Anda di halaman 1dari 29

SKRINING NILAI RISIKO KESEHATAN PADA KLIEN

HIPERTENSI

MAKALAH

oleh
Kelompok 2

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
SKRINING NILAI RISIKO KESEHATAN PADA KLIEN
HIPERTENSI

MAKALAH
diajukan guna melengkapi tugas Stase Keperawatan Komunitas dan Keluarga
dengan Dosen Pengampu Latifa Aini S.,M.Kep., Sp.Kom

oleh

Kelompok 2

Karina Bariroh NIM 142310101053


Wahyu Ramadani NIM 142310101064
Intan Faradela NIM 162310101299
Hartiena Nadiya NIM 142310101084
Kholida Hidayati NIM 142310101087
Nita Ratna Dewi NIM 142310101099

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta

hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah

mengenai “Skrining Nilai Risiko Kesehatan Pada Klien Hipertensi” dengan tepat

waktu.

Saat menyelesaikan tugas ini, kami banyak mendapatkan bimbingan, bantuan

dan saran dari berbagai pihak, oleh karena itu kami ingin menyampaikan terima kasih

kepada :

1. Latifa Aini S.,M.Kep., Sp.Kom, selaku dosen pengampu stase keperawatan

komunitas dan keluarga,

2. Semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya tugas ini.

Kami menyadari dalam menyelesaikan tugas ini banyak kekurangan dari teknik

penulisan dan kelengkapan materi yang jauh dari sempurna. Kami juga menerima

kritik dan saran yang membangun sebagai bentuk pembelajaran agar meminimalisir

kesalahan dalam tugas berikutnya. Semoga dengan terselesaikannya tugas ini dapat

memberikan manfaat bagi kita semua.

Jember, Agustus 2018


Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.......................................................................................
KATA PENGANTAR.....................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB 1. PENDAHULUAN..............................................................................
1.1 Latar belakang.................................................................................
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................
1.3 Tujuan.............................................................................................
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................
2.1 Konsep Hipertensi........................................................................
2.1.1 Definisi...............................................................................
2.1.2 Etiologi...............................................................................
2.1.3 Klasifikasi...........................................................................
2.1.4 Patofisiologi........................................................................
2.1.5 Gejala Klinis.......................................................................
2.1.6 Penatalaksanaan..................................................................
2.1.6.1 Penatalaksanaan Farmakologi..................................
2.1.6.2 Penatalaksanaan Nonfarmakologi............................
2.2 Skrining Hipertensi.......................................................................
2.2.1 Definisi Skrining.................................................................
2.2.2 Tujuan Skrining..................................................................
2.2.3 Kriteria dalam Menyusun Program Skrining......................
2.2.4 Kriteria Skrining.................................................................
2.2.5 Macam-Macam Skrining....................................................
2.2.6 Validitas..............................................................................
2.2.7 Reliabilitas..........................................................................
BAB 3. PENUTUP..........................................................................................
3.1 Kesimpulan.....................................................................................
3.2 Saran................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejadian hipertensi secara global cenderung meningkat, terutama dinegara

maju dan negara sedang mengalami transisi epidemiologi. Menurut The Joint

National Committee (JNC 7) on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of

High Blood Pressure (2004) hipertensi dapat dikelompokkan dalam: prahipertensi

apabila tekanan darah 120-139/80-89 mmHg; hipertensi I adalah 140-159/90-99

mmHg dan hipertensi II adalah >160/>100 mmHg. Di Indonesia prevalensi hipertensi

pada tahun 2002 dikalangan usia dewasa laki-laki dan perempuan masing-masing

sebesar 27 persen dan 29 persen (Badan Litbang Kesehatan, 2002). Hasil Riset

Kesehatan Dasar

pada tahun 2007 menunjukkan hasil prevalensi hipertensi di Indonesia yaitu 31,3

persen pada laki-laki dan 31,9 persen pada perempuan.

Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko timbulnya hipertensi adalah

keturunan, lingkungan, kegemukan, peningkatan asupan natrium, merokok, alkohol,

dan lain-lain (Tara & Sutriesno, 1998). Berbagai hasil penelitian menunjukkan

pengetahuan subjek tentang hipertensi bervariasi. Penelitian yang dilakukan di

Australia pada pasien hipertensi menunjukkan 55 persen dapat menyebutkan gejala

hipertensi, dimana 55 persen percaya bahwa stress dapat menyebabkan hipertensi

(Taylor & Ward, 2003). Penelitian di Sudan menunjukkan dua pertiga dari subjek
mempunyai skor pengetahuan yang tinggi tentang etiologi dan komplikasi dari

hipertensi. Setengah dari subjek mengetahui cara menangani hipertensi, namun

subjek mempunyai skor pengetahuan yang rendah tentang gejala hipertensi (Osman

et al., 2007). Hasil penelitian di Swedia menunjukkan pengetahuan tentang tekanan

darah tinggi terutama tidak berasal dari fasilitas kesehatan, namun dari mass media

(Kjellgre et al., 1997).

Hipertensi berhubungan dengan terjadinya penyakit jantung dan stroke

(Popkin et al., 2001). Dalam kaitannya dengan upaya preventif hipertensi, faktor

risiko yang dapat diubah tersebut perlu dikelola dengan baik, salah satunya melalui

perubahan gaya hidup, aktivitas fisik, konsumsi dan aktivitas sehat lainnya. Upaya

preventif dapat dilakukan diantaranya adalah dengan menggunakan suatu alat untuk

skrining hipertensi untuk mendeteksi ada atau tidaknya hipertensi pada seseorang

tanpa mengukur tekanan darah, selain itu alat skrining ini dapat memberikan

informasi tentang faktor risiko dan

gejala dari hipertensi.

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

Untuk mendeteksi dini penyakit hipertensi tanpa gejala atau dengan gejala

khas terhadap orang-orang yang tampak sehat, tetapi mungkin menderita penyakit
hipertensi, yaitu pada orang yang mempunyai resiko tinggi terkena penyakit

(Population at risk).

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Hipertensi

2.1.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi biasanya diartikan suatu penyakit kronis pada sistem kardiovaskular.

Peningkatan sistole yang tingginya tergantung usia sesorang. Tekanan darah dapat

meningkat tergantung posisi tubuh, umur, tingkat stress yang dialami (Tambayong,

2000). Menurut aspiani (2014), tekanan darah persisten yang mengalami peningkatan

diatas normal yang menimbulkan angka kesakitan (morbiditas).

Keadaan normal tekanan darah pada manusia disebut normotensi saat tekanan

darah kurang dari 140/90 mmHg. Pengukuran tekanan darah menurut Joint National

Committe VIII (JNC VIII) tahun 2014, Pengukuran dilakukan pada usia ≥60 tahun

dengan batasan tekanan darah sistolik ˂150/90 mmHg (James PA, Ortiz E, et al.

2014). Menurut European Society Hypertension batasan pengukuran tekanan darah,

Pada lansia >80 tahun dengan tekanan darah sistolik >160 mmHg menyatakan

penurunanan tekanan darah menjadi <150 mmHg (Strodter dan Santosa, 2013).

2.1.2 Etiologi
Hipertensi pada dasarnya tidak ada penyebab pasti penyakit itu muncul.

Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan curah jantung atau peningkatan tahanan

perifer. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi:

a. Genetik: respon neurologi terhadap mekanisme stress atau kelainan pada

transport natrium (Na).

b. Obesitas: berhubungan dengan tingkat insulin yang tinggi yang menyebabkan

tekanan darah meningkat.

c. Stress lingkungan tempat tinggal dan pengobatan.

d. Hilangnya kemampuan elastisitas pembuluh darah dan arterosklerosis pada orang

tua.

Pada lansia, penyebab terjadinya hipertensi disebabkan perubahan elastisitas

dinding aorta menurun, penebalan dan kaku katup jantung, kemampuan jantung

memompa darah dan meiningkatnya resistensi pembuluh darah perifer. Setelah

individu melewati usia 20 tahun, kemampuan jantung untuk memompa darah

berkurang 1% tiap tahunnya sehingga kontraktilitas jantung dan volume darah yang

dikeluarkan menurun (Aspiani, 2016).

2.1.3 Klasifikasi Hipertensi

Hipertensi sering di golongkan pada beberapa macam tingkatan ringan,

sedang dan berat berdasarkan tekanan diastole (Tambayong, 2000). Tekanan pada

peninggian sistolik tanpa diikuti tekanan diastolik disebut hipertensi sistolik atau

hipertensi sistolik terisolasi. Ciri ciri hipertensi sistolik terjadi peningkatan tekanan

sistolik > dari tekanan diastolik dikurang 15 mmHg, tidak diikuti peningkatan
tekanan diastolik atau tekanan diastolik tidak lebih 90 mmHg tekanan ini seringkali di

jumpai pada lansia sedangkan hipertensi peningkatan tekanan diastol tanpa diikuti

tekanan sistol sering di jumpai pada dewasa muda.

Pada orang lanjut usia, umumnya besar jantung akan sedikit mengecil.

Setelah berumur 20 tahun kekuatanm otot jantung akan berkurang sesuai dengan

bertambahnya usia. Tekanan darah lansia akan naik secara bertahap. Elastisitas

jantung pada orang usia 70 tahun menurun sekitar 50% dibanding orang berusia 20

tahun (Nugroho W, 2000). The Joint Treatment of High Blood Pressure, 1984 dalam

Potter &Perry (2005) membagi tekanan sistolik sebagai berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi

Tekanan darah sistolik (mmHg) Kategori


< 140 Tekanan darah normal
140-159 Hipertensi terisolasi
>160 Hipetensi sistolik terisolasi
Bila tekanan diastolik <90 mmHg

Tekanan darah diastolik (mmHg) Kategori


<85 Tekanan darah normal
85-89 Tekanan darah normal tinggi
90-104 Hipetensi ringan
105-114 Hipertensi sedang
>115 Hipertensi berat
Klasifikasi Tekanan Darah untuk Usia Dewasa 18 Tahun dan Lansia
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <130 <85
Normal Tinggi 130-139 85-89
DERAJAT 1 (Ringan) 140-159 90-99
DERAJAT 2 (Sedang) 160-179 100-109
DERAJAT 3 (Berat) 180-209 110-119
DERAJAT 4 (Sangat Berat) ≥ 210 ≥ 120
Menurut Isselbacher et al., (1999) dalam Wardani (2015) jenis hipertensi di bagi

menjadi dua golongan yaitu:

a. Hipertensi Primer/Esensial

Hipertensi yang tidak diketahui penyebab yang pasti. Hipertensi ini bisa juga

disebut hipertensi idiopatik. Hipertensi ini berhubungan dengan obesitas,

hiperkolesterolemia, aterosklerosis, diet tinggi garam, diabetes, stress, riwayat

keluarga, merokok dan jarang berolahraga. Hipertensi primer ditemukan pada 90%

dari semua kasus hipertensi.

b. Hipertensi sekunder

Hipertensi yang dapat diketahui penyebabnya. Hipertensi sekunder dapat

disebabkan oleh gangguan gunjal dan endokrin. Hipertensi ini di temukan pada 10%

dari seluruh kasus hipertensi. Hipertensi sekunder dapat terjadi dengan beberapa

keadaan seperti penyakit ginjal primer, kontrasepsi oral, obat-obatan (non steroid

inflamatory drugs).

2.1.4 Patofisiologi

Tekanan arteri sistemik adalah hasil dari perkalian cardiac output (curah jantung)

dengan total tahanan perifer. Cardiac output diperoleh dari perkalian antara stroke

volume dengan heart rate. Pengaturan tahanan perifer dipertahankan oleh sistem

saraf otonom dan sirkulasi hormon.

Sistem yang mengontrol tekanan darah yaitu, sistem baroreseptor arteri,

pengaturan volume cairan tubuh, sistem renin angiotensin dan autoregulasi vaskular.

Baroreseptor mengendalikan derajat tekanan arteri. Sistem baroreseptor meniadakan


peningkatan tekanan arteri melalui mekanisme perlambatan jantung oleh respon vagal

(stimulasi parasimpatis) dan vasodilatasi dengan penurunan tonus simpatis. Refleks

kontrol sirkulasi meningkatkan tekanan arteri sistemik bila tekanan baroreseptor turun

dan menurunkan tekanan arteri sistemik bila tekanan baroreseptor meningkat

(Udjianti, 2011).

Volume cairan yang berubah ubah mempengaruhi tekanan arteri sistemik. Bila

tubuh kelebihan garam dan air, tekanan darah meningkat dengan cara mekanisme

fisiologis kompleks yang mengubah aliran balik vena ke jantung dan mengakibatkan

peningkatan curah jantung. Peningkatan volume cairan dapat terjadi akibat gangguan

penanganan garam dan air oleh ginjal (Corwin, 2009).

Renin angiotensin berperan dalam pengendalian tekanan darah yang di produksi

oleh ginjal. Renin adalah suatu enzim pada substrat protein plasma untuk

memisahakan angiotensin I, yang kemudian diubah menjadi angiotensin II oleh

converting enzim yang terjadi di paru-paru lalu berubah menjadi angiotensin III.

Angiotensin II dan angiotensin III mempunyai sifat sebagai vasokonstriktor pada

pembuluh darah (Udjianti, 2011).

Autoregulasi vaskular merupakan mekanisme lain yang terlibat dalam hipertensi.

Auotoregulasi vaskular adalah suatu proses dalam mempertahankan perfusi jaringan

dalam tubuh realtif tetap. Autoregulasi vaskular menjadi mekanisme penting dalam

penyebab hipertensi yang berkaitan dengan overload garam dan air (Udjianti, 2011).

Faktor kecemasan atau stress merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada respon

pembuluh darah terhadap rangsangan vasokonstriktif yang menyebabkan aliran darah


ke ginjal menjadi berkurang sehingga ginjal mengeluarkan renin kemudian mengubah

angiotensin I menjadi angiotensin II hormon tersebut mensekresi aldosteron oleh

kortex adrenal lalu meretensi natrium (Na) dan air dan menyebabkan peningkatan

volume intra vaskuler sehingga timbul hipertensi (Ode, 2012).

Perubahan patofisiologi hipertensi sering dikaitkan dengan faktor usia. Fungsi

peredaran darah pada pasien usiar lanjut mengalami perubahan seperti berkurangnya

kemampuan β-adrenergik untuk elastisitas pembuluh darah. Sensitivitas baroreseptor

direduksi dan renin baik pada plasma maupun ginjal yang berfungsi untuk membuang

sodium dari tubuh mengalami penurunan aktivitas seiring bertambahnya umur

(Wardani, 2015).

2.1.5 Gejala Klinis Hipertensi

Biasanya tanpa gejala yang ditimbulkan atau tanda-tanda peringatan untuk

hipertensi atau disebut “silent killer” (Udjianti, 2011). Menurut Corwin (2000) dalam

Aspiani (2016) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala yang muncul pada

penderita yang mengalami hipertensi bertahun-tahun seperti:

a. Nyeri kepala saat terjaga, dapat disertai mual dan muntah akibat peningkatan

tekanan darah pada otak

b. Penglihatan kabur akibat kerusakan pada retina akibat hipertensi

c. Sering kencing pada malam hari (Nocturia) karena peningkatan aliran darah

ginjal dan filtrasi glomerolus.

2.1.6 Penatalaksanaan Hipertensi

2.1.6.1 Penatalaksanaan Farmakologi


Tujuan utama pengobatan penderita hipertensi adalah untuk tercapainya

penurunan maksimum risiko total morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler

(Joewono, 2003). Sedangkan tujuan khusus pengobatan ialah mencapai dan

mempertahankan tekanan sistolik dengan rentang di bawah 140 mmHg dan tekanan

diastolik di bawah 90 mmHg dengan pemberian obat dan pengaturan gaya hidup

(Aspiani, 2016). Beberapa golongan medikasi seperti diuretik, simpatolitik kerja

pusat, vasodilator, inhibitor angiotensin-converting enzyme (ACE), penyekat reseptor

angiotensin II (ARB), penyekat saluran kalsium dan penyekat alfa dan beta

adregenik. (LeMone et al, 2015). Penatalaksanaan farmakologi yang dianjurkan pada

penderita hipertensi adalah sebagai berikut:

a. Diuretik: Chlorthalidon, Hydromox, Lasix, Aldactone, Dyrenium Diuretic

medikasi golongan ini bekerja dengan berbagai mekanisme untuk mengurnagi

frekuensi curah jantung dengan mendorong ginjal meningkatkan ekskresi garam

dan air. Diuretik (tiazid) ini juga dapat menurunkan TPR (Aspiani, 2016). Pada

lansia, terapi diuretik adalah terapi pilihan untuk hipertensi sistolik (Le Mone

et.al, 2016 ).

b. Simpatolitik kerja pusat menstimulasi reseptor α2 pada SSP untuk menekan aliran

keluar simpatis ke jantung dan pembuluh darah

c. Vasodilator mekanisme dengan cara mengendurkan otot polos vaskular (arterior)

dan menurunkan resistensi vaskular perifer. Obat ini sering di komboinasikan

dengan diuretik atau penyekat beta.


d. Inhibitor ACE dalam menurunkan tekanan darah dengan mencegah angiotensin I

menjadi angiotensin II. Mencegah vasokonstriksi dan retensi natrium dan air.

e. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) memiliki efek yang sama namun

memiliki perbedaan dalam mekanisme kerjanya dengan menghambat efek

angiotensin II terhadap reseptor.

f. Penyekat saluran kalsium menurunkan kontraksi otot jantung atau arteri dengan

cara mengintervensi influks kalsium. Berbagai penyekat kalsium memiliki

kemampuan yang berbeda-beda dalam mengendalikan frekuensi jantung, volume

sekuncup, dan TPR (Aspiani, 2016).

g. Penyekat Alfa dan Beta adregenik pada penyekat vaskular menghambat reseptor

alfa pada otot polos vaskular, menurunkan tegangan vasomotor dan

vasokonstriksi. Namun pada medikasi jenis ini memiliki efek samping seperti

refleksi jantung (takikardi) dan palpitasi. Penyekat beta di perlukan untuk

meminimalkan efek ini. Penyekat beta menurunkan tekanan darah dengan

mencegah stimulasi resetor beta di jantung yang menyebabkan penurunan

frekuensi jantung dan curah jantung. Efek samping pada medikasi jenis ini antara

lain bronkospasme, bradikardi, gangguan tidur, impotensi dan peningkatan kadar

trigliserida.

2.1.6.2 Penatalaksanaan Nonfarmakologi

Pengobatan pada pasien hipertensi sangat kompleks maka sangat perlu

mewaspadai efek interaksi di antara obat-obatan yang digunakan. Maka dari itu
Penatalaksanaan non farmakologi perlu bagi penderita hipertensi guna mengontrol

tekanan darah pada penderita hipertensi. Dalam JNC 8 modifikasi gaya hidup dapat

mengontrol tekanan darah (Muhadi, 2016). Menurut Retnasari (2009) dalam Fuad

(2012), terapi non farmakologis dapat di berikan pada penderita hipertensi berupa

pembatasan konsumsi garam berlebih, membatasi konsumsi lemak, kurangi merokok,

hindari mengkonsumsi alkohol, kontrol berat badan, olahraga, dan relaksasi.

Manajemen stress juga dapat mengontrol tekanan darah seperti biofeedback,

psikoterapi, hipnosis, meditasi transendental dan meningkatkan religiusitas dan

spritualitas termasuk berdo’a atau dzikir (Rice, 1999 dalam Anggraieni dan Subandi,

2014).

2.2 Skrining Hipertensi

2.2.1 Definisi Skrining

Menurut Harlan (2006), skrining untuk pengendalian penyakit adalah

pemeriksaan orang-orang asimptomatik untuk mengklasifikasikan mereka ke dalam

kategori yang diperkirakan mengidap atau tidak mengidap penyakit (as likely or

unlikely to have disease). Contoh uji skrining antara lain pemeriksaan Rontgen,

pemeriksaan sitologi, dan pemeriksaan tekanan darah. Uji skrining tidaklah bersifat

diagnostik. Orang-orang dengan temuan positif atau mencurigakan harus dirujuk ke

dokter untuk diagnosis dan pengobatannya (Harlan, 2006). Secara garis besar,

skrining adalah cara untuk mengidentifikasi penyakit yang belum tampak melalui

suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat dengan cepat memisahkan
antara orang yang mungkin menderita penyakit dengan orang yang mungkin tidak

menderita (Amiruddin dkk, 2011).

Amiruddin, dkk (2011), mengemukakan pula mengenai cara untuk mendeteksi

tanda dan gejala penyakit secara dini dan menemukan penyakit sebelum

menimbulkan gejala dapat dilakukan dengan cara berikut:

a. Deteksi tanda dan gejala dini

Dalam hal mendeteksi tanda dan gejala dini diperlukan pengetahuan tentang tanda

dan gejala tersebut yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan masyarakat. Dengan

cara demikian, timbulnya kasus baru dapat segera diketahui dan diberikan

pengobatan. Biasaya penderita datang untuk mencari pengobatan setelah penyakit

menimbulkan gejala dan mengganggu kegiatan sehari-hari yang berarti penyakit telah

berada dalam stadium lanjut. Hal ini disebabkan ketidaktahuan dan ketidakmampuan

penderita.

b. Penemuan kasus sebelum menimbulkan gejala

Penemuan kasus ini dapat dilakukan dengan mengadakan skrining terhadap orang-

orang yang tampak sehat, tetapi mungkin menderita penyakit. Diagnosis dan

pengobatan penyakit yang diperoleh dari penderita yang datang untuk mencari

pengobatan setelah timbul gejala relatif sedikit sekali dibandingkan dengan penderita

tanpa gejala.

2.2.2 Tujuan Skrining

Tujuan dan sasaran skrining menurut Noor (1997), sebagai berikut:


a. Mendapatkan mereka yang menderita sedini mungkin sehingga dapat dengan

segera memperoleh pengobatan.

b. Mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat.

c. Mendidik dan membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri sedini

mungkin.

d. Mendidik dan memberikan gambaran kepada petugas kesehatan tentang sifat

penyakit dan untuk selalu waspada atau melakukan pengamatan terhadap setiap

gejala dini.

e. Mendapat keterangan epidemiologi yang berguna bagi klinisi dan peneliti.

Menurut Budiarto dan Anggraeni (2002), bahwa tujuan skrining adalah:

a. Deteksi dini penyakit tanpa gejala atau dengan gejala tidak khas terhadap orang-

orang yang tampak sehat, tetapi mungkin menderita penyakit yaitu orang yang

mempunyai resiko tinggi untuk terkena penyakit (population at risk).

b. Dengan ditemukannya penderita tanpa gejala dapat dilakukan pengobatan secara

tuntas hingga mudah disembuhkan dan tidak membahayakan dirinya maupun

lingkungannya dan tidak menjadi sumber penularan hingga epidemi dapat

dihindari.

Menurut Morton et al (2008), tujuan skrining adalah untuk mencegah penyakit

atau akibat penyakit dengan mengidentifikasi individu-individu pada suatu titik dalam

riwayat alamiah ketika proses penyakit dapat diubah melalui intervensi. Terdapat tiga

tingkatan pencegahan yang pada umumnya ditargetkan di dalam program-program

skrining:
a. Pencegahan primer, ditujukan kepada orang-orang yang tidak memiliki gejala

atauasymptotic untuk mengidentifikasi faktor resiko dini penyakit guna menahan

proses patologi sebelum timbul gejala. Contohnya, mengidentifikasi orang-orang

dalam tahap awal gangguan toleransi glukosa, dan mengendalikan berat badan

serta pola makan mereka untuk mencegah kemunculan diabetes.

b. Pencegahan sekunder, ditujukan kepada orang-orang dalam proses awal penyakit

untuk memperbaiki prognosis. Contohnya, mengidentifikasi orang-orang

pengidap diabetes yang tidak terdeteksi atau tidak teramati untuk meningkatkan

toleransi glukosa guna mencegah.

c. Pencegahan tersier, ditujukan kepada orang-orang yang mengalamikomplikasi

untuk mencegah dampak lanjutan komplikasi tersebut. Contohnya, melakukan

skrining pada orang-orang untuk mendeteksi riwayat retinopatidiabetik agar

mendapat pengobatan laser untuk mengendalikan perdarahan retina (retinal

hemorrhages) dan mencegah kebutaan. 

2.2.3 Kriteria dalam Menyusun Program Skrining

Untuk dapat menyusun suatu program penyaringan, diharuskan memenuhi

beberapa kriteria atau ketentuan-ketentuan khusus yang merupakan persyaratan suatu

tes penyaringan.

a. Penyakit yang dituju harus merupakan masalah kesehatan yang berarti dalam

masyarakat dan dapat mengancam derajat kesehatan masyarakat tersebut.

b. Tersedianya obat yang potensial dan memungkinkan pengobatan bagi mereka

yang dinyatakan menderita penyakit yang mengalami tes. Keadaan penyedia obat
dan keterjangkauan biaya pengobatan dapat mempengaruhi tingkat atau kekuatan

tes yang dipilih.

c. Tersedianya fasilitas dan biaya untuk diagnosis pasti bagi mereka yang

dinyatakan positif serta tersedianya biaya pengobatan bagi mereka yang

dinyatakan positif melalui diagnosis klinis.

d. Tes penyaringan terutama ditujukan pada penyakit yang masa latennya cukup

lama dan dapat diketahui melalui pemeriksaan /tes khusus.

e. Tes penyaringan hanya dilakukan bila memenuhi syarat untuk tingkat sensitivitas

dan spesifitivitas dan spesifisitasnya.

f. Semua bentuk/teknik dan cara pemeriksaan dalam tes penyaringan harus dapat

diterima oleh masyarakat secara umum.

g. Sifat perjalanan penyakit yang akan dilakukan tes harus diketahui dengan pasti.

h. Adanya suatu nilai standar yang telah disepakati bersama tentang mereka yang

dinyatakan menderita penyait tersebut.

i. Biaya yang digunakan dalam melaksanakan tes penyaringan sampai pada titik

akhir pemeriksaan harus seimbang dengan risiko biaya bila tanpa melakukan tes

tersebut.

j. Harus dimungkinkan untuk diadakan pemantauan (follow up) terhadap penyakit

tersebut serta penemuan penderita secara berkesinambungan dapat dilaksanakan

(Noor, 2008).

2.2.4 Kriteria Skrining


Menurut Carr (2014), beberapa kriteria harus dipertimbangkan dalam

melakukan pengembangan program skrining. Kriteria tersebut dapat sepenuhnya

dipenuhi atau tidak dapat dipenuhi sama sekali.

Penentuan kelompok sasaran skrining berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut :

a. Kondisi/penyakit merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Jenis

penyakit yang tepat untuk skrining :

1) Merupakan penyakit yang serius, misalnya penyakit kanker payudara ini sangat

berbahaya apabila tidak segera ditangani.

2) Pencegahan sebelum terjadi gejala muncul itu lebih baik daripada setelah gejala

muncul, misalnya hindari kegemukan, kurangi makaan lemak, usahakan hanya

mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin A dan C, olahraga secara

teratur, dan chek-up payudara sejak dini secara teratur.

3) Prevalensi penyakit pre-klinik harus lebih tinggi pada populasi yang diskrining.

a. Harus ada cara pengobatan untuk penderita yang ditemukan dengan skrining,

misalnya pada kasus kanker payudara penderita yang diketahui terpapar penyakit

harus segera dilakukan pengobatan sesuai dengan tipe dan stadium yang dialami

penderita. Seperti pembedahan, radiotherapy, therapy hormone, chemotherapy,

dan pengobatan herceptin.

b. Terseda fasilitas untuk diagnosis dan pengobatan, misalnya pada kasus kanker

payudara di rumah sakittelah tersedia pelayanan untuk mendiagnosis dan

mengobati penyakit kanker payudara.

c. Harus dikenal simtomatik dini dan masa laten.


d. Tidak berbahaya dan dapat diterima masyarakat.

e. Harus ada cara pemeriksaan yang cocok, misalnya pada kasus kanker payudara

deteksi dini yang paling sederhana adalah sadari atau mammografi.

f. Diketahui riwayat alamiah penyakit. pada kanker payudara sejak ditemukan

prakanker sampai terjadinya kanker memerlukan waktu yang lama yaitu lebih dari

satu tahun.

g. Harus ada kebijakan yang dianggap penderita

h. Biaya skrining (termasuk diagnosis dan pengobatan) seimbang dengan

biaya medis keseluruhan.

i. Penemuan kasus merupakan proses yang berlangsung terus menerus, misalnya

pada kasus kanker payudara ini didapatkan data selama satu tahun tiap bulannya.

Masalah yang termasuk dalam kriteria skrining :

1) Harus terdapat kebutuhan yang diidentifikasi.

2) Terdapat uji skrining yang dapat diterima.

3) Strategi intervensi harus tersedia.

4) Tanpa adanya intervensi dini, penyakit dapat berdampak buruk.

5) Menargetkan program skrining.

6) Uji skrining harus memiliki kualitas tertentu.

7) Individu yang berisiko harus memiliki kecenderungan yang kuat agar ikut

berpartisipasi dalam skrining yang ditawarkan (Carr, 2014).

2.2.5 Macam-macam Skrining


Menurut Bustan (2002), macam-macam skrining yang dapat dilakukan dalam

bidang kesehatan adalah:

a. Mass scrining

Merupakan penyaringan yang dilakukan pada seluruh penduduk.

b. Selectif scrining

Penyaringan yang dilakukan terhadap kelompok penduduk tertentu.

c. Single disease scrining

Merupakan penyaringan yang hanya ditunjukan pada suatu jenis penyakit

misalnya penyaringan untuk mengetahui penyakit TBC.

d. Multiphase scrining

Merupakan penyaringan untuk mengetahui kemungkinan adanya beberapa

penyakit pada individu, misalnya penyaringan kesehatan pada pegawai sebelum

bekerja.

e. Chase Finding Screning

Adalah screening yang dilakukan karena  penemuan kasus baru

f. Penyaringan Yang Ditargetkan

Penyaringan yang dilakukan pada kelompok-kelompok yang terkena paparan

yang spesifik.

2.2.6 Validitas

Validitas adalah kemampuan daripada tes penyaringan untuk memisahkan

mereka yang betul-betul menderita terhadap mereka yang betul-betul sehat atau

dengan kata lain besarnya kemungkinan untuk menempatkan setiap individu pada
keadaan yang sebenarnya. Validitas ditentukan dengan melakukan pemeriksaan di

luar tes penyaringan untuk diagnosis pasti, dengan ketentuan bahwa biaya dan waktu

yang digunakan pada setiap pemeriksaan diagnostik lebih besar daripada yang

dibutuhkan pada penyaringan. Ada dua komponen yang menentukan tingkat validitas,

yakni:

a.nilai sensivitas yaitu kemampuan dari suatu tes penyaringan yang secara benar

menempatkan mereka yang betul-betul menderita pada kelompok penderita; dan

b. nilai spesifitas yaitu kemampuan daripada tes tersebut yang secara benar

menempatkan mereka yang betul-betul tidak menderita pada kelompok sehat.

(Noor, 2008).

Menurut (Murti, 1997), validitas mempersoalkan akurasi peneliti dalam

mengamati mengukur, mewawancarai, menginterpretasikan, mencatat, mengolah

informasi yang diperoleh dari subjek penelitian. Validitas dalam pengertian itu

disebut validitas pengukuran (validitas instrumen). Validitas pengukuran mencakup

sejumlah dimensi:

a. Validitas Muka

Validitas muka adalah fakta yang mempersoalkan kemampuan model pertanyaan

dalam suatu instrumen untuk merefleksikan variabel yang hendak diukur, dan

untuk dapat ditafsirkan responden dengan benar.

b. Validitas Isi

Validitas isi adalah fakta yang mempersoalkan kemampuan instrumen meliputi

semua substansi variabel yang hendak diukur.


c. Validitas Kriteria

Validitas kriteria adalah fakta yang mempersoalkan akurasi instrumen yang baru

(murah), relatif dibandingkan dengan instrumen yang ideal (mahal).

d. Validitas Konstruk

Validitas konstruk adalah fakta yang mempersoalkan relevansi pengukuran

instrumen terhadap konteks teori yang berlaku.

Untuk kepentingan validitas diperlukan beberapa perhitungan tertentu menurut

Noor (2008), sebagai berikut:

a. Positif sebenarnya, yaitu mereka yang oleh tes penyaringan dinyatakan menderita

dan yang kemudian didukung oleh diagnosis klinis yang positif.

b. Positif palsu yaitu mereka yang oleh tes penyaringan dinyatakan menderita, tetapi

pada diagnosis klinis dinyatakan sehat/negatif.

c. Negatif sebenarnya yaitu mereka yang pada penyaringan dinyatakan sehat dan

pada diagnosis klinis ternyata betul sehat.

d. Negatif palsu yaitu mereka yang pada tes penyaringan dinyatakan sehat, tetapi

oleh diagnosis klinis ternyata menderita.

Konsep validitas dapat juga dipandang dari sudut kebenaran hasil akhir

(outcome) penelitian. Tanpa mengesampingkan validitas pengukuran (yakni, suatu

kegiatan penting dalam proses riset), validitas dalam riset epidemiologi menekankan

kebenaran penaksiran parameter populasi sasaran berdasarkan statistik sampel.

Tergantung tujuan penelitian, parameter yang dimaksud bisa berwujud: (1) Ukuran
frekuensi pada populasi sasaran; atau (2) Pengaruh paparan faktor penelitian terhadap

kejadian penyakit pada populasi sasaran (Murti, 1997).

2.2.7 Reliabilitas

Azwar (2003) menyatakan bahwa reliabilitas merupakan salah-satu ciri atau

karakter utama instrumen pengukuran yang baik. Sudjana (2004) menyatakan bahwa

reliabilitas alat penilaian adalah ketepatan atau keajegan alat tersebut dalam menilai

apa yang dinilainya.

Reliabilitas meliputi dua aspek (Khotari,1985) :

a. Stabilitas (stability) adalah konsistensi hasil atau pengukuran ke pengukuran

lainnya oleh seorang pengamat, terhadap subyek penelitian yang sama dan dengan

instrumen yang sama. Stabilitas dalam jargon yang lebih populer disebut sebagai

konsistensi intra-pengamat.

b. Kesamaan (equivalence) adalah konsistensi antara hasil pengukuran seorang

pengamat dan hasil pengukuran oleh pengamat lainnya,terhadap subjek penilitian

yang sama dan dengan instrumen yang sama. Kesamaan dalam jargon yang lebih

populer disebut sebagai konsistensi antar-pengamat.

Dalam hal tingkat reliabilitas maka ada dua faktor utama yang perlu diperhatikan,

antara lain:

a. Variasi dari cara penyaringan yang sangat dipengaruhi oleh stabilitas alat tes atau

regensia yang digunakan, serta fluktuasi keadaan dari nilai yang akan diukur

(contohnya: tekanan darah yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan alat

yang digunakan).
b. Kesalahan pengamatan atau perbedaan pengamat yang meliputi adanya nilai yang

berbeda karena dilakukan oleh pengamat yang berbeda, atau adanya kesalahan

walaupun dilakukan oleh pengamat yang sama.

Untuk meningkatkan nilai reliabilitas tersebut diatas maka dapat dilakukan

beberapa usaha tertentu.

a. Pembakuan/standarisasi cara penyaringan

b. Peningkatan dan pemantapan keterampilan pengamat melalui training

c. Pengamatan yang cermat pada setiap nilai hasil pengamatan

d. Menggunakan dua atau lebih penagamat untuk setiap pengamatan

e. Memperbesar klasifikasi (kelompok) kategori yang ada,terutama bila kondisi

penyakit juga bervariasi/bertingkat (Noor, 2008).


BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Skrining didefinisikan sebagai identifikasi dugaan penyakit atau kecacatan

yang belum dikenali dengan menerapkan pengujian, pemeriksaan atau prosedur lain

yang dapat diterapkan dengan cepat. Tes skrining memilah atau memisahkan orang-

orang yang terlihat sehat untuk dikelompokkan menjadi kelompok orang yang

mungkin memiliki penyakit dan kelompok orang yang mungkin sehat. Tes skrining

ini tidak dimaksudkan untuk menjadi upaya diagnosa. Orang dengan temuan positif

menurut hasil skrining atau suspek suatu kasus harus dirujuk ke layanan kesehatan

untuk diagnosis dan menjalani pengobatan yang diperlukan.

3.2 Saran

Saran dari kami yaitu bagi yang mempunyai masalah pada tekanan darah,

segera melakukan pemeriksaan dan dilakukan pengobatan secara teratur, agar tidak

membahayakan diri sendiri dan tetap menjaga pola hidup sehat. Bagi seseorang yang

mempunyai tekanan darah normal, diharapkan untuk terus menjaga agar tidak

menjadi penyakit hipertensi guna untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Ridwan., dkk. 2011. Modul Epidemiologi Dasar. Sumatra Utara:


Universitas Hasanuddin.
Anggraeni dan Subandi. 2014.Pengaruh Terapi Relaksasi Zikir Untuk Menurunkan
Stres PadaPenderita Hipertensi Esensial. Jurnal Intervensi Psikologi:
Fakultas Psikologi Universitas Islam Gadjah Mada Yogyakarta [jurnal.
Diakses pada 14 september 2017]

Aspiani, R.Y. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan


Kardiovaskular Aplikasi NIC & NOC. Jakarta: EGC

Azwar, Saefuddin. 2003. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Budiarto, E dan Dewi Anggraeni. 2002. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta:


Buku Kedokteran EGC.
Bustan, MN. 2002. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Carr, Susan., Unwin, Nigel., Tanja Pless-Mulloli. 2014. Kesehatan Masyarakat dan
Epidemiologi Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Corwin, E. 2009. Buku Saku Patofisiologi.Jakarta: EGC

Fuad,Nuril. 2012. Pengaruh Meditasi Garuda Terhadap Tekanan Darah Dan Gejala
Hipertensi Pada Pasien Hipertensi Usia Pertengahan Di Desa Balung Lor
Kecamatan Balung Kabupaten Jember. Skripsi. Jember: Program Studi Ilmu
Keperawatan

Harlan, Johan. 2008. Epidemiologi Kebidanan. Jakarta: Universitas Gunadarma.

James PA, Ortiz E, et al. 2014. Evidence-Based Guideline For The Management
Of High Blood Pressure In Adults: (Jnc8). JAMA. 2014 Feb 5;311(5):507-20

Joewono. 2003. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University Press

Lemone.P, Burke.K.M, Bauldolf.G 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.


Jakarta: EGC
Morton, R.F., J. Richard H dan Robert J.McCarter. 2008. Epidemiologi dan
Biostatistika: Panduan Studi Edisi 5. Alih bahasa: Aprinangsih. Ed: Fema
Solekhah B.Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Murti, Bhisma. 1997. Prinsip Dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Noor, Nur Nasry. 2008. Epidemiologi. Jakarta : PT Asdi Mahasatya.

Nugroho W, 2000. Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC


Ode, S.L. Asuhan Keperawatan Gerontik Berdasarkan NANDA, NIC, Dan
NOC Dilengkapi Teori Dan Contoh Kasus Askep. Yogyakarta: Nuha Medika

Putri, Nurlaili HK dan Muhammad Atoillah Isfandiari. 2013. Hubungan Empat Pilar
Pengendalian dalam DM Tipe 2 dengan Rerata Kadar Gula Darah. Journal
Berkala Epidemiologi. Vol 1. Nomor 2: 234-243.

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan
Praktik. Jakarta: EGC

Saquib, Nazmus., Juliann Saquib, dan John PA Loannidis. 2015. Does Screening for
Disease Save Live in Asymptomatic Adults? Systematic Review of Meta
analyses and Randomized Trials. Internasional Journal of Epidemiology. Vol
0. Nomor 0.

Strodter And Santosa. 2013. State-of-the-art Treatment of Hypertension.Bremen:


UNI-MED

Sudjana, N. 2004. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja


Rosdakarya.
Yenny Elly Herwana. 2006. Prevalensi Penyakit Kronis dan Kualitas Hidup pada
Lanjut Usia di Jakarta Selatan. Universa Medicina. Vol: 25. Nomor 4.

Anda mungkin juga menyukai