MENINGITIS BAKTERIAL
Oleh :
Intan Syahirah binti Abdul Rauap 1802611009
Jessica Intaniaputri SP 1802611010
Mathew Giyan Prasasta 1802611016
Pembimbing :
Dr. dr. IGN Made Suwarba, Sp.A(K)
1.1 Pendahuluan
Meningitis bakterial (MB) adalah inflamasi meningen, terutama arakhnoid dan
piamater, yang terjadi karena invasi bakteri ke dalam ruang subaraknoid. Pada MB,
terjadi rekrutmen leukosit ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Biasanya proses
inflamasi tidak terbatas hanya di meningen, tapi juga mengenai parenkim otak
(meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis), bahkan bisa menyebar ke medula spinalis.
Kerusakan neuron, terutama pada struktur hipokampus, diduga sebagai penyebab
potensial defisit neuropsikologik persisten pada pasien yang sembuh dari meningitis
bakterial.1 Kasus MB terdistribusi di seluruh belahan bumi. Di negara dengan empat
musim, MB lebih banyak terjadi di musim dingin dan awal musim semi. MB lebih
banyak terjadi pada pria. Insiden MB adalah 2-6/100.000 per tahun dengan puncak
kejadian pada kelompok bayi, remaja, dan lansia. Tingkat insiden tahunan (per 100.000)
MB sesuai patogennya adalah sebagai berikut: Streptococcus pneumonia, Neisseria
meningitidis, Streptococcus, Listeria monocytogenes, dan Haemophilus influenza.2
[Type here] 2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.4 Etiologi
Pada individu dewasa imunokompeten, S. pneumonia dan N. meningitidis adalah
patogen utama penyebab MB, karena kedua bakteri tersebut memiliki kemampuan
kolonisasi nasofaring dan menembus sawar darah otak (SDO). Basil gram negatif
seperti Escherichia coli, Klebsiella spp., Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, dan Pseudomonas spp. biasanya merupakan penyebab MB nosokomial,
yang lebih mudah terjadi pada pasien kraniotomi, kateterisasi ventrikel internal ataupun
[Type here] 6
eksternal, dan trauma kepala.1,2 Penyebab MB berdasarkan usia dan faktor risiko dapat
dilihat pada tabel 2.1.8
[Type here] 7
Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh darah
kecil yang mensuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Lapisan ini
melekat erat dengan jaringan otak dan mengikuti girus dari otak. Ruangan di
antara arakhnoid dan piameter disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang
ruangan ini berisi sel radang. Di sini mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke
sumsum tulang belakang.5
2.6 Patofisiologi
Bakteri mencapai SSP baik oleh penyebaran hematogen atau dengan ekstensi
langsung dari situs yang berdekatan. Pada neonatus, patogen diperoleh dari sekresi
genital ibu yang tidak steril. Pada bayi dan anak-anak, banyak organisme yang
menyebabkan meningitis mengkoloni saluran pernapasan bagian atas. Inokulasi
langsung bakteri ke dalam SSP dapat dihasilkan dari trauma, cacat tengkorak dengan
kebocoran CSS, cacat dura konvesional seperti sinus dermal atau meningomyelokel,
atau ekstensi dari fokus parameningeal supuratif. Infeksi juga dapat terjadi melalui
perluasan langsung dari struktur yang terinfeksi melalui vena diploica, erosi fokus
osteomyelitis, atau secara iatrogenik (pasca ventriculoperitoneal shunt atau prosedur
bedah otak lainnya).2,9 Meningitis bakterial merupakan infeksi SSP, terutama
menyerang anak usia <2 tahun, dengan puncak angka kejadian pada usia 6-18 bulan,
biasanya diawali dengan infeksi pada saluran napas atau pada kasus infeksi telinga..10
Meningitis diawali dengan penyebaran bakteri dari pencetus lalu menyebar melalui
pembuluh darah dan menyebabkan bakteremia. Setelah bakteremia, patogen menembus
penghalang darah-otak untuk memasuki ruang subarakhnoid.10
[Type here] 8
Peradangan intens yang ditimbulkan oleh produk-produk bakteri, seperti
lipopolisakarida gram-negatif atau peptidoglikan gram-positif, bertahan setelah bakteri
dihancurkan oleh respon inang dan terapi antibiotik. Zat-zat ini menginduksi produksi
mediator inflamasi yang berbeda oleh astrosit SSP dan sel ependimal, glial, dan
endotel.
[Type here] 9
Mediator inflamasi termasuk tumor necrosis factor-a; interleukin (IL)-1, IL-6, IL-
8, dan IL-10; makrofag yang diinduksi protein 1 dan 2; dan mediator lainnya termasuk
nitrit oksida, matriks metalloproteinase-2, dan prostaglandin. Masuknya granulosit
berikutnya dan mengubah permeabilitas penghalang darah-otak menghasilkan
pelepasan produk proteolitik dan oksigen radikal beracun. Edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial berkontribusi pada kerusakan saraf dan kematian.
Kematian neuronal diyakini disebabkan oleh apoptosis melalui jalur yang bergantung
pada caspase dan independen.9
Pembuluh darah meningeal yang kecil mengalami hiperemi; dalam waktu yang
sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang
subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan
limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk
terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin,
sedangkan di lapisaan dalam terdapat makrofag. Proses radang selain pada arteri juga
terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat menyebabkan trombosis, infark otak,
edema otak, dan degenerasi neuron-neuron. Trombosis serta organisasi eksudat
perineural yang fibrinopurulen menyebabkan kelainan kranial. Pada meningitis yang
disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan meningitis
yang disebabkan oleh bakteri.2,9
2.7 Diagnosis
Meningitis bakterial akut memiliki trias klinis, yaitu demam, nyeri kepala hebat,
dan kaku kuduk; tidak jarang disertai kejang umum dan gangguan kesadaran. Tanda
Brudzinski dan Kernig juga dapat ditemukan serta memiliki signifikansi klinis yang
sama dengan kaku kuduk, namun sulit ditemukan secara konsisten.
Meningitis pneumokokal sering didahului oleh infeksi paru, telinga, sinus, atau
katup jantung. Etiologi H. influenzae biasanya terjadi setelah infeksi telinga dan saluran
napas atas pada anak-anak.9 Tanda-tanda serebral fokal pada stadium awal meningitis
paling sering disebabkan oleh pneumokokus dan H. influenza. Meningitis dengan
etiologi H. influenza paling sering menyebabkan kejang. Lesi serebal fokal persisten
atau kejang yang sulit dikontrol biasanya terjadi pada minggu kedua infeksi meningen
dan disebabkan oleh vaskulitis infeksius, saat terjadi sumbatan vena serebral superfisial
yang berujung pada infark jaringan otak. Abnormalitas saraf kranial sering terjadi pada
meningitis pneumokokal, karena invasi eksudat purulen yang merusak saraf yang
[Type here] 10
melalui ruang subaraknoid.2,9
Pada anamnesis, dilakukan pendekatan basic seven fundamental four, dengan
menanyakan keluhan utama, riwayat penyakit terdahulu, yang dalam meningitis
bakterial terdapat tiga gejala utama, yaitu demam, nyeri kepala hebat, dan kaku kuduk,
serta terkadang disertai dengan kejang. Tanyakan kepada pasien maupun keluarga
pasien bagaimana dan kapan jika terjadi gejala tersebut, kualitas, kuantitas, faktor-
faktor modifikasi, serta keluhan penyerta seperti muntah, riwayat makan minum,
riwayat BAB BAK sebelumnya, riwayat trauma, riwayat penyakit kronis dan
pengobatan sebelumnya.2,9
Diagnosis meningitis bakterial ditegakkan melalui analisis cairan serebrospinal,
kultur darah, pewarnaan cairan serebrospinal, dan biakan cairan serebrospinal. Pungsi
lumbal dilakukan dengan cara menusukkan jarum ke dalam kanalis spinalis di daerah
lumbal (tulang punggung bagian bawah) dan dikerjakan pada setiap kecurigaan
meningitis dan/atau ensefalitis. Pada pemeriksaan darah, meningitis bakterial disertai
dengan peningkatan leukosit dan penanda inflamasi, dan kadang disertai hipokalsemia,
hiponatremia, serta gangguan fungsi ginjal dengan asidosis metabolik. Pencitraan otak
harus dilakukan secepatnya untuk mengeksklusi lesi massa, hidrosefalus, atau edema
serebri yang merupakan kontraindikasi relatif pungsi lumbal. Jika pencitraan tidak
dapat dilakukan, pungsi lumbal harus dihindari pada pasien dengan gangguan
kesadaran, keadaan immunocompromised (AIDS, terapi imunosupresan, pasca
transplantasi), riwayat penyakit sistem saraf pusat (lesi massa, stroke, infeksi fokal),
defisit neurologik fokal, bangkitan awitan baru, atau papil edema yang memperlihatkan
tanda-tanda ancaman herniasi. Cairan serebrospinal biasanya keruh, tergantung dari
kadar leukosit, bakteri, dan protein. Pewarnaan gram cairan serebrospinal memberi
hasil meningokokus positif pada sekitar 50% pasien dengan meningitis meningokokal
akut. Kultur darah dapat membantu, namun tak selalu bisa diandalkan. Pemeriksaan
polymerase chain reaction (PCR) bersifat sensitif terhadap Streptococcus pneumoniae
dan Neisseria meningitidis.2,9
Salah satu diagnosis banding meningitis bakterial lainnya adalah ensefalitis, yang
dapat disebabkan oleh virus (Herpes simplex, Herpes zoster, CMV, Influenza) maupun
bakteri (Staphylococcus, Streptococcus, E. coli). Gejala infeksi akut pada ensefalitis
meliputi panas, hiperpireksia, dan sakit kepala, dengan gejala TIK meningkat seperti
muntah, nyeri kepala, penurunan kesadaran, kejang umum/fokal, paralisis, dan ataksia,
sedangkan gejala infeksi akut pada meningitis berupa panas, terus mengantuk/letargi,
anoreksia, rewel, episode apnea, dan pada meningitis dengan etiologi Meningococcus
biasanya disertai gejala petekie dan herpes labialis. Pada meningitis terdapat moaning
[Type here] 12
cry (tangis merintih), ubun-ubun besar menonjol dan tegang, paresis/paralisis,
strabismus, serta susah bernapas sebagai gejala TIK yang meningkat.12
2.9 Tatalaksana
MB adalah kegawatdaruratan medik. Secara umum, tatalaksana MB dapat
dilihat pada gambar 2.1. Pemilihan antibiotik yang tepat adalah langkah yang krusial,
karena harus bersifat bakterisidal pada organisme yang dicurigai dan dapat masuk ke
CSS dengan jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik diawali secara empiris karena
terapi harus segera dimulai sambil menunggu hasil tes diagnostik dan nantinya dapat
diubah setelah ada temuan laboratorik, yaitu pengecatan Gram, biakan kuman, dan tes
resistensi.1,13 Pada suatu studi, didapatkan hasil jika pemberian antibiotik ditunda
lebih dari 3 jam sejak pasien masuk RS, maka mortalitas akan meningkat secara
bermakna.13,14
Pilihan antibiotik empirik pada pasien MB harus berdasarkan epidemiologi lokal,
usia pasien, dan adanya penyakit yang mendasari atau faktor risiko penyerta, dengan
lama pengobatan 14-21 hari atau 7 hari bebas demam. Antibiotik harus segera
diberikan bila ada syok sepsis. Jika terjadi syok sepsis, pasien harus diterapi dengan
cairan dan mungkin memerlukan dukungan obat inotropik. Jika terjadi peningkatan
tekanan intrakranial, pertimbangkan pemberian manitol 20%, dengan indikasi
didapatkan penurunan kesadaran, dengan dosis 0.5-1 gr/kg BB/kali setiap 8 jam.9,13–15
Untuk umur 1-3 bulan, diberikan ampicilin sebanyak 200-400 mg/kgbb/hari
secara intravena dibagi dalam 4 dosis dan cefotaxime sebanyak 200 mg/kgbb/hari
secara intravena dibagi dalam 2-3 dosis, atau ceftriaxone sebanyak 100 mg/kgbb/hari
secara intravena dibagi dalam 2 dosis. Untuk umur >3 bulan, diberikan cefotaxim
sebanyak 200 mg/kgbb/hari secara intravena dibagi dalam 3-4 dosis, atau ceftriaxon
sebanyak 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 2 dosis, atau ampicilin sebanyak
200-400 mg/kgbb/hari secara intravena dibagi dalam 4 dosis dan kloramfenikol
(apabila tidak ada kontraindikasi) 100 mg/kgbb/hari secara intravena dibagi dalam 4
dosis.13
Antibiotik empirik bisa diganti dengan antibiotik yang lebih spesifik jika hasil
kultur sudah ada. Panduan pemberian antiobiotik spesifik bisa dilihat di tabel 2.3.
Durasi terapi antibiotik bergantung pada bakteri penyebab, keparahan penyakit, dan
jenis antibiotik yang digunakan. Meningitis meningokokal epidemik dapat diterapi
[Type here] 13
secara efektif dengan satu dosis ceftriaxone intramuskuler sesuai dengan rekomendasi
WHO. Namun WHO merekomendasikan terapi antibiotik paling sedikit selama 5 hari
pada situasi nonepidemik atau jika terjadi koma atau kejang yang bertahan selama
lebih dari 24 jam. Otoritas kesehatan di banyak negara maju menyarankan terapi
antibiotik minimal 7 hari untuk meningitis meningokokal dan haemofilus; 10-14 hari
untuk terapi antibiotik pada meningitis pneumokokal.14
[Type here] 14
edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak,
vaskulitis, dan cedera neuron.16 Dexamethasone diberikan hanya selama 2 hari
pertama pemberian antibiotik dengan dosis 0,6 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis.13
Sejumlah pakar berpendapat pemberian dexamethasone harus dihentikan jika hasil
kultur CSS menunjukkan penyebab MB bukan H. influenzae atau S. pneumoniae,
namun kelompok pakar lain merekomendasikan pemberian dexamethasone apapun
etiologi MB yang ditemukan. Pemberian dexamethasone pada pasien MB dengan
sepsis berat atau syok sepsis dapat meningkatkan kesintasan.14 Pada penelitian lain,
pemberian dexamethasone tidak menurunkan angka mortalitas dan morbiditas secara
bermakna.15,17
Pasien MB harus dipantau ketat. Kejadian kejang sering muncul dan terapi
antikonvulsan sering kali diperlukan. Jika kesadaran pasien menurun setelah kejang,
maka pasien terindikasi untuk pemeriksaan elektroensefalografi. Kondisi pasien harus
dipertahankan dalam status normoglikemia dan normovolemia. Proton pump inhibitor
perlu diberikan untuk mencegah stress-induced gastritis. Jika kondisi klinis pasien
belum membaik dalam 48 jam setelah terapi antibiotik dimulai, maka analisis CSS
ulang harus dilakukan.3,14,16
Pada pasien MB dengan hidrosefalus akut, prosedur ventrikulostomi dapat
dipertimbangkan. Pada pasien dengan pembesaran sistem ventrikel ringan tanpa
perburukan klinis, resolusi spontan dapat terjadi, sehingga prosedur invasif dapat
ditunda.16
[Type here] 15
S. aureus sensitif metisilin Nafsilin atau oksasilin Vankomisin
S. aureus resisten metisilin Vankomisin Linezolid; daptomisin
S. epidermidis Vankomisin
2.10 Prognosis
MB yang tidak diobati biasanya berakhir fatal. Meningitis pneumokokal memiliki
tingkat fatalitas tertinggi, yaitu 19-37%.1 Pada sekitar 30% pasien yang bertahan hidup,
terdapat sekuel defisit neurologik seperti gangguan pendengaran dan defisit neurologik
fokal lain. Individu yang memiliki faktor risiko prognosis buruk adalah pasien
immunocompromised, usia di atas 65 tahun, gangguan kesadaran, jumlah leukosit CSS
yang rendah, dan infeksi pneumokokus.18 Gangguan fungsi kognitif terjadi pada sekitar
27% pasien yang mampu bertahan dari MB.16
Terapi kortikosteroid sistemik digunakan secara luas untuk mengobati gangguan
autoimun atau inflamasi. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang (terutama dalam
dosis tinggi) berhubungan dengan efek samping serius pada berbagai sistem fisiologik
tubuh, termasuk system imun.Efek samping tersebut sebenarnya dapat diminimalisasi
dengan cara memantau kondisi pasien secara seksama dan menggunakan jenis
kortikosteroid dengan potensi dan dosis serendah mungkin.19
Kortikosteroid menekan fungsi imun normal dengan menurunkan ekspresi limfosit
T, monosit, makrofag, eosinofil, mastosit, dan sel endotelial. Supresi sitokin bukan
satu- satunya efek kortikosteroid pada respons imun dan antiinflamasi normal.
Kortikosteroid juga dipercaya mengeksitasi produksi sitokin antiinflamasi TGF-ß
(Transforming Growth Factor-β). Kortikosteroid juga mengganggu ekspresi molekul
pengikat pada antigen-presenting cell serta menginduksi apoptosis pada limfosit T
matur dan monosit.19,20
Pengguna kortikosteroid jangka panjang rentan terhadap infeksi karena
kortikosteroid dapat menghambat kerja sistem imun normal dan menekan proses
[Type here] 16
inflamasi. Gejala infeksi pada pengguna kortikosteroid jangka panjang dapat
menunjukkan gejala yang tidak khas karena adanya inhibisi pelepasan sitokin dan
reduksi respons inflamasi. Untuk mencegah infeksi oportunistik pada pengguna
kortikosteroid jangka panjang, beberapa pakar menganjurkan memulai terapi
kortikosteroid dengan dosis dan potensi serendah mungkin tanpa mengabaikan
efikasi.21 Sebelum memulai terapi kortiko steroid jangka panjang, pemeriksaan darah
lengkap harus dilakukan sebagai data dasar. Selanjutnya, pemeriksaan darah lengkap
harus dilakukan setiap 3 bulan (selama pasien masih dalam terapi kortikosteroid) untuk
melihat adanya kemungkinan infeksi yang belum bermanifestasi spesifik. Setiap pasien
juga harus memiliki termometer pribadi di rumah dan harus segera ke dokter bila suhu
meningkat di atas 38°C. American College of Rheumatology merekomendasikan
vaksinasi pneumokokus dan influenza pada pasien tersebut.22,23
2.11 Komplikasi
• Penyakit-penyakit yang dapat terjadi akibat dari komplikasi meningitis antara lain:
• Trombosis vena serebral, yang menyebabkan kejang, koma, atau kelumpuhan.
• Efusi atau abses subdural, yaitu penumpukan cairan di ruangan subdural karena
adanya infeksi oleh kuman.
• Hidrosefalus, yaitu pertumbuhan lingkaran kepala yang cepat dan abnormal yang
disebabkan oleh penyumbatan cairan serebrospinalis.
• Ensefalitis, yaitu radang pada otak.
• Abses otak, terjadi karena radang yang berisi pus atau nanah di otak.
• Arteritis pembuluh darah otak, yang dapat mengakibatkan infark otak karena
adanya infeksi pada pembuluh darah yang mengakibatkan kematian pada
jaringan otak.
• Kehilangan pendengaran, dapat terjadi karena radang langsung saluran
pendengaran.
• Gangguan perkembangan mental dan inteligensi karena adanya retardasi
mental yang mengakibatkan perkembangan mental dan kecerdasan
anak terganggu.4
[Type here] 17
BAB III
LAPORAN KASUS
[Type here] 18
(15/11/2018). Makan dan minum pasien dikatakan seperti biasa dan BAK serta BAB
normal.
Riwayat Pengobatan
Riwayat pengobatan untuk keluhan saat ini tidak ada.
Riwayat Persalinan
Pasien lahir spontan ditolong oleh bidan, dengan berat lahir 2800 gram, panjang
badan 52 cm dan lingkar kepala dikatakan tidak ingat. Saat lahir pasien dikatakan
segera menangis.
Riwayat Imunisasi
Orang tua pasien mengatakan pasien sudah dilakukan pemberian imunisasi
lengkap di puskesmas, yaitu imunisasi BCG 1 kali, Polio 4 kali, Hepatitis B 4 kali, DPT
4 kali, Campak 1 kali, JE 1 kali.
Riwayat Nutrisi
- ASI : ekslusif 2 bulan, durasi 2 bulan, frekuensi on demand
- Susu formula : diberikan sejak usia 2 bulan, frekuensi on demand
- Bubur susu : diberikan sejak usia 6 bulan,frekuensi 3-4 kali sehari
[Type here] 19
- Bubur tim : diberikan sejak usia 10 bulan,frekuensi 3-4 kali sehari.
- Makanan dewasa: diberikan sejak usia 12 bulan dengan frekuensi 3-4
kali sehari.
Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat maupun makanan disangkal oleh orangtua pasien. Pasien
belum pernah dilakukan tes alergi sebelumnya. Riwayat operasi disangkal. Riwayat
transfusi disangkal.
Status Generalis
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva pucat, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor, edema -/-, mata
cowong -/-
[Type here] 20
THT
Telinga : sekret -/-
Hidung : sekret -/-
Tenggorok : faring hiperemi (-), T1/T1 hiperemi (-)
Lidah : sianosis (-)
Bibir : sianosis (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-), kaku kuduk (+)
Thoraks : simetris (+)
Jantung :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Auskultasi : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Paru-paru :
Inspeksi : bentuk normal, simetris, retraksi (-) subcostal
Palpasi : gerakan dada simetris, vokal fremitus N/N
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : bronkial +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Aksila : pembesaran kelenjar (-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-) hipogastrium dan
hipokondrium kanan,massa (-)
Perkusi : timpani, ascites (-)
Kulit : peteki (-), sianosis (-), ikterus (-), turgor normal
Genitalia : perempuan, M1P1
Inguinal : pembesaran kelenjar (-)
Ekstremitas. : hangat + + , edema - - , CRT 2 detik
+ + - -
Status Generalis
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva pucat, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor, edema -/-, mata
cowong -/-
THT
Telinga : sekret -/-
Hidung : sekret -/-
Tenggorok : faring hiperemi (-), T1/T1 hiperemi (-)
Lidah : sianosis (-)
Bibir : sianosis (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-), kaku kuduk (+)
Thoraks : simetris (+)
Jantung :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Auskultasi : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Paru-paru :
Inspeksi : bentuk normal, simetris, retraksi (-) subcostal
Palpasi : gerakan dada simetris, vokal fremitus N/N
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : bronkial +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Aksila : pembesaran kelenjar (-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-) hipogastrium dan
hipokondrium kanan,massa (-)
[Type here] 22
Perkusi : timpani, ascites (-)
Kulit : peteki (-) di wajah, badan, tangan, kaki, sianosis (-), ikterus (-), turgor
normal
Genitalia : Perempuan, M1P1
Inguinal : pembesaran kelenjar (-)
Ekstremitas : hangat + +, edema - - , CRT 2 detik
+ + - -
Status Antropometri
Berat badan : 17 kg
Berat badan ideal : 17,5 kg
Tinggi badan : 107 cm
BB/U : Z -2-0 SD
TB/U : Z-2-0 SD
BB/TB : Z-1-0 SD
Status Gizi (Waterlow): 97 % (gizi baik)
Tropik N N
N N
- -
Refleks patologis - -
+++ +++
Refleks fisiologis
+++ +++
[Type here] 23
3.5 Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (19/11/2018)
[Type here] 24
Darah Lengkap (23/11/2018)
[Type here] 25
Analisa LCS (19/11/2018)
60 % - 80 % dari
Glukosa 106
Glukosa Darah
[Type here] 26
Hasil kultur LCS:
Organisme : Staphylococcus Hominis ssp. hominis
3.7 Penatalaksanaan
19/11/2018
- MRS di cempaka 3 infeksi
- Kebutuhan cairan 1350 ml/hari ~ IVFD D5 ½ NS 20 tetes makro/menit
- Puasa sementara
- Dexametason 3 mg tiap 8 jam (IV)
- Ceftriaxon 50 mg/kg/kali ~ 850 mg tiap 12 jam (IV)
- Fenitoin 5 mg/kg/hari~ 43 mg tiap 12 jam (IV)
23/11/2018
- Terapi lanjut
- Fenitoin tapp off
3mg/Kg/BB
25mg/Kg/BB tiap 12 jam intravena
- Tgl 24/11/2018 stop Fenitoin
3.8 Prognosis
- Ad Vitam : Bonam
- Ad Functionam : Dubia ad bonam
- Ad Sanationam : Dubia ad bonam
[Type here] 27
BAB IV
PEMBAHASAN
Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, parasit dan jamur dan bermacam
patogen. Selain itu dapat pula disebabkan oleh kondisi selain proses infeksi seperti kelainan
proses inflamasi, sebagai contoh seperti systemic lupus erythematosis, penyakit Kawasaki,
dan proses keganasan contohnya leukemic meningitis.
Meningitis bakteri khas ditandai oleh adanya sindrom infeksi dan pada pemeriksaan
CSS (cairan serebrospinal) dibuktikan adanya bakteri dan atau terjadi gambaran analisis yang
abnormal secara bermakna. Kebanyakan meningitis bakteri pada anak-anak rentang usia 2
bulan-12 tahun disebabkan oleh H.influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau Nesseria
meningitidis. Pada anak-anak berusia lebih dari 12 tahun, meningitis biasanya terjadi akibat
infeksi S. pneumoniae, atau N.meningitidis. Adanya infeksi bakteri pada meningen, terbukti
dari pemeriksaan kultur CSS, PCR, pengecatan gram atau tes antigen. Pasien dalam kasus ini
adalah seorang anak perempuan berusia 5 tahun yang berdasarkan teori terjadi meningitis
bakterial pada anak dalam rentang usia 2 bulan-12 tahun. Pasien datang ke RSUP Sanglah
dengan keluhan kejang dan riwayat demam, batuk pilek dan muntah satu kali sebelumnya
sehingga gejala pada pasien ini sesuai dengan epidemiologi gejala yang umum terjadi pada
anak dengan meningitis.
Di negara maju dengan program vaksinasi yang berhasil, insidensi H. influenzae dan N.
meningitides menunjukkan penurunan. Sebuah penelitian di Malaysia menyebutkan
mikroorganisme utama penyebab meningitis bakterial antara lain Haemophilus influenzae
tipe b, Streptococcus pneumoniae dan E.coli. Pada pasien ini ditemukan adanya tanda dan
gejala meningitis yaitu kejang, sakit kepala dan demam tanda-tanda gejala awal yang sering,
serta perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik. Pasien juga dikatakan muntah
satu kali dan dari hasil pemeriksaan fisik adanya meningeal sign berupa kaku kuduk dan
Kerniq sign.
Anak-anak dengan meningitis bakterial umumnya memiliki kadar glukosa CSS yang
rendah karena proses glikolisis oleh sel darah putih atau oleh patogen lain serta karena
gangguan transpor glukosa. Kadar glukosa CSS berhubungan dengan kadar glukosa serum.
Kadar normal rasio glukosa CSS sekitar 60% dari kadar glukosa serum.2 Diketahuinya
adanya hubungan antara kadar glukosa CSS dan serum, dapat membantu klinisi
memperkirakan konsentrasi glukosa CSS untuk mengevaluasi meningitis bakterial pada
[Type here] 28
pasien anak. Kadar glukosa CSS yang berhubungan dengan proses patologis yang terjadi di
otak pada meningitis bakterial, menyebabkan beberapa penelitian juga melihat kadar glukosa
CSS sebagai faktor prognostik keluaran pada meningitis bakterial.
Prinsip kewaspadaan pada tiap anak usia 6–18 bulan yang mengalami kejang demam
pertama harus diterapkan terutama bila mengalami kejang ≥15 menit karena memiliki risiko
tinggi mengalami meningitis bakterial.6 Tindakan pungsi lumbal perlu dilaksanakan untuk
memastikan ada tidaknya meningitis bakterial atau infeksi SSP lain. Keterlambatan
penegakkan diagnosis dan tatalaksana dapat berbahaya bagi keselamatan pasien di samping
meningkatkan kemungkinan kecacatan di kemudian hari. Penundaan tindakan lumbal pungsi
tidak direkomendasikan pada anak usia 6–18 bulan yang mengalami kejang demam pertama
≥ 15 menit.7 Pemberian antibiotik dapat diberikan tidak lebih dari 3 jam, namun diawali
secara empiris. Terapi antibiotik empiris anak umur di atas 3 bulan dapat diberikan
Cefotaxim 200 mg/kgbb/hr IV, dibagi 3-4 dosis, Ceftriaxon 50 mg/kgbb/hr IV, dibagi 2
dosis, Ampicillin 200-400 mg/kgbb/hr IV, dibagi 4 dosis dan dapat diberikan Kloramfenikol
100 mg/kgbb/hr, IV dibagi 4 dosis jika pasien anak tidak menunjukkan kontraindikasi. Pada
pasien anak ini juga diberikan pemberian Deksametason dengan dosis 0,6 mg/kgbb/hr dibagi
4 dosis pada 2 hari pertama, tiap 6 jam diberikan 30 menit sebelum pemberian antibiotik 3
hari pertama.13
Faktor-faktor prognostik adanya gejala infeksi meningitis bakterial pada anak-anak usia
0-18 tahun antara lain seperti koma atau penurunan kesadaran, syok, kegagalan sirkulasi
perifer, distres pernapasan yang berat, demam yang berkepanjangan dan durasi bangkitan
yang lama.3,4 Selain itu beberapa pemeriksaan yang dilakukan saat masuk rumah sakit seperti
kadar lekosit darah tepi yang rendah, kadar lekosit CSS yang rendah, kadar glukosa CSS
yang rendah dan kadar protein CSS yang tinggi, menjadi indikator adanya infeksi akut yang
berat pada sistem saraf pusat dan parameter keparahan proses penyakit. Faktor-fakor yang
mempengaruhi outcome pada meningitis bakterial antara lain umur, etiologi, temuan pada
cairan serebrospinal saat masuk rumah sakit, hitung jenis sel darah putih, dan kadar glukosa.
Penurunan kesadaran dan adanya kejang saat dirawat telah dikaitkan dengan meningkatnya
mortalitas dan kelainan neurologis sebagai gejala sisa.5
[Type here] 29
DAFTAR PUSTAKA
[Type here] 31