Beberapa waktu lalu saya ditawari sebidang tanah seluas kira-kira 1.500 m2 di bilangan
Jakarta Selatan dijual dengan harga Rp. 4.500.000,-/m2. Peruntukannya jelas, yaitu
untuk perumahan, townhouse bahasa kerennya.
Lokasinya cukup bagus karena berada di lokasi yang banyak dicari orang untuk
dijadikan tempat tinggal, dimana sekelilingnya masih asri, banyak pepohonan dan
burung berkicau. Lokasi yang masih termasuk Kota Jakarta memberikan nilai tambah
tersendiri.
Jalan ke lokasi juga termasuk lebar karena bisa dilalui oleh dua mobil hanya saja posisi
rumah musti masuk lagi sejauh kira-kira 70 meter dengan jalan pribadi selebar 4 meter.
Nah dengan harga yang ditawarkan, apakah masih feasible untuk dibangun townhouse?
Berikut analisanya:
ANALISA KOMPETITOR
Tentang kelayakan jual produk properti kita, langkah mudah untuk mengetahuinya
adalah dengan melihat harga produk eksisting yang sedang dipasarkan.
Sebagai contoh di dekat lokasi ada townhouse 2 lantai yang dijual dengan harga Rp. 1,1
Milyar. Harga ini menjadi patokan bagi harga jual properti kita nantinya.
Indikatornya jelas, jika harga hasil analisa produk kita lebih tinggi dari harga kompetitor
kita akan kesulitan menjual nantinya, begitu sebaliknya.
Tentu kondisi ideal adalah harga kita lebih rendah dari harga kompetitor sehingga kita
lebih mudah menjual dan lebih leluasa menerapkan gimmick marketing, karena tersedia
interval harga yang bisa diotak-atik.
Berikut analisa kelayakan pembangunan towhouse ini:
DATA AWAL
-Luas tanah, 1.500 m2
-Jumlah unit rumah dibangun, 10 unit rumah 2 lantai dengan luas bangunan 70 m2
==>Biaya persiapan lahan, tidak memerlukan pekerjaan berat hanya pembersihan lahan
dari bangunan eksisting, Rp. 50.000.000,-
==>Biaya Disain, Perijinan dan Legalitas, Rp. 260.000.000,-
-Biaya disain, Rp. 10.000.000,-
HPP tanah untuk satu unit rumah, 108 m2 x Rp. 6.730.000,- = Rp. 726.840.000,-
Kembali ke prinsip awal bahwa idealnya seorang developer menargetkan laba bersih
sebesar harga dasar tanah. Dengan demikian target laba adalah Rp. 6.750.000.000,-,
dimana besarnya laba ini dibebankan secara proporsional kepada masing-masing unit
rumah.
Karena unit rumah relatif seragam, maka besarnya laba dibebankan kepada masing-
masing unit sama besar, yaitu Rp. 675.000.000,-
Dari kondisi di atas maka didapat harga jual masing-masing unit rumah adalah Rp.
1.006.840.000,- + Rp. 675.000.000,- = Rp. 1.681.840.000,-
Harga tersebut masih harus ditambahkan dengan Pajak Penghasilan Final
(PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang keduanya sebesar 15%!
Wuaaaaa harganya sangat tinggi dibandingkan denga harga kompetitor yang menjual
Banyak sudah contoh terbentang yang bisa jadi rujukan, bagaimana suatu proyek
dijual paralel dengan proses pembangunan. Di properti ini memungkinkan, menjual
barang yang belum jelas bentuknya… hehehehe…
Jika developer tidak menerapkan sifat ‘rakus’ akan untung besar maka dengan cepat
proyek ini bisa terjual habis. Keyakinan terjual cepat ini tentu ditunjang oleh
kemampuan developer melihat celah-celah strategi yang bisa dimainkan, mata properti
yang sudah terasah tajam menjadi alasannya.
Adapun untuk mengakali selisih harga dengan kompetitor yang tidak begitu besar bisa
ditutupi dengan selling point produk kita, seperti kualitas bangunan yang kita utamakan,
disain arsitektur yang dibuat unik, cara bayar yang dibuat sedemikian rupa, sehingga
lebih menarik bagi calon konsumen.
Singkatnya kita musti pintar-pintar mengemas jualan agar terlihat punya kelebihan
dibanding kompetitor… hehehehe gitu aja intinya.
MERANCANG PROYEK TANPA MODAL
Dari kondisi di atas terlihat bahwa kebutuhan modal awal hanya Rp. 700.000.000,-
dengan potensi laba bersih Rp. 3 Milyar. Jika developer tidak memiliki modal, dia bisa
menawarkan untuk memodali proyek kepada investor.
Untuk mengantisipasi kebutuhan modal yang tidak terduga sebaiknya cari investor yang
sanggup berinvestasi Rp. 1 Milyar. Dengan demikian, selling point yang bisa ditawarkan
adalah Investasi Rp. 1 Milyar dengan keuntungan Rp. 1 Milyar dalam waktu 18 bulan.
Apakah ada yang mau? ya ngga tau, karena saya bukan investor… mungkin ada
investor yang sedang baca… jawab sendiri ya hehehehe…
Dengan demikian ada potensi laba bersih Rp. 2 Milyar untuk developer. Kenapa harus
dialokasikan Rp. 2 Milyar untuk developer?
Karena dalam perjalanan proyek kita membutuhkan variasi harga untuk menunjang
program marketing, sehingga proyeksi keuntungan Rp. 2 Milyar sudah sangat aman jika
kita ingin membandrol beberapa unit dengan harga super diskon, terutama untuk unit-
unit awal.
Misalnya untuk unit 1 dan 2 dijual dengan harga banting-banting tetapi dengan syarat
konsumen harus membayar dengan cara cash keras, untuk menjaga agar proyek
memiliki cashflow.
Dengan tidak mengambil laba di 2 unit awalpun masih terdapat keuntungan Rp. 1,4
Milyar untuk developer.
Tetapi sebenarnya keuntungan yang tergerus di unit-unit awal bisa disubsidi oleh unit-
unit setelahnya karena pada umumnya apabila beberapa unit sudah terjual kita bisa
menaikkan harga, ujung-ujungnya perolehan laba juga tidak terlalu jauh berbeda…
lagian itulah sifat baik properti, kita bebas memasang harga sesuai keinginan kita.
Asalkan ada yang mau beli, harga berapapun oke-0ke saja tho…. ^_^
Nah, dari jabaran di atas dapat dilihat bahwa developer tanpa mengeluarkan uang
sepeserpun bisa me-running proyek perumahan karena segala
keperluan permodalan proyek ditanggung seluruhnya oleh investor.
Jadi pengertian Developer Properti Tanpa Modal bukanlah proyek yang dimulai dengan
tanpa modal tetapi developer tidak memerlukan uang dari kantongnya sendiri untuk
memulai proyek.
Karena sesungguhnya untuk memulai proyek diperlukan modal awal terutama untuk
disain, perijinan dan persiapan lahan yang tidak mungkin dibayar tunda, dan jika proyek
dalam skala besar diperlukan juga overhead cost yang tidak mungkin tidak ada.
Jika melihat prosentase laba dibandingkan modal yang dikeluarkan sebenarnya dari
pihak developer sangat besar sekali prosentasenya karena memang ia tidak
mengeluarkan uang sama sekali, tetapi tantangannya adalah diperlukan kecakapan
kelola proyek dalam hal manejerial terhadap seluruh aspek proyek berupa aspek
legalitas, perencanaan, finansial, marketing dan konstruksi.
…. dan yang lebih penting adalah sukses menegosiasikan cara bayar tanah ke pemilik
lahan… karena inilah titik awal bermula proyek tersebut.. ya kan?
Halnya hitung-hitungan di atas mungkin terlihat membingungkan bagi Anda yang masih
awam tentang dunia developer properti, karena hitungan tersebut sudah saya
sederhanakan.
Tapi bagi alumni workshop saya hal ini sudah jadi makanan sehari-hari. Karena semua
alumni saya dorong untuk melakukan analisa ketika ditawari tanah.