Anda di halaman 1dari 6

Ibuprofen

Ibuprofen tersedia berupa tablet yang mengandung 200 sampai 800 mg; hanya tablet 200 mg (ADVIL,
NUPRIN, dan lain lain) dapat diperoleh tanpa resep.

Untuk atritis rheumatoid dan osteoarthritis, dapat diberikan dosis harian sampai 3200 mg dalam dosis
terbagi, walaupun dosis total lazimnya 1200 sampai 1800 mg. Juga memungkinkan mengurangi dosis
untuk tujuan pemeliharaan. Untuk nyeri yang ringan sampai sedang, terutama nyeri dismenorea primer,
dosis lazimnya 400 mg setiap 4 sampai 6 jam sesuai keperluan. Obat ini dapat diberikan dengan susu
atau makanan untuk meminimalkan efek sampai saluran cerna.

Farmakokinetika dan Metabolisme

Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian oral, dan konsentrasi puncak dalam plasma
teramati setelah 15 sampai 30 menit. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam.

Ibuprofen banyak (99%) terikat pada protein plasma, tetapi obat ini hanya menduduki sebagian dari
seluruh tempat ikatan obat pada konsentrasi biasa. Ibuprofen melintas dengan lambat ke dalam ruang
synovial dan mungkin tetap berada pada konsentrasi yang lebih tinggi jika konsentrasi dalam plasma
menurun. Pada hewan percobaan, ibuprofen dan metaboliknya dengan mudah melintasi plasma.

Ekskresi ibuprofen cepat dan sempurna. Lebih dari 90% dosis yang teringesti diekskresi dalam urin
sebagai metabolit atau konjugatnya.metabolit utamanya adalah suatu senyawa terhidroksilasi dan
senyawa terkarboksilasi.

Efek Toksik

Ibuprofen telah digunakan pada pasien dengan riwayat intoleransi saluran cerna terhadap NSAID lain.
Namun, terapi biasanya harus dihentikan pada 10% sampai 15% pasien karena intoleransi obat tersebut.

Efek samping saluran cerna dialami oleh 5% sampai 15% pasien yang menggunakan ibuprofen; nyeri
epigastrik, mual, nyeri ulu hati, dan rasa ‘penuh’ di saluran cerna merupakan gangguan yang umum.
Namun, insidensi efek samping ibuprofen ini lebih sedikit daripada dengan aspirin atau indometasin

Efek samping lain ibuprofen yang lebih jarang yang telah dilaporkan, yaitu trombosipenia, ruam kulit,
sakit kepala, pusing, dan penglihatan kabur, dan pada beberapa kasus, ambliopia toksik, retensi cairan,
dan edema. Pasien yang mengalami gangguan mata harus menghentikan penggunaan ibuprofen.
Ibuprofen tidak dianjurkan untuk digunakan oleh wanita hamil, atau oleh ibu yang sedang menyusui bayi

Kodein

Berbeda dengan morfin, keefektifan kodein oral sekitar 60% pemberian parentalnya, baik sebagai
analgesic maupun segai depresan pernafasan. Kodein, sama seperti levofanol, oksikodon dan metadon,
memiliki perbandingan potensi oral terhadap parental yang tinggi. Efikasi oral obat obat ini yang lebih
tinggi disebabkan oleh metabolism lintas pertama di hati yang lebih kecil. Begitu diabsorpsi, kodein
dimetabolisme oleh hati, dan metaboliknya diekskresi terutama di urin, sebagian besar dalam bentuk
yang tidak aktif. Sebagian kecil (sekitar 10%) kodein yang diberikan mengalami O- demetilasi
membentuk morfin, dan baik morfin bebas maupun morfin yang terkonjugasi dapat ditemukan di urin
setelah pemberian kodein dosis terapeutik. Kodein memiliki afinitas yang luar biasa rendah untuk
reseptor opioid, dan efek analgesic kodein disebabkan oleh konversinya menjadi morfin. Akan tetapi,
kerja antitusifnya mungkin melibatkan reseptor khusus yang mengikat kodein sendiri. Waktu paruh
kodein dalam plasma adalah 2 sampai 4 jam..

Konversi kodein menjadi morfin dipengaruhi oleh enzim sitokrom P450 CYP2D6. Polimorfisme genetic
pada CYP2D6 yang telah terkarakterisasi dengan baik menyebabkan ketidakmampuan untuk
mengkonversi kodein menjadi morfin, sehingga menjadikan kodein tidak efektif sebagai analgesic pada
sekitar 10%. Polimorfisme lain dapat menyebabkan peningkatan metabolism sehingga meningkatkan
sensitivitas terhadap efek kodein. Menariknya, tampaknya ada keragaman dalam efisiensi metabolic di
antara kelompok etnis yang berbeda. Sebagai contoh, orang Cina memproduksi lebih sedikit morfin
daripada kodein dibanding dengan orang Kaukasia dan juga kurang sensitive terhadap efek morfin
daripada orang Kaukasia. Penurunan sensitivitas terhadap morfin mungkin disebabkan oleh penurunan
produksi morfin-6-glukuronid. Jadi, pentuing untuk mempertimbangkan kemungkinan polimorfisme
enzim metabolic pada setiap pasien yang tidak memperoleh analgesia yang memadai dari kodein atau
tidak memberikan suatu respons yang memadai terhadap prodrug lain yang diberikan.

Tramadol

Tramadol (ULTRAM) adalah suatu analog kodein sintetik yang merupakan suatu agonis reseptor opioid µ
yang lemah. Sebagian efek analgesianya diihasilkan oleh penghambatan ambilan norepinefrin dan
serotonin. Tramadol tampaknya sama efektifnya denganopioid lemah lainnya. Dalam penanganan nyeri
ringan sampai sedang, tramadol sama efektifnya dengan morfin atau meperidin. Akan tetapi, untuk
penanganan nyeri parah atau kronis, tramadol kurang efektif. Tramadol sama efektifnya degan
meperidin dalam penanganan nyeri persalinan dan dapat menyebabkan depresi pernafasan neonatal
yang lebih kecil.

Ketersedianan hayati tramadol 68% setelah dosis oral tunggal dan 100% bila diberikan secara
intramuscular. Afinitasnya terhadap reseptor opioid µ hanya 1/6000 afinitas morfin. Akan tetapi,
metabolit utama dari tramadol yang mengalami )-demetilasi 2 sampai 4 kali lebih kuat daripada obat
induknya dan dapat menjadi penyebab sebagian efek analgesic. Tramadol diberikan sebagai campuran
rasemat, yan lebih efektif daripada masing-masing enantiomernya. Enantiomer (+) berikatan dengan
reseptor µ dan menghambat ambilan serotonin. Enantiomer (-) menghambat ambilan norepinefrin dan
mereansang reseptor α2-adrenergik. Senyawa ini mengalami metabolism hepatic dan ekskresi ginjal,
dangan paruh eliminasi selamam 6 jam untuk tramodol dan 7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia
bermula dalam 1 jam setelah pemberian oral, dan efeknya memuncak 2 sampai 3 jam. Durasi analgesia
sekitar 6 jam. Dosis harian maksimum yang dianjurkan adalah 400 mg

Efek samping tramadol yang umum meliputi nausea, muntah, pusing, mulut kering, sedasi dan sakit
kepala. Depresi pernafasan tampak lebih kecilo daripada morfin dalam dosis analgesia yang sama, dan
tingkat konstipasinya lebih kecil daripada yang teramati setelah pemberian kodein dalam dosis yang
setara. Tramadol dalam menyebabkan seizure dan mungkin memperparah seizure pada penderita yang
memiliki factor rentan. Analgesia yang diinduksi tramadol tidak sepenuhnya dapat dipulihkan dengan
nalokson, sedangkan depresi pernafasan yang diinduksi oleh tramadol dapat dipulihkan dengan
nalokson. Namun, penggunaan nalokson meningkatkan resika seizure. Ketergantungan fisik dan
penyalahgunaan tramadol pernah dilaporkan. Walaupun potensi penyalahgunaannya tidak jelas,
tramadol mungkin harus dihindari pada pasien yang memiliki riwayat adiksi. Karena efek
penghambatannya pada ambilan serotonin, tramadol tidak boleh digunakan pada pasien yang
menggunakan inhibitor monoamine oksidase (MAO).

Paracetamol

Asetaminofen (paracetamol; N-asetil-p-aminofenol; TYLENOL, dan lain-lain) merupakan metabolit aktif


fenasetin, yang disebut analgesic coal tar. Asetaminofen merupakan obat lain pengganti aspirin yang
efektif sebagai obat analgesic-antipiretik; namun, tidak seperti aspirin, aktivitas antiradangnya lemah
sehingga bukan merupakan obat asetaminofen ditoleransi dengan baik, banyak efek sampiang aspirin
tidak dimiliki asetaminofen, dan dapat diperoleh tanpa resep, obat ini mendapat tempat yang menonjol
sebagai analgesic yang umum di rumah tangga. Namun, overdosis akut menyebabkan kerusakan hati
yang fatal, dan jumlah keracunan sendiri serta bunuh diri dengan asetaminofen makin mengkhawatirkan
pada tahun-tahun terakhir ini. Selain itu, banyak individu, termasuk dokter, tampaknya tidak menyadari
bahwa aktivitas anti radang asetaminofen rendah.

Sifat farmakologis

Asetaminofen mempunyai efek analgesic dan antipiretik yang tidak berbeda secara signifikan dengan
aspirin. Namun , seperti telah dikemukakan, senyawa ini hanya mempunyai efek antiradang yang
rendah. Metabolit minor ikut andil secara signifikan dalam efek toksik asetaminofen. Sifat farmakologis
asetaminofen telah ditinjau oleh Clissold (1986)

Ketidakmampuan asetaminofen memberikan efek antiradang mungkin berkaitan dengan fakta bahwa
asetaminofen hanya merupakan inhibitor siklooksigenase yang lemah dengan adanya peroksida
konsentrasi tinggi yang ditemukan pada lesi radang. Sebaliknya, efek antipiretiknya dapat dijelaskan
dengan kemampuannya menghambat siklooksigenanse di otak, yang tonus peroksidanya rendah. Selain
itu, asetaminofen tidak menghambat aktivasi neutrofil, sedangkan NSAUD lain menghambat aktivasi
tersebut

Asetaminofen dosis terapeutik tunggal atau berulang tidak berefek terhadap sisterm kardiovaskuler dan
system pernafasan. Perubahan asam basa tidak terjadi, dan juga tudaj menyebabkan iritasi, erosi, atau
pendarahan lambung yang mungkin terjadi setelah pemberian salisilat. Asetaminofen tidak mempunyai
efek terhadap platelet, waktu pendarahan, atau ekskresi asam urat.

Farmakokinetik dan Metabolisme

Asetaminofen diabsorbsi dengan cepat dan hampir sempurna dari saluran cerna. Konsentrasi dalam
plasma mencapai puncak dalam 30 sampai 60 menit, waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam setelah
dosis terapeutik. Asetaminofen terdistribusi relative seragam hampir di seluruh cairan tubuh.
Pengikatan obat ini pada protein plasma beragam; hanya 20% sampai 50% yang mungkin terikat pada
konsentrasi yang mungkin ditemukan selama intoksikasi akut. Setelah dosis terapeutik, 90% sampai
100% obat ini mungkin ditemukan dalam urin selama hari pertama, terutama setelah konjugasi hepatic
dengan asam glukuronat (sekitar 60%), asam sulfat (sekitar 35%), atau sistein (sekitar 3%); sejumlah
kecil metobolik hasil hidroksilasi dan deasetilasi juga telah terdeteksi. Anak-anak mempunyai
kemampuan lebih kecil untuk glukoronidasi obat ini daripada orang dewasa. Sebagian kecil
asetaminofen mengalami N-hidrosilasi yang diperantarai sitokrom P450 membentuk N-astil-
benzokuinoneimin, suatu senyawa antara yang sangat reaktif. Metabolit ini biasanya beraksi dengan
gugus sulfhidril pada glutation. Namun, setelah ingesti asetaminofen dosis besar, metabolit ini terbentuk
dalam jumlah yang cukup untuk menghilangkan glutation hapatik.

Penggunaan terapeutik

Asetaminofen merupakan oengganti aspirin yang cocok untuk penggunaan analgesic atau antipiretik;
obat ini sangat bermanfaat bagi pasien yang dikontraindikasikan menggunakan aspirin (misalnya pasien
ulser lambung) atau jika perpanjangan waktu pendarahan akibat aspirin akan merugikan. Dosis oral
asetaminofen yang biasa seber 325 sampai 1000mg (secara rectal 650 mg); dosis total harian tidak boleh
melebihi 4000 mg. Untuk anak-anak, dosis tunggal sebesar 40 sampai 480 mg, bergantung pada usia
dan bobot badan; tidak boleh lebih dari lima dosis diberikan dalam 24 jam. Dosis 10 mg/kg dapat juga
digunakan.

Efek toksik

Pada dosis terapeutik yang dianjurkan, asetominofen biasanya ditolerir dengan baik. Kadang-Kadang
terjadi ruam kulit dan reaksi alergi lain. Ruam tersebut biasanya berupa eritema atau urtikaria, tetapi
kadang-kadang lebih parah dan mungkin disertai demam obat dan lesi mukosa. Pasien yang
menunjukkan reaksi hipersensitivitas terhadap salisilat jarang sekali menunjukkan sensitivitas terhadap
asetaminofen. Pada beberapa kasus tertentu, penggunaan asetaminofen menyebabkan neutropenia,
trombositopenia, dan pansitopenia.

Efek merugikan yang paling serius akibat overdosis asetaminofen akut berupa nekrosis hati yang
kemungkinan fatal dan tergantung dosis. Nekrosis tubulus ginjal dan koma hipoglikemik mungkin terjadi.
Mekanisme bagaimana overdosis asetaminofen menyebabkan kerusakan sel hati dan kematian
melibatkan konversi asetaminofen menjadi suatu metabolit reaktif yang toksik. Jalur minor eliminasi
asetaminofen melalui konjugasi dengan glukuronida dan sulfat. Jalur metabolism utama melalui
sitokrom P450 membentuk senyawa antara, N-asetil-para-benzokuinonim, yang sangat elektrofilik. Pada
keadaan normal, senyawa antara ini dieliminasi melalui konjugasi dengan glutation (GSH) dan kemudian
dimetabolisme lebih lanjut menjadi suatu asam merkapturat dan diekskresi ke dalam urin. Namun, pada
keadaan overdosis asetaminofen, kadae GSH dalam sel hati menjadi sangat rendah. Berkurangnya GSH
ini mengakibatkan dua hal. Krena GSH merupakan factor penting dalam pertahanan antioksidan, sel sel
hati cenderung sangat rentan terhadap cedera oleh oksidan. Berkurangnya GSH juga memungkinkan
senyawa antara yang reaktif tersebut berikatan secara kovalen pada makromolekul sel, yang
mengakibatkan disfungsi berbagai system enzim.

Hepatotoksisitas

Pada orang dewasa, hepatotoksisitas dapat terjadi setelah penggunaan asetaminofen dosis tunggal 10
sampai 15 g (150 – 250 mg); dosis 20 sampai 25g atau lebih kemungkinan menyebabkan kematian.
Pecandu alcohol dapat mengalami hepatotoksisitas dengan dosis yang jauh lebih rendah, bahkan
dengan dosis pada rentang terapeutik. Mekanisme efek ini telah dibahas sebelumnya. Berbagai gejala
yang terjadi selama 2 hari pertama pada keracunan asetaminofen akut mungkin tidak menggambarkan
intoksikasi berpotensi menjadi serius. Mual,muntah,anoreksia,diaphoresis, dan nyeri abdomen terjadi
selama 24 jam pertama dan dapat bertahan selama seminggu atau lebih. Indikasi klinik kerusakan hati
terlihat dalam 2 sampai 4 hari setelah ingesti dosis toksik. Kadar aminotransferase dalam plasma
meningkat (kadang –kadang begitu mencolok), dan konsentrasi bilirubin dalam plasma mungkin
meningkat; Selain itu, waktu protrombin diperpanjang. Mungkin 10% pasien yang mengalami keracunan
yang tidak mendapat penanganan khusus mengalami kerusakan hati yang parah; sebanyak 10% sampai
20% di antaranya akhirnya meninggal karena kegagalan hati. Gagal ginjal akut juga terjadi pada
beberapa pasien. Biopsi hati mengungkapkan nekrosis sentrilobuler kecuali daerah periportal. Pada
kasus yang tidak fatal, lesi hepatic bersifat reversible selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan.

Kerusakan hati yang parah (dengan tingkat aktivitas aspartat aminotransferase melebihi 1000 IU per
liter plasma) terjadi pada 90% pasien dengan konsentrasi asetaminofen dalam plasma lebih besar dari
300 µg/ml pada 4 jam atau 45 µg/ml pada 15 jam setelah ingesti obat ini. Kerusakan hepatic minimal
dapat diantisipasi jika konsentrasi obat kurang dari 120 µg/ml pada 4 jam atau 30 µg/ml pada 12 jam
setelah ingesti. Kemungkinan nekrosis hati menjadi parah juga dapat diperkirakan dari waktu paruh
asetaminofen yang teramati oleh pasien; nilai yang lebih besar dari 4 jam menunjukkan bahwa nekrosis
akan terjadi, sedangkan nilai lebih dari 12 jam menunjukkan kemungkinan terjadi koma hepatic.

Diagnosis dini penting pada penanganan overdosis asetaminofen dan tersedia metode untuk penetuan
konsentrasi asetaminofen, dalam plasma dengan cepat. Namun, terapi tidak boleh ditunda sementara
menunggu hasil laboratorium jika riwayatnya telah menunjukkan terjadinya overdosis yang signifikan.
Terapi pendukung yang sungguh-sungguh perlu dilakukan jika intoksifikasi parah. Pencucuian lambung
harus dilakukan dalam semua kasus, lebih baik 4 jam setelah ingesti.

Penanganan antidotum yang utama adalah pemberian senyawa sulfhidril, yang mungkin di antaranya
bekerja dengan mengisi lembali simpanan glutation hepatic. N-asetilsistein (MUCOMYST, MUCOSIL)
efektif jika diberikan secara oral atau intravena. Suatu bentuk intravena tersedia di Eropa, penggunaan
sediaan ini dipandang sebagai obat pilihan. Jika diberikan secara oral, larutan N-asetilsistein ( yang
mempunyai baud an rasa tidak enak) diencerkan dengan air atau minuman ringan untuk memperoleh
larutan 5% dan harus digunakan dalam satu jam setelah berlalu sejak ingesti asetaminofen, namun
penanganan degan N-asetilsistein lebih efektif jika diberikan kurang dari 10 jam setelah ingesti. Suatu
dosis muatan oral 140mg/kg diberikan, diikuti dengan pemberian 70mg/kg setiap 4 jam untuk 17 dosis.
Penanganan dihentikan jika hasil penentuan kadar asetaminofen dalam plasma menunjukkan bahwa
risiko hepatotoksisitas rendah. Reaksi merugikan akibat N-asetilsistein antara lain ruam kulit (termasuk
urtikaria, yang tidak memerlukan penghentian penanganan) mual, muntah, diare, dan reaksi
anafilaktoid.

Anda mungkin juga menyukai