Sejak di bangku sekolah, kita sering mendengar semboyan “Ora et Labora” yang artinya
“Berdoa dan Bekerja”. Dalam kehidupan sehari-hari, semboyan tersebut mengingatkan kita bahwa
untuk mencapai atau meraih sesuatu, kita perlu berdoa dan bekerja. Berdoa saja atau bekerja saja
tidaklah cukup, apalagi tidak melakukan apa-apa. Kurang lebih seperti itulah.
Untuk individu, semboyan tadi mungkin ada benarnya. Namun ketika kita mencoba
menerapkan semboyan itu untuk sebuah komunitas, apalagi untuk sebuah bangsa, tampaknya ada
Dibandingkan dengan di negara lain, tempat ibadah banyak bertebaran di negara kita dan
senantiasa dipenuhi oleh umatnya. Doa yang dipanjatkan oleh bangsa kita kepada YME tentunya jauh
lebih banyak daripada yang dipanjatkan oleh bangsa lain. Sementara itu, dalam hal bekerja, sebelum
matahari terbit pun puluhan juta orang sudah melakukan aktivitas, dan jalan-jalan sudah mulai
dipenuhi oleh berbagai kendaraan. Jadi, kita ini termasuk bangsa yang getol juga dalam bekerja (namun
Tetapi apa yang terjadi di negeri ini sejak kita mengenyam kemerdekaan? Ekonomi tumbuh
tapi gap di antara orang kaya dan orang miskin kian melebar, hukum carut-marut, kehidupan sosial
bermasalah, pendidikan tak jelas arahnya, dan politik tak tahu lah.
Mengapa? Jawabannya sederhana: “Ora et Labora” rupanya memang tidak cukup bagi kita
sebagai bangsa. Di samping berdoa dan bekerja, diperlukan pula kerja sama (teamwork) di antara kita.
*
Matematikawan; Mengajar di ITB Bandung
Kemauan dan kemampuan bekerja sama di antara kita, segenap komponen bangsa,
merupakan kunci keberhasilan menuju kemakmuran. Tanpa kerja sama di antara kita, bagaimana
mungkin kita bisa mengatasi berbagai permasalahan bangsa. Seperti halnya sebuah tim sepakbola,
keunggulan masing-masing pemain tak ada faedahnya apabila tidak ada kerja sama yang baik di antara
mereka. Dalam kehidupan berbangsa, tanpa adanya kerja sama, bukan hanya kita takkan maju tetapi
Namun, sayangnya, kita menyaksikan bahwa jangankan seluruh bangsa bekerja sama, di
antara mereka yang bertetangga pun sulit (ingat kasus Ambon), demikian pula di antara sesama
penganut agama serumpun (kasus Ahmadiyah), atau sesama mahasiswa di sebuah perguruan tinggi
yang sama, misalnya (kasus tawuran). Bahkan kita melihat dua orang pun (you know who) ternyata sulit
bekerja sama mengusir penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan. Sekarang, setelah sekian puluh
tahun kita merdeka, mengapa kita sulit berdialog dan bekerja sama dalam mengatasi berbagai
Bekerja sama rupanya memang mudah diucapkan tetapi sulit dikerjakan. Apalagi bagi mereka
yang kurang cerdas secara sosial dan emosional alias EQ-nya rendah. Jadi, mengapa kita sulit bekerja
sama, karena selama ini Pemerintah rupanya terlalu sibuk mengurus negara ini dan lupa menjalankan
Berapa juta rakyat kita yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali? Berapa
puluh juta rakyat kita yang hanya berpendidikan sekolah dasar atau kurang? Pendidikan yang
seharusnya mencerdaskan anak bangsa telah sekian lama terabaikan (dan sekarang kita sedang
merasakan akibatnya). Program Wajib Belajar Sembilan Tahun hanya slogan, rata-rata lama sekolah
‘penyampaian’ pengetahuan yang bersifat hafalan dan keterampilan yang bersifat mekanis prosedural,
yang sering ‘tidak sampai’. Guru pada umumnya sibuk menjejali siswa dengan “apa” dan
Kata Daniel Goleman, kita sibuk melatih otak kiri siswa kita, seperti melatih mereka
membaca, menulis, berhitung, menghafal rumus, mengenal metode dan menggunakannya, namun
lupa mengasah otak kanan mereka, seperti mengembangkan kreativitas dan kemampuan bergaul,
Lihatlah gambar pada salah satu sisi uang kertas duapuluhribuan yang lama. Kurang lebih
seperti itulah potret pembelajaran di sekolahan saat ini. Kita terlalu terpaku dengan keinginan
membentuk manusia ‘mandiri’, dan melupakan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial
Perbaiki pendidikan
Berpikir ke depan, bangsa ini perlu pencerdasan. Cerdas secara intelektual dan juga cerdas
secara sosial dan emosional. Pada akhir abad ke-20 yang lalu, UNESCO menyerukan bahwa
pendidikan di setiap negara harus menegakkan empat pilar, yaitu learning to know, learning to do, learning
to be, dan learning to live together. Pilar keempat, khususnya, mencakup kemampuan bekerja sama.
Oleh karena itu, belajar dari berbagai persoalan yang pernah dan sedang kita hadapi, para
pelaku pendidikan, khususnya guru di sekolah dasar dan menengah (serta dosen di perguruan tinggi),
dituntut untuk memainkan perannya yang sentral dalam menegakkan keempat pilar tadi, khususnya
Jika selama ini guru berupaya keras mendidik manusia mandiri, maka sekarang mereka harus
berpikir bagaimana mendidik manusia yang juga dapat bergaul, berdialog, bernegosiasi, saling
menghargai dan bekerja sama sebagai tim. Dengan semakin baiknya apresiasi terhadap guru (ada
tunjangan sertifikasi guru), semestinya wajar bila kita menuntut para guru untuk berbuat lebih banyak
Selain itu, kecenderungan sekolah swasta maupun negeri yang menjadi tempat berkumpulnya
siswa beragama tertentu atau dari kelompok sosial tertentu juga merupakan masalah tersendiri yang
rawan menimbulkan konflik hubungan antar kelompok masyarakat di masa yang akan datang.
Sekolah-sekolah yang terbuka untuk berbagai kelompok masyarakat perlu lebih banyak didirikan di
negara ini, sehingga siswa dapat belajar hidup bersama dengan teman-temannya yang berasal dari
Kita hidup pada zaman interdependensi, di mana setiap negara bergantung pada negara lain.
Kemampuan bekerja sama di antara negara-negara di dunia ini jelas diperlukan. Namun bagaimana
mungkin kita dapat bekerja sama secara global apabila di lingkungan di sekitar rumah, desa, kota,