Kompilasi Modul Asesmen 2015
Kompilasi Modul Asesmen 2015
MODUL
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
TIM PENYUSUN
1
[Type text]
2
[Type text]
MATERI DASAR 1
I. DESKRIPSI SINGKAT
Perkembangan legislasi dan kebijakan terkait masalah NAPZA belakangan ini mengarah pada
upaya untuk mendekriminalisasi pecandu Narkotika, dimana pecandu Narkotika diharapkan tidak
lagi menjalani pemenjaraan, melainkan menjalani terapi dan rehabilitasi, baik medis, psikologis
maupun sosial. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Narkotika No. 35/2009. Perubahan tersebut
didasari oleh fakta bahwa kondisi kesehatan mereka yang mengalami ketergantungan NAPZA pada
umumnya mengalami penurunan secara signifikan. Semangat untuk mempersepsikan pecandu dari
sudut pandang penyakit tentu sejalan dengan pasal 4 Undang-Undang Kesehatan No. 36/2009, yang
menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kesehatan”.
Selain itu Undang-Undang no 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa pada pasal 54
menyebutkan setiap RS Jiwa wajib menyediakan ruang untuk pasien narkotika, psikotropika dan zat
adiksi dengan jumlah tempat tidur paling sedikit 10% dari jumlah tempat tidur yang ada.
3
[Type text]
Pokok Bahasan 1
KEBIJAKAN WAJIB LAPOR UNDANG-UNDANG NARKOTIKA NO. 35 TAHUN 2009
Hal lain yang berperan dalam perilaku mencari perawatan medis adalah
minimnya ketersediaan dana untuk mengakses layanan kesehatan. Kita semua tentu
memahami bahwa pola penggunaan Narkotika yang kronis secara perlahan akan
menurunkan sumber daya seseorang, termasuk sumber daya finansial. Banyak dari
mereka tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengakses layanan kesehatan. Terlebih
jaminan kesehatan masyarakat tidak selalu mudah diakses. Semua kondisi di atas ini
berkontribusi atas rendahnya perilaku mencari perawatan kesehatan pada para
pecandu Narkotika.
4
[Type text]
(1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur wajib melaporkan
kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi
medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk
mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui rehablitasi medis dan
rehabilitasi sosial
(2) Pecandu Narkotika yang sudah culup umur wajib melaporkan diri atau
dilaporkan oleh kelurganya kepada kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah
sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang
ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan
melalui rehablitasi medis dan rehabilitasi sosial
Sekalipun terkesan menjadi “kewajiban”, namun filosofi dari wajib lapor ini
adalah untuk meningkatkan cakupan intervensi medis dan sosial bagi para pecandu dan
untuk mengidentifikasi masalah sedini mungkin.
Program wajib lapor mau tidak mau juga mendesak fasilitas kesehatan, lembaga
rehabilitasi medis dan sosial untuk siap dalam melayani pecandu Narkotika.
Keengganan petugas kesehatan/sosial dalam melakukan penatalaksanaan Gangguan
penggunaan Napza dapat diminimalisasi, sebab melakukan penolakan untuk merawat
dapat dianggap sebagai pelanggaran Undang-undang. Diharapkan program wajib lapor
dapat meminimalisasi stigma/diskriminasi yang selama ini dialami pecandu Narkotika.
5
[Type text]
dan memperoleh rujukan untuk perawatan lanjutan yang sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan yang bersangkutan. Dengan demikian program wajib lapor diharapkan
dapat berperan serta dalam penanggulangan dampak buruk yang seringkali dialami
pecandu Narkotika.
Manfaat wajib lapor diharapkan tidak saja dirasakan oleh para pecandu
Narkotika, melainkan juga bagi masyarakat secara umum dan pemerintah secara
khusus. Program wajib lapor pecandu Narkotika untuk kepentingan rehabilitasi medis
dan sosial dapat mendukung agenda pencapaian Millenium Development Goals (MDGs)
yang ke 6, yaitu pengendalian HIV/AIDS, Malaria, dan TB.
Pokok Bahasan 2
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA
A. Definisi
Wajib Lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh Pecandu
Narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau wali
dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur kepada Institusi Penerima Wajib
Lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.
B. Tujuan
Pengaturan Wajib Lapor Pecandu Narkotika bertujuan untuk:
a. memenuhi hak Pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial;
b. mengikutsertakan orang tua, wali, keluarga, dan masyarakat dalam
meningkatkan tanggung jawab terhadap Pecandu Narkotika yang ada di
bawah pengawasan dan bimbingannya; dan
c. memberikan bahan informasi bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan
di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika.
2. sarana yang sesuai dengan standar rehabilitasi medis atau standar rehabilitasi
sosial yang masing-masing ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
IPWL wajib melakukan asesmen yang meliputi aspek medis dan aspek sosial
terhadap Pecandu Narkotika untuk mengetahui kondisi Pecandu Narkotika.
Asesmen dilakukan dengan cara:
Hasil asesmen tersebut dicatat pada rekam medis yang bersifat rahasia dan
merupakan dasar dalam rencana rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika yang
bersangkutan. Kerahasiaan hasil asesmen dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Selanjutnya Rencana rehabilitasi yang telah
disusun berdasarkan hasil asesmen harus disepakati oleh pecandu narkotika, orang
tua, wali, atau keluarga pecandu narkotika dan pimpinan IPWL.
Pecandu narkotika yang telah melaporkan diri atau dilaporkan kepada IPWL
diberi kartu lapor diri setelah menjalani asesmen. Kartu lapor diri tersebut berlaku
untuk 2 (dua) kali masa perawatan. Yang dimaksud dengan “masa perawatan”
adalah suatu layanan program rencana terapi dibuat berdasarkan hasil asesmen
yang komprehensif yang sesuai dengan kondisi klien dengan jenis gangguan
penggunaan narkotika dan kebutuhan individu/klien/Pecandu narkotika dengan
program yang dijalankan mengikuti program yang tersedia di layanan, dengan
waktu minimal 1 (satu) sampai 6 (enam) bulan sesuai dengan Standar Pelayanan
Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan Narkotika yang ditetapkan Menteri.
Standar Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan Narkotika, antara
lain meliputi: pelayanan detoksifikasi, pelayanan gawat darurat, pelayanan
rehabilitasi (model: terapi komunitas, minnesota, model medis), pelayanan rawat
7
[Type text]
jalan non rumatan, pelayanan rawat jalan rumatan, dan pelayanan penatalaksanaan
dual diagnosis.
Berdasarkan rencana rehabilitasi yang telah disepakati, IPWL melakukan
rangkaian pengobatan dan/atau perawatan guna kepentingan pemulihan Pecandu
Narkotika. Bila IPWL tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengobatan
dan/atau perawatan tertentu sesuai rencana rehabilitasi atau atas permintaan
Pecandu Narkotika, orang tua, wali dan/atau keluarganya, maka IPWL harus
melakukan rujukan kepada institusi yang memiliki kemampuan tersebut.
PP ini juga mengatur untuk pecandu narkotika yang sedang menjalani
pengobatan dan/atau perawatan di rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya, lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial serta terapi
berbasis komunitas (therapeutic community) atau melalui pendekatan keagamaan
dan tradisional tetap harus melakukan wajib lapor kepada IPWL.
Pokok Bahasan 3
PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG REHABILITASI MEDIS PECANDU,
PENYALAHGUNA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
8
[Type text]
9
[Type text]
C. Pelaporan
Fasilitas rehabilitasi medis wajib melakukan pelaporan dalam bentuk rekapitulasi
data secara berkala kepada Menteri melalui mekanisme sistem pelaporan
mengikuti sistem informasi kesehatan nasional. Rekapitulasi data yang telah
dilaporkan dapat diakses oleh pihak yang berkepentingan dalam pengembangan
kebijakan dan program baik lembaga pemerintah maupun masyarakat.
11
[Type text]
Pokok Bahasan 4
KODE ETIK DAN ASPEK MEDIKOLEGAL WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA
Petugas penerima wajib lapor dalam menjalankan tugasnya tetap terikat pada
kode etik sesuai profesi masing-masing. Profesi dalam bahasa Latin berarti
’mengumumkan kepada dunia luar’ (Bond, 2005). Seseorang dapat dianggap profesional
apabila dia dengan sumpahnya kepada publik bertanggungjawab atas apa yang
dikerjakannya, sesuai dengan aturan dan prinsip-prinsip yang berlaku, yang umumnya
dikeluarkan oleh ikatan profesi. Menjalankan tindakan sesuai dengan aturan dan
prinsip adalah upaya menjaga kode etik yang berlaku.
Seorang dokter pada lembaga penerima wajib lapor tetap harus mematuhi Kode
Etik Kedokteran Indonesia. Beberapa Prinsip Etika Kedokteran yaitu:
2. Menjadi acuan untuk identifikasi perilaku yang disadari ataupun tidak disadari, yang
secara potensial dapat mengakibatkan kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain
Pokok Bahasan 5
PERAN DAN FUNGSI PETUGAS
13
[Type text]
Sampai saat ini kompetensi tenaga kesehatan dilayanan terapi dan rehabilitasi
masih sangat terbatas baik dari sisi ketenagaannya maupun keterampilan petugas
dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan penggunaan napza dan pemahaman
yang benar tentang gangguan penggunaan napza. Selain hal diatas aksesibilitas pecandu
narkotika yang mencari pertolongan medis masih kurang karena masih adanya stigma
dan diskriminasi yang dihadapi pecandu narkotika dari masyarakat dan petugas
kesehatan sendiri.
Pada pelatihan ini diharapkan petugas mengetahui peran dan fungsi mereka
nantinya dalam melaksanakan proses wajib lapor yang terdiri dari:
2. Menegakkan diagnosa
Sesuai dengan asesmen yang telah dilakukan di awal proses penerimaan
pecandu narkotika.
15
[Type text]
DAFTAR PUSTAKA
Permenkes No. 2415 tahun 2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna
dan Korban Penyalahgunaan Narkotika
Marc Stauch and Kay Wheat. (2005). Text, Cases and materials on Medical Law third
edition
16
[Type text]
MATERI DASAR 2
I. DESKRIPSI SINGKAT
17
[Type text]
V. POKOK BAHASAN
Pokok bahasan 1
EPIDEMIOLOGI DAN PERKEMBANGAN PENGGUNAAN NARKOTIKA DIKAWASAN
GLOBAL
Sukses atas pengendalian produksi opium (dan heroin) serta kokain tersebut
harus dilihat pada konteks tantangan yang bersifat jangka panjang. Dalam 10 tahun
belakangan ini peningkatan produksi narkotika justru mencolok pada ganja dan
amphetamine-type stimulants (ATS) seperti shabu dan ecstasy. Masalahnya, pencatatan
atas produksi zat-zat ini amatlah kompleks karena pada umumnya produksi dilakukan
di dalam negeri negara-negara yang bersangkutan. Misalnya, produksi ganja di Aceh
pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sendiri. Kontrol atas
peredarannya amat sangat bergantung pada upaya yang dilakukan oleh negara-negara
tersebut.
18
[Type text]
Zat psikoatif baru (New Psychoactive Substances, NPS) saat ini juga menarik
perhatian dunia. NPS didefinisikan sebagai senyawa bentuk tunggal atau sediaan
berupa campuran yang marak disalahgunakan dan belum diatur dalam Konvensi
Internasional, tetapi memiliki efek yang sama dengan obat yang diatur. NPS mengalami
peningkatan, yang sebelumnya sebanyak 166 di tahun 2009 menjadi 251 di
pertengahan tahun 2012. Beberapa jenis NPS: Sintetik Cannabinoid (23%),
Penethylamine(23%), Sintetik Katinon (18%) Trypthamine (10%), Plant-based
substances(8 %), Piperazine (5% ).
UNODC memperkirakan antara 167 juta hingga 315 juta orang di dunia dunia
yang berusia 15 – 64 tahun di dunia pernah menggunakan narkotika, psikotropika dan
19
[Type text]
zat adiktif lainnya setidaknya sekali di tahun 2011. Sebagian dari populasi pengguna ini
sekitar 10 – 13% diantaranya mengalami masalah medis, psikologis dan sosial.
Sayangnya, hanya sekitar 12 – 30% dari jumlah ini yang pernah menerima terapi dan
rehabilitasi. Pada pengguna Napza suntik, estimasi yang menderita HIV sebesar 11,5%,
Hepatitis C sebesar 51% dan Hepatitis B sebesar 8,4 % .Secara global, narkotika jenis
ganja adalah yang paling banyak disalahgunakan, dimana sekitar 129 hingga 190 juta
orang menggunakannya. Ranking kedua adalah jenis zat amfetamin, kemudian diikuti
oleh kokain dan opiat (mis. heroin).
Pokok Bahasan 2
EPIDEMIOLOGI DAN PERKEMBANGAN PENGGUNAAN NARKOTIKA DIKAWASAN
REGIONAL
20
[Type text]
Sejak awal tahun 2000, penggunaan zat jenis amfetamin (ATS) marak di berbagai
negara di Asia Tenggara, yaitu pada negara-negara Cambodia, China, Indonesia, Laos,
Myanmar, Filipina dan Thailand. Produksi ATS umumnya dilakukan di dalam negeri,
seperti yang tercatat di China, Myanmar dan Indonesia. Penyitaan beberapa pabrik ATS
rumahan dengan kapasitas produksi hingga ribuan kilogram setiap bulannya
menunjukkan tingginya kebutuhan yang juga mencerminkan tingginya potensi
penyalahgunaan. Salah satu zat yang digunakan untuk memproduksi metamfetamin
adalah efedrin, yang banyak diselundupkan dari China dan India. Sementara itu
penggunaan zat jenis opiat, khususnya heroin, tetap memiliki pangsa pasar yang tetap
di wilayah ini. Pengguna NAPZA suntik masih menyumbang angka penularan HIV yang
cukup tinggi pada banyak negara di Asia. Walaupun demikian, jenis zat yang paling
banyak disalahgunakan di wilayah Asia Tenggara adalah ganja.
Pokok Bahasan 3
EPIDEMIOLOGI DAN PERKEMBANGAN PENGGUNAAN NARKOTIKA DI KAWASAN
NASIONAL
samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik yang keduanya memiliki posisi
silang yang sangat strategis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Indonesia
mempunyai kedudukan penting ditengah-tengah lalu lintas dunia international. Namun
demikian, permasalahan letak dan kedudukan ini selain memberikan dampak positif,
pada kenyataanya dapat pula memberikan dampak negatif. Peredaran gelap narkotika
dan obat-obatan terlarang lainnya adalah salah satu bentuk dampak negatif dari
keberadaan Indonesia pada posisi geografisnya. Kontrol atas masuknya berbagai jenis
NAPZA ke Indonesia menjadi lebih sulit. Pengaruh sosial budaya juga sulit dibendung
mengingat tamu asing dapat masuk dari berbagai belahan nusantara ini.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA merupakan suatu keprihatinan
global. Kejahatan narkotika telah menjadi sebuah kejahatan transnasional yang
dilakukan oleh kelompok kejahatan terorganisir (organized crime). Masalah ini
melibatkan sebuah sistem kompleks yang berpengaruh secara global dan akan
berkaitan erat dengan ketahanan nasional sebuah bangsa. Hal ini karena
kecenderungan peningkatan penyalahgunaan NAPZA pada kelompok usia produktif.
Di Indonesia sendiri, masalah penyalahgunaan NAPZA tidak pernah mereda,
sekalipun jenis zat yang digunakan menunjukkan perbedaan dari waktu ke waktu.
Secara resmi pemerintah awalnya mencatat masalah penyalahgunaan NAPZA dari
laporan yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan, khususnya Rumah Sakit
Ketergantungan Obat (RSKO) dan berbagai panti rehabilitasi sosial yang berada dalam
tanggungjawab Kementerian Sosial. Pada tahun 70an jenis zat yang marak
disalahgunakan dan menggiring penggunanya mencari pertolongan medis, adalah zat
morfin/heroin. Tahun 80an berubah menjadi barbiturat yang kemudia diikuti oleh
golongan benzodiazepin. Penggunaan kedua jenis zat tersebut biasanya dikombinasi
dengan penggunaan alkohol. Sempat terjadi trend penggunaan obat-obat yang
mengandung Ephedrin sebagai obat asma, walaupun hal ini hanya berlangsung singkat.
Tahun 90an menjadi awal dari penggunaan ekstasi yang kemudian diikuti oleh
masuknya heroin. Penggunaan heroin dengan cara suntik memicu cepatnya penularan
HIV di Indonesia, dimana prevalensi HIV di kalangan pengguna NAPZA suntik berkisar
50%. Sekitar tahun 1998 mulai marak penggunaan metamfetamin (shabu). Sejak tahun
2002 penyalahgunaan heroin tidak menunjukkan peningkatan pengguna baru yang
berarti, namun penggunaan zat jenis amfetamin, baik ekstasi maupun metamfetamin
(shabu) justru semakin meningkat. Saat ini shabu dan ektasi menjadi zat nomor 2 yang
terbanyak disalahgunakan setelah ganja. Diluar zat-zat tersebut diatas, penyalahgunaan
ganja sudah dilakukan semenjak tahun 1960an hingga saat ini. Data tentang
penggunaan kokain dan ketamin sangat sedikit. Pada pertengahan tahun 2000 sampai
sekarang tercatat adanya penyalahgunaan Buprenorfin, alprazolam, DMP,
trihexyphenidyl, krokodil, YABA, katinona dan metkatinona.
Indonesia sendiri adalah produsen ganja sejak awal abad ke 20 dan ganja yang
berasal dari Aceh adalah salah satu dari yang berkualitas baik di dunia. Sediaan heroin
berasal dari segitiga emas dan tidak berasal dari dalam negeri. Sementara konsumsi
22
[Type text]
metamfetamin sejak tahun 2000 tampaknya dipenuhi oleh produksi dalam negeri,
terbukti dari laporan penyitaan dan penggerebekan laboratorium-laboratorium
klandestin di Indonesia memproduksi metamfetamin dalam jumlah yang besar.
Survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional bekerjasama dengan Pusat
Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia pada tahun 2011 menunjukkan bahwa
estimasi penyalahguna NAPZA adalah sebesar 3.7 juta hingga 4.7 juta orang, atau
sekitar 2,2% dari total seluruh penduduk Indonesia berusia 10-59 tahun di tahun 2011.
Dari sejumlah penyalahguna tersebut, terdistribusi atas 27% coba pakai, 45% teratur
pakai,27% pecandu bukan suntik, dan 2% pecandu suntik. Penelitian juga menunjukkan
bahwa jenis zat utama yang disalahgunakan di seluruh Indonesia adalah ganja, diikuti
dengan penggunaan amfetamin, benzodiazepin dan heroin. Penyalahguna Narkoba
kebanyakan berada pada kelompok umur 20 – 29 tahun. Penyalahgunaan narkoba pada
kelompok pekerja (70%) lebih tinggi dibandingkan kelompok pelajar/mahasiswa
(22%). Menurut jenis kelamin, laki-laki (88%) jauh lebih besar dari perempuan (12%).
Data BNN tahun 2012 menyatakan jumlah pecandu yang mendapatkan terapi dan
rehabilitasi sebanyak 14.510 orang. Sedangkan hasil proyeksi menunjukan kerugian
biaya ekonomi akibat penyalahgunaan narkoba meningkat dari Rp.32,4 trilyun di tahun
2008 menjadi Rp.57,0 trilyun di tahun 2013.
lainnya telah dilakukan oleh segenap elemen bangsa ini. Sebut saja upaya pembaharuan
undang-undang tentang Narkotika dari UU Nomor 22 tahun 1997 menjadi UU Nomor 35
tahun 2009. Undang-undang terbaru itu diyakini dapat memberikan efek jera yang
diiringi harapan semakin berkurangnya jumlah penyalahgunaan Narkotika dan obat-
obatan terlarang lainnya di Indonesia.
24
[Type text]
DAFTAR PUSTAKA
25
[Type text]
MATERI INTI 1
KETERGANTUNGAN NARKOTIKA
I. Deskripsi Singkat
Dalam masalah ketergantungan narkotika banyak terdapat istilah untuk suatu obyek
atau kondisi yang sama atau hampir sama, misalnya narkoba, napza dan narkotika.
Sebaliknya satu istilah bisa mempunyai pengertian yang berbeda karena sudut pandang
yang berbeda, misalnya istilah ketergantungan (dependence) dapat diartikan
ketergantungan fisik dan tidak ada kaitannya dengan penyalahgunaan (abuse), tetapi ada
pula yang mengartikan sebagai adiksi, yaitu penggunaan yang tak terkendali.
Narkotika dalam buku panduan ini meliputi berbagai zat psikoaktif yang secara
farmakologik sangat berbeda dimasukkan ke dalam kelompok yang sama menurut Undang-
Undang no. 35 tahun 2009. Untuk memahami mekanisme interaksi antara narkotika dan
otak, yang mendasari terjadinya toleransi, gejala putus zat, dan ketergantungan, dibahas
secara singkat patofisiologi ketergantungan.
26
[Type text]
Narkotika. Menurut Undang-Undang no. 35 tahun 2009 tentang narkotika, yang disebut
narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan. Jenis zat yang dimasukkan kedalam kelompok narkotika didalam UU
tersebut tidak sejalan dengan terminologi dalam farmakologi. Salah satu hal yang mendasari
adalah dari besaran masalah penggunaannya.
Narkotika berasal dari kata Yunani narkotikaos, yaitu obat apa saja yang menginduksi tidur.
27
[Type text]
Narkotika sering diartikan untuk lingkup yang lebih sempit, yaitu sebagai opioda dan dalam
konteks legal seperti pada undang-undang tersebut di atas sebagai senyawa yang sering
disalahgunakan dan bersifat adiktif.
Psikotropika. Menurut Undang Undang RI nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika, yang
dimaksud psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat dan
meyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Zat Psikoaktif. Istilah psikoaktif dipakai dalam buku International Classification of Diseases
edisi 10 (ICD 10) dan dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
edisi III (PPDGJ III). Zat psikoaktif adalah zat yang bekerja pada susuanan saraf pusat secara
selektif sehingga dapat menimbulkan perubahan pada pikiran, perasaan, perilaku, persepsi
maupun kesadaran (Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif,
Joewana, EGC, 2004).
NAPZA. Akronim dari Narkotika, Psikotropika,Zat Adiktif lain. Akronim ini banyak digunakan
oleh jajaran Kementerian Kesehatan.
Narkoba. Akronim dari Narkotika dan Bahan adiktif lain. Akronim ini disukai oleh jajaran
penegak hukum.
Opium. Dalam bahasa Yunani opos, artinya getah (juice), maksudnya getah dari kotak biji
tanaman Papaver somniferum (pohon candu).
Opiat. Semua senyawa yang berasal dari produk yang terdapat dalam opium, baik yang
alami seperti morfin, kodein dan tebain, maupun yang semi-sintetik seperti heroin.
Opioda. Semua senyawa yang mempunyai fungsi dan sifat farmakologis seperti opiat, jadi
metadon.
Zat Psikedelik (Psychedelic agent). Senyawa yang dapat menimbulkan gangguan persepsi
seperti halusinasi, ilusi dan waham, termasuk di dalamnya adalah senyawa halusinogenik
yaitu senyawa yang dalam dosis kecil menimbulkan gangguan persepsi, pikiran, perasaan,
akan tetapi pengaruhnya terhadap daya ingat dan orientasi minimal
Club drug. Zat yang banyak digunakan di klub-klub (allnite dance) seperti ecstasy, LSD, PCP,
ketamin.
28
[Type text]
Ketergantungan zat (termasuk narkotika) memiliki dua pengertian: 1) sesuai dengan yang
tertera pada ketentuan umum UU no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan 2) sesuai
dengan pengertian ilmiah.
Ketergantungan narkotika menurut UU tersebut adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan
untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar
menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi / atau dihentikan
secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Sedangkan menurut
pemahaman ilmiah, ketergantungan zat (termasuk narkotika) terjadi karena penggunaan zat
berulang kali secara teratur sehingga terjadi toleransi dan gejala putus zat. Keadaan ini
dapat terjadi sekalipun penggunaannya bertujuan terapeutik.
Karena pada saat putus zat timbul gejala fisik, maka sering disebut ketergantungan fisik.
Sejak tahun 1987, American Psychiatric Association (APA) menggunakan istilah keter-
gantungan zat bagi penggunaan zat yang tak terkendali yang sebelumnya disebut disebut
sebagai adiksi. Istilah adiksi ditinggalkan karena mengandung konotasi negatif bagi pasien.
Penyalahgunaan Zat. Menurut PPDGJ II atau DSM III, penyalahgunaan zat adalah pola
penggunaan zat yang bersifat patologis sesingkatnya satu bulan sehingga menimbulkan
hendaya dalam fungsi sosial atau pekerjaan. Yang dimaksud dengan penggunaan yang
patologis misalnya sampai terjadi intoksikasi sepanjang hari, tidak mampu mengendalikan
atau menghentikan penggunaan tersebut, ada usaha untuk abstinensi berulang kali, terus
menggunakan zat tersebut walaupun mengetahui bahwa penggunan zat tersebut
menyebabkan eksaserbasi penyakit fisik akibat zat tersebut.
Yang dimaksud paling sedikit 1bulan, tidak harus setiap hari dalam 1 bulan tetapi cukup
sering sehingga menimbulkan hendaya fungsi sosial dan pekerjaan.Yang dimaksud dengan
hendaya fungsi sosial misalnya tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai anggota
keluarga, mengalami masalah hukum akibat menggunakan zat.
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat psikoaktif (ICD 10, PPDGJ III) adalah
kelompok gangguan mental yang berkaitan dengan penggunaan zat psikoaktif, jadi bukan
suatu diagnosis. Dalam kelompok gangguan mental ini terdapat 8 kondisi klinik yaitu:
intoksikasi akut, penggunaan yang merugikan, sindroma ketergantungan, keadaan putus zat,
29
[Type text]
keadaan putu zat dengan delirium, gangguan psikosis akibat zat, sindroma amnestik akibat
zat, gangguan psikosis residual dan onset lambat akibat zat.
Intoksikasi akut: suatu kondisi yang timbul akibat penggunaan zat psikoaktif sehingga terjadi
gangguan kesadaran,fungsi kognitif,persepsi, afek, perilaku atau fungsi dan respons
psikofisiologis lainnya.
Penggunaan yang merugikan: suatu pola penggunaan zat psikoaktif yang menyebabkan
terganggunya kesehatan, dapat berupa gangguan kesehatan fisik maupun gangguan
kesehatan mental.
Sindrom ketergantungan: adalah sindrom yang terdiri paling sedikit 3 dari yang berikut ini:
(1) adanya keinginan yang kuat untuk menggunakan zat psikoaktif, (2) ganguan dalam
mengendalikan perilaku penggunakan zat psikoaktif, (3) adanya gejala putus zat, (4)
toleransi, (5) preokupasi terhadap zat psikoaktif, (6) tetap menggunakan zat psikoaktif
walaupun menderita gangguan yang nyata akibat zat psikoaktif yang digunakannya.
Keadaan putus zat: kumpulan gejala yang timbul sebagai akibat berhenti atau mengurangi
jumlah zat psikoaktif yang biasa digunakan secara cukup teratur dan sering dalam jumlah
yang banyak.
Keadaan putus zat dengan delirium: sama dengan putus zat tersebut di atas tetapi disertai
delirium,dapat diserta kejang atau tanpa kejang.
Gangguan psikotik akibat zat psikoaktif: psikosis yang muncul pada waktu menggunakan zat
psikoaktif yang menetap lebih dari 48 jam dan berlangsung paling lama 6 bulan.
Ketergantungan psikologis atau emosional, disebut juga habituasi: kerinduan yang sangat
kuat untuk kembali menggunakan suatu zat psikoaktif, tanpa disertai gejala fisik, setelah
berhenti memakai zat tersebut untuk durasi waktu tertentu.
Toleransi: suatu kondisi dimana efek suatu zat psikoaktif menurun pada pemakaian dosis
yang menetap atau suatu kondisi butuh akan peningkatan dosis suatu zat psikoaktif untuk
memperoleh efek yang sama dari zat psikoaktif tersebut.
Toleransi silang: keadaan dimana seseorang yang mengalami toleransi terhadap satu jenis
zat psikoaktif juga mengalami toleransi terhadap zat psikoaktif lain yang sifat
farmakologiknya sama. Contoh: toleransi silang antara heroin dan metadon.
30
[Type text]
Adverse tolerance: suatu keadaan dimana untuk memperoleh efek suatu zat dibutuhkan
dosis yang semakin lama semakin sedikit. Contoh: pada penggunaan ganja, sebab adanya
efek kumulatif dari zat psikoaktif dalam ganja (THC).
Istilah Gaul
Para pengguna zat psikoaktif merupakan suatu subkultur yang biasanya mempunyai bahasa
gaul tersendiri. Bahasa gaul ini bisa berbeda untuk setiap daerah dan senantiasa mengalami
perubahan, artinya yang lama sudah tidak digunakan lagi, sebaliknya muncul istilah gaul
yang baru. Berikut ini disajikan beberapa istilah gaul yang umum dan masih sering terdengar
dengan tujuan agar petugas kesehatan lebih mudah membina rapport.
Dalam buku PPDGJ III atau ICD 10, zat psikoaktif dikelompokkan menjadi sebagai
berikut:
1. Alkohol, yaitu semua minuman yang mengandung etanol seperti bir, wiski, vodka,
brem, tuak, saguer, ciu, arak.
2. Opioid, termasuk di dalamnya adalah candu, morfin, heroin, petidin, kodein,
metadon.
3. Kanabinoid, yaitu ganja atau marihuana, hashish.
4. Sedatif dan hipnotik, misalnya nitrazepam, klonasepam, bromazepam.
5. Kokain, yang terdapat dalam daun koka, pasta kokain, bubuk kokain.
6. Stimulan lain, termasuk kafein, metamfetamin, MDMA.
7. Halusinogen, misalnya LSD, meskalin, psilosin, psilosibin.
8. Tembakau yang mengandung zat psikoaktif nikotin.
9. Inhalansia atau bahan pelarut yang mudah menguap, misalnya minyak cat, lem,
aseton.
32
[Type text]
33
[Type text]
perasaan (euforia), dan perubahan proses dan isi pikir serta persepsi (lebih cepat,
melambat, berwaham, dan berhalusinasi).
Zat psikoaktif (termasuk narkotika) yang dikonsumsi secara berlebih dapat
mengakibatkan overdosis. Penggunaan narkotika berlangsung lama dapat
mengakibatkan toleransi, artinya reseptor menjadi kurang responsif terhadap narkotika
itu sehingga untuk timbulnya sensasi (euforia) seperti semula diperlukan jumlah yang
lebih banyak (toleransi seluler). Toleransi juga bisa terjadi karena metabolisme
narkotika oleh hati menjadi lebih cepat (toleransi metabolik). Toleransi dapa
dianalogikan seperti orang yang menerima kenaikan gaji beberapa kali lipat dan merasa
sangat senang pada mulanya, tetapi setelah beberapa bulan rasa senang saat menerima
gaji semakin berkurang.
Pemakaian zat psikoaktif dalam periode yang lama pada umumnya akan
menekan produksi neurotransmiter kenikmatan terkait dalam otak. Penghentian atau
pengurangan secara drastis pemakaian zat tersebut tak bisa segera diikuti oleh
pemulihan produksi neurotransmiter kenikmatan terkait. Dengan demikian, otak
kehilangan rangsang rasa nikmat, yang secara klinis akan bermanifestasi sebagai
sindrom putus zat.
34
[Type text]
Telah diketahui beberapa sifat yang melekat pada tingkat individu dan tingkat
komunitas yang berkontribusi pada terjadinya gangguan penggunaan narkotika.
Anak yang berisiko tinggi menderita ketergantungan narkotika mempunyai ciri-ciri
hiperaktif, tak tekun, sukar memusatkan perhatian, mudah kecewa dan menjadi
agresif, mudah murung, makan berlebih, merokok usia dini (saat masih SD), sadis
(kepada saudara atau hewan peliharaan), sering berbohong, mencuri, dan melanggar
peraturan, dan mempunyai tingkat kecerdasan perbatasan. Remaja yang termasuk
kelompok berisiko tinggi mempunyai ciri-ciri bingung dengan identitas kelaminnya,
sedih atau cemas, suka melawan norma yang berlaku, taksabaran, menyukai
aktivitas berisiko atau berbahaya, kurang religius, kurang motivasi belajar, dan
kurang berminat kepada kegiatan yang positif (seperti olahraga dan kesenian).
Keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan riwayat penggunaan
narkotika atau yang disharmonis, serta keluarga dengan orangtua yang terlalu
mengatur, kurang komunikatif, terlalu menuntut prestasi, atau terlalu sibuk sehingga
kurang perhatian berkontribusi pada terjadinya gangguan penggunaan napza.
Sekolah yang tak tertib atau yang tak menegakkan disiplin secara baik juga
berkontribusi pada gangguan penggunaan napza. Masyarakat yang diwarnai oleh
pandangan sinis (negatif) terhadap sistem norma atau disorganisasi hubungan
antarmanusia atau dimana hukum kehilangan wibawa terkait erat dengan gangguan
penggunaan napza.
35
[Type text]
Hubungan antar semua faktor diatas dapat dianalogikan seperti bertanam jagung, dimana
dibutuhkan benih jagung dan siraman air untuk mendapatkan pohon jagung. Pohon
tersebut tak mungkin tumbuh dari benih yang tak disirami air atau dari tanah yang disirami
air. Pohon jagung identik dengan gangguan penggunaan narkotika yang terjadi akibat
seseorang dengan kerentanan genetik atau sifat bawaan di masa kanak (faktor etiologik dan
konstitusional, yang identik dengan benih jagung) yang mendapat tekanan di dalam situasi
kehidupannya (faktor pencetus, identik dengan siraman air).
37
[Type text]
Daftar referensi
1. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ) II,
Departemen Kesehatan RI, 1985.
2. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ) III,
Departemen Kesehatan RI, 1993.
3. The ICD 10 Classification of Mental and Behavioural Disorders, WHO, 1992.
4. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif, Satya Joewana,
EGC, 2004.
5. Substance Abuse: Information for School Counselors, Social Workers, Therapists and
Counselors, 4th ed, Fisher & Harrison, Allyn &Bacon Publ., 2009.
6. 4 Undang-Undang Bidang Hukum dan Sosial Budaya, CV Eko Jaya, Jakarta, 2009.
38
[Type text]
MATERI INTI 2
I. Deskripsi Singkat
Dalam menentukan masalah terkait-penggunaan napza ada dua langkah yang bisa
dilakukan. Langkah pertama adalah skrining dengan menggunakan instrumen tertentu.
Tujuan skrining ini hanya untuk mendapat informasi adakah suatu faktor risiko dan/atau
masalah yang terkait dengan penggunaan napza. Selanjutnya, untuk mendapatkan
gambaran klinis dan masalah yang lebih mendalam dilakukan langkah yang kedua, yakni
asesmen klinis, yang bertujuan untuk:
40
[Type text]
Pokok bahasan 2: aspek klinis dalam asesmen dan kaitannya dengan rencana
terapi
41
[Type text]
42
[Type text]
d. Pemeriksaan penunjang merupakan bagian penting dari asesmen klinis pada klien
ketergantungan narkotika karena, meskipun tidak dapat dipakai untuk menegakkan
diagnosis, berguna bagi pengembangan rencana terapi yang komprehensif. Beberapa
pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan untuk klien dengan gangguan
penggunaan napza meliputi:
Pemeriksaan darah dan urin rutin
Tes Fungsi Hati (setidaknya SGOT dan SGPT)
Tes HIV melalui VCT atau PITC
Hepatitis B dan C
Serologi untuk Infeksi Menular Seksual
Tes untuk jenis zat (Toksikologi)
Tes kehamilan untuk klien wanita
Jika terdapat indikasi untuk melakukan pemeriksaan foto Rongent Thorax, EKG, EEG,
CT scan, atau MRI, maka pemeriksaan tersebut dapat pula dilakukan.
43
[Type text]
Apa saja kekuatan dan sumber daya yang dimilki oleh klien dalam mencapai
tujuan klien?
Dukungan luar apa saja dari luar klien yang membantu klien untuk mencapai
tujuan terapi?
Apa jalan yang terbaik yang bisa digunakan klien baik kekuatan klien sendiri
maupun dukungan sumber daya luar?
Adakah keinginan klien untuk melakukan sesuatu yang berbeda?
Di akhir asesmen, asesor diharapkan mempunyai pemahaman utuh tentang diri
klien beserta masalahnya. Pemahaman tersebut dinilai melalui jawaban asesor
terhadap tiga pertanyaan berikut:
b. Karakteristik asesor
Untuk diperoleh hasil asesmen yang akurat, diperlukan hubungan yang baik atau terapeutik
antara asesor/terapis dengan klien. Enam sikap dan ketrampilan yang sebaiknya dimiliki
oleh asesor yaitu:
1. Kemampuan interpersonal yang baik, meliputi sikap hangat, ramah, menghargai dan
empati
2. Ketulusan dalam menolong klien
3. Mampu memberikan afirmasi
4. Memberikan dukungan
5. Mampu menjadi pendengar yang baik melalui teknik “reflective listening”
6. Mampu memberikan pertanyaan terbuka dan menggali jawaban klien tanpa
menginterogasi
Sikap tubuh (sebagaimana yang dipersyaratkan dalam melaksanakan konseling) juga
merupakan salah satu alat untuk membina hubungan yang baik dengan klien.
a. Bersifat individual
b. Mengembangkan kolaborasi dengan klien
c. Isu tentang kerahasiaan harus dipegang teguh
d. Menjaga dan fokus yang jelas terhadap agenda terapi
44
[Type text]
45
[Type text]
46
[Type text]
Pokok bahasan iv: persiapan pelaksanaan asesmen klinis dan prinsip penegakan
diagnosis
Adiksi dan gangguan jiwa akibat pemakaian zat lainnya merupakan suatu penyakit otak
yang mana zat aktif memengaruhi area pengaturan perilaku. Dengan demikian, gejala dan
tanda utama dari penyakit tersebut adalah perubahan perilaku. Berbeda dari kebanyakan
penyakit lainnya, morbiditas pada adiksi bermula dari pencitraan diri (self-image, self
respect, self-concept, dan sense of self-efficacy serta gejala-gejala psikiatrik yang menjadi
awal dari penyakit); berlanjut pada hubungan interpersonal (keluarga, teman dekat, dan
hubungan sosial lainnya), kegemaran atau hobi, status finansial, aspek hukum, prestasi
sekolah atau pekerjaan; dan berakhir pada kerusakan organ atau fisik.
Asesmen mengungkap banyak hal, termasuk hal yang terungkap dalam skrining tetapi
dilakukan secara mendalam dan ditekankan pada area masalah yang terungkap. Tujuan
asesmen adalah untuk mengembangkan rencana terapi dan untuk menentukan program
atau layanan spesifik yang sesuai. Tahapan untuk asesmen meliputi riwayat penggunaan
narkotika, pola penggunaan saat ini, riwayat kesehatan mental dan gejala saat ini, riwayat
dan status kriminalitas, dan area fungsi psikososial lain, defisit dari ketrampilan saat ini, dan
tipe penatalaksanaan dan layanan dukungan yang dibutuhkan.
Dari berbagai manfaat tersebut, asesmen dirasa sangat penting. Dengan demikian,
asesmen menjadi suatu ketrampilan klinis dasar dan salah satu landasan bagi perawatan
klien yang berkualitas. Asesmen yang baik mampu menghubungkan diagnosis dengan
penatalaksanaan awal, memastikan akurasi dari diagnosis awal, dan mengidentifikasi
perawatan yang paling efisien dan efektif.
47
[Type text]
Tes narkotika dalam tubuh dapat menjadi skrining awal untuk mendeteksi masalah
terkait-penggunaan narkotika akut. Sayangnya, sensitivitas, spesifisitas, dan nilai prediktif
dari toksikologi sebagai marker untuk gangguan penggunaan narkotika pada klien yang
dirawat belum diteliti dengan baik. Terlebih lagi, Hasil tes tersebut menjadi sukar
diinterpretasi karena hanya mendeteksi penggunaan yang baru dan tidak mampu
membedakan antara penggunaan legal dan penggunaan ilegal, serta beberapa
keterbatasan lain dari uji tersebut (misalnya, banyak opioid yang tidak bereaksi silang
dengan uji urin opiat yang biasanya standar untuk uji morfin). Untuk meningkatkan
spesifisitas dapat dilakukan uji konfirmasi dengan menggunakan alat Gas
Chromatography Mass Spectrometry (GCMS).
Selain pemeriksaan klinis dan penunjang, informasi juga dapat diperoleh melalui cara
lain seperti resep. Resep klien yang dapat dilihat dari farmasi/apotik dapat dijadikan
informasi mengenai jenis obat dan dosis yang diberikan pada klien.
Setelah informasi klinis atau hasil dari asesmen menyatakan adanya masalah terkait-
penggunaan narkotika, selanjutnya dibutuhkan informasi tambahan untuk menentukan
adanya “keinginan untuk berubah” pada klien. Beberapa klien dapat mengatakan dengan
jujur keadaannya (misalnya, dok, saya mempunyai masalah narkotika), sementara yang
lain menunjukkan penyangkalan yang kuat dari masalahnya. Derajat keparahan dari
masalah terkait-penggunaan narkotika klien dapat bervariasi mulai dari “penggunaan
coba-coba” sampai kepada gangguan jiwa berat akibat penggunaan narkotika seperti
“gangguan psikotik lir-skizofrenia akibat penggunaan stimulan lain”. Oleh karena itu,
intervensi klinis yang sesuai juga dapat bervariasi dari suatu “sesi konseling singkat”
sampai merujuk pada “pengobatan gangguan penyalahgunaan yang berat”.
48
[Type text]
Asesmen awal biasanya dilakukan dalam periode dua sampai empat minggu sejak pasien
datang ke penyedia layanan dan menerima penatalaksanaan awal. Proses asesmen
lanjutan perlu dilakukan untuk mengidentifikasi masalah-masalah baru yang muncul atau
informasi baru yang didapat selama penatalaksanaan tersebut, contohnya riwayat
kekerasan fisik atau seksual yang baru dilaporkan setelah pasien merasa lebih nyaman
berbicara kepada konselor dan petugas partisipan lainnya. Relaps yang terjadi,
perubahan rencana kehidupan atau pekerjaan, dan masalah baru lainnya yang terjadi
dalam masa pengobatan dapat dimodifikasi oleh rencana terapi spesifik yang sesuai dan
bergantung pada kemampuan penyedia layanan.
4. Pastikan diagnosis melalui asesmen ulang, bila perlu (mis ; adanya dual
diagnosis yang belum terlihat pada asesmen awal)
Komorbiditas atau disebut sebagai dual-diagnosis adalah diagnosis dari dua atau lebih
gangguan psikiatrik pada satu klien. Suatu survey dalam komunitas yang besar
melaporkan bahwa 76% laki-laki dan 65% perempuan dengan diagnosis penyalahgunaan
atau ketergantungan zat mempunyai diagnosis gangguan psikiatrik. Diagnosis psikiatrik
lainnya umumnya berhubungan dengan penyalahgunaan zat adalah gangguan
kepribadian antisosial, fobia (dan gangguan cemas lainnya), gangguan depresi berat, dan
gangguan distimia. Secara umum, semakin poten suatu zat semakin tinggi angka
komorbiditas. Contohnya, komorbiditas gangguan psikiatrik lebih sering pada pengguna
opioid dan kokain dari pada mariyuana.
49
[Type text]
Komorbiditas antara penggunaan narkotika dan gangguan jiwa sering terjadi. Narkotika akan
memengaruhi kerja susunan saraf pusat dan bermanifestasi pada perubahan pikiran,
perasaan, dan perilaku sampai dengan taraf gangguan jiwa. Orang-orang juga sering
berpaling kepada narkotika untuk mengurangi, bahkan menghilangkan, ketidaknyamanan
yang ditimbulkan oleh gangguan jiwa yang sudah ada sebelumnya (sering disebut juga
self-medication). Kemungkinan yang lain adalah pengguna narkotika yang menderita
gangguan jiwa dan hubungan patogenesis diantara keduanya tidak dapat dijelaskan
(serupa dengan orang dengan kencing manis yang terinfeksi virus influenza). Komorbid
antara penyalahgunaan narkotika dan gangguan kepribadian, gangguan mood, atau
gangguan cemas pada orang dewasa, serta gangguan pemusatan perhatian dan
gangguan mood pada remaja sering terjadi. Untuk dapat memastikan sifat hubungan
antara penggunaan narkotika dan gangguan jiwa yang menyertainya dibutuhkan
ketelitian dalam melakukan anamnesis untuk mendapatkan riwayat penyakit sekarang
dan terdahulu.
1. Intoksikasi akut
2. Penggunaan yang merugikan
3. Sindrom ketergantungan
4. Keadaan putus zat
5. Keadaan putus zat dengan delirium
6. Gangguan psikotik
7. Sindrom amnesik
8. Gangguan psikotik residual dan awitan lambat
Selain delapan kondisi di atas, PPDGJ III membuka kemungkinan untuk kondisi klinis
yang terinci lainnya (gangguan mental dan perilaku akibat pemakaian zat psikoaktif
lainnya) dan kondisi klinis yang tak terinci (gangguan mental dan perilaku akibat
pemakaian zat psikoaktif YTT).
50
[Type text]
Intoksikasi akut sering dikaitkan dengan tingkat dosis yang digunakan. Pengecualian dapat
terjadi pada individu dengan kondisi organic tertentu yang mendasarinya yang dalam dosis
kecil dapat menyebabkan efek intoksikasi berat yang tidak proporsional. Harus pula
dipertimbangkan disinhibisi sosial. Intoksikasi akut merupakan fenomena peralihan.
Intensitasi intoksikasi berkurang dengan berlalunya waktu dan pada akhirnya efeknya
menghilang bila tidak terjadi penggunaan zat lagi. Dengan demikian orang tersebut akan
kembali ke kondisi semula, kecuali jika ada jaringan yang rusak atau terjadi komplikasi
lainnya.
Gejala intoksikasi tidak selalu mencerminkan aksi primer dari zat. Sebagai contoh, zat
depresan dapat menimbulkan gejala agitasi atau hiperativitas, dan zat stimulan
menimbulkan penarikan diri secara sosial atau perilaku introvert. Efek zat sepserti kanabis
dan halusinogenika mungkin sukar diramal. Lebih-lebih, banyak zat psikoaktif mampu
menimbulkan berbagai bentuk efek ayng berbeda pada tingkat dosis yang berbeda. Sebagai
contoh, alkohol rupanya dapat mempunyai efek stimulan pada perilaku dalam dosis yang
lebih rendah, namun dapat meyebabkan agitasi dan agresi dengan meningkatnya dosis, dan
menimbulkan sedasi yang jelas pada dosis yang sangat tinggi.
Untuk menegakkan diagnosis harus ada cedera nyata pada kesehatan jiwa atau fisik
pengguna.
Pola penggunaan yang merugikan sering dikecam oleh pihak lain dan sering kali disertai
berbagai konsekuensi sosial yang tidak diinginkan. Bila suatu pola penggunaan atau suatu
zat tertentu tidak disetujui oleh orang lain atau oleh budaya setempat, atau menjurus
kepada konsekuensi yang negatif secara sosial seperti penahanan atau cekcok dalam
perkawinan bukanlah merupakan bukti dari adanya penggunaan yang merugikan.
Intoksikasi akut atau “hangover” sendiri bukanlah merupakan bukti cukup untuk pemberian
kode pengunaan yang merugikan.
51
[Type text]
Diagnosis ketergantungan yang pasti ditegakkan jika ditemukan tiga atau lebih gejala di
bawah ini dialami dalam masa setahun sebelumnya:
a) Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk
menggunakan zat;
b) Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat sejak awal, usaha
penghentian atau tingkat penggunaannya;
c) Keadaan putus zat secara fisiologis ketika penghentian penggunaan zat atau
pengurangan, terbukti oang tersebut menggunakan zat atau golongan zat yang
sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari terjadinya gejala
putus zat;
d) Adanya bukti toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang diperlukan
guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis lebih
rendah;
e) Secara progresif mengabaikan alternative menikmati kesenangan karena
penggunaan zat psikoaktif lain, meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan atau menggunakan zat atau pulih dari akibatnya;
f) Terus menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang merugikan
kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum alkohol berlebihan,
keadaan depresi sebagai akibat penggunaan yang berat atau hendaya fungsi
kognitif akibat menggunakan zat; upaya perlu diadakan untuk memastikan bahwa
penggunaan zat sungguh-sungguh atau diharapkan untuk menyadari akan hakikat
dan besarnya bahaya.
Ciri khas penting dari sindrom ketergantungan ialah penggunaan atau keinginan untuk
menggunakan zat psikoaktif. Kesadaran subjektif adanya kompulsi untuk menggunakan zat
biasanya ditemukan ketika berusaha untuk menghentikan atau mengatasi penggunaan zat.
Syarat diagnostik ini mengecualikan pasien pasca bedah yang mendapatkan opioida untuk
menghilangkan rasa nyeri dan kemudian menunjukkan tanda-tanda keadaan putus zat bila
zat tidak diberikan, namun mereka sebenarnya tidak menginginkan untuk melanjutkan
penggunaan zat.
Sindrom ketergantungan dapat juga terjadi terhadap bahan/zat yang spesifik, atau pada
golongan zat tertentu, atau pada aneka ragam zat.
52
[Type text]
Keadaan putus zat merupakan salah satu indikator dari sindrom ketergantungan dan
diagnosis sindrom ketergantungan zat harus turut dipertimbangkan.
Keadaan putus zat hendaknya dicatat sebagai diagnosis utama, bila hal ini merupakan
alasan rujukan dan cukup parah sehingga memerlukan perhatian medis secara khusus.
Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Gangguan psikologis merupakan
gambaran umum dari keadaan ptuts zat ini. Yang khas ialah pasien akan melaporkan bahwa
gejala putus zat akan mereda dengan meneruskan penggunaan zat.
Perlu diingat bahwa gejala putus zat dapat diinduksi dengna rangsang yang terkondisi/
dipelajari walaupun tanpa penggunaan zat sebelumnya. Pada kasus yang demikian,
diagnosis keadaan putus zat hendaknya dibuat hanya apabila taraf keparahaan putus
obatnya cukup berarti.
Pedoman diagnostik PPDGJ III untuk masing-masing kondisi klinis di atas agak sukar
digunakan karena penjabarannya sebagian besar berupa kalimat dalam alinea. Untuk
kepentingan praktis, dapat dipakai kriteria diagnostik untuk penelitian (DCR-10), yang
merupakan penyerta ICD-10 (sumber PPDGJ III) atau kriteria diagnostik dari Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat dengan revisi teks (DSM-IV-TR) atau
edisi kelima (DSM-5).
1. Bukti jelas dari penggunaan baru zat psikoaktif pada tingkat dosis yang cukup tinggi
yang konsisten dengan intoksikasi.
2. Gejala atau tanda dari intoksikasi sesuai dengan kerja dari zat dan cukup parah untuk
menyebabkan gangguan dalam tingkat kesadaran, kognisi, persepsi, afek, atau
perilaku yang bermakna klinis.
3. Bukan disebabkan oleh suatu gangguan medis yang tak berhubungan dengan
penggunaan zat, dan bukan disebabkan oleh gangguan mental atau perilaku lainnya.
Intoksikasi akut sering timbul pada orang-orang dengan masalah terkait-alkohol atau –
zat yang menetap. Bila ada masalah-masalah tersebut, seperti penggunaan yang
merugikan, sindrom ketergantungan, atau gangguan psikotik akibat penggunaan zat
psikoaktif, masalah tersebut harus dicatat.
Intoksikasi alkohol akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi;
perilaku disfungsional yang terbukti dengan sedikitnya satu dari tujuh perilaku berikut:
disinhibisi, argumentatif, agresi, suasana perasaan labil, perhatian terganggu, daya nilai
53
[Type text]
terganggu, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari tanda berikut: jalan
sempyongan, kesukaran berdiri, slurred speech, nystagmus, penurunan tingkat
kesadaran (misalnya stupor, koma), wajah memerah, dan injeksi konjungtival. Intoksikasi
alkohol akut yang parah bisa disertai dengan hipotensi, hipotermia, dan depresi refleks
muntah.
Intoksikasi opioida akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut yang
terpenuhi; perilaku disfungsional yang terbukti dengan sedikitnya satu dari enam
perilaku berikut: apati dan sedasi, disinhibisi, retardasi psikomotor, hendaya perhatian,
hendaya daya nilai, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari empat tanda
berikut: mengantuk, slurred speech, konstriksi pupil (kecuali pada anoksia akibat dosis
berlebih yang berat dimana terjadi dilatasi pupil), dan penurunan tingkat kesadaran
(misalnya stupor, koma). Intoksikasi opioida akut yang parah bisa disertai dengan
depresi pernafasan (dan hipoksia), hipotensi, dan hipotermia.
Intoksikasi kanabinoida akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut
terpenuhi; perilaku disfungsional atau gangguan persepsi yang meliputi sedikitnya satu
dari dua belas berikut: euforia dan disinhibisi, kecemasan atau agitasi, curiga atau ide-
ide paranoid, perlambatan waktu (rasa seperti waktu berjalan sangat lambat, dan/atau
pengalaman ide-ide mengalir cepat), hendaya daya nilai, hendaya perhatian, hendaya
waktu reaksi, ilusi auditori, visual, atau taktil, halusinasi dengan orientasi baik,
depersonalisasi, derealisasi, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari
empat tanda berikut: peningkatan nafsu makan, mulut kering, injeksi konjungktival, dan
takikardia.
Intoksikasi kokain akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi;
perilaku disfungsional atau abnormalitas persepsi yang terbukti dengan sedikitnya satu
dari sebelas berikut: euforia dan sensasi peningkatan energi, hypervigilance, keyakinan
atau tindakan grandios (kebesaran), kekerasan atau agresi, argumentatif, kelabilan
suasana perasaan, perilaku stereotipik repetitif, ilusi (auditori, visual, atau taktil),
54
[Type text]
halusinasi biasanya dengan orientasi intak, ide-ide paranoid, dan gangguan fungsi
personal (sudah terlihat jelas dari interaksi sosial pengguna, mulai dari gregariousness
yang ekstrem sampai dengan withdrawal sosial); dan sedikitnya dua dari sebelas tanda
berikut: takikardia (terkadang bradikardia), aritmia kardiak, hipertensi (terkadang
hipotensi), berkeringat dan menggigil, mual atau muntah, bukti penurunan berat badan,
dilatasi pupil, agitasi (terkadang retardasi) psikomotor, kelemahan otot, nyeri dada, dan
kejang.
Intoksikasi akut akibat penggunaan stimulan selain kokain ditandai dengan kriteria
umum untuk intoksikasi akut terpenuhi; perilaku disfungsional atau abnormalitas
persepsi yang terbukti dengan sedikitnya satu dari sebelas berikut: euforia dan sensasi
peningkatan energi, hypervigilance, keyakinan atau tindakan grandios (kebesaran),
kekerasan atau agresi, argumentatif, kelabilan suasana perasaan, perilaku stereotipik
repetitif, ilusi (auditori, visual, atau taktil), halusinasi biasanya dengan orientasi intak,
ide-ide paranoid, dan gangguan fungsi personal (sudah terlihat jelas dari interaksi sosial
pengguna, mulai dari gregariousness yang ekstrem sampai dengan withdrawal sosial);
dan sedikitnya dua dari sebelas tanda berikut: takikardia (terkadang bradikardia), aritmia
jantung, hipertensi (terkadang hipotensi), berkeringat dan menggigil, mual atau muntah,
bukti penurunan berat badan, dilatasi pupil, agitasi (terkadang retardasi) psikomotor,
kelemahan otot, nyeri dada, dan kejang.
Intoksikasi halusinogen akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut
terpenuhi; perilaku disfungsional atau abnormalitas persepsi yang terbukti dengan
sedikitnya satu dari sebelas berikut: kecemasan dan ketakutan, ilusi atau halusinasi
(auditori, visual, atau taktil) yang timbul dalam keadaan terjaga penuh, depersonalisasi,
derealisasi, ide-ide paranoid, ide-ide rujukan, kelabilan suasana perasaan, hiperaktivitas,
tindakan impulsif, hendaya perhatian, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya dua
dari tujuh tanda berikut: takikardia, palpitasi, berkeringan dan menggigil, tremor,
pandangan buram, dilatasi pupil, dan inkoordinasi.
Intoksikasi nikotin akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi;
perilaku disfungsional atau abnormalitas persepsi yang terbukti dengan sedikitnya satu
dari lima berikut: insomnia, mimpi aneh (bizarre), kelabilan suasana perasaan,
derealisasi, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari empat tanda berikut:
mual atau muntah, berkeringat, takikardia, dan aritmia jantung.
Intoksikasi akut akibat penggunaan pelarut yang mudah menguap ditandai dengan
kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi; perubahan perilaku yang meliputi
sedikitnya satu dari delapan perilaku berikut: apati dan letargi, argumentatif, kekerasan
atau agresi, kelabilan suasana perasaan, hendaya daya nilai, hendaya perhatian dan daya
55
[Type text]
ingat, retardasi psiko-motor, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari
tujuh tanda berikut: jalan sempoyongan, kesukaran berdiri, slurred speech, nystagmus,
penurunan tingkat kesadaran, kelemahan otot, dan pandangan buram atau diplopia.
Intoksikasi akut akibat penggunaan inhalansia dicatat di sini. Intoksikasi akut akibat
penggunaan pelarut yang mudah menguap bila parah bisa disertai dengan hipotensi,
hipotermia, dan depresi refleks muntah.
Kriteria intoksikasi akut akibat penggunaan multi zat dan zat psikoaktif lainnya dipakai
ketika terdapat bukti intoksikasi yang disebabkan oleh penggunaan baru zat psikoaktif
lain (misalnya phencyclidine) atau multi zat psikoaktif yang tidak pasti zat mana yang
menonjol.
A. Perkembangan dari suatu sindrom zat spesifik yang reversibel disebabkan karena
penggunaan yang baru. (catatan: zat yang berbeda dapat memperlihatkan sindrom
yang sama atau identik)
B. Secara klinis, perubahan perilaku dan psikologik maladaptif yang signifikan
disebabkan karena efek dari zat didalam sistem saraf pusat (misalnya, agresif, mood
yang labil, gangguan kognitif, daya nilai terganggu, fungsi pekerjaan atau sosial
terganggu) dan berkembang selama atau segera sesudah penggunaan zat
C. Gejala-gejala tersebut bukan disebabkan oleh karena suatu kondisi medis umum dan
tidak diperhitungkan untuk suatu gangguan mental lainnya.
Tenaga medis harus mengetahui kriteria intoksikasi untuk masing-masing zat. Kriteria
intoksikasi alkohol berupa perubahan perilaku atau psikologis yang bermasalah (seperti
perilaku agresif atau seksual yang tak sesuai, kelabilan suasana perasaan, dan hendaya daya
nilai) disertai satu atau lebih dari pembicaraan tak jelas (slurred speech), gangguan
koordinasi gerak, jalan sempoyongan, nystagmus, hendaya dalam perhatian atau daya ingat,
dan stupor atau koma.
Intoksikasi kafein ditandai oleh lima atau lebih dari kegelisahan, kecemasan, bersemangat,
insomnia, wajah merah, diuresis, gangguan gastrointestinal, otot berkedut, aliran ide dan
pembicaraan yang melantur, takikardia atau aritmia jantung, masa-masa tak bisa lelah
(inexhaustibility), agitasi psikomotor. Intoksikasi stimulan lainnya (termasuk kokain) ditandai
oleh perubahan perilaku atau psikologis yang bermasalah (seperti euforia atau penumpulan
afek; perubahan dalam kemampuan bersosialisasi; hypervigilance; sensitivitas interpersonal;
kecemasan, ketegangan, atau amarah; perilaku stereotipik; atau hendaya daya nilai) disertai
dua atau lebih dari takikardia atau bradikardia; dilatasi pupil; peningkatan atau penurunan
tekanan darah; perspirasi atau menggigil; mual atau muntah; penurunan berat badan yang
56
[Type text]
nyata; agitasi atau retardasi psikomotor; kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada,
atau aritmia jantung; atau bingung, kejang, dyskinesia, dystonia, atau koma.
Intoksikasi kanabis ditandai oleh perubahan perilaku atau psikologis yang bermasalah
(seperti hendaya koordinasi gerak, euforia, kecemasan, sensasi waktu melambat, hendaya
daya nilai, dan penarikan diri) yang timbul selama atau segera setelah pemakaian disertai
dua atau lebih dari injeksi konjungtival, nafsu makan meningkat, mulut kering, dan
takikardia yang berkembang dalam dua jam setelah pemakaian.
Intoksikasi phencyclidine (PCP) ditandai oleh perubahan perilaku yang bermasalah (seperti
bermusuhan/mengajak berkelahi (belligerence), menyerang, impulsif, tak bisa diprediksi,
agitasi psikomotor, dan hendaya daya nilai) yang timbul segera saat atau segera setelah
pemakaian PCP disertai satu atau lebih dari nystagmus vertical atau horizontal, hipertensi
atau takikardia, mati rasa atau responsivitas terhadap nyeri yang menurun, ataksia,
dysarthria, kaku otot, kejang atau koma, atau hiperakusis yang timbul dalam waktu satu jam
setelah pemakaian. Intoksikasi halusinogen lainnya ditandai oleh perubahan perilaku atau
psikologis yang bermasalah (seperti kecemasan atau depresi yang nyata, ide-ide rujukan,
takut menjadi gila, ide paranoid, hendaya daya nilai) disertai perubahan perseptual yang
terjadi dalam keadaan sadar penuh (seperti persepsi yang menguat secara subjektif,
depersonalisasi, derealisasi, ilusi, halusinasi, dan synaesthesia) dan dua atau lebih dari
dilatasi pupil, takikardia, berkeringat, palpitasi, pandangan kabur, tremor, dan gangguan
koordinasi gerak.
Intoksikasi inhalan ditandai oleh perubahan perilaku atau psikologis yang bermasalah
(seperti belligerence, menyerang, apati, dan hendaya daya nilai) disertai dua atau lebih dari
pusing (dizziness), nystagmus, gangguan koordinasi gerak, slurred speech, jalan
sempoyongan, letargi, reflex tertekan, retardasi psikomotor, tremor, kelemahan otot
menyeluruh, pandangan kabur atau diplopia, stupor atau koma, dan euforia.
Intoksikasi opioida ditandai oleh perubahan perilaku atau psikologis yang bermasalah
(seperti euforia awal yang diikuti oleh apati, disforia, agitasi atau retardasi psikomotor, atau
hendaya daya nilai) disertai konstriksi pupil (atau dilatasi pupil akibat anoksia dari overdosis
berat), dan satu atau lebih dari mengantuk atau koma, slurred speech, hedaya dalam
perhatian atau daya ingat.
Intoksikasi sedativa atau hipnotika ditandai oleh perubahan perilaku atau psikologis yang
maladaptif (seperti perilaku seksual atau agresif yang tak sesuai, kelabilan suasana
perasaan, atau hendaya daya nilai) disetai satu atau lebih dari slurred speech, gangguan
koordinasi gerak, jalan sempoyongan, nystagmus, hendaya dalam kognisi, atau stupor atau
koma.
57
[Type text]
1. Adanya bukti yang jelas bahwa penggunaan zat tersebut berhubungan dengan
dampak buruk (kerugian) fisis atau psikologis, termasuk hendaya daya nilai atau
perilaku disfungsional.
2. Sifat dari kerugian tersebut harus dapat diidentifikasi secara jelas (dan disebutkan).
3. Pola penggunaan telah menetap sesingkatnya satu bulan atau terjadi berulang dalam
periode 12-bulan.
4. Gangguan tersebut tidak memenuhi kriteria untuk gangguan mental atau perilaku
apapun terkait zat yang sama dalam periode waktu yang sama (kecuali untuk
intoksikasi akut).
1. Bukti yang jelas penghentian atau pengurangan baru dari penggunaan zat setelah
penggunaan berulang, dan biasanya berkepanjangan dan/atau dosis-tinggi dari zat
tersebut.
2. Gejala dan tanda sesuai dengan gambaran dari keadaan putus zat dari zat tersebut.
3. Tidak disebabkan oleh suatu gangguan medis yang tak berhubungan dengan
penggunaan zat, dan tidak disebabkan oleh gangguan mental atau perilaku lainnya.
Keadaan putus alkohol ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus zat
terpenuhi disertai adanya tiga dari sepuluh hal berikut: tremor (dari tangan yang
direntangkan, lidah, atau kelopak mata), berkeringat, mual atau muntah, takikardia atau
hipertensi, agitasi psikomotor, sakit kepala, insomnia, lesu atau kelemahan, halusinasi
atau ilusi (visual, taktil, atau auditori) yang hilang-timbul, dan kejang grand-mal.
Keadaan putus opioida ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus zat
terpenuhi disertai adanya tiga dari dua belas hal berikut: nagih obat opioida, rinorea
atau bersin-bersin, lakrimasi, nyeri atau kram otot, kram perut, mual atau muntah,
diare, dilatasi pupil, piloereksi atau menggigil berulang, takikardia atau hipertensi,
menguap, dan tidur gelisah.
dan berlangsung selama beberapa jam sampai dengan tujuh hari. Kriteria diagnostik
definitif belum ada.
Keadaan putus sedativa-hipnotika ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus
zat terpenuhi disertai adanya tiga dari sebelas hal berikut: tremor (dari tangan yang
direntangkan, lidah, atau kelopak mata), mual atau muntah, takikardia, hipotensi
postural, agitasi psikomotor, nyeri kepala, insomnia, lesu atau kelemahan, halusinasi
atau ilusi (visual, taktil, atau auditori) yang hilang-timbul, ide-ide paranoid, dan kejang
grand mal. Bila ada delirium, harus dibuat diagnosis keadaan putus sedatifa-hipnotika
dengan delirium.
Keadaan putus kokain ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus zat
terpenuhi; suasana perasaan disforik (contohnya kesedihan atau anhedonia); dan dua
dari enam gejala dan tanda berikut: letargi dan kelelahan, retardasi psikomotor atau
agitasi, nagih kokain, peningkatan nafsu makan, insomnia atau hipersomnia, dan mimpi
bizarre atau yang tak menyenangkan.
Keadaan putus stimulan selain kokain ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan
putus zat terpenuhi; suasana perasaan yang disforik (contohnya kesedihan atau
anhedonia); dan dua dari enam gejala dan tanda berikut: letrgi dan kelelahan, retardasi
psikomotor atau agitasi, nagih obat-obat stimulan, peningkatan nafsu makan, insomnia
atau hipersomnia, dan mimpi bizarre atau yang tidak menyenangkan.
Keadaan putus nikotin ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus zat
terpenuhi disertai dua dari sepuluh gejala dan tanda berikut: nagih tembakau (atau
produk yang mengandung nikotin lainnya), lesu atau kelemahan, kecemasan, suasana
perasaan yang disforik, mudah tersingggung atau gelisah, insomnia, peningkatan nafsu
makan, peningkatan batuk, ulserasi mulut, dan kesukaran berkonsenterasi.
Tenaga medis harus mampu mengenali tanda/gejala putus tiap-tiap zat. Keadaan putus
tembakau ditandai oleh empat atau lebih dari iritabel, frustrasi, atau amarah; kecemasan;
59
[Type text]
kesukaran berkonsetrasi; nafsu makan meningkat; gelisah; suasana perasaan tertekan; dan
insomnia.
Keadaan putus alkohol ditandai oleh dua atau lebih dari hiperaktivitas autonomik (seperti
berkeringat atau nadi >100/’); tremor tangan yang meningkat; insomnia; mual atau muntah;
halusinasi atau ilusi visual, taktil, atau auditori yang hilang-timbul; agitasi psikomotor;
kecemasan; dan kejang tonik-klonik menyeluruh. Gejala tersebut timbul dalam beberapa
jam sampai dengan beberapa hari setelah penghentian atau pengurangan pemakaian
alkohol.
Keadan putus kafein ditandai oleh tiga atau lebih dari sakit kepala; kelelahan atau kantuk
yang berat; suasana perasaan tertekan, suasana perasaan disforik, atau iritabel; kesukaran
berkonsentrasi; gejala-gejala seperti-flu (mual, muntah, atau nyeri/kaku otot). Gejala-gejala
tersebut timbul dalam 24 jam setelah penghentian mendadak atau pengurangan pemakaian
kafein. Keadaan putus stimulan lainnya ditandai oleh mood disforik disertai dua atau lebih
dari kelelahan; mimpi tak menyenangkan yang jelas; insomnia atau hypersomnia; nafsu
makan meningkat; atau retardasi atau agitasi psikomotor yang berkembang dalam beberapa
jam sampai dengan beberapa hari setelah penghentian atau pengurangan pemakaian.
Keadaan putus kanabis ditandai oleh tiga atau lebih dari iritabel, amarah, atau agresi;
nervousness atau anxiety; kesukaran tidur (seperti insomnia, mimpi-mimpi yang
mengganggu); nafsu makan atau berat badan menurun; gelisah; suasana perasaan tertekan;
dan satu dari gejala fisik berikut yang menyebabkan ketidaknyamanan bermakna: nyeri
perut, tremor/ shakiness, berkeringat, demam, menggigil, atau sakit kepala. Gejala-gejala
tersebut berkembang dalam waktu kira-kira satu minggu setelah penghentian pemakaian
kanabis.
Keadaan putus opioid ditandai oleh tiga atau lebih dari suasana perasaan disforik; mual atau
muntah; nyeri otot; lakrimasi atau rinorea; dilatasi pupil, piloereksi, atau berkeringat; diare;
menguap; demam; dan insomnia yang berkembang dalam hitungan menit sampai dengan
beberapa hari setelah penghentian atau pengurangan pemakaian opioid atau pemberian
antagonis opioid.
Keadaan putus sedatif atau hipnotika ditandai oleh dua atau lebih dari hiperaktivitas
autonomik (seperti berkeringat atau nadi >100/’); tremor tangan; insomnia; mual atau
muntah; halusinasi atau ilusi visual, taktil, atau auditori; agitasi psikomotor; kecemasan;
atau kejang grand mal yang berkembang dalam beberapa jam sampai dengan beberapa hari
setelah penghentian atau pengurangan pemakaian.
60
[Type text]
Tiga atau lebih manifestasi berikut harus timbul bersama selama sesingkatnya satu bulan
atau bila menetap untuk periode kurang dari satu bulan, manifestasi-manifestasi tersebut
timbul bersama secara berulang dalam periode 12-bulan:
Suatu pola penggunaan zat yang maladaptif, secara klinis mengarah pada gangguan atau
penderitaan yang signifikan, diperlihatkan dengan 3 atau lebih dari hal dibawah ini, muncul
kapanpun dalam periode 12 bulan.
61
[Type text]
a. Karakteristik sindrom putus zat (merujuk pada Kriteria Diagnosis Putus Zat
Spesifik A dan B).
b. Menggunakan zat yang sama (atau berhubungan dekat) untuk mengurangi
atau menghindari gejala putus zat
C. Zat sering digunakan dalam jumlah besar atau selama periode yang lebih lama dari
yang diharapkan
D. Terdapat suatu keinginan yang kuat atau upaya yang tidak berhasil untuk
mengurangi atau mengontrol penggunaan zat
E. Sejumlah besar waktu digunakan untuk aktivitas mencari zat (misalnya mengunjungi
berbagai dokter atau perjalanan jarak jauh), menggunakan zat, atau pulih dari efek
zatnya.
F. Aktivitas sosial, pekerjaan, atau rekreasional penting lain ditinggalkan atau dikurangi
karena penggunaan zat.
G. Penggunaan zat diteruskan walaupun telah mengetahui dirinya telah mempunyai
permasalahan fisik atau psikologik berulang atau menetap yang disebabkan atau
dieksaserbasi oleh zat (misalnya, terus menggunakan kokain walaupun mengetahui
kokain menyebabkan depresi atau terus minum alkohol walaupun mengetahui
bahwa luka lambungnya diperberat oleh konsumsi alkohol).
Kriteria diagnostik DCR-10 untuk keadaan putus zat dengan delirium adalah kriteria umum
untuk keadaan putus zat dan kriteria untuk delirium terpenuhi. Kriteria untuk delirium
adalah sebagai berikut:
62
[Type text]
3) mimpi yang mengganggu dan mimpi buruk yang bisa berlanjut sebagai
halusinasi ilusi setelah bangun;
E. awitan cepat dan fluktuasi gejala-gejala sepanjang hari; dan
F. bukti objektif dari riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik atau uji laboratorium
dari penyakit serebral atau sistemik yang mendasari yang dapat dianggap
bertanggung jawab untuk manifestasi A-D.
Kriteria diagnostik DCR-10 untuk gangguan psikotik akibat penggunaan zat psikoaktif
adalah sebagai berikut: awitan gejala-gejala psikotik berada dalam dua minggu masa
penggunaan zat; gejala-gejala psikotik tersebut menetap selama lebih dari 48 jam; dan
durasi gangguan tak lebih dari enam bulan.
Kriteria diagnostik DCR-10 untuk sindrom amnesik akibat penggunaan zat psikoaktif adalah
sebagai berikut: hendaya daya ingat yang termanifestasi dalam defek recent memory
(hendaya dalam mempelajari materi baru) sampai tingkat yang cukup berat untuk
mengganggu kehidupan sehari-hari dan penurunan kemampuan untuk mengingat
pengalaman-pengalaman lampau; tidak ada defek dalam mengingat segera (immediate
recall), kesadaran berkabut dan gangguan perhatian, dan penurunan intelektual secara
global; dan tidak ada bukti objektif dari pemeriksaan fisik dan neurologik, uji laboratorium
atau riwayat gangguan atau penyakit otak lain selain yang berhubungan dengan
penggunaan zat, yang dapat dianggap bertanggung jawab untuk manifestasi klinis tersebut.
Kriteria diagnostik DCR-10 untuk gangguan residual dan gangguan psikotik awitan-lambat
akibat penggunaan zat psikoaktif adalah sebagai berikut:
Klasifikasi PPDGJ III dan ICD-10 untuk gangguan jiwa akibat penggunaan narkotika
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif (F1x.xx)
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkohol (F10.xx)
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan opioida (F11.xx)
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kanabinoida (F12.xx)
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan sedativa atau hipnotika (F13.xx)
63
[Type text]
Formulir ini merupakan panduan wawancara terstruktur yang relatif singkat dan
merupakan adaptasi dari Addiction Severity Index (ASI). ASI merupakan instrumen yang
dirancang untuk mendapatkan informasi penting tentang aspek-aspek kehidupan klien yang
dapat memberi kontribusi pada penyalahgunaan zat. Dalam pelaksanaannya, penting sekali
diingat bahwa klien memahami tujuan dari wawancara. Wawancara ini merupakan langkah
64
[Type text]
pertama dalam upaya pemahaman secara holistik masalah klien. Pemahaman tersebut
bermanfaat dalam penyusunan rencana rehabilitasi medis yang sesuai dengan kebutuhan
klien.
1. Medis
2. Pekerjaan/Dukungan
3. Zat/Alkohol
4. Legal
5. Keluarga/Sosial
6. Psikiatris.
Penting juga pewawancara menekankan sifat alamiah dari kontribusi klien. Misalnya,
pewawancara harus menyatakan: “Kami telah memperhatikan bahwa ketika seorang klien
mempunyai masalah zat,ternyata banyak masalah lain yang signifikan seperti medis,
pekerjaan, keluarga, dll. Oleh karena itu, saya akan mengajukan beberapa pertanyaan yang
mungkin terkait dengan masalah penggunaan zat anda saat ini.....”
Untuk menstandarkan asesmen ini digunakan sebuah skala 5 poin (0-4) bagi klien
menilai keparahan masalah mereka dan sejauh mana mereka merasa terapi penting untuk
mereka.
Klarifikasi
Ketika klien tampak mengalami kesukaran dalam memahami pertanyaan lebih lanjut,
lebih baik wawancara tidak dilanjutkan. Tunda lanjutan wawancara tersebut sehari atau
lebih agar klien pulih dari kebingungan awal, yang mungkin merupakan efek disorientasi dari
penyalahgunaan zat akhir-akhir ini, dan dengan demikian akan terhindar dari tindakan
66
[Type text]
mencatat respons yang membingungkan. Demikian juga bagi klien yang dalam kondisi putus
zat atau intoksikasi.
Jika klien merasa tidak nyaman memberikan sebuah jawaban, maka klien boleh
menolak untuk menjawab. Beri tanda silang di depan nomor pertanyaan. ”Tolong jangan
memberikan informasi yang tidak akurat!”.
Penilaian tiap area didasarkan hanya pada jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan
dengan area tersebut, bukan jawaban tambahan yang berhubungan area lain. Untuk
meningkatkan keandalan dan perkiraan, pewawancara perlu mengembangkan sebuah
metode sistematis yang umum untuk memperkirakan keparahan dari tiap masalah.
Keparahan didefinisikan sebagai kebutuhan untuk terapi jika saat wawancara belum
menerima terapi apapun; atau sebagai kebutuhan untuk tambahan jenis terapi jika saat
wawancara sudah menerima terapi dalam bentuk apapun. Penilaian ini harus didasarkan
pada jumlah, lama, dan intensitas gejala di dalam satu area masalah.
Skor Interpretasi
Contoh kasus. Seorang klien dengan TB paru aktif yang mendapat penilaian keparahan 9
untuk area medis mengartikan bahwa terapi OAT (misalnya) memang sangat diperlukan.
67
[Type text]
Klien yang menunjukkan sedikit gejala penyakit dapat dinilai dengan taraf keparahan
masalah medis yang rendah. Penilaian keparahan yang sangat tinggi harus menjadi indikasi
yang berhubungan dengan kebutuhan tinggi untuk terapi.
Langkah 1 : Dapatkan sebuah rentang skor (dua poin) yang paling baik menggambarkan
kebutuhan klien akan terapi pada saat ini berdasarkan data obyektif saja
Langkah 2: Pilihlah satu poin di dalam rentang di atas menggunakan hanya data subyektif di
seksi itu.
Penting buat klien untuk memahami tujuan dilakukannya asesmen dalam wajib lapor
sehingga mendorong kesungguhan klien untuk menjawab tiap pertanyaan. Klien akan lebih
terbuka untuk menjawab pertanyaan jika pertanyaan diajukan dalam cara yang langsung
dan tidak konfrontasional. Pewawancara dapat hanya membaca pertanyaan seperti ditulis
atau dapat dengan cara yang lebih efektif menguraikan dengan kata-kata sendiri sehingga
memperoleh informasi yang diinginkan.
Pertanyaan Tambahan:
68
[Type text]
Pertanyaan tambahan adalah pertanyaan yang tidak muncul dalam formulir wajib lapor.
Pertanyaan tambahan mungkin memberikan informasi yang menolong untuk memahami
masalah klien sepenuhnya karena pertanyaan dalam formulir ini sangat minimal untuk
memulai sebuah rencana terapi. Kadang-kadang, menanyakan banyak pertanyaan
tambahan di bagian pertama dari seksi masalah menolong wawancara untuk mengalir lebih
alamiah.
1. InformasiDemografis :
1. Status perkawinan:
Cantumkan kode status perkawinannya pada kotak yang diarsir sebelah kanan, sesuai
kondisinya saat ini. Misalkan pasien menjadi sudah menikah, maka tulis angka 2 di
kotak yang diarsir sebelah kananya.
2. Riwayat pendidikan:
Cantumkan kode pendidikan terakhir yang pernah ditempuh pada kotak yang diarsir
sebelah kanan, sebagaimana pencatuman kode perkawinan di atas.
2. Status Medis :
Cantumkan kapan wawancara tentang status medis pasien dilakukan. Mohon diingat bahwa
wawancara mungkin saja dilakukan tidak bersamaan dengan tanggal kedatangan pasien.
1. Riwayat rawat inap yang tidak terkait masalah Narkotika:
Cantumkan jenis penyakit, tahun rawat dan lamanya perawatan (dalam hari).
Yang dimaksud disini adalah jumlah hari menginap di rumah sakit karena masalah medis,
misalnya karena penyakit typhus, demam berdarah, kecelakaan, atau perawatan medis
lainnya, termasuk over dosis dan delirium tremens. Tidak termasuk: detoksifikasi atau
bentuk lain terapi rehabilitasi alkohol dan napza; perawatan kejiwaan; atau perawatan
karena kelahiran anak secara normal (tanpa komplikasi)
Catatan: elaborasi jawaban pasien secara rinci, dengan menanyakan tahun ketika
perawatan terjadi, kejadian lain dalam kehidupan pasien pada waktu itu, untuk setiap
perawatan. Informasi tambahan membuat proses wawancara lebih mengalir sebagai
sebuah percakapan. Selain itu juga membantu kita melihat kemungkinan keterkaitan
masalah medis dengan waktu-waktu pemakaian Napzanya. Catatlah keterangan ini di
bagian yang kosong dari formulir tersebut.
2. Riwayat penyakit kronis:
Cantumkan penyakit kronis yang diderita pasien terutama yang memerlukan perawatan
berkesinambungan (misal: pengobatan, pengaturan diet, ketidakmampuan untuk
menjalankan kegiatan normal). Beberapa contoh dari penyakit kronis adalah: hipertensi,
diabetes, epilepsi, cacat fisik atau penderita HIV yang telah membutuhkan terapi Anti
Retroviral (ARV).
3. Saat ini sedang menjalani terapi medis? Catat kode jawaban pasien pada kotak yang
diarsir sebelah kanan pertanyaan.
Jenis terapi medis: Cantumkan bila pasien saat ini dalam program terapi tertentu, terkait
kondisi medis apa dan jenis terapi medis yang dijalani saat ini, misalnya pengobatan
insulin karena kondisi diabetis.
4. Status kesehatan:
Tanyakan apakah pasien pernah menjalankan tes HIV, Hepatitis B dan C? Tulis kode
jawaban pada kotak yang diarsir sebelah kanan pertanyaan. Apabila pasien tidak
keberatan, tanyakan bagaimana hasilnya.
70
[Type text]
Yang dimaksud dukungan hidup adalah pemberian uang, tempat tinggal, makanan, biaya
pengobatan/perawatan secara teratur dari berbagai sumber, kecuali institusi (mis. yayasan).
Catatan: Pasien yang tinggal dengan orang tua diatas usia 18 tahun, dianggap juga
menerima dukungan hidup, setidaknya dari segi tempat tinggal dan/atau makanan).
71
[Type text]
Kategori Holingstead
Zat-zat lain yang juga disalahgunakan di Indonesia adalah dekstrometrofan, triheksifenidil (THP),
gama-hidroksibutirit asid (GHB), ketamin, dan beberapa zat lain yang tidak dapat digolongkan pada
jenis zat-zat di atas, karena lebih sebagai prekursor (bahan dasar). Apabila klien menggunakan zat-
zat yang tidak dapat digolongkan pada golongan besar di atas, silakan ditulis pada bagian yang
kosong di sekitar domain riwayat penggunaan NAPZA.
72
[Type text]
73
[Type text]
5. Status Legal :
Berapa kali kah dalam hidup anda ditangkap dan dituntut dengan hal berikut
Catatlah jumlah penangkapan dengan tuduhan resmi (tidak selalu harus berakibat pemenjaraan)
yangdialami pasien sepanjang hidupnya, untuk masing-masing jenis tindakan yang tertera pada
nomor 1 hingga 14.
Misalkan, pasien mengalami penangkapan karena pemalsuan resep sebanyak 10 kali sepanjang
hidupnya. Maka, tuliskan dalam format dua digit pada kotak di sebelah kanannya
Catatan: Jangan masukkan kejahatan remaja (sebelum usia 18), kecuali jika pengadilan mengadili
pasien sebagai orang dewasa, yang terjadi dalam kasus kejahatan yang sangat serius.
15. Berapa kali tuntutan di atas berakibat vonis hukuman?
Catatlah berapa kali penangkapan dan penuntutan pada poin 1 – 14 berakibat pada vonis
hukuman. Dalam hal ini termasuk denda, masa percobaan, penundaan hukuman dan juga hukuman
yang memerlukan penahanan. Tuntutan untuk pembebasan bersyarat dan/atau pelanggaran masa
percobaan dianggap vonis hukuman.
74
[Type text]
6. Riwayat Keluarga :
1. Dalam situasi seperti apakah anda tinggal 3 tahun belakangan?
Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan. Pilihan menggambarkan dalam
situasi apa pasien hidup selama 3 tahun terakhir. Bila terdapat berbagai situasi, pilihlah yang paling
mewakili periode 3 tahun terakhir. Jika jumlah waktu atas masing-masing situasi kurang lebih sama,
pilihlah situasi yang paling terakhir.
2. Apakah anda hidup dengan seseorang yang mempunyai masalah penyalahgunaan zat
sekarang ini?
Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan. Apabila jawabannya tidak,
dapat langsung bertanya pertanyaan nomor 4.
3. Jika ya, siapakah mereka?
Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan.
Catatan: perjelas hubungan pasien dengan orang yang menggunakan zat
(ayah/ibu,abang/kakak/adik, suami/istri/pasangan, keluarga,lainnya)
Sepanjang hidup:
Tanyakan apakah pasien sebelumnya mengalami konflik dengan pihak-pihak yang tertera pada
pilihan no 1 sampai 9, sepanjang hidupnya. Bila pasien menjawab ya untuk 30 hari terakhir, tidak
berarti otomatis ia mengalami konflik yang sama sepanjang hidupnya. Atau sebaliknya, apabila ia
mengalami konflik sepanjang hidupnya, belum tentu ia mengalaminya dalam 30 hari terakhir.
75
[Type text]
7. Status Psikiatris :
Apakah anda pernah mengalami hal-hal berikut ini (yang tidak merupakan akibat langsung
dari penggunaan zat):
1 – 9 : Tulislah kode 1 untuk ya dan kode 0 untuk tidak pada kolom waktu berikut ini:
30 hari terakhir:
Tanyakan apakah pasien mengalami kondisi yang tertera pada pilihan no 1 sampai 9, dalam 30
hari terakhir atau sebulan terakhir.
Sepanjang hidup:
Tanyakan apakah pasien sebelumnya mengalami kondisi yang tertera pada pilihan no 1 sampai 9,
sepanjang hidupnya. Bila pasien menjawab ya untuk 30 hari terakhir, tidak berarti otomatis ia
mengalami situasi tersebut sepanjang hidupnya. Atau sebaliknya, apabila ia mengalami situasi
tertentu sepanjang hidupnya, belum tentu ia mengalaminya dalam 30 hari terakhir.
Pemeriksaan Fisik :
Tuliskan kondisi fisik pasien (tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu) sesuai pemeriksaan yang
dilakukan.
Untuk pemeriksaan sistemik, terdiri dari
a. Sistem pencernaan : inspeksi bentuk abdomen, ada luka atau skar; palpasi perbagaan otot
perut, hati, limpa, adanya massa, asites; auskultasi bunyi usus
b. Sistem Jantung dan Pembuluh Darah :inspeksi bentuk thorax, kemungkinan adanya tanda
sianosis; palpasi daerah precortex; auskultasi frekuensi denyut jantung.
c. Sistem Pernapasan: inspeksi bentuk thorax, jenis pernapasan, retraksi iga; palpasi krepitasi;
perkusi; auskultasi suara napas
d. Sistem Saraf Pusat: tes sensorik rangsang nyeri atau panas ekstremitas atas dan bawah; tes
motorik ada tidaknya parese atau plegia; tes keseimbangan.
e. THT dan Kulit: apakah ada penurunan pendengaran, cairan telinga, membran timpani utuh /
tidak; bagaimana kondisi hidung; kondisi tenggorokan; kondisi kulit apakah ada rash, erupsi,
skar, tato, atau kelainan kulit lain.
Hasil Urinalisis:
Melalui prosedur skrining, tuliskan hasil urinalisis untuk masing-masing jenis zat yang diperiksa dengan
kode 1 untuk hasil positif dan kode 0 untuk hasil negatif pada kotak yang diarsir sebelah kanan.
76
Kesimpulan:
Buatlah kesimpulan tentang pasien untuk masing-masing domain yang ada dengan mempertimbangkan
hasil asesmen dan pendapat subyektif pasien dalam skala penilaian.
Penilaian dapat berkisar pada satu hingga tiga nilai, bergantung pada pertimbangan pewawancara:
0-1: Tidak ada masalah yang berarti, pasien tidak membutuhkan intervensi / bantuan
2-3: Ada sedikit masalah, tetapi intervensi / bantuan tidak terlalu penting
4-5: Masalah tergolong sedang, dibutuhkan beberapa intervensi
6-7: Masalah serius, dibutuhkan intervensi / terapi / bantuan
8-9: Masalah sangat serius, pasien sangat membutuhkan intervensi / terapi /
77
MATERI INTI 3
PENATALAKSANAAN TERAPI DAN REHABILITASI
I. Deskripsi Singkat
78
intervensi psikososial yang lebih beragam atau lengkap (seperti terapi kognitif perilaku, terapi
kelompok, dan terapi keluarga). Pemahaman mengenai hal ini penting sebagai pertimbangan
dalam memberikan terapi dan rehabilitasi bagi penderita gangguan pemakaian narkotika.
Pemberian terapi dan rehabilitasi bagi gangguan pemakaian narkotika juga dipengaruhi oleh
program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Belum ada kejelasan mengenai penggantian biaya
perawatan dan pengobatan bagi penderita gangguan pemakaian narkotika.
Modul ini diharapkan menjadi acuan bagi penerima wajib lapor pecandu narkotika pada
institusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk dapat melakukan penatalaksanaan terapi
dan rehabilitasi sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan yang dimiliki.
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu melakukan penatalaksanaan terapi dan
rehabilitasi ketergantungan narkotika sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan yang
dimiliki ketergantungan narkotika.
79
IV. Uraian Materi
Tujuan terapi
80
detoksifikasi tersedia bagi kasus ketergantungan alkohol, opioid, dan sedatif, tetapi tidak
tersedia bagi kasus gangguan pemakaian zat yang lain. Dengan demikian, perlu
dipertimbangkan beberapa konsep berikut untuk memudahkan pemilihan terapi dan
rehabilitasi bagi masalah pemakaian zat.
1. Tidak ada satu bentuk terapi yang sesuai untuk semua individu. Masing-masing pasien
ketergantungan narkotika memerlukan jenis terapi yang sesuai dengan kebutuhannya.
2. Kebutuhan guna mendapatkan terapi harus selalu tersedia sepanjang waktu, karena
pasien ketergantungan narkotika tidak mempunyai pendirian yang stabil.
3. Terapi yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan individu, tidak hanya
semata-mata karena kebutuhan menggunakan narkotika.
4. Rencana pelayanan dan terapi seorang individu harus dinilai secara kontinyu dan
sewaktu-waktu perlu dimodifikasi guna memastikan bahwa rencana terapi telah sesuai
dengan perubahan kebutuhan orang tersebut.
5. Mempertahankan pasien dalam periode terapi yang adekuat merupakan sesuatu yang
penting guna menilai apakah terapi efektif atau tidak
6. Konseling dan terapi perilaku merupakan komponen kritis sebagai bagian penting terapi
ketergantungan narkotika
7. Medikasi merupakan elemen penting pada terapi kebanyakan pasien ketergantungan
narkotika
8. Seorang pasien ketergantungan narkotika yang secara bersama-sama juga menderita
gangguan mental harus mendapatkan terapi untuk kedua-duanya secara integratif
9. Detoksifikasi hanya merupakan taraf permulaan terapi ketergantungan narkotika dan
kalau dianggap sebagai satu-satunya cara maka hanya mendatangkan sedikit keberhasilan
terapi.
10. Terapi yang dilakukan secara sukarela tidak menjamin menghasilkan suatu bentuk terapi
yang efektif
11. Kemungkinan penggunaan narkotika kembali selama terapi berlangsung harus dimonitor
secara berkesinambungan
12. Program terapi harus menyediakan assesment untuk HIVAIDS, Hepatitis B dan C,
Tuberkulosis dan penyakit infeksi lain serta harus dilakukan konseling untuk membantu
pasien ketergantungan narkotika memodifikasi atau merubah tingkah lakunya, agar tidak
menyebabkan dirinya atau diri orang lain pada posisi yang berisiko mendapatkan infeksi.
13. Pemulihan dari ketergantungan narkotika merupakan proses jangka panjang dan sering
membutuhkan episode terapi berulang-ulang
81
Pokok bahasan 2: berbagai jenis modalitas terapi bagi pasien ketergantungan
narkotika
Terapi dan rehabilitasi medis rawat jalan meliputi intervensi medis dan intervensi psikososial,
yang masing-masing meliputi:
1. Intervensi medis:
a. Program detoksifikasi
b. Terapi simtomatik
c. Terapi rumatan
d. Terapi kondisi medis penyulit/penyerta
2. Intervensi psikososial, antara lain:
a. Psikoterapi (terapi kognitif dan perilaku, terapi dinamik, dan sebagainya)
b. Konseling (konseling adiksi, konseling pasangan/pernikahan, dan lain-lain)
Terapi dan rehabilitasi medis rawat inap meliputi semua jenis terapi dan rehabilitasi yang bisa
diberikan melalui rawat jalan ditambah rehabilitasi dengan pendekatan filosofis, antara lain
Komunitas Terapeutik (Therapeutic Community, TC), 12-Langkah, dan yang sudah teruji secara
ilmiah lainnya. Selain itu, intervensi medis didalam terapi dan rehabilitasi medis rawat inap juga
diperuntukan bagi situasi kegawatdaruratan medis.
Program detoksifikasi
Program detoksifikasi merupakan intervensi medik jangka pendek yang biasanya merupakan
terapi awal suatu ketergantungan zat.
82
Tujuan terapi detoksifikasi:
mengurangi, meringankan, atau meredakan keparahan gejala-gejala putus zat
mengurangi keinginan, tuntutan dan kebutuhan pasien untuk “mengobati dirinya
sendiri” dengan menggunakan zat-zat illegal
mempersiapkan untuk proses terapi lanjutan yang dikaitkan dengan modalitas terapi
lainnya, seperti: therapeutic community, berbagai jenis terapi rumatan atau terapi lain
menentukan dan memeriksa komplikasi fisik dan mental, serta mempersiapkan
perencanaan terapi jangka panjang
Terapi simtomatik
Tidak semua masalah terkait-zat memerlukan detoksifikasi dengan intervensi medis. Bila
detoksifikasi menjadi pilihan, belum tentu program tersebut dapat langsung diberikan. Pada
situasi dimana detoksifikasi tidak menjadi pilihan atau tidak memungkinkan dijadikan prioritas
utama, biasanya dokter memberikan intervensi medis (terapi) berdasarkan gejala yang
menonjol. Gejala tersebut bisa merupakan bagian dari kedaruratan medik dan psikiatrik yang
terjadi akibat ketergantungan narkotika, misalnya gajala depresif dan gejala psikotik.
Termasuk kedaruratan medik yang terjadi akibat penggunaan narkotika dan zat adiktif lain
adalah:
Intoksikasi akut
Keadaan putus zat
Keadaan putus zat dengan delirium
Gangguan psikotik
Gaduh gelisah
Gangguan cemas/panik
Depresi berat dan percobaan bunuh diri
Intoksikasi akut
Kondisi intoksikasi akut seringkali disebut secara tidak tepat dengan overdosis oleh masyarakat.
Gejala intoksikasi akut bergantung pada zat yang dipakai. Tenaga medis harus mengenali gejala
intoksikasi akut dari tiap-tiap zat untuk dapat mendiagnosis secara tepat dan menentukan
terapi yang sesuai. Intoksikasi narkotika dan zat adiktif dapat membahayakan karena dapat
83
terjadi agresivitas, impulsivitas, agitatif kecuali intoksikasi akut tembakau yang jarang terjadi.
Intoksikasi akut kokain, amfertamin, dan beberapa jenis halusinogen dapat menyebabkan
kejang, tekanan darah naik, gangguan irama jantung, hipertermia, dehidrasi. Secara umum,
intoksikasi akut dapat dikategorikan kondisi medik sedang, kecuali intoksikasi tembakau
termasuk kondisi medik ringan. Pada intoksikasi kafein terjadi gangguan irama jantung, agitasi
Pada intoksikasi PCP dapat terjadi kejang. Pasien dengan intoksikasi akut sebaiknya dirawat
inap. Tujuan utama terapi pada kondisi ini adalah menjaga sistem kardiovaskuler dan respirasi
tetap berfungsi normal. Tujuan selanjutnya adalah untuk menghambat progresivitas
perburukan kondisi atau menghindari gejala yang lebih berat dan lebih sukar ditangani, seperti
kejang, dan memulihkan fungsi organobiologik, seperti kesadaran. Untuk intoksikasi akut opioid
dapat diberikan antagonis opioid yaitu naloxone. Untuk intoksikasi akut benzodiazepin dapat
diberikan flumazenil.
Gangguan psikotik
Gejala psikotik yang muncul pada waktu atau dalam waktu dua minggu penggunaan narkotika/
zat adiktif lain, berlangsung paling sedikit 48 jam dan lamanya tidak lebih dari 6 bulan. Gejala
psikotik merupakan sekelompok gejala yang menandakan bahwa pasien tak mampu
membedakan antara realita dan nonrealita, seperti ketidaksesuaian afek, halusinasi, dan
waham. Bila disertai agresivitas harus dirawat inap. Obat yang dapat diberikan adalah golongan
84
antipsikotik, disarankan yang atipikal (seperti risperidone, olanzapine, dan aripiprazole). Contoh
antipsikotik tipikal antara lain haloperidol, chlorpromazine, dan trifluoperazine.
Gaduh-gelisah
Pasien gaduh-gelisah harus dirawat inap karena kemungkinan akan mengganggu ketertiban
umum. Obat yang dapat diberikan adalah dari golongan major tranqulizer (antipsikotik),
terutama yang atipikal. Mengingat kondisi pasien yang gaduh-gelisah, pertimbangkan rute
pemberian yang sesuai.
Gangguan cemas/panik
Ganguan cemas/panik pada umumnya tidak memerlukan rawat inap. Obat yang dapat
diberikan antara lain golongan benzodiazepin (seperti alprazolam dan lorazepam) dan golongan
antipsikotik tipikal dosis rendah (seperti haloperidol 0,5 mg dan trifluoperazine 1 mg).
Pertimbangkan ulang untuk pemberian golongan benzodiazepin, khususnya yang potensi kuat/
tinggi. Mengingat risiko toleransi dari obat-obat golongan itu, pastikan bahwa pemberiannya
akan memberikan manfaat yang lebih tinggi daripada efek yang tak diinginkan.
Terapi Rumatan
Terapi rumatan merupakan terapi yang menggunakan zat agonis, baik penuh maupun parsial,
atau zat antagonis yang biasanya diberikan setelah pasien melalui proses detoksifikasi. Terapi
ini bertujuan untuk mencegah relaps, yakni kembali kepada pemakaian zat yang tak terkendali
dan membahayakan diri serta menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan. Terapi rumatan
85
tersedia untuk beberapa zat yang sangat terbatas, seperti opioid dan tembakau. Obat yang
dipakai dalam terapi rumatan opioid adalah metadona (agonis penuh) dan buprenorfin (agonis
parsial), serta nalokson dan naltrekson (antagonis).
Sejak tahun 1960-an metadona merupakan terapi baku untuk pasien-pasien ketergantungan
opioida di Amerika dan Eropa. Salah satu kelemahan metadona adalah risiko overdosis sejalan
dengan meningkatnya besar dosis yang berakibat fatal. Buprenorfin dimanfaatkan sebagai
terapi rumatan karena pada dosis tinggi buprenorfin bersifat antagonis, dengan demikian relatif
lebih aman daripada metadona. Dalam pelaksanaannya, terapi rumatan buprenorfin
bermasalah dikarenakan penyalahgunaan buprenorfin dengan cara disuntikkan sehingga
berisiko menimbulkan dampak buruk penularan penyakit. Dalam perkembangannya,
buprenorfin dikombinasi dengan naltrekson untuk mengatasi masalah tersebut. Jika kombinasi
tersebut disalahguna dengan cara disuntikkan maka naltrekson akan bekerja lebih dulu
sehingga akan timbul gejala putus opioid. Terapi rumatan dengan nalokson, yang dikenal
dengan istilah Opiate Antagonist Maintenance Therapy, harus diberikan bersama dengan
konseling. Untuk tembakau tersedia varenicline. Di Indonesia tersedia program terapi rumatan
metadon (yang dikelola oleh pemerintah pusat) dan terapi rumatan buprenorfin-naltrekson
untuk ketergantungan opioid, dan terapi varenicline untuk ketergantungan tembakau.
Gangguan penggunaan narkotika pada pasien jarang ditemukan berdiri sendiri melainkan
terdapat bersama dengan gangguan lain (lihat MATERI INTI 2, Pokok Bahasan IV.B). Kondisi
medis penyulit atau yang menyertai masalah penggunaan narkotika bisa dikelompokkan
menjadi masalah organobiologik (kondisi medis umum) dan masalah psikologik/psikiatrik.
Penggunaan narkotika dengan cara suntik dapat membuat seseorang tertular penyakit penyulit
(komplikasi) seperti HIV/AIDS, Infeksi Menular Seksual (IMS), hepatitis B atau C, dan lain-lain.
Sesuai dengan konsep dasar proses terapi, program terapi harus menyediakan asesmen untuk
HIV/AIDS, Hepatitis B dan C, Tuberkulosis, dan penyakit infeksi lain dan harus melakukan
konseling untuk membantu pasien ketergantungan narkotika memodifikasi atau merubah
tingkah lakunya, agar tidak menyebabkan dirinya atau diri orang lain pada posisi yang berisiko
mendapatkan infeksi. Obat yang dapat diberikan bergantung pada diagnosis KMU.
Pertimbangkan interaksi antara obat yang diberikan dan zat yang dipakai serta efek dari
interaksi tersebut.
86
Masalah psikiatrik yang menyertai masalah penggunaan narkotika sering disebut juga dengan
dual diagnosis. Dual diagnosis adalah istilah klinis untuk kasus ketergantungan narkotika yang
didapati bersama dengan gangguan psikiatrik lainnya. Pasien-pasien dengan kombinasi
ketergantungan narkotika dan gangguan psikiatri membutuhkan terapi khusus yang bertujuan
untuk mempersiapkan dirinya dalam program pemulihan yang sesuai dan adekuat. Obat yang
dapat diberikan bergantung pada diagnosis (lihat “Terapi simtomatik” di atas). Mengingat
keterbatasan sumber daya layanan kesehatan primer, sangat disarankan untuk merujuk setiap
kasus dual diagnosis kepada psikiater atau fasilitas yang lebih mumpuni.
Terapi dan rehabilitasi medis rawat inap bagi pengguna narkotika meliputi:
1. Program berbasis-rumah sakit
2. Program berbasis-komunitas
Program terapi dan rehabilitasi medis berbasis-rumah sakit dibedakan berdasarkan jenis rumah
sakit, meliputi:
Sebagai contoh, Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta mempunyai fasilitas IGD,
unit rawat inap detoksifikasi, unit rawat inap untuk rehabilitasi, unit pasien dengan
diagnosis ganda, dan terapi rumatan metadon.
87
Program terapi dan rehabilitasi berbasis-komunitas dilaksanakan di fasilitas rehabilitasi yang
diselenggarakan oleh masyarakat, seperti TC dan 12-langkah. Program-program tersebut
biasanya dilaksanakan dalam bentuk yang murni, tanpa intervensi medis (yang membedakan
dengan yang dilaksanakan di rumah sakit).
Harm reduction adalah suatu kebijakan atau program yang ditujukan untuk menurunkan
konsekuensi kesehatan, sosial dan ekonomi yang merugikan sebagai akibat penggunaan
narkotika tanpa kewajiban abstinensia dari penggunaan narkotika.
88
Rencana terapi merupakan salah satu bekal untuk berhasilnya suatu terapi. Rencana terapi dibuat
berdasarkan hasil asesmen komprehensif yang sesuai dengan kondisi pecandu narkotika
dengan jenis gangguan penggunaan narkotika dan kebutuhan pecandu narkotika, yang meliputi
antara lain pelayanan detoksifikasi, pelayanan rehabilitasi, dan pelayanan rawat jalan rumatan.
Rencana terapi disusun dengan mempertimbangkan hasil pemeriksaan awal dan diagnosis yang
diperoleh berdasarkan hasil asesmen. Salah satu model yang bisa digunakan dalam rencana
terapi bagi pecandu narkotika adalah dengan melihat tahapan perubahan perilaku sesuai
dengan teori Prochaska dan DiClemente (1986) dan Davidson, dkk (1991). Selanjutnya, rencana
terapi yang telah disusun tersebut harus disepakati oleh pecandu narkotika; orang tua, wali,
atau keluarga pecandu narkotika; dan pimpinan institusi penerima wajib lapor.
Tidak semua institusi wajib lapor memiliki modalitas terapi yang lengkap. Pada layanan yang
tidak tersedia perawatan khusus maka petugas tersebut wajib untuk melakukan rujukan ke
tempat lain sesuai dengan kebutuhan pecandu narkotika tersebut.
Melalui program wajib lapor, pecandu narkotika diharapkan setidaknya memperoleh konseling
dasar terkait perilaku ketergantungan narkotikanya. Melalui program ini juga diharapkan
pecandu narkotika memperoleh informasi yang diperlukan untuk meminimalisasi risiko yang
dihadapinya dan memperoleh rujukan untuk perawatan lanjutan yang sesuai dengan kondisi
dan kebutuhan yang bersangkutan. Melalui program ini pula pecandu narkotika mendapatkan
pengobatan dan atau perawatan melalui rehablitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Rehabilitasi medis dapat dilaksanakan melalui rawat jalan dan/atau rawat inap sesuai dengan
rencana terapi yang telah disusun. Rehabilitasi rawat inap dimulai dengan program rawat inap
selama 3 (tiga) bulan untuk kepentingan asesmen lanjutan, serta penatalaksanaan medis untuk
gangguan fisik dan mentalnya. Pelaksanaan rehabilitasi dilanjutkan dengan program rawat inap
jangka panjang atau dialihkan ke program rawat jalan. Pelaksanaan rehabilitasi lanjutan dengan
program rawat jalan hanya dapat dilaksanakan untuk terpidana dengan pola penggunaan
rekreasional atas jenis narkotika amfetamin, ganja dan benzodiazepin, dan/atau berusia di
bawah 18 tahun. Pelaksanaan rehabilitasi lanjutan yang dilakukan dengan rawat jalan
mewajibkan pecandu narkotika untuk datang pada lembaga rehabilitasi sesuai ketentuan yang
berlaku dan dilakukan pemeriksaan urin sewaktu-waktu.
Sesuai dengan konsep dasar proses terapi, rencana terapi seorang pecandu narkotika harus
dinilai secara berkesinambungan dan dapat dimodifikasi sewaktu-waktu bila perlu, untuk
memastikan kesesuaian antara rencana terapi dan perubahan kebutuhan orang tersebut.
89
DAFTAR PUSTAKA
90
MATERI INTI 4
KONSELING DASAR ADIKSI NAPZA
I. Deskripsi Singkat
Masalah adiksi NAPZA melibatkan aspek biologik, psikologik, dan sosial. Oleh karena itu
dalam penatalaksanaannya harus bersifat komprehensif dengan memberikan intervensi
biologik (farmakoterapi) dan intervensi psikososial. Konseling merupakan salah satu jenis
intervensi psikososial. Konseling merupakan suatu dialog interaktif antara terapis dan klien yang
berdasarkan pada hubungan kolaborasi antara konselor dan klien yang membantu klien untuk
menyadari adanya masalah dalam perilaku penggunaan NAPZA. Konseling melibatkan berbagai
keterampilan konselor, teknik mengajar, dan dukungan emosional yang membantu seseorang
menuju kemandiriannya, mengembangkan keterampilan dalam menghadapi masalah,
mengembangkan fungsi sosial, dan menjadi pengambil keputusan yang baik. Untuk mampu
memberikan konseling secara profesional, terapis harus mengetahui prinsip dasar konseling
dan penerapannya.
91
IV. Uraian Materi
Konseling merupakan bagian yang sangat penting dalam tata laksana gangguan penggunaan
NAPZA (GPN) karena terdapat hubungan yang bermakna antara konseling dan perubahan
perilaku positif pada orang dengan gangguan penggunaan NAPZA. Ada banyak jenis konseling
yang dapat diterapkan pada klien dengan GPN, seperti misalnya konseling individual, pasangan,
keluarga, marital, vokasional, dan lainnya. Salah satu yang mendasar adalah konseling gangguan
penggunaan NAPZA yang lebih dikenal sebagai konseling adiksi NAPZA. Prinsip dasar konseling
ini sama dengan prinsip dasar konseling secara umum. Yang berbeda adalah fokus masalah
yang diangkat pada umumnya berkisar pada masalah gangguan penggunaan NAPZA.
1. Membantu kemampuan klien untuk mengambil keputusan yang bijaksana dan realistik.
2. Menuntun perilaku klien agar mampu mengemban konsekuensinya.
3. Memberikan informasi dan edukasi.
Hasil konseling sangat bergantung pada hubungan antara klien dengan konselor, sedangkan
hubungan antara konselor dan klien akan bergantung pada situasi dan kenyamanan yang
dirasakan oleh klien. Dengan demikian, penting bagi konselor untuk menciptakan situasi yang
sedemikian rupa dan membuat klien merasa nyaman untuk mendapatkan hasil konseling yang
optimal. Hubungan antara konselor dan klien bersifat terapeutik yang mampu memfasilitasi
suatu perubahan perilaku. Konselor seharusnya memfasilitasi kliennya untuk mengidentifikasi
masalah diri klien, potensi yang dimiliki klien, alternatif jalan keluar, dan strategi perilaku yang
perlu klien tampilkan.
Membangun hubungan baik dalam konteks konseling membutuhkan karakter khusus, yaitu:
1. Bersikap hangat: ramah, menjabat tangan (sesuai konteks), menyambut klien secara wajar,
mempersilakan duduk, senyum dan bersahabat
92
2. Mampu menjadi pendengar yang baik: mendengarkan apa yang dikatakan klien, baik secara
verbal maupun nonverbal, memberi penguat bicara, tidak menyela perkataan klien kecuali
memang diperlukan.
3. Mampu memahami apa yang dirasakan klien (berempati): konselor mencoba merasakan apa
yang dirasakan klien. Menerima perasaan klien yang subyektif yang ditunjukkan dengan
ekspresi wajah, respons verbal maupun bahasa tubuh konselor yang adekuat.
4. Tidak bersikap menghakimi (judgmental): tidak mengambil kesimpulan secara cepat atas
apapun yang diutarakan atau ditampilkan klien, menghargai klien dengan segala atribut yang
ada padanya.
5. Bertanggung jawab: konselor mematuhi janji pertemuan, memberitahu klien apabila
berhalangan, melakukan pencatatan dan menyimpan segenap informasi yang diperoleh
dengan baik sesuai aturan yang berlaku.
6. Tulus: konselor bersikap terbuka dan sungguh-sungguh dalam membantu klien. Tidak
didasari oleh agenda lain selain keinginan untuk menolong atau memfasilitasi perubahan
pada diri klien.
7. Fleksibel: konseling tidak bisa dijalankan secara kaku. Topik-topik yang telah direncanakan
konselor berdasarkan identifikasi yang sebelumnya dilakukan dapat berubah sewaktu-waktu
seiring dengan berjalannya proses konseling.
Hubungan baik konselor-klien harus dipertahankan dalam konteks hubungan profesional agar
fungsi konseling tetap berjalan secara optimal. Ruang lingkup batasan hubungan konselor-klien
meliputi:
Memberikan aturan tentang peran konselor
Menetapkan batasan perilaku: hindari hubungan ganda (dual relationship), baik dari sisi:
o Sosial: misalnya, menjalin hubungan asmara, menganggap klien sebagai anak
o Finansial: misalnya, meminjam atau memberikan uang, membuat bisnis bersama
klien, dan sebagainya.
Dalam situasi dimana hubungan ganda tidak dapat dihindari, upayakan untuk
meminimalisasi keterlibatan konselor. Misalnya, sudah terlanjur berbisnis bersama,
upayakan agar mengalihkan pelaksanaan bisnis tersebut pada orang lain.
Mengklarifikasi berbagai harapan
Melindungi konselor, klien, dan mitra kerja lainnya
Psikolog James O. Prochaska, John C. Norcross dan Carlo C. DiClemente menulis dan meneliti
tentang bagaimana orang berubah selama lebih dari 20 tahun. Mereka mengembangkan
sebuah model dari proses perubahan. Kesiapan untuk berubah dan dinamik dari tahap-tahap
93
perubahan dikembangkan oleh Prochaska, Norcross, dan Diclemente (1994); Mereka
mengidentifikasi enam tahap perubahan: precontemplation, contemplation, preparation,
action, maintenance, dan recycling dan relapse. Konselor tidak hanya perlu untuk memahami
tahap kesiapan, tapi harus mengetahui bagaimana berespons secara tepat untuk memfasilitasi
individu bergerak ke sebuah tahap kesiapan yang lebih tinggi. Tahap perubahan dapat
dideskripsikan dalam model diagram dibawah ini:
Relaps Pre-
e contemplation
Maintenance Contemplation
Determination/
Action
Preparation
94
Tugas konselor menghadapi klien di tahap pra-perenungan:
1. memberi informasi tentang efek ketergantungan NAPZA, bahaya yang berhubungan
dengan ketergantungan NAPZA.
2. membangkitkan keinginan klien untuk sebuah gaya hidup yang berbeda, mengidentifikasi
hambatan untuk pemulihan, dan membantu klien untuk mengidentifikasi cara untuk
meningkatkan harga diri (self esteem).
95
pemulihan. Pada tahap ini, klien dapat bekerjasama dengan konselor untuk mengevaluasi,
merencanakan, dan mengimplementasikan sebuah rencana konseling. Tugas utama konselor
adalah mendukung usaha-usaha perubahan dan menguatkan komitmen dan keterlibatan
klien. Sebuah pertanyaan mendasar untuk diajukan pada tahap ini adalah, “Apakah yang
akan anda lakukan?” Selama tahap aksi, dapat terjadi kekambuhan, namun hal tersebut
biasa terjadi.
Wawancara motivasional
Miller dan Rollnick (1991) mengembangkan suatu teknik wawancara motivasional yang secara
umum digunakan untuk asesmen penyalahgunaan NAPZA. Proses wawancara motivasional
dilakukan dengan pendekatan client-centered yang bertujuan untuk membantu seseorang
menggali dan mengatasi ambivalensi penggunaan Napzanya.
Dasar dari wawancara motivasional adalah memahami tahapan perubahan perilaku pada klien
dan kapan serta bagaimana mereka masuk ketahapan perubahan selanjutnya. Wawancara
motivasional ini sangat berguna pada tahap perubahan prekontemplasi dan kontemplasi,
walaupun begitu dapat pula diterapkan pada setiap tahap perubahan perilaku.
Tujuan dari wawancara motivasional adalah untuk menggali pandangan klien menghadapi
permasalahannya, menyokong perubahan dengan menghindari label, menyatakan bahwa yang
bertanggung-jawab untuk target terapi dan pembuat keputusan terletak pada klien.
1. Mengekspresikan empati
Suatu gambaran bahwa konselor menerima klien apa adanya, dapat memahami klien
dengan permasalahannya, tidak memberikan suatu label kepada klien (misal: alkoholik,
jungkie, dll).
3. Menghindari argumentasi
Menerima ambivalensi klien sebagai sesuatu yang wajar / normal. Ambivalensi dan
kesenjangan yang muncul dapat menimbulkan perdebatan yang tidak nyaman bagi klien.
Jangan menyerang klien atas penggunaan NAPZA dan permasalahannya, tetapi gali
97
pengetahuan klien tentang risiko terkait perilakunya dan bantu klien memahami secara
akurat konsekuensi negatif dari penggunaan Napzanya.
5. Ketrampilan khusus
Ketrampilan ini bertujuan untuk mendorong klien mau berbicara, menggali ambivalensi
dan menjelaskan alasan mereka untuk mengurangi atau berhenti dari penggunaan NAPZA-
nya.
a. OARS
Open ended questions (pertanyaan terbuka)
Affirmations (penegasan)
Reflective Listening (mendengarkan dengan cara merefleksikan)
Summarizing (membuat kesimpulan)
b. Berbicara mengenai perubahan
Ada empat kategori penting dalam membicarakan perubahan:
Mengenali kerugian bila tetap menyalahgunakan NAPZA
Mengenali manfaat bila tidak menyalahgunakan NAPZA
Menyampaikan optimisme tentang perubahan
Menyampaikan tujuan untuk perubahan
98
penggunaan narkobanya, sebelumnya.
berapa jumlah dan frekuensi - Timbulkan persepsi klien tentang masalah
yang mereka konsumsi. yang ada terkait penggunaan narkoba.
Tidak mau menerima dan - Jelaskan informasi faktual tentang risiko
tidak mengetahui seberapa penggunaan narkoba.
seriusnya masalah yang - Sediakan umpan balik personal tentang
asesmen yang diperoleh.
ditimbulkan atas penggunaan
- Eksplorasi tentang keuntungan dan kerugian
narkobanya dan mereka penggunaan narkoba.
masuk dalam pengguna - Bantu untuk intervensi lain yang bermakna.
berisiko. - Uji adanya kesenjangan antara persepsi
klien dengan persepsi orang lain tentang
masalah perilaku.
- Tunjukkan perhatian dan biarkan pintu
selalu terbuka untuk klien.
Kriteria Konseling
Proses konseling hendaknya dijalankan dengan durasi waktu 30 hingga 60 menit. Upayakan
untuk selalu memulai konseling dengan mengulas apa yang telah diperoleh pada sesi
sebelumnya dan sejauh mana keterampilan baru telah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Klien sebaiknya diberitahu bila waktu konseling akan habis. Proses konseling yang optimal
dilakukan minimal 8 kali pertemuan untuk setiap klien. Pada klien yang memiliki masalah
personal yang kompleks dapat dilakukan sesi konseling hingga 20 kali pertemuan atau lebih,
bergantung pada kompleksitas yang dialami dan karakteristik klien itu sendiri. Jarak antara satu
sesi dengan sesi lain idealnya 1 minggu.
101
Mengajarkan
Seorang konselor tidak serta merta mampu mendengarkan klien secara aktif. Ketrampilan
mendengar aktif harus dilatih. Adapun faktor-faktor yang menjadi penghambat mendengar
aktif diantaranya adalah:
Bersikap reaktif secara emosional
Berpikir bagaimana merespons klien sementara klien masih berbicara
Memberikan perhatian pada berbagai hal yang ada di sekitar kita
Adanya sikap praduga yang ada dalam pikiran kita
Berpikir tentang masalah kita sendiri
Melamun
1. Hadir
Kehadiran artinya konselor menunjukkan ekspresi kesadaran dan ketertarikan apa yang
dikomunikasikan oleh klien baik verbal maupun non verbal. Jadi konselor memperhatikan
komunikasi verbal dan non verbal dari klien dan mengkomunikasikan kembali kepada
klien. Hadir membantu konselor untuk memahami klien lebih baik dengan mengobservasi
secara lebih hati-hati. Hadir membantu klien untuk menjadi relaks dan nyaman, merasa
bebas mengekspresikan ide-ide dan perasaannya, dapat mempercayai konselor sehingga
membuat klien memiliki peranan yang lebih aktif. Kehadiran dapat ditandai oleh:
a. Kontak mata dan ekspresi wajah yang sesuai.
b. Mempertankan postur yang relaks dengan menggunakan gerakan tangan dan bahu.
102
c. Secara verbal memberikan dukungan atas perkataan klien dengan memberikan kata-
kata seperti “um-hmm” atau “ya” atau dengan mengulang kata kunci.
d. Melakukan observasi pada bahasa tubuh klien.
2. Parafrase
Parafrase dilakukan dengan mengucapkan kembali isi dari pernyataan klien dengan
menggunakan kata-kata yang mirip diucapkan oleh klien. Tujuan dari parafrase adalah
mengkonfirmasi kepada klien bahwa konselor mengerti apa yang dikatakan oleh klien.
Parafrase dapat membantu konselor untuk memperjelas persepsi tentang pernyataan
klien dan menggarisbawahi isu penting. Sedangkan untuk klien, parafrase membuat klien
mengerti bahwa konselor memahami apa dikatakan oleh klien, mengklarifikasi
pernyataan klien, dan fokus pada apa yang penting dan berkaitan.
3. Refleksi perasaan
Refleksi perasaan adalah ekspresi konselor terhadap perasaan klien, baik verbal maupun
nonverbal. Konselor mencoba mengetahui emosi klien dan merespon untuk menunjukkan
pemahaman tentang kondisi emosi klien. Konselor menggunakan tehnik merefleksikan
perasaan, mengekspresikan perasaan klien yang terlihat dari pernyataan verbal dan
nonverbal. Pada refleksi perasaan, elemen yang menjadi fokus adalah emosi klien.
Secara teknis, refleksi perasaan juga disebut sebagai mendengar reflektif. Ada 3 tipe
refleksi:
1. Refleksi sederhana: mendengarkan isi pembicaraan klien dan mengamati
perilaku klien. Sangat bermanfaat untuk membina hubungan baik.
Contoh A:
103
- Klien: “saya belum ingin berhenti dalam waktu dekat”
- Konselor: “jadi anda belum siap untuk tidak pakai napza saat ini”
Contoh B:
- Klien: “sekarang ini saya udah ngerasa lebih enak, tapi saya nggak tau apa istri
saya udah bisa mempercayai saya sekarang ini”
- Konselor: “tampaknya perasaan anda campur aduk, di satu sisi fisik merasa
lebih baik, tetapi di sisi lain merasa sangsi dengan hubungan anda dengan istri
anda”
- Klien: “saya tahu saya buat salah, tapi tuntutan orangtua kan juga nggak masuk
akal”
- Klien: “wah bukan gitu...saya nerima kalo saya harus berhenti, tapi orangtua
tuntutannya kan lebih dari itu, gak realistis, bikin males....”
3. Refleksi dua sisi: menerima apa yang diucapkan klien, tetapi juga mengutarakan
apa yang pernah dikatakan klien sebelumnya. Bentuk refleksi ini juga tidak sesuai
pada tahap-tahap awal konseling.
Contoh A:
- Klien: “kenapa sih harus berhenti? Orang kalo nggak pernah coba-coba make
tuh gampang tua, gak menikmati hidup”
- Konselor: “sebentar....jadi menurut anda dengan make itu artinya bagian dari
cara menikmati hidup ya?. Tapi minggu lalu anda bilang bahwa anda capek
dan merasa menyia-nyiakan waktu dengan kehidupan kayak begini”
4. Rangkuman
Rangkuman merupakan bagian dimana konselor dan klien menyatukan bersama-sama
apa yang sudah dibicarakan, meyakinkan bila klien sudah memahami isi sesi dengan baik,
104
dan menyiapkan klien untuk berpindah dari suatu tahapan perubahan ke tahapan
perubahan selanjutnya.
Mengajarkan suatu keterampilan baru membutuhkan waktu dan praktek untuk setiap
orang. Konselor harus dapat mengenali kesulitan klien dalam mengubah pola perilaku
penggunaan NAPZA, khususnya dalam keadaan putus zat. Penggunaan NAPZA dalam jangka
panjang juga akan menganggu fungsi neurokognitif, yaitu meliputi gangguan perhatian dan
memori, yang mempengaruhi proses belajar suatu keterampilan baru. Oleh karena itu
pengulangan setiap sesi diperlukan sesuai dengan kebutuhan. Pengulangan dilakukan oleh
konselor dengan menyatakan kembali informasi dan mempraktekan keterampilan yang
diperlukan klien dalam mengontrol penggunaan NAPZA.
Mempelajari keterampilan baru membutuhkan waktu dan praktek. Proses pembelajaran
seringkali membutuhkan kesalahan untuk kemudian dikenali kesalahan itu dan menjadi
referensi yang lebih baik dalam pematangan keterampilan. Hal-hal yang perlu diperhatikan
oleh konselor adalah:
105
kesempatan klien untuk berlatih, meninjau kembali ide-idenya, meningkatkan perhatian
dan mendapatkan umpan balik dari konselor. Hal yang dapat dilakukan lagi adalah
memberikan pekerjaan rumah sehingga klien akan semakin dapat meningkatkan
keterampilan tersebut.
3. Praktek akan berguna apabila klien melihat ada nilai tambah dan kegiatan yang nyata.
Klien tidak akan melatih keterampilan dan melakukan tugas rumah tanpa mereka
memahami mengapa keterampilan itu dapat membantu mereka pulih dari ketergantungan
NAPZA. Konselor harus secara konstan menekankan bagaimana pentingnya klien berlatih
keterampilan baru yang baik dan alasan mengapa ia harus melakukan hal itu.
a. Memberikan alasan yang rasional dan jelas kepada klien tentang tugas-tugas atau
latihan di rumah yang harus dikerjakan merupakan hal yang penting. Banyak klien yang
keluar dari sesi konseling karena tidak tahu pentingnya melakukan hal itu.
b. Klien akan melakukan praktek keterampilan baru atau tugas rumah apabila mereka
mengetahui manfaat keterampilan baru untuk mereka. Jadi pada sesi pertama, konselor
harus menekankan manfaat praktek yang harus dikerjakan di luar sesi.
Ketika klien memberikan informasi maka konselor harus menggunakan informasi tersebut
untuk memotivasi mereka dengan memberikan umpan balik yang membangun dengan fokus
pada klien tentang:
1. Menjelaskan bahwa bila klien mempraktekan keterampilan baru tesebut maka secara
langsung akan meningkatkan kesejahteraan mereka.
2. Menjelaskan pada klien mengenai monitoring tugas. Penjelasan dapat dilakukan secara
sederhana, yaitu dengan memperlihatkan secara singkat pemahaman tentang kosnep
dasar pengobatan, tingkat kemampuan kognitif, fleksibilitas, pemahaman tentang
perilaku klien, motivasi, mekanisme koping, impulsivitas, kemampuan verbal, dan kondisi
emosional
3. Konselor harus mengekplorasi pembelajaran apa yang didapatkan oleh klien dari
penerapan tugas tersebut. Hal ini akan membantu konselor untuk memilih topik di sesi
selanjutnya.
106
4. Konselor dapat memberikan pujian terhadap hal-hal yang sudah dilakukan oleh klien
walaupun hal kecil, karena dengan dukungan seperti itu maka klien akan tertarik untuk
kembali menerapkan tugas tersebut.
5. Kegagalan dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya rasa putus asa atau klien tidak
melihat manfaat dari keterampilan tersebut. Konselor harus mengeksplorasi kesulitan
yang dihadapioleh klien dan membantu mereka dalam menghadapi kesulitan tersebut.
Terapi untuk meningkatkan motivasi disebut dengan Motivational Enhancement Therapy (MET).
Elemen utama dari MET adalah Wawancara Motivational (Motivational Interviewing).
Motivational Interviewing
Miller dan Rollnick (1991) mengembangkan suatu teknik wawancara alternatif yang
langsung, sering konfrontatif, secara umum digunakan untuk asesmen penyalahgunaan
narkotika yang dinamakan sebagai motivational interviewing (MI). Tujuan dari MI adalah
untuk menggali pandangan klien menghadapi permasalahannya, menyokong perubahan
dengan menghindari label, menyatakan bahwa yang bertanggung-jawab untuk target
pengobatan dan pembuat keputusan terletak pada klien. Terapis dengan hati-hati
melengkapi seluruh asesmen, mendiskusikan hasilnya dengan klien sehingga rencana terapi
dapat dimulai dengan suatu upaya kolaborasi dengan klien. Mengikat klien dengan cara ini
akan memberikan hasil yang positif. Miller dan Rollnick memperkenalkan proses MI berikut
ini dengan pendekatan yang berpusat pada klien untuk melakukan asesmen pada individu
dengan penyalahgunaan narkotika dan masalah-masalah adiksi.
1. Prasyarat untuk berubah adalah bukan dengan menerapkan label seperti “pecandu”
2. Pengobatan adalah pilihan pribadi
3. Yang bertanggung jawab untuk berubah adalah individu itu sendiri
4. Resistensi harus dipandang sebagai suatu hubungan oleh karena pengaruh dari sikap
terapis atau sikap terhadap individu
5. Mendorong perencanaan terapi yang kolaboratif
6. Memandang “ambivalensi” versus “penyangkalan” sebagai suatu masalah pengobatan
utama
107
1. Ambivalensi
Ambivalensi adalah salah satu bentuk gangguan perasaan, dalam satu saat yang sama
mempunyai perasaan yang saling bertentangan. Misalnya pada satu saat seorang pasien
merasa sangat ingin berhenti menggunakan putauw, namun pada saat yang sama ia juga
merasakan adanya keinginan besar untuk menggunakan putaw.
2. Reflective Listening
Reflective listening adalah semua pernyataan atau ucapan terapis yang ditujukan kepada
pasien untuk menunjukkan bahwa terapis betul-betul memahami apa yang dikatakan oleh
pasien.
3. Open-Ended Questions
Open-ended questions mengundang pasien untuk memberikan jawaban yang bersifat
menerangkan. Untuk mengembangkan timbulnya motivasi seorang terapis harus
menggunakan open-ended questions.
108
Strategi untuk mengatasi resistensi disebut sebagai “bergulir dengan resistensi” (rolling with
resistance). Adapun tekniknya adalah sebagai berikut:
- Mendengar reflektif
- Memindahkan fokus pembicaraan: alihkan energi dan perhatian klien dari yang
awalnya hanya memikirkan hambatan dan tantangan, menjadi lebih memperhatikan
potensi dan kekuatan yang dimiliki
- Menyetujui dengan berputar: menyetujui apa yang dikatakan klien tetapi dengan
sedikit “memutar” isinya agar diskusi dapat berjalan lebih lanjut. Serupa dengan
refleksi yang teramplifikasi.
- Mengubah kerangka pikir: tawarkan interpretasi baru dan positif dari informasi
negatif yang disediakan klien. Terimalah validitas persepsi klien seberapapun
subyektifnya, tetapi di saat yang bersamaan, tawarkan persepsi baru pada klien agar
dapat ia pertimbangkan.
- Menekankan pilihan personal dan kontrol personal: kembali ingatkan klien bahwa
diri merekalah yang paling bertanggungjawab dalam membuat pilihan. Bangunlah
efikasi diri (keyakinan diri klien untuk mampu membuat keputusan).
109
DAFTAR PUSTAKA
• Asian Centre for Certification and Education of Addiction Professional (ACCE) Colombo Plan
Curricula 4 Counseling, Colombo Plan, 2012.
• Meier, S.T. & Davis, S. R. 2001. 4th.ed. The Elements of Counseling. United Kingdom:
Brooks/Cole. Thomson Learning. .:58-59).
• Turning Point Alcohol and Drug Centre, Inc.2001. Training Handbook. Stages of
Change.Fitzroy Vic 3065
110
MATERI INTI 5
SISTEM RUJUKAN
I. Deskripsi Singkat
Menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri dari rujukan internal dan rujukan eksternal.
Rujukan Internal adalah rujukan horizontal yang terjadi antar unit pelayanan di dalam institusi
tersebut. Misalnya dari jejaring puskesmas (puskesmas pembantu) ke puskesmas induk.
Rujukan Eksternal adalah rujukan yang terjadi antar unit-unit dalam jenjang pelayanan
kesehatan, baik horizontal (dari puskesmas rawat jalan ke puskesmas rawat inap) maupun
vertikal (dari puskesmas ke rumah sakit umum daerah). Rujukan eksternal juga dapat dilakukan
dari unit pelayanan kesehatan kepada lembaga rehabilitasi sosial.
Sehubungan dengan pelaksanaan program Wajib Lapor, institusi-institusi yang ditunjuk oleh
Kementrian Kesehatan (yaitu rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, RSKO, puskesmas, dan
pusat rehabilitasi medis) diharapkan dapat memberikan Pelayanan untuk gangguan
ketergantungan Narkotika dengan kondisi klinis tertentu sesuai sarana-prasarana yang tersedia.
111
Pokok bahasan 2: Fasilitas kesehatan dan fasilitas sosial rujukan layanan narkotika
Dalam melaksanakan program pengobatan diperlukan suatu sistem rujukan yang berfungsi di
antara berbagai tingkat layanan kesehatan yang berbeda. Klien perlu dirujuk apabila terdapat
kondisi medis, baik secara fisik maupun psikiatrik, yang sulit diatasi. Dalam merujuk klien yang
perlu diperhatikan adalah rumah sakit yang kita jadikan rujukan memang menyediakan layanan
untuk kasus narkotika, karena kadangkala rumah sakit menolak bila mengetahui klien yang
dikirim adalah pengguna narkotika.
Setiap rumah sakit dan puskesmas seharusnya menyediakan informasi mengenai ketersediaan
layanan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan narkotika. Jika di RSU, RSJ, atau
RSKO (PPK 2 dan 3) kondisi klinis pasien sudah stabil maka RS tersebut dapat mengirim kembali
ke rumah sakit awal (PPK 2) atau puskesmas (PPK 1) yang mengirim untuk melanjutkan
pengobatan. Dengan kata lain, sistem rujukan ini terjadi secara timbal balik. Sistem rujukan
harus menjamin bahwa kepindahan klien dari satu tempat layanan ke tempat layanan yang lain
tidak mengalami hambatan dan kerumitan (administrasi atau yang lainnya) demi kelangsungan
pengobatan.
Rujukan dapat bersifat vertikal dan horizontal. Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan
antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatannya (seperti dari PPK 1 [puskesmas] ke PPK 2
[RS] atau sebaliknya), sedangkan rujukan horizontal merupakan rujukan antara pelayanan
kesehatan dalam satu tingkatan (misalnya seperti antar-puskesmas atau antar-RS). Rujukan
horizontal dilakukan apabila fasilitas kesehatan atau IPWL asal tidak dapat memberikan
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien atau karena keterbatasan fasilitas dan
peralatan, serta ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.
Pasal 11 Permenkes No.1 tahun 2012 tentang sistem rujukan pelayanan kesehatan perorangan
menyebutkan bahwa setiap fasilitas kesehatan wajib melakukan rujukan apabila pasien
memerlukannya, kecuali dengan alasan yang sah dan mendapat persetujuan pasien dan
keluarganya, alasan yang sah adalah pasien tidak dapat ditransportasikan atas alasan medis,
112
sumber daya atau geografis. Dengan demikian, pada saat melakukan rujukan petugas harus
memberikan penjelasan terlebih dahulu dan harus mendapatkan persetujuan dari pasien atau
keluarganya.
1. Diagnosis
2. Terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan
3. Alasan dan tujuan dilakukan rujukan
4. Risiko yang timbul apabila rujukan tidak dilakukan
5. Transportasi rujukan
6. Risiko atau penyulit yang dapat timbul selama dalam perjalanan
Merujuk kepada Standar Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan NAPZA (yang dalam
proses revisi), kompetensi tiap pusat pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:
1. Pusat Pelayanan Kesehatan tingkat I
- kegawatdaruratan (penanganan awal sebelum dirujuk)
- Terapi simtomatik
- Rawat jalan rumatan
- Asesmen dan Konseling dasar adiksi
- Pemeriksaan penunjang (rapid test NAPZA, Darah Perifer Lengkap, Screening faktor
risiko, Rapid Test HIV)
Pokok bahasan 2: fasilitas kesehatan dan fasilitas sosial rujukan layanan narkotika
Kemampuan layanan
Sesuai dengan PP no. 25 tahun 2011 tentang Wajib Lapor, pengguna narkotika wajib
melaporkan dirinya ke fasilitas kesehatan yang sudah ditentukan, yaitu pusat kesehatan
masyarakat (puskesmas), rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditentukan
oleh menteri kesehatan, serta rehabilitasi sosial yang ditentukan oleh menteri sosial. Saat ini
semua institusi tersebut milik pemerintah. Institusi Pelaksana Wajib Lapor (IPWL) harus
memenuhi persyaratan ketenagaan dan memiliki keahlian dan kewenangan di bidang gangguan
penggunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA).
Tidak semua puskesmas menjadi tempat wajib lapor bagi pengguna narkotika, hanya yang
berada di daerah kantong-kantong pecandu narkotika saja yang akan menjadi tempat wajib
lapor. Ada dua tingkat puskesmas yang menjadi tempat wajib lapor, yakni puskesmas IPWL
yang melayani rehabilitasi ketergantungan lewat program terapi rumatan metadon (PTRM) dan
puskesmas IPWL yang melayani konseling saja.
Untuk mendukung keberhasilan proses wajib lapor perlu dibentuk jaringan kerjasama antar-
layanan, baik secara horizontal maupun secara vertikal, atas dasar sikap saling menghormati
dan menghargai. Sistem rujukan untuk klien dengan gangguan penggunaan narkotika perlu
dikoordinasi. Koordinasi tersebut menjadi bagian dan tanggung jawab Kementerian Kesehatan,
Kementerian Sosial, Badan Narkotika Nasional, dan Pusdokkes, serta melibatkan Dinas
Kesehatan Provinsi, Rumah Sakit Umum, RSJ, puskesmas, klien sendiri, organisasi berbasis
keagamaan, dan LSM setempat.
115
Di bawah ini bisa di lihat alur rujukan pada pengguna narkotika
116
Kapasitas
Ketersediaan layanan rehabilitasi dalam jajaran/dukungan kemenkes:
1. Rehabilitasi rawat jalan, rawat inap dan detoksifikasi:
RSKO dan 16 RSJ di beberapa provinsi (kecuali NTT, papua barat, maluku utara,
Gorontalo, sulawesi barat, Banten,kepulauan Riau) rehabilitasi ini mencakup rawat
jalan jangka pendek maupun rawat jalan jangka panjang, Rehabilitasi yang di
selenggarakan oleh BNN / Kemensos.
Kemudahan akses
Tempat dan lokasi rehabilitasi medis dan sosial serta mempunyai sarana pelayanan yang
memadai sesuai dengan kebutuhan pasien, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat
memanfaatkan teknologi dan informatika adalah yang diharapkan dari tempat tempat rujukan
wajib lapor.
117
118
119
Daftar Pustaka
120
MATERI INTI 7
PENCATATAN DAN PELAPORAN
I. Deskripsi Singkat
Pencatatan dan pelaporan dalam program Wajib Lapor merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari isi rekam medis pecandu narkotika. Oleh karena itu, alur pencatatan dan pelaporan terkait
wajib lapor mengikuti kaidah dan aturan Rekam Medis, baik di Rumah Sakit ataupun di
Puskesmas. Rekam medis adalah keterangan, baik yang tertulis maupun yang terekam, tentang
identitas, anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnosis, segala pelayanan, tindakan
medis, dan pengobatan yang diberikan kepada pasien, baik yang dirawat inap, yang dirawat
jalan, maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat. Rekam medis juga merupakan
kompilasi fakta tentang kondisi kesehatan dan penyakit seorang klien yang meliputi keadaan
sakit sekarang dan waktu lampau, serta pengobatan yang telah dan yang akan dilakukan oleh
tenaga kesehatan professional secara tertulis.
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 269 tahun 2008 tentang Rekam Medis menyatakan bahwa informasi tentang
identitas, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan harus dijaga
kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, petugas kesehatan tertentu, petugas pengelola dan
pimpinan fasilitas kesehatan. Informasi tersebut di atas hanya dapat dibuka dalam hal:
Permintaan rekam medis sebagaimana tersebut diatas disampaikan secara tertulis kepada
pimpinan fasilitas kesehatan.
IPWL akan mengeluarkan kartu lapor pecandu narkotika apabila petugas sudah selesai
melaksanakan proses asesmen dan penyusunan rencana terapi yang disepakati oleh petugas
dan pasien. Petugas kesehatan juga tetap melakukan pengawasan dalam bentuk pendampingan
dan pemberian motivasi secara berkesinambungan agar proses pemulihan bagi pecandu
narkotika dapat bertahan. Pengawasan ini menjadi tanggung jawab tidak hanya petugas
kesehatan tapi juga pihak-pihak terkait lainnya serta masyarakat.
121
Mengingat pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA kerap berhubungan dengan tindak
kriminalitas, tak jarang petugas kesehatan (dalam hal ini dokter sebagai profesi yang
tersumpah) diminta keterangan sebagai ahli. Keterangan ahli dapat diberikan secara lisan atau
tertulis. Keterangan ahli secara lisan bisa diberikan pada saat sidang di pengadilan dan pada
waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum (yang kemudian dituangkan dalam satu
bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu menerima jabatan atau
pekerjaan). Keterangan ahli secara tertulis adalah surat keterangan dari ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi kepadanya.
Rekam Medis, sesuai dengan Pasal 13 Permenkes no. 269 tahun 2008, dapat dijadikan alat bukti
dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan kedokteran gigi, dan penegakkan etika
kedokteran dan etika kedokteran gigi. Oleh karena itu, pencatatan hasil asesmen (yang
merupakan bagian dari rekam medis) harus mencantumkan segala informasi yang diperlukan
dan dibuat secara otentik (diantaranya mencantumkan tanggal pelaksanaan dan tanda tangan
pelaksananya).
Rumah Sakit dan Puskesmas menyampaikan laporan dalam periode tertentu ke dinas kesehatan
dan Kementerian Kesehatan sesuai dengan aturan yang berlaku. Data ini merupakan data
penting yang termasuk dalam Sistem Informasi Kesehatan. Untuk mempermudah pencatatan
dan pelaporan pasien pecandu narkotika, Kementerian Kesehatan membangun sistem
pelaporan berbasis web yang disebut Sistem Informasi Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif
lainnya (SINAPZA). Melalui SINAPZA kerahasiaan data pasien terjamin karena pelaporan dari
fasilitas layanan kesehatan termasuk Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) dalam format
enkripsi sehingga hanya pelapor dan penerima laporan saja yang bisa membuka data yang telah
terenkripsi tersebut. Fasyankes atau IPWL lain yang berbeda pengguna dan password-nya juga
tidak dapat membuka file dari sesama IPWL meskipun mempunyai aplikasi SINAPZA yang sama
sehingga kerahasiaan pasien benar-benar terjamin.
Aplikasi SINAPZA yang dikembangkan dapat membantu IPWL dalam pengajuan klaim ke
Kementerian Kesehatan. Data pelaporan dapat menjadi bahan untuk melakukan verifikasi
pasien sehingga akan menghemat kertas karena IPWL tidak perlu melakukan fotocopy berkas
sebagai bahan untuk verifikasi. Upaya ini juga membantu dalam mewujudkan “go green” dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan.
Pokok bahasan 1: pencatatan dan pelaporan sebagai bagian dari rekam medis
Pencatatan
Pencatatan adalah cara yang dilakukan oleh petugas kesehatan untuk mencatat data yang
penting mengenai pelayanan kesehatan atau pelayanan penggunaan Narkotika yang
selanjutnya disimpan sebagai arsip baik di Puskesmas, RS/RSJ maupun di klinik layanan bagi
korban penyalahgunaan narkotika.
Formulir Data Klien Penyalahgunaan narkotika yang dikeluarkan oleh Direktorat Bina Kesehatan
Jiwa, Ditjen Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Rl dilaporkan tiga kali dalam
setahun meliputi data Pengunjung (nama, jenis kelamin, umur, kasus baru/lama, pendidikan,
pekerjaan, pekerjaan orangtua, status perkawinan, zat yang sering digunakan, cara penggunaan
zat, mulai penggunaan, cara masuk institusi, cara keluar institusi, sumber zat dan motivasi
penggunaan narkotika)
Pelaporan
Pelaporan adalah mekanisme yang digunakan oleh petugas kesehatan untuk melaporkan
kegiatan pelayanan yang dilakukannya kepada institusi yang lebih tinggi (dalam hal ini Dinas
Kesehatan dan atau Kementerian Kesehatan).
Sistem pelaporan menggunakan format yang telah disiapkan, dilakukan berjenjang dengan alur:
Tujuan Pelaporan
124
Pelaporan dari instansi kesehatan (seperti Puskesmas, RSU/RSJ maupun Klinik Layanan
bagi penyalahgunaan Narkotika) merupakan suatu alat untuk memantau pelayanan
kesehatan, baik bagi kepentingan klien yang bersangkutan, petugas kesehatan yang
melayani maupun pihak perencana dan penyusun kebijakan.
Untuk memperoleh informasi semua klien penyalahguna Narkotika yang masuk dan
keluar rumah sakit selama 24 jam.
Untuk mengetahui jumlah klien penyalahguna Narkotika yang masuk/ keluar/ meninggal
di Rumah Sakit selama sebulan, triwulan, semester dan setahun.
Format Pelaporan
*Jika Sistem Informasi Pecandu Narkotika telah selesai dibangun dan telah berfungsi
sepenuhnya, maka Catatan Pasien Penyalahgunaan NAPZA dilaporkan secara langsung oleh
sistem.
125
CATATAN PASIEN PENYALAHGUNAAN NAPZA
TAHUN :
BULAN :
INSTITUSI : RSJ/RSU/PUSKESMAS/PANTI REHABILITASI
NAMA INSTITUSI :
ALAMAT :
DAERAH / KOTA :
PROVINSI :
STATUS MODALITAS JENIS STATUS NAPZA YANG USIA PERTAMA KALI CARA PAKAI
NO REKMED USIA PENDIDIKAN PEKERJAAN DIAGNOSA
PASIEN TERAPI KELAMIN PERNIKAHAN DIGUNAKAN PAKAI NAPZA NAPZA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
KETERANGAN
No Rekmed / WL 1. Lama 1. Asesmen lanjutan 1. Laki-laki 1. < 15 tahun 1. Belum kawin 1. Tidak sekolah 1. Alkohol 1. < 15 tahun Isi sesuai kode 1. Oral
2. Baru 2. Evaluasi Psikologis 2. Perempuan 2. 15-19 tahun 2. Kawin 2. SD 2. Heroin 2. 15-19 tahun PPDGJ - III 2. Mukosa
3. Program detoksifikasi 3. 20 - 24 tahun 3. Duda / Janda 3. SLTP 3. Metadon / Buprenorfin 3. 20 - 24 tahun 3. Sal Pernapasan
4. Wawancara
4. 25 - 29 tahun 4. SMU / SMK 4. Opiatlain/analgesik 4. 25 - 29 tahun 4. Injeksi Non IV
Motivasional
5. Intervensi Singkat 5. 30 - 34 tahun 5. Akademi / D3 5. Barbiturat 5. 30 - 34 tahun 5. IV
6. Terapi rumatan 6. 35 - 39 tahun 6. Perguruan Tinggi 6. Sedatif/Hipnotik/ 6. 35 - 39 tahun
7. Rehabilitasi rawatinap 7. > 40 tahun 7. Kokain 7. > 40 tahun
8. Konseling 8. Amfetamin
9. Lain-lain 9. Kanabis
10. Halusinogen
11. Inhalan
12. Lebih dari1 zat per hari
126
POKOK BAHASAN 2 : MEKANISME PELAPORAN
Jenis Pelaporan
127
Pokok bahasan 3: pengelolaan data
Pengumpulan data
Data yang akan dilaporkan, bersumber dari formulir asesmen wajib lapor. Data yang
dikumpulkan berupa:
Status klien
Modalitas terapi
Jenis Kelamin
Usia
Status Pernikahan
Pendidikan
Pekerjaan
Narkotika yang Digunakan
Usia Pertama Kali Pakai Narkotika
Diagnosa
Cara Pakai Narkotika
Rekapitulasi data
Dari data yang telah dikumpulkan diatas, di rekapitulasi menggunakan catatan klien
penyalahgunaan Narkotika. Kolom-kolom diisi dengan angka-angka sesuai dengan
keterangan sebagai berikut:
No Rekmed: merupakan identitas klien berdasarkan nomor rekam medis danatau bar
code dari kartu wajib lapor.
Status klien:
1. Baru : Jika klien baru mendapatkan layanan di institusi pemberilayanan
2. Lama : Jika klien pernah mendapatkan layanan di institusi pemberi layanan
Modalitas terapi
1. Asesmenlanjutan
2. Evaluasi Psikologis
3. Program detoksifikasi
4. Wawancara Motivasional
5. Intervensi Singkat
6. Terapi rumatan
128
7. Rehabilitasi rawat inap
8. Konseling
9. Lain-lain
Jenis Kelamin
1. Laki-laki
2. Perempuan
Usia
1. <15 Tahun
2. 15 – 19 tahun
3. 20 – 24 tahun
4. 25 – 29 tahun
5. 30 – 34 tahun
6. 35 – 59 tahun
7. > 60 tahun
Status Pernikahan
1. Belum kawin
2. Kawin
3. Duda/Janda
Pendidikan
1. Tidak Sekolah
2. SD
3. SLTP
4. SMU/SMK
5. Akademi / D3
6. PerguruanTinggi
Pekerjaan
1. PNS
2. TNI/POLRI
3. Swasta
4. Wiraswasta
5. Pelajar
6. Mahasiswa
7. Buruh
8. PekerjaSeks
9. AnakJalanan
10. Lain-lain
129
NAPZA yang Digunakan
1. Alkohol
2. Heroin
3. Metadon / Buprenorfin
4. Opiatlain/analgesik
5. Barbiturat
6. Sedatif/Hipnotik/
7. Kokain
8. Amfetamin
9. Kanabis
10. Halusinogen
11. Inhalan
12. Lebih dari1 zat per hari
Diagnosa
Ditulis sesuaikodifikasi PPDGJ -III
Pengolahan data
Data yang telah direkapitulasi kemudian diolah menggunakan spread sheet atau program
lain yang disediakan untuk memudahkan penghitungan.
130
Penyusunan laporan
Laporan kemudian disusun menurut waktu yang telah ditentukan. Laporan kemudian
dikirimkan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Pencatatan dan pelaporan dalam sistem informasi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya (SINAPZA) dilakukan seperti tercantum dalam “BUKU PANDUAN OPERASIONAL
SINAPZA”. (terlampir)
131
Daftar Pustaka
132