Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teknologi Pengolahan
Limbah kepada dosen DR. Yatti Sugiarti. M.P.
Oleh:
Kelompok 6
BANDUNG
2014
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami panjatkan ke Hadirat Illahi Rabbi karena berkat
rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan salah satu tugas Mata Kuliah
Teknologi Pengolahan Limbah.
Tidak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada Ibu DR. Yatti Sugiarti.
M.P. selaku dosen mata kuliah Teknologi Pengolahan Limbah yang telah
membimbing kami dalam pembuatan makalah, serta rekan-rekan yang senantiasa
memberikan dorongan dan bantuan baik berupa moril maupun materil sehingga
makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar dan baik.
Dalam penyusunan makalah ini, kami berusaha memaparkan hasil diskusi
dan informasi dengan kemampuan yang kami miliki dengan membahas mengenai
“Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)” yang kami paparkan dalam sebuah
kasus yang terjadi di Indonesia.
Semoga dengan adanya makalah ini, dapat memberikan manfaat untuk
kami dan untuk pembaca untuk lebih mengetahui mengenai Limbah B3.
Meski begitu, kami menyadari bahwa pada penyusunan makalah ini
belumlah mencapai kesempurnaan, oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun, sehingga makalah ini menjadi sempurna dan
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER
BAB I PENDAHULUAN
BAB V PENUTUP
LAMPIRAN .............................................................................................................v
BAB I
PENDAHULUAN
LANDASAN TEORI
A. Klasifikasi Limbah B3
Menurut Depkes RI melalui keputusan Menkes No.
453/Menkes/Per/XI/1983 telah memberi arahan mengenai bahan berbahaya
beracun dan pengelolaannya, yang dibagi menjadi 4 (empat) klasifikasi, yaitu :
Klasifikasi I
1. Bahan kimia atau sesuatu yang telah terbukti atau diduga keras dapat
menimbulkan bahaya yang fatal dan luas, secara langsung atau tidak langsung,
karena sangat sulit penanganan dan pengamanannya
2. Bahan kimia atau sesuatu yang baru yang belum dikenal dan patut diduga
menimbulkan bahaya.
Klasifikasi II
1. Bahan radiasi
2. Bahan yang mudah meledak karena gangguan mekanik
3. Bahan beracun atau bahan lainnya yang mudah menguap dengan LD50 (rat)
kurang dari 500 mg/kg atau yang setara, mudah diabsorpsi kulit atau selaput
lender
4. Bahan etilogik/biomedik
5. Gas atau cairan beracun atau mudah menyala yang dimampatkan
6. Gas atau cairan atau campurannya yang bertitik nyala kurang dari 35oC
7. Bahan padat yang mempunyai sifat dapat menyala sendiri.
Klasifikasi III
1. Bahan yang dapat meledak karena sebab-sebab lain, tetapi tidak mudah
meledak karena sebab-sebab seperti bahan klasifikasi II
2. Bahan beracun dengan LD50 (rat) kurang dari 500 mg/kg atau setara tetapi
tidak mempunyai sifat seperti bahan beracun klasifikasi II
3. Bahan atau uapnya yang dapat menimbulkan iritasi atau sensitisasi, luka dan
nyeri
4. Gas atau cairan atau campurannya dengan bahan padat yang bertitik nyala
35oC sampai 60oC
5. Bahan pengoksidasi organic
6. Bahan pengoksidasi kuat
7. Bahan atau uapnya yang bersifat karsinogenik, tetratogenik dan mutagenic
8. Alat atau barang-barang elektronika yang menimbulkan radiasi atau bahaya
lainnya.
Klasifikasi IV
1. Bahan beracun dengan LD50 (rat) diatas 500 mg/kg atau yang setara
2. Bahan pengoksid sedang
3. Bahan korosif sedang dan lemah
4. Bahan yang mudah terbakar.
Menurut SK Menprind No. 148/M/SK/4/1985. tentang Pengamanan Bahan
Beracun dan Berbahaya di Perusahaan Industri. Pengelompokan bahan B3
berdasarkan keputusan tersebut meliputi :
Sedangkan menurut Kep Menaker No. 187 tahun 1999 mengenai bahan
kimia berbahaya. Bahan kimia berbahaya adalah bahan kimia dalam bentuk
tunggal atau campuran yang berdasarkan sifat kimia dan atau fisika dan atau
toksikologi berbahaya terhadap tenaga kerja, instansi, dan lingkungan hidup.
Pada Pasal 9 disebutkan bahwa bahan tergolong B3 meliputi :
a. Bahan beracun, yaitu Bahan kimia beracun dalam hal pemajangan melalui :
Cairan mudah terbakar dalam hal titik nyala > 21oC dan titik didih < 55oC
pada tekanan 1 atm.
Gas mudah terbakar dalam hal titik didih < 20oC pada tekanan 1 atm.
Seperti gas alam, hidrogen, asetilin, etilin oksida.
- bereaksi dengan air mengeluarkan panas dan gas yang mudah terbakar.
Seperti: alkali (Na, K) dan alkali tanah (Ca) aluminium tribromida, CaO,
sulfuril khlorida
- bereaksi dengan asam mengeluarkan panas dan gas yang mudah terbakar,
atau beracun atau korosif. seperti : KClO3, KMnO4, Cr2O3
Selain itu, ada pula PP 18/1999 tentang pengelolaan limbah berbahaya dan
beracun terdiri dari 8 bab yang dibagi lagi menjadi 42 pasal. Kedelapan bab
tersebut adalah :
- Memiliki rancang bangun dan luas ruang penyimpanan yang sesuai dengan
jenis, karakteristik dan jumlah limbah B3 yang dihasilkan/akan disimpan;
- Terlindung dari masuknya air hujan baik secara langsung maupun tidak
langsung;
- Dibuat tanpa plafon dan memiliki sistem ventilasi udara yang memadai untuk
mencegah terjadinya akumulasi gas di dalam ruang penyimpanan, serta
memasang kasa atau bahan lain untuk mencegah masuknya burung atau
binatang kecil lainnya ke dalam ruang penyimpanan;
- Memiliki sistem penerangan (lampu/cahaya matahari) yang memadai untuk
operasional atau inspeksi rutin. Jika menggunakan lampu, maka lampu
penerangan harus dipasang minimal 1 meter di atas kemasan, sakelar harus
terpasang di sisi luar bangunan;
- Dilengkapi dengan sistem penangkal petir;
- Pada bagian luar tempat penyimpanan diberi penandaan (simbol) sesuai dengan
tata cara yang berlaku.
- Lantai bangunan penyimpanan harus kedap air, tidak bergelombang, kuat dan
tidak retak. Lantai bagian dalam dibuat melandai kearah bak penampungan
dengan kemiringan maksimum 1%. Pada bagian luar bangunan, kemiringan
lantai diatur sedemikian rupa sehingga air hujan dapat mengalir menjauhi
bangunan penyimpanan.
Tempat penyimpanan yang digunakan untuk menyimpan lebih dari 1
karakteristik limbah B3, mempunyai beberapa persyaratan:
- Jika bangunan berdampingan dengan gudang lain maka harus dibuat tembok
pemisah tahan api, berupa tembok beton bertulang (tebal minimum 15 cm) atau
tembok bata merah (tebal minimum 23 cm) atau blok-blok (tidak berongga) tak
bertulang (tebal minimum 30 cm).
- Pintu darurat dibuat tidak pada tembok tahan api.
- Jika bangunan dibuat terpisah dengan bangunan lain, maka jarak minimum
dengan bangunan lain adalah 20 meter.
- Untuk kestabilan struktur pada tembok penahan api dianjurkan digunakan
tiang-tiang beton bertulang yang tidak ditembusi oleh kabel listrik.
- Struktur pendukung atap terdiri dari bahan yang tidak mudah menyala.
Konstruksi atap dibuat ringan, dan mudah hancur bila ada kebakaran, sehingga
asap dan panas akan mudah keluar.
- Menggunakan instalasi yang tidak menyebabkan ledakan/percikan listrik
- Dilengkapi dengan: sistem pendeteksi dan pemadam kebakaran, persediaan air
untuk pemadam api, hidran pemadam api dan perlindungan terhadap hidran.
Rancang bangun untuk penyimpanan limbah B3 mudah meledak:
- Konstruksi bangunan dibuat tahan ledakan dan kedap air. Konstruksi lantai dan
dinding dibuat lebih kuat dari konstruksi atap, sehingga bila terjadi ledakan
yang sangat kuat akan mengarah ke atas dan tidak ke samping.
- Suhu dalam ruangan harus tetap dalam kondisi normal. Desain bangunan
sedemikian rupa sehingga cahaya matahari tidak langsung masuk ke ruang
gudang.
Rancang bangun khusus untuk penyimpan limbah B3 reaktif, korosif dan beracun:
STUDI KASUS
PT. FREEPORT
Pada study kasus PT. Freeport, sumber limbah utama yang sangat besar yaitu terdapat
pada limbah tambang tailing. Tailing adalah bahan-bahan yang dibuang setelah proses
pemisahan material berharga dari material yang tidak berharga dari suatu bijih.
4.2 Karakteristik limbah B3
KLASIFIKASI B3 menurut PP no 74 thn 2001
Pasal 5
(1) B3 dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. mudah meledak (explosive);
b. pengoksidasi (oxidizing);
c. sangat mudah sekali menyala (extremely flammable);
d. sangat mudah menyala (highly flammable);
e. mudah menyala (flammable);
f. amat sangat beracun (extremely toxic);
g. sangat beracun (highly toxic);
h. beracun (moderately toxic);
i. berbahaya (harmful);
j. korosif (corrosive);
k. bersifat iritasi (irritant);
l. berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment);
m. karsinogenik (carcinogenic);
n. teratogenik (teratogenic);
o. mutagenik (mutagenic).
(2) Klasifikasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari :
a. B3 yang dapat dipergunakan;
b. B3 yang dilarang dipergunakan; dan
c. B3 yang terbatas dipergunakan.
(3) B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tercantum dalam Lampiran
Peraturan Pemerintah ini.
4.3 Prinsip pengolahan limbah B3
Sesuai dengan maksud dari strategi pengelolaan kualitas lingkungan
adalah cara untuk menentukan kualitas lingkungan yang lebih baik, maka ada 10
cara yang dapat dilakukan :
1. UU no. 4 tahun 1982 yang telah dirubah menjadi UU no. 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. PP no. 18 tahun 1994 jo PP no. 85 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3.
Dari penjelasan di atas jelas dikatakan bahwa limbah batuan Grasberg merupakan
limbah B3 karena mengandung logam berat. Dalam pasal 3 menyatakan "Setiap
orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3
dilarang membuang limbah B3 yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam
media lingkungan bidup tanpa pengolahan terlebih dahulu" dan pasal 29 ayat 2
menyatakan bahwa "Tempat penyimpanan limbah B3 sebagaimana dimaksud paa
ayat 1 wajib memenuhi syarat :
a). lokasi tempat penyimpanan yang bebas banjir, tidak rawan bencana, dan di
luar kawasan lindung serta sesuai dengan rencana tata ruang.
• Sungai Ajkwa
per liter (µg/L) tembaga larut (dissolved copper), dua kali lipat melebihi batas
legal untuk air tawar si Indonesia yaitu 20 µg/L, dan jauh melampaui acuan untuk
air tawar yang diterapkan pemerintah Australia, yaitu 5,5 µg/L. Lebih jauh ke
hilir, kandungan tembaga larut pada air tawar sebelum Muara Ajkwa juga
melanggar batas dengan 22 – 25 µg/L dan bisa mencapai 60 µg/L.
• Untuk kondisi
air laut di Muara Ajkwa Bagian Bawah, standar ASEAN dan Indonesia untuk
tembaga larut adalah 8 µg/L, dan acuan pemerintah Australia adalah 1,3 µg/L.
Pencemaran Freeport-Rio Tinto di daerah ini juga melebihi batas legal:
kandungan tembaga larut mencapai rata-rata 16 µg/L dengan rentang tertinggi 36
µg/L. Batas legal total padatan tersuspensi (total suspended solids, TSS) dalam air
tawar adalah 50 mg/L. Sedangkan tailing yang mencemari sungai-sungai di
dataran tinggi memiliki tingkat TSS mencapai ratusan ribu mg/L. Tigapuluh
kilometer masuk ke dataran rendah Daerah Pengendapan Ajkwa, tingkat TSS di
Sungai Ajkwa bagian Bawah mencapai seratus kali lipat dari batas legal. Lebih
jauh ke hilir dari ADA, di Muara Ajkwa bagian bawah, TSS mencapai 1.300
mg/L, 25 kali lipat melampaui batas. Mutu air di perairan hutan bakau di Muara
Ajkwa juga 10 kali lipat melampaui batas legal untuk TSS di lingkungan air laut
(80 mg/L), dengan TSS rata-rata 900 mg/L. Demi mencegah kerusakan
lingkungan yang lebih parah di masa datang, sekali lagi Walhi meminta
pemerintah untuk melaksanakan pengambilan sampel secara berkala dan cermat,
daripada mengandalkan laporan dari perusahaan. Pemerintah juga harus
menerbitkan semua informasi lingkungan pada masyarakat sesuai Undang-undang
Lingkungan Hidup (1997). Mengkaji ulang peraturan pajak dan royalti demi
meningkatkan keuntungan bagi komunitas yang terkena dampak, propinsi Papua,
demi mengurangi beban kerusakan lingkngan sejauh ini. Membentuk Panel
Independen untuk memetakan sejumlah skenario bagi masa depan Freeport,
termasuk tanggal penutupan, pengolahan (processing) dan pengelolaan limbah.
Kemudian pemerintah harus menyewa konsultan independen untuk mengkaji
setiap skenario dari segi sosial dan teknis secara rinci dan independen. Kajian ini
kemudian harus digunakan sebagai dasar untuk pembahasan mengenai masa
depan tambang oleh penduduk lokal dan pihak berkepentingan lainnya.
9.Pemantauan Lingkungan
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Sumber limbah B3 yang berasal dari PT.Freeport yaitu terdapat pada limbah
tambang tailing. Tailing adalah bahan-bahan yang dibuang setelah proses pemisahan
material berharga dari material yang tidak berharga dari suatu bijih.
2. Karakteristik limbah B3
3. Prinsip limbah B3
1. Tata letak lokasi ruang
2. Teknologi, menerapkan teknologi bersih
3. Sistem Pengelolaan limbah
4. Pengelolaan Media Lingkungan
5. Perubahan Baku Mutu
6. Pengelolaan dan Daur Ulang Limbah
7. Penutupan Tambang
8. Reklamasi dan Penghijauan Kembali
9. Pemantauan Lingkungan
10. Audit Lingkungan
4. Dampak limbah B3
PT.Freeport telah mematikan 23.000 ha hutan di wilayah pengendapan
tailing, mengubah bentang alam karena erosi maupun sedimentasi,
meluapnya sungai karena pendangkalan endapan tailing.
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA