Anda di halaman 1dari 31

RESPONSI

MENINGITIS BAKTERIAL

Oleh :
Intan Syahirah binti Abdul Rauap 1802611009
Jessica Intaniaputri SP 1802611010
Mathew Giyan Prasasta 1802611016

Pembimbing :
Dr. dr. IGN Made Suwarba, Sp.A(K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN


KLINIK MADYA SMF/BAGIAN ILMU KEDOKTERAN ANAK
RSUP SANGLAH/FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Meningitis bakterial (MB) adalah inflamasi meningen, terutama arakhnoid dan
piamater, yang terjadi karena invasi bakteri ke dalam ruang subaraknoid. Pada MB,
terjadi rekrutmen leukosit ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Biasanya proses
inflamasi tidak terbatas hanya di meningen, tapi juga mengenai parenkim otak
(meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis), bahkan bisa menyebar ke medula spinalis.
Kerusakan neuron, terutama pada struktur hipokampus, diduga sebagai penyebab
potensial defisit neuropsikologik persisten pada pasien yang sembuh dari meningitis
bakterial.1 Kasus MB terdistribusi di seluruh belahan bumi. Di negara dengan empat
musim, MB lebih banyak terjadi di musim dingin dan awal musim semi. MB lebih
banyak terjadi pada pria. Insiden MB adalah 2-6/100.000 per tahun dengan puncak
kejadian pada kelompok bayi, remaja, dan lansia. Tingkat insiden tahunan (per 100.000)
MB sesuai patogennya adalah sebagai berikut: Streptococcus pneumonia, Neisseria
meningitidis, Streptococcus, Listeria monocytogenes, dan Haemophilus influenza.2

[Type here] 2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Meningitis


Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter (lapisan
dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai
jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial. Meningitis dibagi menjadi dua
golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu meningitis serosa
dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein
yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering
dijumpai adalah bakteri Tuberculosis dan virus.3 Meningitis purulenta atau meningitis
bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta
bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus
merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi. Penularan kuman dapat
terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan droplet infection yaitu terkena
percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin, dan cairan tenggorok penderita. Saluran
nafas merupakan port d’entree utama pada penularan penyakit ini. Bakteri-bakteri ini
disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-sekresi
tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan
serebrospinal dan memperbanyak diri di dalamnya sehingga menimbulkan peradangan
pada selaput otak dan otak.3,4

2.2 Epidemiologi Meningitis


2.2.1 Distribusi frekuensi meningitis
a. Orang
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respon imunologi
terhadap patogen spesifik yang lemah terkait dengan umur muda, karena
anak-anak biasanya tidak mempunyai kekebalan terhadap bakteri. Risiko
terbesar adalah pada bayi antara umur 1 dan 12 bulan, 95% kasus terjadi
antara umur 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi pada setiap
umur. Risiko tambahan adalah kemiskinan dan kemungkinan tidak adanya
pemberian ASI untuk bayi umur 2-5 bulan.5
Insiden dari tipe bakteri penyebab bervariasi menurut umur penderita.
Pada negara berkembang, penyakit meningitis akibat infeksi Haemophilus
[Type here] 3
influenza pada anak yang tidak divaksinasi paling lazim terjadi pada bayi
umur 2 bulan sampai 5 tahun, insiden puncak terjadi pada bayi usia 2-5
bulan, dan 6-9% kasus terjadi pada usia tahun pertama.6
Incidence rate kasus meningitis yang disebabkan Haemophylus
influenza di AS pada umur <5 tahun berkisar 32-71 dari 100.000 kasus
setiap tahun. Pada 2-4 dari 1000 kasus bayi lahir hidup, dan dua pertiganya
disebabkan oleh Streptococus beta haemoliticus group B dan E. coli. Di
Uganda (2001-2002), incidence rate meningitis Haemophlus influenza tipe
B pada usia kurang <5 tahun sebesar 88 per 100.000.7
b. Tempat
Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan
sosioekonomi rendah, lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp
tentara, dan jemaah haji), dan penyakit ISPA. Penyakit meningitis banyak
terjadi pada negara yang sedang berkembang dibandingkan pada negara
maju.6
Insidensi tertinggi terjadi di daerah yang disebut dengan the African
Meningitis belt, yang luas wilayahnya membentang dari Senegal sampai ke
Ethiopia meliputi 21 negara. Kejadian penyakit ini terjadi secara sporadis
dengan incidence rate 1-20 per 100.000 penduduk dan diselingi dengan
KLB besar secara periodik. Di daerah Malawi, Afrika pada tahun 2002
incidence rate meningitis yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae
adalah sebesar 20-40 per 100.000 penduduk.6
c. Waktu
Kejadian meningitis lebih sering terjadi pada musim panas di mana
kasus-kasus infeksi saluran pernafasan juga meningkat. Di Eropa dan
Amerika Utara insidensi infeksi Meningococcus lebih tinggi pada musim
dingin dan musim semi. sedangkan di daerah Sub Sahara puncaknya terjadi
pada musim kering. Meningitis karena virus berhubungan dengan musim,
di Amerika sering terjadi selama musim panas karena pada saat itu orang
lebih sering terpapar agen pengantar virus. Di Amerika Serikat pada tahun
1981, incidence rate meningitis virus sebesar 10,9 per 100.000 penduduk
dan sebagian besar kasus terjadi pada musim panas.5
2.2.2 Determinan meningitis
a. Host
[Type here] 4
Meningitis yang disebabkan oleh Pneumococcus paling sering
menyerang bayi di bawah usia dua tahun. Meningitis yang disebabkan oleh
bakteri Pneumococcus 3,4 kali lebih banyak pada anak kulit hitam
dibandingkan yang berkulit putih. Meningitis tuberkulosa dapat terjadi pada
setiap kelompok umur, tetapi lebih sering terjadi pada anak-anak usia 6
bulan sampai 5 tahun dan jarang pada usia di bawah 6 bulan, kecuali bila
angka kejadian tuberkulosa paru sangat tinggi. Diagnosa pada anak-anak
ditandai dengan test Mantoux positif dan terjadinya gejala meningitis
setelah beberapa hari mendapat suntikan BCG.5
b. Agen
Penyebab meningitis secara umum adalah bakteri dan virus. Meningitis
purulenta paling sering disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus
dan Haemophilus influenzae sedangkan meningitis serosa disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosa dan virus. Bakteri Pneumococcus adalah salah
satu penyebab meningitis terparah. Sebanyak 20-30 % pasien meninggal
akibat meningitis hanya dalam waktu 24 jam. Angka kematian paling
banyak pada bayi dan orang lanjut usia. Meningitis Meningococcus yang
sering mewabah di kalangan jemaah haji dan dapat menyebabkan karier
disebabkan oleh Neisseria meningitidis serogrup A, B, C, X, Y, Z, dan W
135, dengan grup A, B, dan C sebagai penyebab 90% dari penderita. Di
Eropa dan Amerika Latin, grup B dan C adalah penyebab utama, sedangkan
di Afrika dan Asia penyebabnya adalah grup A. Wabah meningitis
Meningococcus yang terjadi di Arab Saudi selama ibadah haji tahun 2000
menunjukkan bahwa 64% merupakan serogroup W135 dan 36% serogroup
A. Hal ini merupakan wabah meningitis Meningococcus terbesar pertama di
dunia yang disebabkan oleh serogroup W 135. Secara epidemiologi,
serogrup A, B, dan C paling banyak menimbulkan penyakit. Meningitis
karena virus termasuk penyakit yang ringan. Gejalanya mirip sakit flu biasa
dan umumnya penderita dapat sembuh sendiri. Pada waktu terjadi KLB
gondong, virus ini diketahui sebagai penyebab dari 25% kasus meningitis
aseptik pada orang yang tidak diimunisasi. Virus Coxsackie grup B
merupakan penyebab dari 33% kasus meningitis aseptik, Echovirus dan
Enterovirus merupakan penyebab dari 50 % kasus. Resiko untuk terkena
meningitis aseptik pada laki-laki 2 kali lebih besar dibanding perempuan.7
[Type here] 5
c. Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya meningitis bakteri
yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae tipe b adalah lingkungan
dengan kebersihan yang buruk dan padat di mana terjadi kontak atau hidup
serumah dengan penderita infeksi saluran pernafasan. Risiko penularan
meningitis Meningococcus juga meningkat pada lingkungan yang padat
seperti asrama, kamp-kamp tentara, dan jemaah haji. Pada umumnya
frekuensi Mycobacterium tuberculosa selalu sebanding dengan frekuensi
infeksi tuberkulosa paru, jadi dipengaruhi keadaan sosial ekonomi dan
kesehatan masyarakat. Penyakit ini kebanyakan terdapat pada penduduk
dengan keadaan sosial ekonomi rendah, lingkungan kumuh dan padat, serta
tidak mendapat imunisasi. Meningitis karena virus berhubungan dengan
musim, di Amerika sering terjadi selama musim panas karena pada saat itu
orang lebih sering terpapar agen pengantar virus. Lebih sering dijumpai
pada anak-anak daripada orang dewasa. Kebanyakan kasus dijumpai
setelah infeksi saluran pernafasan bagian atas.5,6

2.3 Faktor Risiko


Faktor-faktor yang berkaitan dengan peningkatan risiko MB di antaranya adalah
status immunocompromised (infeksi human immunodeficiency virus, kanker, dalam
terapi obat imunosupresan, dan splenektomi), trauma tembus kranial, fraktur basis
kranium, infeksi telinga, infeksi sinus nasalis, infeksi paru, infeksi gigi, adanya benda
asing di dalam sistem saraf pusat (contoh: ventriculoperitoneal shunt), dan penyakit
kronik (gagal jantung kongestif, diabetes, penyalahgunaan alkohol, dan sirosis
hepatik).1–3

2.4 Etiologi
Pada individu dewasa imunokompeten, S. pneumonia dan N. meningitidis adalah
patogen utama penyebab MB, karena kedua bakteri tersebut memiliki kemampuan
kolonisasi nasofaring dan menembus sawar darah otak (SDO). Basil gram negatif
seperti Escherichia coli, Klebsiella spp., Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, dan Pseudomonas spp. biasanya merupakan penyebab MB nosokomial,
yang lebih mudah terjadi pada pasien kraniotomi, kateterisasi ventrikel internal ataupun

[Type here] 6
eksternal, dan trauma kepala.1,2 Penyebab MB berdasarkan usia dan faktor risiko dapat
dilihat pada tabel 2.1.8

Tabel 2.1 Penyebab umum MB berdasarkan usia dan faktor risiko8

Neonatus (usia <3 Escherichia coli; Streptococcus grup B; Listeria monocytogenes


bulan)
Bayi dan anak S. pneumonia; N. meningitidis; H. influenzae
(usia >3 bulan)
Fraktur Staphylococcus epidermidis; Staphylococcus aureus; bakteri
cranium/pasca gram negatif (Klebsiella, Proteus, Pseudomonas, E. coli);
bedah saraf Streptococcus grup A dan D; S. pneumonia; H. influenzae
Kebocoran CSS Bakteri gram negatif; S. pneumonia
Imunodefisiensi Listeria monocytogenes; bakteri gram negatif; S. pneumonia;
Pseudomonas aeruginosa; Streptococcus grup B; Staphylococcus
aureus

2.5 Anatomi dan Fisiologi Selaput Otak


Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningea yang melindungi struktur
syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan serebrospinal.
Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu:
2.5.1 Lapisan Luar (Durameter)
Durameter merupakan tempat yang tidak kenyal yang membungkus otak,
sumsum tulang belakang, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Durameter
terbagi lagi atas durameter bagian luar yang disebut selaput tulang tengkorak
(periosteum) dan durameter bagian dalam (meningeal) meliputi permukaan
tengkorak untuk membentuk falks serebrum, tentorium serebelum dan
diafragma sella.1
2.5.2 Lapisan Tengah (Arakhnoid)
Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan
durameter dengan piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi cairan
otak yang meliputi seluruh susunan saraf pusat. Ruangan di antara durameter
dan arakhnoid disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan jernih
menyerupai getah bening. Pada ruangan ini terdapat pembuluh darah arteri dan
vena yang menghubungkan sistem otak dengan meningen serta dipenuhi oleh
cairan serebrospinal.2
2.5.3 Lapisan Dalam (Piameter)

[Type here] 7
Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh darah
kecil yang mensuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Lapisan ini
melekat erat dengan jaringan otak dan mengikuti girus dari otak. Ruangan di
antara arakhnoid dan piameter disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang
ruangan ini berisi sel radang. Di sini mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke
sumsum tulang belakang.5

2.6 Patofisiologi
Bakteri mencapai SSP baik oleh penyebaran hematogen atau dengan ekstensi
langsung dari situs yang berdekatan. Pada neonatus, patogen diperoleh dari sekresi
genital ibu yang tidak steril. Pada bayi dan anak-anak, banyak organisme yang
menyebabkan meningitis mengkoloni saluran pernapasan bagian atas. Inokulasi
langsung bakteri ke dalam SSP dapat dihasilkan dari trauma, cacat tengkorak dengan
kebocoran CSS, cacat dura konvesional seperti sinus dermal atau meningomyelokel,
atau ekstensi dari fokus parameningeal supuratif. Infeksi juga dapat terjadi melalui
perluasan langsung dari struktur yang terinfeksi melalui vena diploica, erosi fokus
osteomyelitis, atau secara iatrogenik (pasca ventriculoperitoneal shunt atau prosedur
bedah otak lainnya).2,9 Meningitis bakterial merupakan infeksi SSP, terutama
menyerang anak usia <2 tahun, dengan puncak angka kejadian pada usia 6-18 bulan,
biasanya diawali dengan infeksi pada saluran napas atau pada kasus infeksi telinga..10
Meningitis diawali dengan penyebaran bakteri dari pencetus lalu menyebar melalui
pembuluh darah dan menyebabkan bakteremia. Setelah bakteremia, patogen menembus
penghalang darah-otak untuk memasuki ruang subarakhnoid.10

Gambar 2.1 Lapisan meningeal

[Type here] 8
Peradangan intens yang ditimbulkan oleh produk-produk bakteri, seperti
lipopolisakarida gram-negatif atau peptidoglikan gram-positif, bertahan setelah bakteri
dihancurkan oleh respon inang dan terapi antibiotik. Zat-zat ini menginduksi produksi
mediator inflamasi yang berbeda oleh astrosit SSP dan sel ependimal, glial, dan
endotel.

Gambar 2.2 Patofisiologi meningitis

[Type here] 9
Mediator inflamasi termasuk tumor necrosis factor-a; interleukin (IL)-1, IL-6, IL-
8, dan IL-10; makrofag yang diinduksi protein 1 dan 2; dan mediator lainnya termasuk
nitrit oksida, matriks metalloproteinase-2, dan prostaglandin. Masuknya granulosit
berikutnya dan mengubah permeabilitas penghalang darah-otak menghasilkan
pelepasan produk proteolitik dan oksigen radikal beracun. Edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial berkontribusi pada kerusakan saraf dan kematian.
Kematian neuronal diyakini disebabkan oleh apoptosis melalui jalur yang bergantung
pada caspase dan independen.9
Pembuluh darah meningeal yang kecil mengalami hiperemi; dalam waktu yang
sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang
subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan
limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk
terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin,
sedangkan di lapisaan dalam terdapat makrofag. Proses radang selain pada arteri juga
terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat menyebabkan trombosis, infark otak,
edema otak, dan degenerasi neuron-neuron. Trombosis serta organisasi eksudat
perineural yang fibrinopurulen menyebabkan kelainan kranial. Pada meningitis yang
disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan meningitis
yang disebabkan oleh bakteri.2,9

2.7 Diagnosis
Meningitis bakterial akut memiliki trias klinis, yaitu demam, nyeri kepala hebat,
dan kaku kuduk; tidak jarang disertai kejang umum dan gangguan kesadaran. Tanda
Brudzinski dan Kernig juga dapat ditemukan serta memiliki signifikansi klinis yang
sama dengan kaku kuduk, namun sulit ditemukan secara konsisten.
Meningitis pneumokokal sering didahului oleh infeksi paru, telinga, sinus, atau
katup jantung. Etiologi H. influenzae biasanya terjadi setelah infeksi telinga dan saluran
napas atas pada anak-anak.9 Tanda-tanda serebral fokal pada stadium awal meningitis
paling sering disebabkan oleh pneumokokus dan H. influenza. Meningitis dengan
etiologi H. influenza paling sering menyebabkan kejang. Lesi serebal fokal persisten
atau kejang yang sulit dikontrol biasanya terjadi pada minggu kedua infeksi meningen
dan disebabkan oleh vaskulitis infeksius, saat terjadi sumbatan vena serebral superfisial
yang berujung pada infark jaringan otak. Abnormalitas saraf kranial sering terjadi pada
meningitis pneumokokal, karena invasi eksudat purulen yang merusak saraf yang
[Type here] 10
melalui ruang subaraknoid.2,9
Pada anamnesis, dilakukan pendekatan basic seven fundamental four, dengan
menanyakan keluhan utama, riwayat penyakit terdahulu, yang dalam meningitis
bakterial terdapat tiga gejala utama, yaitu demam, nyeri kepala hebat, dan kaku kuduk,
serta terkadang disertai dengan kejang. Tanyakan kepada pasien maupun keluarga
pasien bagaimana dan kapan jika terjadi gejala tersebut, kualitas, kuantitas, faktor-
faktor modifikasi, serta keluhan penyerta seperti muntah, riwayat makan minum,
riwayat BAB BAK sebelumnya, riwayat trauma, riwayat penyakit kronis dan
pengobatan sebelumnya.2,9
Diagnosis meningitis bakterial ditegakkan melalui analisis cairan serebrospinal,
kultur darah, pewarnaan cairan serebrospinal, dan biakan cairan serebrospinal. Pungsi
lumbal dilakukan dengan cara menusukkan jarum ke dalam kanalis spinalis di daerah
lumbal (tulang punggung bagian bawah) dan dikerjakan pada setiap kecurigaan
meningitis dan/atau ensefalitis. Pada pemeriksaan darah, meningitis bakterial disertai
dengan peningkatan leukosit dan penanda inflamasi, dan kadang disertai hipokalsemia,
hiponatremia, serta gangguan fungsi ginjal dengan asidosis metabolik. Pencitraan otak
harus dilakukan secepatnya untuk mengeksklusi lesi massa, hidrosefalus, atau edema
serebri yang merupakan kontraindikasi relatif pungsi lumbal. Jika pencitraan tidak
dapat dilakukan, pungsi lumbal harus dihindari pada pasien dengan gangguan
kesadaran, keadaan immunocompromised (AIDS, terapi imunosupresan, pasca
transplantasi), riwayat penyakit sistem saraf pusat (lesi massa, stroke, infeksi fokal),
defisit neurologik fokal, bangkitan awitan baru, atau papil edema yang memperlihatkan
tanda-tanda ancaman herniasi. Cairan serebrospinal biasanya keruh, tergantung dari
kadar leukosit, bakteri, dan protein. Pewarnaan gram cairan serebrospinal memberi
hasil meningokokus positif pada sekitar 50% pasien dengan meningitis meningokokal
akut. Kultur darah dapat membantu, namun tak selalu bisa diandalkan. Pemeriksaan
polymerase chain reaction (PCR) bersifat sensitif terhadap Streptococcus pneumoniae
dan Neisseria meningitidis.2,9

2.8 Diagnosis Banding


Telah diketahui bahwa pemeriksaan CSS memiliki peran yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis meningitis. Pungsi lumbal tidak perlu dilakukan bila penderita
dengan meningitis bakterialis beresons baik terhadap pengobatan. Dalam pemeriksaan
biokimia dan sitologi maka pada penderita dengan meningitis akan ditemukan CSS
[Type here] 11
yang jernih dan agak pekat dan jaringan protein akan terlihat setelah proses
pengendapan. CSS hemoragik dapat ditemukan pada meningitis TB yang mengalami
vaskulitis. Adanya gambaran yang khas yang disebut dengan “pelikel”, yakni hasil dari
tingginya konsentrasi fibrinogen dalam cairan disertai dengan sel-sel proinflamatori.9,11
Tabel 2.2 Diagnosis banding meningitis menurut cairan CSS beserta nilai normal9

Bakteri Jamur TB Viral Aseptik Keganasan

Leukosit/µL 100- 10-100 10-100 10-100 10-300 Mononuklear


(N = 0,5 10.000 limfosit limfosit limfosit limfosit
limfosit) PMN

Protein (N = Meningkat Mungkin Meningkat Normal/ Normal/ Meningkat


15-40) (>100) meningkat (>100) sedikit sedikit
(50-200) meningkat meningkat

Glukosa (N Menurun Mungkin Menurun Normal Normal Menurun


= 50-75 (<40) menurun (<40)
mg/dL)

Rasio Normal Menurun Menurun Biasanya


glukosa atau normal
CSF-serum menurun

Tekanan (N 200-300 180-300 180-300 90-200 90-200


= 80-200)

Mikrobiologi Patogen Dengan Kultur Isolasi Negatif Negatif


(negatif) spesifik tinta India, basil tahan virus,
pada 60% antigen asam, pemeriksaan
bakteri kriptokokus, PCR VCR
Gram dan kultur
80% dari
hasil
kultur

Salah satu diagnosis banding meningitis bakterial lainnya adalah ensefalitis, yang
dapat disebabkan oleh virus (Herpes simplex, Herpes zoster, CMV, Influenza) maupun
bakteri (Staphylococcus, Streptococcus, E. coli). Gejala infeksi akut pada ensefalitis
meliputi panas, hiperpireksia, dan sakit kepala, dengan gejala TIK meningkat seperti
muntah, nyeri kepala, penurunan kesadaran, kejang umum/fokal, paralisis, dan ataksia,
sedangkan gejala infeksi akut pada meningitis berupa panas, terus mengantuk/letargi,
anoreksia, rewel, episode apnea, dan pada meningitis dengan etiologi Meningococcus
biasanya disertai gejala petekie dan herpes labialis. Pada meningitis terdapat moaning

[Type here] 12
cry (tangis merintih), ubun-ubun besar menonjol dan tegang, paresis/paralisis,
strabismus, serta susah bernapas sebagai gejala TIK yang meningkat.12

2.9 Tatalaksana
MB adalah kegawatdaruratan medik. Secara umum, tatalaksana MB dapat
dilihat pada gambar 2.1. Pemilihan antibiotik yang tepat adalah langkah yang krusial,
karena harus bersifat bakterisidal pada organisme yang dicurigai dan dapat masuk ke
CSS dengan jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik diawali secara empiris karena
terapi harus segera dimulai sambil menunggu hasil tes diagnostik dan nantinya dapat
diubah setelah ada temuan laboratorik, yaitu pengecatan Gram, biakan kuman, dan tes
resistensi.1,13 Pada suatu studi, didapatkan hasil jika pemberian antibiotik ditunda
lebih dari 3 jam sejak pasien masuk RS, maka mortalitas akan meningkat secara
bermakna.13,14
Pilihan antibiotik empirik pada pasien MB harus berdasarkan epidemiologi lokal,
usia pasien, dan adanya penyakit yang mendasari atau faktor risiko penyerta, dengan
lama pengobatan 14-21 hari atau 7 hari bebas demam. Antibiotik harus segera
diberikan bila ada syok sepsis. Jika terjadi syok sepsis, pasien harus diterapi dengan
cairan dan mungkin memerlukan dukungan obat inotropik. Jika terjadi peningkatan
tekanan intrakranial, pertimbangkan pemberian manitol 20%, dengan indikasi
didapatkan penurunan kesadaran, dengan dosis 0.5-1 gr/kg BB/kali setiap 8 jam.9,13–15
Untuk umur 1-3 bulan, diberikan ampicilin sebanyak 200-400 mg/kgbb/hari
secara intravena dibagi dalam 4 dosis dan cefotaxime sebanyak 200 mg/kgbb/hari
secara intravena dibagi dalam 2-3 dosis, atau ceftriaxone sebanyak 100 mg/kgbb/hari
secara intravena dibagi dalam 2 dosis. Untuk umur >3 bulan, diberikan cefotaxim
sebanyak 200 mg/kgbb/hari secara intravena dibagi dalam 3-4 dosis, atau ceftriaxon
sebanyak 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 2 dosis, atau ampicilin sebanyak
200-400 mg/kgbb/hari secara intravena dibagi dalam 4 dosis dan kloramfenikol
(apabila tidak ada kontraindikasi) 100 mg/kgbb/hari secara intravena dibagi dalam 4
dosis.13
Antibiotik empirik bisa diganti dengan antibiotik yang lebih spesifik jika hasil
kultur sudah ada. Panduan pemberian antiobiotik spesifik bisa dilihat di tabel 2.3.
Durasi terapi antibiotik bergantung pada bakteri penyebab, keparahan penyakit, dan
jenis antibiotik yang digunakan. Meningitis meningokokal epidemik dapat diterapi
[Type here] 13
secara efektif dengan satu dosis ceftriaxone intramuskuler sesuai dengan rekomendasi
WHO. Namun WHO merekomendasikan terapi antibiotik paling sedikit selama 5 hari
pada situasi nonepidemik atau jika terjadi koma atau kejang yang bertahan selama
lebih dari 24 jam. Otoritas kesehatan di banyak negara maju menyarankan terapi
antibiotik minimal 7 hari untuk meningitis meningokokal dan haemofilus; 10-14 hari
untuk terapi antibiotik pada meningitis pneumokokal.14

Gambar 2.1. Algoritma tatalaksana meningitis bakterial9

Terapi dexamethasone yang diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis


pertama antibiotik dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas secara bermakna,
terutama pada meningitis pneumokokal. Dexamethasone dapat menurunkan respons
inflamasi di ruang subaraknoid yang secara tak langsung dapat menurunkan risiko

[Type here] 14
edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak,
vaskulitis, dan cedera neuron.16 Dexamethasone diberikan hanya selama 2 hari
pertama pemberian antibiotik dengan dosis 0,6 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis.13
Sejumlah pakar berpendapat pemberian dexamethasone harus dihentikan jika hasil
kultur CSS menunjukkan penyebab MB bukan H. influenzae atau S. pneumoniae,
namun kelompok pakar lain merekomendasikan pemberian dexamethasone apapun
etiologi MB yang ditemukan. Pemberian dexamethasone pada pasien MB dengan
sepsis berat atau syok sepsis dapat meningkatkan kesintasan.14 Pada penelitian lain,
pemberian dexamethasone tidak menurunkan angka mortalitas dan morbiditas secara
bermakna.15,17
Pasien MB harus dipantau ketat. Kejadian kejang sering muncul dan terapi
antikonvulsan sering kali diperlukan. Jika kesadaran pasien menurun setelah kejang,
maka pasien terindikasi untuk pemeriksaan elektroensefalografi. Kondisi pasien harus
dipertahankan dalam status normoglikemia dan normovolemia. Proton pump inhibitor
perlu diberikan untuk mencegah stress-induced gastritis. Jika kondisi klinis pasien
belum membaik dalam 48 jam setelah terapi antibiotik dimulai, maka analisis CSS
ulang harus dilakukan.3,14,16
Pada pasien MB dengan hidrosefalus akut, prosedur ventrikulostomi dapat
dipertimbangkan. Pada pasien dengan pembesaran sistem ventrikel ringan tanpa
perburukan klinis, resolusi spontan dapat terjadi, sehingga prosedur invasif dapat
ditunda.16

Tabel 2.4 Terapi antibiotik spesifik pada meningitis bakterial14

Mikroorganisme Terapi standar Terapi alternatif


H. influenza B-laktamase Ampisilin Sefalosporin generasi III;
negatif kloramfenikol
H. influenza B-laktamase Sefalosporin generasi III Kloramfenikol; sefepim
negatif
N. meningitidis Penisilin G atau ampisilin Sefalosporin generasi III;
kloramfenikol
S. pneumoniae Sefalosporin generasi III Vankomisin; meropenem
Enterobacteriaceae Sefalosporin generasi III Meropenem atau sefepim
P. aeruginosa Seftazinim atau sefepim Meropenem; piperisilin
L. monocytogenes Ampisilin atau penisilin G Trimetoprim/sulfametoksazol
S. agalactiae Ampisilin atau penisilin G Sefalosporin generasi III;
vankomisin

[Type here] 15
S. aureus sensitif metisilin Nafsilin atau oksasilin Vankomisin
S. aureus resisten metisilin Vankomisin Linezolid; daptomisin
S. epidermidis Vankomisin

Individu yang mengalami kontak dengan pasien meningitis meningokokal harus


diberi antibiotik profilaksis. Pilihan antibiotik yang biasa diberikan adalah
ciprofloxacin 500 mg dosis tunggal atau rifampicin 2 x 600 mg selama 2 hari.
Profilaksis tidak dibutuhkan jika durasi sejak penemuan kasus meningitis
meningokokal sudah lebih dari 2 minggu. Imunisasi S. pneumoniae, H. influenza, dan
N. meningitidis diketahui menurunkan insiden meningitis secara bermakna.14

2.10 Prognosis
MB yang tidak diobati biasanya berakhir fatal. Meningitis pneumokokal memiliki
tingkat fatalitas tertinggi, yaitu 19-37%.1 Pada sekitar 30% pasien yang bertahan hidup,
terdapat sekuel defisit neurologik seperti gangguan pendengaran dan defisit neurologik
fokal lain. Individu yang memiliki faktor risiko prognosis buruk adalah pasien
immunocompromised, usia di atas 65 tahun, gangguan kesadaran, jumlah leukosit CSS
yang rendah, dan infeksi pneumokokus.18 Gangguan fungsi kognitif terjadi pada sekitar
27% pasien yang mampu bertahan dari MB.16
Terapi kortikosteroid sistemik digunakan secara luas untuk mengobati gangguan
autoimun atau inflamasi. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang (terutama dalam
dosis tinggi) berhubungan dengan efek samping serius pada berbagai sistem fisiologik
tubuh, termasuk system imun.Efek samping tersebut sebenarnya dapat diminimalisasi
dengan cara memantau kondisi pasien secara seksama dan menggunakan jenis
kortikosteroid dengan potensi dan dosis serendah mungkin.19
Kortikosteroid menekan fungsi imun normal dengan menurunkan ekspresi limfosit
T, monosit, makrofag, eosinofil, mastosit, dan sel endotelial. Supresi sitokin bukan
satu- satunya efek kortikosteroid pada respons imun dan antiinflamasi normal.
Kortikosteroid juga dipercaya mengeksitasi produksi sitokin antiinflamasi TGF-ß
(Transforming Growth Factor-β). Kortikosteroid juga mengganggu ekspresi molekul
pengikat pada antigen-presenting cell serta menginduksi apoptosis pada limfosit T
matur dan monosit.19,20
Pengguna kortikosteroid jangka panjang rentan terhadap infeksi karena
kortikosteroid dapat menghambat kerja sistem imun normal dan menekan proses

[Type here] 16
inflamasi. Gejala infeksi pada pengguna kortikosteroid jangka panjang dapat
menunjukkan gejala yang tidak khas karena adanya inhibisi pelepasan sitokin dan
reduksi respons inflamasi. Untuk mencegah infeksi oportunistik pada pengguna
kortikosteroid jangka panjang, beberapa pakar menganjurkan memulai terapi
kortikosteroid dengan dosis dan potensi serendah mungkin tanpa mengabaikan
efikasi.21 Sebelum memulai terapi kortiko steroid jangka panjang, pemeriksaan darah
lengkap harus dilakukan sebagai data dasar. Selanjutnya, pemeriksaan darah lengkap
harus dilakukan setiap 3 bulan (selama pasien masih dalam terapi kortikosteroid) untuk
melihat adanya kemungkinan infeksi yang belum bermanifestasi spesifik. Setiap pasien
juga harus memiliki termometer pribadi di rumah dan harus segera ke dokter bila suhu
meningkat di atas 38°C. American College of Rheumatology merekomendasikan
vaksinasi pneumokokus dan influenza pada pasien tersebut.22,23

2.11 Komplikasi
• Penyakit-penyakit yang dapat terjadi akibat dari komplikasi meningitis antara lain:
• Trombosis vena serebral, yang menyebabkan kejang, koma, atau kelumpuhan.
• Efusi atau abses subdural, yaitu penumpukan cairan di ruangan subdural karena
adanya infeksi oleh kuman.
• Hidrosefalus, yaitu pertumbuhan lingkaran kepala yang cepat dan abnormal yang
disebabkan oleh penyumbatan cairan serebrospinalis.
• Ensefalitis, yaitu radang pada otak.
• Abses otak, terjadi karena radang yang berisi pus atau nanah di otak.
• Arteritis pembuluh darah otak, yang dapat mengakibatkan infark otak karena
adanya infeksi pada pembuluh darah yang mengakibatkan kematian pada
jaringan otak.
• Kehilangan pendengaran, dapat terjadi karena radang langsung saluran
pendengaran.
• Gangguan perkembangan mental dan inteligensi karena adanya retardasi
mental yang mengakibatkan perkembangan mental dan kecerdasan
anak terganggu.4

[Type here] 17
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita


Nama : AQJ
Tanggal lahir : 08 Oktober 2013
Umur : 5 tahun 2 bulan 20 hari
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Br. Nyawah Selulung Kintamani, Bangli
Agama : Hindu
No. RM : 16037824
Tanggal MRS : 16 November 2018
Tanggal pemeriksaan : 19 November 2018

3.2 Heteroanamnesis (Ibu Kandung Pasien)


Keluhan utama: Kejang
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke triage anak RSUP Sanglah tanggal 16 Oktober 2018 pukul 20.50
WITA dengan keluhan mengalami kejang. Kejang terjadi sebanyak 2 kali. Kejang
pertama (pukul 20.50), terjadi di rumah dengan mata mendelik ke atas, tangan dan kaki
dikatakan kaku. Kejang terjadi selama kurang lebih 10 menit bermula di rumah dan
masih berlangsung selama dalam perjalanan ke RS. Kejang berhenti setelah diberikan
obat anti kejang melalui pantat di fast track RSUP Sanglah, setelah kejang pasien
tertidur, saat itu demam terukur 39⁰C. Kejang kedua (pukul 21.10), kejang dengan pola
kejang yang sama, berhenti setelah diberikan obat kejang melalui pantat, setelah kejang
pasien tertidur. Demam terukur 38.5 ⁰C. Di antara kedua kejang pasien dikatakan tidak
sadar. Pasien dikatakan muntah 1 kali di triage, dengan volume kurang lebih 120 ml
berisi makanan dan minuman yang dikonsumsi.
Demam dikatakan muncul sejak 1 hari sebelum MRS. Demam muncul awalnya
dengan suhu mendadak tinggi. Demam dengan suhu tertinggi terukur mencapai 39.5
⁰C sesaat sebelum pasien kejang. Demam turun dengan obat penurun panas, namun
naik kembali. Pasien dikatakan menderita batuk dan pilek sejak 3 hari sebelum MRS

[Type here] 18
(15/11/2018). Makan dan minum pasien dikatakan seperti biasa dan BAK serta BAB
normal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak memiliki riwayat keluhan yang sama sebelumnya, ini merupakan
kejadian kejang yang pertama kali dialami pasien. Riwayat trauma dan penyakit lainnya
juga disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat penyakit serupa di keluarga pasien di sangkal. Riwayat penyakit kronis
di keluarga pasien juga disangkal.

Riwayat Lingkungan dan Sosial


Pasien merupakan anak pertama dan tidak memiliki saudara. Lingkungan tempat
tinggal pasien dikatakan cukup terjaga kebersihannya. Tidak tetangga di sekitar pasien
yang mengalami penyakit yang sama.

Riwayat Pengobatan
Riwayat pengobatan untuk keluhan saat ini tidak ada.

Riwayat Persalinan
Pasien lahir spontan ditolong oleh bidan, dengan berat lahir 2800 gram, panjang
badan 52 cm dan lingkar kepala dikatakan tidak ingat. Saat lahir pasien dikatakan
segera menangis.

Riwayat Imunisasi
Orang tua pasien mengatakan pasien sudah dilakukan pemberian imunisasi
lengkap di puskesmas, yaitu imunisasi BCG 1 kali, Polio 4 kali, Hepatitis B 4 kali, DPT
4 kali, Campak 1 kali, JE 1 kali.

Riwayat Nutrisi
- ASI : ekslusif 2 bulan, durasi 2 bulan, frekuensi on demand
- Susu formula : diberikan sejak usia 2 bulan, frekuensi on demand
- Bubur susu : diberikan sejak usia 6 bulan,frekuensi 3-4 kali sehari
[Type here] 19
- Bubur tim : diberikan sejak usia 10 bulan,frekuensi 3-4 kali sehari.
- Makanan dewasa: diberikan sejak usia 12 bulan dengan frekuensi 3-4
kali sehari.

Riwayat Tumbuh Kembang


- Menegakkan kepala : 3 bulan
- Membalikkan badan : 4 bulan
- Duduk : 6 bulan
- Merangkak : 8 bulan
- Berdiri : 9 bulan
- Berjalan : 12 bulan
- Bicara : 15 bulan

Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat maupun makanan disangkal oleh orangtua pasien. Pasien
belum pernah dilakukan tes alergi sebelumnya. Riwayat operasi disangkal. Riwayat
transfusi disangkal.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present (Tanggal 16 November)
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : E2V2M3 (7/14)
TD : 100/60 mmHg
Nadi : 80 kali/ menit, reguler, isi cukup
Respirasi rate : 26 kali/ menit, reguler
Tempt axilla : 38,5 ° C
Saturasi : 98% pada udara ruangan
FLACC Pain Scale: 2

Status Generalis
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva pucat, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor, edema -/-, mata
cowong -/-

[Type here] 20
THT
Telinga : sekret -/-
Hidung : sekret -/-
Tenggorok : faring hiperemi (-), T1/T1 hiperemi (-)
Lidah : sianosis (-)
Bibir : sianosis (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-), kaku kuduk (+)
Thoraks : simetris (+)
Jantung :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Auskultasi : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Paru-paru :
Inspeksi : bentuk normal, simetris, retraksi (-) subcostal
Palpasi : gerakan dada simetris, vokal fremitus N/N
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : bronkial +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Aksila : pembesaran kelenjar (-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-) hipogastrium dan
hipokondrium kanan,massa (-)
Perkusi : timpani, ascites (-)
Kulit : peteki (-), sianosis (-), ikterus (-), turgor normal
Genitalia : perempuan, M1P1
Inguinal : pembesaran kelenjar (-)
Ekstremitas. : hangat + + , edema - - , CRT 2 detik
+ + - -

Status Present (Tanggal 19 November 2018)


Keadaan umum : sakit berat
Kesadaran : E2V2M3 (7/14)
TD : 100/60 mmHg
[Type here] 21
Nadi : 110 kali/ menit, reguler, isi cukup
Respirasi rate : 26 kali/ menit, reguler
Tempt axilla : 38,5 ° C
Saturasi : 98% pada udara ruangan
FLACC Pain Scale :2

Status Generalis
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva pucat, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor, edema -/-, mata
cowong -/-
THT
Telinga : sekret -/-
Hidung : sekret -/-
Tenggorok : faring hiperemi (-), T1/T1 hiperemi (-)
Lidah : sianosis (-)
Bibir : sianosis (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-), kaku kuduk (+)
Thoraks : simetris (+)
Jantung :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Auskultasi : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Paru-paru :
Inspeksi : bentuk normal, simetris, retraksi (-) subcostal
Palpasi : gerakan dada simetris, vokal fremitus N/N
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : bronkial +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Aksila : pembesaran kelenjar (-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-) hipogastrium dan
hipokondrium kanan,massa (-)

[Type here] 22
Perkusi : timpani, ascites (-)
Kulit : peteki (-) di wajah, badan, tangan, kaki, sianosis (-), ikterus (-), turgor
normal
Genitalia : Perempuan, M1P1
Inguinal : pembesaran kelenjar (-)
Ekstremitas : hangat + +, edema - - , CRT 2 detik
+ + - -

Status Antropometri
Berat badan : 17 kg
Berat badan ideal : 17,5 kg
Tinggi badan : 107 cm
BB/U : Z -2-0 SD
TB/U : Z-2-0 SD
BB/TB : Z-1-0 SD
Status Gizi (Waterlow): 97 % (gizi baik)

3.4 Pemeriksaan Neurologis


Kaku kuduk (+)
Meningeal sign Kerniq sign (+)
Brudzinski I, II, III (-) IV(+)
Tonus N N
N N

Tropik N N
N N
- -
Refleks patologis - -

+++ +++
Refleks fisiologis
+++ +++

[Type here] 23
3.5 Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (19/11/2018)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


WBC 34.92 10µ/&microL 6.0 - 14.0
NE% 75.95 % 18.30 - 47.10
LY% 16.36 % 30.00 - 64.30
MO% 6.79 % 0.0 - 7.10
EO% 0.03 % 0.0 - 5.0
BA% 0.87 % 0.0 - 0.70
NE# 26.52 10µ/&microL 1.10 - 6.60
LY# 5.71 10µ/&microL 1.80 - 9.00
MO# 2.37 10µ/&microL 0.00 - 1.00
EO# 0.01 10µ/&microL 0.00 - 0.70
BA# 0.3 10µ/&microL 0.0 - 0.10
RBC 4.13 106/&microL 4.10 - 5.3
HGB 12.14 g/dL 12.0 - 16.0
HCT 32.75 % 36.0 - 49.0
MCV 79.37 fL 78.0 - 102.0
MCH 29.41 pg 25.0 - 35.0
MCHC 37.05 g/dL 31 - 36
RDW 13.73 % 11.6 - 18.7
PLT 328.3 10µ/&microL 140 - 440
MPV 5.28 fL 6.80 - 10.0
Kalium (K) - Serum 3.62 mmol/L 3.50 - 5.10
Natrium (Na) - Serum 134 mmol/L 136 - 145
Klorida (Cl) - Serum 91.6 mmol/L 94 - 110
Kalsium (Ca) 8.8 mg/dL 9.20 - 11.00
Glukosa Darah (Sewaktu) 165 mg/dL 60 - 100

[Type here] 24
Darah Lengkap (23/11/2018)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan

WBC 9.58 10µ/&microL 6.0 - 14.0

NE% 57.12 % 18.30 - 47.10

LY% 32.29 % 30.00 - 64.30

MO% 5.38 % 0.0 - 7.10

EO% 4.06 % 0.0 - 5.0

BA% 1.17 % 0.0 - 0.70

NE# 5.47 10µ/&microL 1.10 - 6.60

LY# 3.10 10µ/&microL 1.80 - 9.00

MO# 0.51 10µ/&microL 0.00 - 1.00

EO# 0.39 10µ/&microL 0.00 - 0.70

BA# 0.11 10µ/&microL 0.0 - 0.10

RBC 5.16 106/&microL 4.10 - 5.3

HGB 12.69 g/dL 12.0 - 16.0

HCT 41.41 % 36.0 - 49.0

MCV 80.26 fL 78.0 - 102.0

MCH 24.60 pg 25.0 - 35.0

MCHC 30.65 g/dL 31 - 36

RDW 13.78 % 11.6 - 18.7

PLT 741.90 10µ/&microL 140 - 440

MPV 5.21 fL 6.80 - 10.0

[Type here] 25
Analisa LCS (19/11/2018)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan


Warna kekuningan jernih
Reaksi None Positif ( + ) Negatif
Reaksi Pandy Positif ( + ) Negatif
Darah Negatif
Bekuan Negatif
Jumlah Sel Liquor 60 Cell/uL 0-5 Tinggi
Mono 40 %
Poly 60 %
Eritrosit 6-8 /Lp
Bentuk Dismorfik

60 % - 80 % dari
Glukosa 106
Glukosa Darah

TP Liquor/ MTP 43 mg/dL < 45

Hasil pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas antibiotika


Hasil kultur darah:
Organisme : Staphylococcus Lentus
Collection Ward : Hanya ditemukan kuman pada satu sisi

[Type here] 26
Hasil kultur LCS:
Organisme : Staphylococcus Hominis ssp. hominis

3.6 Diagnosis Kerja


Meningitis bakteri et causa Staphylococcus Hominis ssp. Hominis, status epileptikus,
gizi baik

3.7 Penatalaksanaan
19/11/2018
- MRS di cempaka 3 infeksi
- Kebutuhan cairan 1350 ml/hari ~ IVFD D5 ½ NS 20 tetes makro/menit
- Puasa sementara
- Dexametason 3 mg tiap 8 jam (IV)
- Ceftriaxon 50 mg/kg/kali ~ 850 mg tiap 12 jam (IV)
- Fenitoin 5 mg/kg/hari~ 43 mg tiap 12 jam (IV)

23/11/2018
- Terapi lanjut
- Fenitoin tapp off
3mg/Kg/BB
25mg/Kg/BB tiap 12 jam intravena
- Tgl 24/11/2018 stop Fenitoin

3.8 Prognosis
- Ad Vitam : Bonam
- Ad Functionam : Dubia ad bonam
- Ad Sanationam : Dubia ad bonam

[Type here] 27
BAB IV
PEMBAHASAN

Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, parasit dan jamur dan bermacam
patogen. Selain itu dapat pula disebabkan oleh kondisi selain proses infeksi seperti kelainan
proses inflamasi, sebagai contoh seperti systemic lupus erythematosis, penyakit Kawasaki,
dan proses keganasan contohnya leukemic meningitis.
Meningitis bakteri khas ditandai oleh adanya sindrom infeksi dan pada pemeriksaan
CSS (cairan serebrospinal) dibuktikan adanya bakteri dan atau terjadi gambaran analisis yang
abnormal secara bermakna. Kebanyakan meningitis bakteri pada anak-anak rentang usia 2
bulan-12 tahun disebabkan oleh H.influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau Nesseria
meningitidis. Pada anak-anak berusia lebih dari 12 tahun, meningitis biasanya terjadi akibat
infeksi S. pneumoniae, atau N.meningitidis. Adanya infeksi bakteri pada meningen, terbukti
dari pemeriksaan kultur CSS, PCR, pengecatan gram atau tes antigen. Pasien dalam kasus ini
adalah seorang anak perempuan berusia 5 tahun yang berdasarkan teori terjadi meningitis
bakterial pada anak dalam rentang usia 2 bulan-12 tahun. Pasien datang ke RSUP Sanglah
dengan keluhan kejang dan riwayat demam, batuk pilek dan muntah satu kali sebelumnya
sehingga gejala pada pasien ini sesuai dengan epidemiologi gejala yang umum terjadi pada
anak dengan meningitis.
Di negara maju dengan program vaksinasi yang berhasil, insidensi H. influenzae dan N.
meningitides menunjukkan penurunan. Sebuah penelitian di Malaysia menyebutkan
mikroorganisme utama penyebab meningitis bakterial antara lain Haemophilus influenzae
tipe b, Streptococcus pneumoniae dan E.coli. Pada pasien ini ditemukan adanya tanda dan
gejala meningitis yaitu kejang, sakit kepala dan demam tanda-tanda gejala awal yang sering,
serta perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik. Pasien juga dikatakan muntah
satu kali dan dari hasil pemeriksaan fisik adanya meningeal sign berupa kaku kuduk dan
Kerniq sign.
Anak-anak dengan meningitis bakterial umumnya memiliki kadar glukosa CSS yang
rendah karena proses glikolisis oleh sel darah putih atau oleh patogen lain serta karena
gangguan transpor glukosa. Kadar glukosa CSS berhubungan dengan kadar glukosa serum.
Kadar normal rasio glukosa CSS sekitar 60% dari kadar glukosa serum.2 Diketahuinya
adanya hubungan antara kadar glukosa CSS dan serum, dapat membantu klinisi
memperkirakan konsentrasi glukosa CSS untuk mengevaluasi meningitis bakterial pada

[Type here] 28
pasien anak. Kadar glukosa CSS yang berhubungan dengan proses patologis yang terjadi di
otak pada meningitis bakterial, menyebabkan beberapa penelitian juga melihat kadar glukosa
CSS sebagai faktor prognostik keluaran pada meningitis bakterial.
Prinsip kewaspadaan pada tiap anak usia 6–18 bulan yang mengalami kejang demam
pertama harus diterapkan terutama bila mengalami kejang ≥15 menit karena memiliki risiko
tinggi mengalami meningitis bakterial.6 Tindakan pungsi lumbal perlu dilaksanakan untuk
memastikan ada tidaknya meningitis bakterial atau infeksi SSP lain. Keterlambatan
penegakkan diagnosis dan tatalaksana dapat berbahaya bagi keselamatan pasien di samping
meningkatkan kemungkinan kecacatan di kemudian hari. Penundaan tindakan lumbal pungsi
tidak direkomendasikan pada anak usia 6–18 bulan yang mengalami kejang demam pertama
≥ 15 menit.7 Pemberian antibiotik dapat diberikan tidak lebih dari 3 jam, namun diawali
secara empiris. Terapi antibiotik empiris anak umur di atas 3 bulan dapat diberikan
Cefotaxim 200 mg/kgbb/hr IV, dibagi 3-4 dosis, Ceftriaxon 50 mg/kgbb/hr IV, dibagi 2
dosis, Ampicillin 200-400 mg/kgbb/hr IV, dibagi 4 dosis dan dapat diberikan Kloramfenikol
100 mg/kgbb/hr, IV dibagi 4 dosis jika pasien anak tidak menunjukkan kontraindikasi. Pada
pasien anak ini juga diberikan pemberian Deksametason dengan dosis 0,6 mg/kgbb/hr dibagi
4 dosis pada 2 hari pertama, tiap 6 jam diberikan 30 menit sebelum pemberian antibiotik 3
hari pertama.13
Faktor-faktor prognostik adanya gejala infeksi meningitis bakterial pada anak-anak usia
0-18 tahun antara lain seperti koma atau penurunan kesadaran, syok, kegagalan sirkulasi
perifer, distres pernapasan yang berat, demam yang berkepanjangan dan durasi bangkitan
yang lama.3,4 Selain itu beberapa pemeriksaan yang dilakukan saat masuk rumah sakit seperti
kadar lekosit darah tepi yang rendah, kadar lekosit CSS yang rendah, kadar glukosa CSS
yang rendah dan kadar protein CSS yang tinggi, menjadi indikator adanya infeksi akut yang
berat pada sistem saraf pusat dan parameter keparahan proses penyakit. Faktor-fakor yang
mempengaruhi outcome pada meningitis bakterial antara lain umur, etiologi, temuan pada
cairan serebrospinal saat masuk rumah sakit, hitung jenis sel darah putih, dan kadar glukosa.
Penurunan kesadaran dan adanya kejang saat dirawat telah dikaitkan dengan meningkatnya
mortalitas dan kelainan neurologis sebagai gejala sisa.5

[Type here] 29
DAFTAR PUSTAKA

1. Ropper A, Brown R. Adam and Victor’s Principles of Neurology. Edisi ke 8. New


York: McGraw-Hill; 2005.
2. Clarke C, Howard R, Rossor M, Shorvon S. Neurology: A queen square textbook.
London: Blackwell Publishing; 2009.
3. Shay K. Infectious complications of dental and periodontal diseases in elderly
populations. Clinical Infection Disease. 2002;34:1215–23.
4. Jeliffe D. Kesehatan Anak di Daerah Tropis. Edisi ke 4. Jakarta: Bumi Aksara; 1994.
5. Japardi I. Meningitis Meningococcus. USU Digital Library. 2002.
6. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke 15. Jakarta: ECG; 1996.
7. Nur HE, Rohela M, Ibrahim J, Nissapatorn V. Bacterial Meningtis: A Five Year (2001-
2005) Retrospective Study at University Malaya Medical Centre (UMMC), Kuala
Lumpur, Malaysia. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine Public Health.
2008;39.
8. Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R. Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis
Bakterialis. Cermin Dunia Kedokteran [Internet]. 2015;42(1):15–9. Diakses dari:
http://www.kalbemed.com/Portals/6/06_224Diagnosis_dan_Tatalaksana_Meningitis_
Bakterialis.pdf [diakses pada tanggal 30 November 2018]
9. Tunkel A, Hartman B, Kaplan S, Kaufman B, Roos K. Practice guidelines for
management of bacterial meningitis. Clinical Infection Disease. 2004;39:1267–84.
10. Susana C, George H. Bacterial Meningitis in Children. Pediatric Clinical of North
America. 2005;52:795–810.
11. Razonable R. Meningitis Overview. Mayo Clinic [Internet]. 2009. Diakses dari:
http://www.medscapeemedicine.com/meningitis [diakses pada tanggal 16 Desember
2018]
12. Fitri EDL, Haffiyani L, Ramadhan RT, Azzahra L, Puspitasari D, Damayanti R, dkk.
Infeksi Sistem Saraf Pusat. Fakultas Kedokteran UPN Veteran. 2013. hlm. 37–9.
13. Meningitis Bakterialis. Dalam: Panduan Praktik Klinis Ilmu Kesehatan Anak.
Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah; 2017. hlm. 446–
8.
14. Beek D Van De, Brouwer M, Thwaites G. Advances in treatment of bacterial
meningitis. Lancet. 2012;380:1684–92.
15. Bhimraj A. Acute community-acquired bacterial meningitis in adults: An evidence-
[Type here] 30
based review. Cleveland Clinical Journal Medicine. 2012;79:393–400.
16. Beek D Van De, Gans J De, Tunkel AR, Wijdicks EFM. Community-acquired
bacterial meningitis in adults. North England Journal Medicine. 2006;354:44–53.
17. Perdossi PN. Neuroinfeksi. Surabaya: Airlangga University Press; 2012.
18. Fernandes D, Pereira J, Silvestre J, Bento L. Acute bacterial meningitis in the intensive
care unit and risk factors for clinical outcomes: retrospective study. J Crit Care.
2014;29:347–50.
19. Singh N, Rieder M, Tucker M. Mechanisms of glucocorticoid-mediated
antiinflammatory and immunosuppresive action. Pediatric Perinatal Drug Therapy.
2004;6:107–15.
20. Brunton L, Lazo J, Parker K. Goodman & Gilman’s the pharmacological basis of
therapeutics. New York: McGraw-Hill; 2006.
21. Liu D, Ahmet A, Ward L, Krishnamoorthy P, Mandelcorn E, Leigh R. A practical
guide to the monitoring and management of the complications of systemic
corticosteroid therapy. Allergy, Asthma Clinical Immunology. 2013;9:1–25.
22. Hsu D, Katelaris C. Long-term management of patients taking immunosuppresive
drugs. Australian Prescription. 2009;32:68–71.
23. Saag K, Teng G, Patkar N, Anuntiyo J, Finney C, Curtis J. American college of
rheumatology 2008 recommendations for the use of nonbiologic and biologic disease-
modifying antirheumatic drugs in rheumatoid arthritis. Arthritis Rheumatology.
2008;59:762–84.

[Type here] 31

Anda mungkin juga menyukai