Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis,
dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering2. Apendiks
disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan
digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu
sebenarnya adalah sekum. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa
fungsi apendiks sebenarnya. Namun demikian, organ ini sering sekali
menimbulkan masalah kesehatan.3. Adanya hambatan dalam pengaliran
tersebut, tampaknya merupakan salah satu penyebab timbulnya appendisits.
Apendisitis dapat mengenai semua umur, baik laki-laki maupun
perempuan. Namun lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun.
Insidensinya meningkat pada pubertas dan mencapai puncaknya pada usia
remaja dan pada usia 20 tahun. Insiden terbanyak appendisitis akut berada
pada kelompok usia 20-40 tahun. Namun angka kejadian perforasi dari kasus
apendisitis justru lebih sering terjadi pada kelompok usia <12 tahun dan > 65
tahun. Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya
berdasarkan gambaran klinis. Keadaan ini menghasilkan angka appendektomi
negatif sebesar 20 % dan angka perforasi sebesar 20-30 %.
Di Amerika Serikat terjadi penurunan jumlah kasus appendisitis dari 100
kasus menjadi 52 kasus setiap 100.000 penduduk dari tahun 1985 - 2001.
Keadaan ini menambah komplikasi pascaoperasi, seperti adhesi, konsekuensi
beban sosial-ekonomi, kehilangan jumlah hari kerja, dan produktivitas.
Berdasarkan US Census Bureau, International Data Base tahun 2004, di
benua Asia negara Cina dan India masih menempati urutan pertama dan
kedua insidensi terbanyak kasus appendisitis akut, sedangkan Indonesia
menempati urutan ketiga. Insiden appendisitis akut di Indonesia masih sangat
tinggi. Pada Tahun 2004 terdapat 596.132 insiden dari 283.452.952 populasi
masyarakat Indonesia.

1
Tingkat akurasi diagnosis appendisitis akut berkisar 76 - 92 %. Pemakaian
laparoskopi, ultrasonografi, dan Computed Tomography Scanning (CT-scan),
merupakan upaya untuk meningkatkan akurasi diagnosis appendisitis akut
amupun kronis. Beberapa pemeriksaan laboratorium dasar masih banyak
digunakan dalam diagnosis penunjang appendisitis akut. Jumlah sel leukosit,
dan hitung jenis neutrofil (differential count) adalah penanda yang sensitif
bagi proses inflamasi. Pemeriksaan ini sangat mudah, cepat, dan murah untuk
Rumah Sakit di daerah.
Tidak ada gejala dan tanda maupun tes diagnostik tunggal yang dapat
mengkonfirmasi diagnosis appendisitis secara akurat pada semua kasus.
Telah banyak upaya yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis yang tepat,
salah satunya adalah dengan skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem
skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan tidak
invasif. Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan
pada tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini
berdasarkan pada temuan praoperasi dan untuk menilai derajat keparahan
appendisitis. Instrumen lain yang sering dipakai pada apendisitis akut anak
adalah klasifikasi klinikopatologi dari Cloud. Klasifikasi ini berdasarkan pada
temuan gejala klinis dan temuan durante operasi.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah diperoleh gambaran
secara teoritis dalam merawat pasien dengan apendisitis.

2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari pembuatan makalah ini adalah:
a) Mampu menguasai konsep teori penyakit apendisitis.
b) Mampu mengidentifikasi data-data yang perlu dikaji pada klien
dengan apendisitis.
c) Mampu mengidentifikasi masalah keperawatan yang muncul pada
klien dengan apendisitis.
d) Mampu menyusun rencana tindakan keperawatan klien dengan
apendisitis.

2
e) Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan
apendisitis.
f) Mampu melakukan evaluasi atas tindakan yang telah dilakukan
apendisitis.
g) Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan klien dengan
apendisitis.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Appendisitis adalah infeksi bakterial pada appendiks vermiformis. karena
tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid,
dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendicitis.
Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti
Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis
Appendisitis akut merupakan keadaan akut abdomen yang memerlukan
pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk. Jika telah
terjadi perforasi, maka komplikasi dapat terjadi seperti peritonitis umum,
abses, dan komplikasi pascaoperasi seperti fistula dan infeksi luka operasi.

Gambar 1. Apendisitis Akut

4
B. Anatomi dan Fisiologi
Apendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum)
yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum
terminale. Mesenteriolum berisi a. Apendikularis (cabang a.ileocolica).
Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya
merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan
terkadang juga memiliki limfonodi kecil.
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu
mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan
sirkuler) dan serosa. Apendiks mungkin tidak terlihat karena adanya
membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar
dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan
appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan
jaringan elastic membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe.
Antara Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari
satu lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut
crypta lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan sekum
(inner circular layer). Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi
oleh pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan caecum dan apendiks.
Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari apendiks.
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi
minggu ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat
antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan
menjadi apendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup
ileosekal.
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks
terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak
dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apediks terletak retroperitoneal,

5
yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau ditepi lateral
kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri
visceral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus. Pendarahan
apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangrene.
Menurut Wakeley (1997) lokasi appendiks adalah sebagai berikut:
retrosekal (65,28%), pelvikal (31,01%), subsekal (2,26%), preileal (1%)
dan postileal serta parakolika kanan (0,4%).

Gambar 2. Anatomi appendiks

6
Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan
appendiks memungkinkannya bergerak dalam ruang geraknya tergantung
pada panjangnya mesoapendiks. Pada kasus selebihnya appendiks terletak
retroperitoneal yaitu di belakang sekum, dibelakang kolon asenden atau
tepi lateral kolon asenden. Gejala klinis appendisitis ditentukan oleh letak
dari apendiks. Pada posisi retrosekal, terkadang appendiks menjulang
kekranial ke arah ren dekstra, sehingga keluhan penderita adalah nyeri di
regio flank kanan. Terkadang diperlukan palpasi yang agak dalam pada
keadaan tertentu karena appendiks yang mengalami inflamasi ini secara
kebetulan terlindungi oleh sekum yang biasanya mengalami sedikit
dilatasi. Letak appendiks mungkin juga di regio kiri bawah, hal ini dipakai
untuk penanda kemungkinan adanya dekstrokardia. Kadang pula panjang
appendiks sampai melintasi linea mediana abdomen, sehingga bila organ
ini meradang mengakibatkan nyeri perut kiri bawah. Juga pada kasus-
kasus malrotasi usus, appendiks bisa sampai diregio epigastrum,
berdekatan dengan gaster atau hepar lobus kanan.
Letak basis appendiks berada pada posteromedial sekum pada
pertemuan ketiga taenia koli, kira-kira 1-2 cm di bawah ileum. Dari ketiga
taenia tersebut terutama taenia anterior yang digunakan sebagai penanda
untuk mencari basis appendiks. Basis apendiks terletak di fossa iliaka
kanan, bila diproyeksikan ke dinding abdomen, terletak di kuadran kanan
bawah yang disebut dengan titik Mc Burney.
Organ lain di luar apendiks yang mempunyai peranan besar apabila
terjadi peradangan apendiks adalah omentum, yang merupakan salah satu
alat pertahanan tubuh apabila terjadi suatu proses intraabdominal termasuk
apendiks. Pada anak-anak appendiks lebih panjang dan lebih tipis daripada
dewasa. Oleh karena itu, pada peradangan akan lebih mudah mengalami
perforasi. Sampai umur kurang lebih 10 tahun, omentum mayus masih
tipis, pendek dan lembut serta belum mampu membentuk pertahanan atau
pendindingan (walling off) pada perforasi, sehingga peritonitis umum
karena appendisitis akut lebih sering terjadi pada anak-anak daripada
dewasa. Appendiks kekurangan sakulasi dan mempunyai lapisan otot

7
longitudinal, mukosanya diinfiltrasi jaringan limfoid. Pada bayi appendiks
berbentuk kerucut. Lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujung.
Keadaan ini kemungkinan menjadi sebab rendahnya kasus apendisitis pada
umur tersebut.
Appendiks mempunyai lumen yang sempit, bentuknya seperti cacing,
dan apeksnya menempel pada sekum. Diameter lumen appendiks antara
0,5 - 15 mm. Lapisan epitel lumen appendiks seperti pada epitel kolon
tetapi kelenjar intestinalnya lebih kecil daripada kolon. Appendiks
mempunyai lapisan muskulus dua lapis. Lapisan dalam berbentuk sirkuler
yang merupakan kelanjutan dari lapisan muskulus sekum, sedangkan
lapisan luar berbentuk muskulus longitudinal yang dibentuk oleh fusi dari
3 taenia koli diperbatasan antara sekum dan appendiks. Appendiks
vermiformis (umbai cacing) terletak pada puncak caecum ,pada pertemuan
ke-3 tinea coli yaitu:
 Taenia libra
 Taenia omentalis
 Taenia mesokolika
Appendiks disebut tonsil abdomen karena ditemukan banyak jaringan
limfoid. Jaringan limfoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar dua
minggu setelah lahir, jumlahnya meningkat selama pubertas sampai
puncaknya berjumlah sekitar 200 folikel antara usia 12-20 tahun dan
menetap saat dewasa. Setelah itu, mengalami atropi dan menghilang pada
usia 60 tahun. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus
yang mengikuti arteri mesenterika superior dari arteri appendikularis,
sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena
itu, nyeri viseral pada appendicitis bermula di sekitar umbilikus.
Vaskularisasi apendiks mendapatkan darah dari cabang arteri
ileokolika, yang merupakan cabang arteri mesenterika superior, yaitu arteri
apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral, sehingga apabila
terjadi trombus pada apendisitis akut akan berakibat terbentuknya gangren,
dan bahkan perforasi dari apendiks tersebut. Arteri apendikuler adalah
cabang terminal dari arteri ileokolika dan berjalan pada ujung bebas

8
mesoapendiks. Kadang-kadang pada mesenterium yang inkomplet, arteri
ini terletak pada dinding sekum. Pada mesoapendiks yang pendek dapat
berakibat apendiks yang terfiksir (immobile).

Gambar 3. Vaskularisasi appendiks

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara


normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada
patogenesis appendicitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh
Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang
saluran cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A).
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu
mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi
enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan
appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan
sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan
seluruh tubuh

9
Gambar 4. Posisi Apendiks

C. Etiologi & Faktor Resiko


Penyebab belum diketahui secara pasti. Berikut ini adalah faktor-faktor
yang mempengaruhi :
1. Obstruksi
a) Hiperplasi kelenjar getah bening (60%)
b) Fekalit (35%), masa feses yang membatu
c) Corpus alienum (4%), biji – bijian
d) Striktur lumen (1%), kinking, karena mesoappendiks pendek, adesi.

2. Infeksi
Biasanya secara hematogen dari tempat lain, misalnya pneumonia,
tonsillitis, dsb. Jenis kuman yang sering menginfeksi antara lain E. Coli
dan Streptococcus.
Beberapa penelitian tentang faktor yang berperan dalam etiologi
terjadinya apendisitis akut diantaranya obstruksi lumen apendiks,
obstruksi bagian distal kolon, erosi mukosa, konstipasi dan diet rendah
serat. Pada keadaan klinis, faktor obstruksi ditemukan dalam 60 - 70%
kasus, 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasi kelenjar limfe

10
submukosa, 35% disebabkan oleh fekalit, dan 5% disebabkan oleh faktor
obstruksi yang lain.
Diperkirakan pula bahwa pada penderita tua obstipasi merupakan
faktor resiko yang utama, sedangkan pada umur muda adalah
pembengkakan sistim limfatik apendiks akibat infeksi virus. Disebut pula
adanya perubahan konsentrasi flora usus dan spasme sekum mempunyai
peranan yang besar.

D. Patofisiologi dan Patogenesis.


Apendiks juga berperan sebagai sistem imun pada sistem gastrointestinal.
Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid Tissues
(GALT) dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA. Antibodi ini mengontrol
proliferasi bakteri, netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin dan
antigen intestinal lainnya. Tetapi peran apendiks sebagai sistem imun tidak
begitu penting. Hal ini dapat dibuktikan pada pengangkatan apendiks tidak
terjadi efek pada sistem imunologi.
Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya
beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam
apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur dari cairan
peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis sederhana. Pada tahap
apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak
ditemukan. Ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus,
Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Sebagian besar
penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi ditemukan bakteri
anaerobik terutama Bacteroides fragilis. Bakteri ini menginvasi mukosa,
submukosa, dan muskularis, yang menyebabkan oedem, hiperemis dan
kongesti lokal vaskuler, dan hiperplasi kelenjar limfe. Kadang-kadang terjadi
trombosis pada vasa dengan nekrosis dan perforasi.
Beberapa keadaan yang mengikuti setelah terjadi obstruksi yaitu:
akumulasi cairan intraluminal, peningkatan tekanan intraluminal, obstruksi
sirkulasi vena, stasis sirkulasi dan kongesti dinding apendiks, dan hipoksia
jaringan, serta terjadinya infeksi anaerob. Keadaan obstruksi berakibat

11
terjadinya proses inflamasi. Obstruksi pada bagian distal kolon akan
meningkatkan tekanan intralumen sekum, sehingga sekresi lumen apendiks
akan terhambat keluar, sehingga tekanan intra lumen meningkat
mengakibatkan gangguan drainage pada:
1. Limfe
Terjadi oedem, jika terjadi invasi bakteri maka akan terjadi ulserasi
mukosa mengakibatkan terjadinya apendisitis akut.
2. Vena
Terjadi trombus-iskemi dan invasi bakteri dapat mengakibatkan
timbulnya pus hingga menjadi apendisitis supuratif.
3. Arteri
Terjadi nekrosis hingga invasi kuman dapat mengakibatkan terjadinya
apendisitis gangrenosa ataupun perforasi yang mengakibatkan terjadinya
peritonitis umum.
Konstipasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sekum,
yang dapat diikuti oleh obstruksi fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan flora normal kolon. Penyebab utama konstipasi adalah diet
rendah serat. Diet rendah serat dapat menyebabkan feses memadat, lebih
lengket dan makin membesar, sehingga membutuhkan proses transit dalam
kolon yang lebih lama. Diet tinggi serat tidak hanya memperpendek waktu
transit feses dalam kolon, tetapi juga dapat mengubah kandungan bakteri.
Appendiks menghasilkan mukus 1-2 ml perhari. Mukus itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Karena
apendiks merupakan suatu kantong yang buntu dengan lumen yang sempit
dan secara normal berisi bakteri, resiko stagnasi dari isi apendiks yang
terinfeksi selalu ada. Resiko ini akan bertambah hebat dengan adanya suatu
mekanisme valvula pada pangkal apendiks yang dikenal dengan valvula
Gerlach.
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.

12
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut
makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks
normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan
tekanan intalumen sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan salah satu dari
sedikit binatang yang dapat mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup
tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan
semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural
(dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi
dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena
ditentukan banyak faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.1
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.

13
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-
48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi
proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau
adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi
nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak
terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan
menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah.
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika
urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan
ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka
akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi
masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum
abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut
kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan
dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.
Pemakaian antibiotika akan mengubah perlangsungan proses tersebut
sehingga dapat terjadi keadaan-keadaan seperti apendisitis rekurens dan
apendisitis kronis. Apendisitis rekurens adalah apendisitis yang secara klinis
memberikan serangan yang berulang, durante operasi pada apendiks terdapat
peradangan dan pada pemeriksaan histopatologis didapatkan tanda
peradangan akut. Sedangkan apendisitis kronis digambarkan sebagai

14
apendisitis yang secara klinis serangan sudah lebih dari 2 minggu, pendapatan
durante operasi maupun pemeriksaan histopatologis menunjukkan tanda
inflamasi kronis, dan serangan menghilang setelah dilakukan apendektomi.
Bekas terjadinya infeksi dapat dilihat pada durante operasi, dimana
apendiks akan dikelilingi oleh perlekatan-perlekatan yang banyak. Dan
kadang-kadang terdapat pita-pita bekas peradangan dari apendiks keorgan
lain atau ke peritoneum. Apendiks dapat tertekuk, terputar atau terjadi
kinking, kadang-kadang terdapat stenosis parsial atau ada bagian yang
mengalami distensi dan berisi mukus (mukokel). Atau bahkan dapat terjadi
fragmentasi dari apendiks yang masing-masing bagiannya dihubungkan oleh
pita-pita jaringan parut. Gambaran ini merupakan gross pathology dari suatu
apendisitis kronik.
Pada teori sumbatan dikatakan bahwa terjadinya apendisitis diawali
adanya sumbatan dari lumen apendiks. Apendisitis yang berhubungan dengan
obstruksi yang disebabkan hiperplasia jaringan limfoid submukosa
disebutkan lebih banyak terjadi pada anak-anak, sementara obstruksi karena
fekalit atau benda asing lebih banyak ditemukan pada orang dewasa. Adanya
fekalit dihubungkan dengan hebatnya perjalanan penyakitnya. Bila terdapat
fekalit (apendikolit) pada pasien-pasien dengan gejala akut kemungkinan
apendiks telah mengalami komplikasi yaitu gangren.
Bila terjadi infeksi, bakteri enteral memegang peranan yang penting. Pada
penderita muda yang memiliki jaringan limfoid yang banyak, maka akan
terjadi reaksi radang dan selanjutnya jaringan limfoid akan berproliferasi
sehingga mengakibatkan penyumbatan lumen apendiks.
Diyakini bahwa adanya fekalit didalam lumen apendiks yang sebelumnya
telah terinfeksi hanya memperburuk dan memperberat infeksi karena
terjadinya peningkatan tekanan intraluminar apendiks. Ada kemungkinan lain
yang menyokong teori infeksi enterogen ini adalah kemungkinan tertelannya
bakteri dari suatu fokus di hidung atau tenggorokan sehingga dapat
menyebabkan proses peradangan pada apendiks. Secara hematogen dikatakan
mungkin saja dapat terjadi karena apendiks dianggap tonsil abdomen.

15
Pada teori konstipasi dapat dikatakan bahwa konstipasi sebagai penyebab
dan mungkin pula sebagai akibat dari apendisitis. Penggunaan yang
berlebihan dan terus menerus dari laksatif pada kasus konstipasi akan
memberikan kerugian karena hal tersebut akan merubah suasana flora usus
dan akan menyebabkan terjadinya keadaan hiperemia usus yang merupakan
permulaan dari proses inflamasi. Bila sakit perut yang dialami disebabkan
apendisitis maka pemberian purgative akan merangsang peristaltik yang
merupakan predisposisi untuk terjadinya perforasi dan peritonitis.

E. Klasifikasi Apendisitis
1. Apendisitis akut tanpa komplikasi (cataral appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan submukosa saja.
Appendiks kadang tampak normal, atau hanya hiperemia saja. Bila
appendiks tersebut dibuka, maka akan tampak mukosa yang menebal,
oedema dan kemerahan. Kondisi ini disebabkan invasi bakteri dari
jaringan limfoid ke dalam dinding appendiks. Karena lumen appendiks
tak tersumbat, maka hal ini hanya menyebabkan peradangan biasa (simple
appendicitis) ataupun dapat menjadi appendisitis supuratif jikaterjadi
infeksi dari bakteri piogenik .
Bila jaringan limfoid di dinding apendiks mengalami oedema, maka
akan mengakibatkan obstruksi lumen apendiks, yang akan mempengaruhi
vaskularisasi sehingga terjadi gangren, atau hanya mengalami perforasi
(mikroskopis), dalam hal ini serosa menjadi kasar dan dilapisi eksudat
fibrin post apendisitis akut, kadang-kadang terbentuk adesi yang
mengakibatkan kinking, dan kejadian ini bisa membentuk sumbatan pula.

2. Appendisitis akut dengan komplikasi


Komplikasi dapat berupa peritonitis, infiltrat, atau abses
periapendikular. Merupakan apendisitis yang berbahaya, karena
appendiks menjadi lingkaran tertutup yang berisi fecal material, yang
telah mengalami dekomposisi. Perubahan setelah terjadinya surnbatan
lumen appendiks tergantung dari isi sumbatan. Bila lumen appendiks

16
kosong, appendiks hanya mengalami distensi yang berisi cairan mukus
dan terbentuklah mucocele. Sedangkan bakteria penyebab biasanya
merupakan flora normal lumen usus berupa bakteri aerob (gram positif
dan atau gram negatif) dan anaerob.
Appendiks yang telah menjadi gangren dapat mengalami perforasi
ataupun ruptur. Bila kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan
dikompensasi dengan proses pembentukan dinding oleh jaringan sekitar,
misal omentum dan jaringan viscera lain, terjadilah infiltrat (mass), atau
proses pustulasi yang mengakibatkan abses periapendiks.

3. Apendisitis Periapendikular
Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang
kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis
akut biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus
yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri beralih
kekuadran kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau
batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak
terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang
terjadi diare, mual dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit
belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam
nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif.1
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umunya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke
titik McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri
epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan
peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.

17
Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya
terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas
dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi
kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas
mayor yang menegang dari dorsal.
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya.
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga
tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala apendisitis
akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan
tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya dalam
beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak akan
menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering
apendisitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90 % apendisitis
baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja,
tidak jarang terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita
baru dapat didiagnosis setelah perforasi.
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual,
dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester
pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut
sekum dengan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak
dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. 7

18
4. Klasifikasi Klinikopatologi Cloud
Klasifikasi apendisitis pada anak yang sampai saat ini banyak dianut
adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari
Cloud, klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan
durante operasi :
 Apendisitis Simpel (grade I): Stadium ini meliputi apendisitis dengan
apendiks tampak normal atau hiperemi ringan dan edema, belum
tampak adatya eksudat serosa.
 Apendisitis Supurativa (grade II): Sering didapatkan adanya obstruksi,
apendiks dan mesoapendiks tampak edema, kongesti pembuluh darah,
mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat
fibrinopurulen pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan
peritoneal. Pada stadium ini mungkin bisa tampak jelas adanya proses
walling off oleh omentum, usus dan mesenterium didekatnya.
 Apendisitis Gangrenosa (grade III): Selain didapatkan tanda-tanda
supurasi didapatkan juga adanya dinding apendiks yang berwarna
keunguan, kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada
stadium ini sudah terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan
peritoneal yang purulen dengan bau busuk.
 Apendisitis Ruptur (grade IV): Sudah tampak dengan jelas adanya
ruptur apendiks, umumnya sepanjang antimesenterium dan dekat pada
letak obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan berbau busuk.
 Apendisitis Abses (grade V): Sebagian apendiks mungkin sudah
hancur, abses terbentuk disekitar apendiks yang rupture biasanya di
fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau seluruh
rongga pelvis bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.

Menurut klasifikasi klinikopatologi Cloud, apendisitis akut grade I


dan II belum terjadi perforasi (apendisitis simpel) sedangkan apendisitis
akut grade III, IV, dan V telah terjadi perforasi (apendisitis komplikata).

19
F. Diagnosis
1. Anamnesis
Variasi pada posisi appendiks, usia pasien, dan derajat inflamasi
menjadikan presentasi klinis dari appendisitis menjadi tidak konsisten.
Gejala utama appendisitis akut adalah nyeri abdomen. Pada mulanya
terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul tumpul
dengan sifat nyeri ringan sampai berat, kadang-kadang disertai dengan
kram intermiten. Hal tersebut timbul oleh karena apendiks dan usus halus
mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan
mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal. Nyeri abdomen yang
ditimbulkan oleh karena adanya hiperperistaltik untuk mengatasi
obstruksi, distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding
appendiks yang mengalami peradangan. Apabila telah terjadi inflamasi
(>6 jam), nyeri akan beralih dan menetap di kuadran kanan bawah. Pada
keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah terjadi
rangsangan pada peritoneum parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam,
terlokalisir, serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan.
Pasien biasanya lebih menyukai posisi supine dengan paha kanan ditarik
ke atas, karena suatu gerakan akan meningkatkan nyeri.
Muntah merupakan rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus.
Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya,
merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan.
Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita appendisitis
akut, bila hal ini tidak ada maka diagnosis appendisitis akut perlu
dipertanyakan. Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun
jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau
dua kali. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan appendiks dekat
dengan vesika urinaria. Penderita appendisitis akut juga mengeluh
obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita
mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak appendiks
pelvikal yang merangsang daerah rektum. Obstipasi dapat pula terjadi
karena penderita takut mengejan.

20
Variasi lokasi anatomi appendiks akan menjelaskan keluhan nyeri
somatik yang beragam. Sebagai contoh appendiks yang panjang dengan
ujung yang mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan
menyebabkan nyeri di daerah tersebut, nyeri kuadran kanan bawah secara
klasik ada bila appendiks yang meradang terletak di anterior, appendiks
retrosekal akan menyebabkan nyeri flank area atau punggung, appendiks
pelvikal akan menyebabkan nyeri pada suprapubik dan appendiks
retroileal bias menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada
arteri spermatika dan ureter. Urutan kejadian gejala mempunyai
kemaknaan diagnosis banding yang besar, lebih dari 95% appendisitis
akut, anoreksia merupakan gejala pertama, diikuti oleh nyeri abdomen
dan baru diikuti oleh vomitus.
Tanda vital tidak berubah banyak. Peninggian temperatur jarang lebih
dari 1oC, yaitu antara 37,50 - 38.50C. Frekuensi nadi normal atau sedikit
meninggi. Adanya perubahan atau peninggian yang besar menunjukkan
telah terjadi komplikasi seperti perforasi atau diagnosis lain yang perlu
diperhatikan.
Adanya hiperestesi pada daerah yang diinervasi oleh n. spinalis T10,
T11, Tl2, meskipun bukan penyerta yang konstan tetapi sering didapatkan
pada appendisitis akut.

2. Pemeriksaan fisik
Kesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau apendiks terletak
pada tempat yang bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah.
a) Inspeksi
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang
sakit. Perut kembung bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan
bawah terlihat pada appendikuler abses. Pasien tidur miring ke sisi
yang sakit sambil melakukan fleksi pada sendi paha, karena setiap
ekstensi meningkatkan nyeri.

21
b) Palpasi
Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan
sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri,
kemudian secara perlahan-lahan mendekati daerah kuadran kanan
bawah. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah, antara lain:
 Nyeri tekan Mc. Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan maksimal pada
kuadran kanan bawah atau titik Mc.Burney dan ini merupakan
tanda kunci diagnosis. Oleh Mc.Burney titik ini dinyatakan terletak
antara 1,5 - 2 inchi dari spina iliaca anterior superior (SIAS) pada
garis lurus yang ditarik dari SIAS ke umbilikus.
 Rebound tenderness
Nyeri lepas adalah rasa nyeri yang hebat di abdomen kanan
bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya
dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc. Burney
karena rangsangan atau iritasi peritoneum.
 Defans muskuler
Defans muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen
yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale pada
m.Rektus abdominis. Tahanan muskuler terhadap palpasi abdomen
sejajar dengan derajat proses peradangan, yang pada awalnya
terjadi secara volunter seiring dengan peningkatan iritasi peritoneal
terjadi peningkatan spamus otot, sehingga kemudian terjadi secara
involunter.
 Rovsing sign
Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah
apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah. Hal
ini dikarenakan tekanan merangsang peristaltik dan udara usus,
sehingga menggerakan peritoneum sekitar appendik yang
meradang (iritasi peritoneal).

22
 Psoas sign
Iritasi muskuler ditunjukkan oleh adanya psoas sign dan
obturator sign. Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan
muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks letak
retrocaecal.
Ada 2 cara pemeriksaan :
o Aktif: Pasien posisi supine, tungkai kanan lurus ditahan
pemeriksa, pasien diminta memfleksikan articulatio coxae
kanan, dikatakan positif jika menimbulkan nyeri perut kanan
bawah.
o Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiper-ekstensikan
oleh pemeriksa, dikatakan positif jika timbul nyeri perut kanan
bawah.
 Obturator Sign
Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan
lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar
secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks
terletak pada daerah hipogastrium.

c) Perkusi
Nyeri ketok abdomen positif

d) Auskultasi
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis
apendisitis. Peristaltik biasanya normal, tetapi jika sudah terjadi
peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata maka bunyi usus
menurun ataupun tidak terdengar bunyi peristaltik usus.

e) Rectal Toucher
Nyeri tekan pada arah jam 9 sampai 12

23
f) Gejala dan tanda pada komplikasi appendicitis
Untuk apendisitis akut yang telah mengalami kornplikasi, misalnya
perforasi, peritonitis dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya yaitu
sebagai berikut:
 Perforasi
Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Perforasi
apendiks paling sering terjadi di distal obstruksi lumen apendiks
sepanjang tepi antimesenterium. Oleh sebab itu pada perforasi
appendiks jarang didapatkan gambaran udara bebas ekstralumen
pada pemeriksaan foto polos abdomen. Appendiks yang
mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan
gejaladan tanda sebagai berikut:
o Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam. Rasa nyeri
bertambah hebat dan mulai dirasakan menyebar.
o Demam tinggi > 38,50C
o Leukositosis (leukosit > 14.000)
o Dehidrasi dan asidosis
o Distensi
o Menghilangnya bising usus
o Nyeri tekan kuadran kanan bawah
o Rebound tenderness sign
o Rovsing sign

 Peritonitis
Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari
apendisitis yang telah mengalami gangren. Sedangkan peritonitis
umum merupakan kelanjutan dari peritonitis lokal tersebut.
Bertambahnya rasa nyeri, defans muskuler yang meluas, distensi
abdomen, bahkan ileus paralitik merupakan gejala-gejala
peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-
gejala sepsis menunjukkan peritonitis yang makin berat.

24
 Abses atau Infiltrat
Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti dengan adanya
massa yang nyeri di region iliaka kanan dan disertai demam,
mengarahkan diagnosis ke massa atau abses apendikuler.
Penegakan diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik maupun
penunjang. Kadang keadaan ini sulit dibedakan dengan karsinoma
sekum, penyakit Crohn, amuboma dan Lymphoma maligna intra
abdomen. Perlu juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis
intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan ginekolog seperti
Kehamilan Ektopik Terganggu (KET), Adneksitis dan Kista
Ovarium terpuntir . Kunci diagnosis biasanya terletak pada
anamnesis yang khas.
Tumor caecum, biasanya terjadi pada orang tua dengan tanda
keadaan umum jelek, anemia dan turunnya berat badan. Hal ini
perlu dipastikan dengan colon in loop dan benzidin test. Pada
anak-anak tumor caecum yang sering adalah sarcoma dari
kelenjar mesenterium. Pada apendisitis tuberkulosa, klinisnya
antara lain keluhan nyeri yang tidak begitu hebat disebelah kanan
perut, dengan atau tanpa muntah dan waktu serangan dapat timbul
panas badan, leukositosis sedang, biasanya terdapat nyeri tekan
dan rigiditas pada kuadran lateral bawah kanan, kadang-kadang
teraba massa.
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif
ditandai dengan:

a) keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih


tinggi;
b) pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah
masih jelas terdapat tanda-tanda peritonitis;
c) laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis
terdapat pergeseran ke kiri.

25
Massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda
dengan ditandai dengan:

a) keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit,


suhu tubuh tidak tinggi lagi
b) pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-
tanda peritonitis dan hanya teraba massa dengan batas jelas
dengan nyeri tekan ringan
c) laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.

Pada 2-6% penderita dengan apendisitis menunjukkan adanya


massa di kuadran kanan bawah pada pemeriksaan fisik. Hal ini
menunjukkan inflamasi abses yang terfiksasi dan berbatasan
dengan apendiks yang mengalami inflamasi.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting dalam
menegakkan diagnosis appendisitis akut. Pada pasien dengan
appendisitis akut, 70-90% menunjukkan peningkatan jumlah leukosit
terutama neutrofil (shift to the left), walaupun hal ini tidak spesifik
untuk appendisitis. Penyakit infeksi pada pelvis terutama pada wanita
akan memberikan gambaran laboratorium yang terkadang sulit
dibedakan dengan appendisitis akut.
Pada pasien dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang
karakteristik appendisitis akut, akan ditemukan adanya leukositosis
11.000-14.000/mm3. Jika jumlah leukosit >18.000/mm3 maka
umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis. Namun beberapa
penderita dengan apendisitis akut terkadang memiliki jumlah leukosit
dan granulosit normal.
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan
menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.
Urinalisa sangat penting pada pasien dengan keluhan nyeri abdomen

26
untuk menentukan atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran
kencing. Apendisitis yang menempel pada ureter atau vesika urinaria,
pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan jumlah sel leukosit 10-
15 sel/lapangan pandang.

b. Sistem skor Alvarado


Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan
medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak
dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi apendektomi negatif,
salah satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado
adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah,
cepat, dan kurang invasif. Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat
sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda dan dua
temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra
operasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis.
Berdasarkan skoring terhadap faktor risiko yang digunakan dalam
sistem skor Alvarado maka dapat diasumsikan bahwa semakin
lengkap gejala, tanda dan pemeriksaan laboratorium yang muncul atau
keberadaannya positif maka skor Alvarado akan semakin mendekati
10, dan ini mengarahkan kepada apendisitis akut atau apendisitis
perforasi. Demikian pula sebaliknya jika semakin tidak lengkap maka
skor Alvarado semakin mendekati 1, ini mengarahkan kepada
apendisitis kronis atau bukan apendisitis. Alvarado
merekomendasikan untuk melakukan operasi pada semua pasien
dengan skor ≥ 7 dan melakukan observasi untuk pasien dengan skor 5
atau 6.

27
Tabel 1. Skor Alvarado untuk diagnosis apendisitis akut:
Gejala dan tanda Skor
Nyeri berpindah 1
Anoreksia 1
Mual-muntah 1
Nyeri fossa iliaka kanan 2
Rebound tenderness 1
Peningkatan suhu tubuh 1
Leukositosis > 10.000 sel/mm3 2
Shift to the left (persentase neutrofil > 75%) 1

G. Penatalaksanaan
1. Tindakan Umum
Pada apendisitis akut dengan komplikasi berupa peritonitis karena
perforasi menuntut tindakan yang lebih intensif, karena biasanya keadaan
pasien sudah sakit berat. Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah,
sekuestrasi cairan dalam rongga abdomen dan febris. Pasien memerlukan
perawatan intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan
pembedahan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung
agar mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah dan pasien
dipuasakan.
Jika pasien dalam keadaan syok hipovolemik akibat dehidrasi ataupun
sepsis maka diberikan cairan ringer laktat 20 mg/kgBB secara intravena,
kemudian diikuti dengan pemberian plasma atau darah sesuai indikasi.
Setelah pemberian cairan intravena sebaiknya dievaluasi kembali
kebutuhan dan kekurangan cairan, serta pantau output urin.
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus
halus. Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi
diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa

28
periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk
mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa
dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan
sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil
diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah
tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3
bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan
sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks.
Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya
nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka
leukosit.
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya
dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan,
karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum.
Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat
penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis
sederhana tanpa perforasi.
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan
bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak,
lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu
sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam
perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada
anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif
tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi
secepatnya.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat
maka luka operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi
konservatif pada periapendikular infiltrat:

29
a) Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
b) Diet lunak bubur saring
c) Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang
aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang,
yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau
sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi
dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada
keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan
laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat
dipertimbangkan membatalakan tindakan bedah.

Untuk menurunkan demam diberikan antipiretik. Jika suhu di atas


380C pada saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi
diindikasikan untuk mengontrol demam. Berikan pula analgesik dan
antiemetik parenteral untuk kenyamanan pasien. Tetapi tidak dianjurkan
pemberian analgetik pada pasien dengan akut abdomen yang penyebabnya
belum diketahui karena dapat mengaburkan penegakkan diagnosis.
Berikan pula antibiotik intravena pada pasien yang menunjukkan tanda-
tanda sepsis dan pada pasien yang akan menjalani prosedur pembedahan
laparotomi.

2. Appendektomi
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan terbaik. Penundaan
apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses
atau perforasi. Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan
sekitar 20%. Apendektomi dapat dicapai melalui insisi Mc Burney.
Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit
peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui laparotomi.
Pembedahan darurat (cito), dilakukan pada kasus apendisitis akut, abses,
dan perforasi, sedangkan pembedahan elektif dilakukan pada apendisitis
kronik.

30
Indikasi dari apendektomi antara lain:
a) Appendisitis akut (apendektomi Chaud)
b) Appendisitis kronis (apendektomi Froid)
c) Peri-appendikular infiltrat dalam stadium tenang (a-Froid)
d) Appendiks terbawa pada laparotomi operasi kandung empedu
e) Appendisitis perforasi

Gambar 5. Titik McBurnay

Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :


a) Kutis
b) Subkutis
c) Fascia Scarfa
d) Fascia Camfer
e) Aponeurosis M. Obliqus Eksternus
f) M. Obliqus Internus
g) M. Transversus

31
h) Fascia Transversalis
i) Pre-peritoneum
j) Peritoneum

Macam insisi pada appendektomi:


a) Insisi Gridiron (Mc Burney), yaitu insisi tegak lurus garis Mc
Burney. Keuntungannya adalah caecum lebih mudah dipegang dan
kontaminasi kuman minimal.
b) Incisi Paramedian kanan, terutama digunakan pada wanita, karena
dapat sekaligus melakukan eksplorasi adneksa, genitalia interna,
khususnya pada kasus-kasus yang meragukan. Kerugiannya yaitu
caecum lebih sukar dipegang dan kontaminasi lebih besar.

Pada appendisitis infiltrat, dilakukan konservatif terlebih dahulu


kemudian operasi elekfif dalam masa tenang, terapi konservatifnya antara
lain:
 Bed rest total posisi Fowler (anti Trendelenburg)
 Diet rendah serat
 Antibiotika spektrum luas
 Metronidazol
 Monitor tanda - tanda peritonitis (perforasi), suhu tiap 6 jam, LED,
leukosit. Bila keadaan membaik dianjurkan untuk mobilisasi dan
selanjutnya dipulangkan.

H. Komplikasi dan Penyulit


Bila tidak ditangani dengan baik maka apendisitis akut dapat mengalami
perforasi dan berlanjut menjadi peritonitis lokal maupun umum. Komplikasi
yang paling sering terjadi adalah perforasi baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada bagian apendiks yang telah mengalami pendindingan
(Walling off) sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan
mesoapendiks, apendiks, sekum dan lengkung usus yang disebut sebagai
massa periapendikuler.

32
Terjadinya massa periapendikuler bila apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum dan lengkung usus. Pada
massa periapendikuler yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi
penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum saat terjadi perforasi, akibatnya
akan terjadi peritonitis umum.
Komplikasi lain yang cukup berbahaya adalah pylephlebitis, yaitu
trombophlebitis supurativa pada sistem vena porta akibat perluasan infeksi
apendisitis. Gejalanya berupa menggigil, demam tinggi, ikterik ringan dan
abses hepatik.
Komplikasi yang terjadi setelah pembedahan apendisitis diantaranya
adalah infeksi. Infeksi setelah pembedahan sering terjadi pada apendisitis
perforasi atau gangrenosa. Meskipun infeksi bisa terjadi di sejumlah lokasi,
infeksi yang terletak di lokasi pembedahan adalah yang paling sering, yaitu
pada luka subkutan dan dalam rongga abdominal. Insidensi kedua komplikasi
ini bervariasi tergantung pada derajat apendisitis, umur penderita, kondisi
fisiologis dan tipe penutupan luka. Obstruksi intestinal bisa terjadi setelah
pembedahan pada kasus apendisitis, hal ini disebabkan oleh abses, phlegmon
intraperitoneal atau adhesi. Infertilitas dapat terjadi pada perempuan dengan
apendisitis perforasi.
Komplikasi lain, di antaranya:
 Nekrosis dinding appendiks
 Perforasi dinding appendiks dan pus masuk ke kavum peritonii
 General peritonitis
 Periappendikular infiltrat atau Phlegmon atau Periappendicular
abses
 Sepsis
 Appendisitis kronis

Penyulit Appendektomi :
1. Pre Operasi
 Perdarahan dari a. mesenterium atau omentum
 Robekan sekum atau usus lain

33
2. Pasca Operasi
 Perdarahan
 Infeksi
 Hematom
 Paralitik ileus
 Peritonitis
 Fistel usus
 Streng Ileus karena band
 Hernia sikatrik

I. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1) Airways
Pada airway yang perlu dikaji lebih lanjut yaitu apakah klien
terdapat suara tambahan atau tidak, apakah ada sumbatan/tidak.
2) Breathing
Nafas klien cepat, yang perlu dikaji lebih lanjut yaitu apakah
pengembangan dada simetris/tidak,apakah ada retraksi dinding
dada
3) Circulation
4) Disability
Apakah Klien terlihat gelisah, menahan nyeri ataukah memegang
perutnya
5) Exposure
Pada exposure yang perlu dikaji lebih lanjut yaitu apakah klien
terdapat trauma atau jejas pada tubuhnya
b. Pengkajian Sekunder
1) Identitas klien
2) Keluhan Utama
3) Riwayat penyakit
4) Pengkajian Kebutuhan Dasar Manusia

34
1) Pola aman nyaman
Saat dikaji : kaji tingkat nyeri klien
P (Provokatif/Paliatif) : Penyebab timbulnya rasa nyeri
Q (Qualitas/Quantitaa) : Seberapa berat keluhan nyeri terasa
R (Region/Radiasi) : Lokasi nyeri dan bagaimana nyeri
dirasakan
S (Skala ) : Skala kegawatan dapat dilihat
menggunakan GCS
T (Timing) : Kapan keluhan dirasakan

2) Pola oksigenasi
3) Pola nutrisi
4) Pola eliminasi
5) Pola aktivitas dan latihan
6) Pola istirahat tidur
7) Pola personal hygiene
8) Pola komunikasi

5) Pemeriksaan fisik
a) Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit ringan /
sedang / berat
b) Sirkulasi : takikardia
c) Respirasi : takipnoe , pernafasan dangkal
d) Aktivtas/ istirahat : malaise
e) Eleminasi : konstipasi pada awal, diare kadang kadang
f) Distensi abdomen, nyeri tekan / nyeri lepas kekakuan,
penurunan atau tidak ada bising usus.
g) Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan
umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik
Mc. Burney , meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau
nafas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi
ekstensi kaki kanan / posisi duduk tegak.

35
h) Demam lebih dari 38 celcius
i) Data psikologis klien tampak gelisah
j) Ada perubahan denyut nadi dan pernfasan
k) Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan
penderita merasa nyeri pada daerah proliotomi
l) Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian
obat.

6) Pemeriksaan Penunjang
a) Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran
perselubungan mungkin terlihat “ileal atau caecal ileus”
(gmbaran garis permukaan cairan di udara disekum atau
ileum)
b) Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan
apendisitis infiltrate
c) Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada
ginjal.
d) Peningkatan leokosit neutrofilia,, tanpa eosinophil.
e) Pada enema barium apendiks tidak terisi
f) Ultrasound : fekalit nonkalsifikasi, apendiks nonperforasi ,
abses apendiks.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada appendiks
b. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
c. Resiko Kekurangan volume cairan berhubungan dengan Pengeluaran
cairan yang berlebihan
d. Ansietas berhubungan dengan proses penyakit

36
C. Rencana Keperawatan

Hari Diagnosa Tujuan dan Kriteria


/tgl Keperawatan Hasil Intervensi Rasionalisasi
Nyeri kriteria hasil : 1. Kaji tingkat 1. Untuk
berhubungan - Pasien tidak nyeri, lokasi dan mengetahui
dengan mengeluh karakteristik sejauh mana
proses nyeri nyeri tingkat nyeri dan
peradangan - Pasien terlihat 2. Jelaskan pada merupakan
pada tidak gelisah pasien tentang indikator secara
appendiks - Pasien mampu penyebab nyeri dini untuk dapat
mengontrol 3. Ajarkan tehnik memberikan
nyeri dengan nafas dalam tindakan
tehnik non 4. Berikan aktifitas selanjutnya
farmakologi hiburan 2. Informasi yang
untuk (ngobrol dengan tepat dapat
mengurangi anggota menurunkan
rasa nyeri keluarga) tingkat
- Suhu tubuh 5. Observasi kecemasan pasien
klien normal tanda-tanda vital dan menambah
36o- 37o C 6. Kolaborasi pengetahuan
- Tekanan darah dengan tim pasien tentang
klien 120/80 medis dalam nyeri
mmHg pemberian 3. Nafas dalam
- Nadi klien 60- analgetik dapat menghirup
100 x/menit oksigen secara
- Frekuensi edekuat sehingga
nafas 16-24 otot-otot menjadi
x/menit relaksasi sehingga
dapat mengurangi
rasa nyeri
4. Meningkatkan
relaksasi dan
dapat

37
meningkatkan
kemampuan
koping
5. Deteksi dini
terhadap
perkembangan
kesehatan pasien
6. Sebagai
profilaksis untuk
dapat
menghilangkan
rasa nyeri
Hipertermi kriteria hasil: 1. Beri kompres 1. Mengurangi
berhubungan - Suhu tubuh hangat panas dengan
dengan klien normal 2. Berikan atau pemindahan
proses 36o- 37o C anjurkan pasien panas secara
inflamasi - Tekanan darah untuk banyak konduksi. Air
klien 120/80 minum 1500- hangat
mmHg 200 cc/hari mengontrol
- Nadi klien 60- 3. Anjurkan pasien pemindahan
100 x/menit untuk panas secara
- Frekuensi menggunakan perlahan tampa
nafas 16-24 pakaian yang menyebabkan
x/menit tipis mudah hipotermi/mengig
menyerap il.
keringat 2. Untuk mengganti
4. Observasi intake cairan tubuh yang
dan output hilang akibat
cairan evaporasi
5. Ukur tanda- 3. Memberikan rasa
tanda vital nyaman dan
setiap 4 jam pakaian yang tipis

38
sekali (suhu, mudah menyerap
nadi, tekanan keringat dan tidak
darah) merangsang
6. Kolaborasi peningkatan suhu
pemberian 4. Mendeteksi dini
cairan intravena kekurangan
atau obat sesuai cairan serta
program mengetahui
keseimbangan
cairan dan
elektrolit dalam
tubuh
5. TTV merupakan
acuan dalam
mengetahui
keadaan umum
pasien
6. Pemberian cairan
sangat penting
bagi pasien
dengan suhu
tubuh tinggi. Obat
khususnya untuk
menurunkan
panas tubuh
pasien.
Resiko kriteria hasil : 1. Monitor tanda- 1. Tanda yang
Kekurangan - Klien tidak tanda vital membantu
volume mual dan 2. Kaji membrane mengidentifikasik
cairan muntah mukosa, kaji an fluktuasi
berhubungan - Klien tidak turgor kulit dan volume
dengan terlihat pengisian intravaskuler

39
Pengeluaran keringat kapiler 2. Indikator
cairan yang dingin 3. Awasi masukan keadekuatan
berlebihan dan haluaran, sirkulasi perifer
catat warna dan hidrasi
urine/konsentras seluler
i, berat jenis 3. Penurunan
4. Auskultasi haluaran urine
bising usus, pekat dan
catat kelancaran peningkatan berat
flatus, gerakan jenis diduga
usus karena dehidrasi
5. Berikan 4. Indikator
perawatan mulut kembalinya
sering dengan peristaltik dan
perhatian kesiapan untuk
khusus pada pemasukan per
perlindungan oral
bibir 5. Dehidrasi
6. Pertahankan mengakibatkan
penghisapan bibir dan mulut
usus kering serta
7. Kolaborasi pecah-pecah
pemberian 6. Selang NG
cairan IV dan biasanya
elektrolit dimasukkan pada
pra ooperasi dan
dipertahankan
pada fase segera
pascaoperasi
untuk
dekompensasi
usus,

40
meningkatkan
istirahat usus.
7. Peritoneum
berekasi terhadap
infeksi dengan
menghasilkan
sejumlah besar
cairan yang dapat
menurunkan
volume sirkulasi
darah yang
mengakibatkan
hipovoleia.
Dehidrasi dapat
mengakibatkan
ketidakseimbanga
n elektrolit

Ansietas kriteria hasil: 1. Evaluasi tingkat 1. Ketakutan dapat


berhubungan - Pasien tidak ansietas, cata terjadi karena
dengan terlihat gelisah verbal dan non nyeri hebat,
proses - Pasien tidak verbal pasien penting pada
penyakit berkeringat 2. Jelaskan dan prosedur
dingin persiapkan diagnostik dan
untuk tindakan pembedahan
prosedur 2. Dapat
sebelum meringankan
dilakukan ansietas terutama
3. Jadwalkan ketika
istirahat adekuat pemeriksaan
dan periode tersebut
menghentikan melibatkan

41
tidur pembedahan
4. Anjurkan 3. Membatasi
keluarga untuk kelemahan,
menemani menghemat
pasien energi dan
meningkatkan
kemampuan
koping
4. Mengurangi
kecemasan pasien

42
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pengertian diatas dapat simpulkan bahwa apendiks adalah
termasuk ke dalam salah satu organ sistem pencernaan yang terletak tepat
dibawah dan melekat pada sekum yang berfungsi sebagai imun.
Apendisistis merupakan inflamasi akut pada apendiks yang disebabkan
oleh fekalit (massa keras dari feces), tumor atau benda asing di dalam
tubuh, namun ulserasi mukosa oleh parasit E.
Histolytica juga dapat menyebabkan apendisitis. Gaya hidup individu
pun dapat menyebabkan terjadinya apendisitis, kebiasaan individu
mengkonsumsi makanan rendah serat dapat menyebabkan konstipasi yang
akan menyebabkan meningkatnya tekanan intraluminal yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
kuman flora kolon biasa dan terjadilah apendisitis.

B. Saran
Dalam menangani usus buntu sebaiknya jangan terlalu banyak makan
zat non hidrohenik, seperti cabai-cabaian. Bila sering makan satu cabai,
maka zat ini akan awet dalam tubuh sampai meninggal dunia, tidak keluar;
kenyang terus; sehingga tidak ada gantian zat. Tetapi bila cabai dibuat
sambal dengan seluruh jenis cabai merah, cabai hijau, cabai kuning; cabai
hitam dan lain-lain, maka tidak berpengaruh terhadap kesehatan tubuh.
Pasca operasi hindari makan makanan yang dapat menyebabkan alergi,
konsumsi makanan anti-oksidan (tomat, dan lain-lain.) Hindari konsumsi
makanan yang menstimulasi (kopi, alkohol, rokok), dan minum air 6-8
gelas/hari.

43
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua.
Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.

Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition.
Mc-Graw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an
Enigma Electronic Publication.

Anonim, . Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas Kedokteran


UNAIR. Surabaya.

Lugo,. V.H., 2004. Periappendiceal Mass. Pediatric Surgery Update. Vol.23


No.03 September 2004.

Sedlak M, Wagner OJ, Wild B, Papagrigoriades S, Exadaktylos AK. Is there still


a role for rectal examination in suspected appendicitis in adults?. Am J
Emerg Med. Mar 2008;26(3):359-60.

Shakhatreh HS. The accuracy of C-reactive protein in the diagnosis of acute


appendicitis compared with that of clinical diagnosis. Med
Arh. 2000;54(2):109-10.

Yang HR, Wang YC, Chung PK, Chen WK, Jeng LB, Chen RJ. Laboratory tests
in patients with acute appendicitis. ANZ J Surg. Jan-Feb 2006;76(1-2):71-
4.

Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf
Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa Aksara.
Jakarta.

Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American
Academy of Family Physicians. Texas A&M University Health Science
Center, Temple, Texas

44

Anda mungkin juga menyukai