Anda di halaman 1dari 4

Ora et Labora et Collabora

Oleh Hendra Gunawan*

Sejak di bangku sekolah, kita sering mendengar semboyan “Ora et Labora” yang artinya

“Berdoa dan Bekerja”. Dalam kehidupan sehari-hari, semboyan tersebut mengingatkan kita bahwa

untuk mencapai atau meraih sesuatu, kita perlu berdoa dan bekerja. Berdoa saja atau bekerja saja

tidaklah cukup, apalagi tidak melakukan apa-apa. Kurang lebih seperti itulah.

Untuk individu, semboyan tadi mungkin ada benarnya. Namun ketika kita mencoba

menerapkan semboyan itu untuk sebuah komunitas, apalagi untuk sebuah bangsa, tampaknya ada

sesuatu yang kurang.

Dibandingkan dengan di negara lain, tempat ibadah banyak bertebaran di negara kita dan

senantiasa dipenuhi oleh umatnya. Doa yang dipanjatkan oleh bangsa kita kepada YME tentunya jauh

lebih banyak daripada yang dipanjatkan oleh bangsa lain. Sementara itu, dalam hal bekerja, sebelum

matahari terbit pun puluhan juta orang sudah melakukan aktivitas, dan jalan-jalan sudah mulai

dipenuhi oleh berbagai kendaraan. Jadi, kita ini termasuk bangsa yang getol juga dalam bekerja (namun

mungkin tidak cukup keras?).

Tetapi apa yang terjadi di negeri ini sejak kita mengenyam kemerdekaan? Ekonomi tumbuh

tapi gap di antara orang kaya dan orang miskin kian melebar, hukum carut-marut, kehidupan sosial

bermasalah, pendidikan tak jelas arahnya, dan politik tak tahu lah.

Mengapa? Jawabannya sederhana: “Ora et Labora” rupanya memang tidak cukup bagi kita

sebagai bangsa. Di samping berdoa dan bekerja, diperlukan pula kerja sama (teamwork) di antara kita.

Jadi semboyan kita seharusnya “Ora, Labora et Collabora”.

*
Matematikawan; Mengajar di ITB Bandung
Kemauan dan kemampuan bekerja sama di antara kita, segenap komponen bangsa,

merupakan kunci keberhasilan menuju kemakmuran. Tanpa kerja sama di antara kita, bagaimana

mungkin kita bisa mengatasi berbagai permasalahan bangsa. Seperti halnya sebuah tim sepakbola,

keunggulan masing-masing pemain tak ada faedahnya apabila tidak ada kerja sama yang baik di antara

mereka. Dalam kehidupan berbangsa, tanpa adanya kerja sama, bukan hanya kita takkan maju tetapi

keutuhan bangsa ini pun dipertaruhkan.

Namun, sayangnya, kita menyaksikan bahwa jangankan seluruh bangsa bekerja sama, di

antara mereka yang bertetangga pun sulit (ingat kasus Ambon), demikian pula di antara sesama

penganut agama serumpun (kasus Ahmadiyah), atau sesama mahasiswa di sebuah perguruan tinggi

yang sama, misalnya (kasus tawuran). Bahkan kita melihat dua orang pun (you know who) ternyata sulit

bekerja sama. Jadi mau ke mana bangsa ini?

Padahal konon, sebelum merdeka, para pendahulu kita bersatu-padu, bahu-membahu,

bekerja sama mengusir penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan. Sekarang, setelah sekian puluh

tahun kita merdeka, mengapa kita sulit berdialog dan bekerja sama dalam mengatasi berbagai

persoalan yang ada?

Bermula dari Sekolah

Bekerja sama rupanya memang mudah diucapkan tetapi sulit dikerjakan. Apalagi bagi mereka

yang kurang cerdas secara sosial dan emosional alias EQ-nya rendah. Jadi, mengapa kita sulit bekerja

sama, karena selama ini Pemerintah rupanya terlalu sibuk mengurus negara ini dan lupa menjalankan

amanat Pembukaan UUD’45 untuk mencerdaskan (kehidupan) bangsanya.

Berapa juta rakyat kita yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali? Berapa

puluh juta rakyat kita yang hanya berpendidikan sekolah dasar atau kurang? Pendidikan yang

seharusnya mencerdaskan anak bangsa telah sekian lama terabaikan (dan sekarang kita sedang

merasakan akibatnya). Program Wajib Belajar Sembilan Tahun hanya slogan, rata-rata lama sekolah

penduduk Indonesia hanya sekitar 8 tahun.


Kalaupun pendidikan berjalan di sekolahan selama ini, yang terjadi tidaklah lebih daripada

‘penyampaian’ pengetahuan yang bersifat hafalan dan keterampilan yang bersifat mekanis prosedural,

yang sering ‘tidak sampai’. Guru pada umumnya sibuk menjejali siswa dengan “apa” dan

“bagaimana”, tanpa menghiraukan “mengapa” dan “bagaimana kalau”.

Kata Daniel Goleman, kita sibuk melatih otak kiri siswa kita, seperti melatih mereka

membaca, menulis, berhitung, menghafal rumus, mengenal metode dan menggunakannya, namun

lupa mengasah otak kanan mereka, seperti mengembangkan kreativitas dan kemampuan bergaul,

berdialog, bernegosiasi, dan bekerja sama di antara mereka.

Lihatlah gambar pada salah satu sisi uang kertas duapuluhribuan yang lama. Kurang lebih

seperti itulah potret pembelajaran di sekolahan saat ini. Kita terlalu terpaku dengan keinginan

membentuk manusia ‘mandiri’, dan melupakan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial

yang perlu bergaul dan bekerja sama dengan sesamanya.

Perbaiki pendidikan

Berpikir ke depan, bangsa ini perlu pencerdasan. Cerdas secara intelektual dan juga cerdas

secara sosial dan emosional. Pada akhir abad ke-20 yang lalu, UNESCO menyerukan bahwa
pendidikan di setiap negara harus menegakkan empat pilar, yaitu learning to know, learning to do, learning

to be, dan learning to live together. Pilar keempat, khususnya, mencakup kemampuan bekerja sama.

Oleh karena itu, belajar dari berbagai persoalan yang pernah dan sedang kita hadapi, para

pelaku pendidikan, khususnya guru di sekolah dasar dan menengah (serta dosen di perguruan tinggi),

dituntut untuk memainkan perannya yang sentral dalam menegakkan keempat pilar tadi, khususnya

learning to live together, pada abad ke-21 ini.

Jika selama ini guru berupaya keras mendidik manusia mandiri, maka sekarang mereka harus

berpikir bagaimana mendidik manusia yang juga dapat bergaul, berdialog, bernegosiasi, saling

menghargai dan bekerja sama sebagai tim. Dengan semakin baiknya apresiasi terhadap guru (ada

tunjangan sertifikasi guru), semestinya wajar bila kita menuntut para guru untuk berbuat lebih banyak

dan lebih baik lagi.

Selain itu, kecenderungan sekolah swasta maupun negeri yang menjadi tempat berkumpulnya

siswa beragama tertentu atau dari kelompok sosial tertentu juga merupakan masalah tersendiri yang

rawan menimbulkan konflik hubungan antar kelompok masyarakat di masa yang akan datang.

Sekolah-sekolah yang terbuka untuk berbagai kelompok masyarakat perlu lebih banyak didirikan di

negara ini, sehingga siswa dapat belajar hidup bersama dengan teman-temannya yang berasal dari

berbagai kelompok di sekolah.

Kita hidup pada zaman interdependensi, di mana setiap negara bergantung pada negara lain.

Kemampuan bekerja sama di antara negara-negara di dunia ini jelas diperlukan. Namun bagaimana

mungkin kita dapat bekerja sama secara global apabila di lingkungan di sekitar rumah, desa, kota,

propinsi, dan negara sendiri pun kita sulit bekerja sama?

Bandung, 18 September 2005

(diedit pada 12 Desember 2018)

Anda mungkin juga menyukai