Anda di halaman 1dari 132

[Type text]

MODUL

ASESMEN DAN RENCANA TERAPI


GANGGUAN PENGGUNAAN NARKOTIKA
Edisi Revisi 2015

DIREKTORAT BINA KESEHATAN JIWA

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

TIM PENYUSUN

1
[Type text]

1. dr. Diah Setia Utami, Sp.KJ, MARS


2. Dra. Riza Sarasvita, MSi, MHS, PhD
3. dr. Satya Joewana, Sp.KJ
4. dr. Sandy Noveria, MKK
5. dr. Rahmi Handayani, Sp.KJ, MARS
6. dr. Prasetiyawan, Sp.KJ
7. dr. K. Siste, Sp.KJ
8. dr. Linna Juniar
9. dr. Herbet Sidabutar, Sp.KJ
10. dr. Lucia Maya Savitri
11. dr. Budi Raharjo, M.Epid
12. dr. Lusy Levina
13. dr. Hans Christian Dharma, SpKJ
14. dr. Edih Suryono

2
[Type text]

MATERI DASAR 1

KEBIJAKAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA

I. DESKRIPSI SINGKAT

Perkembangan legislasi dan kebijakan terkait masalah NAPZA belakangan ini mengarah pada
upaya untuk mendekriminalisasi pecandu Narkotika, dimana pecandu Narkotika diharapkan tidak
lagi menjalani pemenjaraan, melainkan menjalani terapi dan rehabilitasi, baik medis, psikologis
maupun sosial. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Narkotika No. 35/2009. Perubahan tersebut
didasari oleh fakta bahwa kondisi kesehatan mereka yang mengalami ketergantungan NAPZA pada
umumnya mengalami penurunan secara signifikan. Semangat untuk mempersepsikan pecandu dari
sudut pandang penyakit tentu sejalan dengan pasal 4 Undang-Undang Kesehatan No. 36/2009, yang
menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kesehatan”.

Undang-Undang Narkotika No. 35/2009 mengamanahkan dilakukannya proses wajib lapor


pecandu narkotika ke Puskesmas, Rumah Sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan lembaga
rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapat pengobatan dan perawatan.
Untuk mendukung pelaksanaan wajib lapor ini disusunlah Peraturan Pemerintah tentang Wajib
Lapor Pecandu Narkotika dan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Rehabilitasi Medis Pecandu,
Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.Pelaksanaan proses wajib lapor ini
memerlukan koordinasi antara instansi-instansi yang terkait dan dukungan dari masyarakat sehingga
dapat mencapai hasil yang optimal.

Selain itu Undang-Undang no 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa pada pasal 54
menyebutkan setiap RS Jiwa wajib menyediakan ruang untuk pasien narkotika, psikotropika dan zat
adiksi dengan jumlah tempat tidur paling sedikit 10% dari jumlah tempat tidur yang ada.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan pembelajaran umum:


Pada akhir sesi, peserta mampu:
Memahami Kebijakan wajib lapor pecandu narkotika di Indonesia

B. Tujuan pembelajaran khusus:


Pada akhir sesi ini, peserta mampu:
1. Menjelaskan kebijakan wajib lapor pada UU Narkotika
2. Menjelaskan teknis wajib lapor
3. Menjelaskan Permenkes rehabilitasi medis
4. Menjelaskan kode etik
5. Menjelaskan peran dan fungsi petugas penerima wajib lapor

3
[Type text]

III. POKOK BAHASAN

Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan berikut:


Pokok Bahasan 1. Kebijakan wajib lapor UU Narkotika
Pokok Bahasan 2. Peraturan Pemerintah tentang Wajib Lapor Pecandu Narkotika
Pokok Bahasan 3. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Rehabilitasi Medis Pecandu
Narkotika
Pokok Bahasan 4. Kode etik dan medikolegal
Pokok Bahasan 5. Peran dan Fungsi Petugas Penerima Wajib lapor

IV. URAIAN MATERI

Pokok Bahasan 1
KEBIJAKAN WAJIB LAPOR UNDANG-UNDANG NARKOTIKA NO. 35 TAHUN 2009

Upaya penanggulangan masalah gangguan penggunaan Napza dilakukan secara


komprehensif melalui 3 pilar yaitu supply reduction, demand reduction dan harm
reduction. Salah satu upaya pengurangan permintaan adalah terapi dan rehabilitasi.
Dari data yang ada di Kementerian Kesehatan menunjukkan masih rendahnya jumlah
pecandu yang mencari pertolongan medis. Faktor penyebab rendahnya pencarian
pertolongan medis antara lain adalah terkait budaya, adanya stigma dan diskriminasi
yang dihadapi oleh para pecandu Narkotika. Pandangan masyarakat bahwa perilaku
ketergantungan Narkotika adalah amoral, membentuk anggapan bahwa untuk dapat
pulih yang diperlukan adalah hanya dengan meningkatkan iman dan taqwa para
pecandu. Kriminalisasi atas penggunaan Narkotika juga semakin mempertegas
pandangan ini, sehingga di mata masyarakat, para pecandu perlu ‘dihindari’ dan
‘disingkirkan’. Pandangan serupa tidak saja dimiliki oleh masyarakat, melainkan juga
para petugas kesehatan. Pemahaman bahwa adiksi Napza adalah suatu penyakit otak
belum sepenuhnya dipahami dan diterima oleh petugas kesehatan. Akibatnya, sikap
yang terbentuk dalam menghadapi pasien pecandu cenderung negatif. Stigma dan
diskriminasi sudah barang tentu menghambat pecandu Narkotika untuk mencari
pertolongan.

Hal lain yang berperan dalam perilaku mencari perawatan medis adalah
minimnya ketersediaan dana untuk mengakses layanan kesehatan. Kita semua tentu
memahami bahwa pola penggunaan Narkotika yang kronis secara perlahan akan
menurunkan sumber daya seseorang, termasuk sumber daya finansial. Banyak dari
mereka tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengakses layanan kesehatan. Terlebih
jaminan kesehatan masyarakat tidak selalu mudah diakses. Semua kondisi di atas ini
berkontribusi atas rendahnya perilaku mencari perawatan kesehatan pada para
pecandu Narkotika.

4
[Type text]

Melihat rendahnya persentase cakupan pecandu Narkotika yang mengakses


layanan kesehatan dan mengingat perubahan perilaku tidak dapat mudah dilakukan
pada Lapas/Rutan, maka dirasakan perlu untuk mendorong para pecandu Narkotika
untuk lebih mengakses layanan Terapi Rehabilitasi. Salah satu caranya adalah dengan
mewajibkan mereka untuk melaporkan diri guna memperoleh layanan terapi
rehabilitasi Gangguan penggunaan Napza. Pecandu Narkotika atau keluarga dari
pecandu yang masih di bawah umur diharapkan melaporkan diri pada fasilitas
kesehatan sehingga dapat dilakukan proses asesmen dan penyusunan rencana terapi
untuk perubahan perilaku yang signifikan.
Kebijakan Wajib lapor tertuang dalam pasal 55 Undang-Undang No. 35 tahun
2009 tentang Narkotika, yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur wajib melaporkan
kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi
medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk
mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui rehablitasi medis dan
rehabilitasi sosial
(2) Pecandu Narkotika yang sudah culup umur wajib melaporkan diri atau
dilaporkan oleh kelurganya kepada kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah
sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang
ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan
melalui rehablitasi medis dan rehabilitasi sosial
Sekalipun terkesan menjadi “kewajiban”, namun filosofi dari wajib lapor ini
adalah untuk meningkatkan cakupan intervensi medis dan sosial bagi para pecandu dan
untuk mengidentifikasi masalah sedini mungkin.

Program ini juga mempertimbangkan hak azasi pecandu Narkotika, sehingga


proses wajib lapor juga tetap mempertahankan azas konfidensialitas dan
memperlakukan pecandu Narkotika sebagai klien / pasien yang sungguh-sungguh
membutuhkan terapi terkait perilaku ketergantungan Narkotikanya.

Program wajib lapor mau tidak mau juga mendesak fasilitas kesehatan, lembaga
rehabilitasi medis dan sosial untuk siap dalam melayani pecandu Narkotika.
Keengganan petugas kesehatan/sosial dalam melakukan penatalaksanaan Gangguan
penggunaan Napza dapat diminimalisasi, sebab melakukan penolakan untuk merawat
dapat dianggap sebagai pelanggaran Undang-undang. Diharapkan program wajib lapor
dapat meminimalisasi stigma/diskriminasi yang selama ini dialami pecandu Narkotika.

Melalui program wajib lapor, pecandu Narkotika diharapkan setidaknya


memperoleh konseling dasar terkait perilaku ketergantungan Narkotikanya,
memperoleh informasi yang diperlukan untuk meminimalisasi risiko yang dihadapinya

5
[Type text]

dan memperoleh rujukan untuk perawatan lanjutan yang sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan yang bersangkutan. Dengan demikian program wajib lapor diharapkan
dapat berperan serta dalam penanggulangan dampak buruk yang seringkali dialami
pecandu Narkotika.

Manfaat wajib lapor diharapkan tidak saja dirasakan oleh para pecandu
Narkotika, melainkan juga bagi masyarakat secara umum dan pemerintah secara
khusus. Program wajib lapor pecandu Narkotika untuk kepentingan rehabilitasi medis
dan sosial dapat mendukung agenda pencapaian Millenium Development Goals (MDGs)
yang ke 6, yaitu pengendalian HIV/AIDS, Malaria, dan TB.

Pokok Bahasan 2
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA

A. Definisi
Wajib Lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh Pecandu
Narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau wali
dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur kepada Institusi Penerima Wajib
Lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.

B. Tujuan
Pengaturan Wajib Lapor Pecandu Narkotika bertujuan untuk:
a. memenuhi hak Pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial;
b. mengikutsertakan orang tua, wali, keluarga, dan masyarakat dalam
meningkatkan tanggung jawab terhadap Pecandu Narkotika yang ada di
bawah pengawasan dan bimbingannya; dan
c. memberikan bahan informasi bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan
di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika.

C. Penyelenggaraan Wajib Lapor


Wajib Lapor Pecandu Narkotika dilakukan di Institusi Penerima Wajib Lapor
(IPWL). IPWL adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga
rehabilitasi medis serta lembaga rehabilitasi sosial yang ditetapkan oleh
Pemerintah

IPWL harus memenuhi persyaratan:


1. ketenagaan yang memiliki keahlian dan kewenangan di bidang ketergantungan
Narkotika. Tenaga tersebut sekurang-kurangnya memiliki:
6
[Type text]

- pengetahuan dasar ketergantungan narkotika;


- keterampilan melakukan asesmen ketergantungan narkotika;
- keterampilan melakukan konseling dasar ketergantungan narkotika; dan
- pengetahuan penatalaksanaan terapi rehabilitasi berdasarkan jenis
narkotika yang digunakan.

2. sarana yang sesuai dengan standar rehabilitasi medis atau standar rehabilitasi
sosial yang masing-masing ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

IPWL wajib melakukan asesmen yang meliputi aspek medis dan aspek sosial
terhadap Pecandu Narkotika untuk mengetahui kondisi Pecandu Narkotika.
Asesmen dilakukan dengan cara:

1. Wawancara meliputi riwayat kesehatan, riwayat penggunaan narkotika,


riwayat pengobatan dan perawatan, riwayat keterlibatan pada tindak
kriminalitas, riwayat psikiatris, serta riwayat keluarga dan sosial Pecandu
Narkotika.
2. Observasi meliputi observasi atas perilaku Pecandu Narkotika baik verbal
maupun non verbal
3. Pemeriksaan fisik dan psikis terhadap Pecandu Narkotika

Hasil asesmen tersebut dicatat pada rekam medis yang bersifat rahasia dan
merupakan dasar dalam rencana rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika yang
bersangkutan. Kerahasiaan hasil asesmen dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Selanjutnya Rencana rehabilitasi yang telah
disusun berdasarkan hasil asesmen harus disepakati oleh pecandu narkotika, orang
tua, wali, atau keluarga pecandu narkotika dan pimpinan IPWL.
Pecandu narkotika yang telah melaporkan diri atau dilaporkan kepada IPWL
diberi kartu lapor diri setelah menjalani asesmen. Kartu lapor diri tersebut berlaku
untuk 2 (dua) kali masa perawatan. Yang dimaksud dengan “masa perawatan”
adalah suatu layanan program rencana terapi dibuat berdasarkan hasil asesmen
yang komprehensif yang sesuai dengan kondisi klien dengan jenis gangguan
penggunaan narkotika dan kebutuhan individu/klien/Pecandu narkotika dengan
program yang dijalankan mengikuti program yang tersedia di layanan, dengan
waktu minimal 1 (satu) sampai 6 (enam) bulan sesuai dengan Standar Pelayanan
Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan Narkotika yang ditetapkan Menteri.
Standar Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan Narkotika, antara
lain meliputi: pelayanan detoksifikasi, pelayanan gawat darurat, pelayanan
rehabilitasi (model: terapi komunitas, minnesota, model medis), pelayanan rawat

7
[Type text]

jalan non rumatan, pelayanan rawat jalan rumatan, dan pelayanan penatalaksanaan
dual diagnosis.
Berdasarkan rencana rehabilitasi yang telah disepakati, IPWL melakukan
rangkaian pengobatan dan/atau perawatan guna kepentingan pemulihan Pecandu
Narkotika. Bila IPWL tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengobatan
dan/atau perawatan tertentu sesuai rencana rehabilitasi atau atas permintaan
Pecandu Narkotika, orang tua, wali dan/atau keluarganya, maka IPWL harus
melakukan rujukan kepada institusi yang memiliki kemampuan tersebut.
PP ini juga mengatur untuk pecandu narkotika yang sedang menjalani
pengobatan dan/atau perawatan di rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya, lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial serta terapi
berbasis komunitas (therapeutic community) atau melalui pendekatan keagamaan
dan tradisional tetap harus melakukan wajib lapor kepada IPWL.

D. Pelaporan, Monitoring dan Evaluasi


IPWL wajib melaporkan mengenai informasi Pecandu Narkotika kepada
Kementerian terkait melalui tata cara pelaporan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Selanjutnya Kementerian terkait memberikan
informasi ke BNN yang menyelenggarakan sistem informasi pecandu narkotika.
Informasi yang dilaporkan dalam bentuk rekapitulasi data.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan Wajib Lapor dilaksanakan oleh
Kementerian terkait dan BNN yang meliputi:
a. penerapan prosedur Wajib Lapor;
b. cakupan proses Wajib Lapor; dan
c. tantangan dan hambatan proses wajib lapor

Pecandu Narkotika yang telah selesai menjalani rehabilitasi dilakukan


pembinaan dan pengawasan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial dan Badan Narkotika Nasional dengan
mengikutsertakan partisipasi masyarakat.

Pokok Bahasan 3
PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG REHABILITASI MEDIS PECANDU,
PENYALAHGUNA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

Undang-Undang No. 35 tahun 2009 mengamanahkan penyusunan Permenkes tentang


Rehabilitasi Medis. Pada tahun 2011 telah diterbitkan Permenkes No
2415/MENKES/PER/XII/2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna dan

8
[Type text]

Korban Penyalahgunaan Narkotika. Permenkes ini mengatur mengenai fasilitas,


penyelenggaraan, pelaporan, pembinaan dan pengawasan rehabilitasi medis.

A. Fasilitas rehabilitasi medis


Rehabilitasi medis dilaksanakan di fasilitas rehabilitasi medis yang
diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat meliputi
rumah sakit, puskesmas atau lembaga rehabilitasi tertentu yang menyelenggarakan
rehabilitasi medis. Lembaga rehabilitasi medis tertentu meliputi:

1. lembaga rehabilitasi NAPZA milik Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan


2. klinik rehabilitasi medis NAPZA yang diselenggarakan oleh masyarakat.

Rumah sakit atau puskesmas yang menyelenggarakan rehabilitasi medis


ditetapkan oleh Menteri. Penetapan rumah sakit milik pemerintah daerah atau
masyarakat dan puskesmas sebagai penyelenggara rehabilitasi medis dilakukan
setelah mendapatkan rekomendasi dari pemerintah daerah. Sedangkan Lembaga
rehabilitasi tertentu yang menyelenggarakan rehabilitasi medis wajib mendapatkan
izin dari Menteri.
Fasilitas rehabilitasi medis mempunyai kewajiban:
1. menyelenggarakan rehabilitasi medis sesuai standar profesi, standar pelayanan
dan standar prosedur operasional;
2. melaksanakan fungsi sosial;
3. berperan serta dalam jejaring dan melaksanakan fungsi rujukan;
4. melaksanakan serangkaian terapi dan upaya pencegahan penularan penyakit
pada penggunaan narkotika suntik;
5. menyusun standar prosedur operasional penatalaksanaan rehabilitasi sesuai
dengan modalitas yang digunakan dengan mengacu pada standar dan pedoman
penatalaksanaan medis.
6. melakukan pencatatan dan pelaporan dalam penyelenggaraan rehabilitasi medis.

B. Penyelenggaraan Rehabilitasi Medis


1. Rehabilitasi medis dapat dilaksanakan melalui rawat jalan dan/atau rawat inap
sesuai dengan rencana rehabilitasi yang telah disusun dengan mempertimbangkan
hasil asesmen sesuai dengan standar dan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
2. Pelaksanaan rawat jalan meliputi:
a. intervensi medis antara lain melalui program detoksifikasi, terapi simtomatik,
dan/atau terapi rumatan medis serta terapi penyakit komplikasi sesuai indikasi;
dan

9
[Type text]

b. intervensi psikososial antara lain melalui konseling adiksi narkotika, wawancara


motivasional, terapi perilaku dan kognitif (Cognitive Behavior Therapy), dan
pencegahan kambuh.
3. Pelaksanaan rawat inap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. intervensi medis antara lain melalui program detoksifikasi, terapi simtomatik,
dan terapi penyakit komplikasi sesuai indikasi;
b. intervensi psikososial antara lain melalui konseling individual, kelompok,
keluarga, dan vokasional;
c. pendekatan filosofi therapeutic community (TC) dan/atau metode 12 (dua belas)
langkah dan pendekatan filosofi lain yang sudah teruji secara ilmiah.

Proses pemulihan pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan


narkotika yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui
pendekatan keagamaan dan tradisional harus bekerjasama dengan Rumah Sakit dan
Puskesmas yang ditetapkan oleh Menteri.

Fasilitas rehabilitasi medis dalam menyelenggarakan pelayanan rehabilitasi medis


wajib membuat rekam medis yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Selain itu terkait mediko legal maka pelayanan rehabilitasi medis
harus memperoleh persetujuan (informed consent) sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.Fasilitas rehabilitasi medis dilarang menggunakan kekerasan fisik
dan kekerasan psikologis/mental dalam melaksanakan pelayanan rehabilitasi medis.

Terkait pembiayaan yang sering menjadi masalah implementasi di lapangan maka


salah satu pasal dalam Permenkes ini menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah
Daerah bertanggung jawab atas biaya pelaksanaan rehabilitasi medis bagipecandu,
penyalahguna dan korban penyalahgunaan Narkotika yang tidak mampu sesuai
peraturan perundang-undangan. Selain itu Pemerintah juga bertanggung jawab atas
biaya pelaksanaan rehabilitasi medis bagi pecandu, penyalahguna dan korban
penyalahgunaan Narkotika yang yang telah diputus oleh pengadilan.

Penyelenggaraan Rehabilitasi Medis Terkait Putusan Pengadilan :


1. Rehabilitasi medis terhadap pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan
narkotika yang telah diputus oleh pengadilan diselenggarakan di fasilitas
rehabilitasi medis milik pemerintah yang telah ditetapkan oleh Menteri.
2. Rehabilitasi medis terhadap pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan
narkotika yang telah diputus oleh pengadilan dilaksanakan melalui tahapan:
program rawat inap awal; program lanjutan; dan program pasca rawat.
3. Program rawat inap awal dilaksanakan selama minimal 3 (tiga) bulan untuk
kepentingan asesmen lanjutan, serta penatalaksanaan medis untuk gangguan fisik
dan mental.
4. Program lanjutan meliputi program rawat inap jangka panjang atau program
10
[Type text]

rawat jalan yang dilaksanakan sesuai standar prosedur operasional.


5. Pelaksanaan program lanjutan dengan program rawat jalan hanya dapat
dilaksanakan untuk pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan
narkotika yang telah diputus bersalah oleh pengadilan dengan pola penggunaan
rekreasional (penggunaan narkotika hanya untuk mencari kesenangan pada
situasi tertentu dan belum ditemukan adanya toleransi serta gejala putus zat) dan
jenis narkotika amfetamin, dan ganja, dan/atau berusia di bawah 18 tahun.
6. Program rawat jalan dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali seminggu
dengan pemeriksaan urin berkala atau sewaktu-waktu.
7. Program pasca rawat meliputi rehabilitasi sosial dan program pengembalian
kepada masyarakat.

Penyelenggaraan Rehabilitasi Medis Terhadap Pecandu, Penyalahguna dan


Korban Penyalahgunaan Narkotika yang sedang Menjalani Proses Penyidikan,
Penuntutan, dan Persidangan Pengadilan adalah sebagai berikut:

1. Penetapan rehabilitasi medis terhadap pecandu, penyalahguna dan korban


penyalahgunaan narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan,
dan persidangan pengadilan dilakukan oleh tim dokter yang merupakan bagian
dari Tim Asesmen Terpadu (TAT) yang terdiri dari dokter dari fasilitas rehabilitasi
medis dan rumah sakit kepolisian.
2. Diselenggarakan di fasilitas rehabilitasi medis milik pemerintah yang memenuhi
standar keamanan tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Rehabilitasi pada pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika
yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan pengadilan
tergantung pada wewenang pihak penyidik dan dilaksanakan maksimal 3 (tiga)
bulan.
4. Sesuai standar dan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.

C. Pelaporan
Fasilitas rehabilitasi medis wajib melakukan pelaporan dalam bentuk rekapitulasi
data secara berkala kepada Menteri melalui mekanisme sistem pelaporan
mengikuti sistem informasi kesehatan nasional. Rekapitulasi data yang telah
dilaporkan dapat diakses oleh pihak yang berkepentingan dalam pengembangan
kebijakan dan program baik lembaga pemerintah maupun masyarakat.

D. Pembinaan dan Pengawasan


Pembinaan dilakukan oleh Menteri Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan dan atau
Menteri/Kepala Lembaga lainnya yang membawahi lembaga rehabilitasi untuk:
1. Pembinaan dalam rangka meningkatkan kemampuan fasilitas rehabilitasi
medis yang dilakukan oleh Menteri dan Kepala Dinas Kesehatan sedangkan

11
[Type text]

2. Pembinaan dalam rangka peningkatan kemampuan fasilitas rehabilitasi medis


juga dilakukan oleh BNN, berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan
Pemerintah Daerah.
3. Pengawasan dilakukan guna menjamin kualitas penyelenggaraan rehabilitasi
medis.
4. Dalam melakukan kegiatan pembinaan dan pengawasan Menteri dapat
membentuk suatu tim dengan melibatkan unsur Pemerintah daerah
provinsi/kabupaten/kota melalui kepala dinas kesehatan/kepala biro NAPZA,
organisasi profesi di bidang kesehatan, BNN Provinsi/Kabupaten/Kota atau
organisasi kemasyarakatan terkait lainnya.
5. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan
administratif kepada fasilitas rehabilitasi medis, berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; atau
c. pencabutan izin.

Pokok Bahasan 4
KODE ETIK DAN ASPEK MEDIKOLEGAL WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA

Petugas penerima wajib lapor dalam menjalankan tugasnya tetap terikat pada
kode etik sesuai profesi masing-masing. Profesi dalam bahasa Latin berarti
’mengumumkan kepada dunia luar’ (Bond, 2005). Seseorang dapat dianggap profesional
apabila dia dengan sumpahnya kepada publik bertanggungjawab atas apa yang
dikerjakannya, sesuai dengan aturan dan prinsip-prinsip yang berlaku, yang umumnya
dikeluarkan oleh ikatan profesi. Menjalankan tindakan sesuai dengan aturan dan
prinsip adalah upaya menjaga kode etik yang berlaku.
Seorang dokter pada lembaga penerima wajib lapor tetap harus mematuhi Kode
Etik Kedokteran Indonesia. Beberapa Prinsip Etika Kedokteran yaitu:

• Beneficiency: mengutamakan kepentingan pasien


• Autonomy: menghormati hak pasien dalam mengambil keputusan
• Non-Malefeciency: tidak memperburuk keadaan pasien
• Justice: tidak mendiskriminasikan pasien, apapun dasarnya.

Tujuan etik didasari oleh filosofi kemanusiaan, dimana setiap tindakan


profesional hendaknya dilandasi oleh pertimbangan yang kuat tentang hak azasi
manusia. Secara rinci, tujuan etik adalah:

1. Menyediakan dasar bertindak yang adekuat untuk melindungi masyarakat dari


berbagai kemungkinan dampak buruk yang terjadi akibat malpraktik atau perilaku
yang salah dari profesional.
12
[Type text]

2. Menjadi acuan untuk identifikasi perilaku yang disadari ataupun tidak disadari, yang
secara potensial dapat mengakibatkan kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain

Petugas penerima wajib lapor harus menjaga profesionalisme, apalagi terkait


dengan undang-undang No. 35/2009 tentang narkotika yang menyebutkan orang yang
mengetahui adanya gangguan penggunaan Napza namun tidak melaporkan kepada
pejabat berwenang dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini bisa menempatkan petugas
kesehatan pada situasi dilematis dalam menjaga kerahasiaan pecandu yang melakukan
wajib lapor.

Dalam pelaksanaannya petugas kesehatan penerima wajib lapor harus:

1. Mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien


2. Bertanggung jawab dan bebas dari konflik kepentingan manapun.
3. Senantiasa meningkatkan kompetensinya yaitu pengetahuan dan keterampilan
tentang gangguan penggunaan Napza sesuai dengan perkembangan ilmu terbaru.
4. Menjaga kerahasiaan pecandu Narkotika. Pada situasi khusus ada kalanya petugas
penerima wajib lapor membuka tentang data pecandu narkotika pada pihak yang
berwajib untuk kepentingan hukum.
5. Menjaga hubungan profesional antara petugas itu sendiri baik kepada pimpinan
atau bawahannya dan kepada pecandu Narkotika yang melakukan wajib lapor, serta
terhadap lintas sektoral terkait.
6. Bersedia melakukan rujukan bila institusi yang menerima wajib lapor tidak memiliki
kemampuan untuk melaksanakan pengobatan/perawatan yang sesuai dengan
rencana terapi yang telah disepakati antara petugas dengan pecandu narkotika yang
melaporkan diri.

Mengingat pasien dengan gangguan penggunaan Napza yang kerap berhubungan


dengan tindak kriminalitas maka tak jarang petugas kesehatan, dalam hal ini dokter
sebagai profesi yang tersumpah diminta keterangan sebagai ahli. Keterangan ahli dapat
diberikan secara lisan maupun tertulis. Keterangan ahli secara lisan bisa diberikan pada
saat sidang di pengadilan maupun pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau
penuntut umum yang dituangkan dalam satu bentuk laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah diwaktu menerima jabatan atau pekerjaan. Keterangan ahli secara
tertulis adalah surat keterangan dari ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
kepadanya.

Pokok Bahasan 5
PERAN DAN FUNGSI PETUGAS

13
[Type text]

Sampai saat ini kompetensi tenaga kesehatan dilayanan terapi dan rehabilitasi
masih sangat terbatas baik dari sisi ketenagaannya maupun keterampilan petugas
dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan penggunaan napza dan pemahaman
yang benar tentang gangguan penggunaan napza. Selain hal diatas aksesibilitas pecandu
narkotika yang mencari pertolongan medis masih kurang karena masih adanya stigma
dan diskriminasi yang dihadapi pecandu narkotika dari masyarakat dan petugas
kesehatan sendiri.

Pada pelatihan ini diharapkan petugas mengetahui peran dan fungsi mereka
nantinya dalam melaksanakan proses wajib lapor yang terdiri dari:

1. Melakukan asesmen klinis


Instrumen yang digunakan dalam melakukan asesmen untuk wajib lapor ini
sesuai dengan yang terdapat dalam lampiran peraturan menteri yang ditetapkan.
Penting bagi petugas untuk dapat menentukan atau meninjau besar atau
beratnya masalah penggunaan narkotika yang dialami pecandu. Dari asesmen ini
juga petugas mampu mengidentifikasi perilaku penggunaan narkotika mereka,
serta menemukan batas-batas masalah kesehatan akibat efek penggunaan
narkotikanya.

2. Menegakkan diagnosa
Sesuai dengan asesmen yang telah dilakukan di awal proses penerimaan
pecandu narkotika.

3. Menyusun rencana terapi dan rujukan


Rencana terapi disusun dengan mempertimbangkan hasil pemeriksaan awal dan
diagnosis yang diperoleh berdasarkan hasil asesmen. Tidak semua institusi wajib
lapor memiliki modalitas terapi yang lengkap, pada layanan yang tidak tersedia
perawatan khusus maka petugas tersebut wajib untuk melakukan rujukan ke
tempat lain sesuai dengan kebutuhan pecandu narkotika tersebut. Tidak jarang
pecandu narkotika yang datang tidak murni hanya dengan masalah napzanya
saja tapi juga banyak diantara mereka dengan masalah dual diagnosis atau triple
diagnosis yang tentunya membutuhkan penanganan lebih khusus.
4. Melakukan rehabilitasi medis minimal sesuai dengan rencana terapi yang
ditentukan.
Dalam rehabilitasi minimal ini diharapkan juga dapat dipergunakan pada
layanan dasar seperti di puskesmas, tidak hanya dalam bentuk rawat inap, tapi
juga bisa melalui rawat jalan.

5. Melakukan monitoring dan evaluasi dari penyelenggaraan proses wajib lapor

Peran dan fungsi petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan sebagai


petugas penerima wajib lapor merupakan kontribusi yang penting oleh karena itu
14
[Type text]

dibutuhkan beberapa kriteria dalam memberikan layanan terapi dan rehabilitasi


gangguan penggunaan napza.

Petugas kesehatan penerima wajib lapor idealnya juga memenuhi beberapa


kriteria lainnya seperti magang di pusat layanan terapi rehabilitasi gangguan
penggunaan napza baik rawat inap maupun rawat jalan dan mempunyai motivasi untuk
memberikan layanan bagi pasien yang mengalami gangguan penggunaan napza.

15
[Type text]

DAFTAR PUSTAKA

Kep Menkes No. 996/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan


Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA

Kep Menkes No. 486/MENKES/SK/IV/2007 tentang Kebijakan & Rencana Strategi


Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA
Permenkes No. 269 tahun 2008 tentang Rekam Medis

Kep Menkes No. 421/MENKES/SK/III/2010 tentang Standar Pelayanan Terapi dan


Rehabilitasi Gangguan Penggunaan NAPZA

Permenkes No. 2415 tahun 2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna
dan Korban Penyalahgunaan Narkotika

Sarasvita, R. and A. Anwar. (2002). Kilas Balik 30 Tahun RS Ketergantungan Obat.


Jakarta: RSKO

Marc Stauch and Kay Wheat. (2005). Text, Cases and materials on Medical Law third
edition

16
[Type text]

MATERI DASAR 2

PERKEMBANGAN MASALAH GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

I. DESKRIPSI SINGKAT

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan bahan


berbahaya lainnya merupakan suatu kajian yang menjadi masalah dalam lingkup
nasional maupun secara internasional. Pada kenyataanya, kejahatan narkotika memang
telah menjadi sebuah kejahatan transnasional yang dilakukan oleh kelompok kejahatan
terorganisir (organized crime). Masalah ini melibatkan sebuah sistem kompleks yang
berpengaruh secara global dan akan berkaitan erat dengan Ketahanan Nasional sebuah
bangsa. Masalah gangguan penggunaan narkotika berkembang mengikuti trend, yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah ketersediaan zat, kebutuhan
masyarakat dan faktor penegakan hukum. New Psychoactive Substances (NPS) menjadi
salah satu perhatian dunia karena maraknya peredaran dan kurangnya penelitian dan
pemahaman terkait efek sampingnya.
Pada tahun 1998, sesi khusus pada pertemuan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) bersepakat untuk bekerjasama dalam “memberantas atau mengurangi dengan
signifikan” produksi narkotika illegal dan penyalahgunaannya pada tahun 2019. Hal ini
tentu bukanlah target yang mudah dicapai. UNODC mencatat bahwa sebagian negara-
negara di dunia ada yang telah mampu mengontrol situasi masalah narkotikanya dalam
kurun waktu yang relatif singkat, namun sebagian besar justru tidak atau belum mampu
mengontrol situasi tersebut.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan pembelajaran umum:


Pada akhir sesi, peserta mampu:
Memahami perkembangan masalah gangguan penggunaan Napza

B. Tujuan pembelajaran khusus:


Pada akhir sesi ini, peserta mampu:
1. Menjelaskan perkembangan masalah gangguan penggunaan Napza di
kawasan global
2. Menjelaskan perkembangan masalah gangguan penguunaan Napza di
kawasan regional.
3. Menjelaskan perkembangan masalah gangguan penggunaan Napza di
kawasan nasional

17
[Type text]

V. POKOK BAHASAN

Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan berikut:


Pokok Bahasan 1. Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika
dikawasan global
Pokok Bahasan 2. Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika
dikawasan regional
Pokok Bahasan 3. Epidemiologi dan perkembangan penggunaan narkotika
dikawasan nasional

VI. URAIAN MATERI

Pokok bahasan 1
EPIDEMIOLOGI DAN PERKEMBANGAN PENGGUNAAN NARKOTIKA DIKAWASAN
GLOBAL

Berbicara masalah epidemi gangguan penggunaan narkotika tidak dapat terlepas


dari masalah produksi dan peredarannya. Sejarah terkini mencatat bahwa hampir 74%
konsumsi heroin di seluruh dunia disumbangkan oleh produksi opium yang berasal dari
daerah Bulan Sabit Emas (Golden Crescent), terutama Afghanistan. Peringkat kedua
adalah produksi opium dari daerah Segitiga Emas (Golden Triangle), yaitu Laos,
Myanmar dan Thailand. Sementara itu negara pemasok kokain terutama berasal dari
Amerika Latin, seperti Columbia dan Meksiko. UNODC pada tahun 2013 mencatat
bahwa dari segi produksi:
- Area pertanian tanaman opium global meningkat 15 % di tahun 2012 karena
peningkatan di Afganistan dan Myanmar, namun produksi opium global
mengalami penurunan sekitar 30% ( sekitar 5000 ton)
- Area penanaman koka secara global di tahun 2011 juga mengalami penurunan
sekitar 14% dari tahun 2007.

Sukses atas pengendalian produksi opium (dan heroin) serta kokain tersebut
harus dilihat pada konteks tantangan yang bersifat jangka panjang. Dalam 10 tahun
belakangan ini peningkatan produksi narkotika justru mencolok pada ganja dan
amphetamine-type stimulants (ATS) seperti shabu dan ecstasy. Masalahnya, pencatatan
atas produksi zat-zat ini amatlah kompleks karena pada umumnya produksi dilakukan
di dalam negeri negara-negara yang bersangkutan. Misalnya, produksi ganja di Aceh
pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sendiri. Kontrol atas
peredarannya amat sangat bergantung pada upaya yang dilakukan oleh negara-negara
tersebut.
18
[Type text]

Peredaran gelap narkotika yang bersifat jarak jauh (long-distance trafficking)


umumnya menyangkut zat jenis kokain dan heroin. Dalam skala yang jauh lebih kecil,
termasuk pula resin ganja dan ecstasy. Penyitaan atas penyelundupan kokain secara
global menunjukkan upaya yang relatif stabil. Penyitaan yang dilakukan pada wilayah
Amerika Utara dan Eropa menunjukkan penurunan, namun penyitaan yang dilakukan di
Amerika Selatan dan Amerika Tengah menunjukkan peningkatan. Peredaran melalui
Afrika Barat yang meningkat diantara tahun 2004 – 2007 menunjukkan penurunan
pada tahun 2008 – 2009, namun hal ini selalu patut dimonitor karena tren peredaran
selalu menunjukkan perubahan dan selalu ada upaya untuk membuat jalur-jalur baru.
Penyitaan atas peredaran produk-produk opium mengalami peningkatan, terutama
pada negara-negara tetangga Afghanistan, yaitu Pakistan dan Republik Iran. Sementara
itu melacak peredaran ATS menjadi lebih kompleks karena sifat produksinya yang
umumnya bersifat lokal. Namun demikian dari laporan negara-negara anggota PBB,
tercatat adanya penyitaan ATS yang sangat tinggi sejak tahun 2006. Penyitaan atas daun
ganja secara global meningkat pada periode 2006 – 2008, terutama di Amerika Selatan.
Penyitaan resin ganja yang meningkat pada 2008 terutama tercatat di regional Timur
Tengah, dan juga Eropa dan Afrika.

Zat psikoatif baru (New Psychoactive Substances, NPS) saat ini juga menarik
perhatian dunia. NPS didefinisikan sebagai senyawa bentuk tunggal atau sediaan
berupa campuran yang marak disalahgunakan dan belum diatur dalam Konvensi
Internasional, tetapi memiliki efek yang sama dengan obat yang diatur. NPS mengalami
peningkatan, yang sebelumnya sebanyak 166 di tahun 2009 menjadi 251 di
pertengahan tahun 2012. Beberapa jenis NPS: Sintetik Cannabinoid (23%),
Penethylamine(23%), Sintetik Katinon (18%) Trypthamine (10%), Plant-based
substances(8 %), Piperazine (5% ).

UNODC memperkirakan antara 167 juta hingga 315 juta orang di dunia dunia
yang berusia 15 – 64 tahun di dunia pernah menggunakan narkotika, psikotropika dan
19
[Type text]

zat adiktif lainnya setidaknya sekali di tahun 2011. Sebagian dari populasi pengguna ini
sekitar 10 – 13% diantaranya mengalami masalah medis, psikologis dan sosial.
Sayangnya, hanya sekitar 12 – 30% dari jumlah ini yang pernah menerima terapi dan
rehabilitasi. Pada pengguna Napza suntik, estimasi yang menderita HIV sebesar 11,5%,
Hepatitis C sebesar 51% dan Hepatitis B sebesar 8,4 % .Secara global, narkotika jenis
ganja adalah yang paling banyak disalahgunakan, dimana sekitar 129 hingga 190 juta
orang menggunakannya. Ranking kedua adalah jenis zat amfetamin, kemudian diikuti
oleh kokain dan opiat (mis. heroin).

Persoalan pada banyak negara, terutama di negara berkembang adalah kurang


tersedianya data-data yang akurat terkait dengan penggunaan narkotika, psikotropika
dan zat adiktif lainnya. Oleh karenanya data secara internasional (global) lebih sering
bersifat estimasi, karena minimnya data yang dapat dijadikan patokan untuk melihat
besaran masalah yang diakibatkan gangguan penggunaan NAPZA. Salah satu sumber
data yang dapat diandalkan adalah data yang berasal dari fasilitas layanan terapi dan
rehabilitasi. Sekalipun mungkin tidak menggambarkan besaran masalah yang ada,
tetapi dapat menunjukkan kecenderungan persoalan penyalahgunaan narkotika yang
terjadi pada suatu negara.

Pokok Bahasan 2
EPIDEMIOLOGI DAN PERKEMBANGAN PENGGUNAAN NARKOTIKA DIKAWASAN
REGIONAL
20
[Type text]

Penanggulangan dan pemberantasan bahaya NAPZA bukanlah sebuah pekerjaan


yang mudah. Banyak negara yang cukup kesulitan bahkan nyaris kewalahan dalam
menangani tindak kejahatan narkotika ini. Dalam lingkup Asia Tenggara sendiri,
negara-negara yang tergabung dalam ASEAN telah menunjukkan sikap yang sama
dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba,
dengan merumuskan kesepakatan untuk mempercepat menjadikan Asean bebas
narkoba. Untuk mencapai hal tersebut, oleh ACCORD (Asean and China Cooperative
Operations in Response to Dangerous Drugs), telah disusun empat pilar sebagai pokok
kegiatan sebagai berikut:
1. Secara proaktif membangkitkan kesadaran dan mendorong peran masyarakat
dalam menangkal penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
2. Membangun kesepakatan bersama dan bertukar pengalaman terbaik dalam
upaya pencegahan.
3. Mempertegas penegakan hukum dan peraturan melalui kerjasama yang lebih
baik dalam pengawasan dan peningkatan kerjasama aparat penegak hukum,
serta peninjauan pembuatan undang-undangyang berlaku.
4. Menghapus persediaan narkotika gelap dengan mendorong program-program
pengembangan alternatif dalam membasmi penanaman gelap narkotika.

Sejak awal tahun 2000, penggunaan zat jenis amfetamin (ATS) marak di berbagai
negara di Asia Tenggara, yaitu pada negara-negara Cambodia, China, Indonesia, Laos,
Myanmar, Filipina dan Thailand. Produksi ATS umumnya dilakukan di dalam negeri,
seperti yang tercatat di China, Myanmar dan Indonesia. Penyitaan beberapa pabrik ATS
rumahan dengan kapasitas produksi hingga ribuan kilogram setiap bulannya
menunjukkan tingginya kebutuhan yang juga mencerminkan tingginya potensi
penyalahgunaan. Salah satu zat yang digunakan untuk memproduksi metamfetamin
adalah efedrin, yang banyak diselundupkan dari China dan India. Sementara itu
penggunaan zat jenis opiat, khususnya heroin, tetap memiliki pangsa pasar yang tetap
di wilayah ini. Pengguna NAPZA suntik masih menyumbang angka penularan HIV yang
cukup tinggi pada banyak negara di Asia. Walaupun demikian, jenis zat yang paling
banyak disalahgunakan di wilayah Asia Tenggara adalah ganja.

Pokok Bahasan 3
EPIDEMIOLOGI DAN PERKEMBANGAN PENGGUNAAN NARKOTIKA DI KAWASAN
NASIONAL

Letak geografis negara Republik Indonesia sebagaimana tergambar di dalam peta


dunia terbentang di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta dua
21
[Type text]

samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik yang keduanya memiliki posisi
silang yang sangat strategis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Indonesia
mempunyai kedudukan penting ditengah-tengah lalu lintas dunia international. Namun
demikian, permasalahan letak dan kedudukan ini selain memberikan dampak positif,
pada kenyataanya dapat pula memberikan dampak negatif. Peredaran gelap narkotika
dan obat-obatan terlarang lainnya adalah salah satu bentuk dampak negatif dari
keberadaan Indonesia pada posisi geografisnya. Kontrol atas masuknya berbagai jenis
NAPZA ke Indonesia menjadi lebih sulit. Pengaruh sosial budaya juga sulit dibendung
mengingat tamu asing dapat masuk dari berbagai belahan nusantara ini.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA merupakan suatu keprihatinan
global. Kejahatan narkotika telah menjadi sebuah kejahatan transnasional yang
dilakukan oleh kelompok kejahatan terorganisir (organized crime). Masalah ini
melibatkan sebuah sistem kompleks yang berpengaruh secara global dan akan
berkaitan erat dengan ketahanan nasional sebuah bangsa. Hal ini karena
kecenderungan peningkatan penyalahgunaan NAPZA pada kelompok usia produktif.
Di Indonesia sendiri, masalah penyalahgunaan NAPZA tidak pernah mereda,
sekalipun jenis zat yang digunakan menunjukkan perbedaan dari waktu ke waktu.
Secara resmi pemerintah awalnya mencatat masalah penyalahgunaan NAPZA dari
laporan yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan, khususnya Rumah Sakit
Ketergantungan Obat (RSKO) dan berbagai panti rehabilitasi sosial yang berada dalam
tanggungjawab Kementerian Sosial. Pada tahun 70an jenis zat yang marak
disalahgunakan dan menggiring penggunanya mencari pertolongan medis, adalah zat
morfin/heroin. Tahun 80an berubah menjadi barbiturat yang kemudia diikuti oleh
golongan benzodiazepin. Penggunaan kedua jenis zat tersebut biasanya dikombinasi
dengan penggunaan alkohol. Sempat terjadi trend penggunaan obat-obat yang
mengandung Ephedrin sebagai obat asma, walaupun hal ini hanya berlangsung singkat.
Tahun 90an menjadi awal dari penggunaan ekstasi yang kemudian diikuti oleh
masuknya heroin. Penggunaan heroin dengan cara suntik memicu cepatnya penularan
HIV di Indonesia, dimana prevalensi HIV di kalangan pengguna NAPZA suntik berkisar
50%. Sekitar tahun 1998 mulai marak penggunaan metamfetamin (shabu). Sejak tahun
2002 penyalahgunaan heroin tidak menunjukkan peningkatan pengguna baru yang
berarti, namun penggunaan zat jenis amfetamin, baik ekstasi maupun metamfetamin
(shabu) justru semakin meningkat. Saat ini shabu dan ektasi menjadi zat nomor 2 yang
terbanyak disalahgunakan setelah ganja. Diluar zat-zat tersebut diatas, penyalahgunaan
ganja sudah dilakukan semenjak tahun 1960an hingga saat ini. Data tentang
penggunaan kokain dan ketamin sangat sedikit. Pada pertengahan tahun 2000 sampai
sekarang tercatat adanya penyalahgunaan Buprenorfin, alprazolam, DMP,
trihexyphenidyl, krokodil, YABA, katinona dan metkatinona.
Indonesia sendiri adalah produsen ganja sejak awal abad ke 20 dan ganja yang
berasal dari Aceh adalah salah satu dari yang berkualitas baik di dunia. Sediaan heroin
berasal dari segitiga emas dan tidak berasal dari dalam negeri. Sementara konsumsi
22
[Type text]

metamfetamin sejak tahun 2000 tampaknya dipenuhi oleh produksi dalam negeri,
terbukti dari laporan penyitaan dan penggerebekan laboratorium-laboratorium
klandestin di Indonesia memproduksi metamfetamin dalam jumlah yang besar.

Survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional bekerjasama dengan Pusat
Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia pada tahun 2011 menunjukkan bahwa
estimasi penyalahguna NAPZA adalah sebesar 3.7 juta hingga 4.7 juta orang, atau
sekitar 2,2% dari total seluruh penduduk Indonesia berusia 10-59 tahun di tahun 2011.
Dari sejumlah penyalahguna tersebut, terdistribusi atas 27% coba pakai, 45% teratur
pakai,27% pecandu bukan suntik, dan 2% pecandu suntik. Penelitian juga menunjukkan
bahwa jenis zat utama yang disalahgunakan di seluruh Indonesia adalah ganja, diikuti
dengan penggunaan amfetamin, benzodiazepin dan heroin. Penyalahguna Narkoba
kebanyakan berada pada kelompok umur 20 – 29 tahun. Penyalahgunaan narkoba pada
kelompok pekerja (70%) lebih tinggi dibandingkan kelompok pelajar/mahasiswa
(22%). Menurut jenis kelamin, laki-laki (88%) jauh lebih besar dari perempuan (12%).
Data BNN tahun 2012 menyatakan jumlah pecandu yang mendapatkan terapi dan
rehabilitasi sebanyak 14.510 orang. Sedangkan hasil proyeksi menunjukan kerugian
biaya ekonomi akibat penyalahgunaan narkoba meningkat dari Rp.32,4 trilyun di tahun
2008 menjadi Rp.57,0 trilyun di tahun 2013.

Berbagai upaya baik berupa pencegahan, pemberantasan maupun


penanggulangan permasalahan peredaran gelap Narkotika dan obat-obatan terlarang
23
[Type text]

lainnya telah dilakukan oleh segenap elemen bangsa ini. Sebut saja upaya pembaharuan
undang-undang tentang Narkotika dari UU Nomor 22 tahun 1997 menjadi UU Nomor 35
tahun 2009. Undang-undang terbaru itu diyakini dapat memberikan efek jera yang
diiringi harapan semakin berkurangnya jumlah penyalahgunaan Narkotika dan obat-
obatan terlarang lainnya di Indonesia.

24
[Type text]

DAFTAR PUSTAKA

25
[Type text]

MATERI INTI 1

KETERGANTUNGAN NARKOTIKA

I. Deskripsi Singkat

Dalam masalah ketergantungan narkotika banyak terdapat istilah untuk suatu obyek
atau kondisi yang sama atau hampir sama, misalnya narkoba, napza dan narkotika.
Sebaliknya satu istilah bisa mempunyai pengertian yang berbeda karena sudut pandang
yang berbeda, misalnya istilah ketergantungan (dependence) dapat diartikan
ketergantungan fisik dan tidak ada kaitannya dengan penyalahgunaan (abuse), tetapi ada
pula yang mengartikan sebagai adiksi, yaitu penggunaan yang tak terkendali.

Narkotika dalam buku panduan ini meliputi berbagai zat psikoaktif yang secara
farmakologik sangat berbeda dimasukkan ke dalam kelompok yang sama menurut Undang-
Undang no. 35 tahun 2009. Untuk memahami mekanisme interaksi antara narkotika dan
otak, yang mendasari terjadinya toleransi, gejala putus zat, dan ketergantungan, dibahas
secara singkat patofisiologi ketergantungan.

Masalah ketergantungan narkotika merupakan suatu masalah yang sangat kompleks


termasuk di dalamnya terdapat aspek biologis, psikologis, sosial, budaya, dan moral. Oleh
karena itu, dalam modul ini dibahas berbagai pendekatan terhadap masalah
ketergantungan narkotika dan berbagai macam faktor kontributifnya.

II. Tujuan Pembelajaran

A. Tujuan Pembelajaran Umum


Pada akhir sesi ini peserta mampu menjelaskan pengetahuan dasar ketergantungan
narkotika.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus


Pada akhir sesi ini, peserta mampu
1. menjelaskan berbagai terminologi yang berkaitan dengan
ketergantungannarkotikaa.
2. menyebutkan berbagai jenis narkotika menurut PPDGJ III
3. menyebutkan penggolongan narkotika menurut UU RI Nomor 35 tahun
2009tentang Narkotika
4. menjelaskan patofisiologi ketergantungan narkotika
5. menjelaskan faktor-faktor kontribusi pada terjadinya ketergantungan narkotika.

26
[Type text]

6. menjelaskan berbagai pendekatan terhadap masalah ketergantungan narkotika.

III. Pokok Bahasan dan Subpokok Bahasan

Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut:


Pokok Bahasan 1. Terminologi.
Pokok Bahasan 2. Klasifikasi zat psikoaktif menurut PPDGJ III.
Pokok Bahasan 3. Penggolongan narkotika menurut UU RI nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika
Pokok Bahasan 4. Patofisiologi ketergantungan narkotika
4.1. Anatomi otak
4.2. Fisiologi neurotransmiter & reseptor
4.3. Perubahan neurobehavioral
Pokok Bahasan 5. Faktor-faktor kontribusi
5.1. Faktor genetik
5.2. Faktor risiko tinggi
5.3. Faktor lingkungan keluarga
5.4. Faktor lingkungan sekolah
5.5. Faktor lingkungan sosial
Pokok Bahasan 6. Pendekatan terhadap masalah ketergantungan narkotika
6.1. Pendekatan moral.
6.2. Pendekatan psikososiokultural.
6.3. Pendekatan penyakit.
6.4. Pendekatan biopsikososial.

IV. Uraian Materi

Pokok bahasan 1: terminologi

Narkotika. Menurut Undang-Undang no. 35 tahun 2009 tentang narkotika, yang disebut
narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan. Jenis zat yang dimasukkan kedalam kelompok narkotika didalam UU
tersebut tidak sejalan dengan terminologi dalam farmakologi. Salah satu hal yang mendasari
adalah dari besaran masalah penggunaannya.

Narkotika berasal dari kata Yunani narkotikaos, yaitu obat apa saja yang menginduksi tidur.

27
[Type text]

Narkotika sering diartikan untuk lingkup yang lebih sempit, yaitu sebagai opioda dan dalam
konteks legal seperti pada undang-undang tersebut di atas sebagai senyawa yang sering
disalahgunakan dan bersifat adiktif.

Psikotropika. Menurut Undang Undang RI nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika, yang
dimaksud psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat dan
meyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Zat Psikoaktif. Istilah psikoaktif dipakai dalam buku International Classification of Diseases
edisi 10 (ICD 10) dan dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
edisi III (PPDGJ III). Zat psikoaktif adalah zat yang bekerja pada susuanan saraf pusat secara
selektif sehingga dapat menimbulkan perubahan pada pikiran, perasaan, perilaku, persepsi
maupun kesadaran (Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif,
Joewana, EGC, 2004).

NAPZA. Akronim dari Narkotika, Psikotropika,Zat Adiktif lain. Akronim ini banyak digunakan
oleh jajaran Kementerian Kesehatan.

Narkoba. Akronim dari Narkotika dan Bahan adiktif lain. Akronim ini disukai oleh jajaran
penegak hukum.

Opium. Dalam bahasa Yunani opos, artinya getah (juice), maksudnya getah dari kotak biji
tanaman Papaver somniferum (pohon candu).

Opiat. Semua senyawa yang berasal dari produk yang terdapat dalam opium, baik yang
alami seperti morfin, kodein dan tebain, maupun yang semi-sintetik seperti heroin.

Opioda. Semua senyawa yang mempunyai fungsi dan sifat farmakologis seperti opiat, jadi
metadon.

Zat Psikedelik (Psychedelic agent). Senyawa yang dapat menimbulkan gangguan persepsi
seperti halusinasi, ilusi dan waham, termasuk di dalamnya adalah senyawa halusinogenik
yaitu senyawa yang dalam dosis kecil menimbulkan gangguan persepsi, pikiran, perasaan,
akan tetapi pengaruhnya terhadap daya ingat dan orientasi minimal
Club drug. Zat yang banyak digunakan di klub-klub (allnite dance) seperti ecstasy, LSD, PCP,
ketamin.

28
[Type text]

Ketergantungan zat (termasuk narkotika) memiliki dua pengertian: 1) sesuai dengan yang
tertera pada ketentuan umum UU no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan 2) sesuai
dengan pengertian ilmiah.

Ketergantungan narkotika menurut UU tersebut adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan
untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar
menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi / atau dihentikan
secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Sedangkan menurut
pemahaman ilmiah, ketergantungan zat (termasuk narkotika) terjadi karena penggunaan zat
berulang kali secara teratur sehingga terjadi toleransi dan gejala putus zat. Keadaan ini
dapat terjadi sekalipun penggunaannya bertujuan terapeutik.

Karena pada saat putus zat timbul gejala fisik, maka sering disebut ketergantungan fisik.
Sejak tahun 1987, American Psychiatric Association (APA) menggunakan istilah keter-
gantungan zat bagi penggunaan zat yang tak terkendali yang sebelumnya disebut disebut
sebagai adiksi. Istilah adiksi ditinggalkan karena mengandung konotasi negatif bagi pasien.

Masalah terkait-pengunaan narkotika. Yang termasuk didalamnya adalah gangguan jiwa


akibat penggunaan narkotika dan perilaku memakai lainnya yang tak digolongkan didalam
gangguan jiwa akibat penggunaan narkotika, seperti pemakaian coba-coba dan pemakaian
rekreasional.

Penyalahgunaan Zat. Menurut PPDGJ II atau DSM III, penyalahgunaan zat adalah pola
penggunaan zat yang bersifat patologis sesingkatnya satu bulan sehingga menimbulkan
hendaya dalam fungsi sosial atau pekerjaan. Yang dimaksud dengan penggunaan yang
patologis misalnya sampai terjadi intoksikasi sepanjang hari, tidak mampu mengendalikan
atau menghentikan penggunaan tersebut, ada usaha untuk abstinensi berulang kali, terus
menggunakan zat tersebut walaupun mengetahui bahwa penggunan zat tersebut
menyebabkan eksaserbasi penyakit fisik akibat zat tersebut.
Yang dimaksud paling sedikit 1bulan, tidak harus setiap hari dalam 1 bulan tetapi cukup
sering sehingga menimbulkan hendaya fungsi sosial dan pekerjaan.Yang dimaksud dengan
hendaya fungsi sosial misalnya tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai anggota
keluarga, mengalami masalah hukum akibat menggunakan zat.

Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat psikoaktif (ICD 10, PPDGJ III) adalah
kelompok gangguan mental yang berkaitan dengan penggunaan zat psikoaktif, jadi bukan
suatu diagnosis. Dalam kelompok gangguan mental ini terdapat 8 kondisi klinik yaitu:
intoksikasi akut, penggunaan yang merugikan, sindroma ketergantungan, keadaan putus zat,

29
[Type text]

keadaan putu zat dengan delirium, gangguan psikosis akibat zat, sindroma amnestik akibat
zat, gangguan psikosis residual dan onset lambat akibat zat.

Intoksikasi akut: suatu kondisi yang timbul akibat penggunaan zat psikoaktif sehingga terjadi
gangguan kesadaran,fungsi kognitif,persepsi, afek, perilaku atau fungsi dan respons
psikofisiologis lainnya.

Penggunaan yang merugikan: suatu pola penggunaan zat psikoaktif yang menyebabkan
terganggunya kesehatan, dapat berupa gangguan kesehatan fisik maupun gangguan
kesehatan mental.

Sindrom ketergantungan: adalah sindrom yang terdiri paling sedikit 3 dari yang berikut ini:
(1) adanya keinginan yang kuat untuk menggunakan zat psikoaktif, (2) ganguan dalam
mengendalikan perilaku penggunakan zat psikoaktif, (3) adanya gejala putus zat, (4)
toleransi, (5) preokupasi terhadap zat psikoaktif, (6) tetap menggunakan zat psikoaktif
walaupun menderita gangguan yang nyata akibat zat psikoaktif yang digunakannya.

Keadaan putus zat: kumpulan gejala yang timbul sebagai akibat berhenti atau mengurangi
jumlah zat psikoaktif yang biasa digunakan secara cukup teratur dan sering dalam jumlah
yang banyak.

Keadaan putus zat dengan delirium: sama dengan putus zat tersebut di atas tetapi disertai
delirium,dapat diserta kejang atau tanpa kejang.

Gangguan psikotik akibat zat psikoaktif: psikosis yang muncul pada waktu menggunakan zat
psikoaktif yang menetap lebih dari 48 jam dan berlangsung paling lama 6 bulan.

Ketergantungan psikologis atau emosional, disebut juga habituasi: kerinduan yang sangat
kuat untuk kembali menggunakan suatu zat psikoaktif, tanpa disertai gejala fisik, setelah
berhenti memakai zat tersebut untuk durasi waktu tertentu.

Toleransi: suatu kondisi dimana efek suatu zat psikoaktif menurun pada pemakaian dosis
yang menetap atau suatu kondisi butuh akan peningkatan dosis suatu zat psikoaktif untuk
memperoleh efek yang sama dari zat psikoaktif tersebut.

Toleransi silang: keadaan dimana seseorang yang mengalami toleransi terhadap satu jenis
zat psikoaktif juga mengalami toleransi terhadap zat psikoaktif lain yang sifat
farmakologiknya sama. Contoh: toleransi silang antara heroin dan metadon.

30
[Type text]

Adverse tolerance: suatu keadaan dimana untuk memperoleh efek suatu zat dibutuhkan
dosis yang semakin lama semakin sedikit. Contoh: pada penggunaan ganja, sebab adanya
efek kumulatif dari zat psikoaktif dalam ganja (THC).

Istilah Gaul

Para pengguna zat psikoaktif merupakan suatu subkultur yang biasanya mempunyai bahasa
gaul tersendiri. Bahasa gaul ini bisa berbeda untuk setiap daerah dan senantiasa mengalami
perubahan, artinya yang lama sudah tidak digunakan lagi, sebaliknya muncul istilah gaul
yang baru. Berikut ini disajikan beberapa istilah gaul yang umum dan masih sering terdengar
dengan tujuan agar petugas kesehatan lebih mudah membina rapport.

- Acid : LSD, zat golongan halusinogen


- Amper : amplop
- Bokul : beli
- Cimeng, gele, budha stick: ganja, kanabis
- Cucau : menggunakan putau dengan cara menyuntik kedalam pembuluh
darah balik (intravena)
- Ekstasi (ecstacy), XTC: MDMA
- Elsid : pelafalan slank dari LSD
- Etep : heroin dalam peredaran ilegal, isinya tidak murni heroin; slank
putau/w yang disingkat PT, ditulis sesuai pelafalan: pete, lalu dibaca dari belakang
- Gau : gram (satuan berat, khususnya untuk putau)
- Giting, mabok, beler: intoksikasi
- Insul, Spidol : alat suntik, spuit, syringe
- Linting : ukuran jumlah, untuk ganja
- Ngedrag : menggunakan putau dengan cara inhalasi asap putau yang dibakar
- Ngelem : mengonsumsi inhalansia, seperti lem dan bensin
- Ngive : (lihat cucau)
- Ngubas : mengonsumsi sabu-sabu (metamfetamin)
- Nyabu : (lihat ngubas)
- Nyepet : (lihat cucau)
- Pakau/w : singkatan dari pakai putau/w, istilah sedang mengonsumsi putau
- Paket : satuan jumlah putau
- Parno : paranoid, salah satu gejala intoksikasi metamfetamin
- Pedau/w : intoksikasi putau/w
- Pil anjing, gedek, atau koplo: MDMA, zat golongan halusinogen
- PT, pete : (lihat etep)
31
[Type text]

- Putau/w : (lihat etep)


- Riv, rivotril : clonazepam, obat golongan benzodiazepine
- Sabu-sabu : metamfetamin
- Sakau/w : singkatan dari sakit karena putau/w, sindrom putus opioid
- Seperempi : seperempat (gau)
- Setengki : setengah (gau)
- Syut : isapan (satu syut = satu isapan)
- Ubas : (lihat sabu-sabu), slank sabu (dibaca dari belakang)

Pokok bahasan 2: klasifikasi zat psikoaktif menurut ppdgj iii

Dalam buku PPDGJ III atau ICD 10, zat psikoaktif dikelompokkan menjadi sebagai
berikut:
1. Alkohol, yaitu semua minuman yang mengandung etanol seperti bir, wiski, vodka,
brem, tuak, saguer, ciu, arak.
2. Opioid, termasuk di dalamnya adalah candu, morfin, heroin, petidin, kodein,
metadon.
3. Kanabinoid, yaitu ganja atau marihuana, hashish.
4. Sedatif dan hipnotik, misalnya nitrazepam, klonasepam, bromazepam.
5. Kokain, yang terdapat dalam daun koka, pasta kokain, bubuk kokain.
6. Stimulan lain, termasuk kafein, metamfetamin, MDMA.
7. Halusinogen, misalnya LSD, meskalin, psilosin, psilosibin.
8. Tembakau yang mengandung zat psikoaktif nikotin.
9. Inhalansia atau bahan pelarut yang mudah menguap, misalnya minyak cat, lem,
aseton.

Pokok bahasan 3: penggolongan narkotika menurut undang-undang ri nomor 35


tahun 2009 tentang narkotika

Dalam Undang-undang ini, narkotika dibedakan menjadi 3 golongan, tanpa


memperhatikan struktur molekul maupun khasiat farmakologiknya.
- Golongan I:
o Dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
o Dalam jumlah terbatas, narkotika golongan I dapat digunakan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk
reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan
persetujuan menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan (pasal 8).

32
[Type text]

o Termasuk narkotika golongan I adalah opium, heroin, kokain, ganja,


metakualon, metamfetamin, amfetamin, MDMA, STP, fensiklidin.
- Golongan II:
o Berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan dan digunakan dalam
pengobatan sebagai pilihan terakhir.
o Termasuk dalam golongan ini adalah morfin, petidin, metadon.
- Golongan III:
o Berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan dan digunakan dalam
terapi.
o Termasuk dalam golongan ini adalah kodein, bufrenorfin.

Pokok bahasan 4: patofisiologi

4.1 Anatomi Otak


Manusia cenderung mengulangi pengalaman atau sensasi nikmat atau yang
menyenangkan dan menghindari pengalaman yang tidak menyenangkan. Bagian otak
yang mencatat pengalaman atau sensasi nikmat atau yang menyenangkan disebut
reward system, yang meliputi Nucleus Accumbens (Nac), Ventral Tegmental Area (VTA),
Locus Coeruleus (LC), Periaqueductal Grey (PAG), amygdala, dan medial forebrain bundle,
yang berisi serabut dopaminergik dari Nac dan VTA ke korteks prafrontal.

4.2 Fisiologi neurotransmiter dan reseptor


Stimulus pada otak dijalarkan secara elektrik di dalam sel otak (neuron) dan secara
kimiawi dari satu neuron ke neuron lain pada celah sinaps dengan perantaraan neuro-
transmiter. Ada banyak jenis neurotransmiter, antara lain dopamin, serototin, epinefrin,
norepinefrin, asetilkolin, endorfin dan enkefalin. Neurotransmiter yang berperan paling
besar dalam adiksi, khususnya di sistem reward, adalah dopamine (sehingga disebut juga
neurotransmiter kenikmatan). Selain dopamine, neurotransmitter lain yang berkaitan
dengan rasa nyaman adalah endorphin (morphin endogen), anandamid (kanabis
endogen), dan asetilkolin (nikotin endogen). Neurotransmiter, dan narkotika, bekerja di
otak melalui reseptor yang terdapat pada sinaps dan dinding sel saraf.

4.3 Perubahan Neurobehavioral


Perilaku, perasaan, dan pikiran seseorang dikendalikan oleh otak orang tersebut. Otak
bekerja dibawah pengaruh neurotransmiter. Neurotransmiter dipengaruhi oleh
narkotika dan zat psikoaktif lainnya. Dengan demikian, narkotika dan zat psikoaktif
lainnya bekerja memengaruhi otak dalam mengendalikan perilaku dan bermanifestasi
sebagai perubahan perilaku (menjadi lebih aktif atau menjadi lamban), perubahan

33
[Type text]

perasaan (euforia), dan perubahan proses dan isi pikir serta persepsi (lebih cepat,
melambat, berwaham, dan berhalusinasi).
Zat psikoaktif (termasuk narkotika) yang dikonsumsi secara berlebih dapat
mengakibatkan overdosis. Penggunaan narkotika berlangsung lama dapat
mengakibatkan toleransi, artinya reseptor menjadi kurang responsif terhadap narkotika
itu sehingga untuk timbulnya sensasi (euforia) seperti semula diperlukan jumlah yang
lebih banyak (toleransi seluler). Toleransi juga bisa terjadi karena metabolisme
narkotika oleh hati menjadi lebih cepat (toleransi metabolik). Toleransi dapa
dianalogikan seperti orang yang menerima kenaikan gaji beberapa kali lipat dan merasa
sangat senang pada mulanya, tetapi setelah beberapa bulan rasa senang saat menerima
gaji semakin berkurang.
Pemakaian zat psikoaktif dalam periode yang lama pada umumnya akan
menekan produksi neurotransmiter kenikmatan terkait dalam otak. Penghentian atau
pengurangan secara drastis pemakaian zat tersebut tak bisa segera diikuti oleh
pemulihan produksi neurotransmiter kenikmatan terkait. Dengan demikian, otak
kehilangan rangsang rasa nikmat, yang secara klinis akan bermanifestasi sebagai
sindrom putus zat.

Pokok bahasan 5: faktor kontribusi

Banyak faktor yang berkontribusi yang menentukan seseorang menjadi penderita


gangguan penggunaan narkotika. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor etiologik, faktor
konstitusional, faktor peluang, dan faktor pencetus, dari yang bersifat psikologik, sosial,
maupun kultural.

5.1. Faktor Etiologik


Terdapat penelitian yang membandingkan angka konkordan antara kembar
monozigot dan kembar dizigot pada pengguna, penyalahguna, dan ketergantungan
kokain dengan memperlihatkan perbedaan yang bermakna.

Penggun Penyalahgun Ketergantunga


a a n
Monozigo 54% 47% 35%
t
Dizigot 42% 8% 0%

Faktor genetik juga terbukti berperan dalam terjadinya ketergantungan ganja,


psikostimulan (ecstasy, metamfetamin) dan opioid.

5.2. Faktor Konstitusional

34
[Type text]

Telah diketahui beberapa sifat yang melekat pada tingkat individu dan tingkat
komunitas yang berkontribusi pada terjadinya gangguan penggunaan narkotika.
Anak yang berisiko tinggi menderita ketergantungan narkotika mempunyai ciri-ciri
hiperaktif, tak tekun, sukar memusatkan perhatian, mudah kecewa dan menjadi
agresif, mudah murung, makan berlebih, merokok usia dini (saat masih SD), sadis
(kepada saudara atau hewan peliharaan), sering berbohong, mencuri, dan melanggar
peraturan, dan mempunyai tingkat kecerdasan perbatasan. Remaja yang termasuk
kelompok berisiko tinggi mempunyai ciri-ciri bingung dengan identitas kelaminnya,
sedih atau cemas, suka melawan norma yang berlaku, taksabaran, menyukai
aktivitas berisiko atau berbahaya, kurang religius, kurang motivasi belajar, dan
kurang berminat kepada kegiatan yang positif (seperti olahraga dan kesenian).
Keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan riwayat penggunaan
narkotika atau yang disharmonis, serta keluarga dengan orangtua yang terlalu
mengatur, kurang komunikatif, terlalu menuntut prestasi, atau terlalu sibuk sehingga
kurang perhatian berkontribusi pada terjadinya gangguan penggunaan napza.
Sekolah yang tak tertib atau yang tak menegakkan disiplin secara baik juga
berkontribusi pada gangguan penggunaan napza. Masyarakat yang diwarnai oleh
pandangan sinis (negatif) terhadap sistem norma atau disorganisasi hubungan
antarmanusia atau dimana hukum kehilangan wibawa terkait erat dengan gangguan
penggunaan napza.

5.3. Faktor Peluang


Telah diketahui jika masyarakat atau individu dengan banyak faktor diatas dan
napza tak tersedia atau sukar didapat di lingkungannya maka hanya sedikit peluang
anggota masyarakat atau individu tersebut terlibat kedalam penggunaan napza.
Sebaliknya, jika masyarakat atau individu dengan sedikit faktor diatas dan napza
tersedia banyak di lingkungannya maka peluang timbulnya gangguan penggunaan
napza besar. Jadi, kemudahan diperolehnya napza berhubungan dengan peluang
timbulnya gangguan penggunaan napza dan turut berkontribusi selain faktor-faktor
yang sudah disebutkan sebelumnya.

5.4. Faktor Pencetus


Seseorang dengan faktor genetik dan konstitusional serta berpeluang untuk
memperoleh napza belum tentu mempunyai riwayat penggunaan, terlebih lagi
menderita gangguan penggunaan napza. Telah diketahui bahwa seseorang yang
menggunakan napza mengalami masalah atau konflik dalam situasi kehidupannya
sesaat sebelum memulai penggunaan. Masalah atau konflik tersebut sangat
beragam, bersifat psikologik, sosial, maupun kultural, mulai dari bullying, tuntutan

35
[Type text]

pekerjaan dan gaya hidup, bertengkar dengan pasangan, sampai dengan


pemerkosaan seksual. Masalah-masalah tersebut dialami oleh semua orang tetapi
tak semua orang mempunyai riwayat penggunaan napza. Hanya mereka yang
mempunyai faktor etiologik, konstitusional, dan peluang yang mempunyai riwayat
penggunaan, bahkan mengalami gangguan penggunaan napza.

Hubungan antar semua faktor diatas dapat dianalogikan seperti bertanam jagung, dimana
dibutuhkan benih jagung dan siraman air untuk mendapatkan pohon jagung. Pohon
tersebut tak mungkin tumbuh dari benih yang tak disirami air atau dari tanah yang disirami
air. Pohon jagung identik dengan gangguan penggunaan narkotika yang terjadi akibat
seseorang dengan kerentanan genetik atau sifat bawaan di masa kanak (faktor etiologik dan
konstitusional, yang identik dengan benih jagung) yang mendapat tekanan di dalam situasi
kehidupannya (faktor pencetus, identik dengan siraman air).

Pokok bahasan 6: berbagai pendekatan terhadap masalah ketergantungan


narkotika

Masalah ketergantungan narkotika merupakan masalah yang kompleks, meliputi tidak


hanya masalah kesehatan atau medis, tetapi juga masalah moral, hukum, psikologis, sosial,
kultural dan pendidikan. Oleh karena itu dalam masalah ketergantungan napza terdapat
berbagai pendekatan. Berikut ini disampaikan beberapa pendekatan yang patut diketahui.

6.1. Pendekatan Moral


Pendekatan ini berpendapat bahwa setiap orang dianggap mempunyai
kemampuan untuk menentukan pilihan yang terbaik bagi dirinya sendiri dan
bertanggung jawab terhadap konsekuensi dari pilihannya. Kepada pemabuk yang
mengalami keretakan rumah tangga, pendekatan ini berpendapat bahwa orang
tersebut mampu menilai apakah mengonsumsi alkohol merupakan tindakan yang
menguntungkan atau merugikan, mampu memutuskan untuk minum atau tidak
minum, dan keretakan rumah tangganya akibat pilihannya untuk minum. Jadi,
bila ingin terhindar dari masalah serupa dikemudian hari, ia tahu pilihan mana
yang harus dipilihnya.
Pendekatan ini berusaha untuk memberikan informasi tentang konsekuensi dari
setiap pilihan yang ada dan menyadarkan seseorang terhadap pilihan yang
“tepat”.

6.2. Pendekatan Sosiokultural


Pendekatan ini berpendapat bahwa adiksi terjadi dikarenakan faktor eksternal
seperti budaya, keluarga, teman, atau karena faktor psikologik. Model ini tidak
sependapat dengan model penyakit dan menunjukkan bahwa di kalangan bangsa
Cina dan bangsa Yahudi, prevalensi alkoholisme rendah, sebab pada kedua
kebudayaan tersebut konsumsi alkohol dalam jumlah yang wajar tidak dilarang,
36
[Type text]

tetapi penggunaan berlebihan dilarang. Pada kedua kebudayaan tersebut, anak


muda mengonsumsi alkohol dalam konteks sosial atau seremonial bersama sama
orang dewasa. Di kalangan orang Amerika keturunan Irlandia prevalensi
alkoholisme tinggi karena mengonsumsi jumlah banyak alkohol dapat diterima
dalam kebudayaan mereka. Tiga puluh persen anak dari orangtua yang alkoholik
juga menjadi alkoholik dan hanya 10% anak dari orangtua yang peminum alkohol
dalam jumlah moderat menjadi alkoholik. Pada keluarga yang ikatan
emosionalnya lemah, keluarga yang kaku, atau keluarga yang terlalu moralistik
mengakibatkan keturunannya cenderung menjadi alkoholik. Adiksi juga terjadi
karena adanya masalah psikologis yang mendasarinya, misalnya derpesi dan
kecemasan.

6.3. Pendekatan Penyakit


Pendekatan ini pertama kali dikemukakan oleh Jellinek (1960) berkaitan dengan
terjadinya alkoholisme. Pendekatan ini didukung dengan penelitian pada
biokimia otak, di mana pada adiksi terjadi perubahan hormonal yang serupa
dengan perubahan hormonal di organ pada penyakit kronis, misalnya diabetes
dan hipertensi. Jadi, adiksi merupakan penyakit (gangguan jiwa) primer, bukan
disebabkan oleh gangguan jiwa lainnya. Pendekatan ini dapat dipakai untuk
menjelaskan masalah lain yang juga dianggap sebagai penyakit seperti eating
problem, child abuse, judi, shopping addiction, ketegangan pramenstruasi,
compulsive love affair. Kelemahan pendekatan ini adalah pasien tidak merasa
bertanggung jawab terhadap perbuatan kriminal atau kekerasan terhadap orang
lain sebab perbuatan tersebut dilakukannya dalam kondisi sakit. Sebaliknya,
orang yang tidak menunjukkan “gejala klasik” adiksi, seperti masalah pekerjaan,
keuangan, dan criminal, tidak dianggap sebagai seorang penderita adiksi
sehingga tidak dianjurkan berobat.

6.4. Pendekatan Biopsikososial


Para pakar dalam adiksi saat ini berpendapat bahwa adiksi adalah suatu sindrom
multivariat, artinya terdapat berbagai pola penggunaaan zat psikoaktif yang
bersifat disfungsional, yang dialami oleh orang dengan berbagai tipe kepribadian,
dengan berbagai akibat yang berbeda-beda, dengan prognosis yang berbeda-
beda serta membutuhkan intervensi terapeutik yang berbeda pula.

37
[Type text]

Daftar referensi
1. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ) II,
Departemen Kesehatan RI, 1985.
2. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ) III,
Departemen Kesehatan RI, 1993.
3. The ICD 10 Classification of Mental and Behavioural Disorders, WHO, 1992.
4. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif, Satya Joewana,
EGC, 2004.
5. Substance Abuse: Information for School Counselors, Social Workers, Therapists and
Counselors, 4th ed, Fisher & Harrison, Allyn &Bacon Publ., 2009.
6. 4 Undang-Undang Bidang Hukum dan Sosial Budaya, CV Eko Jaya, Jakarta, 2009.

38
[Type text]

MATERI INTI 2

ASESMEN DAN DIAGNOSIS GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

I. Deskripsi Singkat

Gangguan penggunaan napza secara umum merupakan suatu masalah kompleks


yang meliputi aspek fisik, psikologis dan sosial. Untuk menentukan besaran masalah pada
diri seseorang, diperlukan asesmen klinis secara komprehensif, dimana hasil asesmen ini
merupakan dasar untuk menentukan intervensi atau rencana terapi yang sesuai untuk
individu yang bersangkutan. Dari segi terminologi, asesmenketergantungan
narkotika/NAPZA adalah suatu proses mendapatkan informasi menyeluruh pada individu
dengan gangguan penggunaan narkotika/NAPZA, baik pada saat awal masuk program,
selama menjalani program dan setelah selesai program.

Asesmen dilakukan dengan cara observasi, wawancara maupun pemeriksaan fisik.


Dalam mengobservasi klien, asesor/terapis perlu mendengarkan dengan seksama respons
yang diberikan klien, baik yang bersifat verbal (apa yang dikatakan), maupun yang bersifat
nonverbal (bahasa tubuh, mimik muka, intonasi suara, dan lain-lain). Seringkali apa yang
dikatakan bukan hal yang sungguh-sungguh dialami oleh klien. Untuk itulah seorang
asesor/terapis perlu terlatih dalam membaca bahasa tubuh klien. Dalam melakukan
wawancara, teknik bertanya dengan pertanyaan terbuka perlu dikuasai oleh asesor/ terapis.
Setiap informasi yang diberikan oleh klien merupakan faktor baru yang perlu ditambahkan
untuk memperoleh gambaran tentang klien secara utuh. Sementara itu pemeriksaan fisik
dilakukan untuk melengkapi informasi tentang klien, baik pemeriksaan umum seperti
tekanan darah, nadi dan suhu badan, maupun pemeriksaan penunjang lainnya yang
diperlukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi klien (misalkan, urinalisis, laboratorium
lain, radiologi, dan sebagainya).

Untuk mendapatkan hasil asesmen yang komprehensif digunakan berbagai


instrumen yang sudah terstandarisasi dan dilakukan oleh petugas yang sudah terlatih.
Mengingat bahwa asesmen merupakan salah satu upaya dalam penegakan diagnosis dan
menentukan tindak lanjut terapi untuk klien, maka diperlukan suatu pemahaman tentang
masalah gangguan penggunaan narkotika/NAPZA dan ketrampilan berkomunikasi dari
petugas kesehatan.

II. Tujuan Pembelajaran

A. Tujuan pembelajaran umum:


39
[Type text]

Pada akhir sesi, peserta mampu:


Melakukan asesmen dan menegakkan diagnosis penggunaan napza

B. Tujuan pembelajaran khusus:


Pada akhir sesi ini, peserta mampu:
1. Menjelaskan pengertian dan tujuan asesmen
2. Menjelaskan pertanyaan dan komponen yang penting dalam asesmen klinis
3. Menjelaskan jenis instrumen yang sering digunakan dalam skrining dan asesmen
4. Menjelaskan langkah-langkah asesmen dan prinsip-prinsip penegakan diagnosis
ketergantungan NAPZA
5. Menjelaskan tujuan pengisian formulir
6. Menjelaskan prosedur pengisian formulir
7. Mampu melakukan wawancara sesuai dengan pertanyaan didalam formulir
8. Mampu melakukan pengisian formulir

III. Pokok Bahasan

Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan berikut:


Pokok Bahasan 1. Pengertian dan tujuan asesmen klinis
Pokok Bahasan 2. Komponen klinis dalam asesmen dan kaitannya dengan rencana terapi
Pokok Bahasan 3. Jenis instrumen dalam skrining dan asesmen NAPZA
Pokok Bahasan 4. Persiapan dalam melaksanakan asesmen klinis dan prinsip penegakkan
diagnosis
Pokok Bahasan 5. Tujuan pengisian formulir
Pokok Bahasan 6. Prosedur pengisian formulir
Pokok Bahasan 7. Teknik wawancara dan pengisian formulir

IV. Uraian Materi

Pokok bahasan 1: pengertian dan tujuan asesmen klinis

Dalam menentukan masalah terkait-penggunaan napza ada dua langkah yang bisa
dilakukan. Langkah pertama adalah skrining dengan menggunakan instrumen tertentu.
Tujuan skrining ini hanya untuk mendapat informasi adakah suatu faktor risiko dan/atau
masalah yang terkait dengan penggunaan napza. Selanjutnya, untuk mendapatkan
gambaran klinis dan masalah yang lebih mendalam dilakukan langkah yang kedua, yakni
asesmen klinis, yang bertujuan untuk:
40
[Type text]

1. Menginisiasi komunikasi dan interaksi terapeutik


2. Mendapat gambaran klien secara lebih menyeluruh dan akurat
3. Meningkatkan kesadaran tentang besar dan dalamnya masalah yang dihadapi
oleh klien terkait penggunaan narkotika
4. Membangun diagnosis
5. Memberikan umpan balik
6. Memotivasi perubahan perilaku
7. Menyusun rencana terapi

Skrining umumnya diterapkan pada kasus-kasus dimana dibutuhkan informasi cepat


terkait penggunaan napza, seperti pelaksanaan urinalisis disertai wawancara singkat pada
siswa atau karyawan yang diduga mengalami masalah gangguan penggunaan napza.
Skrining umumnya menjadi bagian awal dari proses asesmen. Skrining dapat dilakukan oleh
pihak-pihak nonkesehatan (misalnya, kepolisian, sekolah, tempat kerja, dan sebagainya)
sebagai langkah awal, dan selanjutnya akan dilakukan proses rujukan kepada fasilitas
layanan kesehatan (fasyankes). Pihak fasyankes pun dapat melakukan skrining, terutama
untuk pasien/klien diduga mengalami gangguan jiwa akibat penggunaan napza sebagai
penyulit atas proses kesembuhan penyakitnya.

Sesuai dengan tujuannya, asesmen dilakukan untuk memperoleh gambaran klien


secara lebih menyeluruh (komprehensif). Penyedia layanan terapi rehabilitasi napza harus
melakukan asesmen untuk setiap klien yang datang, bukan sekedar skrining. Hal ini sangat
diperlukan mengingat hasil asesmen menjadi alat bantu dalam menegakkan diagnosis dan
menyusun rencana terapi. Selain itu asesmen yang dilakukan secara berkala (misalkan,
setiap 6 bulan) dapat membantu dalam proses pengawasan keberhasilan terapi rehabilitasi
klien. Terakhir, yang tidak kalah penting, hasil asesmen merupakan dokumen otentik resmi
yang dapat menjadi dasar bagi petugas kesehatan dalam memberikan keterangan bagi
penegak hukum bilamana klien ditangkap karena menggunakan napza.

Pokok bahasan 2: aspek klinis dalam asesmen dan kaitannya dengan rencana
terapi

Empat aspek penting yang perlu dinilai dalam asesmen meliputi:

 Riwayat penggunaan napza lengkap


 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan status mental
 Pemeriksaan penunjang/laboratorium

41
[Type text]

a. Riwayat medis lengkap meliputi:


- Riwayat penggunaan napza (misal; usia pertama kali pakai, zat yang digunakan,
perubahan yang drasakan, riwayat toleransi, overdosis, percobaan untuk
berhenti, keinginan menggunakan dan sugesti)
- Riwayat pengobatan (misal; pengobatan yang dilakukan sebelumnya, metode
pengobatan yang pernah dicoba, hasil dari pengobatan yang telah dilakukan)
- Riwayat psikiatrik (misal; diagnosis psikiatrik, pengobatan yang telah dijalani,
hasil pengobatan)
- Riwayat keluarga (misal; penggunaan narkotika dalam keluarga, riwayat medis
dan psikiatrik keluarga)
- Riwayat medis umum (misal; sistem pengobatan yang diterima, riwayat trauma
dan pembedahan sebelumnya, riwayat seksual, pengobatan saat ini dan lampau,
riwayat nyeri)
- Riwayat sosial (misal; kualitas lingkungan dalam pemulihan, lingkungan tempat
tinggal keluarga, penggunaan narkotika pada lingkungan pendukung)
- Riwayat legal (misal; dalam urusan polisi, pernah dipenjara, menunggu putusan
pengadilan)
- Kesiapan berubah (misal; pemahaman masalah penggunaan narkotika pada
klien, tahapan perubahan klien, ketertarikan klien untuk oengobatan saat ini,
pengobatan secara sukarela atau dipaksa)
b. Pemeriksaan fisik di dalam asesmen meliputi:
- Kondisi umum (keadaan umum, tanda-tanda vital)
- Perilaku (tanda-tanda intoksikasi)
- Keadaan kulit (basah, kemerahan, bekas suntikan, peradangan, kekuningan, dll)
- Mata, Telinga, Hidung dan Tenggorokan (warna conjunctiva, pupil mata,
pembengkakan mucosa, septum nasi, rhinitis dan lain-lain)
- Saluran pencernaan (Hepatomegali)
- Paru dan Jantung
- Reproduksi pria dan wanita
- Neurologi (sensori, refleks patologis, fungsi saraf lainnya)
c. Pemeriksaan Status Mental (Dalam bentuk Checklist)
- Penampilan umum
- Perilaku dan interaksi dengan asessor
- Pembicaraan
- Aktivitas motorik
- Mood dan afek
- Persepsi (halusinasi)
- Proses pikir
- Isi pikir (ide-ide bunuh diri, menyakiti orang, waham)

42
[Type text]

- Pemahaman diri/tilikan (insight)


- Kemampuan menilai
- Motivasi untuk berubah
- Fungsi kognitif (orientasi, daya ingat, konsentrasi, intelegensia)
- Karakteristik kepribadian
- Mekanisme defensif

d. Pemeriksaan penunjang merupakan bagian penting dari asesmen klinis pada klien
ketergantungan narkotika karena, meskipun tidak dapat dipakai untuk menegakkan
diagnosis, berguna bagi pengembangan rencana terapi yang komprehensif. Beberapa
pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan untuk klien dengan gangguan
penggunaan napza meliputi:
 Pemeriksaan darah dan urin rutin
 Tes Fungsi Hati (setidaknya SGOT dan SGPT)
 Tes HIV melalui VCT atau PITC
 Hepatitis B dan C
 Serologi untuk Infeksi Menular Seksual
 Tes untuk jenis zat (Toksikologi)
 Tes kehamilan untuk klien wanita
Jika terdapat indikasi untuk melakukan pemeriksaan foto Rongent Thorax, EKG, EEG,
CT scan, atau MRI, maka pemeriksaan tersebut dapat pula dilakukan.

Hubungan antara asesmen dan rencana terapi

a. Pertanyaan Dalam Asesmen


Saat memulai asesmen, asesor perlu memahami beberapa pertanyaan penting untuk
dapat menyimpulkan masalah klien dan mampu menyusun rencana untuk mengatasi
masalah tersebut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi:

 Apa yang dianggap suatu masalah bagi klien?


 Apa yang menjadi tujuan klien dalam terapi?
 Apa saja dukungan yang tersedia yang dapat dipilih oleh klien untuk mencapai
tujuan klien?
 Hambatan apa saja yang mungkin menghalangi tujuan tersebut?
 Cara apa saja yang mungkin dilakukan untuk mengatasi hambatan yang akan
dihadapi?
 Apakah individu dapat menyelesaikan fase krisis dalam kehidupannya? Dan
bagaimana dampaknya terhadap efikasi diri klien?

43
[Type text]

 Apa saja kekuatan dan sumber daya yang dimilki oleh klien dalam mencapai
tujuan klien?
 Dukungan luar apa saja dari luar klien yang membantu klien untuk mencapai
tujuan terapi?
 Apa jalan yang terbaik yang bisa digunakan klien baik kekuatan klien sendiri
maupun dukungan sumber daya luar?
 Adakah keinginan klien untuk melakukan sesuatu yang berbeda?
Di akhir asesmen, asesor diharapkan mempunyai pemahaman utuh tentang diri
klien beserta masalahnya. Pemahaman tersebut dinilai melalui jawaban asesor
terhadap tiga pertanyaan berikut:

1. Apa arti narkotika bagi klien?


2. Manfaat apa yang klien peroleh dari menggunakan narkotika?
3. Apakah penggunaan narkotika menciptakan masalah bagi klien?

Dengan melihat penggunaan narkotika merupakan suatu masalah, pendekatan yang


komprehensif akan meningkatkan kualitas hidup klien.

b. Karakteristik asesor
Untuk diperoleh hasil asesmen yang akurat, diperlukan hubungan yang baik atau terapeutik
antara asesor/terapis dengan klien. Enam sikap dan ketrampilan yang sebaiknya dimiliki
oleh asesor yaitu:

1. Kemampuan interpersonal yang baik, meliputi sikap hangat, ramah, menghargai dan
empati
2. Ketulusan dalam menolong klien
3. Mampu memberikan afirmasi
4. Memberikan dukungan
5. Mampu menjadi pendengar yang baik melalui teknik “reflective listening”
6. Mampu memberikan pertanyaan terbuka dan menggali jawaban klien tanpa
menginterogasi
Sikap tubuh (sebagaimana yang dipersyaratkan dalam melaksanakan konseling) juga
merupakan salah satu alat untuk membina hubungan yang baik dengan klien.

c. Rencana Terapi Multivariat


Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan agar rencana terapi dapat berhasil
dilaksanakan, yaitu:

a. Bersifat individual
b. Mengembangkan kolaborasi dengan klien
c. Isu tentang kerahasiaan harus dipegang teguh
d. Menjaga dan fokus yang jelas terhadap agenda terapi
44
[Type text]

e. Pemahaman yang luas oleh klien tentang bagaimana memperoleh informasi


untuk asesmen dan wawancara klinis tentang semua yang terkait dengan
masalah gangguan penggunaan narkotika
f. Hindari berprasangka buruk tentang stereotipi pengguna narkotika
g. Sensitif dalam mempertimbangkan isu-isu terkait perbedaan setiap orang baik
dalam diagnosis dan juga terapi
h. Jelaskan abstinen bukan merupakan satu-satunya tujuan terapi
i. Menerima bahwa berbagai variabel akan menjadi gelombang masalah pada
klien gangguan pengguna narkotika yang kompleks
j. Menyediakan berbagai modalitas terapi

Pokok bahasan 3: jenis instrumen dalam skrining dan asesmen napza

Pengenalan beberapa instrumen untuk skrining gangguan penggunaan narkotika:

1. ASSIST (Alcohol, Smoking, and Substance Involvement Screening Test)


2. CAGE (Cut down, Annoyed, Guilty, Eye opener)
3. TWEAK (Tolerance, Worried, Eye opener, Amnesia, Cut down)
4. AUDIT (Alcohol Use Disorders Identification Test)
5. DAST 10 (Drug Abuse Screening Test)
6. CRAFFT (Car driven, Relax, Alone, Forget, Family and Friends, Trouble)
7. ASI (Addiction Severity Index)
Skrining Target Jumlah Informasi yang diperoleh Tatanan Tehnik
Populasi domain (paling
sering)

ASSIST -Orang 8 Tingkat bahaya penggunaan, Puskesmas Wawancara


(WHO) dewasa dampak buruk, atau
-Sudah ketergantungan penggunaan
divalidasi NARKOTIKA (termasuk
dalam NARKOTIKA suntik)
berbagai
budaya dan
bahasa
termasuk di
Indonesia

45
[Type text]

Skrining Target Jumlah Informasi yang diperoleh Tatanan Tehnik


Populasi domain (paling
sering)

CAGE Dewasa dan 4 -Tingkat bahaya minum Puskesmas Wawancara


remaja >16 alkohol dan mengisi
tahun -Menanyakan kebutuhan sendiri
untuk berhenti minum alkohol,
tanda dan gejala
ketergantungan serta masalah
yang timbul terkait dengan
minum alkohol

TWEAK Wanita Hamil 5 -Risiko minum alkohol saat Puskesmas, Mengisi


hamil. Berdasar instrumen Organisasi sendiri,
CAGE. wanita dan wawancara
-Menanyakan ttg banyaknya lain-lain. dan
minum alkohol dan komputeris
toleransinya, ketergantungan asi
alkohol serta masalah yang
ditimbulkan

AUDIT -Dewasa dan 10 Identifikasi masalah -Berbagai Mengisi


(WHO) dewasa penggunaan dan tatanan sendiri,
muda ketergantungan alkohol. Dapat wawancara
-AUDIT C-
-sudah digunakan sebagai pra skrining dan
Puskesmas (3
divalidasi untuk identifikasi skrining komputeris
pertanyaan)
oleh penuh dan intervensi singkat. asi
berbagai
bangsa dan
budaya

DAST-10 Dewasa 10 Untuk mengidentifikasi Berbagai Mengisi


masalah penggunaan tatanan sendiri,
NARKOTIKA pada tahun wawancara
sebelumnya

CRAFFT Dewasa 6 Untuk identifikasi penggunaan Berbagai Wawancara


muda alkohol dan NARKOTIKA, tatanan
perilaku berisiko dan
konsekuensi penggunaan

46
[Type text]

Skrining Target Jumlah Informasi yang diperoleh Tatanan Tehnik


Populasi domain (paling
sering)

ASI Dewasa 7 Aspek Sebagai asesmen dan dapat Berbagai Wawancara


dengan sebagai informasi follow up tatanan
item atau rencana intervensi sesuai
berbed tingkat keparahan
a untuk ketergantungan klien
tiap
aspek

Pokok bahasan iv: persiapan pelaksanaan asesmen klinis dan prinsip penegakan
diagnosis

A. PERSIAPAN PELAKSANAAN ASESMEN KLINIS

Adiksi dan gangguan jiwa akibat pemakaian zat lainnya merupakan suatu penyakit otak
yang mana zat aktif memengaruhi area pengaturan perilaku. Dengan demikian, gejala dan
tanda utama dari penyakit tersebut adalah perubahan perilaku. Berbeda dari kebanyakan
penyakit lainnya, morbiditas pada adiksi bermula dari pencitraan diri (self-image, self
respect, self-concept, dan sense of self-efficacy serta gejala-gejala psikiatrik yang menjadi
awal dari penyakit); berlanjut pada hubungan interpersonal (keluarga, teman dekat, dan
hubungan sosial lainnya), kegemaran atau hobi, status finansial, aspek hukum, prestasi
sekolah atau pekerjaan; dan berakhir pada kerusakan organ atau fisik.

Asesmen mengungkap banyak hal, termasuk hal yang terungkap dalam skrining tetapi
dilakukan secara mendalam dan ditekankan pada area masalah yang terungkap. Tujuan
asesmen adalah untuk mengembangkan rencana terapi dan untuk menentukan program
atau layanan spesifik yang sesuai. Tahapan untuk asesmen meliputi riwayat penggunaan
narkotika, pola penggunaan saat ini, riwayat kesehatan mental dan gejala saat ini, riwayat
dan status kriminalitas, dan area fungsi psikososial lain, defisit dari ketrampilan saat ini, dan
tipe penatalaksanaan dan layanan dukungan yang dibutuhkan.

Dari berbagai manfaat tersebut, asesmen dirasa sangat penting. Dengan demikian,
asesmen menjadi suatu ketrampilan klinis dasar dan salah satu landasan bagi perawatan
klien yang berkualitas. Asesmen yang baik mampu menghubungkan diagnosis dengan
penatalaksanaan awal, memastikan akurasi dari diagnosis awal, dan mengidentifikasi
perawatan yang paling efisien dan efektif.
47
[Type text]

A.1. PENEMUAN KASUS DAN SKRINING

Pemeriksaan klinis rutin mampu mengidentifikasi klien dengan masalah narkotika.


Beberapa klien mungkin dengan suka rela mengakui bahwa masuknya klien ke rumah
sakit berhubungan dengan penggunaan napza (misalnya “dok, saya abis pakaw jadi saya
jatuh terkena kepala”). Pada keadaan yang lain, penyakitnya jelas berhubungan dengan
penggunaan napza (misalnya, delirium tremens atau luka tembak akibat tembakan polisi
saat dikejar karena masalah ganja) atau terdokumentasi di catatan medik. Keadaan-
keadaan tersebut tidak membutuhkan skrining tambahan. Namun, pemeriksaan klinis
masih mempunyai keterbatasan seperti pada kejadian dimana klinisi gagal untuk
mengenali klien-klien dengan keadaan intoksikasi akut, dan kebutuhan akan pemeriksaan
tambahan/penunjang sebagai penyaring (skrining) dirasa meningkat.

Tes narkotika dalam tubuh dapat menjadi skrining awal untuk mendeteksi masalah
terkait-penggunaan narkotika akut. Sayangnya, sensitivitas, spesifisitas, dan nilai prediktif
dari toksikologi sebagai marker untuk gangguan penggunaan narkotika pada klien yang
dirawat belum diteliti dengan baik. Terlebih lagi, Hasil tes tersebut menjadi sukar
diinterpretasi karena hanya mendeteksi penggunaan yang baru dan tidak mampu
membedakan antara penggunaan legal dan penggunaan ilegal, serta beberapa
keterbatasan lain dari uji tersebut (misalnya, banyak opioid yang tidak bereaksi silang
dengan uji urin opiat yang biasanya standar untuk uji morfin). Untuk meningkatkan
spesifisitas dapat dilakukan uji konfirmasi dengan menggunakan alat Gas
Chromatography Mass Spectrometry (GCMS).

Selain pemeriksaan klinis dan penunjang, informasi juga dapat diperoleh melalui cara
lain seperti resep. Resep klien yang dapat dilihat dari farmasi/apotik dapat dijadikan
informasi mengenai jenis obat dan dosis yang diberikan pada klien.

Setelah informasi klinis atau hasil dari asesmen menyatakan adanya masalah terkait-
penggunaan narkotika, selanjutnya dibutuhkan informasi tambahan untuk menentukan
adanya “keinginan untuk berubah” pada klien. Beberapa klien dapat mengatakan dengan
jujur keadaannya (misalnya, dok, saya mempunyai masalah narkotika), sementara yang
lain menunjukkan penyangkalan yang kuat dari masalahnya. Derajat keparahan dari
masalah terkait-penggunaan narkotika klien dapat bervariasi mulai dari “penggunaan
coba-coba” sampai kepada gangguan jiwa berat akibat penggunaan narkotika seperti
“gangguan psikotik lir-skizofrenia akibat penggunaan stimulan lain”. Oleh karena itu,
intervensi klinis yang sesuai juga dapat bervariasi dari suatu “sesi konseling singkat”
sampai merujuk pada “pengobatan gangguan penyalahgunaan yang berat”.

A.2. ASESMEN AWAL

48
[Type text]

Asesmen awal biasanya dilakukan dalam periode dua sampai empat minggu sejak pasien
datang ke penyedia layanan dan menerima penatalaksanaan awal. Proses asesmen
lanjutan perlu dilakukan untuk mengidentifikasi masalah-masalah baru yang muncul atau
informasi baru yang didapat selama penatalaksanaan tersebut, contohnya riwayat
kekerasan fisik atau seksual yang baru dilaporkan setelah pasien merasa lebih nyaman
berbicara kepada konselor dan petugas partisipan lainnya. Relaps yang terjadi,
perubahan rencana kehidupan atau pekerjaan, dan masalah baru lainnya yang terjadi
dalam masa pengobatan dapat dimodifikasi oleh rencana terapi spesifik yang sesuai dan
bergantung pada kemampuan penyedia layanan.

B. PRINSIP PENEGAKAN DIAGNOSIS

Diagnosis merupakan dasar bagi perencanaan terapi selanjutnya. Prinsip penegakan


diagnosis bagi pengguna narkotika sebagai berikut:

1. Diagnosis tidak selalu dapat ditegakkan pada asesmen awal

2. Diagnosis dapat ditegakkan setelah mendapat informasi tambahan dari


keluarga atau orang yang mengantar

3. Tegakkan diagnosis berdasarkan informasi yang didapat ketika klien dalam


kondisi sadar penuh dan tidak mengalami sindrom intoksikasi akut atau putus
zat

4. Pastikan diagnosis melalui asesmen ulang, bila perlu (mis ; adanya dual
diagnosis yang belum terlihat pada asesmen awal)

5. Pemeriksaan penunjang narkotika pada kondisi akut dapat membantu


penegakan diagnosis

Komorbiditas atau disebut sebagai dual-diagnosis adalah diagnosis dari dua atau lebih
gangguan psikiatrik pada satu klien. Suatu survey dalam komunitas yang besar
melaporkan bahwa 76% laki-laki dan 65% perempuan dengan diagnosis penyalahgunaan
atau ketergantungan zat mempunyai diagnosis gangguan psikiatrik. Diagnosis psikiatrik
lainnya umumnya berhubungan dengan penyalahgunaan zat adalah gangguan
kepribadian antisosial, fobia (dan gangguan cemas lainnya), gangguan depresi berat, dan
gangguan distimia. Secara umum, semakin poten suatu zat semakin tinggi angka
komorbiditas. Contohnya, komorbiditas gangguan psikiatrik lebih sering pada pengguna
opioid dan kokain dari pada mariyuana.

49
[Type text]

Komorbiditas antara penggunaan narkotika dan gangguan jiwa sering terjadi. Narkotika akan
memengaruhi kerja susunan saraf pusat dan bermanifestasi pada perubahan pikiran,
perasaan, dan perilaku sampai dengan taraf gangguan jiwa. Orang-orang juga sering
berpaling kepada narkotika untuk mengurangi, bahkan menghilangkan, ketidaknyamanan
yang ditimbulkan oleh gangguan jiwa yang sudah ada sebelumnya (sering disebut juga
self-medication). Kemungkinan yang lain adalah pengguna narkotika yang menderita
gangguan jiwa dan hubungan patogenesis diantara keduanya tidak dapat dijelaskan
(serupa dengan orang dengan kencing manis yang terinfeksi virus influenza). Komorbid
antara penyalahgunaan narkotika dan gangguan kepribadian, gangguan mood, atau
gangguan cemas pada orang dewasa, serta gangguan pemusatan perhatian dan
gangguan mood pada remaja sering terjadi. Untuk dapat memastikan sifat hubungan
antara penggunaan narkotika dan gangguan jiwa yang menyertainya dibutuhkan
ketelitian dalam melakukan anamnesis untuk mendapatkan riwayat penyakit sekarang
dan terdahulu.

Penggolongan dan kriteria diagnostik gangguan jiwa akibat pemakaian narkotika

Masalah kesehatan terkait-narkotika merupakan bagian dari kelompok gangguan jiwa.


Indonesia mempunyai Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia
(PPDGJ) III, yang merupakan adaptasi dari Clinical Descriptions and Diagnostic Guidelines
(CDDG) dari International Classification of Diseases revisi kesepuluh (ICD-10) bagian F,
sebagai pedoman penegakan diagnosis gangguan jiwa akibat pemakaian zat psikoaktif.
PPDGJ III mencantumkan sepuluh kondisi klinis dalam kelompok gangguan mental dan
perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif.

Kondisi klinis yang tercantum dalam PPDGJ III meliputi:

1. Intoksikasi akut
2. Penggunaan yang merugikan
3. Sindrom ketergantungan
4. Keadaan putus zat
5. Keadaan putus zat dengan delirium
6. Gangguan psikotik
7. Sindrom amnesik
8. Gangguan psikotik residual dan awitan lambat
Selain delapan kondisi di atas, PPDGJ III membuka kemungkinan untuk kondisi klinis
yang terinci lainnya (gangguan mental dan perilaku akibat pemakaian zat psikoaktif
lainnya) dan kondisi klinis yang tak terinci (gangguan mental dan perilaku akibat
pemakaian zat psikoaktif YTT).
50
[Type text]

Pedoman diagnostik PPDGJ III untuk intoksikasi akut:

Intoksikasi akut sering dikaitkan dengan tingkat dosis yang digunakan. Pengecualian dapat
terjadi pada individu dengan kondisi organic tertentu yang mendasarinya yang dalam dosis
kecil dapat menyebabkan efek intoksikasi berat yang tidak proporsional. Harus pula
dipertimbangkan disinhibisi sosial. Intoksikasi akut merupakan fenomena peralihan.
Intensitasi intoksikasi berkurang dengan berlalunya waktu dan pada akhirnya efeknya
menghilang bila tidak terjadi penggunaan zat lagi. Dengan demikian orang tersebut akan
kembali ke kondisi semula, kecuali jika ada jaringan yang rusak atau terjadi komplikasi
lainnya.

Gejala intoksikasi tidak selalu mencerminkan aksi primer dari zat. Sebagai contoh, zat
depresan dapat menimbulkan gejala agitasi atau hiperativitas, dan zat stimulan
menimbulkan penarikan diri secara sosial atau perilaku introvert. Efek zat sepserti kanabis
dan halusinogenika mungkin sukar diramal. Lebih-lebih, banyak zat psikoaktif mampu
menimbulkan berbagai bentuk efek ayng berbeda pada tingkat dosis yang berbeda. Sebagai
contoh, alkohol rupanya dapat mempunyai efek stimulan pada perilaku dalam dosis yang
lebih rendah, namun dapat meyebabkan agitasi dan agresi dengan meningkatnya dosis, dan
menimbulkan sedasi yang jelas pada dosis yang sangat tinggi.

Pedoman diagnostik PPDGJ III untuk penggunaan yang merugikan:

Untuk menegakkan diagnosis harus ada cedera nyata pada kesehatan jiwa atau fisik
pengguna.

Pola penggunaan yang merugikan sering dikecam oleh pihak lain dan sering kali disertai
berbagai konsekuensi sosial yang tidak diinginkan. Bila suatu pola penggunaan atau suatu
zat tertentu tidak disetujui oleh orang lain atau oleh budaya setempat, atau menjurus
kepada konsekuensi yang negatif secara sosial seperti penahanan atau cekcok dalam
perkawinan bukanlah merupakan bukti dari adanya penggunaan yang merugikan.

Intoksikasi akut atau “hangover” sendiri bukanlah merupakan bukti cukup untuk pemberian
kode pengunaan yang merugikan.

Jangan memberi diagnosis penggunaan yang merugikan kalau ada sindrom


ketergantungan, gangguan psikotik atau bentuk spesifik lain dari gangguan yang berkaitan
dengan penggunaan obat atau alkohol.

51
[Type text]

Pedoman diagnostik PPDGJ III untuk sindrom ketergantungan:

Diagnosis ketergantungan yang pasti ditegakkan jika ditemukan tiga atau lebih gejala di
bawah ini dialami dalam masa setahun sebelumnya:

a) Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk
menggunakan zat;
b) Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat sejak awal, usaha
penghentian atau tingkat penggunaannya;
c) Keadaan putus zat secara fisiologis ketika penghentian penggunaan zat atau
pengurangan, terbukti oang tersebut menggunakan zat atau golongan zat yang
sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari terjadinya gejala
putus zat;
d) Adanya bukti toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang diperlukan
guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis lebih
rendah;
e) Secara progresif mengabaikan alternative menikmati kesenangan karena
penggunaan zat psikoaktif lain, meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan atau menggunakan zat atau pulih dari akibatnya;
f) Terus menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang merugikan
kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum alkohol berlebihan,
keadaan depresi sebagai akibat penggunaan yang berat atau hendaya fungsi
kognitif akibat menggunakan zat; upaya perlu diadakan untuk memastikan bahwa
penggunaan zat sungguh-sungguh atau diharapkan untuk menyadari akan hakikat
dan besarnya bahaya.

Memperbanyak pola kebiasaan penggunaan zat psikoaktif telah dideskripsikan sebagai


gambaran khas.

Ciri khas penting dari sindrom ketergantungan ialah penggunaan atau keinginan untuk
menggunakan zat psikoaktif. Kesadaran subjektif adanya kompulsi untuk menggunakan zat
biasanya ditemukan ketika berusaha untuk menghentikan atau mengatasi penggunaan zat.
Syarat diagnostik ini mengecualikan pasien pasca bedah yang mendapatkan opioida untuk
menghilangkan rasa nyeri dan kemudian menunjukkan tanda-tanda keadaan putus zat bila
zat tidak diberikan, namun mereka sebenarnya tidak menginginkan untuk melanjutkan
penggunaan zat.

Sindrom ketergantungan dapat juga terjadi terhadap bahan/zat yang spesifik, atau pada
golongan zat tertentu, atau pada aneka ragam zat.

52
[Type text]

Pedoman diagnostik PPDGJ III untuk keadaan putus zat:

Keadaan putus zat merupakan salah satu indikator dari sindrom ketergantungan dan
diagnosis sindrom ketergantungan zat harus turut dipertimbangkan.

Keadaan putus zat hendaknya dicatat sebagai diagnosis utama, bila hal ini merupakan
alasan rujukan dan cukup parah sehingga memerlukan perhatian medis secara khusus.

Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Gangguan psikologis merupakan
gambaran umum dari keadaan ptuts zat ini. Yang khas ialah pasien akan melaporkan bahwa
gejala putus zat akan mereda dengan meneruskan penggunaan zat.

Perlu diingat bahwa gejala putus zat dapat diinduksi dengna rangsang yang terkondisi/
dipelajari walaupun tanpa penggunaan zat sebelumnya. Pada kasus yang demikian,
diagnosis keadaan putus zat hendaknya dibuat hanya apabila taraf keparahaan putus
obatnya cukup berarti.

Pedoman diagnostik PPDGJ III untuk masing-masing kondisi klinis di atas agak sukar
digunakan karena penjabarannya sebagian besar berupa kalimat dalam alinea. Untuk
kepentingan praktis, dapat dipakai kriteria diagnostik untuk penelitian (DCR-10), yang
merupakan penyerta ICD-10 (sumber PPDGJ III) atau kriteria diagnostik dari Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat dengan revisi teks (DSM-IV-TR) atau
edisi kelima (DSM-5).

Kriteria diagnostik DCR-10 untuk intoksikasi akut – kriteria umum:

1. Bukti jelas dari penggunaan baru zat psikoaktif pada tingkat dosis yang cukup tinggi
yang konsisten dengan intoksikasi.
2. Gejala atau tanda dari intoksikasi sesuai dengan kerja dari zat dan cukup parah untuk
menyebabkan gangguan dalam tingkat kesadaran, kognisi, persepsi, afek, atau
perilaku yang bermakna klinis.
3. Bukan disebabkan oleh suatu gangguan medis yang tak berhubungan dengan
penggunaan zat, dan bukan disebabkan oleh gangguan mental atau perilaku lainnya.

Intoksikasi akut sering timbul pada orang-orang dengan masalah terkait-alkohol atau –
zat yang menetap. Bila ada masalah-masalah tersebut, seperti penggunaan yang
merugikan, sindrom ketergantungan, atau gangguan psikotik akibat penggunaan zat
psikoaktif, masalah tersebut harus dicatat.

Intoksikasi alkohol akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi;
perilaku disfungsional yang terbukti dengan sedikitnya satu dari tujuh perilaku berikut:
disinhibisi, argumentatif, agresi, suasana perasaan labil, perhatian terganggu, daya nilai
53
[Type text]

terganggu, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari tanda berikut: jalan
sempyongan, kesukaran berdiri, slurred speech, nystagmus, penurunan tingkat
kesadaran (misalnya stupor, koma), wajah memerah, dan injeksi konjungtival. Intoksikasi
alkohol akut yang parah bisa disertai dengan hipotensi, hipotermia, dan depresi refleks
muntah.

Intoksikasi opioida akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut yang
terpenuhi; perilaku disfungsional yang terbukti dengan sedikitnya satu dari enam
perilaku berikut: apati dan sedasi, disinhibisi, retardasi psikomotor, hendaya perhatian,
hendaya daya nilai, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari empat tanda
berikut: mengantuk, slurred speech, konstriksi pupil (kecuali pada anoksia akibat dosis
berlebih yang berat dimana terjadi dilatasi pupil), dan penurunan tingkat kesadaran
(misalnya stupor, koma). Intoksikasi opioida akut yang parah bisa disertai dengan
depresi pernafasan (dan hipoksia), hipotensi, dan hipotermia.

Intoksikasi kanabinoida akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut
terpenuhi; perilaku disfungsional atau gangguan persepsi yang meliputi sedikitnya satu
dari dua belas berikut: euforia dan disinhibisi, kecemasan atau agitasi, curiga atau ide-
ide paranoid, perlambatan waktu (rasa seperti waktu berjalan sangat lambat, dan/atau
pengalaman ide-ide mengalir cepat), hendaya daya nilai, hendaya perhatian, hendaya
waktu reaksi, ilusi auditori, visual, atau taktil, halusinasi dengan orientasi baik,
depersonalisasi, derealisasi, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari
empat tanda berikut: peningkatan nafsu makan, mulut kering, injeksi konjungktival, dan
takikardia.

Intoksikasi akut akibat penggunaan obat-obat sedatifa-hipnotika ditandai dengan


kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi; perilaku disfungsional yang terbukti
dengan sedikitnya satu dari delapan perilaku berikut: euforia dan disinhibisi, apati dan
sedasi, kekerasan atau agresi, kelabilan suasana perasaan, hendaya perhatian, amnesia
anterograd, hendaya performa psikomotor, dan gangguan fungsi personal; dan
sedikitnya satu dari enam tanda berikut: jalan sempoyongan, kesukaran berdiri, slurred
speech, nystagmus, penurunan tingkat kesadaran, dan lesi atau blister kulit
erythematous. Intoksikasi akut akibat penggunaan obat sedatifa-hipnotika yang parah
bisa disertai dengan hipotensi, hipotermia, dan depresi refleks muntah.

Intoksikasi kokain akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi;
perilaku disfungsional atau abnormalitas persepsi yang terbukti dengan sedikitnya satu
dari sebelas berikut: euforia dan sensasi peningkatan energi, hypervigilance, keyakinan
atau tindakan grandios (kebesaran), kekerasan atau agresi, argumentatif, kelabilan
suasana perasaan, perilaku stereotipik repetitif, ilusi (auditori, visual, atau taktil),

54
[Type text]

halusinasi biasanya dengan orientasi intak, ide-ide paranoid, dan gangguan fungsi
personal (sudah terlihat jelas dari interaksi sosial pengguna, mulai dari gregariousness
yang ekstrem sampai dengan withdrawal sosial); dan sedikitnya dua dari sebelas tanda
berikut: takikardia (terkadang bradikardia), aritmia kardiak, hipertensi (terkadang
hipotensi), berkeringat dan menggigil, mual atau muntah, bukti penurunan berat badan,
dilatasi pupil, agitasi (terkadang retardasi) psikomotor, kelemahan otot, nyeri dada, dan
kejang.

Intoksikasi akut akibat penggunaan stimulan selain kokain ditandai dengan kriteria
umum untuk intoksikasi akut terpenuhi; perilaku disfungsional atau abnormalitas
persepsi yang terbukti dengan sedikitnya satu dari sebelas berikut: euforia dan sensasi
peningkatan energi, hypervigilance, keyakinan atau tindakan grandios (kebesaran),
kekerasan atau agresi, argumentatif, kelabilan suasana perasaan, perilaku stereotipik
repetitif, ilusi (auditori, visual, atau taktil), halusinasi biasanya dengan orientasi intak,
ide-ide paranoid, dan gangguan fungsi personal (sudah terlihat jelas dari interaksi sosial
pengguna, mulai dari gregariousness yang ekstrem sampai dengan withdrawal sosial);
dan sedikitnya dua dari sebelas tanda berikut: takikardia (terkadang bradikardia), aritmia
jantung, hipertensi (terkadang hipotensi), berkeringat dan menggigil, mual atau muntah,
bukti penurunan berat badan, dilatasi pupil, agitasi (terkadang retardasi) psikomotor,
kelemahan otot, nyeri dada, dan kejang.

Intoksikasi halusinogen akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut
terpenuhi; perilaku disfungsional atau abnormalitas persepsi yang terbukti dengan
sedikitnya satu dari sebelas berikut: kecemasan dan ketakutan, ilusi atau halusinasi
(auditori, visual, atau taktil) yang timbul dalam keadaan terjaga penuh, depersonalisasi,
derealisasi, ide-ide paranoid, ide-ide rujukan, kelabilan suasana perasaan, hiperaktivitas,
tindakan impulsif, hendaya perhatian, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya dua
dari tujuh tanda berikut: takikardia, palpitasi, berkeringan dan menggigil, tremor,
pandangan buram, dilatasi pupil, dan inkoordinasi.

Intoksikasi nikotin akut ditandai dengan kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi;
perilaku disfungsional atau abnormalitas persepsi yang terbukti dengan sedikitnya satu
dari lima berikut: insomnia, mimpi aneh (bizarre), kelabilan suasana perasaan,
derealisasi, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari empat tanda berikut:
mual atau muntah, berkeringat, takikardia, dan aritmia jantung.

Intoksikasi akut akibat penggunaan pelarut yang mudah menguap ditandai dengan
kriteria umum untuk intoksikasi akut terpenuhi; perubahan perilaku yang meliputi
sedikitnya satu dari delapan perilaku berikut: apati dan letargi, argumentatif, kekerasan
atau agresi, kelabilan suasana perasaan, hendaya daya nilai, hendaya perhatian dan daya

55
[Type text]

ingat, retardasi psiko-motor, dan gangguan fungsi personal; dan sedikitnya satu dari
tujuh tanda berikut: jalan sempoyongan, kesukaran berdiri, slurred speech, nystagmus,
penurunan tingkat kesadaran, kelemahan otot, dan pandangan buram atau diplopia.
Intoksikasi akut akibat penggunaan inhalansia dicatat di sini. Intoksikasi akut akibat
penggunaan pelarut yang mudah menguap bila parah bisa disertai dengan hipotensi,
hipotermia, dan depresi refleks muntah.

Kriteria intoksikasi akut akibat penggunaan multi zat dan zat psikoaktif lainnya dipakai
ketika terdapat bukti intoksikasi yang disebabkan oleh penggunaan baru zat psikoaktif
lain (misalnya phencyclidine) atau multi zat psikoaktif yang tidak pasti zat mana yang
menonjol.

Kriteria diagnostik DSM-5 untuk intoksikasi akut:

A. Perkembangan dari suatu sindrom zat spesifik yang reversibel disebabkan karena
penggunaan yang baru. (catatan: zat yang berbeda dapat memperlihatkan sindrom
yang sama atau identik)
B. Secara klinis, perubahan perilaku dan psikologik maladaptif yang signifikan
disebabkan karena efek dari zat didalam sistem saraf pusat (misalnya, agresif, mood
yang labil, gangguan kognitif, daya nilai terganggu, fungsi pekerjaan atau sosial
terganggu) dan berkembang selama atau segera sesudah penggunaan zat
C. Gejala-gejala tersebut bukan disebabkan oleh karena suatu kondisi medis umum dan
tidak diperhitungkan untuk suatu gangguan mental lainnya.

Tenaga medis harus mengetahui kriteria intoksikasi untuk masing-masing zat. Kriteria
intoksikasi alkohol berupa perubahan perilaku atau psikologis yang bermasalah (seperti
perilaku agresif atau seksual yang tak sesuai, kelabilan suasana perasaan, dan hendaya daya
nilai) disertai satu atau lebih dari pembicaraan tak jelas (slurred speech), gangguan
koordinasi gerak, jalan sempoyongan, nystagmus, hendaya dalam perhatian atau daya ingat,
dan stupor atau koma.

Intoksikasi kafein ditandai oleh lima atau lebih dari kegelisahan, kecemasan, bersemangat,
insomnia, wajah merah, diuresis, gangguan gastrointestinal, otot berkedut, aliran ide dan
pembicaraan yang melantur, takikardia atau aritmia jantung, masa-masa tak bisa lelah
(inexhaustibility), agitasi psikomotor. Intoksikasi stimulan lainnya (termasuk kokain) ditandai
oleh perubahan perilaku atau psikologis yang bermasalah (seperti euforia atau penumpulan
afek; perubahan dalam kemampuan bersosialisasi; hypervigilance; sensitivitas interpersonal;
kecemasan, ketegangan, atau amarah; perilaku stereotipik; atau hendaya daya nilai) disertai
dua atau lebih dari takikardia atau bradikardia; dilatasi pupil; peningkatan atau penurunan
tekanan darah; perspirasi atau menggigil; mual atau muntah; penurunan berat badan yang

56
[Type text]

nyata; agitasi atau retardasi psikomotor; kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada,
atau aritmia jantung; atau bingung, kejang, dyskinesia, dystonia, atau koma.

Intoksikasi kanabis ditandai oleh perubahan perilaku atau psikologis yang bermasalah
(seperti hendaya koordinasi gerak, euforia, kecemasan, sensasi waktu melambat, hendaya
daya nilai, dan penarikan diri) yang timbul selama atau segera setelah pemakaian disertai
dua atau lebih dari injeksi konjungtival, nafsu makan meningkat, mulut kering, dan
takikardia yang berkembang dalam dua jam setelah pemakaian.

Intoksikasi phencyclidine (PCP) ditandai oleh perubahan perilaku yang bermasalah (seperti
bermusuhan/mengajak berkelahi (belligerence), menyerang, impulsif, tak bisa diprediksi,
agitasi psikomotor, dan hendaya daya nilai) yang timbul segera saat atau segera setelah
pemakaian PCP disertai satu atau lebih dari nystagmus vertical atau horizontal, hipertensi
atau takikardia, mati rasa atau responsivitas terhadap nyeri yang menurun, ataksia,
dysarthria, kaku otot, kejang atau koma, atau hiperakusis yang timbul dalam waktu satu jam
setelah pemakaian. Intoksikasi halusinogen lainnya ditandai oleh perubahan perilaku atau
psikologis yang bermasalah (seperti kecemasan atau depresi yang nyata, ide-ide rujukan,
takut menjadi gila, ide paranoid, hendaya daya nilai) disertai perubahan perseptual yang
terjadi dalam keadaan sadar penuh (seperti persepsi yang menguat secara subjektif,
depersonalisasi, derealisasi, ilusi, halusinasi, dan synaesthesia) dan dua atau lebih dari
dilatasi pupil, takikardia, berkeringat, palpitasi, pandangan kabur, tremor, dan gangguan
koordinasi gerak.

Intoksikasi inhalan ditandai oleh perubahan perilaku atau psikologis yang bermasalah
(seperti belligerence, menyerang, apati, dan hendaya daya nilai) disertai dua atau lebih dari
pusing (dizziness), nystagmus, gangguan koordinasi gerak, slurred speech, jalan
sempoyongan, letargi, reflex tertekan, retardasi psikomotor, tremor, kelemahan otot
menyeluruh, pandangan kabur atau diplopia, stupor atau koma, dan euforia.

Intoksikasi opioida ditandai oleh perubahan perilaku atau psikologis yang bermasalah
(seperti euforia awal yang diikuti oleh apati, disforia, agitasi atau retardasi psikomotor, atau
hendaya daya nilai) disertai konstriksi pupil (atau dilatasi pupil akibat anoksia dari overdosis
berat), dan satu atau lebih dari mengantuk atau koma, slurred speech, hedaya dalam
perhatian atau daya ingat.

Intoksikasi sedativa atau hipnotika ditandai oleh perubahan perilaku atau psikologis yang
maladaptif (seperti perilaku seksual atau agresif yang tak sesuai, kelabilan suasana
perasaan, atau hendaya daya nilai) disetai satu atau lebih dari slurred speech, gangguan
koordinasi gerak, jalan sempoyongan, nystagmus, hendaya dalam kognisi, atau stupor atau
koma.

57
[Type text]

Kriteria diagnostik DCR-10 untuk penggunaan yang merugikan:

1. Adanya bukti yang jelas bahwa penggunaan zat tersebut berhubungan dengan
dampak buruk (kerugian) fisis atau psikologis, termasuk hendaya daya nilai atau
perilaku disfungsional.
2. Sifat dari kerugian tersebut harus dapat diidentifikasi secara jelas (dan disebutkan).
3. Pola penggunaan telah menetap sesingkatnya satu bulan atau terjadi berulang dalam
periode 12-bulan.
4. Gangguan tersebut tidak memenuhi kriteria untuk gangguan mental atau perilaku
apapun terkait zat yang sama dalam periode waktu yang sama (kecuali untuk
intoksikasi akut).

Kriteria diagnostik DCR-10 untuk putus zat: (kriteria umum)

1. Bukti yang jelas penghentian atau pengurangan baru dari penggunaan zat setelah
penggunaan berulang, dan biasanya berkepanjangan dan/atau dosis-tinggi dari zat
tersebut.
2. Gejala dan tanda sesuai dengan gambaran dari keadaan putus zat dari zat tersebut.
3. Tidak disebabkan oleh suatu gangguan medis yang tak berhubungan dengan
penggunaan zat, dan tidak disebabkan oleh gangguan mental atau perilaku lainnya.

Keadaan putus alkohol ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus zat
terpenuhi disertai adanya tiga dari sepuluh hal berikut: tremor (dari tangan yang
direntangkan, lidah, atau kelopak mata), berkeringat, mual atau muntah, takikardia atau
hipertensi, agitasi psikomotor, sakit kepala, insomnia, lesu atau kelemahan, halusinasi
atau ilusi (visual, taktil, atau auditori) yang hilang-timbul, dan kejang grand-mal.

Keadaan putus opioida ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus zat
terpenuhi disertai adanya tiga dari dua belas hal berikut: nagih obat opioida, rinorea
atau bersin-bersin, lakrimasi, nyeri atau kram otot, kram perut, mual atau muntah,
diare, dilatasi pupil, piloereksi atau menggigil berulang, takikardia atau hipertensi,
menguap, dan tidur gelisah.

Keadaan putus kanabinoida ditandai dengan kecemasan, mudah tersinggung, tremor


pada tangan yang direntangkan, berkeringat, dan nyeri otot. Gejala dan tanda tersebut
timbul setelah penghentian penggunaan kanabinoida dosis-tinggi yang berkepanjangan
58
[Type text]

dan berlangsung selama beberapa jam sampai dengan tujuh hari. Kriteria diagnostik
definitif belum ada.

Keadaan putus sedativa-hipnotika ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus
zat terpenuhi disertai adanya tiga dari sebelas hal berikut: tremor (dari tangan yang
direntangkan, lidah, atau kelopak mata), mual atau muntah, takikardia, hipotensi
postural, agitasi psikomotor, nyeri kepala, insomnia, lesu atau kelemahan, halusinasi
atau ilusi (visual, taktil, atau auditori) yang hilang-timbul, ide-ide paranoid, dan kejang
grand mal. Bila ada delirium, harus dibuat diagnosis keadaan putus sedatifa-hipnotika
dengan delirium.

Keadaan putus kokain ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus zat
terpenuhi; suasana perasaan disforik (contohnya kesedihan atau anhedonia); dan dua
dari enam gejala dan tanda berikut: letargi dan kelelahan, retardasi psikomotor atau
agitasi, nagih kokain, peningkatan nafsu makan, insomnia atau hipersomnia, dan mimpi
bizarre atau yang tak menyenangkan.

Keadaan putus stimulan selain kokain ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan
putus zat terpenuhi; suasana perasaan yang disforik (contohnya kesedihan atau
anhedonia); dan dua dari enam gejala dan tanda berikut: letrgi dan kelelahan, retardasi
psikomotor atau agitasi, nagih obat-obat stimulan, peningkatan nafsu makan, insomnia
atau hipersomnia, dan mimpi bizarre atau yang tidak menyenangkan.

Keadaan putus nikotin ditandai dengan kriteria umum untuk keadaan putus zat
terpenuhi disertai dua dari sepuluh gejala dan tanda berikut: nagih tembakau (atau
produk yang mengandung nikotin lainnya), lesu atau kelemahan, kecemasan, suasana
perasaan yang disforik, mudah tersingggung atau gelisah, insomnia, peningkatan nafsu
makan, peningkatan batuk, ulserasi mulut, dan kesukaran berkonsenterasi.

Kriteria diagnostik DSM-5 untuk putus zat: (kriteria umum)

A. Perkembangan dari suatu perubahan perilaku problematik yang spesifik-zat


disebabkan karena penghentian atau pengurangan penggunaan zat yang berat dan
berkepanjangan.
B. Sindrom spesifik-zat tersebut menyebabkan penderitaan atau hendaya dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya yang bermakna secara klinis.
C. Gejala-gejala tersebut bukan disebabkan oleh karena kondisi medis lainnya dan tidak
dapat dijelaskan oleh gangguan mental lainnya.

Tenaga medis harus mampu mengenali tanda/gejala putus tiap-tiap zat. Keadaan putus
tembakau ditandai oleh empat atau lebih dari iritabel, frustrasi, atau amarah; kecemasan;

59
[Type text]

kesukaran berkonsetrasi; nafsu makan meningkat; gelisah; suasana perasaan tertekan; dan
insomnia.

Keadaan putus alkohol ditandai oleh dua atau lebih dari hiperaktivitas autonomik (seperti
berkeringat atau nadi >100/’); tremor tangan yang meningkat; insomnia; mual atau muntah;
halusinasi atau ilusi visual, taktil, atau auditori yang hilang-timbul; agitasi psikomotor;
kecemasan; dan kejang tonik-klonik menyeluruh. Gejala tersebut timbul dalam beberapa
jam sampai dengan beberapa hari setelah penghentian atau pengurangan pemakaian
alkohol.

Keadan putus kafein ditandai oleh tiga atau lebih dari sakit kepala; kelelahan atau kantuk
yang berat; suasana perasaan tertekan, suasana perasaan disforik, atau iritabel; kesukaran
berkonsentrasi; gejala-gejala seperti-flu (mual, muntah, atau nyeri/kaku otot). Gejala-gejala
tersebut timbul dalam 24 jam setelah penghentian mendadak atau pengurangan pemakaian
kafein. Keadaan putus stimulan lainnya ditandai oleh mood disforik disertai dua atau lebih
dari kelelahan; mimpi tak menyenangkan yang jelas; insomnia atau hypersomnia; nafsu
makan meningkat; atau retardasi atau agitasi psikomotor yang berkembang dalam beberapa
jam sampai dengan beberapa hari setelah penghentian atau pengurangan pemakaian.

Keadaan putus kanabis ditandai oleh tiga atau lebih dari iritabel, amarah, atau agresi;
nervousness atau anxiety; kesukaran tidur (seperti insomnia, mimpi-mimpi yang
mengganggu); nafsu makan atau berat badan menurun; gelisah; suasana perasaan tertekan;
dan satu dari gejala fisik berikut yang menyebabkan ketidaknyamanan bermakna: nyeri
perut, tremor/ shakiness, berkeringat, demam, menggigil, atau sakit kepala. Gejala-gejala
tersebut berkembang dalam waktu kira-kira satu minggu setelah penghentian pemakaian
kanabis.

Keadaan putus opioid ditandai oleh tiga atau lebih dari suasana perasaan disforik; mual atau
muntah; nyeri otot; lakrimasi atau rinorea; dilatasi pupil, piloereksi, atau berkeringat; diare;
menguap; demam; dan insomnia yang berkembang dalam hitungan menit sampai dengan
beberapa hari setelah penghentian atau pengurangan pemakaian opioid atau pemberian
antagonis opioid.

Keadaan putus sedatif atau hipnotika ditandai oleh dua atau lebih dari hiperaktivitas
autonomik (seperti berkeringat atau nadi >100/’); tremor tangan; insomnia; mual atau
muntah; halusinasi atau ilusi visual, taktil, atau auditori; agitasi psikomotor; kecemasan;
atau kejang grand mal yang berkembang dalam beberapa jam sampai dengan beberapa hari
setelah penghentian atau pengurangan pemakaian.

60
[Type text]

Kriteria diagnostik DCR-10 untuk sindrom ketergantungan:

Tiga atau lebih manifestasi berikut harus timbul bersama selama sesingkatnya satu bulan
atau bila menetap untuk periode kurang dari satu bulan, manifestasi-manifestasi tersebut
timbul bersama secara berulang dalam periode 12-bulan:

1. Keinginan kuat atau kompulsi untuk mengonsumsi zat.


2. Hendaya kapasitas untuk mengendalikan perilaku mengonsumsi-zat dalam hal
awitan, terminasi, atau tingkat penggunaan, yang terbukti dengan: zat tersebut
seringkali dikonsumsi dalam jumlah yang lebih besar atau dalam periode yang lebih
panjang dari yang dikehendaki, atau upaya yang tidak berhasil atau keinginan yang
menetap untuk menghentikan atau mengendalikan penggunaan zat.
3. Keadaan putus zat fisiologis ketika penggunaan zat dikurangi atau dihentikan, yang
terbukti oleh sindrom putus zat yang khas untuk zat tersebut, atau penggunaan zat
yang sama (atau berhubungan dekat) dengan maksud meredakan atau menghindari
gejala-gejala putus zat.
4. Bukti toleransi terhadap efek zat, seperti adanya kebutuhan untuk meningkatkan
secara jelas jumlah zat untuk mencapai intoksikasi atau efek yang dikehendaki, atau
terjadi penurunan efek yang nyata dengan penggunaan berkelanjutan dengan
jumlah yang sama dari zat.
5. Praokupasi dengan penggunaan zat, yang termanifestasi dengan: kesenangan atau
minat alternatif yang penting dikurbankan atau dikurangi dikarenakan penggunaan
zat, sejumlah besar waktu dipakai dalam aktivitas yang diperlukan untuk
mendapatkan zat, mengonsumsi zat, atau pulih dari efeknya.
6. Tetap menggunakan zat meskipun terdapat bukti jelas adanya konsekuensi yang
merugikan, yang terbukti dengan penggunaan berlanjut ketika orang tersebut
sebenarnya menyadari, atau diharapkan sudah menyadari sifat kerugiannya.

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk ketergantungan zat:

Suatu pola penggunaan zat yang maladaptif, secara klinis mengarah pada gangguan atau
penderitaan yang signifikan, diperlihatkan dengan 3 atau lebih dari hal dibawah ini, muncul
kapanpun dalam periode 12 bulan.

A. Toleransi, ditentukan oleh berikut ini:


a. Kebutuhan yang jelas untuk meningkatkan sejumlah zat untuk mendapatkan
efek yang diinginkan atau intoksikasi.
b. Secara jelas efeknya berkurang jika penggunaan dilanjutkan dengan jumlah
zat yang sama
B. Putus zat, ditunjukkan oleh berikut ini:

61
[Type text]

a. Karakteristik sindrom putus zat (merujuk pada Kriteria Diagnosis Putus Zat
Spesifik A dan B).
b. Menggunakan zat yang sama (atau berhubungan dekat) untuk mengurangi
atau menghindari gejala putus zat
C. Zat sering digunakan dalam jumlah besar atau selama periode yang lebih lama dari
yang diharapkan
D. Terdapat suatu keinginan yang kuat atau upaya yang tidak berhasil untuk
mengurangi atau mengontrol penggunaan zat
E. Sejumlah besar waktu digunakan untuk aktivitas mencari zat (misalnya mengunjungi
berbagai dokter atau perjalanan jarak jauh), menggunakan zat, atau pulih dari efek
zatnya.
F. Aktivitas sosial, pekerjaan, atau rekreasional penting lain ditinggalkan atau dikurangi
karena penggunaan zat.
G. Penggunaan zat diteruskan walaupun telah mengetahui dirinya telah mempunyai
permasalahan fisik atau psikologik berulang atau menetap yang disebabkan atau
dieksaserbasi oleh zat (misalnya, terus menggunakan kokain walaupun mengetahui
kokain menyebabkan depresi atau terus minum alkohol walaupun mengetahui
bahwa luka lambungnya diperberat oleh konsumsi alkohol).

Kriteria diagnostik DCR-10 untuk keadaan putus zat dengan delirium adalah kriteria umum
untuk keadaan putus zat dan kriteria untuk delirium terpenuhi. Kriteria untuk delirium
adalah sebagai berikut:

A. kesadaran berkabut dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan,


mempertahankan, atau mengalihkan perhatian;
B. gangguan kognisi, yang termanifestasi dengan
1) hendaya daya ingat segera (immediate recall) dan jangka pendek (recent
memory), dengan daya ingat remote yang relatif intak, disertai
2) disorientasi waktu, tempat, atau orang;
C. sedikitnya satu dari empat gangguan psikomotor berikut:
1) perubahan cepat dan tak dapat diprediksi dari hipoaktivitas ke hiperaktivitas,
2) peningkatan waktu reaksi,
3) peningkatan atau penurunan arus pembicaraan, dan
4) peningkatan reaksi kejut;
D. gangguan tidur atau siklus tidur-bangun, termanifestasi dengan sedikitnya satu dari
tiga hal berikut:
1) insomnia dengan atau tanpa kantuk di siang hari, atau keterbalikan siklus
tidur-bangun,
2) perburukan gejala-gejala di malam hari, dan

62
[Type text]

3) mimpi yang mengganggu dan mimpi buruk yang bisa berlanjut sebagai
halusinasi ilusi setelah bangun;
E. awitan cepat dan fluktuasi gejala-gejala sepanjang hari; dan
F. bukti objektif dari riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik atau uji laboratorium
dari penyakit serebral atau sistemik yang mendasari yang dapat dianggap
bertanggung jawab untuk manifestasi A-D.

Kriteria diagnostik DCR-10 untuk gangguan psikotik akibat penggunaan zat psikoaktif
adalah sebagai berikut: awitan gejala-gejala psikotik berada dalam dua minggu masa
penggunaan zat; gejala-gejala psikotik tersebut menetap selama lebih dari 48 jam; dan
durasi gangguan tak lebih dari enam bulan.

Kriteria diagnostik DCR-10 untuk sindrom amnesik akibat penggunaan zat psikoaktif adalah
sebagai berikut: hendaya daya ingat yang termanifestasi dalam defek recent memory
(hendaya dalam mempelajari materi baru) sampai tingkat yang cukup berat untuk
mengganggu kehidupan sehari-hari dan penurunan kemampuan untuk mengingat
pengalaman-pengalaman lampau; tidak ada defek dalam mengingat segera (immediate
recall), kesadaran berkabut dan gangguan perhatian, dan penurunan intelektual secara
global; dan tidak ada bukti objektif dari pemeriksaan fisik dan neurologik, uji laboratorium
atau riwayat gangguan atau penyakit otak lain selain yang berhubungan dengan
penggunaan zat, yang dapat dianggap bertanggung jawab untuk manifestasi klinis tersebut.

Kriteria diagnostik DCR-10 untuk gangguan residual dan gangguan psikotik awitan-lambat
akibat penggunaan zat psikoaktif adalah sebagai berikut:

A. kondisi dan gangguan memenuhi kriteria untuk sindrom individual tercantum


dibawah harus berhubungan jelas dengan penggunaan zat. Bila awitan dari kondisi
tersebut timbul setelah penggunaan zat psikoaktif, harus dapat ditunjukkan bukti
kuat yang mendemonstrasikan hubungannya.
a. Kilas balik
b. Gangguan kepribadian atau perilaku
c. Gangguan afektif residual
d. Demensia
e. Hendaya kognitif menetap lainnya
f. Gangguan psikotik awitan-lambat

Klasifikasi PPDGJ III dan ICD-10 untuk gangguan jiwa akibat penggunaan narkotika
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif (F1x.xx)
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkohol (F10.xx)
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan opioida (F11.xx)
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kanabinoida (F12.xx)
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan sedativa atau hipnotika (F13.xx)

63
[Type text]

Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain (F14.xx)


Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulansia lain termasuk kafein (F15.xx)
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan halusinogenika (F16.xx)
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan tembakau (F17.xx)
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan pelarut yang mudah menguap (F18.xx)
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat multipel dan penggunaan zat psikoaktif lainnya (F19.xx)
Intoksikasi akut (F1x.0x)
Tanpa komplikasi (F1x.00)
Dengan trauma atau cedera tubuh lainnya (F1x.01)
Dengan komplikasi medis lainnya (F1x.02)
Dengan delirium (F1x.03)
Dengan distorsi persepsi (F1x.04)
Dengan koma (F1x.05)
Dengan konvulsi (F1x.06)
Intoksikasi patologis alkohol (F10.07)
Penggunaan yang merugikan (F1x.1)
Sindrom ketergantungan (F1x.2x)
Kini abstinen (F1x.20)
Kini abstinen tetapi dalam lingkungan terlindung (F1x.21)
Kini dalam pengawasan klinis atau dengan pengobatan pengganti (ketergantungan terkendali) (F1x.22)
Kini abstinen tetapi mendapat terapi aversif atau obat penyekat (F1x.23)
Kini sedang menggunakan zat (ketergantungan aktif) (F1x.24)
Penggunaan berkelanjutan (F1x.25)
Penggunaan episodik (F1x.26)
Keadaan putus zat (F1x.3x)
Tanpa komplikasi (F1x.30)
Dengan komplikasi (F1x.31)
Keadaan putus zat dengan delirium (F1x.4x)
Tanpa konvulsi (F1x.40)
Dengan konvulsi (F1x.41)
Gangguan psikotik (F1x.5x)
Lir-skizofrenia (F1x.50)
Predominan waham (F1x.51)
Predominan halusinasi (F1x.52)
Predominan polimorfik (F1x.53)
Predominan gejala depresif (F1x.54)
Predominan gejala manik (F1x.55)
Campuran (F1x.56)
Sindrom Amnestik (F1x.6)
Gangguan psikotik residual dan onset lambat (F1x.7x)
Kilas balik (F1x.70)
Gangguan kepribadian atau perilaku (F1x.71)
Gangguan afektif residual (F1x.72)
Demensia (F1x.73)
Hendaya kognitif menetap lainnya (F1x.74)
Gangguan psikotik onset lambat (F1x.75)
Gangguan mental dan perilaku lainnya (F1x.8)
Gangguan mental dan perilaku yang tak terinci (F1x.9)

Pokok bahasan 5: tujuan pengisian formulir

Formulir ini merupakan panduan wawancara terstruktur yang relatif singkat dan
merupakan adaptasi dari Addiction Severity Index (ASI). ASI merupakan instrumen yang
dirancang untuk mendapatkan informasi penting tentang aspek-aspek kehidupan klien yang
dapat memberi kontribusi pada penyalahgunaan zat. Dalam pelaksanaannya, penting sekali
diingat bahwa klien memahami tujuan dari wawancara. Wawancara ini merupakan langkah
64
[Type text]

pertama dalam upaya pemahaman secara holistik masalah klien. Pemahaman tersebut
bermanfaat dalam penyusunan rencana rehabilitasi medis yang sesuai dengan kebutuhan
klien.

Pewawancara harus memperkenalkan diri dan secara singkat menyatakan bahwa ia


ingin mengajukan beberapa pertanyaan berkenaan dengan riwayat kehidupan dan
pemakaian narkotika klien. Pewawancara juga harus menyatakan bahwa wawancara akan
bersifat rahasia kecuali informasi yang berhubungan dengan keselamatan diri klien atau
orang lain.

Selanjutnya, pewawancara menggambarkan struktur wawancara, dengan


menekankan enam area masalah potensial. Keenam area tersebut adalah:

1. Medis
2. Pekerjaan/Dukungan
3. Zat/Alkohol
4. Legal
5. Keluarga/Sosial
6. Psikiatris.

Penting juga pewawancara menekankan sifat alamiah dari kontribusi klien. Misalnya,
pewawancara harus menyatakan: “Kami telah memperhatikan bahwa ketika seorang klien
mempunyai masalah zat,ternyata banyak masalah lain yang signifikan seperti medis,
pekerjaan, keluarga, dll. Oleh karena itu, saya akan mengajukan beberapa pertanyaan yang
mungkin terkait dengan masalah penggunaan zat anda saat ini.....”

Pewawancara sebaiknya memperpersiapkan klien untuk memusatkan perhatian


kepada tiap-tiap area masalah secara independen. Hal tersebut bertujuan supaya klien tidak
mengacaukan masalah di area tertentu dengan kesulitan yang dialami di area lain, seperti
mengacaukan masalah psikiatris dengan masalah akibat efek langsung dari intoksikasi zat.
Pewawancara dapat memperkenalkan tiap pergantian area pertanyaan, misalnya, “Kami
telah berbicara dengan anda tentang masalah medis anda, sekarang saya akan mengajukan
beberapa pertanyaan tentang pekerjaan atau dukungan lain yang mungkin anda miliki.

Pokok bahasan 6: prosedur pengisian formulir

Skala Penilaian Klien

Hal penting bahwa klien mengembangkan kemampuan untuk mengkomunikasikan


sejauh mana ia telah mengalami masalah di tiap area terpilih, dan sejauh mana ia merasa
terapi untuk masalah ini adalah penting. Perkiraan subyektif adalah penting untuk
keikutsertaan klien dalam asesmen kondisi dirinya.
65
[Type text]

Untuk menstandarkan asesmen ini digunakan sebuah skala 5 poin (0-4) bagi klien
menilai keparahan masalah mereka dan sejauh mana mereka merasa terapi penting untuk
mereka.

0 tidak sama sekali


1 ringan
2 sedang
3 berat
4 sangat berat

Beberapa klien mampu menggambarkan kondisinya dengan menggunakan skala tersebut,


namun klien-klien yang lain harus menggunakan bahasa mereka sendiri dalam
mengungkapkan pendapatnya. Pada kasus-kasus seperti yang disebut terakhir,
pewawancara lebih baik bersikap fleksibel dengan memotivasi klien untuk bercerita
daripada memaksa klien untuk menentukan sebuah pilihan dari skala.
Penilaian klien terhadap luas atau parahnya masalahnya di satu area tidak
didasarkan pada persepsinya terhadap masalah-masalah lain. Pewawancara harus berusaha
untuk mengklarifikasi masing-masing penilaian sehingga satu area masalah yang terpisah,
dan memfokuskan periode waktu pada 30 hari sebelumnya. Jadi, penilaian harus dibuat
berdasarkan masalah aktual saat ini, bukan masalah potensial. Jika seorang klien
melaporkan tidak ada masalah selama 30 hari sebelumnya, lalu sejauh mana dia telah
diganggu oleh masalah-masalah itu harus 0 dan pewawancara harus menanyakan sebuah
pertanyaan penegasan sebagai pemeriksaan pada informasi sebelumnya. Contoh penegasan
yang dapat diungkapkan, ”Karena anda telah mengatakan anda tidak mempunyai masalah
medis dalam 30 hari terakhir, dapatkah saya mengasumsikan bahwa pada saat ini anda tidak
merasakan kebutuhan untuk terapi medis apapun?

Klarifikasi

Selama wawancara, upayakan untuk mengklarifikasi respons atau jawaban yang


dianggap penting untuk menghasilkan wawancara yang sahih. Untuk memastikan kualitas
jawaban, pastikan maksud dari tiap pertanyaan ditangkap jelas oleh klien. Cara mengajukan
pertanyaan tidak harus persis seperti yang tertulis, pewawancara boleh menggunakan kata-
kata sendiri (paraphrasing) atau sinonim yang sesuai .

Ketika klien tampak mengalami kesukaran dalam memahami pertanyaan lebih lanjut,
lebih baik wawancara tidak dilanjutkan. Tunda lanjutan wawancara tersebut sehari atau
lebih agar klien pulih dari kebingungan awal, yang mungkin merupakan efek disorientasi dari
penyalahgunaan zat akhir-akhir ini, dan dengan demikian akan terhindar dari tindakan

66
[Type text]

mencatat respons yang membingungkan. Demikian juga bagi klien yang dalam kondisi putus
zat atau intoksikasi.

Jika klien merasa tidak nyaman memberikan sebuah jawaban, maka klien boleh
menolak untuk menjawab. Beri tanda silang di depan nomor pertanyaan. ”Tolong jangan
memberikan informasi yang tidak akurat!”.

Penilaian oleh Pewawancara

Penilaian tiap area didasarkan hanya pada jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan
dengan area tersebut, bukan jawaban tambahan yang berhubungan area lain. Untuk
meningkatkan keandalan dan perkiraan, pewawancara perlu mengembangkan sebuah
metode sistematis yang umum untuk memperkirakan keparahan dari tiap masalah.

Keparahan didefinisikan sebagai kebutuhan untuk terapi jika saat wawancara belum
menerima terapi apapun; atau sebagai kebutuhan untuk tambahan jenis terapi jika saat
wawancara sudah menerima terapi dalam bentuk apapun. Penilaian ini harus didasarkan
pada jumlah, lama, dan intensitas gejala di dalam satu area masalah.

Berikut adalah petunjuk umum untuk penilaian:

Skor Interpretasi

0–1 Tak ada masalah nyata, terapi tak dianjurkan

2–3 Masalah ringan, terapi mungkin tak


dianjurkan

4–5 Masalah sedang, terapi dianjurkan

6–7 Masalah sungguh-sungguh ada, terapi


diperlukan

8–9 Masalah ekstrem, terapi mutlak diperlukan

Penilaian di atas dimaksudkan sebagai prakiraan seberapa mendesak suatu intervensi


diperlukan, tanpa memperhatikan ketersediaan terapi tersebut.

Contoh kasus. Seorang klien dengan TB paru aktif yang mendapat penilaian keparahan 9
untuk area medis mengartikan bahwa terapi OAT (misalnya) memang sangat diperlukan.

67
[Type text]

Klien yang menunjukkan sedikit gejala penyakit dapat dinilai dengan taraf keparahan
masalah medis yang rendah. Penilaian keparahan yang sangat tinggi harus menjadi indikasi
yang berhubungan dengan kebutuhan tinggi untuk terapi.

Prosedur Perolehan Penilaian Keparahan

Langkah 1 : Dapatkan sebuah rentang skor (dua poin) yang paling baik menggambarkan
kebutuhan klien akan terapi pada saat ini berdasarkan data obyektif saja

1. Bentuklah sebuah gambaran kondisi klien berdasarkan aitem


obyektif.

2. Formulasikan sebuah rentang perkiraan – kira-kira.

Langkah 2: Pilihlah satu poin di dalam rentang di atas menggunakan hanya data subyektif di
seksi itu.

1. Jika klien menganggap masalah sungguh-sungguh dan merasa terapi adalah


penting, pilih poin yang tinggi di dalam rentang itu.
2. Jika klien menganggap masalah kurang serius dan menganggap kebutuhan untuk
terapi kurang penting, pilihlah penilaian yang rendah.

Pokok bahasan 7 : teknik wawancara dan pengisian formulir

Teknik Interview yang Dianjurkan:

Penting buat klien untuk memahami tujuan dilakukannya asesmen dalam wajib lapor
sehingga mendorong kesungguhan klien untuk menjawab tiap pertanyaan. Klien akan lebih
terbuka untuk menjawab pertanyaan jika pertanyaan diajukan dalam cara yang langsung
dan tidak konfrontasional. Pewawancara dapat hanya membaca pertanyaan seperti ditulis
atau dapat dengan cara yang lebih efektif menguraikan dengan kata-kata sendiri sehingga
memperoleh informasi yang diinginkan.

Pertanyaan Tambahan:

68
[Type text]

Pertanyaan tambahan adalah pertanyaan yang tidak muncul dalam formulir wajib lapor.
Pertanyaan tambahan mungkin memberikan informasi yang menolong untuk memahami
masalah klien sepenuhnya karena pertanyaan dalam formulir ini sangat minimal untuk
memulai sebuah rencana terapi. Kadang-kadang, menanyakan banyak pertanyaan
tambahan di bagian pertama dari seksi masalah menolong wawancara untuk mengalir lebih
alamiah.

Bagian kepala kuesioner :


Tanggal Kedatangan : Cantumkan tanggal-bulan-tahun kedatangan pasien
Nomor rekam medik : Cantumkan nomor rekam medik pasien atau nomor barcode bila
sudah tersedia
Nama : Cantumkan nama lengkap sesuai dengan tanda identitas diri pasien
( KTP ) atau identitas lain serta sama dengan nama yang tertulis
dalam status rekam medis. Untuk anak dibawah umur maka
identitas sesuai dengan yang diberikan oleh orang tua atau wali
anak tersebut, dan lampirkan identitas orangtua atau wali anak.
Alamat tempat tinggal : Cantumkan alamat terakhir pasien atau alamat tujuan setelah
pasien selesai terapi. Bila pasien tidak memiliki tempat tinggal
tetap, cantumkan alamat dimana pasien paling sering tinggal
Telepon/HP : Cantumkan nomor telepon rumah atau telepon genggam pasien
atau nomor telepon keluarga/teman terdekat yang dapat dihubungi
oleh petugas
Usia : Cantumkan usia saat tanggal kedatangan
Jenis Kelamin : Cantumkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, sesuai yang
terlihat

1. InformasiDemografis :
1. Status perkawinan:
Cantumkan kode status perkawinannya pada kotak yang diarsir sebelah kanan, sesuai
kondisinya saat ini. Misalkan pasien menjadi sudah menikah, maka tulis angka 2 di
kotak yang diarsir sebelah kananya.
2. Riwayat pendidikan:
Cantumkan kode pendidikan terakhir yang pernah ditempuh pada kotak yang diarsir
sebelah kanan, sebagaimana pencatuman kode perkawinan di atas.

Catatan Skala Penilaian Pasien:


Pada pertanyaan tentang Status Medis hingga Status Psikiatrik, terdapat skala penilaian pasien
pada sebelah kiri masing-masing domain. Skala penilaian pasien wajib diisi dengan cara
bertanya pada pasien setiap asesmen untuk masing-masing domain selesai dilakukan. Hal ini
didasari pertimbangan bahwa pendapat pasien merupakan masukan yang penting.
Tanyakan pada pasien, seberapa pentingnya ia membutuhkan terapi terkait kondisi medisnya.
Mintalah pasien untuk memberi nilai sebagai berikut;
0 = Tidak membutuhkan sama sekali
1 = Agak membutuhkan
69
2 = Cukup membutuhkan
3 = Membutuhkan
4 = Sangat membutuhkan
[Type text]

2. Status Medis :
Cantumkan kapan wawancara tentang status medis pasien dilakukan. Mohon diingat bahwa
wawancara mungkin saja dilakukan tidak bersamaan dengan tanggal kedatangan pasien.
1. Riwayat rawat inap yang tidak terkait masalah Narkotika:
Cantumkan jenis penyakit, tahun rawat dan lamanya perawatan (dalam hari).
Yang dimaksud disini adalah jumlah hari menginap di rumah sakit karena masalah medis,
misalnya karena penyakit typhus, demam berdarah, kecelakaan, atau perawatan medis
lainnya, termasuk over dosis dan delirium tremens. Tidak termasuk: detoksifikasi atau
bentuk lain terapi rehabilitasi alkohol dan napza; perawatan kejiwaan; atau perawatan
karena kelahiran anak secara normal (tanpa komplikasi)
Catatan: elaborasi jawaban pasien secara rinci, dengan menanyakan tahun ketika
perawatan terjadi, kejadian lain dalam kehidupan pasien pada waktu itu, untuk setiap
perawatan. Informasi tambahan membuat proses wawancara lebih mengalir sebagai
sebuah percakapan. Selain itu juga membantu kita melihat kemungkinan keterkaitan
masalah medis dengan waktu-waktu pemakaian Napzanya. Catatlah keterangan ini di
bagian yang kosong dari formulir tersebut.
2. Riwayat penyakit kronis:
Cantumkan penyakit kronis yang diderita pasien terutama yang memerlukan perawatan
berkesinambungan (misal: pengobatan, pengaturan diet, ketidakmampuan untuk
menjalankan kegiatan normal). Beberapa contoh dari penyakit kronis adalah: hipertensi,
diabetes, epilepsi, cacat fisik atau penderita HIV yang telah membutuhkan terapi Anti
Retroviral (ARV).
3. Saat ini sedang menjalani terapi medis? Catat kode jawaban pasien pada kotak yang
diarsir sebelah kanan pertanyaan.
Jenis terapi medis: Cantumkan bila pasien saat ini dalam program terapi tertentu, terkait
kondisi medis apa dan jenis terapi medis yang dijalani saat ini, misalnya pengobatan
insulin karena kondisi diabetis.
4. Status kesehatan:
Tanyakan apakah pasien pernah menjalankan tes HIV, Hepatitis B dan C? Tulis kode
jawaban pada kotak yang diarsir sebelah kanan pertanyaan. Apabila pasien tidak
keberatan, tanyakan bagaimana hasilnya.

70
[Type text]

3. Status Pekerjaan/Dukungan Hidup :


Cantumkan kapan wawancara tentang status pekerjaan/dukungan hidup pasien dilakukan.
Mohon diingat bahwa wawancara mungkin saja dilakukan tidak bersamaan dengan tanggal
kedatangan pasien.
1. Status pekerjaan:
Tanyakan apakah pada saat sekarang pasien mempunyai kegiatan atau pekerjaan tertentu.
Tulislah kodenya dikotak yang diarsir. Eksplorasi informasi tambahan dimana dia bekerja dan
sudah berapa lama dia menjalani pekerjaan tersebut. Tuliskan info tambahan di bagian-
bagian yang kosong. Bila tidak ada pekerjaan/kegiatan, langsung ke nomor 4.

2. Bila bekerja, pola pekerjaan:


Pewawancara harus menentukan pekerjaan yang paling mewakili kondisi pasien saat ini.
Pekerjaan penuh waktu adalah yang teratur, ≥ 35 jam/minggu. Pekerjaan paruh waktu
dimana pasien mempunyai jadwal kerja ≤ 35 jam /minggu, tapi teratur dan terus menerus.
Yang dimaksud dengan pekerjaan tidak tentu adalah pekerjaan dimana jumlah jam kerja
kurang dari 35 jam/minggu, tetapi tidak memiliki jadwal tetap. Bila terdapat waktu yang sama
untuk lebih dari satu kategori, catatlah yang paling mewakili situasi saat ini.
3. Kode pekerjaan:
Pilihlah kode pekerjaan sesuai dengan pekerjaan pasien sehari-hari. Tentukan jenis
pekerjaan pasien masuk kelompok yang mana ( kategori Holingshead) dan beri tanda dengan
dilingkari.

4. Keterampilan teknis yang dimiliki:


Tanyakan pasien tentang pendidikan teknis formal atau pelatihan yang pernah mereka ikuti
dan dapat dituliskan dalam aplikasi pekerjaan (curiculum vitae).

5. Adakah yang memberi dukungan hidup bagi anda?


Tulis kode sesuai jawaban pasien di kotak yang diarsir.

Yang dimaksud dukungan hidup adalah pemberian uang, tempat tinggal, makanan, biaya
pengobatan/perawatan secara teratur dari berbagai sumber, kecuali institusi (mis. yayasan).
Catatan: Pasien yang tinggal dengan orang tua diatas usia 18 tahun, dianggap juga
menerima dukungan hidup, setidaknya dari segi tempat tinggal dan/atau makanan).

6. Bila ya, siapakah?


Tuliskan pemberi dukungan hidup bagi pasien, seperti orangtua, keluarga, teman saudara,
dan bukan sebuah institusi

71
[Type text]

Kategori Holingstead

1. Eksekutif pengambil keputusan tertinggi, profesional utama, pemilik perusahaan besar


2. Manajer bisnis ukurang menengah; profesi (mis. dokter, perawat, apoteker, pekerja sosial profesional,
guru, psikolog, dll
3. Tenaga administratif, penyelia (supervisor, pemilik perusahaan kecil (mis. perusahaan roti, show room
mobil kecil, dll), dekorator, aktor, agen perjalanan, dll
4. Klerk, sales, teknisi, bisnis kecil (kasir bank/teller, petugas pembukuan, juru gambar, pencatat waktu,
sekretaris)
5. Manual terlatih (biasanya dalam menjalankan tugas, perlu menerima pelatihan), misalnya tukang roti,
tukang cukur, montir, juru masak, montir, tukang cat, penjahit, dll)
6. Semi-terlatih, mis. pembantu rumah sakit, tukang cat, pelayan, pelayan, supir, dll
7. Tidak terlatih (pembantu, penjaga, buruh, tukang parkir, dll)

DAFTAR ZAT YANG UMUM DIGUNAKAN:

Alkohol : Bir, anggur (wine), liquor, grain (metil alcohol),sopi,tuak,ciu


Heroin : Smack,H,Horse,Brown Sugar
Metadon: Dolophine, LAAM
Opiat: Opium, Fentanyl, Buprenorphine, pereda nyeri -Morfin, Dilaudid, Demerol,
Percocet, Darvon, dll.
Barbiturat: Nembutal, Seconal, Tuinal, Amytal, Pentobarbital, Secobarbital, Fenobarbital,
Fiorinal, Doriden, dll.
Sed/Hip/: Benzodiazepin = diazepam, lorazepam, chlordiazepoxide,oxazepam
Trankuil clorazepate, flurazepam,triazolam,alprazolam, meprobamat,
Lain-lain = Kloral Hidrat, Quaaludes
Kokain: Kristal Kokain, Free-Base Cocaine, Crack, Rock,dll.
Amfetamin/: Monster, Crank, Benzedrine, Dexedrine, methylphenidate/,
Stimulan Preludin, Metamfetamin, Speed, Ice, Crystal,Khat
Kanabis: Marijuana, Hashish,Pot,Bango Igbo, Indian Hemp, Bhang, Charas, Ganja, Mota,
Anasha
Halusinogen: LSD (Acid), Meskalin, Psilocybin (Mushrooms), Peyote, PCP, MDMA,Ekstasi,
Angel Dust
Inhalan: Nitrous Oxide (Whippits), Amyl Nitrite (Poppers), Lem, Solvents, Gasoline,
Toluene, Etc.

Zat-zat lain yang juga disalahgunakan di Indonesia adalah dekstrometrofan, triheksifenidil (THP),
gama-hidroksibutirit asid (GHB), ketamin, dan beberapa zat lain yang tidak dapat digolongkan pada
jenis zat-zat di atas, karena lebih sebagai prekursor (bahan dasar). Apabila klien menggunakan zat-
zat yang tidak dapat digolongkan pada golongan besar di atas, silakan ditulis pada bagian yang
kosong di sekitar domain riwayat penggunaan NAPZA.

72
[Type text]

4. Status Penggunaan Narkotika :


Cantumkan kapan wawancara tentang status penggunaan narkotika pasien dilakukan. Mohon diingat
bahwa wawancara mungkin saja dilakukan tidak bersamaan dengan tanggal kedatangan pasien.
D1 – D11. Pertanyaan tentang status penggunaan narkotika terdiri dari 3 komponen:
- Penggunaan 30 hari terakhir
Tanyakan apakah pasien menggunakan zat terkait (D1 – D12) dalam 30 hari terakhir atau
sebulan terakhir. Bila ya, berapa harikah dalam sebulan lalu pasien menggunakannya.
Penekanan adalah pada jumlah hari, bukan dosis harian. Tuliskan jawaban pasien dalam format
dua digit. Misalkan 8 hari, maka ditulis 08 pada kolom-kolom jawaban
- Penggunaan sepanjang hidup (dalam tahun)
Mencatat periode penggunaan tetap NAPZA. Yang dimaksud penggunaan tetap adalah:
 frekuensi 3 kali atau lebih tiap minggunya;
 penggunaan hanya dua hari seminggu atau tidak tentu, tetapi selalu dalam kondisi
mabuk berat atau menimbulkan problem pekerjaan, sekolah, atau kehidupan keluarga
 minum alkohol sesekali tetapi setiap kali minum dalam frekuensi terus menerus hingga
menimbulkan intoksikasi berat.
Perhitungan waktu menggunakan ”half rule time” yaitu enam bulan ke bawah dihitung 0 (nol)
tahun dan enam bulan atau lebih dihitung 1 (satu) tahun.
- Cara pakai
Terdapat lima cara pakai NAPZA, yaitu:
 Oral (kode 1);
 Nasal/suppositoria/sublingual (kode 2);
 Dirokok (kode 3);
 Suntik intra muskular (kode 4) dan
 Suntik intravena (kode 5).
Tulislah kodenya pada kotak cara pakai. Risiko penggunaan dicerminkan dari kode
yang ada. Semakin besar nilai kodenya, semakin berisiko. Bila pasien menggunakan
dua cara, misalnya oral (kode 1) dan suntik intravena (kode 5), maka yang ditulis dalam
kotak cara pakai adalah kode 5. Namun demikian pewawancara diharapkan menulis
catatan penggunaan lainnya pada bagian yang kosong.
Catatan: Penting menanyakan riwayat semua jenis zat (dari D1 hingga D12) yang pernah digunakan
tanpa memperhatikan masalah saat ini (misal, pengguna alkohol mungkin menggabungkan zat
dengan minum alkohol; seorang pengguna kokain mungkin tanpa menyadari akan masalah minum
alkohol).
Sebagai informasi tambahan tanyakan Kuantitas penggunaan tiap hari, perkiraan jumlah uang
yang dihabiskan untuk zat perhari dan bagaimana pola penggunaannya (hanya pada akhir minggu,
misalnya).
D12. Zat Multipel
Untuk mencatat informasi tentang kombinasi penggunaan zat. Dalam 30 hari terakhir, tanyakan
berapa hari pasien menggunakan lebih dari satu macam zat termasuk alkohol. Dalam penggunaan
sepanjang hidup tanyakan pasien berapa lama ia secara tetap (umumnya 3 kali per minggu selama
satu bulan atau lebih) menggunakan lebih dari satu zat per hari termasuk alkohol.

73
[Type text]

13. Jenis zat utama yang disalahgunakan: ...........................................


Pewawancara harus menentukan zat utama yang disalahgunakan berdasarkan tahun-tahun
penggunaan, seringnya terapi, riwayat jumlah mengalami Delirium Tremens (DTs) atau Ovedosis. Jika
informasi memberikan tidak ada indikasi yang jelas tentang masalah zat, lalu tanyakan pada pasien
apa yang ia anggap adalah masalah zat utama (pilih dari kelompok zat di atas : D1 – D12)

14. Pernahkah menjalani terapi rehabilitasi?


Tulis kode pilihan pasien pada kotak diarsir sebelah kanan

15. Jenis terapi rehabilitasi yang dijalani


Catat riwayat pasien menjalani program terapi rehabilitasi: misalkan detoksifikasi; program terapi
rumatan metadon; program terapi rumatan buprenorfin; rehabilitasi rawat inap jangka pendek;
rehabilitasi rawat inap jangka panjang; AA/NA, dan lain-lain.

16. Pernahkah mengalami overdosis?


Tulis kode pilihan pasien pada kotak diarsir sebelah kanan

18. Waktu overdosis


Catat kapan hal tersebut terjadi

19. Cara penanggulangan overdosis:


Tulis kode pilihan pasien pada kotak diarsir sebelah kanan

5. Status Legal :
Berapa kali kah dalam hidup anda ditangkap dan dituntut dengan hal berikut
Catatlah jumlah penangkapan dengan tuduhan resmi (tidak selalu harus berakibat pemenjaraan)
yangdialami pasien sepanjang hidupnya, untuk masing-masing jenis tindakan yang tertera pada
nomor 1 hingga 14.
Misalkan, pasien mengalami penangkapan karena pemalsuan resep sebanyak 10 kali sepanjang
hidupnya. Maka, tuliskan dalam format dua digit pada kotak di sebelah kanannya
Catatan: Jangan masukkan kejahatan remaja (sebelum usia 18), kecuali jika pengadilan mengadili
pasien sebagai orang dewasa, yang terjadi dalam kasus kejahatan yang sangat serius.
15. Berapa kali tuntutan di atas berakibat vonis hukuman?

Catatlah berapa kali penangkapan dan penuntutan pada poin 1 – 14 berakibat pada vonis
hukuman. Dalam hal ini termasuk denda, masa percobaan, penundaan hukuman dan juga hukuman
yang memerlukan penahanan. Tuntutan untuk pembebasan bersyarat dan/atau pelanggaran masa
percobaan dianggap vonis hukuman.

74
[Type text]

6. Riwayat Keluarga :
1. Dalam situasi seperti apakah anda tinggal 3 tahun belakangan?
Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan. Pilihan menggambarkan dalam
situasi apa pasien hidup selama 3 tahun terakhir. Bila terdapat berbagai situasi, pilihlah yang paling
mewakili periode 3 tahun terakhir. Jika jumlah waktu atas masing-masing situasi kurang lebih sama,
pilihlah situasi yang paling terakhir.
2. Apakah anda hidup dengan seseorang yang mempunyai masalah penyalahgunaan zat
sekarang ini?
Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan. Apabila jawabannya tidak,
dapat langsung bertanya pertanyaan nomor 4.
3. Jika ya, siapakah mereka?
Tulislah kode pilihan pasien pada kotak yang diarsir sebelah kanan.
Catatan: perjelas hubungan pasien dengan orang yang menggunakan zat
(ayah/ibu,abang/kakak/adik, suami/istri/pasangan, keluarga,lainnya)

4. Apakah anda memiliki konflik serius dalam berhubungan dengan:


Yang dimaksud dengan konflik serius adalah suatu hubungan yang buruk, mencakup . hambatan
komunikasi yang serius, ketidakpercayaan, tidak adanya saling pengertian, kebencian atau rasa
permusuhan.
Tulislah kode 1 untuk ya dan kode 0 untuk tidak pada kolom waktu berikut ini:
30 hari terakhir:
Tanyakan apakah pasien mengalami konflik dengan pihak-pihak yang tertera pada pilihan no 1
sampai 9, dalam 30 hari terakhir atau sebulan terakhir.

Sepanjang hidup:
Tanyakan apakah pasien sebelumnya mengalami konflik dengan pihak-pihak yang tertera pada
pilihan no 1 sampai 9, sepanjang hidupnya. Bila pasien menjawab ya untuk 30 hari terakhir, tidak
berarti otomatis ia mengalami konflik yang sama sepanjang hidupnya. Atau sebaliknya, apabila ia
mengalami konflik sepanjang hidupnya, belum tentu ia mengalaminya dalam 30 hari terakhir.

75
[Type text]

7. Status Psikiatris :
Apakah anda pernah mengalami hal-hal berikut ini (yang tidak merupakan akibat langsung
dari penggunaan zat):

1 – 9 : Tulislah kode 1 untuk ya dan kode 0 untuk tidak pada kolom waktu berikut ini:
30 hari terakhir:
Tanyakan apakah pasien mengalami kondisi yang tertera pada pilihan no 1 sampai 9, dalam 30
hari terakhir atau sebulan terakhir.

Sepanjang hidup:
Tanyakan apakah pasien sebelumnya mengalami kondisi yang tertera pada pilihan no 1 sampai 9,
sepanjang hidupnya. Bila pasien menjawab ya untuk 30 hari terakhir, tidak berarti otomatis ia
mengalami situasi tersebut sepanjang hidupnya. Atau sebaliknya, apabila ia mengalami situasi
tertentu sepanjang hidupnya, belum tentu ia mengalaminya dalam 30 hari terakhir.

Pemeriksaan Fisik :
Tuliskan kondisi fisik pasien (tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu) sesuai pemeriksaan yang
dilakukan.
Untuk pemeriksaan sistemik, terdiri dari
a. Sistem pencernaan : inspeksi bentuk abdomen, ada luka atau skar; palpasi perbagaan otot
perut, hati, limpa, adanya massa, asites; auskultasi bunyi usus
b. Sistem Jantung dan Pembuluh Darah :inspeksi bentuk thorax, kemungkinan adanya tanda
sianosis; palpasi daerah precortex; auskultasi frekuensi denyut jantung.
c. Sistem Pernapasan: inspeksi bentuk thorax, jenis pernapasan, retraksi iga; palpasi krepitasi;
perkusi; auskultasi suara napas
d. Sistem Saraf Pusat: tes sensorik rangsang nyeri atau panas ekstremitas atas dan bawah; tes
motorik ada tidaknya parese atau plegia; tes keseimbangan.
e. THT dan Kulit: apakah ada penurunan pendengaran, cairan telinga, membran timpani utuh /
tidak; bagaimana kondisi hidung; kondisi tenggorokan; kondisi kulit apakah ada rash, erupsi,
skar, tato, atau kelainan kulit lain.
Hasil Urinalisis:
Melalui prosedur skrining, tuliskan hasil urinalisis untuk masing-masing jenis zat yang diperiksa dengan
kode 1 untuk hasil positif dan kode 0 untuk hasil negatif pada kotak yang diarsir sebelah kanan.

76
Kesimpulan:
Buatlah kesimpulan tentang pasien untuk masing-masing domain yang ada dengan mempertimbangkan
hasil asesmen dan pendapat subyektif pasien dalam skala penilaian.
Penilaian dapat berkisar pada satu hingga tiga nilai, bergantung pada pertimbangan pewawancara:
0-1: Tidak ada masalah yang berarti, pasien tidak membutuhkan intervensi / bantuan
2-3: Ada sedikit masalah, tetapi intervensi / bantuan tidak terlalu penting
4-5: Masalah tergolong sedang, dibutuhkan beberapa intervensi
6-7: Masalah serius, dibutuhkan intervensi / terapi / bantuan
8-9: Masalah sangat serius, pasien sangat membutuhkan intervensi / terapi /

77
MATERI INTI 3
PENATALAKSANAAN TERAPI DAN REHABILITASI

I. Deskripsi Singkat

Masalah gangguan penggunaan narkotika merupakan masalah kompleks dan


penatalaksanaannya melibatkan banyak bidang keilmuan, baik medis maupun nonmedis.
Penatalaksanaan seseorang dengan ketergantungan narkotika merupakan suatu proses yang
membutuhkan waktu relatif lama dan melibatkan berbagai pendekatan dan latar belakang
profesi. Gangguan penggunaan narkotika merupakan masalah biopsikososiokultural yang
sangat rumit sehingga perlu ditanggulangi secara multidisiplin dan lintas sektoral dalam suatu
program yang menyeluruh (komprehensif) serta konsisten.
Gangguan penggunaan narkotika pada pasien jarang ditemukan berdiri sendiri melainkan
terdapat bersama dengan gangguan lain (komorbiditas) seperti depresi atau ansietas.
Gangguan jiwa komorbid tersebut bisa merupakan faktor predisposisi pemakaian narkotika
atau akibat dari pemakaian narkotika dalam jangka waktu tertentu. Selain mengakibatkan
gangguan jiwa, cara pemakaian narkotika tersebut (khususnya penggunaan dengan cara suntik)
juga dapat mengakibatkan penyakit penyulit (komplikasi) seperti infeksi HIV/AIDS, Infeksi
Menular Seksual (IMS), hepatitis B atau C dan lain-lain.
Gangguan pemakaian narkotika merupakan bagian dari gangguan jiwa, yang bisa diatasi
melalui terapi dan rehabilitasi. Dalam memberikan terapi dan rehabilitasi tersebut, ada dua hal
yang harus dipertimbangkan. Hal pertama terkait dengan kompetensi fasilitas kesehatan dan
hal yang lain terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional.
Fasilitas kesehatan di Indonesia dikategorikan menjadi Program Pelayanan Kesehatan tingkat
1, 2, dan 3 (PPK 1 , PPK 2, dan PPK 3). Setiap kategori mempunyai kompetensi yang berbeda-
beda, akibat dari ketersediaan sumberdaya yang belum merata. PPK 1 (PKM dan klinik)
mempunyai kompetensi melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan psikiatrik, dan
penatalaksanaan gawat darurat (seperti menjaga tanda-tanda vital dalam batas normal atau
mengatasi keadaan gaduh gelisah), serta melakukan rujukan ke PPK 2 atau PPK 3 bila perlu
(misalnya bila terdapat ide bunuh diri atau terdapat komplikasi medik yang memerlukan rawat
inap). Beberapa PPK 1 juga dapat memberikan layanan terapi rumatan metadon. PPK 2, selain
mempunyai kompetensi PPK 1, dapat merawat inap pasien dengan komplikasi medik (misalnya
ide bunuh diri atau komplikasi medik berat), memberikan intervensi psikososial, dan melakukan
pemeriksaan penunjang. PPK 3, selain memiliki kompetensi PPK 1 dan 2, mampu memberikan

78
intervensi psikososial yang lebih beragam atau lengkap (seperti terapi kognitif perilaku, terapi
kelompok, dan terapi keluarga). Pemahaman mengenai hal ini penting sebagai pertimbangan
dalam memberikan terapi dan rehabilitasi bagi penderita gangguan pemakaian narkotika.
Pemberian terapi dan rehabilitasi bagi gangguan pemakaian narkotika juga dipengaruhi oleh
program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Belum ada kejelasan mengenai penggantian biaya
perawatan dan pengobatan bagi penderita gangguan pemakaian narkotika.
Modul ini diharapkan menjadi acuan bagi penerima wajib lapor pecandu narkotika pada
institusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk dapat melakukan penatalaksanaan terapi
dan rehabilitasi sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan yang dimiliki.

II. Tujuan Pembelajaran

A. Tujuan pembelajaran umum

Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu melakukan penatalaksanaan terapi dan
rehabilitasi ketergantungan narkotika sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan yang
dimiliki ketergantungan narkotika.

B. Tujuan pembelajaran khusus

1. Menjelaskan prinsip dan konsep dasar proses terapi.


2. Menjelaskan berbagai jenis modalitas terapi pada pasien ketergantungan narkotika.
3. Menjelaskan terapi pasca detoksifikasi (rehabilitasi).
4. Menjelaskan tentang harm reduction.
5. Menyusun rencana terapi.

III. Pokok Bahasan dan Subpokok Bahasan

Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut:

Pokok bahasan 1. prinsip dan konsep dasar proses terapi


Pokok bahasan 2. berbagai jenis modalitas terapi bagi pasien ketergantungan narkotika
Pokok bahasan 3. terapi residensial
Pokok bahasan 4. harm reduction
Pokok bahasan 5. rencana terapi

79
IV. Uraian Materi

Pokok bahasan 1: Tujuan dan konsep dasar proses terapi

Tujuan terapi

Tujuan terapi ketegantungan zat:

1. Abstinensia atau penghentian total penggunaan zat


Tujuan terapi ini tergolong sangat ideal. Sebagian besar pasien ketergantungan zat tidak
mampu atau kurang termotivasi untuk mencapai tujuan ini.
2. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps.
Pelatihan relapse prevention program, cognitive behavior therapy, opiate antagonist
maintenance therapy merupakan beberapa pilihan untuk mencapai tujuan terapi ini.
3. Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial
Tujuan utama terapi ini agar dampak buruk akibat ketergantungan narkotika dapat
dikendalikan dan pasien dapat meneruskan kebiasaannya yang positif. Terapi substitusi
rumatan metadon merupakan pilihan untuk mencapai sasaran terapi golongan ini.

Konsep dasar proses terapi


Untuk mencapai tujuan diatas, program terapi dan rehabilitasi yang direncanakan dapat
berbasis-rawat inap (di rumah sakit atau komunitas) dan berbasis-rawat jalan (klinik). Program
terapi yang diberikan menyasar pada masalah pemakaian zat dan pada kondisi medis penyerta,
serta pada masalah psikososial. Program terapi dan rehabilitasi bagi masalah pemakaian zat
bisa berupa, antara lain, detoksifikasi, simtomatik, dan rumatan. Kondisi medis penyerta bisa
berupa, misalnya, infeksi HIV dan gangguan psikotik akibat pemakaian zat, termasuk masalah
kesehatan lainnya yang belum jelas hubungannya dengan riwayat pemakaian zat. Program
terapi dan rehabilitasi yang diberikan bergantung pada kondisi medis penyerta tersebut. Orang-
orang dengan masalah pemakaian zat biasanya juga tidak lepas dari masalah psikososial dalam
kehidupannya. Program terapi dan rehabilitasi bagi masalah psikososial tersebut bisa berupa
psikoterapi, konseling, dan pencegahaan kekambuhan. Pemilihan program terapi dan
rehabilitasi bergantung pada banyak faktor, antara lain taraf pemakaian, jenis zat yang dipakai,
dan kondisi klien. Sebagai contoh, rawat inap bisa dipertimbangkan pada kasus intoksikasi
stimulan dengan gejala psikotik tetapi tidak pada kasus pemakaian kanabis secara rekreasional,
benzodiazepin potensi sedang-tinggi dapat diberikan untuk mengurangi kegelisahan pada kasus
putus alkohol tetapi tidak dianjurkan untuk kegelisahan pada kasus putus sedatif, dan program

80
detoksifikasi tersedia bagi kasus ketergantungan alkohol, opioid, dan sedatif, tetapi tidak
tersedia bagi kasus gangguan pemakaian zat yang lain. Dengan demikian, perlu
dipertimbangkan beberapa konsep berikut untuk memudahkan pemilihan terapi dan
rehabilitasi bagi masalah pemakaian zat.
1. Tidak ada satu bentuk terapi yang sesuai untuk semua individu. Masing-masing pasien
ketergantungan narkotika memerlukan jenis terapi yang sesuai dengan kebutuhannya.
2. Kebutuhan guna mendapatkan terapi harus selalu tersedia sepanjang waktu, karena
pasien ketergantungan narkotika tidak mempunyai pendirian yang stabil.
3. Terapi yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan individu, tidak hanya
semata-mata karena kebutuhan menggunakan narkotika.
4. Rencana pelayanan dan terapi seorang individu harus dinilai secara kontinyu dan
sewaktu-waktu perlu dimodifikasi guna memastikan bahwa rencana terapi telah sesuai
dengan perubahan kebutuhan orang tersebut.
5. Mempertahankan pasien dalam periode terapi yang adekuat merupakan sesuatu yang
penting guna menilai apakah terapi efektif atau tidak
6. Konseling dan terapi perilaku merupakan komponen kritis sebagai bagian penting terapi
ketergantungan narkotika
7. Medikasi merupakan elemen penting pada terapi kebanyakan pasien ketergantungan
narkotika
8. Seorang pasien ketergantungan narkotika yang secara bersama-sama juga menderita
gangguan mental harus mendapatkan terapi untuk kedua-duanya secara integratif
9. Detoksifikasi hanya merupakan taraf permulaan terapi ketergantungan narkotika dan
kalau dianggap sebagai satu-satunya cara maka hanya mendatangkan sedikit keberhasilan
terapi.
10. Terapi yang dilakukan secara sukarela tidak menjamin menghasilkan suatu bentuk terapi
yang efektif
11. Kemungkinan penggunaan narkotika kembali selama terapi berlangsung harus dimonitor
secara berkesinambungan
12. Program terapi harus menyediakan assesment untuk HIVAIDS, Hepatitis B dan C,
Tuberkulosis dan penyakit infeksi lain serta harus dilakukan konseling untuk membantu
pasien ketergantungan narkotika memodifikasi atau merubah tingkah lakunya, agar tidak
menyebabkan dirinya atau diri orang lain pada posisi yang berisiko mendapatkan infeksi.
13. Pemulihan dari ketergantungan narkotika merupakan proses jangka panjang dan sering
membutuhkan episode terapi berulang-ulang

81
Pokok bahasan 2: berbagai jenis modalitas terapi bagi pasien ketergantungan
narkotika

Jenis terapi ketergantungan zat


Terapi dan rehabilitasi ketergantungan zat mempunyai banyak jenis dan sebutan yang
seluruhnya dapat dikelompokkan berdasarkan tujuan, modalitas, atau yang lainnya. Pada
modul ini, pengelompokan terapi dan rehabilitasi medis merujuk kepada Permenkes no. 2415
tahun 2011.

Jenis terapi dan rehabilitasi medis ketergantungan zat:

1. Terapi dan rehabilitasi medis rawat jalan


2. Terapi dan rehabilitasi medis rawat inap

Terapi dan rehabilitasi medis rawat jalan meliputi intervensi medis dan intervensi psikososial,
yang masing-masing meliputi:

1. Intervensi medis:
a. Program detoksifikasi
b. Terapi simtomatik
c. Terapi rumatan
d. Terapi kondisi medis penyulit/penyerta
2. Intervensi psikososial, antara lain:
a. Psikoterapi (terapi kognitif dan perilaku, terapi dinamik, dan sebagainya)
b. Konseling (konseling adiksi, konseling pasangan/pernikahan, dan lain-lain)

Terapi dan rehabilitasi medis rawat inap meliputi semua jenis terapi dan rehabilitasi yang bisa
diberikan melalui rawat jalan ditambah rehabilitasi dengan pendekatan filosofis, antara lain
Komunitas Terapeutik (Therapeutic Community, TC), 12-Langkah, dan yang sudah teruji secara
ilmiah lainnya. Selain itu, intervensi medis didalam terapi dan rehabilitasi medis rawat inap juga
diperuntukan bagi situasi kegawatdaruratan medis.

Program detoksifikasi

Program detoksifikasi merupakan intervensi medik jangka pendek yang biasanya merupakan
terapi awal suatu ketergantungan zat.

82
Tujuan terapi detoksifikasi:
 mengurangi, meringankan, atau meredakan keparahan gejala-gejala putus zat
 mengurangi keinginan, tuntutan dan kebutuhan pasien untuk “mengobati dirinya
sendiri” dengan menggunakan zat-zat illegal
 mempersiapkan untuk proses terapi lanjutan yang dikaitkan dengan modalitas terapi
lainnya, seperti: therapeutic community, berbagai jenis terapi rumatan atau terapi lain
 menentukan dan memeriksa komplikasi fisik dan mental, serta mempersiapkan
perencanaan terapi jangka panjang

Terapi simtomatik

Tidak semua masalah terkait-zat memerlukan detoksifikasi dengan intervensi medis. Bila
detoksifikasi menjadi pilihan, belum tentu program tersebut dapat langsung diberikan. Pada
situasi dimana detoksifikasi tidak menjadi pilihan atau tidak memungkinkan dijadikan prioritas
utama, biasanya dokter memberikan intervensi medis (terapi) berdasarkan gejala yang
menonjol. Gejala tersebut bisa merupakan bagian dari kedaruratan medik dan psikiatrik yang
terjadi akibat ketergantungan narkotika, misalnya gajala depresif dan gejala psikotik.

Termasuk kedaruratan medik yang terjadi akibat penggunaan narkotika dan zat adiktif lain
adalah:

 Intoksikasi akut
 Keadaan putus zat
 Keadaan putus zat dengan delirium
 Gangguan psikotik
 Gaduh gelisah
 Gangguan cemas/panik
 Depresi berat dan percobaan bunuh diri

Intoksikasi akut
Kondisi intoksikasi akut seringkali disebut secara tidak tepat dengan overdosis oleh masyarakat.
Gejala intoksikasi akut bergantung pada zat yang dipakai. Tenaga medis harus mengenali gejala
intoksikasi akut dari tiap-tiap zat untuk dapat mendiagnosis secara tepat dan menentukan
terapi yang sesuai. Intoksikasi narkotika dan zat adiktif dapat membahayakan karena dapat

83
terjadi agresivitas, impulsivitas, agitatif kecuali intoksikasi akut tembakau yang jarang terjadi.
Intoksikasi akut kokain, amfertamin, dan beberapa jenis halusinogen dapat menyebabkan
kejang, tekanan darah naik, gangguan irama jantung, hipertermia, dehidrasi. Secara umum,
intoksikasi akut dapat dikategorikan kondisi medik sedang, kecuali intoksikasi tembakau
termasuk kondisi medik ringan. Pada intoksikasi kafein terjadi gangguan irama jantung, agitasi
Pada intoksikasi PCP dapat terjadi kejang. Pasien dengan intoksikasi akut sebaiknya dirawat
inap. Tujuan utama terapi pada kondisi ini adalah menjaga sistem kardiovaskuler dan respirasi
tetap berfungsi normal. Tujuan selanjutnya adalah untuk menghambat progresivitas
perburukan kondisi atau menghindari gejala yang lebih berat dan lebih sukar ditangani, seperti
kejang, dan memulihkan fungsi organobiologik, seperti kesadaran. Untuk intoksikasi akut opioid
dapat diberikan antagonis opioid yaitu naloxone. Untuk intoksikasi akut benzodiazepin dapat
diberikan flumazenil.

Keadaan putus zat/keadaan putus zat dengan delirium


Keadaan putus zat adalah kondisi klinis yang timbul ketika seseorang mengurangi atau
menghentikan penggunaan narkotika atau zat adiktif lain setelah ia menggunakan zat tersebut
berulang kali, biasanya setelah periode penggunaan yang lama dan/atau dalam jumlah yang
banyak. Delirium merupakan keadaan dimana seseorang kehilangan kemampuan untuk
mengalihkan, memusatkan, dan mempertahankan perhatiannya; kondisi ini berfluktuasi sejalan
dengan waktu; dan bisa disertai dengan agitasi.
Keadan putus alkohol dan keadaanputus sedativa-hipnotika dapat disertai kejang, agitasi,
hipotensi postural serta delirium,oleh karena itu sebagai kondisi medik yang berat maka harus
dirawat inap. Keadaan putus kokain stimulan lainnya dapat disetai agitasi dan ide bunuh diri.
Oleh karena itu tergolong kondisi medik berat dan karenanya harus dirawat inap. Keadan putus
tembakau dan keadaan putus ganja pada umumnya termasuk kondisi medik ringan, oleh
karenanya tidak perlu rawat inap. Keadaan putus opioda bukan keadaan yang gawat tetapi
pasien menderita antara lain karena rasa nyeri seluruh badan. Pasien ini tidak harus diirawat
inap, tetapi bila pasien menghendaki dirawat inap maka sebaiknya dirawat inap.

Gangguan psikotik
Gejala psikotik yang muncul pada waktu atau dalam waktu dua minggu penggunaan narkotika/
zat adiktif lain, berlangsung paling sedikit 48 jam dan lamanya tidak lebih dari 6 bulan. Gejala
psikotik merupakan sekelompok gejala yang menandakan bahwa pasien tak mampu
membedakan antara realita dan nonrealita, seperti ketidaksesuaian afek, halusinasi, dan
waham. Bila disertai agresivitas harus dirawat inap. Obat yang dapat diberikan adalah golongan

84
antipsikotik, disarankan yang atipikal (seperti risperidone, olanzapine, dan aripiprazole). Contoh
antipsikotik tipikal antara lain haloperidol, chlorpromazine, dan trifluoperazine.

Gaduh-gelisah
Pasien gaduh-gelisah harus dirawat inap karena kemungkinan akan mengganggu ketertiban
umum. Obat yang dapat diberikan adalah dari golongan major tranqulizer (antipsikotik),
terutama yang atipikal. Mengingat kondisi pasien yang gaduh-gelisah, pertimbangkan rute
pemberian yang sesuai.

Gangguan cemas/panik
Ganguan cemas/panik pada umumnya tidak memerlukan rawat inap. Obat yang dapat
diberikan antara lain golongan benzodiazepin (seperti alprazolam dan lorazepam) dan golongan
antipsikotik tipikal dosis rendah (seperti haloperidol 0,5 mg dan trifluoperazine 1 mg).
Pertimbangkan ulang untuk pemberian golongan benzodiazepin, khususnya yang potensi kuat/
tinggi. Mengingat risiko toleransi dari obat-obat golongan itu, pastikan bahwa pemberiannya
akan memberikan manfaat yang lebih tinggi daripada efek yang tak diinginkan.

Depresi berat dan Percobaan Bunuh Diri


Pasien dengan Depresi berat dan Percobaan Bunuh Diri harus dirawat inap. Obat yang dapat
diberikan antara lain golongan benzodiazepin, golongan antipsikotik (baik atipikal maupun
tipikal), dan antidepresan (seperti fluoxetine dan maproptiline). Mengingat efek perbaikan
suasana perasaan dari antidepresan yang relatif lambat dan pemberiannya yang jangka
panjang, pertimbangkan pemberian antidepresan untuk gejala/sindrom depresif! Belum cukup
bukti yang mendukung penggunaan antidepresan untuk gejala depresif. Antidepresan,
terutama golongan Selective Serotonine Reuptake Inhibitor, dikaitkan dengan kejadian yang tak
diinginkan (yakni peningkatan usaha bunuh diri). Jadi, pertimbangkan pemberiannya pada
episode depresif berat.

Terapi Rumatan

Terapi rumatan merupakan terapi yang menggunakan zat agonis, baik penuh maupun parsial,
atau zat antagonis yang biasanya diberikan setelah pasien melalui proses detoksifikasi. Terapi
ini bertujuan untuk mencegah relaps, yakni kembali kepada pemakaian zat yang tak terkendali
dan membahayakan diri serta menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan. Terapi rumatan

85
tersedia untuk beberapa zat yang sangat terbatas, seperti opioid dan tembakau. Obat yang
dipakai dalam terapi rumatan opioid adalah metadona (agonis penuh) dan buprenorfin (agonis
parsial), serta nalokson dan naltrekson (antagonis).

Sejak tahun 1960-an metadona merupakan terapi baku untuk pasien-pasien ketergantungan
opioida di Amerika dan Eropa. Salah satu kelemahan metadona adalah risiko overdosis sejalan
dengan meningkatnya besar dosis yang berakibat fatal. Buprenorfin dimanfaatkan sebagai
terapi rumatan karena pada dosis tinggi buprenorfin bersifat antagonis, dengan demikian relatif
lebih aman daripada metadona. Dalam pelaksanaannya, terapi rumatan buprenorfin
bermasalah dikarenakan penyalahgunaan buprenorfin dengan cara disuntikkan sehingga
berisiko menimbulkan dampak buruk penularan penyakit. Dalam perkembangannya,
buprenorfin dikombinasi dengan naltrekson untuk mengatasi masalah tersebut. Jika kombinasi
tersebut disalahguna dengan cara disuntikkan maka naltrekson akan bekerja lebih dulu
sehingga akan timbul gejala putus opioid. Terapi rumatan dengan nalokson, yang dikenal
dengan istilah Opiate Antagonist Maintenance Therapy, harus diberikan bersama dengan
konseling. Untuk tembakau tersedia varenicline. Di Indonesia tersedia program terapi rumatan
metadon (yang dikelola oleh pemerintah pusat) dan terapi rumatan buprenorfin-naltrekson
untuk ketergantungan opioid, dan terapi varenicline untuk ketergantungan tembakau.

Terapi Kondisi Medis Penyulit atau Penyerta

Gangguan penggunaan narkotika pada pasien jarang ditemukan berdiri sendiri melainkan
terdapat bersama dengan gangguan lain (lihat MATERI INTI 2, Pokok Bahasan IV.B). Kondisi
medis penyulit atau yang menyertai masalah penggunaan narkotika bisa dikelompokkan
menjadi masalah organobiologik (kondisi medis umum) dan masalah psikologik/psikiatrik.
Penggunaan narkotika dengan cara suntik dapat membuat seseorang tertular penyakit penyulit
(komplikasi) seperti HIV/AIDS, Infeksi Menular Seksual (IMS), hepatitis B atau C, dan lain-lain.
Sesuai dengan konsep dasar proses terapi, program terapi harus menyediakan asesmen untuk
HIV/AIDS, Hepatitis B dan C, Tuberkulosis, dan penyakit infeksi lain dan harus melakukan
konseling untuk membantu pasien ketergantungan narkotika memodifikasi atau merubah
tingkah lakunya, agar tidak menyebabkan dirinya atau diri orang lain pada posisi yang berisiko
mendapatkan infeksi. Obat yang dapat diberikan bergantung pada diagnosis KMU.
Pertimbangkan interaksi antara obat yang diberikan dan zat yang dipakai serta efek dari
interaksi tersebut.

86
Masalah psikiatrik yang menyertai masalah penggunaan narkotika sering disebut juga dengan
dual diagnosis. Dual diagnosis adalah istilah klinis untuk kasus ketergantungan narkotika yang
didapati bersama dengan gangguan psikiatrik lainnya. Pasien-pasien dengan kombinasi
ketergantungan narkotika dan gangguan psikiatri membutuhkan terapi khusus yang bertujuan
untuk mempersiapkan dirinya dalam program pemulihan yang sesuai dan adekuat. Obat yang
dapat diberikan bergantung pada diagnosis (lihat “Terapi simtomatik” di atas). Mengingat
keterbatasan sumber daya layanan kesehatan primer, sangat disarankan untuk merujuk setiap
kasus dual diagnosis kepada psikiater atau fasilitas yang lebih mumpuni.

Pokok bahasan 3: terapi residensial

Terapi dan rehabilitasi medis rawat inap bagi pengguna narkotika meliputi:
1. Program berbasis-rumah sakit
2. Program berbasis-komunitas

Program terapi dan rehabilitasi medis berbasis-rumah sakit dibedakan berdasarkan jenis rumah
sakit, meliputi:

a. General hospital based program


Rehabilitasi dilaksanakan di rumah sakit yang diselenggarakan oleh pemerintah atau
pemerintah daerah. Program rehabllitasi di rumah sakit umum pada umumnya
adalah rehabiltasi fisik atau medik, yaitu mengobati penyakit komorbiditas dan
pemulihan kondisi fisik
b. psychiatric hospital

Rehabilitasi dilaksanakan di rumah sakit jiwa yang diselenggarakan oleh pemerintah


atau pemerintah daerah. Program rehabilitasi yang ada adalah rehabilitasi mental
yaitu mengobati gangguan jiwa lain yang terdapat bersama-sama dengan Gangguan
penggunaan narkotika/zat adiktif lain (dual diagnosis).

c. rumah sakit khusus untuk gangguan penggunaan narkotika

Sebagai contoh, Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta mempunyai fasilitas IGD,
unit rawat inap detoksifikasi, unit rawat inap untuk rehabilitasi, unit pasien dengan
diagnosis ganda, dan terapi rumatan metadon.

87
Program terapi dan rehabilitasi berbasis-komunitas dilaksanakan di fasilitas rehabilitasi yang
diselenggarakan oleh masyarakat, seperti TC dan 12-langkah. Program-program tersebut
biasanya dilaksanakan dalam bentuk yang murni, tanpa intervensi medis (yang membedakan
dengan yang dilaksanakan di rumah sakit).

Pokok bahasan 4: harm reduction

Harm reduction adalah suatu kebijakan atau program yang ditujukan untuk menurunkan
konsekuensi kesehatan, sosial dan ekonomi yang merugikan sebagai akibat penggunaan
narkotika tanpa kewajiban abstinensia dari penggunaan narkotika.

Beberapa program harm reduction:

1. Syringe Exchange Program


Tersedianya tempat penukaran semprit dan jarum suntik bekas dengan yang steril. Atau
tersedianya semprit dan jarum suntik steril tanpa penukaran dengan semprit dan jarum
suntik bekas.
2. Methadone Maintenance Treatment Program (MMTP)
MMTP telah dikembangkan sejak tahun 60an sebagai suatu cara untuk mengurangi angka
kriminalitas, konsekuensi sosial yang merugikan dan infeksi HIV/AIDS.
3. Education, Outreach Program And Bleach Kits
Ini adalah suatu program edukasi membersihkan jarum suntik yang sudah dipakai untuk
mencuci-hamakan jarum bekas.
4. Tolerance Areas
Tolerance areas adalah suatu tempat yang diperkenankan untuk melakukan kebiasaan
menggunakan narkotika melalui suntikan tanpa mendapatkan hukuman. Cara tersebut
memerlukan koordinasi dan pengawasan yang ketat.
5. Kawasan Bebas Asap Rokok
kawasan bebas asap rokok merupakan tempat-tempat atau gedung-gedung yang tidak
diperkenankan orang untuk merokok.

Pokok bahasan 5: rencana terapi

88
Rencana terapi merupakan salah satu bekal untuk berhasilnya suatu terapi. Rencana terapi dibuat
berdasarkan hasil asesmen komprehensif yang sesuai dengan kondisi pecandu narkotika
dengan jenis gangguan penggunaan narkotika dan kebutuhan pecandu narkotika, yang meliputi
antara lain pelayanan detoksifikasi, pelayanan rehabilitasi, dan pelayanan rawat jalan rumatan.

Rencana terapi disusun dengan mempertimbangkan hasil pemeriksaan awal dan diagnosis yang
diperoleh berdasarkan hasil asesmen. Salah satu model yang bisa digunakan dalam rencana
terapi bagi pecandu narkotika adalah dengan melihat tahapan perubahan perilaku sesuai
dengan teori Prochaska dan DiClemente (1986) dan Davidson, dkk (1991). Selanjutnya, rencana
terapi yang telah disusun tersebut harus disepakati oleh pecandu narkotika; orang tua, wali,
atau keluarga pecandu narkotika; dan pimpinan institusi penerima wajib lapor.

Tidak semua institusi wajib lapor memiliki modalitas terapi yang lengkap. Pada layanan yang
tidak tersedia perawatan khusus maka petugas tersebut wajib untuk melakukan rujukan ke
tempat lain sesuai dengan kebutuhan pecandu narkotika tersebut.

Melalui program wajib lapor, pecandu narkotika diharapkan setidaknya memperoleh konseling
dasar terkait perilaku ketergantungan narkotikanya. Melalui program ini juga diharapkan
pecandu narkotika memperoleh informasi yang diperlukan untuk meminimalisasi risiko yang
dihadapinya dan memperoleh rujukan untuk perawatan lanjutan yang sesuai dengan kondisi
dan kebutuhan yang bersangkutan. Melalui program ini pula pecandu narkotika mendapatkan
pengobatan dan atau perawatan melalui rehablitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Rehabilitasi medis dapat dilaksanakan melalui rawat jalan dan/atau rawat inap sesuai dengan
rencana terapi yang telah disusun. Rehabilitasi rawat inap dimulai dengan program rawat inap
selama 3 (tiga) bulan untuk kepentingan asesmen lanjutan, serta penatalaksanaan medis untuk
gangguan fisik dan mentalnya. Pelaksanaan rehabilitasi dilanjutkan dengan program rawat inap
jangka panjang atau dialihkan ke program rawat jalan. Pelaksanaan rehabilitasi lanjutan dengan
program rawat jalan hanya dapat dilaksanakan untuk terpidana dengan pola penggunaan
rekreasional atas jenis narkotika amfetamin, ganja dan benzodiazepin, dan/atau berusia di
bawah 18 tahun. Pelaksanaan rehabilitasi lanjutan yang dilakukan dengan rawat jalan
mewajibkan pecandu narkotika untuk datang pada lembaga rehabilitasi sesuai ketentuan yang
berlaku dan dilakukan pemeriksaan urin sewaktu-waktu.

Sesuai dengan konsep dasar proses terapi, rencana terapi seorang pecandu narkotika harus
dinilai secara berkesinambungan dan dapat dimodifikasi sewaktu-waktu bila perlu, untuk
memastikan kesesuaian antara rencana terapi dan perubahan kebutuhan orang tersebut.

89
DAFTAR PUSTAKA

1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 422/MENKES/SK/III/2010 tentang


Pedoman Penatalaksanaan Medik Gangguan Penggunaan NAPZA.
2. Modul Pelatihan Teknis Medis Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat
3. Kep Menkes No. 486/MENKES/SK/IV/2007 tentang Kebijakan & Rencana Strategi
Penanggulangan Penyalahgunaan NARKOTIKA
4. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, Departemen
Kesehatan RI, 1993
5. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5th edition,American Psychiatric
Association, 2013.

90
MATERI INTI 4
KONSELING DASAR ADIKSI NAPZA

I. Deskripsi Singkat

Masalah adiksi NAPZA melibatkan aspek biologik, psikologik, dan sosial. Oleh karena itu
dalam penatalaksanaannya harus bersifat komprehensif dengan memberikan intervensi
biologik (farmakoterapi) dan intervensi psikososial. Konseling merupakan salah satu jenis
intervensi psikososial. Konseling merupakan suatu dialog interaktif antara terapis dan klien yang
berdasarkan pada hubungan kolaborasi antara konselor dan klien yang membantu klien untuk
menyadari adanya masalah dalam perilaku penggunaan NAPZA. Konseling melibatkan berbagai
keterampilan konselor, teknik mengajar, dan dukungan emosional yang membantu seseorang
menuju kemandiriannya, mengembangkan keterampilan dalam menghadapi masalah,
mengembangkan fungsi sosial, dan menjadi pengambil keputusan yang baik. Untuk mampu
memberikan konseling secara profesional, terapis harus mengetahui prinsip dasar konseling
dan penerapannya.

II. Tujuan Pembelajaraan

A. Tujuan Pembelajaran Umum


Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu melakukan konseling dasar adiksi.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus


1. Menjelaskan cara membangun hubungan klien-konselor
2. Menjelaskan tahap-tahap perubahan perilaku dan wawancara motivasional
3. Menjelaskan dan menerapkan teknik dasar konseling NAPZA
4. Menjelaskan dan menerapkan teknik mengatasi resistensi

III. Pokok Bahasan

Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut:

Pokok bahasan 1. Membangun hubungan klien - konselor


Pokok bahasan 2. Tahap perubahan perilaku & wawancara motivasional
Pokok bahasan 3. Teknik dasar konseling NAPZA
Pokok bahasan 4. Teknik meningkatkan motivasi
Pokok bahasan 5. Teknik mengatasi resistensi

91
IV. Uraian Materi

Pokok bahasan 1: membangun hubungan klien-konselor

Konseling merupakan bagian yang sangat penting dalam tata laksana gangguan penggunaan
NAPZA (GPN) karena terdapat hubungan yang bermakna antara konseling dan perubahan
perilaku positif pada orang dengan gangguan penggunaan NAPZA. Ada banyak jenis konseling
yang dapat diterapkan pada klien dengan GPN, seperti misalnya konseling individual, pasangan,
keluarga, marital, vokasional, dan lainnya. Salah satu yang mendasar adalah konseling gangguan
penggunaan NAPZA yang lebih dikenal sebagai konseling adiksi NAPZA. Prinsip dasar konseling
ini sama dengan prinsip dasar konseling secara umum. Yang berbeda adalah fokus masalah
yang diangkat pada umumnya berkisar pada masalah gangguan penggunaan NAPZA.

Konseling merupakan proses membantu seseorang untuk belajar menyelesaikan masalah


interpersonal, emosional dan memutuskan hal tertentu, yang merupakan proses yang dinamis
berdasarkan hubungan kolaboratif. Tugas konselor adalah memberdayakan klien melalui
berbagai teknik, meliputi:
 fasilitasi
 pengajaran
 dukungan

Tujuan konseling adalah:

1. Membantu kemampuan klien untuk mengambil keputusan yang bijaksana dan realistik.
2. Menuntun perilaku klien agar mampu mengemban konsekuensinya.
3. Memberikan informasi dan edukasi.

Hasil konseling sangat bergantung pada hubungan antara klien dengan konselor, sedangkan
hubungan antara konselor dan klien akan bergantung pada situasi dan kenyamanan yang
dirasakan oleh klien. Dengan demikian, penting bagi konselor untuk menciptakan situasi yang
sedemikian rupa dan membuat klien merasa nyaman untuk mendapatkan hasil konseling yang
optimal. Hubungan antara konselor dan klien bersifat terapeutik yang mampu memfasilitasi
suatu perubahan perilaku. Konselor seharusnya memfasilitasi kliennya untuk mengidentifikasi
masalah diri klien, potensi yang dimiliki klien, alternatif jalan keluar, dan strategi perilaku yang
perlu klien tampilkan.

Membangun hubungan baik dalam konteks konseling membutuhkan karakter khusus, yaitu:
1. Bersikap hangat: ramah, menjabat tangan (sesuai konteks), menyambut klien secara wajar,
mempersilakan duduk, senyum dan bersahabat
92
2. Mampu menjadi pendengar yang baik: mendengarkan apa yang dikatakan klien, baik secara
verbal maupun nonverbal, memberi penguat bicara, tidak menyela perkataan klien kecuali
memang diperlukan.
3. Mampu memahami apa yang dirasakan klien (berempati): konselor mencoba merasakan apa
yang dirasakan klien. Menerima perasaan klien yang subyektif yang ditunjukkan dengan
ekspresi wajah, respons verbal maupun bahasa tubuh konselor yang adekuat.
4. Tidak bersikap menghakimi (judgmental): tidak mengambil kesimpulan secara cepat atas
apapun yang diutarakan atau ditampilkan klien, menghargai klien dengan segala atribut yang
ada padanya.
5. Bertanggung jawab: konselor mematuhi janji pertemuan, memberitahu klien apabila
berhalangan, melakukan pencatatan dan menyimpan segenap informasi yang diperoleh
dengan baik sesuai aturan yang berlaku.
6. Tulus: konselor bersikap terbuka dan sungguh-sungguh dalam membantu klien. Tidak
didasari oleh agenda lain selain keinginan untuk menolong atau memfasilitasi perubahan
pada diri klien.
7. Fleksibel: konseling tidak bisa dijalankan secara kaku. Topik-topik yang telah direncanakan
konselor berdasarkan identifikasi yang sebelumnya dilakukan dapat berubah sewaktu-waktu
seiring dengan berjalannya proses konseling.

Hubungan baik konselor-klien harus dipertahankan dalam konteks hubungan profesional agar
fungsi konseling tetap berjalan secara optimal. Ruang lingkup batasan hubungan konselor-klien
meliputi:
 Memberikan aturan tentang peran konselor
 Menetapkan batasan perilaku: hindari hubungan ganda (dual relationship), baik dari sisi:
o Sosial: misalnya, menjalin hubungan asmara, menganggap klien sebagai anak
o Finansial: misalnya, meminjam atau memberikan uang, membuat bisnis bersama
klien, dan sebagainya.
Dalam situasi dimana hubungan ganda tidak dapat dihindari, upayakan untuk
meminimalisasi keterlibatan konselor. Misalnya, sudah terlanjur berbisnis bersama,
upayakan agar mengalihkan pelaksanaan bisnis tersebut pada orang lain.
 Mengklarifikasi berbagai harapan
 Melindungi konselor, klien, dan mitra kerja lainnya

Pokok bahasan 2: tahap perubahan perilaku & wawancara motivasional

Psikolog James O. Prochaska, John C. Norcross dan Carlo C. DiClemente menulis dan meneliti
tentang bagaimana orang berubah selama lebih dari 20 tahun. Mereka mengembangkan
sebuah model dari proses perubahan. Kesiapan untuk berubah dan dinamik dari tahap-tahap

93
perubahan dikembangkan oleh Prochaska, Norcross, dan Diclemente (1994); Mereka
mengidentifikasi enam tahap perubahan: precontemplation, contemplation, preparation,
action, maintenance, dan recycling dan relapse. Konselor tidak hanya perlu untuk memahami
tahap kesiapan, tapi harus mengetahui bagaimana berespons secara tepat untuk memfasilitasi
individu bergerak ke sebuah tahap kesiapan yang lebih tinggi. Tahap perubahan dapat
dideskripsikan dalam model diagram dibawah ini:

Relaps Pre-
e contemplation

Maintenance Contemplation

Determination/
Action
Preparation

A. Tahap pra-perenungan (Precontemplation).


Di tahap pertama ini terdapat penyangkalan atau kurangnya kesadaran akan kebutuhan
untuk berubah. Di tahap pra-perenungan, klien tidak mempunyai pikiran untuk berhenti dari
penyalahgunaan NAPZA, klien menggunakan penyangkalan sebagai mekanisme pertahanan
diri yang paling utama. Pada saat ini biasanya klien menolak berbicara tentang masalah yang
dimilikinya atau tidak merasa perlu konseling kesehatan. Precontemplation merupakan taraf
kesiapan paling rendah untuk berubah. Pada tahap ini, strategi paling baik adalah
memberikan informasi, membentuk hubungan baik, dan menciptakan keragu-raguan
tentang perilaku penggunaan NAPZA-nya.

94
Tugas konselor menghadapi klien di tahap pra-perenungan:
1. memberi informasi tentang efek ketergantungan NAPZA, bahaya yang berhubungan
dengan ketergantungan NAPZA.
2. membangkitkan keinginan klien untuk sebuah gaya hidup yang berbeda, mengidentifikasi
hambatan untuk pemulihan, dan membantu klien untuk mengidentifikasi cara untuk
meningkatkan harga diri (self esteem).

B. Tahap Perenungan (Contemplation).


Di tahap ini biasanya klien memiliki kesadaran bahwa perilaku penggunaan NAPZA-nya
mungkin bermasalah. Mungkin ia juga mempertimbangkan untuk menerima atau menolak
perubahan perilaku dalam mengatasi masalahnya tersebut. Pada tahap ini dapat dilakukan
proses mendengar aktif pada klien dan mengidentifikasi hal-hal yang bersifat positif dan
negatif dari perubahan yang akan dibuat. Sebuah pertanyaan yang dianjurkan pada tahap ini
adalah, “apakah perubahan perilaku yang akan dilakukan sungguh-sungguh bermanfaat?”
Tugas konselor menghadapi klien di tahap perenungan:
1. Memelihara proses perubahan dengan memberikan dukungan.
2. Memberikan umpan balik, melakukan konfrontasi dengan ramah, lemah lembut, humor
3. Memberikan penghargaan (reward) untuk perjuangan dan keberhasilan klien.

C. Tahap persiapan (Preparation)


Pada tahap ini keputusan untuk berubah biasanya telah diambil klien, sehingga diperlukan
adanya suatu persiapan. Klien tidak hanya mengakui adanya masalah dan kebutuhan untuk
melakukan sesuatu terhadap masalah tersebut, tetapi ia juga memutuskan untuk berubah
dan mulai membuat rencana untuk berubah.
Tugas konselor menghadapi klien di tahap persiapan:
1. Membantu klien untuk melakukan perubahan.
2. Mengidentifikasi hambatan yang ada.
3. Membantu klien untuk perencanaan perubahan.

D. Tahap aksi (Action)


Tahap aksi merupakan permulaan dari proses pemulihan. Di tahap aksi ini individu secara
aktif terlibat di dalam proses perubahan, dan mengambil langkah pertama ke arah

95
pemulihan. Pada tahap ini, klien dapat bekerjasama dengan konselor untuk mengevaluasi,
merencanakan, dan mengimplementasikan sebuah rencana konseling. Tugas utama konselor
adalah mendukung usaha-usaha perubahan dan menguatkan komitmen dan keterlibatan
klien. Sebuah pertanyaan mendasar untuk diajukan pada tahap ini adalah, “Apakah yang
akan anda lakukan?” Selama tahap aksi, dapat terjadi kekambuhan, namun hal tersebut
biasa terjadi.

Tugas konselor menghadapi klien di tahap aksi:

a. Membantu klien untuk mematuhi rencana terapi


b. Membantu klien mengidentifikasikan berbagai kekuatan yang dimiliki klien,
mengidentifikasi masalah yang dihadapi, dan mengembangkan berbagai strategi untuk
mengatasi masalah tersebut.

E. Tahap Mempertahankan (Maintenance)


Di dalam tahap mempertahankan, klien mempelajari perilaku yang dapat mendukung
mereka untuk bebas dari penggunaan NAPZA yang merugikan. Klien diajak untuk memiliki
keterampilan dalam menghadapi masalah yang dihadapi sehari-hari sehinggan hal ini dapat
mendukung mereka untuk mempertahankan perubahan. Keterampilan yang diberikan
termasuk untuk mempertahankan pekerjaan dan mengembangkan hubungan-hubungan
yang akan mendukung kepulihan.

Tugas konselor menghadapi klien di tahap mempertahankan:

1. Mengidentifikasi berbagai situasi berisiko tinggi yang dapat menggiring kekambuhan


2. Memfasilitasi ketrampilan yang diperlukan dalam memecahkan masalah, komunikasi
efektif, hubungan interpersonal yang sehat
Sebuah pertanyaan dasar pada tahap ini adalah, “Apa yang dapat menolong anda ketika
menghadapi masalah itu?” Tahap mempertahankan tidak mempunyai batas waktu khusus,
karena terus berlangsung selama hidup klien.

F. Kekambuhan (Recyling and Relapse).


Kekambuhan berarti bahwa hasil perubahan belum menetap karena individu terlibat di
dalam situasi risiko tinggi dimana kekambuhan tidak dapat dihindarkan, misalnya karena
tidak mendapatkan dukungan sosial. Situasi berisiko ini membuat klien tergelincir kembali
pada tahap yang lebih rendah, biasanya kembali pada tahap perenungan. Selama tahap ini
klien memiliki ambivalensi untuk mencoba lagi.

Tugas konselor bila terjadi kekambuhan:


96
1. Membantu klien untuk menghadapi ambivalensi
2. Mengevaluasi komitmen untuk berubah, mengidentifikasi dan mengatasi hambatan
yang ada.
Sebuah pertanyaan penting untuk diajukan di tahap ini adalah, ”Apakah tujuan dari
perubahan saat ini?”

Wawancara motivasional

Miller dan Rollnick (1991) mengembangkan suatu teknik wawancara motivasional yang secara
umum digunakan untuk asesmen penyalahgunaan NAPZA. Proses wawancara motivasional
dilakukan dengan pendekatan client-centered yang bertujuan untuk membantu seseorang
menggali dan mengatasi ambivalensi penggunaan Napzanya.

Dasar dari wawancara motivasional adalah memahami tahapan perubahan perilaku pada klien
dan kapan serta bagaimana mereka masuk ketahapan perubahan selanjutnya. Wawancara
motivasional ini sangat berguna pada tahap perubahan prekontemplasi dan kontemplasi,
walaupun begitu dapat pula diterapkan pada setiap tahap perubahan perilaku.

Tujuan dari wawancara motivasional adalah untuk menggali pandangan klien menghadapi
permasalahannya, menyokong perubahan dengan menghindari label, menyatakan bahwa yang
bertanggung-jawab untuk target terapi dan pembuat keputusan terletak pada klien.

Prinsip wawancara motivasional:

1. Mengekspresikan empati
Suatu gambaran bahwa konselor menerima klien apa adanya, dapat memahami klien
dengan permasalahannya, tidak memberikan suatu label kepada klien (misal: alkoholik,
jungkie, dll).

2. Membangun ketidakcocokan/kesenjangan (develop discrepancy)


Memotivasi perubahan perilaku klien dengan menggambarkan perbedaan antara
penyalahgunaan NAPZA beserta permasalahan yang berhubungan dengan perilaku mereka
saat ini.

3. Menghindari argumentasi
Menerima ambivalensi klien sebagai sesuatu yang wajar / normal. Ambivalensi dan
kesenjangan yang muncul dapat menimbulkan perdebatan yang tidak nyaman bagi klien.
Jangan menyerang klien atas penggunaan NAPZA dan permasalahannya, tetapi gali

97
pengetahuan klien tentang risiko terkait perilakunya dan bantu klien memahami secara
akurat konsekuensi negatif dari penggunaan Napzanya.

4. Dukungan keyakinan diri


Konselor memberikan dukungan bahwa klien mampu merubah perilaku mereka dalam
penggunaan zatnya. Hal ini merupakan motivator penting dan mengingatkan klien untuk
bertanggungjawab dalam memilih dan mengadakan perubahan personal.

5. Ketrampilan khusus
Ketrampilan ini bertujuan untuk mendorong klien mau berbicara, menggali ambivalensi
dan menjelaskan alasan mereka untuk mengurangi atau berhenti dari penggunaan NAPZA-
nya.
a. OARS
 Open ended questions (pertanyaan terbuka)
 Affirmations (penegasan)
 Reflective Listening (mendengarkan dengan cara merefleksikan)
 Summarizing (membuat kesimpulan)
b. Berbicara mengenai perubahan
Ada empat kategori penting dalam membicarakan perubahan:
 Mengenali kerugian bila tetap menyalahgunakan NAPZA
 Mengenali manfaat bila tidak menyalahgunakan NAPZA
 Menyampaikan optimisme tentang perubahan
 Menyampaikan tujuan untuk perubahan

STRATEGI MEMOTIVASI SESUAI TAHAPAN PERUBAHAN

Tahapan Perubahan Klien Strategi Memotivasi yang Sesuai


Precontemplation : (1) Bina hubungan baik, minta persetujuan,
Klien : bangun kepercayaan.
 Belum mempertimbangkan (2) Bangkitkan keragu-raguan atau fokuskan
untuk berubah atau tidak pikiran klien tentang penyalahgunaan zatnya
punya keinginan untuk melalui:
berubah. - Eksplorasi kejadian yang membawa klien
 Belum mengkhawatirkan pola berobat atau hasil dari pengobatan yang

98
penggunaan narkobanya, sebelumnya.
berapa jumlah dan frekuensi - Timbulkan persepsi klien tentang masalah
yang mereka konsumsi. yang ada terkait penggunaan narkoba.
 Tidak mau menerima dan - Jelaskan informasi faktual tentang risiko
tidak mengetahui seberapa penggunaan narkoba.
seriusnya masalah yang - Sediakan umpan balik personal tentang
asesmen yang diperoleh.
ditimbulkan atas penggunaan
- Eksplorasi tentang keuntungan dan kerugian
narkobanya dan mereka penggunaan narkoba.
masuk dalam pengguna - Bantu untuk intervensi lain yang bermakna.
berisiko. - Uji adanya kesenjangan antara persepsi
klien dengan persepsi orang lain tentang
masalah perilaku.
- Tunjukkan perhatian dan biarkan pintu
selalu terbuka untuk klien.

Contemplation :  Menormalisasi sikap ambivalen.


 Klien mengenali dan  Bantu klien untuk berubah melalui :
mempertimbangkan - Hubungkan manfaat dan kerugian tetap
kemungkinan untuk menyalahgunakan napza dan bila berhenti
mengubah perilaku, namun menggunakan napza
masih ambivalen dan belum - Ubah motivasi intrinsik maupun ekstrinsik.
memiliki kepastian. - Kaji nilai-nilai personal klien dan
 Faktor ekstrinsik lebih hubungannya dengan perubahan.
banyak mendominasi - Yakinkan klien bebas memilih, bertanggung
pemikiran mereka untuk jawab, dan mampu memberdayakan diri
berubah. sendiri untuk berubah.
a. Dorong klien memberdayakan diri dan
bangkitkan harapan mereka tentang pentingya
terapi
b. Simpulkan pernyataan motivasi diri.

Preparation :  Perjelas tujuan dan strategi klien untuk


 Klien memiliki komitmen dan berubah.
mempunyai rencana untuk  Berikan beberapa menu untuk berubah atau
berubah dalam waktu dekat mendapatkan terapi
namun masih belum jelas apa  Dengan persetujuan klien, berikan pendapat
99
yang akan dilakukan. atau saran
 Klien sudah menemukan  Negosiasi kontrak rencana perubahan perilaku
resolusi dan membuat  Pertimbangkan kendala yang ringan dalam
pernyataan yang dapat perubahan.
bertujuan untuk memotivasi  Bantu klien dapatkan daftar untuk dukungan
dirinya sendiri. sosial.
 Eksplorasi harapan dari rencana terapi dan
peran klien dalam perubahan perilaku.
 Identifikasi apa yang sebelumnya telah
dikerjakan dan siapa yang dapat diajak
bekerjasama di masa datang.
 Bantu klien untuk menghadapi kendala dalam
masalah keuangan, perawatan anak,
transportasi, atau kendala yang lainnya.

Action : (1) Dukung klien dalam menjalani proses


Klien secara aktif telah pemulihan.
mengambil satu langkah untuk (2) Dukung upaya perubahan melalui
berubah tetapi belum mencapai langkah-langkah kecil tetapi realistis
kestabilan. dikerjakan
(3) Kenali kesulitan-kesulitan klien pada
tahap awal perubahan.
(4) Bantu klien untuk mengenali situasi
risiko tinggi melalui analisis fungsional dan
kembangkan strategi yang untuk menghadapi
situasi tersebut.
(5) Bantu klien memperoleh penguatan baru
untuk perubahan positif.
(6) Bantu klien untuk mengkaji kekuatan
keluarga dan dukungan sosial.

Maintenance :  Bantu klien untuk mengidentifikasi kegiatan


Klien sudah mencapai tujuan yang terkait dengan kondisi bebas zat
awal seperti abstinensia dan  Dukung perubahan gaya hidup klien.
sekarang bekerja untuk dapat  Afirmasi kemampuan klien untuk lepas dari
mempertahankannya. masalah dan kemampuan memberdayakan
diri.
 Pertahankan kontak untuk dukungan.
 Bantu klien menerapkan dan menggunakan
strategi untuk terhindar dari kekambuhan.
 Kembangkan rencana untuk “lari dari api” agar
tidak menggunakan narkoba kembali.
100
 Tinjau tentang rencana jangka panjang klien

Slip dan kambuh :  Bantu klien untuk masuk kembali dalam


Klien mengalami gejala-gejala lingkaran perubahan dan puji keinginannya
kembali menggunakan narkoba untuk melakukan perubahan positif.
dan harus mengatasi  Eksplorasi makna dan kenyataan dari
konsekuensinya dan kekambuhan sebagai kesempatan untuk
memutuskan apa yang akan belajar.
dilakukan selanjutnya.  Bantu klien untuk memperoleh strategi
alternatif dalam memecahkan masalah.
 Pertahankan kontak untuk dukungan.

Pokok bahasan 3: prinsip dasar konseling

Kriteria Konseling

 Fokus pada masalah klien.


 Percakapan dua arah.
 Terstruktur: menyambut, membahas, membantu menetapkan pilihan, mengingatkan.
 Bertujuan membantu klien untuk mengenal dirinya, memahami permasalahannya, melihat
peluang dan mencari alternatif penyelesaiannya.
 Memerlukan kemampuan melakukan komunikasi interpersonal.
 Dilakukan dalam suasana yang menjamin rasa aman dan nyaman.

Lama dan frekuensi konseling

Proses konseling hendaknya dijalankan dengan durasi waktu 30 hingga 60 menit. Upayakan
untuk selalu memulai konseling dengan mengulas apa yang telah diperoleh pada sesi
sebelumnya dan sejauh mana keterampilan baru telah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Klien sebaiknya diberitahu bila waktu konseling akan habis. Proses konseling yang optimal
dilakukan minimal 8 kali pertemuan untuk setiap klien. Pada klien yang memiliki masalah
personal yang kompleks dapat dilakukan sesi konseling hingga 20 kali pertemuan atau lebih,
bergantung pada kompleksitas yang dialami dan karakteristik klien itu sendiri. Jarak antara satu
sesi dengan sesi lain idealnya 1 minggu.

Keterampilan dasar dalam konseling meliputi:


 Mendengar aktif

101
 Mengajarkan

I. Mendengar secara aktif.


Konselor yang baik memang harus dapat menjadi pendengar, namun tidak secara pasif.
Kemampuan untuk mendengar disini harus bersifat aktif yang akan mendorong klien untuk
berbagi informasi baik secara verbal maupun ekspresi non verbal. Mendengar aktif berarti
kemampuan untuk mendengar apa yang dikatakan oleh klien baik secara verbal maupun non
verbal, memahaminya dan mengkomunikasikan pemahaman itu dengan menunjukkan
empati kepada klien. Mendengar secara aktif juga dapat memberikan respon yang tepat
kepada klien, yaitu:
a. Membangun dan mempertahankan hubungan baik (rapport)
b. Membantu klien merasa lebih dekat.
c. Membantu klien untuk mengekspresikan perasaan.
d. Menciptakan pengetahuan yang saling mendukung antara klien dengan konselor.

Seorang konselor tidak serta merta mampu mendengarkan klien secara aktif. Ketrampilan
mendengar aktif harus dilatih. Adapun faktor-faktor yang menjadi penghambat mendengar
aktif diantaranya adalah:
 Bersikap reaktif secara emosional
 Berpikir bagaimana merespons klien sementara klien masih berbicara
 Memberikan perhatian pada berbagai hal yang ada di sekitar kita
 Adanya sikap praduga yang ada dalam pikiran kita
 Berpikir tentang masalah kita sendiri
 Melamun

Adapun bagian mendengar aktif adalah sebagai berikut:

1. Hadir
Kehadiran artinya konselor menunjukkan ekspresi kesadaran dan ketertarikan apa yang
dikomunikasikan oleh klien baik verbal maupun non verbal. Jadi konselor memperhatikan
komunikasi verbal dan non verbal dari klien dan mengkomunikasikan kembali kepada
klien. Hadir membantu konselor untuk memahami klien lebih baik dengan mengobservasi
secara lebih hati-hati. Hadir membantu klien untuk menjadi relaks dan nyaman, merasa
bebas mengekspresikan ide-ide dan perasaannya, dapat mempercayai konselor sehingga
membuat klien memiliki peranan yang lebih aktif. Kehadiran dapat ditandai oleh:
a. Kontak mata dan ekspresi wajah yang sesuai.
b. Mempertankan postur yang relaks dengan menggunakan gerakan tangan dan bahu.
102
c. Secara verbal memberikan dukungan atas perkataan klien dengan memberikan kata-
kata seperti “um-hmm” atau “ya” atau dengan mengulang kata kunci.
d. Melakukan observasi pada bahasa tubuh klien.

2. Parafrase
Parafrase dilakukan dengan mengucapkan kembali isi dari pernyataan klien dengan
menggunakan kata-kata yang mirip diucapkan oleh klien. Tujuan dari parafrase adalah
mengkonfirmasi kepada klien bahwa konselor mengerti apa yang dikatakan oleh klien.
Parafrase dapat membantu konselor untuk memperjelas persepsi tentang pernyataan
klien dan menggarisbawahi isu penting. Sedangkan untuk klien, parafrase membuat klien
mengerti bahwa konselor memahami apa dikatakan oleh klien, mengklarifikasi
pernyataan klien, dan fokus pada apa yang penting dan berkaitan.

Parafrase memungkinkan konselor untuk melakukan verifikasi terhadap persepsi mereka


akan pernyatan klien yang menjadi fokus dari isu sehingga membuat klien dapat
menceritakan lebih lanjut.

3. Refleksi perasaan
Refleksi perasaan adalah ekspresi konselor terhadap perasaan klien, baik verbal maupun
nonverbal. Konselor mencoba mengetahui emosi klien dan merespon untuk menunjukkan
pemahaman tentang kondisi emosi klien. Konselor menggunakan tehnik merefleksikan
perasaan, mengekspresikan perasaan klien yang terlihat dari pernyataan verbal dan
nonverbal. Pada refleksi perasaan, elemen yang menjadi fokus adalah emosi klien.

Refleksi perasaan membantu konselor untuk memahami apakah dirinya sudah


memahami emosi klien dan membawa masalah yang ada pada klien tanpa klien merasa
terpaksa. Refleksi perasaan membantu klien untuk mengetahui bahwa konselor
memahami perasaannya, meningkatkan kesadaran tentang perasaan dirinya, dan
mempelajari hubungan antara perasaan dan perilaku.

Secara teknis, refleksi perasaan juga disebut sebagai mendengar reflektif. Ada 3 tipe
refleksi:
1. Refleksi sederhana: mendengarkan isi pembicaraan klien dan mengamati
perilaku klien. Sangat bermanfaat untuk membina hubungan baik.
Contoh A:

103
- Klien: “saya belum ingin berhenti dalam waktu dekat”
- Konselor: “jadi anda belum siap untuk tidak pakai napza saat ini”
Contoh B:
- Klien: “sekarang ini saya udah ngerasa lebih enak, tapi saya nggak tau apa istri
saya udah bisa mempercayai saya sekarang ini”
- Konselor: “tampaknya perasaan anda campur aduk, di satu sisi fisik merasa
lebih baik, tetapi di sisi lain merasa sangsi dengan hubungan anda dengan istri
anda”

2. Refleksi yang diamplifikasi: menambahkan atribut pada refleksi sederhana tetapi


tidak dalam bentuk yang sarkastik. Mohon hati-hati untuk tidak menggunakan
bentuk refleksi ini pada tahap awal dan hati-hati apabila klien merasa lebih
buruk.
Contoh A:

- Klien: “saya tahu saya buat salah, tapi tuntutan orangtua kan juga nggak masuk
akal”

- Konselor: “hmm...sepertinya anda tidak bisa menerima tuntutan apapun”

- Klien: “wah bukan gitu...saya nerima kalo saya harus berhenti, tapi orangtua
tuntutannya kan lebih dari itu, gak realistis, bikin males....”

3. Refleksi dua sisi: menerima apa yang diucapkan klien, tetapi juga mengutarakan
apa yang pernah dikatakan klien sebelumnya. Bentuk refleksi ini juga tidak sesuai
pada tahap-tahap awal konseling.
Contoh A:
- Klien: “kenapa sih harus berhenti? Orang kalo nggak pernah coba-coba make
tuh gampang tua, gak menikmati hidup”
- Konselor: “sebentar....jadi menurut anda dengan make itu artinya bagian dari
cara menikmati hidup ya?. Tapi minggu lalu anda bilang bahwa anda capek
dan merasa menyia-nyiakan waktu dengan kehidupan kayak begini”

4. Rangkuman
Rangkuman merupakan bagian dimana konselor dan klien menyatukan bersama-sama
apa yang sudah dibicarakan, meyakinkan bila klien sudah memahami isi sesi dengan baik,
104
dan menyiapkan klien untuk berpindah dari suatu tahapan perubahan ke tahapan
perubahan selanjutnya.

Rangkuman membantu konselor untuk:


a. Fokus pada isi sesi yang sudah berlangsung.
b. Melakukan konfirmasi persepsi dari klien.
c. Fokus pada satu isu sambil meningkatkan pemahaman masalah lainnya.
d. Terminasi sesi secara logik.

Sedangkan untuk klien, rangkuman berguna untuk:


a. Melakukan klarifikasi apa yang mereka maksud.
b. Memahami bahwa konselor mengerti dengan kondisi klien.
c. Memiliki keinginan untuk berpindah dari suatu tahap perbahan ke tahap perubahan
selanjutnya.

II. Mengajarkan klien

Mengajarkan suatu keterampilan baru membutuhkan waktu dan praktek untuk setiap
orang. Konselor harus dapat mengenali kesulitan klien dalam mengubah pola perilaku
penggunaan NAPZA, khususnya dalam keadaan putus zat. Penggunaan NAPZA dalam jangka
panjang juga akan menganggu fungsi neurokognitif, yaitu meliputi gangguan perhatian dan
memori, yang mempengaruhi proses belajar suatu keterampilan baru. Oleh karena itu
pengulangan setiap sesi diperlukan sesuai dengan kebutuhan. Pengulangan dilakukan oleh
konselor dengan menyatakan kembali informasi dan mempraktekan keterampilan yang
diperlukan klien dalam mengontrol penggunaan NAPZA.
Mempelajari keterampilan baru membutuhkan waktu dan praktek. Proses pembelajaran
seringkali membutuhkan kesalahan untuk kemudian dikenali kesalahan itu dan menjadi
referensi yang lebih baik dalam pematangan keterampilan. Hal-hal yang perlu diperhatikan
oleh konselor adalah:

1. Mempraktekan merupakan komponen yang penting dalam pembelajaran. Dalam proses


pembelajaran seringkali terjadi kesalahan, sehingga penting untuk membuat perubahan
berdasarkan kesalahan yang terjadi dan kemudian dicoba lagi sampai terbentuk
keterampilan yang diinginkan.
2. Konselor harus menyediakan banyak kesempatan bagi klien untuk mempraktekan
keterampilan tersebut, baik dalam maupun luar sesi. Pada setiap sesi harus memberikan

105
kesempatan klien untuk berlatih, meninjau kembali ide-idenya, meningkatkan perhatian
dan mendapatkan umpan balik dari konselor. Hal yang dapat dilakukan lagi adalah
memberikan pekerjaan rumah sehingga klien akan semakin dapat meningkatkan
keterampilan tersebut.
3. Praktek akan berguna apabila klien melihat ada nilai tambah dan kegiatan yang nyata.

Klien tidak akan melatih keterampilan dan melakukan tugas rumah tanpa mereka
memahami mengapa keterampilan itu dapat membantu mereka pulih dari ketergantungan
NAPZA. Konselor harus secara konstan menekankan bagaimana pentingnya klien berlatih
keterampilan baru yang baik dan alasan mengapa ia harus melakukan hal itu.

a. Memberikan alasan yang rasional dan jelas kepada klien tentang tugas-tugas atau
latihan di rumah yang harus dikerjakan merupakan hal yang penting. Banyak klien yang
keluar dari sesi konseling karena tidak tahu pentingnya melakukan hal itu.
b. Klien akan melakukan praktek keterampilan baru atau tugas rumah apabila mereka
mengetahui manfaat keterampilan baru untuk mereka. Jadi pada sesi pertama, konselor
harus menekankan manfaat praktek yang harus dikerjakan di luar sesi.

Ketika klien memberikan informasi maka konselor harus menggunakan informasi tersebut
untuk memotivasi mereka dengan memberikan umpan balik yang membangun dengan fokus
pada klien tentang:

a. Gaya klien dalam menghadapi masalah.


b. Menggunakan sumber-sumber yang tersedia.
c. Melihat kelemahan dan kelebihan klien.

Dalam memberikan umpan balik konselor:

1. Menjelaskan bahwa bila klien mempraktekan keterampilan baru tesebut maka secara
langsung akan meningkatkan kesejahteraan mereka.
2. Menjelaskan pada klien mengenai monitoring tugas. Penjelasan dapat dilakukan secara
sederhana, yaitu dengan memperlihatkan secara singkat pemahaman tentang kosnep
dasar pengobatan, tingkat kemampuan kognitif, fleksibilitas, pemahaman tentang
perilaku klien, motivasi, mekanisme koping, impulsivitas, kemampuan verbal, dan kondisi
emosional
3. Konselor harus mengekplorasi pembelajaran apa yang didapatkan oleh klien dari
penerapan tugas tersebut. Hal ini akan membantu konselor untuk memilih topik di sesi
selanjutnya.

106
4. Konselor dapat memberikan pujian terhadap hal-hal yang sudah dilakukan oleh klien
walaupun hal kecil, karena dengan dukungan seperti itu maka klien akan tertarik untuk
kembali menerapkan tugas tersebut.
5. Kegagalan dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya rasa putus asa atau klien tidak
melihat manfaat dari keterampilan tersebut. Konselor harus mengeksplorasi kesulitan
yang dihadapioleh klien dan membantu mereka dalam menghadapi kesulitan tersebut.

Pokok bahasan 4: teknik meningkatkan motivasi

Terapi untuk meningkatkan motivasi disebut dengan Motivational Enhancement Therapy (MET).
Elemen utama dari MET adalah Wawancara Motivational (Motivational Interviewing).

Motivational Interviewing

Miller dan Rollnick (1991) mengembangkan suatu teknik wawancara alternatif yang
langsung, sering konfrontatif, secara umum digunakan untuk asesmen penyalahgunaan
narkotika yang dinamakan sebagai motivational interviewing (MI). Tujuan dari MI adalah
untuk menggali pandangan klien menghadapi permasalahannya, menyokong perubahan
dengan menghindari label, menyatakan bahwa yang bertanggung-jawab untuk target
pengobatan dan pembuat keputusan terletak pada klien. Terapis dengan hati-hati
melengkapi seluruh asesmen, mendiskusikan hasilnya dengan klien sehingga rencana terapi
dapat dimulai dengan suatu upaya kolaborasi dengan klien. Mengikat klien dengan cara ini
akan memberikan hasil yang positif. Miller dan Rollnick memperkenalkan proses MI berikut
ini dengan pendekatan yang berpusat pada klien untuk melakukan asesmen pada individu
dengan penyalahgunaan narkotika dan masalah-masalah adiksi.

Motivational Interviewing dapat dijabarkan kedalam beberapa prinsip berikut ini:

1. Prasyarat untuk berubah adalah bukan dengan menerapkan label seperti “pecandu”
2. Pengobatan adalah pilihan pribadi
3. Yang bertanggung jawab untuk berubah adalah individu itu sendiri
4. Resistensi harus dipandang sebagai suatu hubungan oleh karena pengaruh dari sikap
terapis atau sikap terhadap individu
5. Mendorong perencanaan terapi yang kolaboratif
6. Memandang “ambivalensi” versus “penyangkalan” sebagai suatu masalah pengobatan
utama

Konsep utama MET:

107
1. Ambivalensi
Ambivalensi adalah salah satu bentuk gangguan perasaan, dalam satu saat yang sama
mempunyai perasaan yang saling bertentangan. Misalnya pada satu saat seorang pasien
merasa sangat ingin berhenti menggunakan putauw, namun pada saat yang sama ia juga
merasakan adanya keinginan besar untuk menggunakan putaw.
2. Reflective Listening
Reflective listening adalah semua pernyataan atau ucapan terapis yang ditujukan kepada
pasien untuk menunjukkan bahwa terapis betul-betul memahami apa yang dikatakan oleh
pasien.
3. Open-Ended Questions
Open-ended questions mengundang pasien untuk memberikan jawaban yang bersifat
menerangkan. Untuk mengembangkan timbulnya motivasi seorang terapis harus
menggunakan open-ended questions.

Pokok bahasan 5: teknik mengatasi resistensi

Klien yang berada pada tahap pra-perenungan (precontemplation) dan perenungan


(contemplation) atau bahkan saat mengalami kekambuhan, seringkali menampilkan sikap
resisten atau “melawan” yang umumnya hadir dalam bentuk-bentuk berikut ini:
 Mendebat (arguing)
 Menyela / menginterupsi
 Menyangkal
 Mengabaikan
Dalam proses konseling, sikap-sikap di atas sangat umum terjadi. Untuk itu konselor perlu
mencermati timbulnya resistensi klien dan tidak terjebak pada perdebatan panjang dengan
klien. Perdebatan tidak dapat lagi dianggap sebagai konseling, bahkan menjadi kontraproduktif
dalam perubahan perilaku.
Resistensi adalah tanda bahwa konselor perlu merubah arah dengan lebih mendengarkan klien
secara hati-hati.
Prinsip dasar dalam mengatasi resistensi adalah:
- Hindari argumentasi
- Tidak bersikap menghakimi dan tetap menghargai klien
- Mendorong klien untuk tetap mengemukakan pendapatnya dan bertahan dalam
proses perubahan

108
Strategi untuk mengatasi resistensi disebut sebagai “bergulir dengan resistensi” (rolling with
resistance). Adapun tekniknya adalah sebagai berikut:
- Mendengar reflektif
- Memindahkan fokus pembicaraan: alihkan energi dan perhatian klien dari yang
awalnya hanya memikirkan hambatan dan tantangan, menjadi lebih memperhatikan
potensi dan kekuatan yang dimiliki
- Menyetujui dengan berputar: menyetujui apa yang dikatakan klien tetapi dengan
sedikit “memutar” isinya agar diskusi dapat berjalan lebih lanjut. Serupa dengan
refleksi yang teramplifikasi.
- Mengubah kerangka pikir: tawarkan interpretasi baru dan positif dari informasi
negatif yang disediakan klien. Terimalah validitas persepsi klien seberapapun
subyektifnya, tetapi di saat yang bersamaan, tawarkan persepsi baru pada klien agar
dapat ia pertimbangkan.
- Menekankan pilihan personal dan kontrol personal: kembali ingatkan klien bahwa
diri merekalah yang paling bertanggungjawab dalam membuat pilihan. Bangunlah
efikasi diri (keyakinan diri klien untuk mampu membuat keputusan).

109
DAFTAR PUSTAKA

• American Psychiatric Association.1994. Diagnostic and statistical manual of mental


disorders. 4 th..ed. Washington D.C: Author.175-191;175-272.

• Asian Centre for Certification and Education of Addiction Professional (ACCE) Colombo Plan
Curricula 4 Counseling, Colombo Plan, 2012.

• Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.1993. Pedoman


Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III).

• Doweiko, Harold E, Concepts of Chemical Dependency (6th Ed.), Brooks/Cole, CA 93950


USA, 20029

• Groth-Marnat, Gerry, 2003. Handbook of Psychological Assesment. New York: Van


Nostrand Reinhold Company. Inc. 638.

• Meier, S.T. & Davis, S. R. 2001. 4th.ed. The Elements of Counseling. United Kingdom:
Brooks/Cole. Thomson Learning. .:58-59).

• Turning Point Alcohol and Drug Centre, Inc.2001. Training Handbook. Stages of
Change.Fitzroy Vic 3065

• Ivey, A.E.; Ivey, M.B.; Smeke-Morgan, L.1997. Counseling and Psychotherapy. A


Multicultural Perseptive. Boston: Allyn & Bacon.50-88;380-403.

• Panduan konseling adiksi bagi petugas kesehatan, Depkes, 2010

• Marsh A, Dale A. Addiction Counselling. IP Communication. Melbourne. 2006

110
MATERI INTI 5

SISTEM RUJUKAN

I. Deskripsi Singkat

Sistem rujukan pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang


mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik, baik
vertikal maupun horizontal, dan dilakukan secara rasional.

Menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri dari rujukan internal dan rujukan eksternal.
Rujukan Internal adalah rujukan horizontal yang terjadi antar unit pelayanan di dalam institusi
tersebut. Misalnya dari jejaring puskesmas (puskesmas pembantu) ke puskesmas induk.
Rujukan Eksternal adalah rujukan yang terjadi antar unit-unit dalam jenjang pelayanan
kesehatan, baik horizontal (dari puskesmas rawat jalan ke puskesmas rawat inap) maupun
vertikal (dari puskesmas ke rumah sakit umum daerah). Rujukan eksternal juga dapat dilakukan
dari unit pelayanan kesehatan kepada lembaga rehabilitasi sosial.

Sehubungan dengan pelaksanaan program Wajib Lapor, institusi-institusi yang ditunjuk oleh
Kementrian Kesehatan (yaitu rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, RSKO, puskesmas, dan
pusat rehabilitasi medis) diharapkan dapat memberikan Pelayanan untuk gangguan
ketergantungan Narkotika dengan kondisi klinis tertentu sesuai sarana-prasarana yang tersedia.

II. Tujuan Pembelajaran


A. Tujuan Pembelajaran Umum
Peserta mampu menjelaskan proses rujukan.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus


1. Peserta mampu menjelaskan sistem rujukan.
2. Peserta mampu mengidentifikasikan fasilitas kesehatan dan fasilitas sosial rujukan
layanan narkotika .
3. Peserta mampu mengisi formulir rujukan.

III. Pokok Bahasan dan Subpokok Bahasan

Pokok bahasan 1: Sistem rujukan

111
Pokok bahasan 2: Fasilitas kesehatan dan fasilitas sosial rujukan layanan narkotika

Pokok bahasan 3: Formulir rujukan

IV. Uraian Materi

Pokok bahasan 1: sistem rujukan

Dalam melaksanakan program pengobatan diperlukan suatu sistem rujukan yang berfungsi di
antara berbagai tingkat layanan kesehatan yang berbeda. Klien perlu dirujuk apabila terdapat
kondisi medis, baik secara fisik maupun psikiatrik, yang sulit diatasi. Dalam merujuk klien yang
perlu diperhatikan adalah rumah sakit yang kita jadikan rujukan memang menyediakan layanan
untuk kasus narkotika, karena kadangkala rumah sakit menolak bila mengetahui klien yang
dikirim adalah pengguna narkotika.

Setiap rumah sakit dan puskesmas seharusnya menyediakan informasi mengenai ketersediaan
layanan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan narkotika. Jika di RSU, RSJ, atau
RSKO (PPK 2 dan 3) kondisi klinis pasien sudah stabil maka RS tersebut dapat mengirim kembali
ke rumah sakit awal (PPK 2) atau puskesmas (PPK 1) yang mengirim untuk melanjutkan
pengobatan. Dengan kata lain, sistem rujukan ini terjadi secara timbal balik. Sistem rujukan
harus menjamin bahwa kepindahan klien dari satu tempat layanan ke tempat layanan yang lain
tidak mengalami hambatan dan kerumitan (administrasi atau yang lainnya) demi kelangsungan
pengobatan.

Tata Cara Rujukan

Rujukan dapat bersifat vertikal dan horizontal. Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan
antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatannya (seperti dari PPK 1 [puskesmas] ke PPK 2
[RS] atau sebaliknya), sedangkan rujukan horizontal merupakan rujukan antara pelayanan
kesehatan dalam satu tingkatan (misalnya seperti antar-puskesmas atau antar-RS). Rujukan
horizontal dilakukan apabila fasilitas kesehatan atau IPWL asal tidak dapat memberikan
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien atau karena keterbatasan fasilitas dan
peralatan, serta ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.

Pasal 11 Permenkes No.1 tahun 2012 tentang sistem rujukan pelayanan kesehatan perorangan
menyebutkan bahwa setiap fasilitas kesehatan wajib melakukan rujukan apabila pasien
memerlukannya, kecuali dengan alasan yang sah dan mendapat persetujuan pasien dan
keluarganya, alasan yang sah adalah pasien tidak dapat ditransportasikan atas alasan medis,
112
sumber daya atau geografis. Dengan demikian, pada saat melakukan rujukan petugas harus
memberikan penjelasan terlebih dahulu dan harus mendapatkan persetujuan dari pasien atau
keluarganya.

Penjelasan yang diberikan petugas minimal meliputi:

1. Diagnosis
2. Terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan
3. Alasan dan tujuan dilakukan rujukan
4. Risiko yang timbul apabila rujukan tidak dilakukan
5. Transportasi rujukan
6. Risiko atau penyulit yang dapat timbul selama dalam perjalanan

Proses rujukan mengikuti mekanisme sebagai berikut:

1. Sebelum melakukan rujukan lakukan pertolongan pertama dan/atau stabilisasi kondisi


pasien sesuai indikasi medis
2. Institusi penerima wajib lapor melakukan kontak komunikasi terlebih dahulu dengan
institusi rehabilitasi medis atau rehabilitasi sosial yang dimaksud guna kesiapan
penerimaan.
3. Institusi penerima wajib lapor membuat surat rujukan kepada institusi rehabilitasi
medis/rehabilitasi sosial tersebut.
4. Institusi rehabilitasi medis atau rehabilitasi sosial yang dituju memberi konfirmasi
penerimaan klien kepada institusi penerima wajib lapor.

Kriteria kasus yang dapat dilayani di suatu tempat rujukan:


1. Kasus yang Dapat Dirawat di Puskesmas :
 intoksikasi.
 keadaan putus zat ringan maupun sedang.
 Tidak memiliki kondisi komorbiditas fisik dan atau psikiatrik yang berat.
 Tidak mengalami penurunan kesadaran yang berat.

2. Kasus Yang Dapat Dirawat di RSU:


 intoksikasi.
 Keadaan putus zat ringan sampai berat.
 Memiliki kondisi komorbiditas fisik dan/atau psikiatrik yang berat.
113
 Mengalami penurunan kesadaran yang berat (bila tersedia fasilitas ICU)

Merujuk kepada Standar Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan NAPZA (yang dalam
proses revisi), kompetensi tiap pusat pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:
1. Pusat Pelayanan Kesehatan tingkat I
- kegawatdaruratan (penanganan awal sebelum dirujuk)
- Terapi simtomatik
- Rawat jalan rumatan
- Asesmen dan Konseling dasar adiksi
- Pemeriksaan penunjang (rapid test NAPZA, Darah Perifer Lengkap, Screening faktor
risiko, Rapid Test HIV)

2. Pusat Pelayanan Kesehatan Tingkat II


- kegawatdaruratan (penanganan awal sebelum dirujuk)
- Terapi simtomatikRawat jalan rumatan
- Asesmen dan Konseling dasar adiksi
- Pemeriksaan penunjang (rapid test NAPZA, Darah Perifer Lengkap, Screening faktor
risiko, Rapid Test HIV)
- Detoksifikasi
- Konseling dasar dan psikoterapi
- rawat inap jangka pendek
- penanganan pasien dengan komorbiditas fisik
- Pemeriksaan penunjang (Rapid Test NAPZA 5 zat, Kimia Darah, Thorax Photo,
Screening faktor risiko, Rapid Test HIV, Psikotest)

3. Pusat Pelayanan Kesehatan Tingkat III


- kegawatdaruratan (penanganan awal sebelum dirujuk)
- Terapi simtomatik
- Rawat jalan rumatan
- Asesmen dan Konseling dasar adiksi
- Pemeriksaan penunjang (rapid test NAPZA, Darah Perifer Lengkap, Screening faktor
risiko, Rapid Test HIV)
- Detoksifikasi
- Konseling dasar dan psikoterapi
114
- rawat inap
- integrated dual diagnosis treatment
- rehabilitasi dan pasca rehab
- penanganan pasien dengan komorbiditas fisik
- Pemeriksaan penunjang (ELISA, Rapid test HIV, Serologi [Hep-C, Hep-B], EKG, EEG,
Rontgen Thorax, Kimia Darah [Fungsi Hati, fgs ginjal, GD, UL, DPL, elektrolit],
Mikrobiologi, Psikotest)

Pokok bahasan 2: fasilitas kesehatan dan fasilitas sosial rujukan layanan narkotika
Kemampuan layanan
Sesuai dengan PP no. 25 tahun 2011 tentang Wajib Lapor, pengguna narkotika wajib
melaporkan dirinya ke fasilitas kesehatan yang sudah ditentukan, yaitu pusat kesehatan
masyarakat (puskesmas), rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditentukan
oleh menteri kesehatan, serta rehabilitasi sosial yang ditentukan oleh menteri sosial. Saat ini
semua institusi tersebut milik pemerintah. Institusi Pelaksana Wajib Lapor (IPWL) harus
memenuhi persyaratan ketenagaan dan memiliki keahlian dan kewenangan di bidang gangguan
penggunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA).
Tidak semua puskesmas menjadi tempat wajib lapor bagi pengguna narkotika, hanya yang
berada di daerah kantong-kantong pecandu narkotika saja yang akan menjadi tempat wajib
lapor. Ada dua tingkat puskesmas yang menjadi tempat wajib lapor, yakni puskesmas IPWL
yang melayani rehabilitasi ketergantungan lewat program terapi rumatan metadon (PTRM) dan
puskesmas IPWL yang melayani konseling saja.
Untuk mendukung keberhasilan proses wajib lapor perlu dibentuk jaringan kerjasama antar-
layanan, baik secara horizontal maupun secara vertikal, atas dasar sikap saling menghormati
dan menghargai. Sistem rujukan untuk klien dengan gangguan penggunaan narkotika perlu
dikoordinasi. Koordinasi tersebut menjadi bagian dan tanggung jawab Kementerian Kesehatan,
Kementerian Sosial, Badan Narkotika Nasional, dan Pusdokkes, serta melibatkan Dinas
Kesehatan Provinsi, Rumah Sakit Umum, RSJ, puskesmas, klien sendiri, organisasi berbasis
keagamaan, dan LSM setempat.

115
Di bawah ini bisa di lihat alur rujukan pada pengguna narkotika

Kemitraan di tingkat kabupaten/ kota meliputi:


 Dinas kesehatan setempat yang bertanggung jawab atas pelayanan medis
 Layanan klinik di RSU, RSJ seperti rawat inap dan rawat jalan
 Puskesmas yang di tunjuk untuk rawat jalan
 Rehabilitasi medis dan sosial yang ditunjuk
 Kelompok pengguna narkotika dan dukungan sebaya
 Organisasi masyarakat,keagamaan dan LSM terkait
 Unsur pemerintah setempat

116
Kapasitas
Ketersediaan layanan rehabilitasi dalam jajaran/dukungan kemenkes:
1. Rehabilitasi rawat jalan, rawat inap dan detoksifikasi:
 RSKO dan 16 RSJ di beberapa provinsi (kecuali NTT, papua barat, maluku utara,
Gorontalo, sulawesi barat, Banten,kepulauan Riau) rehabilitasi ini mencakup rawat
jalan jangka pendek maupun rawat jalan jangka panjang, Rehabilitasi yang di
selenggarakan oleh BNN / Kemensos.

2. Program terapi rumatan metadona ( 91 klinik di 17 provinsi):


 Tersedia di DKI,Jabar,Jateng, DIY, Jatim, Banten, Bali, Sulsel, Kalbar, Kaltim, Jambi,
Pekan Baru, Sumut, Kep Riau, Lampung, Sumbar, Sumsel.
 RSKO, 7 RSJ , 26 RSU, 48 Puskesmas, 9 lapas/rutan

Kemudahan akses
Tempat dan lokasi rehabilitasi medis dan sosial serta mempunyai sarana pelayanan yang
memadai sesuai dengan kebutuhan pasien, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat
memanfaatkan teknologi dan informatika adalah yang diharapkan dari tempat tempat rujukan
wajib lapor.

Pokok bahasan 3: formulir rujukan


Surat pengantar rujukan harus memuat identitas pasien, hasil pemeriksaan (anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang) yang telah dilakukan, diagnosis kerja dan terapi,
dan/atau tindakan yang telah diberikan. Bila terkait program wajib lapor, cantumkan rencana
terapi atau terapi yang sudah dijalankan bagi pasien yang sudah menjalani asesmen.

117
118
119
Daftar Pustaka

1. 4 macam sistem rujukan kesehatan, Putu Sudaryasa


2. Pedoman pengembangan jejaring layanan,dukungan, perawatan dan pengobatan HIV
dan AIDS ,depkes 2007
3. Pedoman Penatalaksanaan Medik Gangguan pengunaan NAPZA, kepmenkes no 442
/2010
4. Permenkes No.1 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan
5. PP pelaksanaan wajib lapor narkotika tahun 2010
6. SKN ,Azrul Anwar
7. Formulir rujukan ,RSKO
8. Peranan kementrian kesehatan dalam kebijakan nasional rehabilitasi penyalah guna
NARKOTIKA,dr Supriyanto, Sp P MARS
9. Kepmenkes no 421 /2010 tentang pelayanan dan terapi rehabilitasi NAPZA

120
MATERI INTI 7
PENCATATAN DAN PELAPORAN

I. Deskripsi Singkat

Pencatatan dan pelaporan dalam program Wajib Lapor merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari isi rekam medis pecandu narkotika. Oleh karena itu, alur pencatatan dan pelaporan terkait
wajib lapor mengikuti kaidah dan aturan Rekam Medis, baik di Rumah Sakit ataupun di
Puskesmas. Rekam medis adalah keterangan, baik yang tertulis maupun yang terekam, tentang
identitas, anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnosis, segala pelayanan, tindakan
medis, dan pengobatan yang diberikan kepada pasien, baik yang dirawat inap, yang dirawat
jalan, maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat. Rekam medis juga merupakan
kompilasi fakta tentang kondisi kesehatan dan penyakit seorang klien yang meliputi keadaan
sakit sekarang dan waktu lampau, serta pengobatan yang telah dan yang akan dilakukan oleh
tenaga kesehatan professional secara tertulis.
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 269 tahun 2008 tentang Rekam Medis menyatakan bahwa informasi tentang
identitas, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan harus dijaga
kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, petugas kesehatan tertentu, petugas pengelola dan
pimpinan fasilitas kesehatan. Informasi tersebut di atas hanya dapat dibuka dalam hal:

1. Untuk kepentingan kesehatan pasien


2. Memenuhi permintaan aparatur hukum dalam rangka penegakkan hukum atas perintah
pengadilan
3. Permintaan atau persetujuan pasien sendiri
4. Permintaan institusi atau lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan
5. Untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan audit medis sepanjang tidak menyebutkan
identitas pasien

Permintaan rekam medis sebagaimana tersebut diatas disampaikan secara tertulis kepada
pimpinan fasilitas kesehatan.

IPWL akan mengeluarkan kartu lapor pecandu narkotika apabila petugas sudah selesai
melaksanakan proses asesmen dan penyusunan rencana terapi yang disepakati oleh petugas
dan pasien. Petugas kesehatan juga tetap melakukan pengawasan dalam bentuk pendampingan
dan pemberian motivasi secara berkesinambungan agar proses pemulihan bagi pecandu
narkotika dapat bertahan. Pengawasan ini menjadi tanggung jawab tidak hanya petugas
kesehatan tapi juga pihak-pihak terkait lainnya serta masyarakat.

121
Mengingat pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA kerap berhubungan dengan tindak
kriminalitas, tak jarang petugas kesehatan (dalam hal ini dokter sebagai profesi yang
tersumpah) diminta keterangan sebagai ahli. Keterangan ahli dapat diberikan secara lisan atau
tertulis. Keterangan ahli secara lisan bisa diberikan pada saat sidang di pengadilan dan pada
waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum (yang kemudian dituangkan dalam satu
bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu menerima jabatan atau
pekerjaan). Keterangan ahli secara tertulis adalah surat keterangan dari ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi kepadanya.

Rekam Medis, sesuai dengan Pasal 13 Permenkes no. 269 tahun 2008, dapat dijadikan alat bukti
dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan kedokteran gigi, dan penegakkan etika
kedokteran dan etika kedokteran gigi. Oleh karena itu, pencatatan hasil asesmen (yang
merupakan bagian dari rekam medis) harus mencantumkan segala informasi yang diperlukan
dan dibuat secara otentik (diantaranya mencantumkan tanggal pelaksanaan dan tanda tangan
pelaksananya).

Rumah Sakit dan Puskesmas menyampaikan laporan dalam periode tertentu ke dinas kesehatan
dan Kementerian Kesehatan sesuai dengan aturan yang berlaku. Data ini merupakan data
penting yang termasuk dalam Sistem Informasi Kesehatan. Untuk mempermudah pencatatan
dan pelaporan pasien pecandu narkotika, Kementerian Kesehatan membangun sistem
pelaporan berbasis web yang disebut Sistem Informasi Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif
lainnya (SINAPZA). Melalui SINAPZA kerahasiaan data pasien terjamin karena pelaporan dari
fasilitas layanan kesehatan termasuk Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) dalam format
enkripsi sehingga hanya pelapor dan penerima laporan saja yang bisa membuka data yang telah
terenkripsi tersebut. Fasyankes atau IPWL lain yang berbeda pengguna dan password-nya juga
tidak dapat membuka file dari sesama IPWL meskipun mempunyai aplikasi SINAPZA yang sama
sehingga kerahasiaan pasien benar-benar terjamin.

Aplikasi SINAPZA yang dikembangkan dapat membantu IPWL dalam pengajuan klaim ke
Kementerian Kesehatan. Data pelaporan dapat menjadi bahan untuk melakukan verifikasi
pasien sehingga akan menghemat kertas karena IPWL tidak perlu melakukan fotocopy berkas
sebagai bahan untuk verifikasi. Upaya ini juga membantu dalam mewujudkan “go green” dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan.

II. Tujuan Pembelajaran

A. Tujuan Pembelajaran Umum


122
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu melaksanakan pencatatan dan pelaporan

B. Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah mengikuti materi ini, peserta latih mampu:
1. Menjelaskan mengenai pencatatan dan pelaporan sebagai bagian dari rekam medis
2. Menjelaskan pengisian format pencatatan pelaporan
3. Menjelaskan mekanisme pelaporan
4. Melakukan pengelolaan data
5. Melakukan pencatatan dan pelaporan menggunakan aplikasi SINAPZA

III. Pokok Bahasan dan Subpokok Bahasan

Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan sebagai berikut:

Pokok bahasan 1. Pencatatandanpelaporansebagaibagiandarirekammedis


Pokok bahasan 2. Format Pelaporan
Pokok bahasan 3. MekanismePelaporan
Pokok bahasan 4. Pengelolaan data
4.1 Pengumpulan Data
4.2 Rekapitulasi Data
4.3 Pengolahan Data
4.4 Pencatatan dan Pelaporan menggunakan SINAPZA

IV. Uraian Materi

Pokok bahasan 1: pencatatan dan pelaporan sebagai bagian dari rekam medis

Pencatatan

Pencatatan adalah cara yang dilakukan oleh petugas kesehatan untuk mencatat data yang
penting mengenai pelayanan kesehatan atau pelayanan penggunaan Narkotika yang
selanjutnya disimpan sebagai arsip baik di Puskesmas, RS/RSJ maupun di klinik layanan bagi
korban penyalahgunaan narkotika.

1. Macam-macam pencatatan dalam pelayanan kesehatan:


 Pencatatan rawat jalan untuk mencatat data pengunjung atau klien
 Pencatatan rawat inap untuk mencatat perhitungan klien rawat inap yang dilakukan
setiap hari pada suatu ruang rawat inap
123
 Pencatatan harian rutin untuk mencatat data pengunjung atau klien yang
dikumpulkan selama sehari.

Pencatatan dan pelaporan pelayanan gangguan penggunaan narkotika di RSU/RSJ memakai


formulir RL2a (suatu sistem pencatatan dan pelaporan terpadu di RSU/RSJ yang seragam untuk
seluruh RSU/RSJ di Indonesia) dan formulir data klien penyalahgunaan narkotika. Untuk fasilitas
pelayanan kesehatan yang sudah dapat menggunakan SINAPZA, pencatatan dan pelaporan
dapat dilakukan melaluinya. Melalui sistem informasi ini, diharapkan kendala pengiriman data
dapat diatasi. Selama sistem ini belum berjalan seperti yang kita inginkan, petugas pengisi data
IPWL mencatatat data PENGUNJUNG (dan bukan data kunjungan). Sebagai contoh, Ari
mendapat konseling adiksi setiap 2 minggu sekali selama 4 bulan. Pada data Kunjungan tercatat
bahwa Ari mendapat pelayanan sebanyak 8x sedangkan pada data pengunjung, Ari hanya
tercatat 1x.

Formulir Data Klien Penyalahgunaan narkotika yang dikeluarkan oleh Direktorat Bina Kesehatan
Jiwa, Ditjen Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Rl dilaporkan tiga kali dalam
setahun meliputi data Pengunjung (nama, jenis kelamin, umur, kasus baru/lama, pendidikan,
pekerjaan, pekerjaan orangtua, status perkawinan, zat yang sering digunakan, cara penggunaan
zat, mulai penggunaan, cara masuk institusi, cara keluar institusi, sumber zat dan motivasi
penggunaan narkotika)

Pelaporan

Pelaporan adalah mekanisme yang digunakan oleh petugas kesehatan untuk melaporkan
kegiatan pelayanan yang dilakukannya kepada institusi yang lebih tinggi (dalam hal ini Dinas
Kesehatan dan atau Kementerian Kesehatan).

Sistem pelaporan menggunakan format yang telah disiapkan, dilakukan berjenjang dengan alur:

 RSJ/RSU Vertikal: melaporkan secara langsung ke Kementerian Kesehatan dengan


tembusan ke Dinas Kesehatan Provinsi.
 RSU/RSJ Provinsi: melaporkan secara langsung ke Dinas Kesehatan Provinsi
 RSU dan Puskesmas melaporkan secara langsung ke Dinas Kesehatan kabupaten /kota.
 Dinas Kesehatan kabupaten/kota kemudian melaporkan kedinas kesehatan Provinsi.
 Dinas kesehatan Provinsi kemudian melaporkan ke Kementerian Kesehatan cq/ Direktorat
Bina Kesehatan Jiwa.

Tujuan Pelaporan
124
 Pelaporan dari instansi kesehatan (seperti Puskesmas, RSU/RSJ maupun Klinik Layanan
bagi penyalahgunaan Narkotika) merupakan suatu alat untuk memantau pelayanan
kesehatan, baik bagi kepentingan klien yang bersangkutan, petugas kesehatan yang
melayani maupun pihak perencana dan penyusun kebijakan.
 Untuk memperoleh informasi semua klien penyalahguna Narkotika yang masuk dan
keluar rumah sakit selama 24 jam.
 Untuk mengetahui jumlah klien penyalahguna Narkotika yang masuk/ keluar/ meninggal
di Rumah Sakit selama sebulan, triwulan, semester dan setahun.

Format Pelaporan

 Bilamana fasyankes/IPWL belum dapat menggunakan SINAPZA, data rekapitulasi


pengunjung dilaporkan menggunakan format dibawah sambil menunggu berfungsinya
Sinapza.

*Jika Sistem Informasi Pecandu Narkotika telah selesai dibangun dan telah berfungsi
sepenuhnya, maka Catatan Pasien Penyalahgunaan NAPZA dilaporkan secara langsung oleh
sistem.

125
CATATAN PASIEN PENYALAHGUNAAN NAPZA

TAHUN :
BULAN :
INSTITUSI : RSJ/RSU/PUSKESMAS/PANTI REHABILITASI
NAMA INSTITUSI :
ALAMAT :
DAERAH / KOTA :
PROVINSI :

STATUS MODALITAS JENIS STATUS NAPZA YANG USIA PERTAMA KALI CARA PAKAI
NO REKMED USIA PENDIDIKAN PEKERJAAN DIAGNOSA
PASIEN TERAPI KELAMIN PERNIKAHAN DIGUNAKAN PAKAI NAPZA NAPZA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

KETERANGAN
No Rekmed / WL 1. Lama 1. Asesmen lanjutan 1. Laki-laki 1. < 15 tahun 1. Belum kawin 1. Tidak sekolah 1. Alkohol 1. < 15 tahun Isi sesuai kode 1. Oral
2. Baru 2. Evaluasi Psikologis 2. Perempuan 2. 15-19 tahun 2. Kawin 2. SD 2. Heroin 2. 15-19 tahun PPDGJ - III 2. Mukosa

3. Program detoksifikasi 3. 20 - 24 tahun 3. Duda / Janda 3. SLTP 3. Metadon / Buprenorfin 3. 20 - 24 tahun 3. Sal Pernapasan

4. Wawancara 
4. 25 - 29 tahun 4. SMU / SMK 4. Opiatlain/analgesik 4. 25 - 29 tahun 4. Injeksi Non IV
Motivasional
5. Intervensi Singkat 5. 30 - 34 tahun 5. Akademi / D3 5. Barbiturat 5. 30 - 34 tahun 5. IV
6. Terapi rumatan 6. 35 - 39 tahun 6. Perguruan Tinggi 6. Sedatif/Hipnotik/ 6. 35 - 39 tahun
7. Rehabilitasi rawatinap 7. > 40 tahun 7. Kokain 7. > 40 tahun
8. Konseling 8. Amfetamin
9. Lain-lain 9. Kanabis
10. Halusinogen
11. Inhalan
12. Lebih dari1 zat per hari

126
POKOK BAHASAN 2 : MEKANISME PELAPORAN

Jenis Pelaporan

1). Pelaporan bulanan

a) Pelaporan bulanan rutin dari Puskesmas, RS/RSJ ke Dinas Kesehatan


Kabupaten/kota merupakan laporan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh
Puskesmas, RS/RSJ selama satu bulan, sebagai hasil kompilasi atau pengolahan
dari kumpulan pencatatan harian selama satu bulan, kemudian dibuat laporan
bulanan. Laporan yang disampaikan menggunakan format pelaporan RL 2a dan RL
2b.
b) Bulanan dari Dinas Kesehatan (Dinkes) baik Kabupaten/Kota maupun Dinkes
Propinsi ke Pusat atau Kementerian Kesehatan, yang merupakan hasil rekapitulasi
yang dilakukan oleh Dinkes baik Kabupaten/Kota maupun DinkesPropinsi sebagai
hasil pelaporan dari kumpulan pelaporan bulanan rutin setiap Puskesmas, RS/RSJ
maupun klinik di wilayahnya.

2). Laporan tiga bulanan (triwulan)

Pelaporan triwulan dari Puskesmas, RS/RSJ ke Kementerian Kesehatan melalui Direktorat


Bina Kesehatan Jiwamerupakan laporan kegiatan pelayanan triwulanan yang dilakukan
oleh Puskesmas, RS/RSJ selama tiga bulan, sebagai hasil kompilasi atau pengolahan dari
kumpulan pencatatan harian selama tiga bulan. Laporan yang disampaikan menggunakan
format pelaporan catatan pasien penyalahgunaan NAPZA seperti contoh diatas.

127
Pokok bahasan 3: pengelolaan data

Pengumpulan data

Data yang akan dilaporkan, bersumber dari formulir asesmen wajib lapor. Data yang
dikumpulkan berupa:

 Status klien
 Modalitas terapi
 Jenis Kelamin
 Usia
 Status Pernikahan
 Pendidikan
 Pekerjaan
 Narkotika yang Digunakan
 Usia Pertama Kali Pakai Narkotika
 Diagnosa
 Cara Pakai Narkotika

Rekapitulasi data

Dari data yang telah dikumpulkan diatas, di rekapitulasi menggunakan catatan klien
penyalahgunaan Narkotika. Kolom-kolom diisi dengan angka-angka sesuai dengan
keterangan sebagai berikut:

 No Rekmed: merupakan identitas klien berdasarkan nomor rekam medis danatau bar
code dari kartu wajib lapor.

 Status klien:
1. Baru : Jika klien baru mendapatkan layanan di institusi pemberilayanan
2. Lama : Jika klien pernah mendapatkan layanan di institusi pemberi layanan

 Modalitas terapi
1. Asesmenlanjutan
2. Evaluasi Psikologis
3. Program detoksifikasi
4. Wawancara Motivasional
5. Intervensi Singkat
6. Terapi rumatan

128
7. Rehabilitasi rawat inap
8. Konseling
9. Lain-lain

 Jenis Kelamin
1. Laki-laki
2. Perempuan

 Usia
1. <15 Tahun
2. 15 – 19 tahun
3. 20 – 24 tahun
4. 25 – 29 tahun
5. 30 – 34 tahun
6. 35 – 59 tahun
7. > 60 tahun
 Status Pernikahan
1. Belum kawin
2. Kawin
3. Duda/Janda

 Pendidikan
1. Tidak Sekolah
2. SD
3. SLTP
4. SMU/SMK
5. Akademi / D3
6. PerguruanTinggi

 Pekerjaan
1. PNS
2. TNI/POLRI
3. Swasta
4. Wiraswasta
5. Pelajar
6. Mahasiswa
7. Buruh
8. PekerjaSeks
9. AnakJalanan
10. Lain-lain

129
 NAPZA yang Digunakan
1. Alkohol
2. Heroin
3. Metadon / Buprenorfin
4. Opiatlain/analgesik
5. Barbiturat
6. Sedatif/Hipnotik/
7. Kokain
8. Amfetamin
9. Kanabis
10. Halusinogen
11. Inhalan
12. Lebih dari1 zat per hari

 UsiaPertama Kali PakaiNarkotikaa


1. <15 Tahun
2. 15 – 19 tahun
3. 20 – 24 tahun
4. 25 – 29 tahun
5. 30 – 34 tahun
6. 35 – 39 tahun
7. > 40 tahun

 Diagnosa
Ditulis sesuaikodifikasi PPDGJ -III

 Cara Pakai Narkotika


1. Oral
2. Mukosa
3. Sal Pernapasan
4. Non IV Injection
5. IV Injection

Pengolahan data

Data yang telah direkapitulasi kemudian diolah menggunakan spread sheet atau program
lain yang disediakan untuk memudahkan penghitungan.

130
Penyusunan laporan

Laporan kemudian disusun menurut waktu yang telah ditentukan. Laporan kemudian
dikirimkan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Pokok bahasan 4: pencatatan dan pelaporan menggunakan sinapza

Pencatatan dan pelaporan dalam sistem informasi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya (SINAPZA) dilakukan seperti tercantum dalam “BUKU PANDUAN OPERASIONAL
SINAPZA”. (terlampir)

131
Daftar Pustaka

1. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


2. UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika
3. RPP Wajib Lapor bab IV pasal 18-21
4. Permenkes Rehabilitasi medis
5. Kepmenkes 422/MENKES/SK/III/2010
6. Departemen Kesehatan RI., Pedoman Sistem Pencatatan Rumah Sakit (Rekam
medis/Medical Record , 1994
7. Manual Rekam Medis , Konsil Kedokteran Indonesia 2006

132

Anda mungkin juga menyukai