Anda di halaman 1dari 14

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Sistem Pendengaran


Telinga merupakan organ pendengaran dan organ keseimbangan tubuh.
Menurut letak anatomisnya telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah dan
telinga dalam [ CITATION Alc03 \l 1057 ].

2.1.1. Telinga luar


Telinga luar terdiri dari aurikula dan meatus auditori eksternus (MAE)
sampai membran timpani. Aurikula terdiri dari kartilago elastin dan kulit. MAE
berbentuk huruf S dengan rangka kartilago pada sepertiga bagian luar, sedangkan
dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjang MAE sekitar 2,5-
3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit MAE terdapat banyak kelenjar serumen dan
rambut. Pada dua pertiga bagian dalamnya hanya sedikit dijumpai kelenjar
serumen [ CITATION Soe07 \l 1057 ].

Gambar 2.1 Aurikula [ CITATION Dhi \t \l 1057 ]


2.1.2. Telinga Tengah
Telinga tengah adalah ruang kecil yang berisi udara yang berada di area
petrous tulang temporal dan dibatasi oleh epitelium. Telinga tengah dipisahkan
dengan telinga luar oleh membran timpani dan juga dipisahkan dengan telinga
dalam oleh fenestra vestibula (jendela oval) dan fenestra koklea (jendela bundar) [
CITATION Tor09 \l 1033 ].

Gambar 2.2 Bagian telinga tengah [ CITATION Bar10 \l 1057 ].


Membran timpani terdiri dari 2 bagian, yaitu pars tensa dibagian bawah
dan pars flaksida di bagian atas. Pars tensa (membran propria) merupakan bagian
terbesar dari membran timpani yang tegang dan melekat di anulus timpanikus
pada sulkus timpanikus pada tulang temporal. Membran timpani dibagi dalam 4
kuadran yaitu anterior-superior, anterior inferior, posterior-superior dan posterior-
inferior. Kuadran-kuadran tersebut berguna untuk menyatakan letak perforasi
membran timpani [ CITATION Soe07 \l 1057 ].
Pada telinga tengah terdapat osikula auditori (tulang pendengaran) yang
terdiri dari maleus, inkus dan stapes. Selain itu, struktur yang penting pada telinga
tengah adalah tuba Eustachii yang berfungsi menyamakan tekanan antara telinga
tengah dengan faring dan juga berfungsi mengalirkan sekret yang berasal dari
kavum timpani ke nasofaring serta menghalangi masuknya sekret dari nasofaring
menuju kavum timpani [ CITATION Placeholder8 \m Hea02 \l 1057 ].
Gambar 2.3 Osikula auditori [ CITATION Møl06 \l 1057 ].
Batas-batas telinga tengah, yaitu :
Batas atas : tegmen timpani sebagai batas atas, memisahkan antara kavum
timpani dengan fossa kranii media.
Batas bawah : vena jugularis interna.
Batas depan : tuba Eustachii
Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
Bagian dalam : kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis,
fenestra
vestibula, fenestra koklea dan promontorium [ CITATION Soe07 \m
Dra08 \l 1057 ].

2.1.3. Telinga Dalam


Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran
vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung koklea disebut
helikotrema, yang menghubungkan perilimfa pada skala timpani dan skala
vestibuli. Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak
skala vestibuli disebelah atas, skala timpani disebelah bawah dan skala media
(duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa,
sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam di perilimfa berbeda
dengan di endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli
disebut membran vestibuli atau membran Reissner sedangkan, dasar skala media
adalah membran basalis dan pada membran ini terdapat Organ Korti. Pada skala
media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria. Pada
membran basal melekat sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Korti yang
membentuk organ Korti [ CITATION Soe07 \t \l 1057 ].

Gambar 2.4 Organ Korti pada skala media

2.2. Fisiologi Pendengaran


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh aurikula
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara (konduksi udara) atau
melalui tulang (konduksi tulang) menuju koklea. Hantaran suara melalui tulang
(konduksi tulang) terjadi karena telinga dalam tertanam pada kavitas bertulang di
dalam tulang temporalis yang disebut labirin tulang. Getaran di seluruh tulang
tengkorak, terutama prosesus mastoideus dapat menyebabkan getaran cairan pada
telinga tengah tersebut sehingga bunyi dapat dirasakan. Namun energi yang
tersedia bahkan pada suara yang sangat keras dalam udara tidak cukup untuk
menyebabkan pendengaran melalui konduksi tulang sehingga penghantaran suara
yang berperan penting dalam komunikasi adalah penghantaran suara yang melalui
udara [ CITATION Art06 \l 1033 ].
Hantaran suara melalui udara (konduksi udara) akan masuk melalui MAE
lalu akan mengenai dan menggetarkan membran timpani. Selanjutnya gelombang
suara tersebut diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian osikula. Ujung
tangkai maleus yang melekat di bagian tengah membran timpani secara konstan
akan tertarik oleh muskulus tensor timpani sehingga menyebabkan membran
timpani tetap tegang. Keadaan ini menyebabkan semua getaran pada membran
timpani akan dikirim ke rangkaian osikula. Maleus beratikulasio dengan inkus
sebagai pengungkit tunggal dan inkus berartikulasio dengan stapes sehingga
menyebabkan stapes mendorong fenestra ovalis ke depan dan di sisi lain juga
mendorong cairan perilimfa di skala vestibuli bergerak. Selanjutnya getaran
diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa sehingga akan
menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses
ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi
stereosilia sel-sel rambut sehingga kanal-kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan
ion bermuatan listrik ke badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi
sel rambut sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinaps yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius [ CITATION Art06 \m Soe07
\t \m Dhi \t \l 1057 ].
Serabut saraf dari ganglion spiralis Korti memasuki nukleus koklearis
dorsalis dan ventralis yang terletak pada bagian atas medula. Pada titik ini, semua
serabut sinaps dan neuron tingkat dua berjalan terutama ke sisi yang berlawanan
dari batang otak dan berakhir di nukleus olivarius superior. Dari nukleus olivarius
superior selanjutnya jaras pendengaran berjalan ke atas melalui lemniskus
lateralis, tetapi sebagian besar melewati nukleus ini dan berjalan ke kolikulus
inferior tempat semua atauhampir semua serabut saraf pendengaran bersinaps.
Dari sini, jaras berjalan menuju nukleus genikulatum medial dan menuju ke
korteks auditori di area 39-40 lobus temporalis melalui radiasio auditorius dan
akhirnya stimulus suara dapat diinterpretasikan [ CITATION Art06 \l 1057 ].
2.3. Otitis Media Supuratif Kronik

2.3.1. Definisi
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah suatu inflamasi kronik pada
telinga tengah dan kavum mastoid yang ditandai dengan perforasi membran
timpani dan riwayat keluarnya sekret pada telinga (otorea) yang berulang atau
menetap selama minimal 2 minggu untuk dapat menetapkan keadaan OMSK
[ CITATION Wor04 \l 1057 ]. Tetapi, beberapa ahli Telinga, Hidung dan
Tenggorokan (THT) menetapkan OMSK bila gejala tersebut menetap atau
berulang selama lebih dari atau sama dengan 2 bulan [ CITATION Edw \l 1057 ].
2.3.2. Klasifikasi
OMSK di klasifikasikan dalam 2 tipe, yaitu tipe tubotimpani (tipe safe atau
tipe benign) dan tipe atikoantral (tipe unsafe atau tipe dangerous). Tipe
tubotimpani melibatkan bagian anteroinferior telinga tengah (contohnya : tuba
Eustachii dan mesotimpanum). Pada tipe tubotimpani jarang menimbulkan
komplikasi yang serius. Tipe atikoantral melibatkan bagian posterosuperior dari
telinga tengah (contohnya : atik, antrum dan mastoid). Tipe atikoantral merupakan
tipe yang berhubungan dengan proses erosi tulang yang dapat menimbulkan
kolesteatoma, granulasi maupun osteitis. Tipe atikoantral sering menimbulkan
komplikasi yang serius [ CITATION Dhi \t \l 1057 ].
2.3.3. Etiologi
Bakteri tersering yang menyebabkan OMSK adalah Pseudomonas
aeruginosa (48-98%), Staphylococcus aureus (15-30%), proteus species (10-
15%), Klebsiella pneumoniae (10-21%) dan dipththeroid (Dayasena, et al., 2011;
Roland & Isaacson, 2013). Selain itu OMSK juga dapat disebabkan oleh golongan
fungi (seperti Apergillus dan Candida) dan bakteri aerob (seperti Bacteroides,
Peptostreptococcus dan Peptococcus)[ CITATION Placeholder1 \t \m
Placeholder2 \t \l 1057 ].
2.3.4. Epidemiologi
Insidensi OMSK diperkirakan terjadi 39 kasus per 100.000 orang tiap
tahunnya pada usia dibawah 15 tahun (Roland & Meyers, 2013). Studi lain
melaporkan 90% penderita OMSK berusia dibawah 2 tahun [ CITATION Las07 \l
1057 ]. Faktor risiko terjadinya OMSK yang paling banyak adalah infeksi saluran
pernafasan atas, pemakaian botol susu serta malnutrisi. Selain itu faktor
sosiodemografi juga dapat meningkatkan risiko terjadinya OMSK, terutama
kalangan menengah ke bawah [ CITATION Las07 \l 1057 ]. Penduduk asli
Amerika dan Eskimo dilaporkan paling sering mengalami OMSK, diduga karena
struktur anatomi dan fungsi tuba Eustachii pada populasi tersebut lebih luas dan
lebih terbuka sehingga meningkatkan terjadinya risiko refluks bakteri menuju ke
telinga tengah [ CITATION Rol13 \t \l 1057 ].
2.3.5. Patofisiologi
OMSK diawali dengan adanya episode infeksi akut telinga tengah yang
akan menyebabkan iritasi dan inflamasi pada mukosa telinga tengah. Respon
inflamasi pada telinga tengah tersebut menyebabkan edema mukosa telinga
tengah. Jika respon inflamasi tersebut terjadi terus-menerus maka akan terjadi
ulserasi mukosa, merusak lapisan epitel telinga tengah dan akan terjadi perubahan
pada struktur membran timpani. Selain itu, inflamasi mukosa telinga tengah yang
berlangsung lama dapat menimbulkan gangguan pada rangkaian osikular. Hal ini
akan menyebabkan gangguan transmisi gelombang suara ke telinga sehingga
bermanifestasi sebagai tuli konduktif [ CITATION Rol13 \l 1057 ]. Bila proses
infeksi sampai mengenai fenestra koklea, maka material toksin masuk dan
merubah komposisi kimia perilimfe dan endolimfe serta mengganggu organ Korti
yang akhirnya akan menimbulkan tuli sensorineural[ CITATION AMA10 \l
1057 ]. Respon inflamasi tersebut pada akhirnya dapat membentuk jaringan
granulasi yang berkembang menjadi polip. Siklus inflamasi, ulserasi, infeksi
sampai pembentukan jaringan granulasi dapat terus berlanjut yang pada akhirnya
akan menghancurkan tulang disekitarnya dan menyebabkan komplikasi OMSK
yang lebih serius [ CITATION Dhi \t \m Rol13 \t \l 1057 ].
2.3.6. Manifestasi Klinik
Gejala yang dikeluhkan pasien OMSK antara lain :
a. Otorea
Cairan yang keluar dari telinga akibat OMSK dapat dinilai warnanya,
konsistensinya dan baunya untuk membedakan antara tipe tubotimpani atau tipe
atikoantral.
b. Gangguan Pendengaran
Gangguan fungsi pendengaran pada OMSK dapat terjadi akibat adanya
kerusakan pada sistem konduksi suara seperti erosi pada osikula ataupun
gangguan pada persarafan auditoris akibat proses infeksi telah meluas ke telinga
dalam.
c. Nyeri Telinga (otalgia)
Otalgia biasanya jarang timbul pada penderita OMSK. Bila otalgia
menyertai gejala OMSK yang lain maka dapat di curigai suatu abses ekstradural
akibat OMSK.
d. Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi pada saat melakukan pembersihan jaringan
granulasi atau polip pada telinga [ CITATION Dhi \l 1057 ].

Tanda yang dapat ditemukan melalui pemeriksaan otoskopi adalah sebagai


berikut.
a. Perforasi Membran Timpani

Gambar 2.5 Tipe perforasi [ CITATION Dhi \t \l 1057 ]

Perforasi membran timpani dapat terletak pada pars tensa maupun pars
flaksida membran timpani. Tipe perforasi tersebut dapat berupa sentral, total,
subtotal, atik ataupun marginal. Bila perforasi berada pada pars flaksida maka
termasuk tipe atik. Bila perforasi berada di pars tensa dan tepi perforasi masih
mengandung sisa membran timpani maka disebut perforasi tipe sentral. Bila
perforasi terjadi pada seluruh membran timpani pars tensa diikuti dengan
hancurnya annulus membran timpani maka disebut perforasi tipe total. Bila
perforasinya besar dan berada pada pars tensa serta diikuti annulus membran
timpani masih intak maka disebut perforasi tipe subtotal. Bila sebagian tepi
perforasi langsung berhubungan dengan annulus atau sulkus timpanikum maka
disebut tipe marginal [ CITATION Dhi \t \l 1057 ].
b. Retraction Pocket
Merupakan invaginasi membran timpani yang nampak pada atik atau daerah
posterosuperior pars tensa [ CITATION Dhi \t \l 1057 ].
c. Kolesteatoma
Massa seperti kista atau tumor jinak berwarna putih mengkilat yang dilapisi
epitel skuamosa bertingkat, biasanya berkeratin dan terisi oleh debris deskuamasi
yang seringkali mengandung kolesterol [ CITATION Dhi \t \l 1057 ].
d. Polip
Polip adalah massa licin yang membesar dan menonjol keluar melalui
membran timpani yang perforasi serta keluar ke kanalis akustikus eksternus.
Biasanya berwarna pucat dan sedikit merah muda [ CITATION Dhi \t \l 1057 ].
e. Jaringan Granulasi Kolesterol
Massa granulasi yang terjadi akibat retensi sekret atau darah di dalam telinga
tengah dalam waktu yang lama [ CITATION Dhi \t \l 1057 ].

Tabel 2.1 Perbedaan antara tipe tubotimpani dan tipe atikoantral [ CITATION
Dhi \t \l 1033 ]

Tipe tubotimpani Tipe atikoantral


(tipe safe) (tipe unsafe)
Sekret Profuse, mukoid Sedikit, purulen dan
dan tidak terlalu bau sangat bau
Perforasi Sentral Atik atau marginal
Granulasi Jarang Sering
Polip Pucat Kemerahan dan
bengkak
Kolesteatoma Tidak ada Ada
Komplikasi Jarang Sering
(lanjutan)

Audiogram Tuli Tuli konduktif atau


konduktif tuli campuran

ringan-
sedang

2.3.7. Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan utama pasien OMSK adalah riwayat otorea dan tuli campuran
tanpa adanya nyeri telinga disertai dengam otorea. Otorea yang banyak, intermiten
dan sekretnya mukoid biasanya menunjukkan OMSK tanpa kolesteatoma,
sedangkan sekret yang persisten, purulen dan berbau bisasanya menunjukkan
OMSK dengan kolesteatoma. Bila sekret yang keluar disertai darah maka itu
menunjukkan adanya jaringan granulasi atau polip (WHO, 2004; Dhingra, 2010).
b. Pemeriksaan Otoskopi
Pemeriksaan otoskopi adalah pemeriksaan telinga yang menggunakan
otoskop. Pada pemeriksaan otoskopi dilakukan untuk memastikan adanya
perforasi membran timpani dan menentukan tipe perforasi [ CITATION Dhi \t \l
1057 ].
c. Pemeriksaan Mikroskopik Binokular
Dilakukan untuk menilai ada tidanya kolesteatoma, jaringan granulasi dan
polip. Selain itu dari pemeriksaan mikroskop juga dapat ditemukan sekret
tersembunyi yang tidak dapat dilihat tanpa mikroskop [ CITATION Dhi \t \l 1057
].
d. Pemeriksaan Radiologi
Computed Tomography (CT) scan digunakan untuk membantu menemukan
kolesteatoma yang tersebunyi dan tidak dapat ditemukan pada pemeriksaan
otoskopi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dengan gadolinium dilakukan bila
hasil dari CT scan masih meragukan dan bila dicurigai terjadi komplikasi pada
sistem saraf pusat seperti abses otak, serebritis atau trombosis sinus lateralis
[ CITATION Hea02 \l 1057 ].
2.3.8. Sekuel Otitis Media
Sekuel otitis media adalah dampak langsung dari infeksi telinga tengah dan
harus dibedakan dengan komplikasi. Yang termasuk sekuel otitis media menurut
Dhingra (2010) yaitu:
a. Perforasi membran Timpani
b. Erosi osikula
c. Ateletaksis dan otitis media adhesif
d. Timpanosklerosis
e. Kolesteatoma
f. Tuli konduktif
g. Tuli sensorineural

2.3.9. Penatalaksanaan
Prinsip terapi OMSK tipe tubotimpani adalah konservatif atau
medikamentosa. Bila sekret keluar terus-menerus, maka diberikan obat pencuci
telinga berupa larutan H2O2 3% selama tiga sampai lima hari. Setelah sekret
berkurang maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes telinga yang
mengandung antibiotika. Secara oral diberikan antibiotika sesuai kultur dan tes
sensitivitas[ CITATION Dja \l 1057 ].
Bila sekret telah kering tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama
2 bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini
bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran
Timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan
pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran [ CITATION Dja \l
1057 ].
Prinsip pengobatan pada OMSK tipe atikoantral adalah pembedahan, yaitu
mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif dengan
medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan
pembedahan. Bila terdapat abses retroaurikular, maka insisi abses sebaiknya
dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi [ CITATION
Dja \l 1057 ].
DAFTAR PUSTAKA

Alcamo, E. (2003). Anatomy Coloring Workbook 2nd Edition. New York: The
Princeton Review.
Allabasi, Alsaimary, & Najim. (2010). Prevalence and Patterns of Chronic
Suppurative Otitis Media and Hearing Impairment in Basrah City. Journal
of Medicine and Medical Science, 1(4): 129-133.
American Speech-Languange-Hearing Association. (n.d.). Retrieved February 19,
2014, from http://www.asha.org/public/hearing/Audiogram/
Barret, K., Brooks, H., Boitano, S., & Barman, S. (2010). Hearing and
Equlibrium. United States: McGraw Hill.
Bluestone, C. D., & Klein, J. O. (n.d.). Chronic Suppurative Otitis Media.
Retrieved Januari 22, 2014, from pedsinreview.aappublications.org.
Cummings, C. W., Flint, P. W., Haughey, B. H., Robbins, K. T., Thomas, J. R.,
Harker, L. A., . . . Schuller, D. A. (2005). Cummings Otolaryngology Head
& Neck Surgery. Pennsylvania: Mosby.
Dhingra, P. L. (2004). Disease of Ear, Nose and Throat. New Delhi: Elsevier.
Dhingra, P. L. (2010). Diseases of Ear, Nose and Throat 5th edition. New Delhi:
Elsevier.
Djaafar, Z. A., Helmi, & Restuti, R. D. (2007). Kelainan Telinga Tengah. In E. A.
Soepardi, N. Iskandar, J. Bashiruddin, & R. D. Restuti, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher (pp. 64-77).
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Drake, R. L., Vogl, W., & Mitchell, A. W. (2008). Gray's Anatomy for Students.
Elsevier.
Edward, Y., & Mulyani, S. (n.d.). Penatalaksanaan Otitis Media Supuratif Kronik
Tipe Bahaya. Padang: Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher Fakultas kedokteran Universitas Andalas.
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2006). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:
EGC.
Hafil, A. F., Sosialisman, & Helmi. (2007). Kelainan Telinga Luar. In E. A.
Soepardi, N. Iskandar, J. Bashiruddin, & R. D. Restuti, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher (pp. 57-63).
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Healy, G. B., & Rosbe, K. W. (2002). Otitis Media and Middle Ear Effusions. In J.
B. Snow Jr, Ballenger’s Manual of Otolaryngology Head and Neck
Surgery (pp. 34-45). London: BC Decker Inc.
Helmi, Djaafar, Z. A., & Restuti, R. D. (2007). Komplikasi Otitis Media Supuratif.
In E. A. Soepardi, N. Iskandar, J. Bashiruddin, & R. D. Restuti, Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher (pp. 78-85).
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Hughes, G. B., & Pensak, M. L. (2007). Clinical Otology 3rd edition. New York:
Thieme.
Kamus kedokteran Dorland edisi 29. (2002). Jakarta: EGC.
Lasisi, A. O., Olaniyan, F. A., Muibi, S. A., Azeez, I. A., Abdulwasiu, K. G.,
Lasisi, T. J., . . . Olayemi, O. (2007). Clinical and Demographic Risk
Factors Associated With Chronic Suppurative Otitis Media. International
Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, 1549—1554.
Levine, S. C. (1997). Penyakit Telinga Dalam. In G. L. Adam, L. R. Boies, & P. A.
Highler, Boies : Buku Ajar Penyakit THT edisi Keenam (pp. 119-38).
Jakarta: EGC.
Møller, A. R. (2006). Hearing : Anatomy, Physiology, and Disorders of the
auditory system Second Edition. United States of America: Elsevier.
Mumenthaler, M., & Mattle, H. (2004). Neurology. New York: Thieme.
Roland, P. S., & Isaacson, B. (2013, May 2). Chronic Suppurative Otitis Media.
Retrieved January 28, 2014, from
http://emedicine.medscape.com/article/859501-overview.
Roland, P. S., & Isaacson, B. (2013, May 2). Chronic Suppurative Otitis Media.
Retrieved January 28, 2014, from
http://emedicine.medscape.com/article/859501-overview
Silbernagl, S., & Lang, F. (2010). Color Atlas of Patophysiologhy 2nd edition.
New york: Thieme.
Sistem Saraf Perifer : Divisi Aferen; indera. (2001). In L. Sherwood, Fisiologi
Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2 (pp. 149-94). Jakarta: EGC.
Soetirto, I., Hendarmin, H., & Bashiruddin, J. (2007). Gangguan Pendengaran
(Tuli). Dalam E. A. Soepardi, N. Iskandar, J. Bashiruddin, & R. D. Restuti,
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher
(hal. 10-22). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Soetirto, I., Hendarmin, H., & Bashirudin, J. (2007). Gangguan Pendengaran. In
E. A. Soepardi, N. Iskandar, J. Bashiruddin, & R. D. Restuti, Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher edisi Keenam
(pp. 10-22). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Tortora, G. J., & Derrickson, B. (2009). principles of anatomy and physiology
12th edition. United states of American.
WHO. (2004). Chronic Suppurative Otitis media : Burden of Illness and
Management Option. Retrieved January 20, 2014, from Child and
adolescent health and development prevention of Geneva.

Anda mungkin juga menyukai