Anda di halaman 1dari 8

KEMAS 6 (2) (2011) 71-78

Jurnal Kesehatan Masyarakat


http://journal.unnes.ac.id/index.php/kemas

HUBUNGAN ANTARA SANITASI RUMAH DAN PERILAKU DENGAN


KEJADIAN PNEUMONIA BALITA

Novita Aris Pramudiyani, Galuh Nita Prameswari*

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Info Artikel Abstrak


Sejarah Artikel: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sanitasi rumah
Diterima 18 September 2010
Disetujui 29 Oktober 2010
dan perilaku dengan kejadian pneumonia balita. Ini termasuk penelitian penje-
Dipublikasikan Januari 2011 lasan dengan rancangan belah lintang. Jumlah sampel sebanyak 79 responden.
Instrumen berupa kuesioner, rollmeter, dan thermohygrometer. Analisis data
Keywords: menggunakan uji chi square. Hasil analisis data menunjukkan bahwa sanitasi
House sanitation
Behavior
rumah yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita adalah luas
Pneumonia ventilasi kamar (p<0,001), jenis lantai (p=0,036), dan kepadatan hunian kamar
(p<0,001). Perilaku yang berhubungan dengan kejadian pneumonia balita ada-
lah kebiasaan membuka jendela saat pagi dan siang hari (p<0,001), dan perilaku
merokok orang tua (p=0,008).

Abstract
The purpose of this study was to determine the relationship between house sani-
tation and human behavior with the incidence of pneumonia in children under
five years. This was explanatory research with cross sectional design. The samples
obtained were 79 respondents. The instruments used were questionnair, rollmeter,
and thermohygrometer. The data were analyzed by chi square test. The results
showed that house sanitation related to the incidence of pneumonia were the spa-
cious of the room’s ventilation (p < 0,001), floor’s type (p = 0.036), and the density
of the room (p < 0,001). Behavior associated with the incidence of pneumonia
were the habit of window opening during morning and afternoon (p < 0,001), and
parental smoking behavior (p = 0.008).

© 2011 Universitas Negeri Semarang

*
Alamat korespondensi: ISSN 1858-1196
Jalan Erlangga Raya 44 Semarang 50241
Email: nitagisela@yahoo.com
Novita Aris Pramurdiani & Galuh Nita Prameswari / KEMAS 6 (2) (2011) 71-78

Pendahuluan tinggi, salah satunya di Propinsi Jawa Tengah.


Di Jawa Tengah, kasus pneumonia balita pada
Pembangunan kesehatan sebagai salah tahun 2007 sebesar 67.358 kasus sedangkan
satu upaya pembangunan nasional diarahkan tahun 2008, kasus pneumonia balita sebesar
guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan ke- 74.749 kasus (Kesehatan Dinkes Jateng, 2009).
mampuan untuk hidup sehat bagi setiap pen- Kasus pneumonia balita di Kabupaten Sema-
duduk agar dapat mewujudkan derajat kese- rang juga masih tinggi dan cenderung mening-
hatan yang optimal. Salah satu indikator yang kat. Pada tahun 2008 terdapat 1.410 kasus
menunjukkan terwujudnya derajat kesehatan pneumonia balita dan pada tahun 2009 menja-
yaitu menurunnya angka kematian bayi dan di 1.463 kasus (Dinkes Kab. Semarang, 2009).
anak balita. Salah satu strategi untuk menu- Di Kecamatan Bergas pada tahun 2008 terdapat
runkan angka kematian yaitu dengan Milleni- 251 kasus pneumonia balita dan pada tahun
um Development Goals (MDG’s) dengan tujuan 2009 terjadi peningkatan kasus pneumonia
untuk menurunkan 2 per 3 kematian balita pada balita menjadi 275 kasus. Kecamatan Ber-
pada rentang waktu antara tahun 1990-2015 gas merupakan salah satu pusat kawasan indus-
(Depkes RI, 2005). tri di Kabupaten Semarang. Hampir separuh
Sampai saat ini, penyakit berbasis ling- penduduk Kecamatan Bergas bekerja sebagai
kungan masih menjadi masalah kesehatan buruh industri. Terdapat sekitar 22 pabrik yang
masyarakat dunia, salah satunya pneumonia beraktivitas normal. Kabupaten Semarang juga
(Sakaguchi et al., 2008, Jeon et al., 2011). Pe- merupakan akses jalur utama transportasi da-
nyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), rat Semarang-Solo-Yogya, termasuk Kecama-
khususnya pneumonia merupakan penyebab tan Bergas. Gas buang pabrik serta polusi udara
utama kesakitan dan kematian bayi dan balita oleh kendaraan dapat mempengaruhi keseha-
di negara berkembang (Cao et al., 2010; Kök- tan respiratori, salah satunya pneumonia ka-
sal et al., 2010). Pneumonia juga menyebabkan rena polusi udara merupakan salah satu faktor
empat juta kematian pada anak balita di dunia risiko penting terjadinya pneumonia (Depkes
(Depkes RI, 2005; Watkins et al., 2011). Pneu- RI, 2009, Mermond et al., 2010; Vaideeswar et
monia merupakan penyebab utama morbiditas al., 2011). Faktor risiko yang berhubungan de-
dan mortalitas anak berusia di bawah lima ta- ngan kejadian pneumonia terbagi atas faktor in-
hun (balita) (Thörn et al., 2011). Di dunia se- strinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik
tiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, Berat
meninggal karena pneumonia (1 balita/15 de- Badan Lahir Rendah (BBLR), status imunisasi,
tik) dari 9 juta total kematian balita. Oleh ka- pemberian Air Susu Ibu (ASI), dan pemberian
rena itu, UNICEF menyebutkan bahwa pneu- vitamin A. Faktor ekstrinsik meliputi kepada-
monia disebut sebagai pembunuh balita yang tan tempat tinggal, polusi udara, tipe rumah,
terlupakan atau The Forgotten Killer of Chil- ventilasi, asap rokok, penggunaan bahan bakar,
dren. World Health Organization (WHO) juga penggunaan obat nyamuk bakar, serta faktor
menyatakan bahwa insidens pneumonia pada ibu baik pendidikan, umur, maupun penge-
balita di negara dengan Angka Kematian Bayi tahuan ibu. Peningkatan insidens pneumonia
(AKB) di atas 40 per kelahiran hidup adalah dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
15-20% per tahun (Nastiti dkk., 2008). Menu- BBLR, polusi udara, kepadatan tempat tinggal,
rut Survei Kesehatan Nasional (SKN) 2001, ventilasi kurang memadai, membedong anak,
27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita tidak mendapat ASI memadai, imunisasi tidak
di Indonesia disebabkan oleh penyakit respira- memadai, gizi kurang, dan pemberian ma-
tori, terutama pneumonia (Nastiti dkk., 2008). kanan tambahan terlalu dini (Depkes RI, 2005).
Dari data SKRT 2001 menunjukkan bahwa an- Kondisi rumah dan lingkungan dapat
gka kematian balita akibat penyakit pernapasan mempengaruhi kejadian penyakit pneumonia.
adalah 4,9/1000 balita, yang berarti ada 5 dari Konstruksi rumah dan lingkungan yang tidak
1000 balita meninggal setiap tahunnya akibat memenuhi syarat kesehatan merupakan fak-
pneumonia (Depkes RI, 2005). tor risiko penularan berbagai jenis penyakit
Kasus pneumonia di Indonesia masih berbasis lingkungan, salah satunya pneumo-

72
Novita Aris Pramurdiani & Galuh Nita Prameswari / KEMAS 6 (2) (2011) 71-78

nia (Dinkes Jateng, 2009). Cakupan rumah se- Tujuan Penelitian ini adalah mengeta-
hat tahun 2008 di Jawa Tengah baru mencapai hui hubungan antara sanitasi rumah dan peri-
58,83% dan belum mencapai target Standar laku dengan kejadian pneumonia pada balita
Pelayanan Minimal (SPM) sebesar 65% (Dinas di wilayah kerja Puskesmas Bergas, Kabupaten
Kesehatan Jateng, 2009). Hasil penelitian oleh Semarang.
Nurjazuli pada tahun 2008 mengenai faktor
risiko dominan kejadian pneumonia balita di
Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen Metode
didapatkan 3 faktor yang dominan antara lain,
luas ventilasi (nilai p =0,0001, OR=223,889), Penelitian ini merupakan penelitian ob-
pengetahuan ibu (nilai p =0,0001, OR=67,741), servasional dengan menggunakan pendekatan
dan jenis rumah (nilai p =0,0001, OR=67,74). belah lintang. Variabel bebas dalam penelitian
Dari penelitian lain oleh Furi Rahayu menge- ini adalah kondisi rumah yang meliputi suhu
nai faktor-faktor kondisi fisik rumah yang ber- rumah, kelembaban rumah, kondisi jendela,
hubungan dengan timbulnya penyakit pneu- luas ventilasi kamar balita, jenis lantai rumah,
monia pada Balita di Puskesmas Bandarjo Kota kepadatan hunian kamar balita, serta perilaku
Semarang tahun 2007, faktor yang berhubungan yang meliputi membuka jendela setiap pagi dan
secara bermakna yaitu dinding rumah (p=0,01, siang hari, merokok, dan penggunaan obat nya-
OR=3,01), lantai rumah (p=0,01, OR=23,5), muk. Suhu rumah diukur menggunakan alat
kepadatan hunian rumah (p=0,003, OR=3,16), thermohygrometer, dengan kategori baik, bila
luas ventilasi tamu (p=0,01, OR=3,76), dan luas suhu 22 sampai 25 derajat celsius. Kelembaban
ventilasi ruang tidur balita (p=0,02, OR=2,70). rumah baik, bila 50%-70%. Kondisi jendela
Presentase rumah tangga berperilaku adalah bagian dinding yang dapat dibuka se-
hidup bersih dan sehat Jawa Tengah yang di- hingga udara dan sinar matahari dapat kelu-
wakili oleh rumah tangga yang mencapai strata ar masuk dari kamar balita, dengan kategori
sehat utama dan sehat paripurna sebesar 62,45% permanen dan tidak permanen. Luas ventilasi
(Dinkes Jateng, 2009). Berdasarkan Profil Kese- kamar adalah luas tempat proses penyediaan
hatan Kabupaten Semarang, presentase rumah penghawaan atau ventilasi alamiah yang per-
tangga berperilaku sehat tahun 2008 baru men- manen, tidak memenuhi syarat, bila < 10 %
capai 48,60% dan masih di bawah target SPM luas lantai dan memenuhi syarat, bila ≥ 10%
yaitu 65%. Sedangkan presentase rumah tangga luas lantai. Jenis lantai ruang kamar tidur balita
berperilaku sehat di wilayah kerja puskesmas memenuhi syarat bila lantai ubin atau keramik,
Bergas mengalami penurunan dari tahun 2008 tidak berdebu dan tidak lembab (semen dan
sampai 2009 yaitu dari 37,33% menjadi 36,4%. tanah), serta tidak memenuhi syarat bila tidak
Perilaku manusia merupakan faktor yang besar memenuhi salah satu kriteria tersebut. Kepada-
pengaruhnya dalam menentukan derajat kese- tan tempat tinggal/hunian kamar balita, meme-
hatan. Perilaku masyarakat yang buruk dapat nuhi syarat, bila < 2 orang /8 m2 luas lantai dan
menimbulkan berbagai penyakit, meskipun tidak memenuhi syarat bila lebih dari 2 orang
sarana sanitasi dasar telah tersedia misalnya per 8 m2 luas lantai.
penyakit pneumonia (Dinkes Propinsi Jateng, Penggunaan obat nyamuk adalah peng-
2009). gunaan obat nyamuk (oles, elektrik, semprot,
Berdasarkan uraian di atas, kejadian bakar) di dalam kamar balita, dengan kate-
pneumonia balita di wilayah Bergas yang gori menggunakan dan tidak menggunakan.
cenderung meningkat tiap tahunnya dan pre- Variabel merokok adalah kegiatan merokok
sentase rumah tangga berperilaku bersih dan yang dilakukan oleh orang tua dan atau ang-
sehat (36,40%), dan masih dibawah target SPM gota keluarga di dalam rumah tempat tinggal
(65%), maka penulis tertarik untuk melakukan balita. Membuka jendela pada kamar tidur ba-
penelitian mengenai hubungan sanitasi rumah lita setiap pagi dan siang hari, dengan kategori
dan perilaku dengan kejadian pneumonia pada setiap hari dibuka, kadang-kadang, atau jarang
balita di wilayah kerja Puskesmas Bergas, Ka- dibuka.
bupaten Semarang. Kejadian pneumonia pada balita yai-

73
Novita Aris Pramurdiani & Galuh Nita Prameswari / KEMAS 6 (2) (2011) 71-78

tu proses infeksi akut yang mengenai jaringan sebanyak 41 rumah (51,9%), sedangkan yang
paru/alveoli yang ditandai dengan batuk diser- memenuhi syarat sebanyak 38 rumah (48,1%).
tai napas cepat atau terjadi tarikan dinding ke Pada variabel perilaku, menunjukkan
dalam pada anak usia balita 0-5 tahun, dengan bahwa sebagian besar responden jarang mem-
kategori pneumonia dan bukan pneumonia buka jendela setiap pagi dan siang hari yaitu
(Depkes RI, 2008). sebanyak 35 responden (44,3%) dan presentase
Populasi dalam penelitian ini adalah yang paling sedikit yaitu responden yang sering
jumlah balita yang terkena penyakit pneumo- membuka jendela saat pagi dan siang hari se-
nia di Kecamatan Bergas sebesar 586 balita. banyak 23 responden (29,1%). Responden yang
Berdasarkan hasil perhitungan sampel diper- tidak merokok sebanyak 30 responden (38%)
oleh jumlah minimal sampel adalah 79 res- dan respoden yang merokok sebanyak 49 res-
ponden (ibu balita). ponden (62%). Dari responden yang mempu-
Analisis univariat dilakukan terhadap nyai kebiasaan merokok tersebut, sebanyak 25
tiap variabel dari hasil penelitian, meliputi suhu responden (31,6%) diantaranya merupakan
rumah, kelembaban rumah, kondisi jendela, perokok berat. Perilaku responden menggu-
luas ventilasi kamar balita, jenis lantai rumah, nakan obat nyamuk saat tidur ada sebanyak 47
kepadatan hunian kamar balita, membuka jen- responden (59,5%), sedangkan responden yang
dela kamar setiap pagi dan siang hari, merokok, tidak menggunakan obat nyamuk saat tidur
dan penggunaan obat nyamuk. Analisis bivariat sebanyak 32 responden (40,5%). Berdasarkan
dilakukan untuk mengetahui hubungan antar hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui
variabel yang diteliti. Analisis bivariat diguna- bahwa sebanyak 37 balita (46,8%) yang men-
kan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan derita pneumonia dan 42 balita (53,2%) yang
antara variabel bebas dan variabel terikat de- tidak menderita pneumonia.
ngan uji statistik yang sesuai dengan skala data Hubungan antara suhu rumah dengan
yang ada. Uji statistik yang digunakan adalah kejadian pneumonia pada balita, setelah di-
uji chi square. Taraf signifikansi yang diguna- analisis dengan uji chi square didapatkan nilai
kan adalah 95% dengan nilai kemaknaan 5% p = 0,263 (p > 0,05), yang menunjukkan bahwa
(Sugiyono, 2004). tidak ada hubungan yang bermakna antara
suhu rumah dengan kejadian pneumonia pada
balita. Kemungkinan tidak adanya hubung-
Hasil an antara suhu dengan kejadian pneumonia
pada balita dapat disebabkan pengambilan
Dari hasil penelitian menunjukkan data dilakukan pada satu waktu yaitu pada saat
bahwa rumah responden dengan kategori siang hari. Suhu bergantung pada musim dan
suhu baik sebanyak 27 rumah (34,2%) sedang- kondisi geografis setempat. Suhu dalam rumah
kan yang tidak baik yaitu sebanyak 52 rumah dipengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan
(65,8%). Rumah responden dengan kelemba- udara, dan kelembaban ruangan. Suhu juga
ban baik sebanyak 34 rumah (43%), dan den- erat kaitannya dengan ventilasi. Ventilasi yang
gan kelembaban tidak baik yaitu sebanyak 45 kurang menyebabkan berkurangnya kadar ok-
rumah (57%). Rumah responden yang mem- sigen, bertambahnya kadar karbon dioksida,
punyai jendela permanen sebanyak 22 rumah adanya bau pengap dan suhu udara ruangan
(27,8%), sedangkan rumah responden yang naik (Mukono, 2000). Oleh karena itu, untuk
jendelanya tidak permanen sebanyak 56 rumah mendapatkan suhu yang ideal yaitu antara
(72,2%). Luas ventilasi yang memenuhi syarat kisaran 20-25 derajat celsius, hendaknya selalu
ada sebanyak 40 rumah (50,6%), sedangkan menjaga kelancaran pergerakan udara, salah
ventilasi tidak memenuhi syarat sebanyak 39 satunya dengan membuka jendela saat pagi dan
rumah (49,4%). Rumah dengan jenis lantai yang siang hari.
memenuhi syarat sebanyak 56 rumah (70,9%), Hubungan antara kelembaban dengan
sedangkan lantai yang tidak memenuhi syarat kejadian pneumonia pada balita setelah diana-
ada sebanyak 23 rumah (29,1%). Rumah de- lisis dengan uji chi square didapatkan nilai p
ngan kepadatan hunian tidak memenuhi syarat = 0,183 (p>0,05), dengan demikian tidak ada

74
Novita Aris Pramurdiani & Galuh Nita Prameswari / KEMAS 6 (2) (2011) 71-78

hubungan yang bermakna antara kelembab- tian Nurjazuli dan Widyaningtyas (2006), yang
an rumah dengan kejadian pneumonia pada menyatakan bahwa ventilasi merupakan salah
balita. Tidak ada hubungan antara kelembaban satu faktor yang bermakna hubungannya de-
dengan kejadian pneumonia pada balita mung- ngan kejadian pneumonia pada balita. Hasil
kin dapat disebabkan perbedaan luas ventilasi penelitian ini juga sesuai dengan hasil peneli-
rumah tiap responden. Ventilasi merupakan tian Yuwono (2008), yang menyatakan bahwa
salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat risiko balita terkena pneumonia akan mening-
kelembaban. Ventilasi yang kurang dapat me- kat jika tinggal di rumah yang luas ventilasi ru-
nyebabkan kelembaban bertambah (Mukono, mahnya tidak memenuhi syarat.
2000). Kelembaban di luar rumah secara alami Penelitian ini juga sesuai dengan teori
dapat mempengaruhi kelembaban di dalam yang menyatakan bahwa ventilasi yang kurang
rumah. Ruang yang lembab memungkinkan dapat memberikan pengaruh buruk yaitu
tumbuhnya mikroorganisme patogen, salah sa- berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya
tunya mikroorganisme penyebab pneumonia. kadar karbondioksida, adanya bau pengap,
Untuk mendapatkan tingkat kelembaban yang suhu udara ruangan naik, dan kelembaban
baik hendaknya mengatur agar pertukaran udara ruangan bertambah (Mukono, 2000).
udara selalu lancar serta sinar matahari dapat Hubungan antara jenis lantai rumah de-
masuk yaitu dengan perbaikan ventilasi karena ngan kejadian pneumonia pada balita setelah
ventilasi berkaitan erat dengan kelembaban. dianalisis dengan uji chi square didapatkan
Hubungan antara kondisi jendela de- nilai p = 0,036 (p<0,05), dengan demikian ada
ngan kejadian pneumonia balita, setelah diana- hubungan yang bermakna antara jenis lantai
lisis dengan uji chi square didapatkan nilai p rumah dengan kejadian pneumonia pada bali-
= 0,175 (p>0,05), dengan demikian tidak ada ta. Hal ini dapat disebabkan responden tidak
hubungan yang bermakna antara kondisi jen- membersihkan lantainya agar tidak kotor dan
dela dengan kejadian pneumonia pada balita. berdebu. Hasil penelitian ini sesuai dengan pe-
Tidak ada hubungan antara kondisi jendela ru- nelitian Nurjazuli dan Widyaningtyas (2006),
mah dengan kejadian pneumonia pada balita yang menyatakan bahwa kondisi fisik bangu-
karena sebagian besar jendela responden tidak nan, salah satunya jenis lantai mempunyai aso-
permanen atau dapat dibuka. Jendela tidak siasi yang signifikan dengan kejadian pneumo-
akan berfungsi semestinya bila selalu ditutup nia pada balita. Menurut Nurjazuli, lantai yang
ataupun permanen yaitu terbuat dari kaca yang berdebu merupakan salah satu bentuk polusi
tidak dapat dibuka. Jendela merupakan salah udara dalam rumah. Debu dalam udara bila
satu ventilasi yang berfungsi sebagai tempat terhirup akan menempel pada saluran napas
pertukaran udara. Jendela yang permanen akan bagian bawah. Akumulasi tersebut akan me-
membuat ruang tidur menjadi pengap dan nyebabkan elastisitas paru menurun, sehingga
lembab. Ruang tidur yang pengap dan lembab menyebabkan balita sulit bernapas. Penelitian
memungkinkan berkembangnya mikroorgan- ini juga didukung oleh teori yang menyatakan
isme patogen, salah satunya mikroorganisme bahwa lantai yang baik harus kedap air, tidak
penyebab pneumonia. Oleh karena itu, jendela lembab, bahan lantai mudah dibersihkan, dan
hendaknya memenuhi syarat yaitu 10 % dari dalam keadaan kering dan tidak menghasil-
luas lantai. Jendela hendaknya juga bersifat kan debu (Depkes RI, 2002). Lantai yang tidak
tidak permanen agar dapat dibuka setiap hari rapat air dan tidak didukung dengan ventilasi
sehingga udara dapat keluar masuk dengan lan- yang baik dapat menimbulkan peningkatan
car. kelembaban dan kepengapan yang akan me-
Hubungan antara luas ventilasi kamar mudahkan penularan penyakit. Sebaiknya, lan-
balita dengan kejadian pneumonia balita setelah tai juga sering dibersihkan agar tidak berdebu.
dianalisis dengan uji chi square didapatkan nilai Hubungan antara kepadatan hunian
p < 0,001 (p<0,05), yang menunjukkan bahwa kamar dengan kejadian pneumonia pada balita
ada hubungan yang bermakna antara luas ven- setelah dianalisis dengan uji chi square ternyata
tilasi kamar balita dengan kejadian pneumonia didapatkan nilai p = 0,001 (p <0,05), dengan
pada balita. Penelitian ini sesuai dengan peneli- demikian ada hubungan yang bermakna anta-

75
Novita Aris Pramurdiani & Galuh Nita Prameswari / KEMAS 6 (2) (2011) 71-78

ra kepadatan hunian kamar dengan kejadian but tidak ada artinya, karena akan membuat ru-
pneumonia pada balita. Hal ini dapat disebab- ang tidur menjadi pengap dan lembab. Ruang
kan proporsi rumah responden yang memiliki tidur yang pengap dan lembab memungkinkan
kepadatan hunian kamar yang tidak memenuhi mikroorganisme patogen salah satunya mi-
syarat lebih banyak daripada rumah responden kroorganisme penyebab pneumonia. Oleh ka-
yang memiliki kepadatan hunian yang meme- rena itu, hendaknya jendela selalu dibuka setiap
nuhi syarat. pagi dan siang hari.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian Hubungan antara merokok dengan ke-
Yuwono (2008), yang menyatakan bahwa ke- jadian pneumonia pada balita setelah dianalisis
padatan hunian merupakan salah satu faktor dengan uji chi square didapatkan nilai p = 0,008
yang bermakna hubungannya dengan kejadian (p <0,05), dengan demikian ada hubungan yang
pneumonia pada balita. Hasil penelitian ini bermakna antara merokok dengan kejadian
juga sesuai dengan hasil penelitian oleh Nur- pneumonia pada balita. Hal ini dapat disebab-
jazuli dan Widyaningtyas (2006), yang me- kan asap rokok mengandung zat-zat yang be-
nyatakan bahwa kondisi fisik bangunan salah racun. Penelitian ini sesuai dengan penelitian
satunya kepadatan hunian mempunyai hubu- Yuwono (2008) yang menyatakan bahwa mero-
ngan terhadap kejadian pneumonia pada balita. kok dalam rumah merupakan salah satu faktor
Kepadatan hunian erat kaitannya dengan pe- yang bermakna dalam kejadian ISPA termasuk
nularan penyakit. Bila penghuni terlalu padat pneumonia. Lama merokok dan jumlah kon-
dan terdapat penghuni yang sakit, maka akan sumsi rokok mempunyai hubungan bermak-
mempercepat transmisi atau penularan pe- na dengan prevalensi penyakit ISPA, asma,
nyakit tersebut. Hal ini sesuai dengan Keputu- pneumonia, serta jantung. Hasil penelitian ini
san Menkes RI yang menyatakan bahwa kamar didukung oleh teori yang menyatakan bahwa
tidur luasnya harus disesuaikan dengan jumlah asap samping rokok mempunyai efek toksik le-
penghuni yang akan menggunakan ruang tidur bih buruk daripada asap utama terutama dalam
tersebut. Luas ruang tidur minimal 8 m² dan menimbulkan iritasi mukosa saluran napas dan
tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang meningkatkan kecenderungan untuk menda-
kecuali anak di bawah umur 5 tahun (Depkes patkan ISPA. Asap utama juga mengandung
RI, 2002). radikal bebas yang berperan dalam kerusakan
Hubungan antara perilaku membuka jaringan (Pringgoutomo, 2002). Teori lain juga
jendela kamar setiap pagi dan siang hari de- mengatakan bahwa orang tua yang merokok
ngan kejadian pneumonia pada balita setelah menyebabkan anaknya rentan terhadap pneu-
dianalisis dengan uji chi square didapatkan monia (Nastiti, 2008). Upaya penghindaran
nilai p < 0,001 (p<0,05), dengan demikian pajanan asap rokok sebaiknya dilakukan untuk
ada hubungan yang bermakna antara perilaku mengurangi risiko terkena infeksi saluran per-
membuka jendela kamar setiap pagi dan siang napasan, salah satunya pneumonia.
hari dengan kejadian pneumonia pada balita. Hubungan antara penggunaan obat nya-
Hal ini dapat disebabkan proporsi responden muk dengan kejadian pneumonia setelah di-
yang jarang membuka jendela setiap pagi dan analisis dengan uji chi square didapatkan nilai
siang hari lebih besar dari pada responden p = 0,127 (p>0,05), dengan demikian tidak ada
yang sering membuka jendela setiap pagi dan hubungan yang bermakna antara penggunaan
siang hari. Hasil penelitian ini tidak sesuai de- obat nyamuk dengan kejadian pneumonia pada
ngan penelitian Nurjazuli dan Widyaningtyas balita. Tidak ada hubungan antara penggunaan
(2006), yang menyatakan membuka jendela obat nyamuk dengan kejadian pneumonia pada
bukan faktor risiko yang paling dominan terha- balita karena jenis obat nyamuk yang diguna-
dap kejadian pneumonia balita. kan bervariasi. Selain obat nyamuk bakar yang
Membuka jendela setiap pagi dan siang menimbulkan polusi di dalam ruangan rumah,
hari sangat penting untuk pertukaran udara. responden juga menggunakan obat nyamuk
Jendela kamar tidak berfungsi bila selalu di- jenis lain seperti: obat nyamuk elektrik, obat
tutup. Bila suatu kamar tidur memiliki jendela nyamuk oles, dan obat nyamuk semprot. Meski
tetapi tidak pernah dibuka maka, jendela terse- tidak ada hubungan antara penggunaan obat

76
Novita Aris Pramurdiani & Galuh Nita Prameswari / KEMAS 6 (2) (2011) 71-78

nyamuk dengan kejadian pneumonia pada ba- dapat melakukan penelitian selanjutnya yaitu
lita, semua jenis obat nyamuk tetap berbahaya dengan meneliti variabel-variabel lain yang
bagi kesehatan. Polutan pencemar udara yang berpengaruh terhadap kejadian pneumonia,
biasanya sering digunakan dalam rumah tang- misalnya variabel sikap dan variabel tindakan
ga seperti obat nyamuk bakar. Obat nyamuk, ibu, variabel volume rumah, variabel polusi
terutama obat nyamuk bakar dan semprot, luar rumah, serta variabel polusi dalam rumah
merupakan salah satu sumber polusi dalam ru- yang lain, seperti: asap dapur, kadar debu, dan
mah yang dapat mengganggu pernapasan ma- lain-lain yang berkaitan dengan kejadian pneu-
nusia (Mukono, 2000). Selain itu, semua jenis monia pada balita.
obat nyamuk mengandung bahan kimia bera-
cun dan berbahaya bagi kesehatan terutama
pada balita yang masih rentan. Oleh karena itu, Daftar Pustaka
orang tua yang mempunyai balita sebaiknya
memakai kelambu daripada menggunakan Asghar, A.H., Ashshi, A.M., Azhar, E.I., Bukhari,
S.Z., Zafa, T.A. and Momenah, A.M. 2011.
obat nyamuk.
Profile of Bacterial Pneumonia During Hajj.
Pada penelitian yang dilakukan terdapat
Indian J Med Res, 133: 510-513
beberapa keterbatasan yaitu pneumonia tidak Cao, B., L-L., Ren, Zhao, F., Gonzalez, R., Song, S.F.,
hanya dipengaruhi oleh sanitasi rumah, fak- Bai, L., Yin, Y.D., Zhang, Y.-Y., Liu, Y.M.,
tor polusi dalam rumah (indoor pollution), dan Guo, P., Zhang, J.Z., Wang, J.W. and Wang,
perilaku, tetapi juga dapat dipengaruhi bebera- C. 2010. Viral and Mycoplasma Pneumo-
pa faktor lain seperti: polusi luar rumah (out- niae Community-Acquired Pneumonia and
door pollution), polusi dalam rumah (indoor Novel Clinical Outcome Evaluation in Am-
pollution) yang lain, pemanfaatan fasilitas ke- bulatory Adult Patients in China. Eur J Clin
sehatan, sosial ekonomi, daya kekebalan tubuh, Microbiol Infect Dis, 29: 1443–1448
Depkes RI. 2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah
usia, jenis kelamin, status gizi, pemberian ASI,
Sehat. Jakarta: Depkes RI
pemberian vitamin A, serta berat badan lahir
Depkes RI. 2005. Rencana Jangka Menengah Nasio-
rendah (BBLR). nal Penanggulangan Pneumonia Balita 2005-
2009. Jakarta: Depkes RI
Depkes RI. 2008. Pedoman Tata Laksana Pneumonia
Simpulan dan Saran Balita. Jakarta: Depkes RI
Depkes RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit
Hasil penelitian ini menunjukkan ada- Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta:
nya hubungan antara luas ventilasi kamar, jenis Depkes RI
lantai, kepadatan hunian kamar dengan ke- Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang. 2009. Profil
Kesehatan Kabupaten Semarang Tahun 2008,
jadian pneumonia pada balita. Hasil penelitian
Ungaran: Dinas Kesehatan Kabupaten Sema-
ini juga menunjukkna adanya hubungan antara
rang
perilaku membuka jendela setiap pagi dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2009. Profil
siang hari, perilaku merokok dengan kejadian Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2008, Sema-
pneumonia pada balita. Namun hasil penelitian rang: Dinas Provinsi Jawa Tengah
ini menunjukkan tidak ada hubungan antara Jeon, E.J., Cho, S.G., Shin, J.W, Kim, J.Y., Park, I.W.,
suhu rumah, kelembaban rumah, kondisi jen- Choi, B.W., and Choi, J.C. 2011. The Dif-
dela dan penggunaan obat nyamuk dengan ke- ference in Clinical Presentations between
jadian pneumonia pada balita. Healthcare-Associated and Community-Ac-
Saran yang dapat diberikan, yaitu orang- quired Pneumonia in University-Affiliated
Hospital in Korea. Yonsei Med J, 52 (2): 282-
tua diharapkan membuka jendela setiap hari
287
pada saat pagi dan siang hari, memperhatikan
Köksal, I., Ozlü, T., Bayraktar, O., yilmaz, G., Bulbul,
kualitas kondisi rumah yaitu salah satunya de- Y., öztuna, F., çaylan, R., aydin, K., Sucu, N.
ngan perbaikan ventilasi rumah, menyesuaikan and Grubu, T.C. 2010. Etiological Agents of
luas kamar dengan jumlah penghuni, tidak Community-Acquired Pneumonia In Adult
merokok di dalam rumah, serta lebih sering Patients in Turkey; a Multicentric, Cross-
membersihkan lantai rumah. Bagi peneliti lain sectional Study. Tüberküloz ve Toraks Dergisi,

77
Novita Aris Pramurdiani & Galuh Nita Prameswari / KEMAS 6 (2) (2011) 71-78

58 (2): 119-127 karta: Sagung Seto


Mermond, S., Arthaud, A.B., Estivals, M., Baumann, Sugiyono. 2004. Statistik Untuk Penelitian, Bandung:
F., Levenes, H. and Martin, P.M.V. 2010. Ae- Alfabeto
tiology of Community-Acquired Pneumonia Thörn, L.K., Minamisava, R., Nouer, S.S., Ribeiro,
in Hospitalized Adult Patients. New Caledo- L.H. and Andrade, A.L. 2011. Pneumonia
nia, 15 (12): 1517–1524 and Poverty: a Prospective Population-Based
Mukono. 2000. Prinsip Dasar Kesehatan Lingku- Study Among Children in Brazil. BMC Infec-
ngan, Surabaya: Airlangga University Press tious Diseases, 11: 180
Nastiti, N., Raharjoe. 2008. Buku Ajar Respirologi Vaideeswar, P., Bavdekar, S.B., Biswas, P., Sarangara-
Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter jan, R. and Bhosale, A. 2011. Viral Ventila-
Anak Indonesia tor-Associated Pneumonia: Uncovering Tip
Nurjazuli dan Widyaningtyas, R. 2006. Fak- of The Iceberg. Indian Journal f Pathology ang
tor Risiko Dominan Kejadian Pneumo- Microbiology, 54 (2)
nia Balita, (Online). http://eprints.undip. Watkins, R. and Lemonovich, T. I. 2011. Diagnosis
ac.id/16162/1/1290.pdf and Management of Community-Acquired
Pringgoutomo, S. 2002. Buku Ajar Patologi I Edisi Pneumonia. Adults Journal, 83 (11)
Pertama. Jakarta: Sagung Seto Yuwono, T.A. 2008. Faktor-Faktor Lingkungan Fisik
Sakaguchi, M., Shime, N., Fujita, N., Fujiki, S. And Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian
Hashimoto, S. 2008. Current Problems in The Pneumonia pada Anak Balita Di Wilayah
Diagnosis and Treatment of Hospital-Ac- Kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten
quired Methicillin-Resistant Staphylococcus Cilacap, Tesis, Universitas Diponegoro. http://
Aureus Pneumonia. J Anesth, 22: 125–130 eprints.undip.ac.id/18058/1/Tulus_Aji_Yu-
Sastroasmoro, S. dan Ismael, S. 2002. Dasar-Dasar wono.pdf
Metodologi Penelitian Klinis Edisi Ke-2. Ja-

78

Anda mungkin juga menyukai