OLEH:
2017/2018
1) Pengertian
Menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada
kulit kepala, tengkorak dan otak,sedangkan Doenges,(1999),cedera kepala adalah cedera
kepala terbuka dan tertutup yang terjadi karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar
serebri, kontusiomemar,leserasi dan perdarahan serebral subarakhnoid, subdural,
epidural,intraserebral, batang otak. Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi
trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak
dan otak (Pierce & Neil. 2006).
Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America(2009), cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi
fisik.
Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah trauma
pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak
langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan
dapat menyebabkan kematiaan.
Klasifikasi Cidera Kepala
Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
a.Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorakatau luka penetrasi,
besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa dan bentuk dari benturan,
kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam
jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/
tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses
langsung ke otak.
b.Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang mendadak.
Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan
bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi:Kombusio gagar otak,
kontusio memar, dan laserasi
Rosjidi (2007) , trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan nilai dari
Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu;
a.Ringan
1.) GCS = 13 – 15
2.) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
3.) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral,hematoma.
b.Sedang
1.) GCS = 9 – 12
2.) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
3.)Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1.)GCS = 3 – 8
2.) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3.)Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial
2) Etiologi
Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1.Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda,dan mobil.
2.Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3.Cedera akibat kekerasan.
4.Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak.
5.Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih beratsifatnya.
6.Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
3) Manifestasi Klinik
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkahlaku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih
lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau
hahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisitneurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang
otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut
4) Patofisologi (Hudak & Gallo, 1996)
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan
proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan
dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian
besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak,
terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan
tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus
pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran
berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang
merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer
biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah
kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala,
derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang
bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer
menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan
serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul
kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari
berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling
berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan
terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder
disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah
otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter
dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan
gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus
frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan
lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus
oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada
lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus
temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan
adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan
terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena
kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama
setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah
belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine
dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi
dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang
mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder
akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan
pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi
tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi
tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan
kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan
korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-
kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala
neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula
oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang
terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik
5) Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai
berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
Penatalaksanaan pada pasien cedera kepala juga dapat dilakukan dengan cara :
a. Obliteri sisterna
Pada semua pasien dengan cedera kepala / leher, lakukan foto tulang belakang
servikal kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal
c1-c7 normal
b. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang berat, lakukan prosedur berikut :
pasang infuse dengan larutan normal salin (nacl 0,9 %)/ larutan ringer rl dan larutan
ini tidak menambah edema cerebri
c. Lakukan ct scan, pasien dengan cedera kepala ringan, sedang dan berat harus
dievaluasi adanya:
d. Hematoma epidural
e. Darah dalam subraknoid dan infra ventrikel
f. Kontusio dan perdarahan jaringan otak
g. Edema serebri
h. Perimesensefalik
i. Pada pasien yang koma
j. Elevasi kepala 30o
k. Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandotorik intermitten
dengan kecepatan 16-20 kali /menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg
l. Berikan manitol 20 % 19/kg intravena dalam 20-30 menit
m. Pasang kateter foley
n. Konsul bedah syaraf bila terdapat indikasi oper
6) Pengkajian Fokus
Pengkajian keperawatan adalah tahap pertama dalam proses keperawatan dan
merupakan suatu proses yang sitematis dalam mengumpulkan data dari
berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan
klien. Pengkajian keperawatan ditunjukan pada respon klien terhadap masalah
kesehatan yang berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia ( Nursalam 2001 ).
A. Pengkajian fisik.
Fokus pengkajian pada cedera kepala ringan menurut Doengoes ( 2000 ), meliputi:
a. Riwayat kesehatan meliputi: keluhan utama, kapan cidera terjadi, penyebab cidera,
riwayat tak sadar, amnesia, riwayat kesehatan yang lalu, dan riwayat kesehatan
keluarga.
b. Pemeriksaan fisik head to toe.
c. Keadaan umum (tingkat kesadaran dan kondisi umum klien).
d. Pemeriksaan persistem dan pemeriksaan fungsional.
1. Sistem persepsi dan sensori ( pemeriksaan panca indera: penglihatan,
pendengaran, penciuman, pengecap, dan perasa ).
2. Sistem persarafan ( tingkat kesadaran / nilai GCS, reflek bicara, pupil, orientasi
waktu dan tempat ).
3. Sistem pernafasan (nilai frekuensi nafas, kualitas, suara, dan kepatenan jalan
nafas ).
4. Sistem kardiovaskuler ( nilai TD, nadi dan irama, kualitas, dan frekuensi ).
5. Sistem gastrointestinal ( nilai kemampuan menelan, nafsu makan / minum,
peristaltik, eliminasi ).
6. Sistem integumen ( nilai warna, turgor, tekstur dari kulit, luka / lesi ).
7. Sistem reproduksi.
8. Sistem perkemihan (nilai frekuensi BAK, volume BAB)
e. Pola Makan / cairan.
Gejala : mual, muntah, dan mengalami perubahan selera.
Tanda : muntah kemungkinan muntah proyektil, gangguan menelan ( batuk, air liur
keluar,disfagia ).
f. Aktifitas / istirahat
Gejala : merasa lemah, letih, kaku, kehilangan keseimbangan.
Tanda : perubahan kesadaran, letargie, hemiparese, kuadreplegia, ataksia, cara
berjalan tak tegap, masalah keseimbangan, kehilangan tonus otot dan tonus spatik.
g. Sirkulasi
Gejala : normal atau perubahan tekanan darah.Tanda : perubahan frekuensi jantung
(bradikaria, takikardia yang diselingi disritmia).
h. Integritas ego
Gejala : perubahan tingkah laku kepribadian ( terang atau dramatis )
Tanda : cemas mudah tersinggung, delirium,agitasi, bingung, depresi dan impulsive.
i. Eliminasi
Gejala : inkontinensia kandung kemih / usus atau megalami gangguan fungsi
j. Neurosensori
Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinnitus,
kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya,
diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia.
Tanda : perubahan status mental ( oreintasi, kewaspadaan, perhatian / konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori ). Perubahan
pupil ( respon terhadap cahaya simetris ), Ketidakmampuan kehilangan pengideraan
seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran. Wajah tidak simetris, gengaman
lemah tidak seimbang, reflek tendon dalam tidak ada atau lemah, apaksia, hemiparese,
postur dekortikasi atau deselebrasi, kejang sangat sensitivitas terhadap sentuhan dan
gerakan.
k. Nyeri dan kenyamanan
Gejala : sakit kepala dengan intensitas dengan lokasi yang berbeda bisaanya sama.
Tanda : wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat,
gelisah, tidak bisa istirahat, merintih
B. Pemeriksaan Diagnostik.
a. CT-Scan : untuk mengidentifikasi adanya SOL hemografi, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan
b. Angiografiserebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral seperti kelainan
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan trauma.
c. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya petologis.Sinar X :
mendeteksi adanya perubahan struktur tulang ( fraktur).
d. BAER ( Brain Auditori Evoker Respon ) : menentukan fungsi korteks dan batang
otak.
e. PET ( Position Emission Yomography ) menunjukan perubahan aktivitas metabolisme
pada otak.
f. Fungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perubahan sub araknoid.
g. Kimia atau elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK atau perubahan status mental.( Doengooes,2000 ).
Data fokus.
1. Data Subyektif.
Klien mengatakan nyeri sejak 2hari yang lalu, klien mengatakan nafsu makan, klien
mengatakan aktifitas dibantu.
2. Data Obyektif.
K / u lemah, kesadaran cm, TTV : Tekanan Darah :130 / 70 mmHg, Nadi : 80 x /
menit, Pernafasa : 24 x / menit Suhu : 36,5°c, pemeriksaan ST scan infrak serebri
dextra, klien tampak sering memegang kepalanya, klien tampak meringis kesakitan,
klien tampak menghabiskan ½ porsi makan yang disediakan, muntah cair, mual,
konjungtiva anemis, bb sebelum sakit : 75 kg, bb sakit : 72 kg, bb ideal:62-72 kg,
hb:15,3 g / dL.
7) Pathways
8) Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial (Doenges, 1999).
2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,neurovaskuler,
kerusakan medula oblongata neuromaskuler (Doenges,1999).
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan denganpengeluaran urine
dan elektrolit meningkat (Carpenito, 2000).
4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan denganmelemahnya otot yang
digunakan untuk mengunyah dan menelan(Doenges, 1999).
5. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi (Doenges, 1999).
6. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi sensori dan
kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan (Doenges,1999).
7. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran, peningkatan
tekanan intra kranial (Doenges, 1999).
8. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan
keseadaran (Carpenito, 1999).
9. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
(Carpenito, 2000)
9) Intervensi dan Rasional
A. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan : Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan perfusi jaringan serebral kembali normal
Krteria Hasil:
1. Kien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala
2. Tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial
3. Peningkatan kesadaran,GCS ≥ 13
4. Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada mutah
B. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi
trakeobronkial,neurovaskuler, kerusakan medula oblongata, hiperventilasi.
Tujuan: Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan pola
nafas efektif dengan
Kriteria hasil:
1)Klien tidak mengatakan sesak nafas
2)Retraksi dinding dada tidak ada, dengan tidak ada otot-ototdinding dada.
3)Pola nafas reguler, RR. 16-24 x/menit, ventilasi adekuat
4)bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien,
5)kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan
Intervensi Rasional
Kaji kecepatan, kedalaman,frekuensi, irama Hipoventilasi biasanya terjadi atau
nafas,adanya sianosis. Kaji suara nafas menyebabkan akumulasi/atelektasi
Tambahan (rongki,mengi, krekels) atau pneumonia (komplikasi yang
sering terjadi)
Atur posisi klien dengan posisi semi fowler Meningkatkan ventilasi semua
30oBerikan posisi semi prone lateral/ miring, bagian paru, mobilisasi serkret
jika tak ada kejang selama 4 jam pertama mengurangi resiko komplikasi,
rubah posisi miring atau terlentang tiap 2 posisi tengkulup mengurangi
jam kapasitas vital paru, dicurigai dapat
menimbulkan peningkatan resiko
terjadinya gagal nafas
Anjurkan pasien untuk minum hangat Membantu mengencerkan sekret,
(minimal 2000 ml/hari) meningkatkan mobilisasi sekret/
sebagai ekspektoran
Kolaborasi terapi Oksigen sesui indikasi Memaksimalkan bernafas dan
.
menurunkan kerja nafas.
Mencegah hipoksia, jika pusat pernafasan
tertekan. Biasanya dengan
menggunakan ventilator mekanis
Nama :
NIM :
Judul LP :
( Pembimbing)