Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia cinta sehat merupakan cermin sikap dan perilaku segenap

bangsa Indonesia yang mencintai kesehatan dirinya, keluarganya dan

lingkungannya. Hal itu merupakan kunci keberhasilan bagi terwujudnya

masyarakat sehat yang merupakan salah satu program Jaminan Kesehatan

Nasional pada tahun 2019, seluruh penduduk Indonesia mempunyai jaminan

kesehatan. Ini berarti bahwa masyarakat Indonesia diharapkan dapat

memperoleh pelayanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu. Upaya

kesehatan merupakan kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan

kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat secara bersamaan

(Munandar, 2012).

Sebagai bangsa dan negara yang berkembang, bangsa Indonesia saat

ini dihadapkan pada berbagai macam tantangan dan hambatan dalam

mencapai masyarakat yang sehat secara mandiri. Dengan ini diharapkan agar

kesempatan bagi setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang

optimal lebih luas lagi. Dalam rangka menuju Indonesia sehat maka

masyarakat perlu antisipasi tentang bahaya penyakit baik yang menular

maupun tidak menular. Salah satu penyakit menular dalam penelitian ini

penyakit PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) (Depkes RI, 2007).


2

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru

kronik yang berlangsung dari tahun ke tahun. Perjalanan penyakit ini terdapat

fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor berperan pada perjalanan penyakit

ini, antara lain faktor resiko yaitu faktor yang menimbulkan atau

memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi

lingkungan, infeksi, genetik dan perubahan cuaca. Derajat obstruksi saluran

napas yang terjadi, dan identifikasi komponen yang memungkinkan adanya

reversibilitas. Tahap perjalanan penyakit dan penyakit lain diluar paru seperti

sinusitis dan faringitis kronik, yang pada akhirnya faktor-faktor tersebut

membuat perburukan makin lebih cepat terjadi (Sudoyo, 2006).

Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan

yang besar di dunia luas dengan prevelensi dan biaya yang tinggi. Penyakit ini

telah menjadi enam besar penyebab kematian dan ke 12 penyebab angka

kesakitan di seluruh dunia. National Healt Interview Survey mendapatkan

sebanyak 2,5 juta penderita emfisiema, tahun 2008 di Dunia didapatkan 43,4

juta penderita, dan 30% lebih memerlukan rawat tinggal di rumah sakit. Dan

berdasarkan temuan The terumseh Communiy Healt Studi, PPOK

menyumbang 3% dari seluruh kematian dan merupakan urutan kelima

penyebab kematian di Dunia. Thoracic Society of China (ROC) menemukan

16% penderita PPOK berumur diatas 40 tahun dan menemukan kasus

kematian 16,6% per 100.000 populasi (Depkes, 2011).

Menurut survey kesehatan rumah tangga (SKRT) Dep. Kes. RI tahun

2010 menunjukkan angka kematian asma, bronchitis kronis dan emfisiema


3

menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di indonesia.

Angka kesakitan penderita PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis) laki-laki

mencapai 6% sedangkan angka kesakitan wanita 2% dan angka kematian 4%

dengan umur penderita diatas 45 tahun (Depkes, 2011).

PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis) merupakan masalah

kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit

(morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Pada Tahun 2009, Indonesia

menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan jumlah penderita

tuberkulosis terbanyak di dunia. Kasus PPOK terutama terjadi pada usia

produktif kerja, yaitu kelompok umur 15 sampai 55 tahun yang berdampak

pada SDM sehingga bisa mengganggu perekonomian keluarga, masyarakat

dan negara (Syafei, 2009).

Pada tahun 2014, Jawa Tengah menempati urutan ke-9 dari 22 (4,6%)

penyakit yang tercatat. Meskipun hanya menempati urutan yang ke-9,

penyakit PPOK telah menjadi penyakit yang mematikan. Hal tersebut terbukti

bahwa kematian akibat PPOK dari 1000 penderita, tercatat 340 orang

meninggal (Depkes, 2015).

Penatalaksanaan yang tepat dalam pelaksanaan PPOK yaitu

menggunakan terapi eksaserbasi akut dilakukan dengan Antibiotik, Terapi

oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan

berkurangnya sensitivitas terhadap CO2, bronkodilator untuk mengatasi

obstruksi jalan napas dan Fisioterapi dada serta batuk efektif membantu pasien

untuk mengeluarkan sputum dengan baik (Mansjoer, 2007).


4

Batuk efektif sendiri merupakan suatu tehnik batuk yang benar

diterapkan pada seseorang yang mengalami gangguan sumbatan jalan nafas

akibat penumpukan sputum. Tujuan dari batuk efektif yang dilaksanakan yaitu

agar pasien atau klien dapat dengan mudah mengeluarkan dahak atau sekret,

materi lain yang dibawa dari paru-paru serta membebaskan jalan nafas karena

akumulasi sekret (Kholishah, 2014).

Hasil observasi yang dilaksanakan peneliti sebelum dilaksanakan

penelitian didapatkan bahwa 10 pasien PPOK di BKPM Wilayah Pati,

sebanyak 8 (80%) orang laki-laki dan 2 (20%) orang perempuan. Dari 8

penderita laki-laki diatas, 6 diantaranya adalah seorang perokok dan 2 lainnya

punya riwayat merokok tapi sudah tidak merokok lagi. Selama ini pasien

menyatakan belum bisa mengeluarkan dahak dengan melaksanakan batuk

efektif.

Dari latar belakang diatas maka penulis melakukan asuhan

keperawatan dengan studi kasus “Pengetahuan Tentang Batuk Efektif Pada

Penderita PPOK Yang Menjalani Pengobatan Di BKPM Wilayah Pati Tahun

2013”.

1.2 Tujuan Penulisan

1. Tujuan umum

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui

lebih jauh tentang batuk efektif pada penderita PPOK.


5

1.3 Manfaat Penulisan

1 Manfaat Teoritis

Penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah ilmu

pengetahuan dalam keperawatan terutama tentang pengetahuan tentang

batuk efektif pada penderita PPOK yang menjalani pengobatan di BKPM

Wilayah Pati Tahun 2017.

2 Manfaat Praktis

a. Bagi Profesi Keperawatan

Bahan masukan dan sumber informasi bagi perawat dalam

memberikan tindakan batuk efektif yang bertujuan untuk

menurunkan rasa sesak nafas pada pasien PPOK di BKPM Wilayah

Pati.

b. Bagi Peneliti

Mengaplikasikan teori dan menambah wawasan peneliti

sehingga peneliti mampu mengaplikasikan ke klinik tentang

penanganan penyakit paru obstruksi kronis dengan tindakan

keperawatan batuk efektif.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Paru Obstruksi Kronik

2.1.1 Definisi

Paru Obstruksi Kronis adalah kelainan dengan klasifikasi

yang lurus termasuk bronchitis kronis, bronkiektasis, emfisiema dan

asma. Ini merupakan kondisi yang terdapat pulih yang berkaitan

dengan dispnea pada aktivitas fisik dan mengurangi aliran udara

(Mansjoer, 2007)

Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah kelainan paru yang

ditandai dengan gangguan fungsi paru berupa penunjangnya periode

ekspirasi yang disebabkan oleh adanya penyempitan saluran nafas

dan tidak banyak mengalami perubahan dalam masa obstruksi dalam

berupa waktu (Sudoyo, 2006).

Penyakit paru obstruksi menahun merupakan istilah yang

digunakan untuk sekelompok paru-paru yang berlangsung lama dan

ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai

gambaran patofisiologi utamanya (Price, 2006).

Jadi kesimpulannya Penyakit Paru Obstruksi Kronik/ PPOK/

(Chronic Obstructive Pulmonary Disease/COPD) adalah kumpulan

penyakit paru seperti asma, bronkitis kronis dan emfisema

pulmonum yang bersifat progresif yang dapat menimbulkan

obstruksi jalan nafas.


7

2.1.2 Klasifikasi PPOK

Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru

obstruksi kronik menurut Sudoyo (2006) adalah sebagai berikut:

1) Bronkitis kronik

Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir

setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya 3

bulan dalam satu tahun dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun

berturut-turut.

2) Emfisema paru

Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomic, yaitu

suatu perubahan anatomic paru yang ditandai dengan

melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus

terminalis, yang disertai kerusakan dinding alveolus.

3) Asma

Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh

hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkial terhadap

pelbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai

penyempitan saluran-saluran napas secara periodic dan

reversible akibat bronkospasme.

4) Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus

kronik yang mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi,

termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi benda


8

asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas,

dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang berdilatasi

dan pembesaran nodus limfe.

2.1.3 Etiologi

Faktor penyebab dan factor resiko yang paling utama bagi

penderita PPOK atau kondisi yang secara bersama membangkitkan

penderita penyakit PPOK, yaitu:

1) Jenis kelamin pria lebih beresiko dibanding wanita

Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko

yang jelas pada PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang

tampak bahwa prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada Pria di

bandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara

maju menunjukkan bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria

dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat beberapa studi

yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk

dirusak oleh asap rokok dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan

perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang

merupakan perokok saat ini.

2) Genetik

PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai

interaksi lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko

genetik yang paling besar dan telah di teliti lama adalah


9

defisiensi α1 antitripsin, yang merupakan protease serin

inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan contoh

defisiensi α1 antitripsin adalah emfisema paru yang dapat

muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi

memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada

beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu

dengan gen yang terdapat pada kromosom 2q.

3) Keterbukaan terhadap berbagai polusi, seperti: asap rokok, debu

dan polusi udara.

Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-

kayuan, kotoran hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari

kompor juga akan menyebabkan peningkatan insidensi PPOK

khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara diluar ruangan

juga dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi

tinggi seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor.

Kadar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogendioksida (NO2) juga

dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil

(Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada

fungsi paru.

4) Infeksi system pernafasan akut, seperti peunomia dan bronkitus

Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan

peranan yang besar terhadap patogenesis dan progresifitas

PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya


10

inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan

yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan

terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK, dimana

kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas

berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan jelas sekali

berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat

tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi

saluran nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun.

5) Asma episodik, orang dengan kondisi ini beresiko mendapat

penyakit paru obstuksi kronik.

Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK,

dimana didapatkan dari suatu penelitian pada Tucson

Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease, bahwa

orang dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi

risiko menderita PPOK.

2.1.4 Manifestasi klinis

Tanda dan gejala PPOK yang sering ditemukan menurut

Mansjoer (2007) adalah sebagai berikut:

1) Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.

Batuk mungkin dapat diperparah oleh cuaca yang dingin,

lembab, dan iritan paru.

2) Mengi atau wheezing


11

Akibat adanya perubahan patologis sehingga

menyebabkan terjadi obstruksi jalan napas sehingga saat dikaji

ditemukan adanya wheezing.

3) Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut

diakibatkan terperangkapnya udara dalam rongga dada.

4) Sesak sampai menggunakan otot-otot bantu pernapasan

tambahan saat pasien bernapas.

Sputum putih atau mukoid akibat adanya infeksi

disaluran pernapasan sehingga mengakibatkan sputum menjadi

purulen atau mukopurulen yang mengakibatkan bau mulut..

2.1.5 Patofisiologis

Bronkitis kronik, emfisema paru, dan asma bronkhial ada

hubungan etiologik dan sekuensial antara bronkitis kronik dan

emfisema tetapi tampaknya tidak ada hubungan antara penyakit itu

dengan asma, hubungan ini nyata sekali sehubungan dengan etiologi

patogenesis dan pengobatan (Price, 2006).

Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang

ditandai oleh pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus

yang bermanifestasi sabagai batuk kronik dan pembentukan sputum

selama sedikitnya tiga bulan dalam setahun, sekurang kurangya

dalam dua tahun berturut - turut. Definisi ini tidak mencakup

penyakit - penyakit seperti bronkiestasis dan tuberkulosis yang juga

menyebabkan batuk kronik dan pembentukan sputum. Sputum yang


12

terbentuk pada bronkitis kronik dapat mukoid dan mukopurulen

(Price, 2006).

Emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomis

parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus

alveolaris yang tidak normal serta distruksi dinding

alveolar,emfisema dapat di diagnosis secara tepat dengan

menggunakan CT scan resolusi tinggi (Price, 2006).

Pada bronchitis kronik maupun emfisema terjadi

penyempitan saluran nafas, penyempitan ini tidak mengakibatkan

obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak. Penyempitan ini

terjadi karena metaplasi lebih kecil dari sel globet. Saluran nafas

besar juga penyempitan karena hipertopi dan hyperplasia kelenjer

mucus (Mansjoer, 2007).

2.1.6 Komplikasi

Menurut Sudoyo (2006), komplikasi PPOK dapat dilihat

seperti di bawah ini :

1) Infeksi Respiratory

Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan

produksi mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial

dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan

meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.

2) Asidosis Respiratory
13

Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2

(hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala,

fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.

3) Gagal jantung

Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat

penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan

dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan

bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat

mengalami masalah ini.

4) Cardiac Disritmia

Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain,

efek obat atau asidosis respiratory.

5) Status Asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan

asthma bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial

mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap

therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan

dan distensi vena leher seringkali terlihat.

2.1.7 Penatalaksanaan medis

Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan: Antibiotik,

karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi.

Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S.

Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari


14

atau eritromisin 4×0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam

klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya

adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B.

Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol,

amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami

eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan

membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun

hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila

terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka

dianjurkan antibiotik yang kuat.

a. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan

pernapasan karena hiperkapnia dan berkurangnya

sensitivitas terhadap CO2

b. Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum

dengan baik.

c. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas,

termasuk di dalamnya golongan adrenergik b dan anti

kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg

dan atau ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam

dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 – 0,56 IV secara

perlahan (Mansjoer, 2007).


15

2.1.8 Penatalaksanaan keperawatan

a) Mempertahankan patensi jalan nafas dengan jalan

melaksanakan :

(1) Batuk efektif : batuk dengan benar, dimana klien

dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah

dan dapat mengeluarkan dahak.

(2) Fisioterapi dada : tindakan keperawatan yang

bertujuan memperlancar jalan nafas dengan

mengencerkan dahak untuk dikeluarkan.

(3) Meningkatkan masukan cairan terutama air hangat

dan membantu latihan nafas abdomen.

b) Membantu tindakan untuk mempermudah pertukaran gas

dengan memberikan posisi setengah duduk atau semi

fowler, pemberian O2 bikanule, pengawasan analisa gas

darah.

c) Meningkatkan intake nutrisi dengan memberikan diet

dengan tinggi lemak dan rendah karbohidrat

(penyeimbangan kebutuhan kalori tubuh), hindari makanan

penghasil gas, minuman karbonat dan makanan yang terlalu

panas atau dingin.

d) Mencegah komplikasi, memperlambat memburuknya

kondisi.
16

e) Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis

dan program. Hal tersebut bertujuan agar pasien dapat

mengetahui lebih luas tentang penyakit PPOK (Doenges,

2002).

2.2 Batuk Efektif

2.2.1 Definisi Batuk Efektif

Batuk efektif adalah latihan mengeluarkan sekret yang

terakumulasi dan mengganggu di saluran nafas dengan cara

dibatukkan (AIP DIII Keperawatan Jateng, 2006).

Batuk efektif adalah suatu metode batuk dengan benar,

dimana klien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah

dan dapat mengeluarkan dahak secara maksimal (Nuriana, 2014).

Batuk efektif merupakan metode batuk dengan benar, dimana

klien dapat mengeluarkan energi dan mengeluarkan dahak secara

maksimal dengan tujuan memperbaiki fungsi pernafasan (Erliana,

2013).

2.2.2 Tujuan Batuk Efektif

Tujuan batuk efektif yang dikutip dari AIP DIII Keperawatan

Jateng (2006) adalah sebagai berikut :

1) Membebaskan jalan nafas dari akumulasi sekret

2) Mengeluarkan sputum untuk pemeriksaan diagnostik laborat


17

3) Mengurangi sesak nafas

Tujuan batuk efektif menurut Nuriana (2014) dapat dilihat

seperti dibawah ini:

1) Merangsang terbukanya sistem kolateral

2) Meningkatkan distribusi frekuensi

3) Meningkatkan volume paru dan memfasilitasi pembersihan

saluran jalan nafas

2.2.3 Tata Cara Batuk Efektif

Tata cara batuk efektif yang dikutip dari AIP DIII

Keperawatan Jateng (2006) adalah sebagai berikut :

a) Meminta pasien meletakkan satu tangan di dada dan 1

tangan di abdomen

b) Melatih pasien melakukan nafas perut (menarik nafas dalam

melalui hidung hingga 3 hitungan. Jaga mulut tetap

tertutup)

c) Meminta pasien merasakan mengembangnya abdomen

(cegah lengkung pada punggung)

d) Meminta pasien menahan nafas hingga 3 hitungan

e) Meminta menghembuskan nafas perlahan dalam 3 hitungan

(lewat mulut bibir seperti meniup)

f) Meminta pasien merasakan mengempisnya abdomen dan

kontraksi dari otot


18

g) Memasang alas/perlak dan bengkok (di pangkuan pasien

bila duduk atau di dekat mulut bila tidur miring)

h) Meminta pasien untuk melakukan nafas dalam dua kali,

yang ketiga : inspirasi, tahan nafas dan batukkan dengan

kuat

i) Menampung lendir dalam sputum pot


19

BAB III

KESIMPULAN

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru kronik


yang berlangsung dari tahun ke tahun. Perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase
eksaserbasi akut. Berbagai faktor berperan pada perjalanan penyakit ini, antara
lain faktor resiko yaitu faktor yang menimbulkan atau memperburuk penyakit
seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi lingkungan, infeksi, genetik dan
perubahan cuaca. Derajat obstruksi saluran napas yang terjadi, dan identifikasi
komponen yang memungkinkan adanya reversibilitas.
Penatalaksanaan yang tepat dalam pelaksanaan PPOK yaitu menggunakan
terapi eksaserbasi akut dilakukan dengan Antibiotik, Terapi oksigen diberikan jika
terdapat kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas
terhadap CO2, bronkodilator untuk mengatasi obstruksi jalan napas dan
Fisioterapi dada serta batuk efektif membantu pasien untuk mengeluarkan sputum
dengan baik.
Batuk efektif sendiri merupakan suatu tehnik batuk yang benar diterapkan
pada seseorang yang mengalami gangguan sumbatan jalan nafas akibat
penumpukan sputum. Tujuan dari batuk efektif yang dilaksanakan yaitu agar
pasien atau klien dapat dengan mudah mengeluarkan dahak atau sekret, materi
lain yang dibawa dari paru-paru serta membebaskan jalan nafas karena akumulasi
sekret.
Jadi tata cara batuk yang benar ini sangat penting untuk di ketahui bagi
penderita PPOK, karena batuk sendiri ini adalah suatu sistem mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan benda asing yang masuk kedalam tubuh, termasuh
mengeluarkan dahak yang berada di saluran pernafasan tujuannya untuk
mengurangi sesak.
20

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2011. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.


Rineka Cipta. Jakarta.

Assosiasi Institusi Pendidikan D III Keperawatan. 2006. Standar operasional


prosedur. Jawa tengah.

Depkes RI. 2007. Kementrian kesehatan. WWW.TB DOTS.com. int

Depkes RI. 2009. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas
Kesehatan. Jakarta.

Depkes RI. 2015. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.

Doenges E Marillynn. 2002. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta : EGC

Erlina, Yunita. 2013. Tenik Nafas Dalam dan Batuk Efektif.


http//www.pantirapih.or.id. Diakses 1 Oktober 2016

Gartinah. 2009. Keperawatan & Praktek Keperawatan. Jakarta: Dewan Pimpinan


Pusat PPNI.

Kholishah, Nur. 2014. Tata Cara Batuk efektif. http//www.kompasiana.com.


Diakses 1 Oktober 2016

Kusnanto. 2008. Pengantar profesi dan praktik keperawatan profesional. EGC:


Jakarta

Lasmito, Wening. 2009. Motivasi Perawat Melakukan Pendidikan Kesehatan Di


Ruang Anggrek RS Tugurejo Semarang. Undergraduate thesis, Universitas
Diponegoro.

Mansjoer, Arief. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta. Penerbit Media


Aesculapius.

Munandar, A.S. 2012. Stress dan Keselamatan Kerja. Jakarta : UI.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Nuriana, Irfan. 2014. Pengertian dan Cara Melakukan Batuk Efektif Sesuai
Prosedur yang benar. http//www.googleweblight.com/?lite.url.
kompasiana.com. Diakses 1 Oktober 2016

Nursalam. 2010. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan; Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Salemba Medika. Surabaya.
21

Pariani, Siti Dan Nursalam. 2010. Pendekatan Praktis Metodologi Riset


Keperawatan. Salemba medika. Jakarta.

Price S. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses –Proses Penyakit ed 4.Jakarta :


EGC.

Sudoyo. 2006. Buku Saku Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC.

Suwignyo. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Ghalia

Wardhono. 2008. Menuju Keperawatan Profesional. Semarang : Akper


Departemen Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai