Anda di halaman 1dari 30

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Kristina
B3 / 102009247*
*Mahasiswa Falkultas Kedokteran Universitas
Krida Wacana
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida
Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510
Email : Tina8800_cozzz@yahoo.com
2011

A. Pendahuluan
Kelenjar prostat merupakan organ pada laki-laki yang paling sering terkena neoplasma
jinak maupun ganas. Secara anatomis, prostat terletak pada pelvis, yang dipisahkan dengan
simfisis pubis di bagian anterior oleh ruang retropubik (rongga Retzius). Permukaan posterior
dari prostat dipisahkan dari ampula rekti oleh fasia Denonvillier. Basis dari prostat tersambung
dengan leher vesika urinaria, dan apeksnya terletak di permukaan bagian atas dari diafragma
urogenital. Prostat diperdarahi pembuluh darah arteri cabang dari arteri iliaka interna. Drainase
vena prostat melalui kompleks vena dorsalis, yang menerima vena profunda di bagian dorsal
penis dan cabang dari vesika sebelum mengalir ke vena iliaka interna. Persarafan prostat berasal
dari pleksus pelvis. Ukuran normal prostat sekitar 3-4 cm pada basis, 4-6 cm di sefalokaudal, dan
2-3 cm di bagian anteroposterior. Benign prostatic hyperplasia (BPH) secara keseluruhan berasal
dari zona transisi.1
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan dan
mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau
benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli
dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus
disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction
(BPO).1,2 Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun
ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah. Keluhan yang
disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract symptoms) yang
terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang
meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering
terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi

1
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
retensi urine. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien BPH
mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi disebabkan oleh
BPH.1,2
B. Anamnesis

Anamnesis dilakukan untuk menggali keluhan utama serta gejala BPH. Di samping itu
ditanya juga riwayat kesehatan pada umumnya seperti riwayat pembedahan, riwayat penyakit
saraf, penyakit metabolik seperti diabetes melitus, dan riwayat pemakaian obat-obatan. Untuk
menilai gejala obstruktif dan iritatif dapat diperoleh melalui kuesioner, dimana yang umumnya
dipakai saat ini adalah International Prostate Symptom Score (IPSS). Pada kasus BPH, hal-hal
yang perlu ditanyakan antara lain :3,4
 Bagaimana perasaan setelah buang air kecil? Lampias atau tidak lampias (vesika urinaria
tidak kosong setelah miksi)
 Seberapa sering dalam sehari buang air kecil? Sering / tidaknya miksi
 Bagaimana pancuran air kemih waktu berkemih? Terdapat arus kemih yang berhenti saat
miksi / tidak?
 Bagaimana arus buang air kecil lancar, setetes-setetes? (lemah saat miksi / tidak)
 Dapatkah menahan buang air kecil? Tidak dapat menahan miksi / dapat
 Apakah terjadi kesulitan saat memulai buang air kecil / tidak?
 Apakah sering buang air kecil pada waktu malam hari atau terbangun pada malam hari
(Nokturia)?
Hasil anamnesis berdasarkan dari skenario antara lain : Laki-laki berusia 60 tahun datang
ke poliklinik dengan keluhan sering BAK, terutama pada malam hari. Setiap setelah selesai
BAK, pasien selalu merasa tidak lampias dan pancuran urainya lemah. Keluhan ini sudah
dirasakan selama 6 bulan terakhir dan dirasa semakin memberat. Sisa urin >150cc

C. Pemeriksaan
Setelah melalui proses anamnesa dan diketahui keluhan dari pasien lalu dapat dilakukan
pemeriksaan-pemeriksaan yang dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan yang
dapat dilakukan antara lain: pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.3
 Pemeriksaan Fisik
 Rectal Toucher merupakan pemeriksaan yang wajib dilakukan. Pemeriksaan colok
dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo
cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam
rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :4-11

2
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
 Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
 Adakah asimetris
 Adakah nodul pada prostate (merupakan tanda dari adanya keganasan)
 Apakah batas atas dapat diraba
 Sulcus medianus prostate
 Adakah krepitasi

Pembesaran kelenjar prostat lobus lateral pada pemeriksaan colok dubur,


simetris dan keseluruhannya elastis. Lobus median berbatasan dengan vesica urinaria
dan tidak teraba membesar pada pemeriksaan ini. Pada pemeriksaan ini, prostat harus
dipalpasi dengan teliti terhadap kemungkinan adanya nodul atau pengerasan yang
mengindikasikan pada adanya suatu karsinoma.1,4,9-17

Gambar 1. Pemeriksaan Rectal Toucher


Secara umum, pemeriksaan colok dubur pada hiperplasia prostat
menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan
dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat,
konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak
simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi. Pada penderita retensi
urin akut, benjolan yang teraba di atas rongga pelvis akan terasa sangat nyeri pada
waktu palpasi. Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba benjolan yang
konsistensinya lebih keras dari sekitarnya. Dengan colok dubur dapat pula teraba batu
prostat apabila teraba krepitasi. 1,4,9-17

3
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
Pada pemeriksaan fisik, apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria
bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis
akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat
teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan
untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk
melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan
miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra,
fimosis, condiloma di daerah meatus. 1,4,9-17
Meskipun pemeriksaan ini wajib dilakukan, ukuran besarnya prostat tidak
mempunyai korelasi dengan beratnya gejala, derajat obstruksi, hasil pengobatan dan
tidak merupakan pertimbangan untuk melakukan pengobatan secara aktif apabila
dibutuhkan. Besarnya ukuran prostat hanya berguna untuk menentukan prosedur
bedah yang sesuai untuk penderita. Misalnya pada prostat yang kecil dapat
ditindaklanjuti dengan single Bladder Neck Incision (BDI), sementara pada prostat
yang sangat besar mungkin membutuhkan prostatectomy terbuka dibandingkan
dengan melakukan Transurethral Resection of the Prostat (TURP). 1,4,9-17
Hasil pemeriksaan:
RT: teraba prostat >4cm dari anus
Trans ultra sonografi : berat >100gram

 Pemeriksaan Penunjang1,10-22
 Urinalisis
Bertujuan untuk menyingkirkan adanya infeksi atau hematuria dan pengukuran
kadar serum ureum kreatinin untuk menilai fungsi ginjal dari pasien. Insufisiensi ginjal
dapat ditemukan pada 10% pasien dengan prostatism dan memerlukan pemeriksaan
radiologi saluran kemih bagian atas. Pasien dengan insufisiensi ginjal mempunyai risiko
yang tinggi mengalami komplikasi post-operasi setelah pembedahan BPH. Kadar PSA
serum biasanya dapat dilakukan, namun sebagian besar ahli memasukkan pemeriksaan
PSA ke dalam pemeriksaan awal, dibandingkan dengan pemeriksaan RT saja.10-22
 PSA
Disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specifik tetapi bukan kanker
specifik. Serum PSA dapat dipakai untuk mengetahui perjalanan penyakit dari BPH.
Apabila kadar PSA tinggi berarti : 10-13
(a) Pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
(b) Keluhan akibat BPH atau laju pancaran urin lebih buruk,

4
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
(c) Lebih mudah terjadinya retensi urine akut.
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA,
makin tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume
prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun,
sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9
ng/dl adalah 3,3 mL/tahun.18 Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan
pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi
urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Rentang kadar PSA
yang dianggap normal berdasarkan usia adalah:10-18

 40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml


 50-59 tahun :0-3,5 ng/ml
 60-69 tahun :0-4,5 ng/ml
 70-79 tahun : 0-6,5 ng/ml

Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma prostat, tetapi


kelompok usia BPH mempunyai resiko terkena karsinoma prostat. Pemeriksaan PSA
bersamaan dengan colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok dubur saja
dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia ini pemeriksaan
PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat.11
Pemeriksaan PSA sebagai salah satu pemeriksaan awal pada BPH, meskipun dengan
syarat yang berhubungan dengan usia pasien atau usia harapan hidup pasien. Usia
sebaiknya tidak melebihi 70-75 tahun atau usia harapan hidup lebih dari 10 tahun,
sehingga jika memang terdiagnosis karsinoma prostat tindakan radikal masih ada
manfaatnya.11-19
 Pielogram intravena (IVP) atau USG ginjal dianjurkan bila ditemukan adanya kelainan
saluran kemih atau komplikasi dari BPH (misal: hematuria, ISK, insufisensi ginjal, dan
riwayat batu saluran kemih).15-22
 Sistoskopi tidak dianjurkan, untuk menentukan perlunya dilakukan terapi pada pasien.
Sistoskopi membantu pemilihan terapi bedah pada pasien yang akan dilakukan terapi
invasif. 15-22
 Sistometrogram dan urodinamik diperlukan pada pasien yang diduga mengalami
kelainan neurologis atau pada pasien dengan riwayat kegagalan operasi prostat. 5

5
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
Pemeriksaan urodinamika merupakan pemeriksaan optional pada evaluasi pasien
BPH bergejala.11,12 Meskipun merupakan pemeriksaan invasif, urodinamika saat ini
merupakan pemeriksaan yang paling baik dalam menentukan derajat obstruksi prostat
(BPO), dan mampu meramalkan keberhasilan suatu tindakan pembedahan. Pemeriksaan
ini mempunyai sensitifitas 87%, spesifisitas 93%, dan nilai prediksi positif sebesar 95%.
Indikasi pemeriksaan urodinamika pada BPH adalah: 15-22
 Berusia < 50 tahun atau lebih dari 80 tahun dengan volume residual urine>300
mL,
 Qmax>10 ml/detik, setelah menjalani pembedahan radikal pada daerah pelvis,
 Setelah gagal dengan terapi invasif, atau
 Kecurigaan adanya buli-buli neurogenik

Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang
tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. 78% pria normal mempunyai residual urine
kurang dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL.18
Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melakukan
pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah pasien berkemih,
maupun non invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine melalui USG atau bladder scan.
Pengukuran melalui kateterisasi ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak
nyaman bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran
kemih, hingga terjadi bakteriemia.11,12 Peningkatan volume residual urine tidak selalu
menunjukkan beratnya gangguan pancaran urine atau beratnya obstruksi. Watchful
waiting biasanya akan gagal jika terdapat residual urine yang cukup banyak dan volume
residual urine lebih 350 ml seringkali telah terjadi disfungsi pada buli-buli sehingga terapi
medikamentosa biasanya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan.15-22
Beberapa negara terutama di Eropa merekomendasikan pemeriksaan PVR sebagai
bagian dari pemeriksaan awal pada BPH dan untuk memonitor setelah watchful waiting.
Karena variasi intraindividual yang cukup tinggi, pemeriksaan PVR dikerjakan lebih dari
satu kali dan sebaiknya dikerjakan melalui melalui USG transabdominal.15-22
 Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi secara
elektronik. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih
bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai

6
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran.15-22
Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai untuk mengevaluasi
gejala obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan terapi. Hasil
uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran urine,
sebab pancaran urine yang lemah dapat disebabkan karena BOO atau kelemahan otot
detrusor. Demikian pula Qmax (pancaran) yang normal belum tentu tidak ada BOO.
Namun demikian sebagai patokan, pada IC-BPH 2000, terdapat korelasi antara nilai Qmax
dengan derajat BOO sebagai berikut: 15-22
 Qmax < 10 ml/detik 90% BOO
 Qmax 10-14 ml/detik 67% BOO
 Qmax >15 ml/detik 30% BOO
Harga Qmax dapat dipakai untuk meramalkan hasil pembedahan. Pasien tua yang
mengeluh LUTS dengan Qmax normal biasanya bukan disebabkan karena BPH dan
keluhan tersebut tidak berubah setelah pembedahan. Sedangkan pasien dengan Qmax <10
mL/detik biasanya disebabkan karena obstruksi dan akan memberikan respons yang baik.
Penilaian ada tidaknya BOO sebaiknya tidak hanya dari hasil Qmax saja, tetapi juga
digabungkan dengan pemeriksaan lain. Menurut Steele et al (2000) kombinasi
pemeriksaan skor IPSS, volume prostat, dan Qmax cukup akurat dalam menentukan
adanya BOO.13
Nilai Qmax dipengaruhi oleh: usia, jumlah urine yang dikemihkan, serta terdapat
variasi induvidual yang cukup besar. Oleh karena itu hasil uroflometri menjadi bermakna
jika volume urine >150 mL dan diperiksa berulangkali pada kesempatan yang berbeda.
Spesifisitas dan nilai prediksi positif Qmax untuk menentukan BOO harus diukur
beberapa kali. Reynard et al (1996) dan Jepsen et al (1998) menyebutkan bahwa untuk
menilai ada tidak-nya BOO sebaiknya dilakukan pengukuran pancaran urine 4 kali.13
Bila pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien mempunyai
pancaran urine yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya, pemeriksaan
urodinamika (pressure flow study) dapat membedakan pancaran urine yang lemah itu
disebabkan karena obstruksi leher buli-buli dan uretra (BOO) atau kelemahan kontraksi
otot detrusor. Pemeriksaan ini cocok untuk pasien yang hendak menjalani pembedahan.
Mungkin saja LUTS yang dikeluhkan oleh pasien bukan disebabkan oleh obstruksi prostat

7
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
(BPO) melainkan disebabkan oleh kelemahan kontraksi otot detrusor sehingga pada
keadaan ini tindakan desobstruksi tidak akan bermanfaat. 15-22
 Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan radiologi, seperti foto
polos abdomen, dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan seperti batu
saluran kemih, hidronefrosis, atau difertikel saluran kemih. Pembesan prostat dapat
dilihat lesi profusio prostat kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung
pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila dasar kandung kemih pada gambaran
sistogram tampak terangkat atau ujung distal ureter membengkok keatas berbentuk
seperti mata kail. Ultrasonografi dapat dilakukan secara transabdominal atau
transrektal (transrectal ultrasography = TRUS). Untuk mengetahui pembesaran prostat,
pemeriksaan ini dapat pula menentukan volume kandung kemih, mengukur sisa urin
dan keadaan patologi lain seperti defertikel, tumor dan batu.
Pemeriksaan CT Scan atau MRI jarang dilakukan. Pemeriksaan sitoskopi dilakukan
apabila pada anamesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan
mikrohematuria. Sitoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat
dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat di
dalam uretra.15-22
Kelenjar prostat yang normal memiliki ukuran 3 × 3 × 5 cm sekitar atau volume 25 ml.
Tujuh puluh persen dari semua PCa terletak di zona perifer, sedangkan 20% muncul dari
zona transisi dan 10% di zona pusat.

D. Diagnosis Banding
 Ca Prostat
Merupakan suatu keganasan pada prostat yang paling banyak pada pria. Angka
kejadiannya meningkat seiring dengan usia pasien. Sebagian besar etiologinya belum
diketahui pasti, riwayat keluarga, paparan radiasi dan polutan lingkungan mungkin
berperan dalam penyakit ini. Sejumlah sel tumor pada prostat antara lain :7
 Adenokarsinoma yang paling banyak ditemukan, timbul pada epitel asinar pada
daerah perifer kelenjar.
 Subtipe jarang (< 2%) adalah karsinoma sel transisional timbul pada epitel suktus.
Sarkoma stroma: limfoma dan karsinoma sel kecil.

Manifestasi Klinis

8
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
Ca prostat awalnya asimtomatik dan mungkin terdeteksi secara klinis hanya
dengan ditemukan massa yang teraba pada pemeriksaan colok dubur. Tumor biasanya
tumbuh di daerah perifer sehingga menimbulkan gejala obstruksi lebih lambat kecuali
sekunder karena BPH. Banyak pasien yang menderita penyakit ini dan belum
terdiagnosis dan timbul gejala yang berhubungan seperti: gejala konstitutusi (seperti
penuranan berat badan dan anemia), nyeri tulang, limfadenopati atau komplikasi
neurologis. 7

Pemeriksaan Penunjang, Pendekatan Klinis dan Terapi

Tujuan pemeriksaan penunjang untuk menentukan tumor ini bermetatasis atau


tidak. Apabila penyakit ini hanya terbatas pada prostat, dilakukan terapi lokal
menggunakan radioterapi atau prostatektomi radikal tepat digunakan. Karena dapat
mengurangi komplikasi lokal dan lebih baik dilakukan daripada menunggu
perkembangan penyakit. 7

Pemeriksaan penunjang antara lain : 7

 Ultrasonografi transrektal untuk mengidentifikasi lesi kecil di perifer dengan


biopsi sextant.
 Reseksi prostat transuretral (TURP) apabila terdapat prostatismus.
 Tes PSA apabila kadarnya > 10 IU mengindikasikan kemungkinan penyakit ini ada
metatasis.
 Fosfatase Asam Basa
 CT scan Abdomen dan Pelvis untuk menemukan nodus.
 MRI pelvis untuk menemukan tumor dan derajat ekstensi lokal.
 Foto toraks dan Isotope bone scan untuk mendeteksi adanya metatasis.
Skrining terhadap ca prostat masih kontroversi. Penggunaan analisis kadar PSA
serum yang digabungkan dengan colok dubur cukup efektif dalam mendeteksi penyakit
ini. Terapi pada Ca prostat antara lain : 7
 Karsinoma prostat awal : pembedahan, radioterapi, dan menunggu perkembangan
penyakit.
 Pembedahan dianjurkan pada tumor yang berdiferensiasi buruk yang terbatas pada
prostat, walaupun belum pernah diujikan terhadap radioterapi dengan uji klinis
acak.
 Radioterapi radikal
 Brakiterapi menggunakan paladium radioaktif atau benih iodium yang ditanamkan
pada prostat digunakan pada pasien tumor derajat rendah.
 Hormon Adrogen. Terapi ini baik sebelum radioterapi untuk mengukur ukuran
prostat sehingga mengurangi volume radioterapi dan toksiksitasnya. Efek samping
terapi ini flushing, kelemahan, impotensi dan hilangnya libido.
 Infeksi Saluran Kemih (ISK)8,9

9
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
Adalah infeksi akibat terbentuknya koloni kuman yang ada di saluran kemih yang
terjadi secara asending dan hematogen.8
Anamnesis8,9
ISK bawah : frekuensi meningkat, disuria terminal, polakisuria, nyeri suprapubik.
ISK atas : nyeri pinggang, demam mengigil, mual, muntah dan hematuria.
Pemeriksaan fisik8,9
Suhu febris, nyeri tekan suprapubik, nyeri ketok kostovertebra.
Pemeriksaan Penunjang9
Urinalisis, kultur urin dan resistensi kuman, tes fungsi ginjal, gula darah, BNO-IVP, dan
USG ginjal.
Laboratorium8,9
Leukositosis, leukosituria, kultur urin (+); bakteriuria > 105/ml urin.
Infeksi saluran kemih (ISK) terbagi menjadi dua tipe, antara lain;8,9
 ISK tipe sederhana (Uncomplicated type), jarang menyebabkan insufisiensi
ginjal kronik (IGK) walaupun sering mengalami ISK berulang. ISK ini terjadi
pada perempuan yang tidak hamil dan tidak terdapat disfungsi struktural ataupun
fungsional ginjal.
 ISK berkomplikasi (Complicated type), berhubungan dengan refluks
vesikoureter sejak lahir yang sering menyebabkan insufisiensi ginjal kronik (IGK)
yang berakhir dengan gagal ginjal terminal (GGT). ISK ini berlokasi pada vesika
urinaria biasanya terjadi pada anak-anak, laki-laki dan ibu hamil.

ISK Bawah, gambaran klinis tergantung pada gender : 8,9

 Perempuan
* Sistitis adalah gambaran klkinis infeksi saluran kemih disertai bakteriuria
bermakna. Gejalanya sakit suprapubik, polakisuria, nokturia, disuria, dan
straguria.
* Sindrom Uretra akut (SUA) merupakan gambaran sistitis tanpa ditemukan
mikoorganisme maka sering dinamakan Sistitis bakterialis yang sering
disebabkan oleh mikrorganisme anaerobik. Sindrom ini sering ditemukan pada
perempuan 20-50 tahun. Gejala klinis SUA sulit dibedakan dengan sistitis.
 Laki-laki
*Sistitis
*Prostatitis, gejala klinis terdiri dari akut dan kronis (minimal 3 bulan menderita).

 Paling sering dikeluhkan: NYERI


 Prostat/perineum : 46 %
 Skrotum dan atau Testis : 39 %
 Penis : 6%
 Kandung kemih : 6%

10
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
 Punggung : 2%
 dan LUTS : sering BAK, sulit BAK seperti pancaran lemah, mengedan dan
nyeri saat BAK/nyeri bertambah saat BAK.
* Epidimidis
* Uretritis
Gejala uretritis adalah discharge purulen dan alguria/disuria. Kebanyakan
uretritis bersifat asimtomatis.
ISK Atas terdiri dari : 8,9
 Pielonefritis akut (PNA) adalah proses inflamasi ginjal yang disebabkan oleh
infeksi bakteri. Gejalanya meliputi : demam mengigil (39,5 - 40,5 oC), sakit
pinggang, sering didahului oleh gejala sistitis.
 Pielonefritis kronik (PNK) akibat lanjutan infeksi bakteri berkepanjagan atau
infeksi semasa kecil. Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter dengan
atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti dengan pembentukan jaringan ikat
parenkim ginjal. Bakteriuria asimptomatik kronik pada oarang dewasa tanpa
faktor predisposisi tidak pernah menyebabkan pembentukan pembentukan
jaringan ikat parenkim ginjal.
Faktor risiko ISK :8
 Lithiasis
 Obstruksi saluran kemih
 Penyakit ginjal polikistik
 Nekrosis papilar
 DM pasca transplantasi ginjal
 Nefropati analgesik
 Sickle cell
 Seggama
 Kehamilan dan peserta KB dengan progesteron
 Kateterisasi
Penatalaksanaan8,9
Non-farmakologi : banyak minum bila fungsi ginjal masih baik dan menjaga higiene
genitalia eksterna
Farmakologis : antimikroba berdasarkan pola kuman.
Komplikasi
Batu saluran kemih, obstruksi saluran kemih, sepsis, infeksi kuman yang multiresisten
dan gangguan ginjal. 8,9
 Striktur Uretra

Pada striktur uretra terjadi penyempitan dari lumen uretra akibat terbentuknya jaringan
fibrotik pada dinding uretra. Striktur uretra menyebabkan gangguan dalam berkemih, mulai
dari aliran berkemih yang mengecil sampai sama sekali tidak dapat mengalirkan urin keluar

11
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
dari tubuh. Urin yang tidak dapat keluar dari tubuh dapat menyebabkan banyak komplikasi,
dengan komplikasi terberat adalah gagal ginjal.

Striktur uretra masih merupakan masalah yang sering ditemukan pada bagian dunia
tertentu. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita, karena uretra pada
wanita lebih pendek dan jarang terkena infeksi. Segala sesuatu yang melukai uretra dapat
menyebabkan striktur.

Gejala

Gejala dari striktur uretra yang khas adalah pancaran buang air seni kecil dan bercabang.
Gejala yang lain adalah iritasi dan infeksi seperti frekuensi (sering buang air kecil), urgensi
(tergesa-gesa untuk buang air kecil ), disuria, inkontinensia, urin yang menetes, kadang-
kadang dengan penis yang membengkak, infiltrat, abses dan fistel. Gejala lebih lanjutnya
adalah retensi urine.

Striktur uretra dapat terjadi pada :

 Kelainan Kongenital, misalnya kongenital meatus stenosis, klep uretra posterior


 Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia, epispadia
 Trauma, misalnya fraktur tulang pelvis yang mengenai uretra pars
membranasea ; trauma tumpul pada selangkangan (straddle injuries) yang
mengenai uretra pars bulbosa, dapat terjadi pada anak yang naik sepeda dan
kakinya terpeleset dari pedal sepeda sehingga jatuh dengan uretra pada bingkai
sepeda pria; trauma langsung pada penis ; instrumentasi transuretra yang
kurang hati-hati (iatrogenik) seperti pemasangan kateter yang kasar, fiksasi
kateter yang salah.
 Post operasi, beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan striktur
uretra, seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi.
 Infeksi, merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra,
seperti infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis gonorrhoika
atau non gonorrhoika telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya
namun sekarang sudah jarang akibat pemakaian antibiotik, kebanyakan striktur
ini terletak di pars membranasea, walaupun juga terdapat pada tempat lain;
infeksi chlamidia sekarang merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah

12
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
dengan menghindari kontak dengan individu yang terinfeksi atau menggunakan
kondom.2,14
E. Working Diagnosis
Dari pembahasan dan data yang didapatkan working diagnosis adalah “Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH)”.
F. Definisi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Pada banyak pasien dengan usia di atas 50 tahun, kelenjar prostatnya mengalami
pembesaran, memanjang ke arah kandung kemih dan penyumbatan aliran urin dengan dengan
menutup orifisium uretra. Hipertrofi prostat adalah pertumbuhan dari nodula-nodula
fibroadematosa majemuk dalam prostat. Sebenarnya istilah hipertrofi kurang tepat karena yang
terjadi adalah hiperplasia kelenjar periuretra yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer
dan menjadi simpai bedah.10-22
Hiperplasia adalah penambahan ukuran suatu jaringan yang disebabkan oleh penambahan
jumlah sel pembentuknya. Hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi
berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya
dengan hipertrofi prostat namun secara histologi yang dominan adalah hyperplasia. 10-22
Daerah yang sering terkena adalah lobus lateral bagian tengah dan lobus medial. Berat
prostat bisa mencapai 60-100 gram (normal 20 gram). Pernah juga dilaporkan pembesaran
prostat yang beratnya melebihi 200 gram. Secara mikroskopik gambaran yang terlihat tergantung
pada unsur yang berproliferasi. Bila kelenjar yang banyak berproliferasi maka akan tampak
penambahan jumlah kelenjar dan sering terbentuk kista-kista yang dilapisi oleh epitel silindris
atau kubis dan pada beberapa tempat membentuk papila-papila ke dalam lumen. Membrana
basalis masih utuh. 10-22
Kadang-kadang terjadi penambahan kelenjar kecil-kecil sehingga menyerupai
adenokarsinoma. Di dalam lumen sering ditemukan deskuamasi sel epitel, sekret yang granuler
dan kadang-kadang corpora arnylacea (hyaline concretion). Dalam stroma sering ditemukan
infiltrasi sel limfosit. Bila unsur fibromuskuler yang bertambah maka tampak jaringan ikat atau
jaringan otot dengan kelenjar-kelenjar yang letaknya berjauhan, disebut hiperplasia fibromatosa.

13
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
Gambar 2. Mikroskopis Hiperplasia Prostat Jinak

Ketergantungan sejumlah relatif elemen stroma dan kelenjar, maka tipe hiperplasia prostat
yang sering ditemukan adalah fibromyoglandular dan fibromyomatosa. Perubahan sekunder
yang terjadi adalah infark akibat nodul menekan pembuluh darah. 10-22

G. Epidemiologi
BPH merupakan tumor jinak paling sering pada laki-laki, dan insidensinya berhubungan
dengan bertambahnya usia. Faktor risiko BPH masih belum jelas. Beberapa penelitian
menunjukkan adanya predisposisi genetik, dan beberapa kasus dipengaruhi oleh ras. Prevalensi
BPH secara histologi pada otopsi didapatkan peningkatan dari sekitar 20% pada pria usia 41-50
tahun, menjadi 50% pada pria usia 51-60 tahun, dan >90% pada pria usia lebih dari 80 tahun. 10-22
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia
40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai
pubertas, dimana pada selang waktu tersebut terjadi peningkatan cepat dalam ukuran yang
berkelanjutan sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami
perubahan hiperplasia. 10-22
Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan
pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan
patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50% dan pada usia 80 tahun
sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.
10-22

Dari beberapa autopsi dalam ukuran prostat dan insiden histologi hiperplasia prostat,
mereka melaporkan bahwa prostat tumbuh dengan cepat selama masa remaja sampai ukuran
dewasa dalam tiga dekade dan pertumbuhan melambat sampai laki-laki mencapai usianya yang

14
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
ke 40 dan 50 tahun, mulai memasuki pertumbuhan yang makin lama makin besar. Mereka juga
menetapkan insiden hiperplasia prostat makin meningkat dengan meningkatnya usia dimulai dari
dekade ke-3 kehidupan dan menjadi sangat besar pada waktu usia 80-90 tahun. 10-22
Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran kemih dan diperkirakan
ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50 tahun dengan angka harapan hidup rata-rata di
Indonesia yang sudah mencapai 65 tahun dan diperkirakan bahwa lebih kurang 5% pria
Indonesia sudah berumur 60 tahun atau lebih. Kalau dihitung dari seluruh penduduk Indonesia
yang berjumlah 200 juta lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria, dan yang berumur 60 tahun
atau lebih kira-kira 5 juta, sehingga diperkirakan ada 2,5 juta laki-laki Indonesia yang menderita
BPH. 10-22
H. Etiologi
Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen
karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada
jaringan adiposa di perifer. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat
sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang
akan terjadi perubahan patologik anatomik. Karena proses pembesaran prostat terjadi secara
perlahan, efek perubahan juga terjadi secara perlahan.10-13
Etiologi dari BPH belum dimengerti sepenuhnya, tetapi kemungkinan multifaktor dan
hormonal. Prostat tersusun oleh bagian stroma dan epitel, dan masing-masing maupun keduanya,
dapat menjadi nodul hiperplastik dan keluhan-keluhan yang berhubungan dengan BPH. 10-22
Beberapa penelitian menemukan adanya bukti bahwa BPH diatur oleh sistem endokrin.
Penelitian lanjutan menunjukkan adanya korelasi positif antara kadar testosteron dan estrogen
bebas dengan volume dari BPH. Hubungan antara pertambahan usia dengan BPH mungkin
akibat dari peningkatan kadar estrogen yang merangsang reseptor androgen, yang selanjutnya
meningkatkan sensitivitas kelenjar prostat terhadap testosteron bebas. Ada beberapa teori yang
menjelaskan penyebab terjadinya hipertrofi prostat ini, yaitu: 10-22

 Teori dehidrotestosteron (DHT)

Bahwa aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron dalam sel
prostat menjadi faktor risiko terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel yang dapat
menyebabkan inkripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein.
Proses reduksi ini difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase.

 Teori Hormon, estrogen berperan pada inisiasi dan maintenance pada prostat manusia.

15
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
 Faktor interaksi stroma dan epitel, hal ini banyak dipengaruhi oleh Growth Factor.
Basic Fibroblast Growth Factor (β-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan
dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. β-
FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.

 Teori kebangkitan kembali yaitu reinduksi dari kemampuan mesenkim sinus urogenital
utuk berprolferasi membentuk jaringan prostat.

I. Patofisiologi dan Patogenesis


Patologi
BPH berawal dari zona transisi yang mengalami proses hiperplasia akibat peningkatan
jumlah sel. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan adanya pola pertumbuhan nodular yang
tersusun oleh stroma dan epitel. Stroma disusun oleh jaringan kolagen dan otot polos.11
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah
prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung
kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi. Mukosa dapat
menerobos keluar di antara serat detrusor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula,
sedangkan yang besar disebut divertikulum. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi
otot dinding. Apabila keadaan berlanjut, detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. 10-18

Patofisiologi

Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi
saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi terputus, menetes
pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala
iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor yang berarti bertambahnya frekuensi miksi,
nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi
terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi
atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering
berkontraksi meskipun belum penuh. 10-22

Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi
masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir
miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga

16
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
penderita tidak mampu lagi miksi. Produksi urin yang terus terjadi, pada suatu saat vesika tidak
mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila tekanan
vesika menjadi lebih tinggi dibanding tekanan sfingter dan obstruksi akan terjadi inkontinensia
paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis dan
gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Karena selalu terdapat sisa
urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan
iritasi dan menimbulkan hematuria.10-22

Obstruksi akibat BPH dapat dibagi menjadi obstruksi mekanik dan dinamik. Saat terjadi
pembesaran prostat, obstruksi mekanik mungkin merupakan akibat adanya penekanan ke lumen
uretra atau leher vesika urinaria, yang menyebabkan tahanan pelepasan kandung kemih yang
lebih tinggi. Sebelum adanya pembagian zona prostat, ahli urologi sering membagi prostat
menjadi 3 lobus yaitu lobus median dan 2 lobus lateral. Ukuran prostat pada pemeriksaan rectal
touche (RT) kurang begitu berhubungan dengan keluhan yang dirasakan pasien. 1,10-22

Komponen dinamik dari obstruksi prostat menjelaskan sifat dari keluhan yang dirasakan
pasien. Stroma prostat, terdiri dari otot polos dan kolagen, yang kaya dengan persarafan
adrenergik. Penggunaan penghambat -adrenergik menurunkan tonus dari uretra pars prostatika,
yang menurunkan tahanan pada kandung kemih.10-22

Obstruksi saluran kandung kemih menyebabkan hipertrofi muskulus detrusor, hiperplasia


serta penumpukan kolagen. Penebalan muskulus detrusor dapat menjadi trabekulasi pada
pemeriksaan sistoskopi. Jika dibiarkan, terjadi herniasi mukosa antara muskulus detrusor,
selanjutnya terrbentuk divertikula (yang tersusun oleh lapisan mukosa dan serosa). 10-22

J. Manifestasi klinis
Hiperplasia prostat hampir mengenai semua orang tua tetapi tidak semuanya disertai
dengan gejala-gejala klinik. Gejala klinis yang menonjol dan hiperplasia prostat adalah sumbatan
saluran kencing bagian bawah. Terjadinya gejala tersebut dapat disebabkan oleh dua komponen,
pertama adanya penekanan yang bersifat menetap pada uretra (komponen statik) dimana terjadi
peningkatan volume prostat yang pada akhirnya akan menekan uretra pars prostatika dan
mengakibatkan terjadinya hambatan aliran kencing. Kedua disebabkan oleh peningkatan tonus
kelenjar prostat yang diatur oleh sistem saraf otonom (komponen dinamik) yang akhimya dapat
meninggikan tekanan dan resistensi uretra, hal tersebut selanjutnya menyebabkan terjadinya
sumbatan aliran kencing. 10-20

17
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
Tanda dan gejala hiperplasia prostat antara lain sering buang air kecil, nocturia, pancaran
urin lemah, urin yang keluar menetes-netes pada bagian akhir masa buang air kecil. Gejala
hiperplasia prostat biasanya memperlihatkan dua tipe yang saling berhubungan, obstruksi dan
iritasi. 10-22
Keluhan Klinis10-22
 Keluhan obstruktif meliputi : hesitansi, penurunan kekuatan pancaran, dan kaliber aliran
urin, sensasi inkomplit dari pengosongan kandung kemih, intermiten, kencing mengedan
dan kencing menetes. Gejala obstruksi terjadi karena otot detrusor gagal berkontraksi
dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-
putus.
 Keluhan iritatif meliputi urgensi, frekuensi dan nokturia. Anamnesis yang lengkap
mengenai keluhan traktus urinaria juga bertujuan untuk menyingkirkan etiologi selain
prostat, seperti infeksi saluran kemih, neurogenik bladder, striktur uretra, atau kanker
prostat.5

Gejala iritasi biasanya lebih memberatkan pasien dibandingkan obstruksi. Gejala


iritasi timbul karena pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna pada akhir miksi
atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga
kandung kemih sering berkontraksi meskipun belum penuh. Bila terjadi dekompensasi
akan terjadi retensi urin sehingga urin masih berada dalam kandung kemih pada akhir
miksi. Retensi urin kronik menyebabkan refluk vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis
dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi.

18
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
Gambar 3. Keluhan pada BPH

WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan beratnya gangguan miksi yang disebut
WHO PSS (WHO Prostate Symptoms Score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas
delapan pertanyaan mengenai miksi satu bulan terakhir lihat tabel 2.20-22

19
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
Tabel 2. Skoring IPSS
Penilaian :
Skor 0-7 : bergejala ringan
Skor 8-19 : bergejala sedang
Skor 20-35 : bergejala berat

Pertanyaan 1 2 3 4 5
Pancaran Normal Berubah-ubah Lemah Menetes
Mengedan Tidak Ya
pada saat
berkemih
Harus Tidak Ya
menunggu saat
akan kencing
BAK terputus- Tidak Ya
putus

20
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
Kencing tidak Tidak tahu berubah-ubah Tidak lampias 1 kali retensi >1 kali retensi
lampias
Inkontinensia Ya
Kencing sulit Tidak ada Ringan Sedang Berat
ditunda
Kencing 0-1 2 3-4 >4
malam hari
Kencing siang >3 jam sekali Setiap 2-3 jam Setiap 1-2 jam <1 jam sekali
hari sekali sekali

Tabel 3. Skor Madsen Iversen dalam bahasa Indonesia

Gejala dan tanda obstruksi maupun iritasi diberi skoring untuk menentukan berat keluhan
klinik. Pada waktu miksi penderita hampir selalu mengedan, sehingga lama kelamaan akan
menyebabkan hernia atau hermoroid. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu
endapan dalam kandung kemih. 10-22

Adanya batu saluran kemih menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria.
Hematuria bisa juga terjadi karena ruptur dari vena-vena yang berdilatasi pada leher vesika
uninaria. Selain itu, batu tersebut bisa menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk dapat terjadi
pyelonefritis. Kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui penderita sama sekali tidak dapat
miksi sehingga harus dikeluarkan dengan kateter. 18-22

Dengan pemeriksaan colok dubur, dapat memberi kesan keadaan tonus spingter anus,
kelainan yang berada di mukosa rektum dan pembengkakan dalam rektum dan prostat. Pada
pemeriksaan ini harus diperhatikan konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya
kenyal) apakah simetris, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas teraba. Apabila batas atas
masih bisa diraba biasanya diperkirakan berat prostat kurang dan 60 gram. Tentu saja penentuan
berat prostat dengan cara ini tidak akurat. Sebaliknya colok dubur cukup baik untuk mengetahui
adanya keganasan prostat. Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba benjolan
yang konsistensinya lebih keras dari sekitarnya atau letaknya asimetris dengan bagian yang
lebih keras. 1,10-22

Retensi urin dapat teriadi dengan kelenjar yang dirasakan normal pada pemeniksaan colok
dubur, sebaliknya kelenjar yang dirasakan membesar bisa tidak menimbulkan gejala obstruksi

21
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
saluran keluar vesika urinaria. Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah
sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang
masih dapat keluar dengan kateterisasi. Volume sisa urin setelah miksi normal pada pria dewasa
sekitar 35 ml. Sisa urin dapat juga diketahui dengan ultrasonografi kandung kemih setelah
miksi, sisa urin lebih dari 100 ml, biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan
intervensi pada hiperplasia prostat. 10-22

K. Penatalaksanaan
Rekomendasi terapi spesifik dapat diberikan pada kelompok pasien tertentu. Pada pasien
dengan keluhan ringan (skor IPSS < 7), disarankan untuk pengamatan lebih lanjut. Indikasi
operasi absolut meliputi retensi urin refrakter, infeksi saluran kemih berulang, gross hematuria
berulang, batu buli, dan insufisiensi ginjal akibat BPH, atau adanya divertikula kandung kemih
yang cukup besar. 10-22
 Watchful waiting
Artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya
keadaannya tetap diawasi oleh dokter.14 Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH
dengan skor IPSS < 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari.
Beberapa guidelines masih menawarkan watchful waiting pada pasien BPH bergejala
dengan skor sedang (IPSS 8-19). Pasien dengan keluhan sedang hingga berat (skor IPSS >
7), pancaran urine melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan terdapat pembesaran prostat > 30
gram tentunya tidak banyak memberikan respon terhadap watchful waiting. 15
Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi
penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misal :
(1) Jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam,
(2) Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-buli
(kopi atau cokelat),
(3) Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin,
(4) Kurangi makanan pedas dan asin, dan
(5) jangan menahan kencing terlalu lama.
Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan diperiksa
tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine, maupun
volume residual urine. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin
perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.14

 Terapi Medikamentosa10-22
 Penghambat alfa-adrenergik

22
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
Pada prostat dan basis vesika urinaria mengandung alfa-1-adrenoreseptor, dan
prostat menunjukkan respon kontraksi pada pemberian agonis alfa adrenergik. Fungsi
kontraksi dari prostat dan leher kandung kemih dimediasi oleh reseptor subtipe alfa-1a.
Penghambat alfa-adrenergik menunjukkan adanya perbaikan keluhan objektif maupun
subjektif pada pasien BPH. 10-22
Tabel 4. Klasifikasi penghambat alfa dan 5-alfa- reduktase inhibitor

 5--reduktase inhibitor10-22
Finasteride merupakan penghambat 5--reduktase yang mencegah perubahan
testosteron menjadi dihidrotestosteron. Obat ini mempengaruhi komponen epitel dari
prostat, yang menyebabkan berkurangnya ukuran kelenjar prostat dan perbaikan gejala.
Terapi selama 6 bulan diperlukan untuk mendapatkan efek maksimal obat terhadap ukuran
prostat (berkurang 20%) dan perbaikan keluhan. Namun, perbaikan keluhan hanya terlihat
pada pasien dengan ukuran prostat > 40 cm3.
Efek samping obat antara lain penurunan libido, penurunan volume ejakulasi, dan
impotensi. Kadar serum PSA berkurang menjadi sekitar 50% pada pasien yang diterapi
dengan finasteride (bervariasi pada masing-masing individu). 20,21,22
Dutasteride berbeda dari finasteride karena menghambat isoenzim dari 5--
reduktase. Mirip dengan finasteride, dutasteride mengurangi kadar serum PSA dan ukuran
prostat. Efek samping utamanya antara lain disfungsi ereksi, penurunan libido,
ginekomastia, dan kelainan ejakulasi. 10-22

 Fitofarmaka10-22
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki
gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologik tentang kandungan zat aktif

23
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui dengan
pasti.
Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: anti-estrogen, antiandrogen, menurunkan
kadar sex hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast growth factor (bFGF)
dan epidermal growth factor (EGF), mengacaukan metabolisme prostaglandin, efek
antiinflamasi, menurunkan outflow resistance, dan memperkecil volume prostat. Di antara
fito-terapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis
rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya.

 Terapi Pembedahan14-22
Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi, diantaranya
sebagai berikut :16
 Retensi urine karena BPO
 Infeksi saluran kemih berulang karena obstruksi prostat
 Hematuria makroskopik
 Batu buli-buli karena obstruksi prostat
 Gagal ginjal yang disebabkan obstruksi prostat, dan
 Divertikulum buli buli yang cukup besar karena obstruksi

 Transurethral resection of the prostate (TURP)


95% prostatektomi sederhana dapat dilakukan secara endoskopi. Sebagian besar
prosedur ini menggunakan teknik anestesi spinal dan memerlukan 1-2 hari perawatan di
rumah sakit. Skor keluhan dan perbaikan laju aliran urine lebih baik dibandingkan terapi lain
yang bersifat minimal invasive. Risiko TURP meliputi ejakulasi retrograd (75%), impotensi
(5-10%), dan inkontinensia (<1%).14-22
TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan
memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat memperbaiki
gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%.17
Komplikasi operasi antara lain perdarahan, striktur uretra, atau kontraktur pada leher
kandung kemih, perforasi dari kapsul prostat dengan ekstravasasi, dan pada kondisi berat
terjadi sindroma TUR yang disebabkan oleh keadaan hipervolemik dan hipernatremia akibat
absorbsi cairan irigasi yang bersifat hipotonis. Manifestasi klinis sindroma TUR antara lain

24
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
nausea, muntah, hipertensi, bradikardi, confusing, dan gangguan penglihatan. Risiko
terjadinya sindroma TUR meningkat pada reseksi yang lebih dari 90 menit. Penatalaksanaan
meliputi diuresis dan pada kondisi berat diberikan larutan hipertonis.14-22
 Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Pria dengan keluhan sedang sampai berat dan ukuran prostat yang kecil sering
didapatkan adanya hyperplasia komisura posterior (terangkatnya leher kandung kemih).
Pasien tersebut biasanya lebih baik dilakukan insisi prostat. 20,22
Prosedur TUIP lebih cepat dan morbiditasnya lebih rendah dibandingkan TURP. Teknik
TUIP meliputi insisi dengan pisau Collin pada posisi jam 5 dan 7. Insisi dimulai di arah distal
menuju orifisium ureter dan meluas ke arah verumontanum. 20,22
 Prostatektomi Terbuka Sederhana10-22
Ketika ukuran prostat terlalu besar untuk direseksi secara endoskopi, enukleasi
terbuka dapat dilakukan. Kelenjar prostat yang lebih dari 100 g biasanya merupakan indikasi
enukleasi terbuka. Prostatektomi terbuka juga dilakukan pada pasien dengan disertai
divertikulum atau batu buli atau jika posisi litotomi tidak mungkin dilakukan. 5
 Terapi Minimal Invasif10-22
1. Transurethral needle ablation of the prostate (TUNA)
Termasuk dalam teknik minimal invasif yang biasa digunakan pada pasien
yang gagal dengan pengobatan medikamentosa, pasien yang tidak tertarik pada
pengobatan medikamentosa, atau tidak bersedia untuk tindakan TURP. Teknik ini
menggunakan kateter uretra yang didesain khusus dengan jarum yang menghantarkan
gelombang radio yang panas sampai mencapai 100oC di ujungnya sehingga dapat
menyebabkan kematian jaringan prostat.6
Pasien dengan gejala sumbatan dan pembesaran prostat kurang dari 60 gram
adalah pasien yang ideal untuk tindakan TUNA ini. Kelebihan teknik TUNA
dibanding dengan TURP antara lain pasien hanya perlu diberi anestesi lokal. Selain
itu angka kekambuhan dan kematian TUNA lebih rendah dari TURP.17
2. Transurethral electrovaporization of the prostate
Teknik ini menggunakan rectoskop (seperti teropong yang dimasukkan
melalui anus) standar dan loop konvensional. Arus listrik yang dihantarkan
menimbulkan panas yang dapat menguapkan jaringan sehingga menghasilkan
timbulnya rongga di dalam uretra.17
3. Termoterapi

25
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
Metode ini menggunakan gelombang mikro yang dipancarkan melalui kateter
transuretral (melalui saluran kemih bagian bawah). Namun terapi ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui tingkat keefektivitasannya.17
4. Intraurethral stents
Alat ini dapat bertujuan untuk membuat saluran kemih tetap terbuka. Setelah
4-6 bulan alat ini biasanya akan tertutup sel epitel. Biasanya digunakan pada pasien
dengan usia harapan hidup yang minimum dan pasien yang tidak cocok untuk
menjalani operasi pembedahan maupun anestesi. Saat ini metode ini sudah jarang
dipakai.17
5. Transurethral balloon dilation of the prostate
Pada tehnik ini, dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di
prostat dengan menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini
efektif pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat
menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya sementara sehingga
cara ini sekarang jarang digunakan.17
L. Pencegahan
Sekarang ini sudah beredar suplemen makanan yang dapat membantu mengatasi
pembesaran kelenjar prostat. Salah satunya adalah suplemen yang kandungan utamanya saw
palmetto. Berdasarkan hasil penelitian, saw palmetto menghasilkan sejenis minyak, yang
bersama-sama dengan hormon androgen dapat menghambat kerja enzim 5-alpha reduktase, yang
berperan dalam proses pengubahan hormon testosteron menjadi dehidrotestosteron (penyebab
BPH). Hasilnya, kelenjar prostat tidak bertambah besar.11,16,20
Zat-zat gizi juga penting untuk menjaga kesehatan prostat antara lain : 11,16,20

 Vitamin A, E, dan C, antioksidan yang berperan penting dalam mencegah


pertumbuhan sel kanker, karena menurut penelitian, 5-10% kasus BPH dapat
berkembang menjadi kanker prostat.

 Vitamin B1, B2, dan B6, yang dibutuhkan dalam proses metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein, sehingga kerja ginjal dan organ tubuh lain tidak terlalu berat.

 Copper (gluconate) dan Parsley Leaf, yang dapat membantu melancarkan


pengeluaran air seni dan mendukung fungsi ginjal.

 L-Glysine, senyawa asam amino yang membantu sistem penghantaran rangsangan


ke susunan syaraf pusat.

 Zinc, mineral ini bermanfaat untuk meningkatkan produksi dan kualitas sperma.

Berikut ini beberapa tips untuk mengurangi risiko masalah prostat, antara lain: 11,16,20

26
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
1. Mengurangi makanan kaya lemak hewan
2. Meningkatkan makanan kaya lycopene (dalam tomat), selenium (dalam makanan laut),
vitamin E, isoflavonoid (dalam produk kedelai)
3. Makan sedikitnya 5 porsi buah dan sayuran sehari
4. Berolahraga secara rutin
5. Pertahankan berat badan ideal
M. Komplikasi10-22
Komplikasi yang sering terjadi akibat hipertrofi prostat jinak adalah :

1. Perdarahan (Gross hematuria).

2. Pembentukan bekuan

3. Obstruksi kateter

4. Disfungsi seksual tergantung dari jenis pembedahan.

5. Batu buli-buli

6. Retensi urin yang dapat menyebabkan refluks vesiko ureter, hidroureter (ureter yang
melebar), hidronefrosis (ginjal yang melebar), hingga penurunan fungsi ginjal sampai gagal
ginjal.

7. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi saat miksi.

8. Karena adanya residu urin, dapat menyebabkan terbentuknya urin.

9. Insufisiensi ginjal

10. Infeksi saluran kemih berulang

11. Inkontinensia (akibat sumbatan total urin sehingga isi vesika urinaria terlalu penuh.

12. Sistitis

13. Pielonefritis.

14. Kandung kemih calculi

15. Gagal ginjal atau uremia (jarang dalam praktek saat ini)

16. Komplikasi yang lain yaitu perubahan anatomis pada uretra posterior menyebabkan ejakulasi
retrogard yaitu setelah ejakulasi cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan
diekskresikan bersama urin. Selain itu vasektomi mungkin dilakukan untuk mencegah
penyebaran infeksi dari uretra prostatik melalui vas deference dan ke dalam epidedemis.
Setelah prostatektomi total ( biasanya untuk kanker ) hampir selalu terjadi impotensi. Bagi
pasien yang tak mau kehilangan aktifitas seksualnya, implant prostetik penis mungkin

27
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
digunakan untuk membuat penis menjadi kaku guna keperluan hubungan seksual.

N. Pronogsis10-22
Prognosis BPH tidak selalu sama dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun
gejalanya cenderung meningkat. Namun, BPH yang tidak segera ditanggulangi memiliki
prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat.
O. Kesimpulan
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada pria
yang menapak usia lanjut. Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang
menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran
kelenjar prostat yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau
dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh
pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO).
Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun
ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah. Keluhan yang
disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract symptoms) yang
terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptoms). Berdasarkan
gejala-gejala yang tampak, terdapat beberapa diagnosis banding seperti striktura, kanker prostat
dan infeksi saluran kemih.
Maka dari itu, perlu dilakukan beberapa anamnesis dan pemeriksaan untuk mendukung
diagnosa pasti. Dalam mengatasi keadaan ini perlu diperhatikan derajat obstruksi yang
ditimbulkan untuk menentukan terapi yang paling tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas
hidup penderita.

Daftar Pustaka

1. C. Joseph, J. Christopher. 2008. Neoplasm of the prostate gland in Smith’s General


Urology. McGraw Hill. Chapter 22. p. 348-69
2. Purnomo B.B ; ‘Dasar-dasar Urologi’. 2000. Jakarta : CV.Infomedika. 200-214.
3. Santoso M. Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Yayasan Diabetes Indonesia; 2005.
4. Gleadle, Jonathan. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:Erlangga; 2003. h.
150-1.
5. Sjabani Mochammad. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Batu Saluran Kemih. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.p.1025-31.
6. Rani aziz, Soegondo sidartawan, Uyaninah anna, Nasir, Wijaya prasetya, Mansjoer arif.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI. Batu saluran kemih. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p.179.

28
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
7. Davey P. At a glance medicine. Rahmalia A, Novianty C, alih bahasa. Safitri A, editor.
Kanker Prostat. Jakarta : Erlangga;2005. h.342-45.
8. Sukandar Enday. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Infeksi Saluran Kemih pada
dewasa. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.p.1008-13.
9. Rani aziz, Soegondo sidartawan, Uyaninah anna, Nasir, Wijaya prasetya, Mansjoer arif.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI. Infeksi saluran kemih. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p.174-78.
10. Roehborn, Calus G, McConnell, John D. Etiology, pathophysiology, and natural history of
benign prostatic hyperplasia. In : Campbell’s Urology. 8th ed. W.B. Saunders; 2002. p. 1297-
330, 1437-44.
11. LeviAD. Benign prostatic hypertrophy. 2011. Diunduh dari : www.medscape.com, 21
Oktober 2011.
12. Pierce AG dan Neil RB. At a glance ilmu bedah. Jakarta: Erlangga; 2007. h. 166-9.

13. Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta :
EGC,2005.
14. Jong WD, Sjamsuhidayat R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005. hal 782-6.
15. Birowo P, Rahardjo D. Pembesaran prostat jinak. Jurnal kedokteran & farmasi medika. 2002.
No 7 tahun ke XXVIII.
16. McConnell JD. Guidelines for diagnosis and management of BPH. Diunduh dari:
http://www.urohealth.org/bph/specialist/future/chp43.asp .[ 20 Oktober 2011]
17. Weinerth J.L : ‘The Male Genital System’ in ‘Texbook of Surgery. Edition 8. Edited by:
Sabiston DC and Liverly HK. 2004. Wb Saunders Company: 670-680.
18. Laguna P dan Alivizatos G. Prostate specific antigen and benign prostatic hyperplasia. 2000 .
Curr Oppin urol 10: 3-8
19. Roehrborn CG, McConnell J, Bonilla J,Rosenblatt S, Hudson PB, Malek GM, et al. Serum
prostate specific antigen is a strong predictor of future prostate growth in men with benign
prostatic hyperplasia. 2000. J Urol 163: 13-20
20. Lepor H dan Lowe FC. Evaluation and nonsurgical management of benign prostatic
hyperplasia. Dalam: Campbell’s urology, edisi ke 7. editor: Walsh PC, Retik AB, Vaughan
ED, dan Wein AJ. 2002. Philadelphia: WB Saunders Co.,1337-1378
21. Roehrborn CG, Bartsch G, Kirby R et al. Guidelines for the diagnosis and treatment of
benign prostatic hyperplasia: a comparative, international review. 2001. Urology 58: 642-
650.

29
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”
22. Tubaro A, Vicentini C, Renzetti R, dan Miano L. Invasive and minimally invasive treatment
modalities for lower urinary tract symptoms: what are the relevant differences in randomized
controlled trials. 2002. Eur Urol. 38(suppl): 7-17,

30
Makalah Problem Based Learning “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”

Anda mungkin juga menyukai