evaluasi diri akan diolah oleh pelaksana akreditasi
untuk menetapkan nilai akhir badan/lembaga/organisasi
keagamaan Islam sesuai dengan kondisi nyata. Nilai akhir
akreditasi juga dilengkapi dengan penjelasan tentang

553
kekuatan dan kelemahan masing-masing komponen dan
aspek akreditasi, termasuk saran-saran tindak lanjut bagi
organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus
pranikah dalam rangka peningkatan kelayakan dan
kinerja organisasi keagamaan Islam penyelenggara
kursus pranikah di masa mendatang.
11. Masa Berlaku Akreditasi
Masa berlaku akreditasi selama 2 tahun. Permohonan
pengajuan akreditasi ulang dapat dilakukan 6 bulan
sebelum masa berlaku habis. Akreditasi ulang untuk
perbaikan diajukan sekurang-kurangnya 2 tahun sejak
ditetapkan.
12. Mekanisme Pengawasan Akreditasi
Pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan secara
periodik terhadap jalannya kegiatan kursus pranikah yang
diselenggarakan oleh organisasi keagamaan Islam
penyelenggara kursus pranikah. Apabila dalam
perjalanan 2 tahun didapati penyimpangan dari peraturan
yang berlaku, pemerintah berhak memberikan sanksi
berupa peringatan/teguran terhadap penyelenggara
kursus pranikah.
13. Kewenganan Pengawasan
a) Pengawasan di tingkat pusat dilakukan oleh Ditjen
Bimbingan masyarakat Islam Cq. Direktorat Urusan
Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah
b) Pengawasan di tingkat Provinsi dilakukan oleh Kanwil
Kementerian Agama Provinsi Cq. Bidang Urusan
Agama Islam
c) Pengawasan ditingkat Kabupaten/kota dilakukan oleh
Kantor Kementrian Agama Kabupaten/Kota Cq. Kasi
Urusan Agama Islam dengan melibatkan Kantor
Urusan Agama Kecamatan.

b. Visitasi
Visitasi merupakan rangkaian pelaksanaan akreditasi yang
melekat dengan fungsi akreditasi dan penyelenggara kursus

554
pranikah sebagai bahan/materi kelengkapan dan ketepatan
data dan informasi yang diperlukan dalam pelaksanaan
akreditasi. Visitasi dilaksanakan oleh Tim. Visitasi dilaksanakan
jika suatu badan/lembaga/organisasi keagamaan Islam
penyelenggara kursus pranikah telah mengajukan permohonan
akreditasi dengan dilengkapi persyaratannya. Visitasi
dilaksanakan segera (maksimal 1 bulan) setelah badan/
lembaga mengajukan permohonan akreditasi.
1. Pengertian Visitasi
Visitasi adalah kunjungan tim (asesor) ke badan/
lembaga/organisasi keagamaan Islam penyelenggara
kursus pranikah dalam rangka pengamatan lapangan,
wawancara, verifikasi data pendukung, serta pendalaman
hal-hal khusus yang berkaitan dengan komponen dan
aspek akreditasi.
2. Tujuan Visitasi
a. Tujuan visitasi adalah sebagai berikut:
b. meningkatkan keabsahan dan kesesuaian data/
informasi;
c. memperoleh data/informasi yang akurat dan valid untuk
menetapkan peringkat akreditasi;
d. memperoleh informasi tambahan (pengamatan,
wawancara, dan pencermatan data pendukung);
e. mendukung pengambilan keputusan yang tepat dan
tidak merugikan pihak manapun, dengan berpegang
pada prinsip-prinsip: obyektif, efektif, efisien, dan
mandiri.
3. Pelaksana Visitasi
Pelaksana Visitasi adalah asesor yang memiliki
persyaratan dan kewenangan, sebagai berikut:
a) Pegawai/Pejabat dilingkungan Kementerian Agama
dalam hal ini unit yang terkait secara berjenjang yang
memiliki kompetensi, integritas diri dan komitmen untuk
melaksanakan tugasnya;
b) memahami dan menguasai konsep/prinsip akreditasi
termasuk mekanisme visitasi;
555
c) bertanggung-jawab untuk melaksanakan tugasnya
sesuai prosedur dan norma;
d) bertanggung-jawab terhadap kerahasiaan hasil
visitasi, dan melaporkannya secara obyektif ke
pimpinan;
e) memiliki wewenang untuk menggali data/-informasi dari
berbagai sumber organisasi keagamaan Islam
penyelenggara kursus pranikah;
f) diangkat sesuai surat tugas.
4. Tata Cara Visitasi
a) Persiapan
Untuk pelaksanaan visitasi, pelaksana akreditasi
sebagaimana tersebut diatas menunjuk dan
mengirimkan asesor. Asesor diangkat berdasarkan
keputusan pimpinan tertinggi pada tingkatan pelaksana
akreditasi untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan
mekanisme, prosedur, norma, dan waktu pelaksanaan
yang telah ditetapkan;
b) Verifikasi data dan informasi
Asesor datang ke sekolah menemui pimpinan badan/
lembaga/organisasi keagamaan Islam penyelenggara
kursus pranikah menyampaikan tujuan dari visitasi,
melakukan klarifikasi, verifikasi dan validasi atau cek-
ulang terhadap data dan informasi kuantitatif maupun
kualitatif. Kegiatan klarifikasi, verifikasi dan validasi
dilakukan dengan cara membandingkan data dan
informasi tersebut dengan kondisi nyata organisasi
keagamaan Islam penyelenggara kursus pranikah
melalui pengamatan lapangan, observasi lokasi,
wawancara.
c) Klarifikasi Temuan
Tim asesor melakukan pertemuan dengan pengurus
badan/lembaga/organisasi keagamaan Islam
penyelenggara kursus pranikah untuk mengklarifikasi
berbagai temuan penting atau ketidak sesuaian yang
sangat signifikan antara fakta lapangan dengan
data/informasi yang terjaring dalam instrument visitasi.
556
d) Penyusunan dan Penyerahan Laporan
Asesor menyusun perangkat laporan, baik individual
maupun tim yang terdiri dari:
1. tabel pengolahan data;
2. instrumen visitasi,
3. rekomendasi atas temuan,
4. berita acara visitasi untuk selanjutnya diserahkan
kepada Kementerian Agama.
5. Larangan Bagi Penyelenggara Kursus Pranikah
Larangan bagi penyelenggara kursus pranikah yang
akan divisitasi adalah sebagai berikut:
a) penyelenggara kursus pranikah dilarang keras
melakukan kegiatan yang menghambat visitasi.
b) penyelenggara kursus pranikah dilarang keras
memanipulasi data dan memberikan keterangan yang
tidak sesuai dengan kondisi nyata.
c) penyelenggara kursus pranikah dilarang keras
memberikan apapun kepada asesor yang akan
mengurangi objektifitas hasil visitasi
6. Pembiayaan Visitasi
a) Pembiayaan visitasi bersumber dari Dipa Ditjen Bimas
Islam;
b) Besarnya biaya visitasi ditentukan berdasarkan Surat
Keputusan pimpinan pelaksana akreditasi;
c) Komponen pembiayaan antara lain; honor, transportasi
dan akomodasi yang memadai dan layak bagi tim
asesor;
d) Badan atau lembaga penyelenggara yang divisitasi
tidak dikenakan biaya.
7. Instrumen Visitasi
Instrumen visitasi adalah beberapa form isian yang harus
diisi oleh lembaga/badan/organisasi keagamaan Islam
yang akan diakreditasi. Formulir isian tersebut terdiri dari;
form pernyataan, form identitas, dan questioner,
sebagaimana terlampir.

557
BAB V
PENYELENGGARAAN KURSUS PRA NIKAH
I. Sarana Pembelajaran
Sarana penyelenggara kursus pra nikah meliputi sarana
belajar mengajar: silabus, modul, dan bahan ajar lainnya
yang dibutuhkan untuk pembelajaran. Silabus dan modul
disiapkan oleh kementerian agama untuk dijadikan acuan
oleh penyelenggara kursus pra nikah.

II. Materi dan Metode Pembelajaran


Materi kursus pra nikah terdiri dari kelompok dasar, kelompok
inti dan kelompok penunjang. Materi ini dapat diberikan
dengan metode ceramah, diskusi, tanya jawab, study kasus
(simulasi) dan penugasan yang pelaksanaannya dapat
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan.
III. Narasumber/pengajar
a. konsultan keluarga,
b. tokoh agama,
c. psikolog, dan
d. profesional dibidangnya.
IV. Pembiayaan
Pembiayaan kursus pra nikah sesuai ketentuan pasal 5 dapat
bersumber dari dana APBN, dan APBD.
Dana pemerintah berupa APBN atau APBD bisa diberikan
kepada penyelenggara dalam bentuk bantuan, bantuan
kepada badan/lembaga penyelenggara dapat dibenarkan
sepanjang untuk peningkatan kesejahteraan dan pembinaan
umat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,
pemerintah dapat membantu badan/lembaga swasta dari
dana APBN/APBD.
V. Sertifikasi
Sertifikat adalah pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh
lembaga yang berkompeten yang telah diakreditasi oleh
558
Kementerian Agama bahwa yang bersangkutan telah
mengikuti kegiatan kursus pra nikah.
Sertifikat disiapkan oleh organisasi lembaga, atau badan
yang penyelenggarakan kursus pra nikah (pasal 6 ayat 1, 2,
dan 3) Sertifikat tersebut diberikan kepada peserta kursus
sebagai tanda kelulusan atau sebagai bukti yang
bersangkutan telah mengikuti kursus pra nikah.
Calon pengantin yang telah mengikuti kursus pra nikah
diberikan sertifikat sebagai tanda bukti kelulusan. Sertifikat
tersebut akan menjadi syarat kelengkapan pencatatan
perkawinan yaitu pada saat mendaftar di KUA Kecamatan,
sekalipun dokumen sertifikat ini sifatnya tidak wajib tetapi
sangat dianjurkan memilikinya, karena dengan memiliki
sertifikat berarti pasangan pengantin sudah mempunyai bekal
pengetahuan tentang kerumahtanggaaan dan berupaya
mempersiapkan diri secara matang untuk mengarungi
kehidupan baru rumah tangga yaitu dengan membekali
dirinya pengetahuan dan pemahaman tentang seluk beluk
kerumahtanggaan, sehingga apapun goncangan yang
mereka hadapi nantinya akan diantisipasi secara baik karena
sudah dibekali rambu-rambunya.
Sertifikat dimaksud dikeluarkan oleh penyelenggara setelah
peserta kursus dinyatakan lulus secara meyakinkan
mengikuti kursus. Sertifikat yang dimaksud merupakan syarat
pelengkap pencatatan perkawinan pada saat pendaftaran
nikah di KUA Kecamatan. Bentuk sertifikat (model, warna,
dan ukuran) diserahkan kepada Badan/Lembaga
penyelenggara dengan berkewajiban mencantumkan nomor
akreditasi badan/ kelembagaan yang dikeluarkan oleh
Kementerian Agama.
Ditetapkan di Jakarta,
pada tanggal, 05 Juni 2013
Direktur Jenderal,

Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA


559
Rujukan:
1. PMA No. 11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah
2. UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak
3. PMA No. 3 Tahun 1999 tentang Pembinaan GKS
4. Surat edaran Mendagri No. 400/564/III/Bangda Tahun
1999 tentang Pelaksanaan Pembinaan GKS
5. Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No.
D/71/1999 tentang Juklak pembinaan gerakan keluarga
sakinah
6. Peraturan Dirjen tentang Kursus Pra Nikah
7. Tata Cara Perkawinan
8. Tata Cara Perceraian
9. Tata Cara Rujuk

560
561
562
563
564
565
566
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM
NOMOR DJ.II / 748 TAHUN 2014
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PENGELOLAAN PENERIMAAN
NEGARA BUKAN PAJAK ATAS BIAYA NIKAH ATAU
RUJUK DI LUAR
KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN
DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menindaklanjuti Peraturan
Menteri Agama Nomor 46 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak
Atas Biaya Nikah atau Rujuk di Luar Kantor
Urusan Agama Kecamatan, perlu menerbitkan
Petunjuk Teknis Pengelolaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk di Luar
Kantor Urusan Agama Kecamatan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
Dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyaral{at Islam tentang Petunjuk Teknis
Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak
Atas Biaya Nikah atau Rujuk di Luar Kantor
Urusan Agama Kecamatan;
Mengingat: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku
pada Departemen Agama;
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 338/
KMK.06/2001 tentang Izin Penggunaan Sebagian
Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
bersumber dari pelayanan Jasa Nikah atau Rujuk

567
dan Pelayanan Jasa Peradilan Agama pada
Departemen Agama;
3. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007
Tentang Pencatatan Nikah;
4. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Agama sebagaimana telah diubah dua kali
terakhir dengan Peraturan Menteri Agama Nomor
80 Tahun 2013;
5. Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2012
tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi
Vertikal Kementerian Agama;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara
Pembayaran dalam Rangka Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.02/
2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerima;
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
162/PMK.05/ 2013 tentang Kedudukan dan
Tanggung Jawab Bendahara pada Satuan Kerja
Pengelola Anggaran Pendapatan clan Belanja
Negara;
9. Peraturan Menteri Agama Nomor 46 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk di Luar Kantor
Urusan Agama Kecamatan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN
MASYARAKAT ISLAM TENTANG PETUNJUK
TEKNIS PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA
BUKAN PAJAK ATAS BIAYA NIKAH ATAU RUJUK
DI LUAR KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN.
KESATU : Menetapkan Petunjuk Teknis Pengelolaan
Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah
atau Rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan
568
sebagaimana tercantum dalam lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan
ini.
KEDUA : Petunjuk Teknis sebagaimana dimaksud dalam
diktum KESATU merupakan pedoman bagi pegawai
pada Kementerian Agama dalam melaksanakan
pengelolaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk.
KETIGA : Pada saat Keputusan ini mulai berlaku, Peraturan
Diiektur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor
DJ.II / 449 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis
Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas
Biaya Nikah atau Rujuk dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
KEEMPAT : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 November 2014
DIREKTUR JENDERAL,

Prof. DR. H. Machasin, MA

569
LAMPIRAN
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN
MASYARAKAT ISLAM NOMOR DJ.II/ 748 TAHUN 2014
TENTANG
PETUNJuK TEKNIS PENGELOLAAN PENERIMAAN
NEGARA BUKAN PAJAK ATAS BIAYA NIKAH ATAU
RUJUK DILUAR KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Bahwa untuk mewujudkan tata kelola PNBP atas Biaya NR
yang baik dibutuhkan berbagai regulasi yang dapat dijadikan
pedoman dalam pelaksanaannya.
Seiring dengan hal tersebut dan dalam rangka menindak lanjuti
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun
2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) yang berlaku pada Departemen Agama dan Peraturan
Menteri Agama Nomor 46 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rajuk
di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan, perlu menerbitkan
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan .Penerimaan Negara
Bukan Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk di Luar Kantor
Urusan Agama Kecamatan.
B. Maksud dan Tujuan
1. Maksud
Maksud diterbitkannya Petunjuk Teknis ini adalah
sebagai pedoman bagi para pegawai Kementerian
Agama dalam menyelenggarakan pengelolaan PNBP
atas Biaya Nikah atau Rujuk.
2. Tujuan
Tujuan diterbitkannya petunjuk teknis ini untuk;
570
a. mewujudkan tata kelola PNBP atas Biaya NR di
lingkungan Kementerian Agama sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
b. Optimalisasi penggunaan PNBP atas Biaya Nikah
atau Rujuk.
C. Ruang Lingkup
Petunjuk Teknis Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan
Pajak Biaya Nikah atau Rujuk di luar Kantor Urusan Agama
Kecamatan meliputi:
1. Tugas Pengelola PNBP Biaya Nikah atau Rujuk Pusat
dan Daerah;
2. Mekanisme Penerimaan, pencairan, clan Penggunaan;
3. Tipologi Kantor Urusan Agama Kecamatan; clan
4. Pelaporan dan Pertanggungjawaban.

BAB II
TUGAS PENGELOLA PNBP BIAYA NIKAH ATAU RUJUK
PUSAT DAN DAERAH

A. Tugas dan Tanggung Jawab Pengelola Pada tingkat


Pusat yaitu
1. Penanggung Jawab
Penanggung jawab dijabat oleh Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dengan rincian tugas
sebagai berikut:
a. menelaah, mereviu, dan menetapkan RKA-KL pa9.a
dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis
lainnya pada Program Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam;
b. menetapkan rencana target penerimaan dan
penggunaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk dan
menyampaikannya kepada Sekretaris Jenderal untuk
diteruskan kepada Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Negara;
571
c. mengangkat Bendahara Penerimaan dan Bendahara
Pengeluaran;
d. membuat nota kesepahaman dengan pihak bank
persepsi;
e. mengangkat perangkat pengelola PNBP Biaya Nikah
atau Rujuk tingkat Pusat
f. melakukan penatausahaan pengelolaan PNBP Biaya
Nikah atau Rujuk;
g. melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam
perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan PNBP
Biaya Nikah atau Rujuk; dan
h. melaporan realisasi penerimaan dan penggunaan
PNBP Biaya Nikah atau Rujuk kepada Menteri
Agama.
2. Ketua
Ketua dijabat oleh Direktur Urusan Agama Islam dan
Pembinaan Syariah dengan rincian dan tugas sebagai
berikut:
a. menyusun rencana target penerimaan dan
penggunaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk ke
dalam RAPBN;
b. melakukan sosialisasi dan pemantauan
pelaksanaan pengelolaan PNBP Biaya Nikah atau
Rujuk;
c. melakukan koordinasi dan sinkronisasi secara
rutin dan berkelanjutan dengan Ditjen Anggaran
dan Ditjen Perbendaharaan Negara Kementerian
Keuangan terkait penerimaan, pencairan dan
pengesahan penggunaan PNBP Biaya Nikah atau
Rujuk;
d. melakukan inventarisasi atas penerimaan PNBP
Biaya Nikah atau Rujuk;
e. menghitung PNBP Biaya Nikah atau Rujuk yang
ditangguhkan;
572
f. menyusun laporan realisasi penerimaan dan
penggunaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk;
g. mengusulkan pengesahan PNBP Biaya Nikah
atau Rujuk ke Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Kementerian Keuangan untuk
memperoleh pengesahan pendapatan yang
dijadikan dasar pencairan pada tingkat Satker
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi, dan
Kantor Kementerian Agama Kabupaten/ Kota
dengan KPPN setempat;
h. menandatangani surat perintah pemindahbukuan
penerimaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk yang
ada di rekening bendahara penerimaan pada bank
persepsi yang ditunjuk;
i. membuat laporan pertanggung jawaban
penerimaan dan penggunaan PNBP Biaya Nikah
atau Rujuk kepada Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam;
3. Sekretaris
Sekretaris dijabat oleh Kepala Sub Direktorat pada
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan
Syari'ah dengan rincian tugas sebagai berikut:
a. memfasilitasi rapat-rapat pembahasan terkait
kebijakan dan teknis pengelolaan PNBP biaya Nikah
atau Rujuk;
b. melakukan inventarisasi kendala dan memfasilitasi
penyelesaian masalah terkait pengelolaan PNBP
Biaya Nikah atau Rujuk;
c. melakukan koordinasi dengan instansi, lembaga dan
pihak lain dalam rangka kelancaran pelaksanaan
program dan kegiatan Bimbingan Masyarakat Islam
serta pengelolaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk;

573
d. menyiapkan draf Perjanjian Kerja Sama (PKS)
dengan bank persepsi
e. menyiapkan draf laporan pertanggung jawaban
penerimaan dan penggunaan PNBP Biaya Nikah
atau Rujuk kepada Direktur JenderalB imbingan
Masyarakat Islam.
4. Koordinator Bidang Penerimaan
Koordinator bidang penerimaan dijabat oleh Kepala
Bagian Keuangan pada Sekretariat Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, dengan rincian
tugas sebagai berikut:
a. Melakukan rekapitulasi penerimaan PNBP Biaya
Nikah atau Rujuk dalam rekening koran dan
mencocokkannya dengan data manual hasil
laporan data penerimaan yang disampaikan oleh
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dan
menyampaikannya kepada Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam;
b. mengkoordinasikan pelaksanaan penyetoran
pemindahbukuan PNBP Biaya Nikah atau
Rujuk dari rekening bendahara penerimaan ke
rekening Kas Negara sesuai ketentuan
Peraturan Perundang - undangan;
c. melakukan penyiapan bahan dan materi
koordinasi dengan Kementerian Keuangan cq.
Direktorat Jenderru Anggaran, Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Negara, dan KPPN mengenai
pengesahan pendapatan PNBP Biaya Nikah atau
Rujuk, pencairan dan penggunannya;
d. menyiapkan dan menyampaikan laporan data
penerimaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk setiap
bulan kepada Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam.
5. Koordinator Bidang Penggunaan
574
Koordinator bidang Penggunaan dijabat oleh Kepala
Bagian Perencanaan pada sekretariat Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dengan rincian
tugas sebagai berikut:
a. menyusun rencana pelaksanaan kegiatan dan
rencana penggunaan dana PNBP Biaya Nikah atau
Rujuk berdasarkan usulan dari Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi;
b. melakukan telaahan atas usulan kegiatan
penggunaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk yang
diusulkan oleh Satker;
c. melakukan rekapitulasi laporan penggunaan PNBP
Biaya Nikah atau Rujuk yang disampaikan oleh
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi;
d. melaporkan realisasi penggunaan PNBP Biaya
Nikah atau Rujuk kepada Dirktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam;
e. menyiapkan usulan target penerimaan clan
penggunaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk.
6. Pelaksana Bidang Penerimaan
Pelaksana bidang penerimaan dijabat oleh pelaksana
pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
dengan rincian tugas sebagai berikut:
a. membantu pelaksanaan tugas-tugas koordinator
bidang penerimaan;
b. menghimpun data laporan realisasi PNBP Biaya
Nikah atau Rujuk dari masing-masing satker;
c. menghimpun data rekening koran yang
diterbitkan Bank Persepsi penerima setoran
PNBP Biaya Nikah atau Rujuk;
d. melakukan rekonsiliasi ke KPPN atas penerimaan
PNBP Biaya Nikah atau Rujuk.
7. Pelaksana Bidang Penggunaan

575
Pelaksana Bidang Penggunaan dijabat oleh pelaksana
pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
dengan rincian tugas sebagai berikut:
a. membantu pelaksanaan tugas-tugas koordinator
bidang penggunaan;
b. menghimpun data usulan rencana target dan pagu
PNBP Biaya Nikah atau Rujuk dari masing-masing
satker;
c. menghimpun data usulan kegiatan penggunaan
dana PNBP Nikah atau Rujuk dari masing-masing
Satker;
d. menyiapkan bahan usulan target dan pagu PNBP
Biaya Nikah atau Rujuk yang akan disampaikan ke
Sekretariat Jenderal.
B. Tugas dan Tanggung Jawab Pengelola pada Tingkat
Kantor Wilayah Kementerian Agrama Provinsi meliputi:
1. Penanggung Jawab
Penanggung jawab dijabat oleh Kepala Bidang yang
membidangi Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari'ah
dengan rincian tugas sebagai berikut:
a. mengkoordinasikan pelaksanaan pengelolaan PNBP
Nikah atau Rujuk pada Satker di lingkungan Kantor
Wilayah Kementerian Agama Provinsi;
b. menyampaikan usulan perencanaan target penerimaan
dan penggunaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk ke
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam;
c. melaporkan realisasi penerimaan dan penggunaan
PNBP Biaya Nikah atau Rujuk setiap bulan kepada
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
2. Pelaksana
Pelaksana dijabat oleh pelaksana pada Seksi yang
membidangi Urusan Agama Islam dan Pembinan Syari'ah
dengan rincian tugas sebagai berikut:

576
a. Membantu pelaksanaan tugas–tugas penanggung
jawab;
b. melakukan rekapitulasi realisasi penerimaan PNBP
Biaya Nikah atau Rujuk dari masing-masing Satker;
c. melakukan rekapitulasi usulan target penerimaan dan
penggunaan PNBP Biaya Nikah atau Rujuk dari masing-
masing Satker.
C. Tugas dan Tanggung Jawab Pengelola pada Kantor
Kementerian Agama Kabupaten/Kota meliputi:
1. Penanggung Jawab
Penanggung Jawab dijabat oleh Kepala Seksi yang
membidangi Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah
dengan rincian tugas sebagai berikut.
a. Menyusun rencana target dan pagu penerimaan PNBP
Biaya Nikah atau Rujuk pada tingkat Kantor Kementerian
Agama Kabupaten/ Kota;
b. menyampaikan usulan rencana target dan pagu PNBP
Nikah atau Rujuk kepada Kantor Wilayah Kementerian
Agama Provinsi;
c. menyampaikan laporan rekapitulasi realisasi penerimaan
PNBP Nikah atau Rujuk dari masing-masing KUA
Kecamatan ke Kepala Kantor Wilayah Kementerian
Agama Provinsi dengan tembusan kepada Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam;
d. melaporkan realisasi peneriman dan penggunaan PNBP
Biaya Nikah atau Rujuk kepada Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam melalui Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi;
e. melakukan pengajuan pencairan dana PNBP Biaya
Nikah atau Rujuk sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
2. Pelaksana

577
Pelaksana dijabat oleh pelaksana pada Seksi yang
membidangi Urusan Agama Islam dan Pembinaan
Syari'ah dengan rincian tugas sebagai berikut:
a. Membantu pelaksanaan tugas - tugas penanggung
jawab;
b. melakukan rekapitulasi realisasi penerimaan PNBP
Biaya Nikah atau Rujuk dari masing-masing Kantor
Urusan Agama Kecamatan sebagaimana form
terlampir;
c. membuat rekapitulasi pelaksana/ petugas layanan
bimbingan pelaksanaan nikah rujuk di luar kantor
dari masing-masing KUA sebagaimana form
terlampir;
d. menyiapkan usulan pencairan dana PNBP Biaya
Nikah atau Rujuk sesuai dengan alokasi pagu
anggaran yang tersedia pada masing- masing KUA
Kecamatan.
D. Tugas Pelaksana Pengelola pada KUA Kecamatan
memiliki rincian tugas sebagai berikut:
1. melakukan pembukuan dan penatausahaan atas
penerimaan setoran PNBP Biaya Nikah atau Rujuk;
2. melaporkan realisasi penerimaan bukti setoran Biaya
Nikah atau Rujµksetiap bulan kepada Kepala Kantor
Kementerian Agama Kabµpaten/ Kota; .
3. melaporkan 'data peristiwa Nikah atau Rujukyang
meliputi data nikah di kantor, luar kantor, data nikah
yang dikenakan tarif nol rupiah, data penerimaan PNBP,
dan penghulu yang bertugas sebagaimana form
terlampir
4. menyiapkan bahan usulan kegiatan KUA untuk
disampaikan kepada Kepala Kantor Kementerian
Agama. Kabupaten/ Kota.

578
E. Petugas Penerima Setoran pada KUA yang tidak
terdapat layanan bank persepsi memiliki rincian tugas
sebagai berikut:
1. memberikan kuitansi tanda terima biaya Nikah atau
Rujuk sebesar Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah)
yang diterima dari Catin sebagaimana form terlampir;
2. menyetorkan Biaya Nikah atau Rujuk yang diterima dari
Catin ke reken.ing bendahara penerimaan paling lambat
5 hari setelah penerimaan;
3. membukukan dan menatausahakan penerimaan setoran
Biaya Nikah atau Rujuk di luar kantor;
4. melaporkan realisasi penerimaan setoran PNBP Nikah
atau Rujuk kepada Kepala Kantor Kementerian Agama
Kabupaten/Kota setiap bulan.

BAB Ill
MEKANISME PENERIMAAN, PENCAIRAN, DAN PENGGUNAAN
A. Penerimaan
1. Catin membayar biaya Nikah atau •Rujuk kepada bank
persepsi, dengan ketentuan:
a. Nikah di KUA pada hari dan jam kerja dikenakan
tarif Rp0,00 (nol rupiah).
b. Nikah di Luar KUA dikenakan tarif Rp600.000,00
(enam ratus ribu rupiah).
c. Nikah di KUA pada hari libur dan luar jam kerja
dikenakan tarif nikah luar KUA yaitu Rp600.000,00
(enam ratus ribu rupiah).
d. Catin yang tidak mampu secara ekonomi atau
warga yang terkena bencana dikenakan tarif Rp0,00
(nol rupiah) dengan persyaratan melampirkan Surat
Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Lurah atau
Kepala Desa setempat yang diketahui oleh Camat.

579
e. Pengenaan tarif Rp0,00- (nol. rupiah) bagi
warga tidak mampu dan warga terkena
bencana tidak berlaku bagi pernikahan massal
yang dikoordinir oleh pihak sponsor atau
penyandang dana.
f. Pencatatan nikah yang dilakukan berdasarkan
Keputusan Pengadilan Agama melalui itsbat nikah
dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah).
2. Daftar pelaksanaan penerimaan PNBP biaya Nikah atau
Rujuk, Bendahara Penerimaan di Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam membuka rekening
penerimaan PNBP biaya, Nikah atau Rujuk pada bank
persepsi yang telah melakukan kerjasama dengan
Kementerian Agama.
3. penyetoran melalui PPS:
a. Khusus bagi KUA Kecamatan yang tidak terdapat
layanan bank persepsi maka Catin dapat membayar
biaya Nikah atau Rujuk melalui Petugas Penerima
setoran (PPS) yang ada di KUA Kecamatan.
b. PPS pada KUA Kecamatan wajib menyetorkan
PNBP Nikah atau Rujuk yang diterima dari Catin ke
rekening Bendahara Penerimaan paling lambat 5
(lima) hari kerja dari tanggal penerimaan. Jika
terjadi hambatan dengan alasan kondisi geografis
dan keadaan tertentu yang tidak memungkinkan
dilakukan penyetoran dalam waktu 5 (lima) hari
kerja, maka Kepala Kantor Kementerian Agama
mengajukan peohonan izin melakukan setoran
tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Perbendaharaan melalui Kepala Kantor
Wilayah Kementerian Agama Provinsi.
4. Prosedur pengelola setoran dalam hal terjadi:
a. kesalahan pada pengisian slip setoran terkait
penulisan nama Catin, tempat pelaksanaan nikah,
Jumlah yang disetorkan, maka kepala KUA wajib
580
membuat surat keterangan dan dilampirkan dalam
laporan rekapitulasi realisasi penerimaan. PNBP
biaya Nikah atau Rujuk;
b. catin terlanjur setor ke rekening bendahara
penerimaan tetapi batal nikah maka Catin dapat
mengajukan pengembalian dana yang sudah
disetorkan kepada bendahara penerimaan PNBP
Nikah atau Rujuk dengan mengisi form
sebagaimana terlampir dengan menyertakan bukti
setoran asli yang telah dilegalisir Kepala KUA
tempat pernikahan akan dilangsungkan dan surat
bukti pendaftar pernikahan di KUA yang
bersangkutan;
c. penyetoran terlanjur dengan menggunakan ATM,
maka kepala KUA wajib membuat surat keterangan
sebagaimana form terlampir dan dilampirkan dalam
laporan rekapitulasi penerimaan PNBP biaya Nikah
atau Rujuk yang dikirimkan kepada Kepala Kantor
Kementerian Agama Kbupaten/ Kota.
B. Pencairan
1. Pencairan PNBP biaya Nikah atau Rujuk mengikuti
mekanisme pencairan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
2. Pencairan dan penggunaan dana PNBP Nikah atau
Rujuk yang diperuntukkan transpor dan jasa profesi
penghulu/ petugas yang melakukan layanan bimbingan
pelaksanaan akad nikah atau rujuk di luar Kantor
Urusan Agama Kecamatan dapat dilakukan secara
Langsung (LS) kerekening penerima.
3. Pencairan sebagaimana dimaksud pada poin 2 di atas
wajib melampirkan data pendukung sebagai berikut:
a. surat tugas meksanakan bimbingan akad nikah di
luar kantor yang ditandatangani oleh Kepala KUA;

581
b. rekapitulasi peristiwa layanan bimbingan
pelaksanaan akad nikah di luar Kantor Urusan
Agrun Kecamatan yang ditandatangani oleh Kepala
Kantor Kementerian Agama Kabupaten/ Kota;
c. daftar penghulu/ petugas yang melaksanakan
layanan bimbingan pelaksanaan akad nikah di luar
Kantor Urusan Agama Kecamatan yang
ditandatangani oleh Kepala Kantor Kementerian
Agama Kabupaten/ Kota;
d. foto copy rekening bank atas nama penghulu/
petugas yang sudah divalidasi oleh bank yang
bersangkutan.
4. Pencairan .Dana PNBP biaya Nikah atau Rujuk
dilakukan secara rutin setiap bulan setelah pagu definitif
DIPA PNBP biaya Nikah atau Rujuk disahkan.
5. Pencairan sebagaimana dimaksud pada poin 4 di atas
adalah dalam rangka mendukung kelancaran tugas-
tugas layanan bimbingan akad nikah di luar Kantor
Urusan Agama Kecamatan dan untuk menghindari
penerimaan gratifikasi penghulu/ petugas yang
menghadiri kegiatan layanan dimaksud.
C. Penggunaan
Biaya Nikah atau Rujuk yang disetorkan ke Kas
Negara dapat digunakan kembali maksimum sebesar 80% X
Rp 600.000,00 = Rp 480.000,00. Penggunaan kembali PNBP
Biaya Nikah atau Rujuk tersebut ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dengan
mempertimbangkan target penerimaan masing-masing Satker,
program dan kegiatan Bimbingan Masyarakat Islam.
1. Transpor penghulu/petugas yang melakukan Layanan
Bimbingan Pelaksanaan Nikah atau Rujuk di Luar Kantor
a. Transpor penghulu/ petugas yang melaksanakan
layanan dan bimbingan akad nikah di uar Kantor
Urusan Agama Kecamatan diberikan per peristiwa
582
dengan mengacu kepada ketentuan Standar Biaya
Masukan.
b. Transpor penghulu/ petugas yang melaksanakan
beberapa layanan clan bimbingan akad nikah di satu
waktu dan tempat yang sama diberikan 1(satu) kali
transpor perjalanan.
c. Transpor untuk perjalanan layanan dan bimbingan
akad nikah pada KUA terdalam, terluar, dan daerah
perbatasan di daratan dihitung berdasarkan
pengeluaran riil yang dapat dibuktikan dengan bukti
pengeluaran berupa tiket perjalanan atau kwitansi
transportasi maksimum Rp750.000,00 (tujuh ratus
lima puluh ribu rupiah).
d. Transpor untuk perjalanan layanan dan bimbingan
akad nikah pada KUA terdalam, terluar, dan daerah
perbatasan di kepulauan dihitung berdasarkan
pengeluaran riil yang dapat dibuktikan dengan bukti
pengeluaran berupa tiket perjalanan atau kwitansi
transportasi maksimum Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
2. Honorarium Layanan Bimbingan Pelaksanaan Nikah atau
Rujuk di Luar Kantor
Honorium diberikan per peristiwa nikah di luar kantor
dengan mengacu pada Standar Biaya Masukan Lainnya
sesuai tipologi KUA:
a. Tipologi A, jasa profesi yang diberikan sebesar Rp
125,000,00 (seratus dua puluh lima ribu rupiah).
b. Tipologi B, jasa profesi yang diberikan sebesar Rp
150,000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah).
c. Tipologi C, jasa profesi yang diberikan sebesar Rp
175,000,00 (seratus tujuh pulu lima ribu rupiah).
d. Tipologi Dl, jasa profesi yang diberikan sebesar Rp
400,000,00 (empat ratus ribu rupiah).
e. Tipologi D2, jasa profesi yang diberikan sebesar Rp
400,000,00 (empat ratus ribu rupiah).
583
3. Pengelola PNBP Biaya Nikah atau Rujuk
Pengella PNBP Biaya diberikan honorarlum setiap bulan
yang besarannya diberikan sesuai dengan Standar Biaya
Masukan (SBM).
4. Kursus pra nikah
Kursus pra nikah dapat dibiayai dengan ketentuan:
a. Satuan kegiatan yang diuslkan dalam RKAKL
mempertimbangkan estimasi penerimaan PNBP
Nikah atau Rujuk.
b. Pembiayaan kursus pra nikah dihitung per peristiwa
nikah sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
c. Dana kegiatan kursus pra nikah digunakan untuk:
pemberian honor dan transpor narsumber, pembelian
konsumsi, dan kelengkapan kursus pra nikah.
d. Penyelenggaran kursus pra nikah dapat dilaksanakan
oleh lembaga penyelenggara yang telah memperoleh
akreditasi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi atau Kepala Kantor Kementerian Agama
Kabupaten/ Kota.
5. Supervisi Administasi Nikah atau Rujuk
Supervisi pelaksanaan kegiatan Nikah Rujuk merupakan
kegiatan Pengendalian Internal yang dilakukan Unit
Pembina Teknis Urusan Agama Islam di tingkat
Kabupaten/ Kota. Petugas supervisi bertugas:
a. Melakukan monitoring, pemantauan, dan
pemeriksaan hasil pelaksanaan kegiatan administrasi
Nikah atau Rujuk setiap 3 bulan;
b. Materi supervisi meliputi; pemeriksaan administrasi
pencatatan pada lembar pemeriksaan nikah (model
NB), register nikah (model N), stok formulir Nikah.
atau Rujuk, bukti penyerahan buku nikah kepada
pengantin, dan pembukuan realisasi penerimaan dan
penggunaan PNBP Nikah atau Rujuk.

584
c. Petugas supervisi dianggarkan transpor dan uang
saku sesuai dengan ketentuan.

BAB IV
TIPOLOGI KUA KECAMATAN

A. Tipologi KUA Kecamatan masing-masing wilayah


ditetapkan oleh Kepala
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dengan
ketentuan:
1. Tipologi A adruah KUA yang jumlah peristiwa
nikahnya di atas 100 peristiwa dihitung rata-rata
perbulan;
2. Tipologi B adalah KUA yang jumlah peristiwa nikahnya
antara 50 s.d. 100 peristiwa rata-rata per bulan
3. Tipologi C adalah KUA yang peristiwa nikahnya di
bawah 50 peristiwa rata-rata per bulan;
4. Tipologi D adalah KUA yang secara geografis berada
pada daerah terdalam, terluar, dan daerah perbatasan
di daratan;
5. Tipologi D2 adalah KUA yang secara geografis
berada pada daerah terdalam, terluar, dan daerah
perbatasan di kepulauan.
B. Perubahan tipologi KUA Kecamatan dapat terjadi
disebabkan penurunan Jumlah peristiwa nikah atau adanya
KUA Kecamatan baru hasil pemekaran wilayah yang telah
ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri.
Apabila terjadi perubahan jumlah peristiwa Nikah atau Rujuk
yang menyebabkan perubahan tipologi KUA Kecamatan,
maka Kepala Kantor Kementeri Agama Kabupaten/Kota
wajib memperitahukan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam melalui Direktur
Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah dengan
tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian
585
Agama Provinsi. Perubahan tipologi KUA Kecamatan
ditetapkan pada awal tahun.
C. Kepala KUA Kecamatan mendistribusikan pelaksanaan
tugas akad nikah dengan menerapkan asas keadilan,
kompetensi, dan proporsional.

BAB V
PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
Pejabat Pembuat Komitmen harus menyampaiari laporan
pelaksanaan program, kegiatan dan anggru;an secara tertulis
sebagai berikut:
1. Laporan Bulanan
Pejabat Pembuat Komitmen pada Satker tingkat daerah
secara berjenjang harus menyampaikan laporan realisasi
penerimaan PNBP biaya Nikah atau Rujuk dengan form
sebagaimana terlampir.
2. Laporan Triwulan
Pejabat Pembuat Komitmen pada Satker tingkat daerah
secara berjenjang wajib menyampaikan laporan triwulan
yang memuat capean program, kegiatan dan anggaran
selama satu triwulan.
3. Laporan Tahunan .
Pejabat Pembuat Komitmen pada Satker tingkat daerah
secara berjenjang menyampaikan laporan pertanggung
jawaban atas pelaksanaan anggaran.
4. Laporan sebagaimana dimaksud point 1, 2, dan 3
disampaikan kepada Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam melalui Direktur Urusan Agama °Islam
dan Pembinaan Syariah;
5. Laporan Pelaksanaan Kegiatan tahunan memuat antara
lain:
a. latar belakang pelaksanaan kegiatan;
b. tujuan/ sasaran pelaksanaan kegiatan;
c. target dan Realisasi penerimaan PNBP;
586
d. rencana dan pelaksanaan program;
e. realisasi Penggunaan PNBP Nikah atau Rujuk;
f. permasalahan dan hambatan;
g. solusi yang dilakukan;
h. rencana usulan target penerimaan dan penggunaan
tahun berikutnya;
i. penutup.

BAB VI
PENUTUP
Petunjuk Teknis ini dibuat sebagai pedoman dalam
pengelolaan PNBP Biaya nikah atau rujuk.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 November 2014
DIREKTUR JENDERAL,
Ttd.

Prof. Dr. H. Machasin, MA

587
588
589
590
591
592
593
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM
NOMOR DJ.II/ 436 TAHUN 2015
TENTANG
PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN DIREKTUR
JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM
NOMOR DJ.H/748 TAHUN 2014
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PENGELOLAAN PENERIMAAN
NEGARA BUKAN PAJAK ATAS BIAYA NIKAH ATAU
RUJUK DI LUAR KANTOR URUSAN AGAMA
KECAMATAN

DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM,


Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyempurnakan
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Nomor DJ.II/748 Tahun 2014
tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan
Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya
Nikah Atau Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama
Kecamatan, perlu melakukan perubahan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
bahwa dimaksud dalam huruf a, perlu
menetapkan Keputusan Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam tentang Perubahan
Atas Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Nomor DJ.II/748 Tahun 2014
tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan
594
Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya
Nikah atau Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama
Kecamatan;
Menimbang : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku
pada Departemen Agama;
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor
338/KMK.06/2001 tentang Izin Penggunaan
Sebagian Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang bersumber dari pelayanan Jasa Nikah atau
Rujuk dan Pelayanan Jasa Peradilan Agama
pada Departemen Agama;
3. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007
Tentang Pencatatan Nikah;
4. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Agama sebagaimana telah diubah tiga Kali
terakhir dengan Peraturan Menteri Agama Nomor
21 Tahun 2014;
5. Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2012
tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi
Vertikal Kementerian Agama;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara
Pembayaran dalam Rangka Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.02/
2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerima;
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/
PMK.05/2013 tentang Kedudukan dan Tanggung
Jawab Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
9. Peraturan Menteri Agama Nomor 46 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan

595
Pajak Atas Biaya Nikah atau Rujuk di Luar Kantor
Urusan Agama Kecamatan;
10. Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Nomor DJ.II/748 Tahun 2014
tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan
Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya
Nikah atau Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama
Kecamatan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN
MASYARAKAT ISLAM TENTANG PERUBAHAN
ATAS KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM NOMOR DJ.II/748
TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK TEKNIS
PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN
PAJAK ATAS BIAYA NIKAH ATAU RUJUK DI LUAR
KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN.
KESATU : Mengubah beberapa ketentuan dalam lampiran
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam Nomor DJ.II/748 Tahun 2014 pada BAB III
sebagai berikut:
- ketentuan huruf B; angka 2, angka 3 huruf c dan huruf
d, dan angka 5 sehingga berbunyi sebagai berikut;
B. Pencairan
2. Pencairan dan penggunaan dana PNBP
Nikah atau Rujuk yang diperuntukkan
transpor dan jasa profesi penghulu/kepala
KUA/petugas yang melakukan layanan
bimbingan pelaksanakan akad nikah atau
rujuk di luar Kantor Urusan Agama
Kecamatan dilakukan secara langsung ke
rekening penerima melalui mekanisme LS.
Dalam hal belum keluarnya Surat Edaran
(SE) Direktur Jenderal Perbendaharaan

596
tentang Maksimum Pencairan PNBP, maka
untuk memenuhi kebutuhan transpor
layanan nikah di luar kantor dapat
menggunakan mekanisme UP dan TUP.
3. Pencairan sebagaimana dimaksud pada
poin 2 di atas wajib melampirkan data
pendukung sebagai berikut:
c. daftar penghulu/kepala KUA/petugas yang
melaksanakan layanan bimbingan
pelaksanaan akad nikah di luar Kantor
Urusan Agama Kecamatan yang
ditandatangani oleh Kepala Kantor
Kementerian Agama Kabupaten/Rota;
d. foto copy rekening bank atas nama
penghulu/kepala KUA/petugas yang
melaksanakan layanan nikah di luar
Kantor Urusan Agama Kecamatan yang
sudah divalidasi oleh bank yang
bersangkutan.
5. Pencairan sebagaimana dimaksud pada poin
4 di atas adalah dalam rangka mendukung
kelancaran tugas-tugas layanan bimbingan
akad nikah di luar Kantor Urusan Agama
Kecamatan dan untuk menghindari
penerimaan gratifikasi penghulu/kepala
KUA/ petugas yang menghadiri kegiatan
layanan dimaksud.
- ketentuan huruf C; angka 1 dan angka 1 huruf
a dan huruf b sehingga berbunyi sebagai
berikut:

597
C. Penggunaan
1. Transpor penghulu/Kepala KUA/petugas yang
melakukan Layanan Bimbingan Pelaksanaan
Nikah atau Rujuk di Luar Kantor
a. Transpor penghulu/ kepala KUA/petugas
yang melaksanakan layanan dan
bimbingan akad nikah di luar Kantor
Urusan Agama Kecamatan diberikan per
peristiwa dengan mengacu kepada
ketentuan Standar Biaya Masukan.
b. Transpor penghulu/kepala KUA/petugas
yang melaksanakan beberapa layanan
dan bimbingan akad nikah di satu waktu
dan tempat yang sama diberikan 1 (satu)
Kali transpor perjalanan.
KEDUA : Ketentuan lain dalam Keputusan Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/748 Tahun
2014 dinyatakan tetap berlaku.
KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Juli 2015

DIREKTUR JENDERAL,

Ttd.
Prof. Dr. H. Machasin, MA

598
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN
NOMOR PER-17/PB/2013
TENTANG
KETENTUAN LEBIH LANJUT TATA CARA PEMBAYARAN
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK ATAS BEBAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN,

Menimbang : bahwa untuk mengatur lebih lanjut ketentuan teknis


mengenai pembayaran tagihan negara yang
bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak
serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 66, Pasal
67, Pasal 68, dan Pasal 79 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata
Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan tentang Tata Cara Pembayaran
Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997
Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3687);
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan

599
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4286);
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4355);
14. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4400);
5. Peraturan Pemerintah Horner 73 tahun 1999
tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan
Negara Bukan Pajak Yang Bersumber Dari
Kegiatan Tertentu (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 136, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3871;
6. Akuntansi Pemerintahan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 213,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5165);
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/
PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran
Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara;

600
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
PERBENDAHARAAN TENTANG KETENTUAN
LEBIH LANJUT TATA CARA PEMBAYARAN
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK ATAS
BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA
NEGARA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:
1. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA
adalah Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang digunakan sebagai
acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan
pemerintahan sebagai pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP
adalah seluruh penerinlaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal
dari penerimaan perpajakan;
3. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah
pejabat yang memperoleh kuasa dari Pengguna Anggaran untuk
melaksanakan sebagian Kewenangan dan tanggung jawab
penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang
bersangkutan.
4. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya
disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal
Perbendaharaan yang memperoleh Kuasa dari Bendahara Umum
Negara (BUN) untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa BUN.
5. Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi
lini Kementerian Negara/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah
Daerah yang melaksanakan Kegiatan Kementerian
601
Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab
penggunaan anggaran.
6. Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah uang muka
kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara
Pengeluaran untuk membiayai Kegiatan operasional sehari-hari
Satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan
tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme
pembayaran langsung.
7. Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat TUP
adalah uang muka yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran
untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam 1 (Satu) bulan
melebihi pagu UP yang) yang telah ditetapkan.

BAB II
MEKANISME PENGGUNAAN DANA
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Pasal 2
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:
(1) Semua PNBP yang menjadi hak negara dalam tahun anggaran
yang bersangkutan harus disetor langsung secepatnya ke Kas
Negara.
(2) Satker pengguna PNBP dapat menggunakan sebagian dana
PNBP untuk membiayai belanja negara setelah memperoleh ijin
penggunaan dana PNBP dari Menteri Keuangan.
(3) Belanja negara oleh Satker pengguna PNBP dalam Satu tahun
anggaran hanya dapat dibiayai dari PNBP tahun anggaran yang
bersangkutan.
(4) Satker pengguna PNBP di bidang pendidikan dapat
menggunakan PNBP melampaui Satu tahun anggaran sesuai
dengan Satu tahun masa pendidikan.

602
(5) Satker pengguna PNBP menggunakan sebagian dana PNBP
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan jenis PNBP
dan Pagu PNBP dalam DIPA yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
(6) Pagu PNBP dalam DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
merupakan batas tertinggi yang dapat digunakan.

Pasal 3
(1) Besarnya dana PNBP untuk membiayai belanja negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan
berdasarkan Maksimum Pencairan (MP) dana pada Satker
pengguna PNBP.
(2) Maksimum Pencairan (MP) dana pada Satker pengguna PNBP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh dari formula
sebagai berikut:
MP = (PPP x JS) – JPS
MP : Maksimum Pencairan
PPP : Proporsi Pagu Pengeluaran terhadap pendapatan
sesuai dengan yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan
JS : Jumlah Setoran
JPS : Jumlah Pencairan dana Sebelumnya sampai dengan
SPM terakhir yang diterbitkan
(3) Besaran Proporsi Pagu Pengeluaran (PPP) untuk masing-
masing Satker pengguna PNBP diatur berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Maksimum Pencairan (MP) dana pada masing-masing Satker
pengguna PNBP dapat ditetapkan:
a. secara terpusat, berdasarkan jumlah setoran PNBP yang
disetorkan ke Kas Negara;
b. untuk masing-masing Satker pengguna PNBP berdasarkan
jumlah PNBP pada masing-masing Satker pengguna PNBP;

603
Pasal 4
(1) Maksimum Pencairan (MP) untuk Satker pengguna PNBP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a,
ditetapkan dengan Surat Edaran/Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan berdasarkan perhitungan Daftar Perhitungan
Jumlah Maksimum Pencairan (MP).
(2) Penetapan Maksimum Pencairan (MP) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berdasarkan hasil rekonsiliasi jumlah setoran/Surat
Setoran Bukan Pajak (SSBP) antara kantor pusat Satker
pengguna PNBP dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
(3) Pencairan dana PNBP oleh Satker pengguna PNBP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
Surat Edaran/Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan tanpa
melampirkan SSBP.

Pasal 5
(1) Penetapan Maksimum Pencairan (MP) untuk Satker pengguna
PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b
dilakukan berdasarkan SSBP yang telah dikonfirmasi dengan
KPPN.
(2) Pelaksanaan Konfirmasi SSBP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengikuti ketentuan mengenai pelaksanaan konfirmasi
Surat setoran penerimaan negara.
(3) Pencairan dana PNBP oleh Satker pengguna PNBP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
Daftar Perhitungan Jumlah Maksimum Pencairan (MP).

Pasal 6
(1) Sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun anggaran
sebelumnya dari Satker pengguna PNBP, dapat dipergunakan
untuk membiayai kegiatan kegiatan tahun anggaran berjalan
setelah DIPA disahkan dan berlaku efektif.

604
(2) Sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berasal dari PNBP Batu tahun anggaran
sebelumnya.
(3) Sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun anggaran
sebelumnya dari Satker pengguna PNBP meliputi:
a. jumlah setoran yang melampaui target penerimaan PNBP
Satker pengguna PNBP berkenaan sesuai dengan Proporsi
Pagu Pengeluaran (PPP) terhadap pendapatan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan/atau
b. Sisa pagu DIPA yang dapat dicairkan yang dibiayai dari dana
PNBP;
(4) Penggunaan sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun
anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat, dilakukan dalam hal Satker pengguna PNBP:
a. memerlukan pembiayaan atas kegiatan yang harus segera
dilaksanakan, namun belum memperoleh Maksimum
Pencairan (MP); atau
b. sudah diperoleh Maksimum Pencairan (MP) namun belum
mencukupi untuk melaksanakan kegiatan yang harus segera
dilaksanakan.
(5) Penggunaan sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun
anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
disertai dengan Surat pernyataan dari KPA bahwa sisa
Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun anggaran
sebelumnya akan diperhitungkan dengan PNBP tahun anggaran
berjalan dan disampaikan kepada:
a. Direktur Jenderal Perbendaharaan, untuk Maksimum
Pencairan (MP) yang ditetapkan secara terpusat;
b. Kepala KPPN, untuk Maksimum Pencairan (MP) yang
ditetapkan pada masing-masing Satker pengguna PNBP.
(6) Penggunaan sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun
anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

605
sudah diperhitungkan seluruhnya dengan PNBP tahun anggaran
berjalan.
(7) PNBP tahun anggaran berjalan dapat digunakan dalam hal
penggunaan sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun
anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
sudah diperhitungkan seluruhnya dengan PNBP tahun anggaran
berjalan.
(8) Dalam hal atas penggunaan sisa Maksimum Pencairan (MP)
dana PNBP tahun anggaran sebelumnya belum diperhitungkan
seluruhnya sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Satker
pengguna PNBP akan menggunakan PNBP tahun anggaran
berjalan untuk membiayai kegiatan yang segera dilaksanakan,
harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Direktur
Jenderal Perbendaharaan.
(9) Dalam hal Satker pengguna PNBP sudah memperoleh
Maksimum Pencairan (MP) namun belum mencukupi untuk
melaksanakan kegiatan yang harus segera dilaksanakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, dana PNBP yang
dapat dipergunakan maksimal sebesar sisa Maksimum
Pencairan (MP) dana PNBP tahun anggaran sebelumnya.

Pasal 7
Daftar Perhitungan Jumlah Maksimum Pencairan (MP) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 dibuat sesuai format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 8
(1) Satker pengguna PNBP dapat diberikan UP sebesar 20% (dua
puluh person) dari realisasi PNBP yang dapat digunakan sesuai
pagu PNBP dalam DIPA maksimum sebesar Rp 500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah).

606
(2) Realisasi PNBP yang dapat digunakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), merupakan PNBP yang telah disetor ke Kas
Negara.
(3) Pemberian UP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk di
dalam penggunaan sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP
tahun anggaran sebelumnya.
(4) Penggantian UP atas pemberian UP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan apabila UP telah dipergunakan paling
sedikit 50% (lirna puluh persen).
(5) Mekanisme pembayaran dengan UP sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) mengacu pada mekanisme dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara
Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 9
(1) Satker pengguna PNBP dapat diberikan UP sebesar maksimal
1/12 (Batu per dua bolas) dari pagu dana PNBP pada DIPA,
maksimal sebesar Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah),
dengan ketentuan:
a. belum memperoleh Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP;
b. telah memperoleh Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP
namun belum mencapai 1/12 (satu perduabelas) dari pagu
dana PNBP pada DIPA, atau
c. Satker pengguna PNBP yang ditetapkan penggunaannya
secara terpusat, belum memperoleh pagu pencairan sesuai
Surat Edaran/Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
(2) Penggantian UP atas pemberian UP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan setelah Satker pengguna PNBP
memperoleh Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP paling
sedikit sebesar UP yang diberikan.
(3) Penyesuaian besaran UP dapat dilakukan sampai dengan
sebesar realisasi PNBP yang telah disetor ke Kas Negara,
607
dengan ketentuan penyesuaian besaran UP tidak melampaui
20% (dua puluh person) dari pagu DIPA maksimum sebesar Rp
500.00.000,- (lima ratus juta rupiah).
(4) KPA Satker pengguna PNBP dapat mengajukan permohonan
persetujuan penyesuaian besaran UP sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) kepada Kepala KPPN dengan disertai bukti setor
PNBP yang telah dikonfirrmasi oleh KPPN atau Pagu Pencairan
sesuai Surat Edaran/Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan untuk Satker pengguna PNBP yang// ditetapkan
penggunaannya secara terpusat.

Pasal 10
(1) Dalam hal UP tidak mencukupi dapat mengajukan TUP sebesar
kebutuhan riil 1 (satu) bulan dengan memperhatikan batas
Maksimum Pencairan (MP).
(2) Pembayaran UP/TUP untuk Satker pengguna PNBP dilakukan
terpisah dari UP/TUP yang berasal dari Rupiah Murni.

BAB III
PENGGUNAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK BAGI
SATUAN KERJA PENGGUNA PENERIMAAN NEGARA BUKAN
PAJAK BIDANG PENDIDIKAN

Pasal 11
(1) PNBP yang berasal dari pendapatan uang pendidikan tahun
anggaran sebelumnya dapat digunakan oleh Satker pengguna
PNBP Bidang Pendidikan untuk membiayai kegiatan pendidikan
tahun anggaran berjalan.
(2) KPA Satker pengguna PNBP Bidang Pendidikan menyampaikan
permintaan penggunaan PNBP yang berasal dari pendapatan
uang pendidikan tahun anggaran sebelumnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kepada:

608
a. Direktur Jenderal Perbendaharaan, untuk Maksimum
Pencairan (MP) yang ditetapkan secara terpusat;
b. Kepala KPPN, untuk Maksimum Pencairan (MP) yang
ditetapkan pada masing-masing Satker pengguna PNBP.
(3) Permintaan penggunaan PNBP yang berasal dari pendapatan
uang pendidikan tahun anggaran sebelumnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disertai dengan Surat pernyataan dari
KPA Satker pengguna PNBP Bidang Pendidikan bahwa
sebagian/ seluruh PNBP yang berasal dari pendapatan uang
Pendidikan tahun anggaran sebelumnya merupakan Pendapatan
uang pendidikan untuk membiayai kegiatan di tahun anggaran
berjalan.
(4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dibuat
sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal ini.
(5) Penggunaan PNBP yang berasal `dari pendapatan uang
pendidikan tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak diperhitungkan dengan PNBP yang berasal
dari pendapatan uang pendidikan tahun anggaran berjalan.
(6) Satker pengguna PNBP Bidang Pendidikan dapat menggunakan
sisa Maksimum Pencairan (MP) tahun anggaran sebelumnya
untuk membiayai kegiatan yang harus segera dilaksanakan
setelah mendapat Persetujuan dari Direktur Jenderal
Perbendaharaan.
(7) Penggunaan sisa MaKsimum Pencairan (MP) tahun anggaran
sebelumnya mengiKuti Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6.

609
BAB IV
PENGGUNAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK BAGI
SATUAN KERJA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA SELAKU SATUAN KERJA PENGGUNA
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Pasal 12
Tata Cara pembayaran pada Satker Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri) sebagai Satker pengguna PNBP, diatur ketentuan
sebagai berikut:
a. untuk Satker Polri di kewilayahan/daerah dan SatKer di Mabes
Polri, pencairan dana PNBP dilakukan sebesar 1/12 (Batu per
dua belas) setiap bulan dari pagu DIPA PNBP;
b. khusus untuk Satker Korlantas Polri, pencairan dana PNBP
dilakukan sesuai kebutuhan dengan memperhatikan batas
Maksimum Pencairan (MP).

Pasal 13
(1) Dalam rangka pencairan dana PNBP untuk Satker Polri di
kewilayahan/daerah dan Satker di Mabes Polri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, Kepala Pusat Keuangan Polri
mengajukan Surat permohonan persetujuan pencairan dana
kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilampiri dengan Surat pernyataan bahwa realisasi belanja 1/12
(Batu per dua bolas) setiap bulan dari pagu DIPA PNBP untuk
Satker Polri di kewìlayahan/daerah dan Satker di Mabes Polri
akan dapat ditutupi dengan realisasi PNBP yang dibuat sesuai
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal ini.
(3) Atas dasar Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Direktur Jenderal Perbendaharaan menerbitkan persetujuan
610
pencairan dana untuk Satker Polri di kewilayahan/daerah dan
Satker di Mabes Polri.

Pasal 14
(1) Perhitungan Maksimum Pencairan (MP) dalam rangka pencairan
dana PNBP untuk Satker Korlantas Polri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf b, dengan menggunakan formula sebagai
berikut:
MP = (PPP x JS) - JPS - setiap bulan I/12 (satu per dua
bolas) dari alokasi pagu DIPA PNBP Satker Polri di
kewilayahan/daerah dan Satker di Mabes Polri,
Keenan Pagu PNBP Satker Korlantas Polri.
MP : Maksimum Pencairan
PPP : Proporsi Pagu Pengeluaran terhadap pendapatan
JS : Jumlah Setoran
JPS : Jumlah Pencairan dana Sebelumnya sampai dengan
SPM terakhir yang diterbitkan
(2) Pencairan dana PNBP untuk Satker Korlantas pada Mabes Polri
ke KPPN dilakukan dengan melampirkan:
a. Berita Acara Rekonsiliasi penerimaan PNBP dan realisasi
belanja antara Polri dengan Direktorat Jenderal
Perbendaharaan;
b. Daftar Perhitungan Maksimum Pencairan (MP) yang dibuat
sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal ini.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 15
Tata Cara penerbitan dan pengujian SPP dan SPM-
UP/TUP/PTUP/GUP/GUP Nihil/LS yang dananya bersumber dari
611
PNBP mengacu pada mekanisme dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran
Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.

Pasal 16
Ketentuan yang tidak diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan ini tetap mengacu pada ketentuan yang diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata
Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 17
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Mei 2013
DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN

AGUS SUPRIJANTO

612
613
614
615
616
617
618
619
620
621
622
INSTRUKSI DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN
MASYARAKAT ISLAM
NOMOR DJ.II/I TAHUN 2015
TENTANG
PENGANGKATAN PEMBANTU PEGAWAI PENCATAT
NIKAH (P3N)

Dalam rangka mengoptimalkan layanan nikah atau rujuk pada Kantor


Urusan Agama Kecamatan yang berada pada daerah pedalaman dan
atau wilayah pegunungan, daerah terluar/perbatasan negara dan atau
kepulauan serta adanya keterbatasan Pegawai Pencatat Nikah,
dengan ini menginstruksikan:
Kepada : Seluruh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama
se Indonesia.
Untuk :
PERTAMA : Pengangkatan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
agar dilakukan secara selektif dengan mengacu
kepada Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Agama
Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah;
KEDUA : Rekomendasi pcngangkatan Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah dari Kepala Seksi yang membidangi
Urusan Agama Islam harus memperhatikan;
1. Kantor Urusan Agama Kecamatan tersebut
masuk dalam tipologi D1 (daerah di pedalaman
dan atau wilayah pegunungan) dan D2 (daerah

623
terluar/perbatasan negara, dan atau kepulauan)
yang ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi dan tidak dapat
dijangkau oleh Pegawai Pencatat Nikah Karena
terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM)
dibanding dengan luas wilayah;
2. Pembantu Pegawai Pencatat Nikah berdomisili di
desa dimaksud;
3. Kemampuan dan Kompetensi calon Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah di bidang hukum dan
administrasi pernikahan,
KETIGA : Memantau clan melaporkan pelaksanaan Instruksi
Pengangkatan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam.
KEEMPAT : Melaksanakan Instruksi ini dcngan penuh tanggung
jawab.
Dengan dikeluarkannya Instruksi ini, Instruksi Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor
Dj.II/113 Tahun 2009 tentang Penggunaan Dana
PNBP Nikah Rujuk dari Penataan Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah (P3N) dinyatakan tidak berlaku.
Dikeluarkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Januari 2015
Direktur Jenderal,

Prof. Dr. H. Machasin, MA


NIP. 195610131981031003
Tembusan :
1. Menteri Agama RI;
2. Sekretaris Jenderal KEmenterrian Agama;
3. Inspektur Jenderal Kementerian Agama.

624
[

KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA


NOMOR: 444 TAHUN 2002
TENTANG
PERUBAHAN LAMPIRAN MODEL A2 PERATURAN
MENTERI AGAMA NOMOR 45 TAHUN 1975 YANG TELAH
DIUBAH DENGAN KEPUTUSAN MENTERI AGAMA
NOMOR 8 TAHUN 1984

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa ketentuan penyerahan uang iwadh dalam


rangkaian sighat taklik talak bagi umat Islam
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Model
A2 yahg telah diubah dengan Keputusan Menteri
Agama Nomor 8 Tahun 1984 perlu disesuaikan
dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 1
Tahun 2001;
b. bahwa agar penggunaan uang iwadh bagi
kegiatan ibadah sosial dapat lebih berdaya guns,
make ketentuan penyerahan uang iwadh
sebagaimana dimaksud pads butir a di atas perlu
ditinjau kembali;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksuid pada butir a danb di atas, dipandang
perlu menetapkan Keputusan Menteri Agama

625
tentang Perubahan Lampiran Model A2 Peraturan
Menteri agama Nomor 45 tahun 1975 yang telah
diubah dengan Keputusan Menteri Agama Nomor
8 Tahun 1984.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang


PencatatanNikah, Talak dan Rujuk;
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Penetapan Berlakunya Undang-undang Nomor
32 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak
dan Rujuk di seluruh Daerah Luar Jawa dan
Madura;
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan;
5. Keputusan Presiden RI Nomor 102 Tahun 2001
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Departemen sebagaimana telah diubah
dengan Keputusan Presiden RI Nomor 45 Taliun
2002;
6. Keputusan Presiden RI Nomor 109 Tahun 2001
tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I
Departemen sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Presiden RI Nomor Nomor 47 Tahun
2002;
7. Keputusan Presiden RI Nomor 49 Tahun 2002
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal
Departemen Agama;

626
8. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990
tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah;
9. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1995
tentang Kutipan Akta Nikah;
10. Keputusan Menteri Agama Nomor 411 Tahun
2000 tentang Penetapan Jumlah Uang Iwadh
dalam Rangkaian Sighat Taklik Talak Bagi Umat
Islam;
11. Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Agama;
12. Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun
2002 tentang Organisasi dan Tats Kerja Kantor
Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota.

Memperhatikan: Hasil keputusan pertemuan Kepala Bidang


Urusan Agama Islam seluruh Indonesia di Jakarta
pada Orientasi Petugas Ibadah Sosial tanggal 29
Juli sampai dengan 2 Agustus 2002.

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI AGAMA TENTANG
PERUBAHAN LAMPIRAN MODELA 2 PERATURAN
MENTERI AGAMA NOMOR 45 TAHUN 1975 YANG
TELAH DIUBAH DENGAN KEPUTUSAN MENTERI
AGAMA NOMOR 8 TAHUN 1984

627
Pasal 1
Mengubah ketentuan Sighat Ta'lik sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Model A2 Peraturan Mentori Agama Nomor 45 Tahun 1975
yang telah diubah dengan Keputusan Menteri Agama Horner 8 Tahun
1984, sehingga berbunyi:
" .......... dan kemudian monyerahkannya kepada Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Cq. Direktorat
Urusan Agama Islam untuk keperluan ibadah sosial.

Pasal 2
(1) Dengan berlakunya keputusan ini, ketentuan penyerahan uang
iwadh sebagaimana tercantum dalam Keputusan Meateri Agama
Horner 8 Tahun 1984, yang semula kepada Badan Kesejahteraan
Masjid (BKM) dinyatakan tidak berlaku lagi dan beralih kepada
Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyeleng-garaan Haji.
(2) Ketentuan lain sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Model A2
Peraturan Menteri Agama Nomor 45 Tahun 1975 tetap berlaku
sebagaimana mestinya.
(3) Teknis pelaksanaan keputusan ini selanjutnya diatur oleh Dirjen
Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Cq. Direktur Urusan
Agama Islam dan Direktur Peradilan Agama.
(4) Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 6 Nopember 2002
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

PROF. DR. H. SAID AGIL HUSIN AL MUNAWAR,MA

628
Tembusan:
1. Ketua Baden Pemeriksa Keuangan;
2. Menteri Keuangan RI;
3. Menteri Sekertaris Negera;
4. Sekertaris Jenderal DPR RI;
5. Sekjen, Para Dirjen, Irjen, Kabadlitbang Agama dan Diktat
Keagamaen sorta Staf AhIi menter di Iingkungen Dep. Agema;
6. Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama seluruh
Indonesia;
7. Kepala Biro Hukum dan Humas Depertemen Agama;
8. Kepala Kantor Departemen Agama Kebupaten/Kota seluruh
Indonoesia

629
DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN
MASYARAKAT ISLAM DAN URUSAN HAJI
DAN
DIREKTUR JENDERAL PROTOKOL DAN KONSULER
NOMOR : 280/07 TAHUN 1099
NOMOR : D/447 TAHUN 1000
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PERKAWINAN WARGA
NEGARA INDONESIA DI LUAR NEGERI

DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM


DAN URUSAN HAJI DAN DIREKTUR JENDERAL PROTOKOL
DAN KONSULER

Menimbang : bahwa dalam rangka Keputusan Bersama Menteri


Agama dan Menteri Luar Negeri Nomor
182/OT/X/1/01 Tahun 1999 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di
Luar Negerri, perlu diatur lebih lanjut hal-hal yang lebih
teknis petunjuk pelaksanaannya dengan menetapkan
Keputusan Bersama Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan urusan Haji dan Direktur
Jenderal Protokol dan Konsuler Departemen Luar
Negeri.

Mengingat : 1. Undang-undang Horner 22 Tahun 1946 tentang


Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk,
1. Undang-undang, Horner 32 Tahun 1954 tentang
Penetapan berlakunya Undang.. undang Horner 22
Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah Talak dan
Rujuk di Luar Jawa dan Madura.
2. Undang-undangHorner 1Tahun1974 tentang
Perkawinan.

630
3. Peraturan Pemerintah Horner 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
4. Keputusan Presiden RI Horner 1 36 Tahun 1999
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi dan Tata kerja Departemen.
5. Keputusan Menteri Agama Horner 18 Tahun 1975
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Agama yang telah diubah dan
disempurnakan terakhir dengan Keputusan Menteri
Agama Horner 75 Tahun 1984.
6. Peraturan Menteri Agama Horner 2 Tahun 1990
tentang Kewajiban Pegawai Pencatatan Nikah.
7. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Luar Negeri Horner 589 Tahun 1999 dan Nomor
182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia
di Luar Negeri.

MEMUTUSKAN:
Pertama : Menetapkan Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan
Warga Negara lndonesia di Luar Negeri sebagaimana
tersebut dalam lampiran Keputusan ini.
Kedua : Petunjuk Pelaksanaan ini merupakan pedoman bagi
warga negara Indonesia yang beragama Islam yang
akan melaksanakan perkawinan di luar wilayah
negara Republik Indonesia
Ketiga : Hal-hal yang belum diatur dalam Keputusan Bersama
ini akan diatur lebih lanjut dalam ketentuan tersendiri.
Keempat : Keputusan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.

631
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 30 Desember 1999
Direktur Jenderal Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Protokol dan Konsuler
dan Urusan Haji

Menteri Agama RI Menteri Luar Negeri RI


Drs. H. Mubarok Rachnjat Ranuwidjaja

632
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 56 ayat (1)
tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan yang
dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga
negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia
dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara tempat perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak
melanggar ketentuan undang-undang.
Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa dalam waktu 1
(satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia,
unit bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor
Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Prinsip pokok
yang terkandung dalam pasal 56 tersebut cukup jelas, yaitu
suatu perkawinan warga negara Indonesia yang dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara tempat perkawinan, itu
dilangsungkan baru dianggap sah apabila pelaksanaan
perkawinan dimaksud tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Bagi warga
Negara Indonesia yang beragama Islam, perkawinan harus
memenuhi ketentuan hukum syarat, artinya selain memenuhi
persyaratan undang-undang, juga harus memenuhi persyaratan
ketentuan agama Islam.
Dalam hal ini, status Perwakilan RI sebagai wilayah
ekstrateritorial RI di suatu negara mengandung pengertian
bahwa Hukum RI, termasuk undang-undang perkawinan,
secara sah berlaku. Dengan demikian, warga negara RI yang
beragama Islam tinggal di luar negeri, dapat melakukan
perkawinan sesuai dengan undang-undang tersebut di
Perwakilan RI, yang urusan administrasinya diselesaikan oleh
Bidang Konsuler.
633
Pemerintah Indonesia dalam hal ini Perwakilan RI di luar
negeri diharuskan mengadakan pengawasan, pendaftaran dan
pencatatan terhadap perkawinan warga negara Indonesia
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
ketentuan agama Islam bagi yang beragama Islam. Untuk itu
disusunlah petunjuk pelaksanaan perkawinan Indonesia di luar
negeri.

B. DASAR HUKUM
1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-
undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk;
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan;
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama;
4. Peraturan Pemerintah Nomor g Tahun 1975 tentang
Petaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan;
5. Peraturan Pemerintah Nomor lOTahun 1983 jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun
1998 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan Organisasi,
dan Tatakerja Departemen sebagaimana telah diubah
dan disempurnakan terakhir dengan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 192 Tahun 1998;
8. Peraturan Menteri. Agama Nomor 2 Tahun 1990 tentang
Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah;
9. Keputusan Menteri Agama Nomor 40 Tahun 1991 tentang
Biaya Nikah dan Rujuk bagi Umat Islam;
10.Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor 16 Tahun
1992 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan
Biaya Nikah dan Rujuk Bagi Umat Islam.

634
C. TUJUAN
1. Tersedianya pedoman kerja bagi petugas/pejabat
pelaksana pencatatan nikah di luar negeri;
2. Tersedianya informasi bagi warga negara RI di luar
negeri yang beragama Islam yang akan
melangsungkan akad nikah;
3. Terlaksananya administrasi pencatatan nikah di luar
negeri sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

D. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup petunjuk pelaksanaan ini meliputi
pelaksanaan dan pencatatan nikah bagi warga negara
Indonesia yang beragama Islam di luar negeri.

E. PENGERTIAN
Dalam petunjuk pelaksanaan ini yang dimaksud dengan:
1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanna sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
2. Perkawinan di luar negeri adalah perkawinan yang
dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga
negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia
dengan warga negara asing yang kedua-duanya
beragama Islam.
3. Mengawasi adalah:
a. Memeriksa dan meneliti calon swami, calon istri,
dan wall nikah tentang halangan perkawinan dan
syarat-syarat yang hams dipenuhi, balk menurut
ketentuan hukum syara' (hukum munakahat) atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Meneliti Surat-Surat yang harus dipenuhi oleh
masing-masing yang bersangkutan;
c. Menghadiri dan menyaksikan upacara akad nikah.
4. Pencatatan adalah pengisian formulir Akta Nikah atau
Buku Pendaftaran Talak, atau Buku Pendaftaran Cerai
635
atau Buku Pendaftaran Rujuk serta
penandatanganannya oleh yang bersangkutan menurut
ketentuan yang berlaku.
5. Perceraian adalah putusnya perkawinan Karena talak
oleh suami atau Karena putusan hakim atas dasar
gugatan istri:
a. Talak adalah putusnya perkawinan Karena ikrar
suami di depan sidang pengadilan atas permohonan
suami;
b. Cerai adalah putusnya perkawinan oleh hakim atas
dasar gugatan istri.
6. Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi mereka
yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi
mereka yang beragama selain Islam.
7. Pendaftaran adalah pendaftaran bukti perkawinan
(nikah, talak, cerai dan rujuk).
8. Penghulu adalah pegawai atau petugas yang ditunjuk
oleh perwakilan RI di luar negeri untuk melaksanakan
tugas menghadiri, mengawasi dan mencatat
pelaksanaan nikah dan rujuk bagi umat Islam di
wilayahnya.

F. PETUNJUK PENGGUNAAN
Dalam juklak ini ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Hal mengawasi nikah dan penerima pemberitahuan
rujuk;
2. Hal pencatatan nikah, talak, cerai dan rujuk.

BAB II
KETENTUAN POKOK

A. UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974


Beberapa ketentuan yang terdapat dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah:
1. Pasal 2 ayat (1):
636
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Pasal 2 ayat (2):
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undanganan yang berlaku.
3. Pasal 20:
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan
melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan
bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam
Pasal 7 out (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12
Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan
perkawinan.
4. Pasal 39 ayat (1):
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
5. Pasal 56 ayat (1):
Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara
dua Orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara
Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana
perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia
tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
6. Pasal 56 ayat (2):
Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di
Wilayah Indonesia, Surat bukti perkawinan mereka harus
didaftarkan di kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal
mereka.

B. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 9 TAHUN 1975


Beberapa ketentuan yang terdapat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah:
1. Pasal 2 ayat (1):
Pencatatan perkawinan dart mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai

637
Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk.
2. Pasal 10 ayat (2):
Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaanya itu.
3. Pasal 10 ayat (3):
Dengan mengindahkan tata Cara perkawinan menurut
masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, perkawinan
dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua
orang saksi.

C. UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1946


Beberapa ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1946 tentang Nikah,Talak dan Rujuk adalah:
1. Pasal 1 ayat (1):
Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya
disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang
diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk
olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam,
selanjutnya, disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada
Pegawai Pencatat Nikah.
2. Pasal 1 ayat (2):
Yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan iv
nerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk hanya pegawai
viii diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang
ditunjuk.

D. UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1954


Undang-undang Nomor 32Tahun 1954 tentang Penetapan
Berlakunya Undang-undang Republik Indonesia tanggal 21
Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan
Madura memutuskan bahwa dengan mencabut
Huwelijksordonnantie Buitengwestan Staatsblad 1932 No. 482
dan semua Peraturan-peraturan (juga dari Pemerintah
Swapraja) tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk untuk umat
638
Islam yang berlainan dan bertentangan dengan Undang-
undang Republik Indonesia tanggal I Nopember 1946 Nomor
22 Tahun 1946, maka ditetapkan sebagai berikut:

Pasal 1
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah,Talak dan Rujuk untuk Seluruh
Daerah Luar Jawa dan Madura tempat kediaman termohon,
kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri,
permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
(4) Dalam Pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar
negeri, maka permohonan diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Jakarta Pusat.
(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah
isteri dan harts bersama isteri dapat diajukan bersama-
sama dengan permohonan coral talak ataupun sesudah
ikrar talak diucapkan.

Pasal 67
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66 di
atas memuat:
(a) Nama, umur dan tempat kediaman pemohon, yaitu
suami dan termohon, yaitu istri.
(b) Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.

Pasal 68
(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majlis
Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
berkas atau Surat permohonan cerai talak didaftarkan di
Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam
sidang tertutup.

639
Pasal 69
Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan
ketentuan pasal 79, pasal 80 ayat (2) dan pasal 83.

Pasal 70
(1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah
pihal tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup
alasan perceraian, maka Pengadilan menetapkan bahwa
permohonan tersebut dikabulkan.
(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1), istri dapat mengajukan banding.
(3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum
tetap, Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar
talak dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya
untuk menghadiri sidang tersebut.
(4) Dalam sidang Itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa
khusul dalam suatu Akta otentik untuk mengucapkan
ikrar talak, yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.
(5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau
patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak
mengirim wakilnya meskipun suami atau wakilnya
dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri
atau wakilnya.
(6) Jika suami dalam tenggang waktu dalam 6 (enam)
bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak,
tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim
wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah
atau patut, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut,
dan perceraian tidak dapat diajukan lagiberdasarkan alasan
yang sama.

Pasal 71
(1) Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam
sidang ikrar talak
(2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan
bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan
dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakanbanding
atau kasasi.

640
Pasal 72
Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal (710 berlaku ketentuan-ketentuan dalam pasal 84 ayat
(1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) sorta pasal 85.
Paragraf 3: Cerai Gugat

Pasal 73
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman penggugat, kecuali apabila
penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat
kediaman bersama tanpa izin tergugat.
(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar
negeri, gugatan perceraian diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

Pasal 74
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah
satu mendapat pidana penjara,maka untuk
memperolehputusan perceraian, sebagai bukti penggugat
cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang
berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang
menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.

Pasal 75
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa
gugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
kdapat menjalankan kewajiban sebagaisuami, makaHakim Int
memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada
dokter.

Pasal 76
(1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan
syiqaq maka untuk mendapatkan putusan perceraian
harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal
dari keluarga tua orang-orang yang dekat dengan
suami istri.
641
(2) Pengadilan selain mendengar keterangan saksi tentang
sifat persengketaan antara suami istri dapat
mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-
masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim.

Pasal 77
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas
permohonan penggugat atau tertgugat atau berdasarkan
pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan
dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal
dalam satu rumah.

Pasal 78
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas
permohonan penggugat, Pengadilan dapat:
a. Menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami;
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
pemeliharaan dan pendidikan anak;
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi
hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Pasal 79
Gugatan perceraian gugur apabila swami atau istri
meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan.

Pasal 80
(I) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis
Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
berkas atau Surat gugatan percerain didaftarkan di
Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam
sidang tertutup.

Pasal 81
(1) Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala
642
akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 82
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian,
Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak.
(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus
datang secara pribadi, kacuali apabila salah satu pihak
bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat
datang menghadap secara pridadi dapat diwakili oleh
kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
(3) Apadila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri,
maka penggugat pada sidang perdamaian tersedut
harus menghadap secara pribadi.
(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha
mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan.

Pasal 83
Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan
gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan
telah oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai.

Pasal 84
(1) Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang
ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30
(tigapuluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekutan hukum
tetap, tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat
Nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman
penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan
perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk
itu.
(2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda
dengan wilayah Pegawai Pencatat Nikah tempat
perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan
putusan sebagaima yang dimaksud dalam ayat (1)
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa
bermaterai dikirim pula kepada Pegawai Pencatat
Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh
643
Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian
pinggir daftar catatan perkawinan.
(3) Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka
satu helai salinan putusan sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada
Pegawai pencatat Nikah tempat didaftarkannya
perkawinan mereka di Indonesia.
(4) Panitera berkewajiban memberikan Aka Cerai sebagai
suatu bukti cerai kepada para pihak selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut
diberitahukan kepada para pihak.

Pasal 85
Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 84, menjadi tanggung jawab Panitera
yang bersangkutan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk,
apabila yamg demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas
suami atau istri atau keduanya.

Pasal 86
(1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah
istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan
bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun
sesudah putusan perceraian memperoleh kekutan
hukum tetap.
(2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan
menunda terlebih dahulu perkara harta bersama
tersebut sampai ada putusan Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap tentang hal itu.
Paragraf 4: Cerai Dengan Alasan Zina

Pasal 87
(1) Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas
alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan
pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi
bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah
alasan tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa
permohonan atau gugatan itu tiada pembuktian sama
644
sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin
lagi diperoleh balk dari pemohon atau penggugat
maupun dari termohon atau tergugat, maka Hakim
karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau
pengugat untuk bersumpah.
(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kekuasaan pula
untuk meneguhkan sanggahannya dengan Cara yang
sama.

Pasal 88
(1) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami, maka
penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan cara lisan.
(2) (Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 87 twat (1) dilakukan oleh istri, maka
penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara
yang berlaku.

E. PEDOMAN DAN PETUNJUK KONSULER RI


Pedoman dan petunjuk konsuler RI antara lain
menyebutkan bahwa:
a. Apabila terjadi perkawinan di atas kapal taut, maka
pencatatannya di perwakilan RI daerah tempat kapal
tersebut berlabuh.
b. Dalam hat diwilayah itu tidak ada perwakilan RI make
dicatat di daerah akreditasi terdekat dart perwakilan RI.

Beberapa ketentuan yang terdapat dalam Petunjuk Konsuler


RI BAB VIII B adalah:
1. Perkawinan diatur oleh masing-masing negara menurut
undangundang dan peraturan setempat. Perkawinan
yang dilaksanakan oleh warga negara RI di luar
negeri menurut undang-undang/ peraturan negara
tersebut dianggap sah oleh Pemerintah Indonesia.
Buat katagori pejabat tertentu Canterslain buat
anggotaABRI/ dan pejabat-pejabat diplomatik/konsuler
Departemen Luar Negeri) masih diperlukan
persetujuan dart Jakarta untuk menikah dengan
Wanda/pria bangsa acing
645
2. Angka 7 berbunyi:
Perkawinan yangdilaksanakan diluar negeri oleh
warganegaraRI yang menganut agama Islam, yang
upacaranya tidak memenuhi hukum Islam walaupun
sah menurut undangundang datum sah menurut syara'.

F. KEPALA PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA


Kepala Perwakilan RI adalah pejabat yang diangkat
dan merupakan wakil pribadi Presiden RI disuatu negara
akreditasi. Dengan demikian wewenang Presiden Rl yang dari
sudut hukuni Islam adalah Ulilamri, dapat didelegasikan
kepada Perwakilan (Duta Besar, Konsul Jenderal, Kuasa
Usaha Tetap, Konsul), sehingga Kepala Perwakilan RI
mempunyai wewenang untuk menikahkan warga negara
Indonesia Dalam hat Kepala Perwakilan sendiri tidak dapat
melaksanakannya secara langsung, dapat melimpahkan
wewenang tersebut kepada seseorang yang memenuhi syarat
dart sudut agama Islam. Walaupun dalam pendapat dan
petunjuk konsuler dinyatakan bahwa Departemen Agama
sebagai pemegang kuasa Presiden untuk menikahkan dan
selanjutnya dalam hal atau situasi tertentu dapat memberikan
kuasa tersebut bila diminta, maka wewenang menikahkan
tersebut telah dilimpahkan secara inklusif tanpa harus dimohon
kepada Kepala Perwakilan Rl.

BAB III
PEJABAT PELAKSANA
Pejabat pelaksana ialah pejabat atau mereka yang
secara langsung atau tidak langsung berperan dalam proses
pelaksanaan dan rujuk serta bertanggung jawab dalam tugas
masing-masing.
Ada dua macam pejabat pelaksana, yaitu pejabat pelaksana
rig dan pejabat pelaksana tidak langsung.
A. PELAKSANA LANGSUNG

646
Pejabat pelaksana langsung ialah mereka yang ikut sorta
secara langsung dalam pelaksanaan nikah dan rujuk. Mereka
terdiri penghulu den pegawai pencatat.
1. Penghulu
a. Syarat penghulu:
1) Beragama Islam;
2) Berumur sekurang-kurangnya 25 tahun, atau sudah
pemah kawin;
3) Menguasai hukum munakahat (hukum perkawinan
Islam);
4) Mengerti peraturan perundang-undangan tentang
perkawinan;
5) Tidak buta huruf.
b. Penunjukan, pemberhentian, serta penetapan
kedudukan dan wilayah.
1) Penunjukan dan pemberhentian penghulu serta
penetapan kedudukan dan wilayah penghulu
dilakukan oleh Kepala Perwakilan RI setempat atas
persetujuan atau kuasa Menteri Agama.
2) Jabatan penghulu dapat dirangkap dengan jabaari
lain pada Perwakilan RI selama pejabat tersebut
memenuhi syarat sebagai penghulu.
b. Tugas dan tanggung jawab mengumumkan kehendak
nikah.
1) Penghulu melaksanakan pengawasan nikah dan
menerima pemberitahuan rujuk
2) Penghulu bertanggung jawab atas keabsahan
nikahh dan rujuk menurut syariat Islam dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pegawai Pencatat
a. Pegawai Pencatat adalah pejabat yang membidangi
mesalah kekonsuleran Perwakiian RI di luar negeri.
b. Pengangkatan Pegawai Pencatat adalah menurut
ketentuan yang berlaku di Perwakilan RI setempat.
c. Tugas dan tanggung jawab Pegawai Pencatat.
1) Mencatat nikah dan rujuk yang dilakukan di bawah
pengawasan penghulu atau tidak di bawah
pengawasan penghulu tetapi telah ada isbar
Pengadilan Agama.
2) Mencatat talak berdasar Surat Keterangan Tentang
647
Terjadinya Talak (SKT3) dari Pengadilan
3) Mencatat cerai setelah menerima putusan cerai
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
dari Pengadilan Agama.
4) Memberikan Kutipan Akta Nikah, Kutipan Buku
Pendaftaran Talak, Kutipan Buku Pendaftaran Cerai
dan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk kepada
rnasing-masing yang bersangkutan.1
5) Bertanggung jawab atas kepastian/kebenaran
pencatatan NTCR tersebut.2

1
Tugas Pengadilan Agama dalam parkara perkawinan dan perceraian
antara lain memerlksa dan menyelesaikan:

1. Izin beristri iebih dari seorang;


2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum
berusia (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua atau wali
atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaaan pendapat;
3. Dispensesi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. Pembatalan kelalaian atas kewajiban suami istri;
7. Perceraian karena talak;
8. Gugatan perceraian;
9. Penyelesaian harta bersama;
10. Penguasaan anak-anak;
2
11. Memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak;
12. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami
kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi
bekas istri;
13. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
14. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. Pencabutan kekuasaan wali;
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadiian dalam
hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum
cukup umur 18 tahun (delapan bolas) tahun yang ditinggal
kedua orang tuannya padahal tidak ada penunjukan wali oleh
orang tuannya;
648
B. PEJABAT PELAKSANA TIDAK LANGSUNG
Pejabat pelaksana tidak langsung ialah mereka yang secara
tidak langsung berperan dalam pelaksanaan nikah dan rujuk.
Mereka terdiri dari pamong desa, camat, dan pejabat yang
berwenang.
1. Pamong Desa
a. Tugas pamong desa adalah memberikan Surat
keterangan:
a) Surat keterangan asal usul;
b) Surat keterangan mengenai orang tua;
c) Surat keterangan untuk kawin;
d) Surat keterangan kematian suami/istri;
e) Surat keterangan tidak mampu;
f) Surat keterangan untuk talak/cerai/rujuk;
b. Pamong desa bertanggung jawab atas kebenaran

19. Pembebanan kewajlban ganti kerugian terhadap wali yang


telah menyebabkan kerugian alas harta benda anak yang ada
di bawah kekuasaannya;
20. Penetapan asal usul seorang anak;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran;
22. Pengesahan isbath nikah dalam rangka:
a. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-
undang No. 1/1974;
b. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian;
c. Hilangnya Akta Perkawinan;
d. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu
syarat perkawinan;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-
undang No. 1/1974.
23. Adhalnya wali
Pengadilan Agama bedanggung jawab alas kebenaran penetapan
dan keadaan keputusannya.
649
keterangan yang dibuatnya, terutama tentang status
perawan, jejaka, janda, duda, kematian, umur, dan
hubungan keluarga yang sangat diperlukan dalam
mendukung kebenaran dan keabsahan pelaksanaan
nikah, talak, cerai, dan rujuk.
2. Camat
a. Tugas camat dalam hal ini adalah memberikan dispensas
bagi pemikahan yang akan dilangsungkan kurang dari 1
hari kerja sejak pengumuman.
b. Bertanggung jawab atas kebenaran dispensasi yang
diberikan.
3. Pejabat yang berwenang
a. Komandan yang ditunjuk untuk memberi izin kawin, talak,
dan cerai bagi anggota ABRI.
b. Pejabat yang ditunjuk untuk memberi izin kawin atau cerai
bagi pejabat diplomatik/konsuler tertentu yang akan kawin
dengan bangsa lain.
c. Pejabat yang ditunjuk untuk memberi izin kawin atau cerai
bagi pegawai negeri sipil.

BAB IV
TATA CARA PERKAWINAN

A. PERSYARATAN
Seorang yang akan melaksanakan perkawinan atau nikah
harus memberitahukan kehendak nikah tersebut secara lisan
atau tertulis kepada Pegawai Pencatat atau kepada Penghulu.
Pemberitahuan tersebut dilakukan oleh calon mempelai, orang
tua, wakilnya dengan membawa Surat-Surat yang diperlukan,
yaitu:
1. Surat persetujuan kedua calon mempelai.
2. Copy akta kelahiran atau Surat kenal lahir calon
650
mempelai.
3. Surat keterangan mengenai orang tua dari Pamong Desa.
4. Surat keterangan untuk kawin dari Pamong Desa.
5. Surat izin kawin (bagi calon mempelai anggota ABRI atau
pejabat tertentu yang kepadanya ditentukan agar minta
izin lebih dahulu dan pejabat yang berweneng
memberikan izin).
6. Surat kutipan buku pendaftaran talak/cerai (jika calon
mempelai seorang janda/duda).
7. Surat keterangan kematian suami istri yang dibuat oleh
pejabat yang berwenang yang mewilayahi tempat tinggal
atau tempat kematian suami/istri (jika calon mempelai
seorang janda/duda karena kematian suami/istri).
8. Surat izin dan dispensasi (bagi calon mempelai yang
belum mencapai umur menurut ketentuan Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 6 ayat (2) sampai
dengan (6) dan pasal 7ayat (2)).
9. Surat dispensai dari Perwakilan RI (bagi perkawinan yang
akan dilangsungkan kurang dan 10 hari kerja sejak
pengumuman).
10. Surat izin poligami dari Pengadilan Agama di Indonesia
(bagi calon suami yang hendak heristri lebih dan
seorang).
11. Surat keterangan tidak mampu dari Pamong Desa (bagi
yang tidak mampu).

B. PROSEDUR
Setelah seorang melakukan kehendak nikah maka pejabat
yang berwenang harus melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Pemeriksaaan Nikah
Pemeriksaan dilakukan terhadap calon suami, calon istri
dan wali nikah secara bersama-sama, tetapi tidak ada
halanganya jika pemeriksaan itu dilakukan sendiri-sendiri.
Bahkan dalam keadaan yang meragukan perlu dilakukan
pemeriksaan sendiri-sendiri. Pemeriksaan dianggap selesai
apabila ketiga pihak selesai diperiksa secara benar.

Apabila pemeriksaan calon suami istri dan wali nikah


terpaksa dilakukan pada hari yang berlainan, maka kecuali
pemeriksaan pada hari pertama, di bawah kolom tanda tengan
651
yang diperiksa ditulis tanggal hari pemeriksaan.

Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut:


a. Pemeriksaan ditulis dalam daftar pemeriksaan (model
NB) rangkap dua.
b. Masing-masing calon suami, calon istri dan wali nikah
membubuhkan tanda tangan pada kolom yang telah
disediakan. Pengisian dalam daftar pemeriksaan nikah
dilakukan oleh Pegawai Pencatat.
c. Hasil pengisian Daftar Pemeriksaan Nikah dibaca, jika
perlu diterjemahkan dalam Bahasa yang dimengerti
oleh calon mempelai.
d. Kedua lembar model NB di atas ditandatangani oleh
yang diperiksa dan yang memeriksa.
e. Hasil pemeriksaan tersebut dimasukkan dalam buku
khusus yang diberi kolom-kolom seperti berikut:

Hart/Tgl. Nomor
No. Ketentuan Ketentuan
Tanggal Nama Calon
Urut Akad Akad Keterangan
Nikah Nikah
Suami Isteri
1 2 3 4 5 6 7

f. Pada ujung model NB sebelah kiri atas diberi nomor


yang sama dengan nomor buku khusus, dan nomor
kode urutan yang bersangkutan.
g. Surat-Surat yang diperlukan dikumpulkan menjadi satu
dengan model NB dan disimpan dalam sebuah map
bersama-sama dalam buku khusus.

652
2. Pengumuman Kehendak Nikah
Kehendak nikah diumumkan oleh Penghulu atas
pemberitahuan yang diterimanya setelah segala persyaratan/
ketentuan dipenuhi, dengan menempelkan Surat pengumuman
(model NC). Pengumuman dipasang di:
a. Kantor Perwakilan Republik Indonesia yang mewilayahi
tempat akan dilangsungkan pemikahan.
b. Kantor Perwakilan Republik Indonesia yang mewilayahi
tempat tinggal masing-masing calon mempelai. Penghulu
boleh meluluskan untuk dilangsungkan akad nikah
sesudah lampau sepuluh hari kerja sejak pengumuman,
kecuali aturan dalam pasal 3 (3) PP Nomor 9 Tahun
1975. Dalam waktu sepuluh hari itu calon suami istri
seyogyanya mendapat nasihat perkawinan dari orang-
orang yang mampu memberi nasihat atau organisasi
yang khusus untuk itu.

3. Penolakan Kehendak Nikah


Apabila dalam pemeriksaan nikah temyata tidak memenuhi
persyaratan balk menurut hukum syara' (hukum munakah)
maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,
maka penghulu harus menolak pelaksanaan pemikahan
dengan cara memberikan Surat penolakan kepada yang
bersangkutan serta alasan-alasan penolakannya menurut
contoh model P3. Satelah menerima penolakan, yang
bersangkutan dapat mengajukan keberatan terhadap
penolakan itu kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Pengadilan Agama memeriksa perkara penolakan dengan
Cara singkat (sumir) dan memberikan ketetapan yang
menguatkan penolakan atau memerintahkan agar pemikahan
dilangsungkan. Apabila Pengadilan Agama dalam
ketetapannya memerintahkan agar pernikahan dilangsungkan,
maka penghulu harus melangsungkan pernikahan dimaksud.
4. Pencegahan Pernikahan
Pemikahan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pemikahan
Pihak-pihak yang dapat mengajukan pencegahan pemikahan
adalah:

653
a. Para keluarga dalam garis keturunan ke atas dan ke
bawah.
b. Saudara dari salah seorang calon mempelai.
c. Wali nikah.
d. Wali.
e. Pengampu (kuratele) dari salah seorang calon
mempelai.
f. Pihak-pihak yang berkepentingan.

Pencegahan pemikahan diajukan ke Pengadilan Agama di


Indonesia dalam hal ini Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Mereka yang melakukan pencegahan perkawinan harus
memberitahukan kepada penghulu yang bersangkutan untuk
disampaikan kepada masing-masing calon mempelai. Setelah
mengetahui adanya usaha pencegahan perkawinan, penghulu
tidak boleh melangsungkan pemikahan sampai ditarik kembali
oleh yang mencegah.
5. Akad Nikah
a. Akad nikah dilangsungkan di bawah pengawasan/di
hadapan penghulu.
b. Tata cara dan upacara akad nikah dilaksanakan sesuai
dengan juklak yang tertuang dalam Surat Edaran Dirjen
Bimas Islam dan Urusan Haji No. D.II/2/Ed/Pw.002/03/
89 tanggal 6 Maret 1989.
c. Setelah akad nikah dilangsungkan, maka nikah itu
dicatat dalam halaman 4 Daftar Pemeriksaan Nikah
(model NB). Kemudian dibaca dihadapan suami, istri,
wali nikah dan saksi-saksi, selanjutnya ditandatangani
oleh masing-masing yang bersangkutan (rangkap dua).
6. Pencatatan Nikah
Pencatatan nikah hanya dapat dilakukan apabila sah
menurut hukum agama Islam (syara') dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dibuktikan dengan:
a. Pengawasan penghulu, atau
b. Isbat Pengadilan Agama.
Jika pencatatan nikah dilakukan oleh Pegawai. Pencatat pada
Perwakilan RI, maka:
a. Pegawai Pencatat mencatat nikah dalam akta nikah
(model NB) rangkap dua.
b. Akta Nikah dibaca bila perlu diterjemahkan ke dalam
654
bahasa yang dimengerti oleh mereka di hadapan yang
berkepentingan dan saksi-saksi, kemudian
ditandatangani oleh suami istri, wali nikah, saksi-saksi
dan Pegawai Pencatat.
c. Pegawai Pencatat membuat Kutip an Akta Nikah
rangkap dua dengan kode dan nomor yang sama.
d. Kutipan. Akta Nikah diberikan kepada suami dan
kepada istri.
e. Nomor di tengah pada Daftar Pemeriksaan Nikah diberi
nomor yang sama dengan nomor Akta Nikah.
f. Pegawai Pencatat berkewajiban menglrim lembar kedua
Akta Nikah yang telah diselesaikan kepada Pengadilan
Agama Jakarta Pusat.
g. Jika mempelai seorang Janda/duda karena talak atau
cerai:
1) Kalau talaklcerainya dicatat di tempat itu juga, maka
pada ruang "Catatan lain-lain" Buku Pendaftaran
Talak/Cerai yang bersangkutan segera ditulis
sebagai berikut: "Suami/istri telah menikah di
............................................ dengan seorang laki-
laki/ pada perempuan nama
........................................ pada tanggal Kutipan Akta
Nikah ................................. Nomor
............................. Tanda Tangan Pegawai Pencatat
.......................................................... Tanggal
…….....
2) Jika talak/cerainya dicatat di tempat lain, maka
segera diberitahukan kepada kantor yang mencatat
talak/cerai dengan menggunakan model NC
rangkap dua, lamber kedua dikirim langsung
kepada kantor yang bersangkutan.
Kantor yang menerima Surat pemberitahuan model
NC segera membuat catatan pada ruang "catatan
lain-lain" dalam Buku Pendaftaran Talak yang
bersangkutan, dan segera mengirim kembali model
NC lembar kedua kepada pegawai pencatat di luar
negeri. Selanjutnya NC lembar kedua tersebut
dikumpulkan bersama daftar pemeriksaan nikah di
atas kutipan Buku Pendaftaran Talak/Cerai yang
bersangkutan.
Jika pencatatan nikah dilakukan oleh catatan sipil
655
negara setempat karena negara tersebut
mewajibkan demikian, maka:
a. Pemikahan dilangsungkan di bawah
pengawasan penghulu kemudian dicatatkan ke
kantor catatan sipil negara setempat;
b. Tata cara pencatatan di kantor catatan sipil
negara setempat sesuai dengan ketentuan
peraturan yangberlaku di negara setempat;
c. Perwakilan RI melakukan konsultasi dengan
instansi yang berwenang di negara setempat;
d. Bukti perkawinan dart kantor catatan sipil
negara setempat didaftarkan kembali dalam
buku pendaftaran di Perwakilan RI.
e. Setelah kembali ke Indonesia, dalam waktu
paling lambat 1 tahun bukti perkawinan tersebut
harus dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan tempat tinggal mereka di Indonesia.
f. Petugas Pencatat Nikah diwajibkan
mengirimkan copy dokumen nikah dari yang
bersangkutan ke KUA Kecamatan tempat
tinggal mempelai perempuan di Indonesia.
7. Pembatalan Pemikahan
Pernikahan dapat dibatalkan apabila setelah berlangsung
pernikahan diketahui adanya larangan menurut hukum syara'
(hukum munakahat) ataupun peraturan perundang-undangan
tentang perkawinan.
Pembatalan pemikahan dilakukan oleh Pengadilan Agama
Indonesia dalam daerah hukum tempat tinggal anal kedua
suami istri atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan
pernikahan sesuai Undang-undangNomor 1 Tahun 1974 pasal
23, yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari
suami atau istri.
b. Suami atau istri.
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan
belum diputuskan.
d. Pejabat yang ditunjuk berdasarkan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 pasal 16 ayat 2.

656
Tata Cara mengajukan permohonan pembatalan pemikahan
sesuai dengan Cara pengajuan gugatan perceraian.
8. Gugatan Pencabutan
Terhadap penolakan kehendak pemikahan, pencegahan
pernikahan, dan pembatalan pernikahan dapat dilakukan
gugatan pencabutan. Gugatan pencabutan tersebut diajukan
kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Prosedur
pencegahan perkawinan, penolakan kehendak nikah, dan
pembatalan pernikahan dapat dilihat pada skema berikut:

C. FORMULIR PENCATATAN
1. Formulir pencatatan yang diperlukan dalam pelaksanan
pencatatan perkawinan di luar negeri dapat dibagi menjadi:
a. Formulir pokok, yaitu formulir yang secara langsung
menjadi tanggung jawab dan diisi oleh Pegawai Pencatat
Nikah/ Penghulu.
Formulir tersebut terdiri dari :
- Model NB : Daftar Pemeriksaan Nikah
- Model N : Akta Nikah

657
- Model NA : Kutipan Akta Nikah
- Model NC : Pengumuman Kehendak Nikah
b. Formulir pelengkap yaitu formulir yang disiapkan
sebelum pelaksanaan pemikahan. Sebagian besar
formulir tersebut pengisiannya dilakukan oleh Kepala
Desa. Bentuk formulir tersebut diatur dalam pasal-pasal
Peraturan Menteri Agama No. 311975, yang terdiri dart :
- Model Nl : Surat keterangan untuk kawin
- Model N6 : Surat Keterangan kematian suami/istri
- Model N2 : Surat keterangan asal usul
- Model N4 : Surat keterangan tentang orang tua
- Model N7 : Surat pemberitahuan kehendak
melangsungkan pemikahan
- Model N8 : Surat pemberitahuan kekurangan
persyaratan pemikahan
- Model N9 : Surat penolakan melangsungkan
pemikahan.
c. Formulir mutasi :
- Model NC : yaitu formulir untuk memberitahukan
adanya perubahan status seseorang kepada Pegawai
Pencatat Nikah/ Pengadilan Agama yang sebelumnya
telah mencatat talak/ cerainya.
- Model NE : yaitu formulir untuk pemberitahuan
poligami kepada Pegawai Pencatat Nikah yang telah
mencatat perkawinan sebelumnya.
2. Pengaturannya :
a. Formulir Pokok :
Formulir model NB
- dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku
stock.
- dijilid dalam satu bundel untuk setiap tahun beserta
Surat-Surat yang berhubungan dengan pemikahan untuk
mempermudah penyimpanan dan pengontrolannya.
- penyimpanannya diurutkan sesuai dengan nomor urut
Aka Nikah.
- merupakan informasi pertama dan cumber utama dalam
soal pemikahan, Karena itu tidak botch ada Surat-Surat
658
yang tercecer Formulir model N merupakan akta dan
dijilid dalam buku @ 50 lembar.
- dberi catatan pada sampulnya, ditandatangani lembar
pertama dan terakhir serta diparaf lembar-lembar lainnya
oleh Pegawai Pencatat.
- dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku
stock
- tersimpan secara tertib dan aman di kantor dan tidak
boleh di bawa ke luar kantor.
- dibuat rangkap dua, lembar (buku) pertama disimpan
oleh Pegawai Pencatat, lembar (buku) kedua dikirim ke
Pengadilan Agama Jakarta Pusat bila satu buku telah
penuh/habis dipergunakan.
Formulir Model NA
- dicatat penerimaan dan penggunaannya dalambuku
stock.
- dipergunakan secara berurutan sesuai dengan nomornya
untuk mempermudah pengontrolan.
- ditulis dengan huruf balok yang rapat dan jelas dengan
menggunakan tinta hitam.
- dibuat rangkap dua, untuk masing-masing suami dan
istri.
- diserahkan kepada masing-masing suami istri dengan
ekspedisi khusus dengan tanda tangan penerimaan.
Catatan :
Ketiga macam formulir (model NB, N dan NA) tidak dibenarkan
adanya coretan, hapusan dan sejenisnya. Bila terjadi
kesalahan, maka pembetulan dilakukan dengan mencoret kata
yang salah, namun yang dicoret harus masih tetap masih
dibaca lalu dibubuhi paraf Pegawai Pencatat. Bila terjadi
kesalahan yang mengakibatkan formulir tidak dipergunakan
lagi, perlu dibuat berita acara.

b. Formulir Pelengkap :
- dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku
stock.
- diawasi penggunaannya untuk tidak dipergunakan oleh
mereka yang tidak beragama Islam.

659
c. Formulir Mutasi :
- dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku
stock.
- segera dilaksanakan pengirimannya bila terjadi
perubahan status.**)
- merupakan salah satu sarana pengawasan dalam
ketertiban pencatatan NTCR.
**) Perubahan status adalah perubahan dari status Nikah (N) menjadi NIA ('r) atau dari
N menjadi Cerai (C) atau dari T menjadi Rujuk (R) atau dari r sum C menjadi N lagi.

BAB V
TATA CARA PERCERAIAN

A. PERSYARATAN
Persyaratan perceraian/talak adalah:
1. Terdapat salah satu alasan dari alasan-alasan sebagai
berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2
(dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan
tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5
(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak
lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit dengan akibat-akibat yang tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus berselisih dan
bertengkar dan tidak ada harapan akan hidup rukun
660
lagi dalam rumah tangga.
2. Dilaksanakan di depan sidang pengadilan.
Perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan
yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 39 ayat (1)).

B. PROSEDUR
Prosedur pengajuan dan proses penyelesaian perceraian
bagi warga negara Indonesia yang bekerja dan/atau tinggal
di luar negeri baik perceraian atas kehendak suami (talak)
atau atas gugatan (cerai), dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundan-undangan yang berlaku.
1. Penggugat di dalam negeri dan tergugat di luar negeri
a. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat kediaman penggugat.
Ketua pengadilan menyampaikan panggilan yang
disertai permohonan tersebut kepada tergugat melalui
Departemen Luar Negeri untuk diteruskan ke
Perwakilan RI setempat. Selanjutnya petugas
Perwakilan RI yang ditunjuk melaporkan kepada
pengadilan yang bersangkutan;
b. Sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung dan
dimasukkannya gugatan perceraian pada kepaniteraan
Pengadilan Agama;
c. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian suami
istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya;
d. Penunjukan kuasa oleh tergugat yang berada di luar
negeri dilakukan dengan Surat kuasa baik kepada
perseoran an atau lembaga bantuan hukum;
e. Surat kuasa notarial dari luar negeri yang ditulis dalam
asing hanya dapat diterima apabila Surat kuasa itu
dilampiri dengan terjemahannya dalam bahasa
Indonsia yang dilegalisasi oleh petugas Perwakilan RI
yang dituniuk melakukan tugas itu dalam wilayah Surat
kuasa itu dibuat;
f. Setiap kali diadakan sidang, penggugat dan tergugat
atau kuasa masing-masing akan dipanggil untuk
661
menghadiri sidang.
g. Jika tergugat mendapatkan suatu kesulitan untuk data
memenuhi panggilan Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat kediaman penggugat, maka
pemeriksaan perkara dapat dilakukan oleh Perwakilan
RI di luar negeri, berdasarkan Surat dart Pengadilan
Agama Jakarta Pusat dan pemeriksaan dapat
dilakukan berdasarkan daftar questioner yang
dikirimkan oleh Pengadilan Agama tersebut.
2. Penggugat di luar negeri dantergugat di dalam negeri:
a. Gugatan perceraian diajukan oleh penggugat atau
kuasanya kepada Perwakilan RI untuk diteruskan ke
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
kediamantergugat;
b. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami-
istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya;
c. Penunjukan kuasa oleh penggugat yang berada di luar
negeri dapat dilakukan dengan Surat kuasa balk
kepada perseorangan atau lembaga bantuan hukum;
d. Surat kuasa notarial dart luar negeri yang ditulis dalam
bahasa asing hanya dapat diterima apabila Surat
kuasa itu dilampiri dengan terjemahannya dalam
bahasa Indonesia yang dilegalisasi oleh petugas
Perwakilan RI yang ditunjuk melakukan tugas itu
dalam wilayah Surat kuasa itu dibuat;
e. Jika penggugat mendapatkan suatu kesulitan untuk
datang memenuhi panggilan Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat kediaman tergugat, maka
pemeriksaan perkara dapat dilakukan oleh Perwakilan
RI di luar negeri, berdasarkan Surat dart Pengadilan
Agama Jakarta Pusat dan pemeriksaan dapat
dilakukan berdasarkan daftar questioner yang
dikirimkan oleh Pengadilan Agama tersebut.
3. Penggugat dan tergugat berada di luar negeri yang
perkawinannya dilakukan di Indonesia:
a. Perceraian dilakukan di Pengadilan Agama yang
daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka
dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama
Jakarta Pusat;
b. Penggugat dan tergugat atau pemohon dan termohon
662
masing-masing dapat menghadap langsung untuk
menghadiri sidang Pengadilan Agama atau kuasanya;
c. Penunjukan kuasa dilakukan dengan Surat kuasa baik
kepada perseorangan atau lembaga bantuan hukum.
d. Jika penggugat dan tergugat berada di luar negeri
mendapatkan suatu kesulitan untuk menyelesaikan
perkara di Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
kediaman tergugat, maka pemeriksaan perkara dapat
dilakukan (di Perwakilan RI di luar negeri, berdasarkan
Surat perminan dari Pengadilan Agama Jakarta Pusat
dan pemerikan dapat dilakukan berdasarkan daftar
questioner ‘yr-Ig dikirimkan oleh Pengadilan Agama
tersebut.
4. Proses Perceraian:
a. Pengadilan Agama yang menerima permohonan
gugatan perceraian melaksanakan sebagaimana
tercantum dalam BAB X Peraturan Menteri Agama No
3 Tahun 1975 dengan ketentuan bahwa yang
dimaksud dengan Pegawai Pencatat Nikah dalam
pasal 28 ayat 6) dan pasal 31 ayat (3) adalah Pegawai
Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat terjadinya
talak atau cerai.
b. Suami istri dengan membawa Surat Keterangan
Tentang Terjadinya Talak (SKT3) atau putusan
Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap/telah dikukuhkan datang ke
Pegawai Pencatat Nikah (P1J) yang mewilayahi
tempat terjadinya talak atau cerai.

BAB VI
TATA CARA RUJUK

A. PERSYARATAN DAN PROSEDUR


1. Pria yang akan merujuk harus datang bersama wanita yang
akan dirujuk ke penghulu yang mewilayahi tempat
tinggalnya engan membawa:

663
a. Surat keterangan untuk merujuk dari Parnong Desa
(model Tra).
b. Kutipan Buku Pendaftaran Talak (model 82)
2. Harus dilakukan pemeriksaan rujuk, yaitu:
a. Apakah swami yang akan merujuk memenuhi syarat
rujuk.
b. Apakah rujuk yang dilakukan masih dalam iddah talak
raj 'i.
c. Apakah Wanda yang akan dirujuk bekas istri pria yang
akan merujuk.
d. Apakah ada persetujuan dari wanita yang akan dirujuk.
3. Mengucapkan ikrar rujuk.
Setelah pemeriksaan dan temyata tidak ada halangan dan nip
nenuhi syarat, pria yang merujuk mengikrarkanrujuk di IaLapan
wanita yang dirujuk, saksi-saksi dan penghulu yang

B. PENCATATAN
Pencatatan rujuk diatur sebagai berikut:
1. Penghulu mencatat rujuk dalam Buku Pendaftaran Rujuk
kemudian membacanya, jika perlu diterjemahkan dalam
bahasa yang dimengerti oleh yang bersangkutan di
hadapan yang merujuk dan yang dirujuk sorta saksi-saksi,
dan selanjutnya ditandatangani oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
2. Dibuat kutipan Buku Pendafataran Rujuk rangkap dua
dengan nomor dan kode yang lama.
3. Kutipan diberikan kepada swami dan kepada istri.
4. Penghulu membuat Surat keterangan tentang terjadinya
rujuk, dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama
yang mengeluarkan Surat keterangan tentang terjadinya
talak/cerai yang bersangkutan.
5. Suami istri dengan membawa kutipan Buku Pendaftaran
Rujuk (model RA) datang ke Pengadilan Agama tempat
terjadinya talak untuk mendapatkan kembali Kutipan Akta
Nikah masing-masing.
6. Pengadilan Agama memberikan Kutipan Akta Nikah yang
bersangkutan dengan menyimpan Kutipan Buku
Pendaftaran Rujuk, setelah terlebih dahulu memberikan
catatan pada ruang yang tersedia pada Kutipan Akta Nikah
664
tersebut.
7. Kalau talak yang dicatat itu juga, maka pada ruang "catatan
lain-lain" Buku Pendaftaran Talak ditulis sebagai berikut:
"Telah dirujuk di ............................... pada tanggal
........................... Kutipan Buku PendaRaran Rujuk No.
................................... Tahun ...................................

Tanda tangan Pegawai Pencatat


..................................................
tanggal
..................................................

8. Kalau talaknya dicatat di tempat lain, segera diberitahukan


rujuk ini kepada kantor yang bersangkutan dengan
menggunakan model Rc rangkap dua, keduanya dikirimkan
ke kantor yang bersangkutan.
9. Penghulu yang menerima model Rc mencatatnya pada
Buku Pendaftaran Talak dan mengirimkan kembali lembar
kedua model Rc ke Pengadilan Agama.
10. Setelah lembar kedua model Rc diterima kembali oleh
Pengadilan Agama lalu dikumpulkan dengan kutipan Buku
Pendaftaran Talak yang bersangkutan.
11. Model Tra dan lain-lain Surat yang diperlukan serta model
Rc lembar kedua yang telah diterima kembali dikumpulkan
menjadi satu dengan kutipan Buku PendaftaranTalak.
Model Rc diletakkan di atas kutipan Buku Pendaftaran
Talak, sedangkan model Tra diletakkan paling atas diberi
nomor yang lama dengan nomor pendaftarannya.
12. Surat-surat di atas disimpan dengan baik dan dipelihara
sesuai dengan nomor urut Buku Pendaftaran Rujuk.
13. Kalau Surat-Surat pemberitahuan tentang rujuk tersebut
telah "Surat keterangan tentang Rujuk tahun
......................... Nomor sampai dengan nomor.............
Jika Pegawai Pencatat yang diberi wewenang mencatatnya
maka :

665
1. Penghulu mencatat rujuk itu dalam model Dilembaran
rangkap dua, kemudian membacanya, jika perlu
diterjemahkan dalam bahasa yang dimengerti oleh dan di
hadapan yang merujuk dan yang dirujuk serta saksi-saksi.
2. Kedua lembar itu ditandatangani oleh yang bersangkutan,
maksisaksi dan Penghulu yang mengawasinya.
3. Surat-Surat yang diperlukan sebagaimana tersebut
dikumpulkan menjadi satu dengan model "DI lembaran"
disimpan dalam sebuah map bersama-sama dengan buku
di atas.
4. Selambat-lambatnya 15 hari sejak rujuk diikrarkan
mocH."131 yang dilampiri Surat-Surat yang diperlukan" dan
bianya disampaikan kepada Pegawai Pencatat.
5. Pegawai Pencatat yang menerima model D1 lembar dari
Penghulu memeriksa dengan teliti, dan mencatat rujuk
te:Hebt dalam Buku Pendaftaran Rujuk.
6. Pihak suami dan dan istri dibuatkan kutipan Buku
Pencatatan Rujuk dengan nomor dan kode yang sama,
untuk disampaikan kepadanya.

C. FORMULIR PENCATATAN
1. Formulir pencatatan yang diperlukan dalam pelaksanaan
pencatatan rujuk di luar negeri dibagi 3 macam:
a. Formulir pokok, yaitu formulir yang secara menjadi
tanggung jawab dan diisi oleh Pegawai Pe calm
Nikah/Penghulu, yaitu:
- model D1 : Buku Pendaftaran Rujuk
- model D2 : Kutipan Buku Pendaftaran/rujuk
b. Formulir pelengkap, yeitu formulir model Tra yang
merupakan kelengkapan dari pelaksanaan rujuk,
disipktm sebelum pelaksanaan rujuk.
c. Formulir mutasi, yaitu formulir model Rc yang
dipergunakan untuk memberitahukan perubahan
seseorang kepada Pegawai Pencatat yang
sebenarnya telah mencatat talaknya.
Pengaturannya:
a. Formulir model R:
- berbentuk buku dan dijilid berisi 25 lamber.
- diberi catatan pada sampulnya, ditandatangani
666
lembai pertama dan terakhir Berta digarap lembar-
lembal lainnya oleh Pegawai Pencatat.
- dicatat penerimaan dan penggunaannya deismbait
stock disimpan secara tertib dan aman di kantor
dan tidak boleh dibawa ke luar kantor.
b. Formulir model RA:
- dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam
buku stock
- dipergunakan secara berurutan sesuai dengan
seri nomomya untuk mempermudah pengontrolan,
ditulis dengan huruf balok yang bagus dan jelas
menggunakan tinta hitam.
- dibuat rangkap dua untuk masing-masing suami
istri.
- diserahkan kepada masing-masing swami istri
dengan mempergunakan ekspedisi khusus
dengan tanda tangan penerimaan.

Catatan:
Formulir (model R dan RA) tidak dibenarkan adanya
kesalahan seperti coretan, hapusan dan sejenisnya. Bila
terjadi kesalahan, maka pembetulan dilakukan dengan
mencoret kata yang salah namun yang dicoret harus
masih dapat dibaca, kemudian dibubuhi tandatangan
Pegawai Pencatat Nikah. Bila terjadi kesalahan yang
menyebabkan formulir tidak dipergunakan lagi, perlu dibuat
Berita Acara.

BAB VII
PENUTUP

Segala sesuatu yang belum diatur dalam petunjuk pelaksanaan


ini akan diatur kemudian. Diharapkan petunjuk pelaksanaan ini
dapat dijadikan pedoman bagi pejabat/petugas di bidang
perkawinan khususnya para penghulu pada Perwakilan RI di
luar negeri.

667
Semoga Allah SWT selalu memberikan taufik dan hidayahNya
sehingga setiap perkawinan bagi warga negara Indonesia yang
beragama Islam di luar negeri dapat dilaksanakan sesuai
dengan undang-undang Perkawinan sorta tidak bertentangan
dengan syara' agama Islam.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal :____________
Direktur Jenderal Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Protokol dan Konsuler
Dan Urusan Haji

MUBAROK RAHMAT RANU WIDJAJA

668
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN
MASYARAKAT ISLAM
NOMOR DJ.II/1142 TAHUN 2013
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PENGISIAN DAN PENULISAN
BLANGKO NIKAH
DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas


pelayanan Kantor Urusan Agama (KUA) kepada
masyarakat di bidang nikah rujuk dan tertib
administrasi pengisian dan penulisan blangko
nikah oleh pegawai pencatat nikah (penghulu),
dipandang perlu menetapkan petunjuk teknis
pengisian dan penulisan blangko nikah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam tentang Petunjuk Teknis
Pengisian dan Penulisan Blangko Nikah.

Mengingat : 1. Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan


Nikah, Talak dan Rujuk (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1946 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 694);
2. Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3019);
3. Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan;

669
4. Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2010
tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan
Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang
Pedoman Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara;
5. Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011
tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian
Agama;
6. Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian
Negara Berta Susunan Organisasi, Tugas
dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
7. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun
2007 tentang Pencatatan Nikah;
8. Peraturan Menteri Agama Nomor 117 Tahun
2007 tentang Pedoman Penilaian Kinerja
Unit Pelayanan Masyarakat di Lingkungan
Departemen Agama;
9. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun
2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Agama;
10. Peraturan Menteri Agama Nomor 517 Tahun
2001 tentang Penataan Organisasi Kantor
Urusan Agama Kecamatan;
11. Keputusan Menteri Agama Nomor 13 Tahun
2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Instansi Vertikal Kementerian Agama;
12. Keputusan Menteri Agama Nomor 99 Tahun
2013 tentang Penetapan Blangko Daftar
Pemeriksaan Nikah, Akta Nikah, Buku Nikah,
Duplikat Buku Nikah, Buku Pencatatan
Rujuk, dan Kutipan Buku Pencatatan Rujuk.
670
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PENGISIAN DAN
PENULISAN BLANGKO NIKAH
KESATU : Menetapkan Petunjuk Teknis Pengisian dan
Penulisan Blangko Nikah sebagaimana
tercantum dalam lampiran Keputusan ini yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Keputusan ini.
KEDUA : Petunjuk Teknis sebagaimana dimaksud dalam
diktum KESATU merupakan panduan bagi
pegawai pencatat nikah (penghulu) dalam
melaksanakan pengisian dan penulisan blangko
nikah di Kantor Urusan Agama (KUA).
KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Nopember 2013
DIREKTUR JENDERAL
BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM,

Prof. Dr. H. Abdul Jamil, MA


NIP. 19704141982031003

671
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN
MASYARAKAT ISLAM
NOMOR DJ.II/ 1142 TAHUN 2013
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PENGISIAN
DAN PENULISAN BLANGKO NIKAH

BAB I
PENDAHULUAN

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


Pasal 2 menyatakan:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Disini jelas bahwa titik berat sahnya suatu perkawinan
adalah pada sahnya perkawinan itu menurut ketentuan
hukum Agama. Disamping itu ketentuan administrasi
mengharusan perkawinan yang sah dicatat.

Setiap Warga Negara Indonesia yang beragama Islam


pernikahannya dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat
Nikah, pejabat tersebut berkewajiban mengawasi dan
menyaksikan serta melakukan perncatatan. Pencatatan ini
sangat penting untuk mendapatkan kepastian hukum bagi yang
bersangkutan untuk melaksanakan ketentuan pasal 32 ayat (1)
Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang
pencatatan nikah, telah ditetapkan Keputusan Menteri Agama
Nomor 99 Tahun 2013 tentang Penetapan blangko daftar
pemeriksaan nikah, akta nikah, buku nikah dan duplikat buku
nikah.
Dalam suatu pencatatan, sekecil apapun kesalahan
hendaknya dapat dihindari, khususnya akta nikah dan kutipan
akta nikah. Apabila terjadi kesalahan dalam pencatatan akta,
akan menimbulkan dampak antara lain otentitas data
dipertanyaan sehingga kebenaran data diragukan. Untuk
menjaga hal-hal tersebut diatas, maka disusunlah tata cara
pengisian blangko ini, untuk dapat dipedomani khususnya oleh
para pelaksana administrasi, penghulu, dan pejabat terkait.
672
Perlu kutipan beberapa pasal dari Peraturan Menteri Agama
Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah antara lain:
Penjelasan PMA 11 Tahun 2007
a. Pasal 33
(2) Pengisian blangko-blangko yang digunakan dalam
pendaftaran pemeriksaan dan pencatatan peristiwa nikah,
cerai/talak dan rujuk ditulis dengan huruf balok, dan
menggunakan tinta hitam;
(3) Penulisan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat
dilakukan dengan menggunakan mesin ketik atau
computer.

b. Pasal 34
(1) Perbaikan penulisan dilakukan dengan mencoret kata yang
salah dengan tidak menghilangkan tulisan salah tersebut,
kemudian menulis kembali perbaikannya dengan dibubuhi
paraf oleh PPN dan diberi stempel KUA;
(2) Perubahan yang menyangkut biodata suami, istri ataupun
wali harus berdasarkan kepada Keputusan Pengadilan
pada wilayah yang bersangkutan.
Dari Pasal ini diharapkan agar penulisan baru dilakukan
setelah diteliti dengan cermat, sehingga terhindar dari
kesalahan. Apabila ada kesalahan jangan sekali-kali kesalahan
itu ditutup dengan tipp ex misalnya, tetapi harus dicoret dua
garis pada bagian yang salah dan bagian yang salah itu harus
tetap dapat dibaca, lalu ditulis pembetulannya pada bagian
kertas yang masih tersedia, kemudian Penghulu memberrian
paraf pada tiap bagian yang dibetulkan tersebut.

BAB II
TATA CARA PENGISIAN FORMULIR

1. Daftar Pemeriksanaan Nikah (Model NB)


a. Di bawah tulisan daftar pemeriksaan nikah ada nomor
yang harus diisi yaitu nomor dari daftar pemeriksaan
nikah. Penulisan nomor tersebut ditulis secara urut,
yaitu nomor urut pemeriksaan dalam tahun yang
bersangkutan, kode desa/kelurahan tempat tinggal
calon mempelai wanita/tempat dilangsungkan akad
nikah, bulan dilaksanakan pemeriksaan, dan tahun
673
pemeriksaan. Contoh Nomor : 417/1/ 2013 Penjelasan :
417 adalah nomor urut pemeriksaan tahun itu; 1 adalah
kode desa/kelurahan; 2013 adalah tahun pemeriksaan ;
ditulis lengkap dan tidak disingkat.
b. Hari, tanggal, bulan dan tahun pemeriksaan serta
kecamatan dan Kabupaten/Kota, penulisannya adalah
dengan menggunakan huruf, contoh hari senin tanggal
lima belas bulan januari tahun dua ribu tiga belas
bertempat di KUA Kecamatan ................
Kabupaten/Kota …………................ Provinsi
...........................
c. Kolom hari, tanggal, dan waktu pelaksanaan akad nikah,
penulisannya dengan menggunakan angka seperti
petunjuk pada huruf a. Sedangkan tempat dengan
menggunakan huruf.
Contoh :
Selasa 1 Agustus 2013 M
09.00
Jalan Melati Putih nomor 2 G Kelurahan Kemanggisan
Jakarta Barat

d. Kolom CALON SUAMI


1) Butir 1 Nama ditulis lengkap tidak disingkat, sesuai
dengan surat-sSurat keterangan dari kepala
desa/lurah dan dicocokkan dengan akta kelahiran
atau KTP. Ditulis mulai pada awal titik dan sesudah
huruf terakhir nama, dibuat garis lurus sampai akhir
titik.
Contoh : Muhammad alias Mamad ……………….
Bagi yang ada perubahan nama, harus dilengkapi
dengan nama aslinya.
Contoh : Ahmad Khair alias Wijanarko …………….
Poin 2, 3, 4, 6 dan 8 (tempat dan tanggal lahir, NIK,
kewarganegaraan, agama, pekerjaan dan alamat
tempat tinggal) diisi sesuai dengan keterangan dari
kepala desa/lurah.
2) Butir 5 (agama) diisi sesuai dengan keterangan dari
Kepala Desa/Kelurahan dan atau Surat
674
keterangan/pernyataan dari lembaga pemerintah
atau keagamaan;
3) Butir 7 (pendidikan terakhir) diisi sesuai dengan
keterangan yang bersangkutan.
4) Butir 9 (orang tua/ayah kandung) Nama ditulis
lengkap tidak disingkat, sesuai dengan Surat-Surat
keterangan dari kepala desa/lurah dan dicocokkan
dengan KTP. Ditulis mulai pada awal titik dan
sesudah huruf terakhir nama, dibuat garis lurus
sampai akhir titik.
Contoh : Mamad alias Mahmud………………….
H uruf a, b, c, d, e, f, dan g (tempat dan tanggal
lahir, NIK, kewarganegaraan, agama, pekerjaan
dan alamat tempat tinggal) diisi sesuai dengan
keterangan dari kepala desa/lurah.
5) Butir 10 (orang tua/ibu kandung) Nama ditulis
lengkap tidak disingkat, sesuai dengan Surat-Surat
keterangan dari kepala desa/lurah dan dicocokkan
dengan KTP. Ditulis mulai pada awal titiK dan
sesudah huruf terakhir nama, dibuat garis lurus
sampai akhir titik.
Contoh : Solehah ……………………………………
Huruf a, b, c, d, e, f, dan g (tempat dan tanggal
lahir, NIK, Kewarganegaraan, agama, pekerjaan
dan alamat tempat tinggal) diisi sesuai dengan
keterangan dari kepala desa/lurah.
6) Butir 11 (status perkawinan) apabila keterangan
dari kepala desa/lurah status yang bersangkutan
perjaka maka dilampirkan Surat pernyataan
bermaterai 6000, selanjutnya kolom duda dan
kolom beristri di garis silang.
Jika berstatus duda, maka dituliskan nama, tempat
tinggal bekas istri dan bukti perceraian berdasarkan
Surat putusan Pengadilan Agama/Surat Kematian,
nomor dan tanggal untuk bekas istri ke I, II, dan III.

675
Jika duda lebih dari tiga Kali maka bekas istri ke IV
dan seterusnya ditulis dalam lembar terpisah.
7) Butir 12 (jika beristri) maKa dituliskan nama istri,
Nomor Akta nikah, dan tanggal akta nikah baik
untuk istri I, II, dan III, serta menuliskan Surat izin
Pengadilan Agama Kabupaten/Kota, nomor dan
tanggal. Untuk istri ke III dan IV ditulis pada lembar
terpisah. Jika memiliki istri yang keempat maka
datanya ditulis dalam lembar terpisah.
8) Butir 13, diisi dengan melingkari poin I, II, III, dan IV
sesuai dengan jumlah istri.
9) Butir 14, hubungan nasab, radla'ah atau
mushaharah (semenda) antara calon istri dengan :
> Dia sendiri ditulis ADA / TIDAK
> bekas istri I, II, III ditulis ADA / TIDAK dan ISTRI
seterusnya lembar sendiri ditulis ADA / TIDAK
> istri/istri-istri ke I, II, III, ditulis ADA / TIDAK dan
istri Ke IV pada lembar tersendiri ditulis ADA /
TIDAK.
10) Butir 15, persetujuan istri/istri-istri dicoret salah satu
ada atau tidak ada dengan satu garis dan dibuat
tanggal persetujuan atau tidak.
11) Butir 16 jiKa calon suami anggota TNI atau
Kepolisian diisi selengkapnya berdasarkan Surat
izin pejabat yang berwenang dan jiKa bukan
anggota TNI atau kepolisian kolom ditutup dengan
garis silang.
12) Butir 17, Jika yang bersangkutan WNA (calon suami
WNA) diisi selengkapnya nama kedutaan yang
memberi izin, nomor dan tanggal Surat dan jika
bukan perkawinan campuran maka Kolom ini
ditutup dengan garis silang.
13) Butir 18, jika calon suami belum mencapai umur 19
tahun diisi selengkapnya berdasarkan izin
Pengadilan Agama Kabupaten/Kota, nomor dan

676
tanggal Surat izin. Apabila umurnya sudah lebih
dari 19 tahun maka kolom ini ditutup dengan garis
silang.
14) Butir 19, jika calon suami belum mencapai umur 21
tahun. Apabila izin diberikan oleh orang tua, kolom
a diisi nama orang tua kolom b, digaris memanjang,
kolom c diisi tanggal Surat. Apabila izin diberikan
oleh selain orang tua, kolom a diisi nama atau
Pengadilan Agama yang memberi izin, kolom b
hubungan keluarga, dan kolom c, diisi nomor dan
atau tanggal Surat. Apabila sudah mencapai umur
21 tahun, kolom ini ditutup dengan garis silang.

e. Kolom CALON ISTRI


Cara pengisian kolom calon istri sama dengan Cara
pengisian kolom calon suami yaitu berdasarkan Surat
keterangan dari kepala desa/lurah yang dicocokkan dengan
akta kelahiran atau KTP. Dìtulis mulai pada awal titik dan
sesudah huruf terakhir nama, dibuat garis lurus sampai
akhir titik, seperti :
1) Butir 1, nama, contoh-contoh
Ratu Siti Maimunah ……………………………………..
Maisarah
alias Elisa -

2) Butir 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 tempat tinggal dan tanggal lahir,


Nomor Induk Kependudukan, Kewarganegaraan,
agama, pekerjaan, pendidikan terakhir dan alamat
tempat tinggal, cukup jelas.
3) Butir 9 (orang tua/ayah kandung) Marna ditulis lengkap
tidak disingkat, sesuai dengan Surat-Surat keterangan
dari kepala desa/lurah dan dicocokkan dengan KTP.
Ditulis mulai pada awal titik dan sesudah huruf terakhir
nama, dibuat garis lurus sampai akhir titik.
Contoh : Mamad alias Mahmud
…………………………………
677
Huruf a, b, c, d, e, f, dan g (nama, tempat dan tanggal
lahir, NIK, kewarganegaraan, agama, pekerjaan dan
alamat tempat tinggal) diisi sesuai dengan keterangan
dari kepala desa/lurah.
4) Butir 10 (orang tua/ibu kandung) Marna ditulis lengkap
tidak disingkat, sesuai dengan Surat-Surat keterangan
dari kepala desa/lurah dan dicocokkan dengan KTP.
Ditulis mulai pada awal titik dan sesudah huruf terakhir
nama, dibuat garis lurus sampai akhir titik.
Contoh : Solehah …………………………………….
Huruf a, b, c, d, e, f, dan g (nama, tempat dan tanggal
lahir, NIK, kewarganegaraan, agama, pekerjaan dan
alamat tempat tinggal) diisi sesuai dengan keterangan
dari kepala desa/lurah.
5) Butir 11, status sebelum nikah, jika perawan maka
semua kolom janda digaris silang.
Jika janda, angka 1), 2) dan 3) huruf a) dan b) (nama
bekas suami, tempat tinggal beKas suami dan Surat
bukti perceraian dari Pengadilan Agama atau Surat
Kematian dari kelurahan) diisi sesuai dengan
wawancara dan Surat keterangan kepala desa/lurah
lengkap berdasarkan akte cerai atau Surat kematian.
6) Butir 12, nama calon suami, cukup jelas.
7) Butir 13, hubungan nasab, cukup jelas.
8) Butir 14, Calon istri anggota TNI/Polri, cuKup jelas.
9) Butir 15, yang bersangkutan WNA, cukup jelas.
10) Butir 16, belum mencapai umur 16 tahun, cukup jelas.
11) Butir 17, belum mencapai umur 21 tahun, cukup jelas.

f. Kolom WALI NIKAH


1) Butir 1 , status wall, diisi nasab atau hakim.
2) Butir 2, hubungan wali/nasab, diisi contoh : ayah atau
kakek
3) Jika walinya bukan ayah, apa sebabnya. Contoh :
Kakek sebab ayah telah meninggal dunia.

678
4) Jika wali hakim, apa sebabnya. Contoh : hakim sebab
beda agama.
5) Butir 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9, bagi wali nasab diisi lengkap.
6) Bagi wali haKim butir 3 ditulis lengKap tidak disingkat
dan sesudah huruf terakhir nama, dibuat garis lurus
sampai akhir titik. Sedangkan butir 4 sampai dengan 9
tidak perlu diisi.

g. Kolom WAKIL WALI NIKAH


Kolom ini dibuat garis silang apabila wali nikahnya nasab
atau hakim, jika wali nikah berwakil maka butir 1, 2, 3, 4, 5,
6, 7, 8, dan 9 (nama, tempat dan tanggal lahir, NIK,
kerwarganegaraan, agama, pekerjaan, alamat tinggal,
tanggal surat kuasa, dan Pejabat KUA yang mengesahkan)
diisi berdasarkan data surat taukil atau KTP yang
bersangkutan.

h. Kolom MASKAWIN
1) Jenis maskawin berupa apa dan berapa ditulis jelas dan
lengkap dengan jumlahnya. Contoh: Kalung emas
sepuluh gram dan seperangkat perlengkapan shalat.
2) Tunai atau dihutang, cukup jelas.

i. Kolom PERJANJIAN PERKAWINAN


Jika ada ditulis ada, dan foto kopinya dilampirkan
selengkapnya dan jika tidak ada perjanjian, ditulis tidak
ada.

j. Kolom PPN/Penghulu/Pembantu Penghulu yang


memeriksa, cukup jelas;

k. Kolom Tanda tangan


Sebelum basil pemeriksaan ditandatangani masing-masing
yang bersangkutan, terlebih dahulu
PPN/Penghulu/Pembantu. Penghulu yang memeriksa
membaca sekali lagi di depan para pihak apakah pengisian
Daftar Pemeriksaan Nikah sudah tidak ada kekurangan.
Untuk penandatangan pemeriksaan penghulu adalah pada
679
kolom PPN.

l. Kolom Catatan
Digunakan untuk mencatat perubahan status berdasarkan
putusan/ penetapan Pengadilan Agama dan catatan yang
dianggap perlu.

2. Akta NiKah (Model N)


a. Pada dasarnya pengisian akta nikah, model N.
merupakan pemindahan dari daftar pemeriksaan nikah,
Model NB. oleh Karena itu pengisiannya sebagaimana
penjelasan pada pengisian formulir daftar pemeriksaan
nikah.
b. Nomor Akta Nikah adalah : nomor urut dalam tahun.
Nomor urut dalam bulan, bulan pencatatan (dengan
angka Romawi) dan tahun pencatatan. Contoh Nomor :
417/17/VIII/ 2013.
Penjelasan : 417 adalah nomor urut pada tahun itu, 15
adalah nomor urut pada bulan itu, VIII adalah bulan
Agustus, bulan pencatatan, 2013 adalah tabun
pencatatan, ditulis lengkap.
c. Pada halaman 2, penulisan tanggal dan tahun masehi
diikuti dengan penulisan tanggal dan tahun hijriyah.
d. Pengisian kolom suami dan kolom istri sama dengan
pengisian kolom calon suami dan kolom calon istri pada
daftar pemeriksaan nikah (model NB).
e. Pada kolom status perkawinan diisi nama istri terdahulu
ditulis nama lengkap dan tempat tinggal serta diisi
nomor putusan Pengadilan Agama.
f. Pada data suami nomor 18 dan istri nomor 16, jika
belum mencapai umur 19 tahun bagi suami dan kurang
16 tahun bagi istri, izin Pengadilan Negeri yang
dimaksud adalah izin Pengadilan Agama
Kabupaten/Kota yang bersangkutan (kolom agar diisi
dengan Pengadilan Agama).
g. Kolom wali nikah pengisiannya sama dengan daftar
pemeriKsaan nikah (model NB).
h. Kolom mas kawin diisi jenis dan jumlahnya, kolom diisi
dengan tunai atau hutang.
i. Kolom perjanjian perkawinan bila ada diisi lengkap
sesuai fakta Surat perjanjian, jika tidak ada digaris
680
silang.
j. Kolom taklik talak diisi ya atau tidak dimulai pada awal
titik dan sesudah huruf terakhir, digaris lurus sampai
akhir titik.
k. Kolom wakil suami diisi lengkap sesuai dengan Surat
kuasa, jika suami tidak berwakil, maka kolom wakil
suami digaris silang.
l. Kolom saKsi-saksi diisi sesuai dengan Kartu Identitas
Penduduk yang bersangkutan.
m. Kolom yang menghadiri akad nikah ditulis nama
PPN/Penghulu/P3N yang menghadiri akad nikah dan
menyebutkan jabatan PPN/Penghulu/P3N.
n. Kolom tempat akad nikah ditulis lengkap.
o. Kolom pencatatan nikah berdasarkan putusan
pengadilan ditulis nama Pengadilan Agama yang
mengeluarkan, nomor, serta tanggal Keputusan.
p. Kolom tanda tangan, ditandatangani oleh masing-
masing pihak, untuk kolom PPN ditandatangani oleh
PPN/Penghulu/P3N yang menghadiri aKad nikah.
q. Setiap AKta NiKah ditandatangani oleh PPN/Kepala
KUA di bawah Kolom tanda tangan PPN/Penghulu/P3N.
r. Sebelum dilangsungkan akad nikah, aKta niKah sudah
ditulis dan setelah akad nikah masing-masing pihak
menandatangani akta tersebut.
s. Jika wali nikah bertaukil bil kitabah maka ditulis pada
kolom catatan paling bawah adalah "Wali bertaukil bil
kitabah" .

3. Buku Nikah (Model NA)


a. Buku nikah adalah kutipan dari akta nikah, sehingga
pengisiannya berdasarkan data dari aKta niKah
(model N).
b. Buku nikah yang barn menggunakan dua bahasa,
yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
c. Kolom Kecamatan diisi nama kecamatan tempat akad
nikah, District diisi Kawasan tempat aKad niKah di luar
negeri.
d. Kolom Kabupaten/ Rota, Regency/Municipality diisi
nama kabupaten kota yang mewilayahi
681
kecamatan/kawasan tempat akad nikah dilangsungkan
di Indonesia atau di luar negeri.
e. Kolom Provinsi, Province diisi nama provinsi tempat
akad nikah dilangsungkan di Indonesia atau di luar
negeri.
f. Kolom Perwakilan RI//ndonesian Embassy|consulate
general diisi negara tempat akad nikah dilangsungkan
di luar negeri. Bila akad nikah dilangsungkan di
Indonesia kolom perwakilan RI tidaK diisi.
g. Kolom Foto suami ditempel sebelah Kanan dan foto
istri ditempel sebelah Kiri dengan ukuran masing-
masing 2 x 3, selanjutnya distempel.
h. Kolom Pasphoto suami/Husband Photograph dan
pasphoto istri/Wife Photograph ditempel photo suami
dan istri berwarna, dengan latar (back ground) warna
biru, distempel dinas KUA atau Perwakilan RI.
i. Kolom Nomor/ Number yaitu nomor akta nikah, Contoh
215/09/HI/2005.
j. Kolom Hari/Day, Tanggal, bulan,
tahun/Date,Month,Year masehi dan
Bertepatan/Coincides with hijriah diisi data
dilangsungkan akad nikah.
Contoh : Selasa
1 Agustus 2013 M
23 Ramadhan l434 H

k. Kolom Narna/Full name, Bin/ Son of, Tempat dan


tanggal lahir/Place and of birth, kewarganegaraan/
Nationality, Agama/Religion, Pekerjaan/ Occupation,
Alamat/Address diisi data suami dan data istri Berta
data wali persis sama dengan data yang dicatat pada
Model N.
l. Kolom Nomor/Number yaitu nomor akta nikah istri
dikosongkan saja.
m. Kolom Mas kawin berupa/With the dowry diisi jenis
mas kawin dan jumlah yang jelas.
682
n. Di kolom kutipan akta nikah ditulis nama kota
kabupaten/kotamadya/Kota tempat perwakilan RI di
Luar Negeri, tanggal, bulan dan tahun penerbitan
kutipan, selanjutnya nama terang dan NIP Kepala
KUA/PPN yang menandatanganinya.
Contoh :
Malang 1 Agustus 2013
Pegawai Pencatat Nikah
Officer of Marriage Registration
(Tanda tangan)
(Stempel)
Drs. H. MADARI
NIP. 197211151998031002
o. Kolom sighat taklik diisi nama suami, apabila Suami
mengucapkan/ membaca/menyetujui sekaligus
ditandatangani.
p. Buku Nikah harus ditulis bagus dan rapi ditulis dengan
tinta hitam huruf balok menggunakan tuns tangan atau
dicetak dengan komputer.
q. Lembar Catatan Status Perkawinan diisi dengan
catatan putusan pengadilan atau legalisasi pejabat
Kementerian Agama pusat.
r. Buku Nikah dibuat rangkap 2 (dua) dengan warna
yang berbeda, yang berwama hijau tua untuk istri dan
yang berwarna coklat muda untuk suami.

4. Duplikat Kutipan Akta Mikah (Model DM)


a. Pada dasarnya pengisian duplikat kutipan akta nikah
(model DN) sama dengan penulisan buku nikah
(Model NA), oleh karena itu pengisiannya sebagai
penjelasan pada pengisian buku nikah (Model NA);
b. Nomor Duplikat Kutipan Akta Nikah adalah nomor
yang tertera pada akta nikah yang menjelaskan :
683
nomor urut dalam tahun. Nomor urut dalam bulan,
bulan pencatatan (dengan angka Romawi) dan tahun
pencatatan. Contoh Nomor : 115/07/VIII/ 2013
c. Penjelasan : 115 adalah nomor urut pada tahun itu, 07
adalah nomor urut pada bulan itu, VIII adalah bulan
Agustus, bulan pencatatan, 2013 adalah tahun
pencatatan, ditulis lengkap.
Di kaki kutipan ditulis nama kota kabupaten /
kotamadya / Kota Kantor Perwakilan RI di Luar Negeri,
tanggal, bulan dan tahun penerbitan duplikat kutipan
akta nikah, selanjutnya nama terang dan NIP Kepala
KUA/PPN yang menandatanganinya.
Contoh :

Pontianak 1 Agustus 2013


Pegawai Pencatat Nikah
Officer of Marriage Registration
(Tanda tangan)
(Stempel)
Drs. H. ABDUL RASYID
NIP. 197211151998031002

d. Kolom sighah taklik diisi, apabila Suami


mengucapkan/membaca/menyetujui.
e. Duplikat Kutipan Akta Nikah harus ditulis bagus dan
rapi, ditulis dengan tinta hitam huruf balok. Dapat
menggunakan tulis tangan atau menggunakan
komputer.
f. Lembar Catatan Status Perkawinan diisi
dengan catatan putusan pengadilan atau
legalisasi pejabat Kementerian Agama pusat.
g. Duplikat Kutipan Akta Nikah terdapat rangkap 2
684
(dua) dengan warna berbeda yakni warna hijau
tua untuk istri dan coklat muda untuk suami,
duplikat ini dikeluarkan berdasarkan
permintaan yang berkepentingan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Nopember 2013
DIREKTORAT JENDERAL
BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM,

Prof. Dr. Abdul Jamil, MA


NIP. 195704141982031003

685
686
687
688
689
690
691
692
693
694
695
696
697
698
699
700
701
702
703
704
705
706
707
708
709
710
711
712
713
714
715
Jakarta, Juli 2015

Nomor : Dt. II.I/1/HM.01/2075/2015


Lampiran :
Hal : Penetapan Angka Kredit (PAK)

Kepada Yth.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi se Indonesia

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan


Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005
tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka
Kreditnya dan Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 20 Tahun
2005 dan Nomor 14A Tahun 2005 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka
Kreditnya, kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Mengoptimalkan tugas dan fungsi tim penilai pada


masing-masing jenjang di wilayah Saudara dalam
melakukan pemantauan dan pembinaan kepada
penghulu terkait proses penetapan angka kredit
sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan yang
berlaku.

716
2. Bagi wilayah yang tidak terdapat Tim Penilai, agar
segera membentuk Tim Penilai Angka Kredit
Penghulu sesuai dengan kewenangan pada masing-
masing jenjang.

3. Tugas Pokok Tim Penilai dalam Penetapan Angka


Kredit Penghulu adalah sebagai berikut:
a. Penghulu Pertama yaitu: Golongan III/a s.d III/c
menjadi tugas pokok Tim Penilai pada Kantor
Kementerian Agama Kabupaten/Kota
b. Penghulu Muda yaitu: Golongan III/c s.d IV/a
menjadi tugas pokok Tim Penilai pada Kantor
Kementerian Agama Provinsi.
c. Penghulu Madya yaitu: Golongan IV/a s.d IV/c
menjadi tugas pokok Tim Penilai pada Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Agama.

4. Agar Saudara memerintahkan para penghulu yang


sudah memenuhi syarat kenaikan pangkat untuk
segera mengajukan kenaikan pangkat.

5. Dalam rangka pengendalian dan tertib administrasi,


agar Saudara melakukan inventarisasi data penghulu
yang mengajukan usul penetapan angka
kredit/sudah ditetapkan angka kredit sebagaimana
form terlampir dan menyampaikannya kepada Dirjen

717
Bimbingan Masyarakat Islam paling lambat tanggal
10 September 2015 melalui email
majalahpenghulu@yahoo.com atau fax ke nomor
021 3920245.

Demikian, atas perhatian Saudara kami


ucapkan terima kasih.

Wassalam,
An. Direktur Jenderal
Direktur Urusan Agama
Islam dan Pembinaan
Syari’ah
ttd

Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum


NIP. 195704081986031002

Tembusan:
Yth. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

718
NOMOR – NOMOR TELEPON PENTING
DILINGKUNGAN KEMENTRIAN AGAMA

KANTOR PUSAT KEMENTRIAN AGAMA :


1. Protokol Telp. (021) 3811779 Pes.207
2. Dokterumum Klinik Telp. (021) 3811779 Pes.304
3. Receptionis Telp. (021) 3811779 Pes.356
4. Unit Dharma Wanita Telp. (021) 3811779 Pes.336
5. Satpam ( Jl. Pejambon ) Telp. (021) 3811779 Pes.214
6. Operation Room Telp. (021) 3811779 Pes.382
7. Lapangan Tenis Telp. (021) 3811779 Pes.306
8. Kopda Telp. (021) 3811779 Pes.335
9. Ruangan Komandan Satpam Telp. (021) 3811779 Pes.364
10. Ruangan Sidang Dharma Wanita Telp. (021) 3811779 Pes.379
11. Ruangan Sidang Setjen Telp. (021) 3811779 Pes.385
12. Gedung Sasana Amal Bhakti Lt.1 Telp. (021) 3811779 Pes.303
13. Gedung Sasana Amal Bhakti Lt.2 Telp. (021) 3811779 Pes.307
14. Bank Bni 1946 Telp. (021) 3811779 Pes.272
15. Bank Mandiri Telp. (021) 3811779 Pes.560
16. Bank Syariah Mandiri Telp. (021) 3811779 Pes.570
DILUAR KANTOR PUSAT KEMENTRIAN AGAMA :
1. Kampus Diklat Peg. Kemenag (Ciputat) Telp. (021) 7401939
2. Wisma Ypi (Bogor) Telp. (0251) 240683-240686
3. Wisma Tugu (Puncak Bogor) Telp. (0251) 254776
4. Asrama Haji Banda Aceh Telp. (0651) 22412
Fax. (0651) 227157
5. Asrama Haji Polonia Medan Telp. (061) 8471686
Fax. (061) 8468005
6. Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Telp. (021) 8197479
Fax. (021) 856402
7. Asrama Haji Bekasi Telp. (021) 88960948-88960946
8. Asrama Haji Sukolilo Surabaya Telp. (031) 8283860
Fax. (031) 8263860
9. Asrama Haji Ujung Pandang Makasar Telp. (0411) 873812
Fax. (0411) 206075
10. Asrama Haji Balikpapan Telp. (0541) 36144
Fax. (0541) 206075
11. Asrama Haji Donuhudan Surabaya Telp. (0271) 782244
Fax. (0271) 782243
12. Asrama Haji Batam Telp. (0761) 26053

719
13. Asrama Haji Banjarmasin Telp. (0511) 705150
Fax. (0511) 56633
14. Terminal Haji 1-A Telp. (021) 5505436
15. Posko Haji Telp. (021) 5505477
16. Posko Terpadu Telp. (021) 5505294
17. Wisma Haji Indonesia Jeddah Telp. (001 9662) 6836263 – 6825633
18. Daker Mekkah Wisma Haji Telp. (001 9662) 5565127 – 5570266
(001 9662) 5588024
(001 9662) 5588074 (Siskohat)
Fax. (001 9662) 5565994
19. Daker Madinah Wisma Haji Telp. (001 9664) 8346700 – 8346702
(001 9664) 8346694 (Sentral)
(001 9664) 8380136 (Siskohat)
(001 9664) 834668 (Med. Cent)
NOMOR TELEPON PENTING LAINNYA :
MITRA KEMENTRIAN AGAMA
1. Posko Garuda Telp. (021) 8095678 - 8093156
(021) 8092772 – 8090217
Fax. (021) 8090748
2. Posko Saudi Air Line Telp. (021) 8356201 – 8353930
(021) 5507917 – 5507921
Fax. (021) 8317380 – 8356223
3. Airport Soekarno Hatta Telp. (021) 8093156 – 5501221
(021) 5507950 – 5505179
(021) 5505307 – 9 (Informasi)

ORGANISASI LEMBAGA KEAGAMAAN


1. MUI Jl. Taman Wijaya Kusumah (M. Istiqlal), Jakarta Pusat Telp. 3455471 – 3455472
2. PGI Jl. Salemba Raya No.10, Jakarta Pusat Telp. 3150451
3. KWI Jl. Cut Mutia 102, Jakarta Pusat Telp. 31925757
4. PHDI Jl. Angrek Neli Murni Blok A No.3, Jakarta Pusat Telp. 5330414 – 5485181
5. WALUBI Jl. Abdul Muis No.26, Jakarta Pusat Telp. 3518801
Fax. 3518803
6. MATAKIN Komp Royal Sunter Blok F.23, Jakarta Utara Telp. 6509941 - 6503684
Fax. 65302778

720
CATATAN

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

_____________________________________

721

Anda mungkin juga menyukai