Anda di halaman 1dari 13

KORELASI KADAR TNF-α ANTARA HAPUSAN LESI DENGAN DARAH

PERIFER PASIEN RECURRENT APHTHOUS STOMATITIS (RAS) ?


Ali Yusran*, Erni Marlina* Sumintarti*

* Staf bagian Oral Medicine Universitas Hasanuddin

ABSTRAK

Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) adalah penyakit mukosa rongga mulut


yang paling sering dijumpai pada manusia. Penyakit ini mengenai 20-25 persen
populasi umum. Reaksi imun yang dimediasi oleh mediator sitokin diduga sebagai
penyebab sehingga banyak dijadikan fokus dalam penelitian mengenai petogenesis
autoimun RAS. Tujuannya untuk mengetahui korelasi kadar TNF-α antara hapusan
lesi dengan kadar TNF-α darah perifer pasien RAS. Desain penelitian dengan metode
analisis deskriptif, dengan jumlah sampel minimal menggunakan rumus
Lemekowich. Didapatkan 10 subyek yang memenuhi kriteria dari 32 sampel yang
discreening. Sepuluh sampel diambil dari swab ulser RAS, dan 10 sampel serum dari
subyek yang sama. Sampel kemudian diperiksa dengan ELISA. Hasil penelitian
menunjukkan adanya korelasi TNF-α antara hapusan lesi RAS dengan PBMC pasien
RAS meski tidak signifikan karena level α lebih besar dari 0,05.

Key Word : Imunologi, etiopatogenesis, ulser

Korespondensi : erni marlina alamat Jl. Kandea No. 5 Telp. 0411-319225, Hp.
081355521711, e-mail : e.marlina@yahoo.co.id.

1
CORRELATION BETWEEN TNF-α LEVEL OF LESIONAL SWAB AND
PERIPHERAL BLOOD OF MONOUCLEAR CELL (PBMC) OF
RECURRENT APHTHOUS STOMATITIS (RAS)
Ali Yusran*, Erni Marlina* Sumintarti*

* Staf bagian Oral Medicine Universitas Hasanuddin

ABSTRACT

Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) was a common oral mucosal disease in


human. This disease affect 20-25 percent population. The etiology remain unclear,
but some study focused on pathogenesis of immune reaction mediated by cytokine.
This study aimed to asses TNF-α level correlation between lesional swab and PBM
RAS patients. The study design by descriptive analytic with minimal sample
formulated by Lemekowich. Accepted ten subyeks from 32 screened participant that
participate in this study. Ten sampel from swab of ulser RAS, and the other ten from
serum of the same subyek. Sampel examined by ELISA methode. There is a
correlation between lesional swab and PBMC of TNF-α level RAS patients but this
correlation did not statitistically significant.

Key Word : Imunologi, etiopatogenesis, ulser

Korespondensi : erni marlina alamat Jl. Kandea No. 5 Telp. 0411-319225, Hp.
081355521711, e-mail : e.marlina@yahoo.co.id.

2
PENDAHULUAN
Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) merupakan penyakit mukosa rongga
mulut yang paling sering dijumpai pada manusia. Penyakit ini mengenai 20-25 persen
populasi umum. Prevalensi tertinggi dijumpai pada pelajar Amerika Utara khususnya
pada masa berlangsungnya ujian, dan pada kelompok sosio-ekonomi menengah ke
atas.1,2
Banyak penelitian mengenai RAS difokuskan pada abnormalitas autoimun.
Penelitian-penelitian ini menelaah reaksi imun yang dimediasi oleh mediator yang
disebut sitokin yang merupakan fokus utama dalam penelitian mengenai patogenesis
autoimun.
Dari banyaknya sitokin yang diduga kuat berperanan dalam etioimmunologi
RAS, sitokin TNF-α dianggap berperanan penting pada patogenesis RAS sehingga
dijadikan sebagai target terapi RAS. Hal ini terbukti dengan penggunaan thalidomide
yang berfungsi mereduksi aktifitas TNF-α dengan mengakselerasi RNA messenger,
dan penggunaan pentoxifyline yang menghambat produksi TNF-α. Kedua agen ini
diketahui efektif dalam terapi RAS.3,4 Beberapa penelitian yang menunjukkan
terjadinya peningkatan TNF-α dilakukan oleh Buno dan rekannya (1998) yang
ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan lokal ekspresi gen Th1 dan produksi
sitokin sistemik IL-2, TNF-α, dan IL-6 pada sel mononuklear darah perifer pada
pasien RAS. Juga terjadinya penurunan IL-10 mRNA pada pasien RAS yang
diperkirakan sebagai akibat dari kegagalan sistem imun dalam menekan reaksi
inflamasi mukosa rongga mulut.5 Penelitian lain dilakukan oleh Lin (2005) yang
meneliti sitokin IL-2, IL-4, dan GM-CSF pasien RAS dengan menggunakan serum
pasien dibanding dengan kontrol dan hasilnya adalah terjadinya peningkatan pada
sitokin tersebut dibanding dengan kontrol. Demikian juga penelitian yang dilakukan
oleh T.Yamamoto (1994) mengenai level serum sitokin IL-2, IL-4,IL-6, TNF-α, serta
GM-CSF yang semuanya meningkat, Penelitian tersebut dengan menggunakan darah
perifer pasien RAS sehingga diasumsikan tidak cukup mewakili produksi dan
distribusi sitokin yang berperanan seccara lokal oleh karena ada kemungkinan sitokin

3
yang dijumpai diproduksi dan didistribusi dari infeksi atau dari stimulus lain dan
bukan spesifik akibat dari RAS. Pemeriksaan ini juga invasif meski merupakan unit
analisis yang stabil.7
Penelitian lain mengenai peningkatan TNF-α, dilakukan oleh Natah (2001)
dengan menggunakan biopsi lesi RAS. Hasilnya adalah terjadi peningkatan TNF-α
dibanding kontrol. Sedang pada penelitian lain, Natah (2000) menghitung sitokin /
TCR pada pasien RAS dengan melakukan biopsi eksisional pada ulser RAS yang
dibandingkan dengan daerah normal disisi yang berlawanan dengan daerah ulser.
Penelitian-penelitian ini meski cukup menggambarkan produksi dan distribusi sitokin
lokal, namun juga invasif bagi pasien.9
Gerber dan rekannya (2003) yang meneliti gene polymorphisme IL-1β,
dengan menggunakan hapusan vestibulum vaginal atau dari mukosa bukal untuk
meneliti peranan sitokin tersebut pada penyakit vulvar vestibulitis syndrome.10
Demikian pula yang dilakukan Guimaraes dengan meneliti gene polymorphisme IL-
1β, IL-6, IL-10, dan TNF-α dengan menggunakan hapusan lesi RAS. Gen
polymorphisme adalah genotipe sel yang membawa pola warisan sebelumnya. Gen
polymorphisme ini berkaitan dengan genetik khususnya DNA dan RNA suatu alel.
Hasilnya adalah peningkatan signifikan IL-1β dan TNF-α heterozigot pada kelompok
RAS.11
Marlina 2010 telah melakukan penghitungan kadar TNF-α dan IL-10 melalui
pemeriksaan hapusan lesi dan hapusan mukosa normal pasien RAS dengan tujuan
untuk memudahkan penghitungan kadar TNF-α dan IL-10 untuk dijadikan target
diagnosis atau target terapi dimasa yang akan dating. Hasilnya adalah teknik hapusan
dapat digunakan untuk menghitung kadar sitokin tersebut. Namun sayangnya
penelitian ini belum didukung dengan kadar TNF-α dari pemeriksaan darah perifer
pasien RAS, sedang serum merupakan specimen yang relative stabil dan telah banyak
diteliti.12

4
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kadar TNF-α dari hapusan
lesi RAS berkorelasi dengan kadar TNF-α dari darah perifer pasien RAS.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian observational analitik dan dilakukan di klinik
Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin, dengan
pemeriksaan darah lengkap dilakukan di Balai Besar Kesehatan Makassar dan
penghitungan sitokin dilakukan di Tropical Disease Centre Universitas Airlangga
Surabaya. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2010 sampai dengan bulan
Desember 2010. Populasi penelitian adalah pasien dengan RAS yang datang ke
bagian Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin. Kriteria
inklusi subyek penelitian adalah a) pasien laki-laki berusia antara 18 – 45 tahun, b)
Riwayat ulser kambuhan pada mukosa rongga mulut non-keratinisasi yang
merupakan gambaran klinis RAS c) Tidak ada riwayat atau manfestasi penyakit
sistemik atau bentuk immunodefisiensi lain yang diketahui dari hasil pemeriksaan
darah lengkap, d) Tidak ada riwayat penggunaan obat yang dapat mengganggu
parameter penelitian. Pada kriteria inklusi ini juga dimasukkan kriteria lesi RAS yaitu
a) Kekambuhan RAS paling kurang satu kali sebulan, b) Lesi RAS hari ke-3 atau ke-
4, c) Diameter ulser sama dengan atau lebih dari 3 mm, d)Ulser terletak didaerah
yang memiliki daerah berlawanan normal, simetris.
Sampel diambil secara menyeluruh untuk semua pasien yang menenuhi
kriteria inklusi dan kriteria lesi RAS, dan bersedia ikut dalam penelitian. Dengan
jumlah sampel minimal ditentukan dengan rumus Lemekowich yaitu 7. Prosedur
penelitian secara ringkas adalah sebagai berikut : Seleksi pasien sesuai kriteria
sampel, Pasien yang telah memenuhi kriteria sampel, diberikan penjelasan secara
lisan dan tertulis mengenai tujuan dan metode cara kerja penelitian yang akan
dilakukan. Pasien yang bersedia untuk menjadi sampel diminta mengisi dan
menandatangani informed consent secara sukarela, Pengambilan hapusan lesi RAS

5
oleh peneliti dengan cara lesi dibersihkan dengan kapas steril, diisolasi dan diulasi
cotton steril dengan cara memutar ujung cotton steril hingga semua bagian cotton
steril mengenai lesi RAS, pemeriksaan darah lengkap sekaligus sentrifugasi PBMC,
deteksi sitokin menurut petunjuk pabrik menggunakan ELISA Kit AssayPro Cat No.
ET2010-1.
Analisis data dilakukan dengan uji Test One Sample Komlogorof Semirnov.
Untuk mengetahui korelasi kadar sitokin antara hapusan lesi dan PBMC pasien RAS
yang terdeteksi digunakan uji korelasi pearson’s dengan taraf kemaknaan p < 0,05.
Semua uji dihitung dengan menggunakan SPSS 16.0 for windows.
HASIL
Tabel 1. Kadar TNF- pada hapusan ulser Recurrent Aphthous Stomatitis
(RAS) dan pada PBMC pasien RAS
Subyek TNF- hapusan ulser TNF- PBMC
RAS (pg/ml) pasien RAS (pg/ml) Standar :
* 0 = 0,034 = 0 1
%=0 18,12 59,00
2 10,01 54,00
3 13,61 52,12
4 3,95 69,00
5 44,33 18,00
6 9,09 12,00
7 36,79 15,70
8 3,09 41,20
9 7,30 18,00
10 14,77 26,20
Mean 16,10 (SD 13,81) 36,52 (SD 20,97)
* 1 = 0,056 = 3,4% = 15,6
* 2 = 0,088 = 5,3% = 31,3
* 3 = 0,141 = 8,5% = 62,5
* 4 = 0,955 = 34,6% = 250
* 5 =1,661 = 100,0% = 1.000
* TNF-α ELISA Kit, AssayPro Cat No. ET2010-1)
* ITD Universitas Airlangga, 24 November 2010

Sebelum dilakukan uji dan analisis korelasi pada tabel 1 dilakukan uji

normalitas pada masing-masing kelompok dengan menggunakan uji Kolmogorov

Smirnov, hasilnya seluruh kelompok penelitian mempunyai nilai lebih besar dari 0,05

6
( p > 0,05 dimana p = 0,601 untuk TNF- hapusan ulser RAS dan p = 0,763 untuk

TNF- PBMC pasien RAS) yang berarti data pada seluruh kelompok penelitian

berdistribusi normal, dan dilanjutkan dengan menggunakan uji korelasi Pearson’s

untuk melihat ada tidaknya hubungan antar kedua variable tersebut.

Tabel 2. Nilai signifikansi hasil uji Kolmogorov Smirnov

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

TNF-a hapusan TNF-a serum

N 10 10

Normal Parametersa Mean 16.1060 36.5220

Std. Deviation 13.81468 20.97167

Most Extreme Differences Absolute .242 .211

Positive .242 .211

Negative -.173 -.171

Kolmogorov-Smirnov Z .765 .669

Asymp. Sig. (2-tailed) .601 .763

a. Test distribution is Normal.


Tabel 3. Korelasi Linear Pearson antara TNF- hapusan Ulser, dan TNF-
PBMC pasien RAS

Correlations

TNF-a hapusan TNF-a serum

TNF-a hapusan Pearson Correlation 1 -.445

Sig. (2-tailed) .197

N 10 10

TNF-a serum Pearson Correlation -.445 1

Sig. (2-tailed) .197

N 10 10

7
* Korelasi signifikan pada level 0,05 (2-tailed)
** Korelasi signifikan pada level 0,01 (2-tailed)
Pada table 3, setelah dilakukan uji Korelasi Pearson untuk melihat korelasi

antara kadar TNF- hapusan lesi ulser dengan PBMC pasien RAS didapatkan

korelasi yang tidak signifikan dengan level 0,05. Terdapat hubungan namun tidak

terlalu signifikan dari nilai -0,445.

PEMBAHASAN

Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) merupakan penyakit mukosa rongga

mulut yang paling sering dijumpai pada manusia. Penyakit ini mengenai 20-25 persen

populasi umum. Prevalensi tertinggi dijumpai pada pelajar Amerika Utara khususnya

pada masa berlangsungnya ujian, dan pada kelompok sosio-ekonomi menengah ke

atas.1,2

Sitokin yang diduga berperanan pada etiologi RAS merupakan biomarker

imunologis yang penting dan dapat dilihat dari seluruh cairan yang berasal dari

limfenodus. Sitokin khususnya TNF-α dihasilkan oleh berbagai tipe sel, diantaranya

TNF-α yang dihasilkan oleh limfosit dan makrofage. Sel-sel penghasil sitokin

tersebut dapat dijumpai pada lesi RAS dimana daerah ulserasi merupakan nekrosis

jaringan superfisial dengan eksudat fibrinopurulent yang terdiri dari gumpalan fibrin,

sejumlah sel darah merah yang membentuk hemorraghic foci, netrofil dan debris

seluler yang menutupi daerah nekrotik. Epitelium diinfiltrasi dengan sejumlah

limfosit intraepitel dan beberapa netrofil. Netrofil mendominasi daerah ulserasi

meskipun daerah disekitarnya tetap bersifat mononuklear.13-16

8
Umumnya sitokin diproduksi dengan cara yang transient/sementara, hal ini

karena fungsinya untuk amplitude dan durasi respon inflamasi-imun sehingga

regulasinya sangat berkaitan dengan adanya benda asing atau antigen lain. Tidak

seperti hormon, kebanyakan sitokin beraksi secara lokal dengan cara parakrin ataupun

autokrin. Karena itu sitokin yang berasal dari limfosit umumnya tidak dijumpai dalam

sirkulasi, namun sel-sel nonlimfoid dapat terpicu oleh produk bakteri atau antigen

lain sehingga akan melepaskan sitokin yang dapat terdeteksi dalam darah. Sitokin

yang distimulasi oleh kondisi lokal ini khususnya pada pasien RAS dapat terdeteksi

dalam darah kemungkinan karena TNF-α yang dilepaskan akibat simulasi dari

Cytotoksik T Limfosit (CTL) akan meningkatkan eskpresi sel endotel sehingga

sitokin kemotaksis (chemokine) menyebabkan migrasi sel-sel inflamasi kelokasi

inflamasi dan sebaliknya menyebabkan sitokin yang mensinyal sel-sel inflamasi

masuk kedalam darah.17,18 Beberapa sitokin lain misalnya IL-1 dan TNF-α juga

dijumpai dalam bentuk membran yang dapat mengeluarkan efek stimulatorinya tanpa

menjadi soluble.18

Pengukuran sitokin umumnya menggunakan teknik vena puncture untuk

pengambilan spesimen darah, atau teknik biopsi baik berupa biosi Fine Needle

Aspiration (FNAB) maupun dengan biopsi eksisional untuk selanjutnya diuji dengan

berbagai macam metode.9,19 Perkembangan pengetahuan dan teknologi semakin

mendukung peningkatan uji sitokin baik untuk keperluan penelitian maupun untuk

aplikasi klinis.20,21 Salah satunya adalah dengan pemeriksaan sitokin yang

menggunakan teknik hapusan.20 Teknik hapusan adalah sebuah teknik yang

9
menggunakan cotton strip sterile atau menggunakan brush yang awalnya banyak

digunakan untuk pemeriksaan mikroorganisme terutama pada jaringan mukosa.

Teknik ini dilakukan dengan cara membuat hapusan (stroke) pada permukaan

mukosa, 3-5 kali untuk mengambil mikroorganisme atau eksfoliasi sel pada daerah

tersebut.22 Marlina (2010) telah melakukan penelitian hitung kadar sitokin TNF-α

dan IL-10 pada hapusan ulser RAS, hasilnya adalah terjadi peningkatan TNF-α dan

penurunan IL-10 pada hapusan tersebut.12 Sayangnya penelitian ini tidak dilakukan

untuk mengetahui korelasinya dengan PBMC pasien RAS yang banyak digunakan

sebagai standar penelitian lain.3,4

Teknik hapusan ini banyak digunakan untuk mengamati polymorphisme gen

sitokin pada jaringan mukosa baik pada mukosa vagina, mukosa usus maupun pada

mukosa rongga mulut.10,11 Teknik ini juga digunakan untuk analisis imunoblot dan

optica densitometry untuk mengetahui perubahan ekspresi biomarker cyclin D1 dan

sebagai teknik pemeriksaan pengganti pemeriksaan darah bagi yang kontraindikasi

dan menolak pemeriksaan sitokin gen polymorphisme untuk penyakit Hodgkin

Limfoma.23 Selain itu, teknik ini digunakan untuk mengumpulkan sel-sel servikal dan

mucus cervicovaginal,20 untuk pemeriksaan sitokin uretral,24 cairan vagina,25 dan

teknik ini telah diuji dengan membandingkan konsentrasi sitokin IL-6 antara aplikator

hapusan yang dilakukan oleh ahlinya dan yang dilakukan sendiri oleh subyek dengan

hasil korelasi liniear dan dengan kesimpulan bahwa hapusan baik yang dilakukan

oleh ahlinya maupun yang dilakukan sendiri oleh subyek dapat diterima.26,27

10
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi TNF-α antara

hapusan ulser RAS dengan PBMC pasien RAS, meski korelasi ini tidak signifikan.

Semua uji TNF-α berdistribusi normal. Nilai koefisien korelasi bernilai antara -1

sampai 1. Semakin mendekati nilai -1 atau nilai 1 maka korelasi akan semakin kuat

dan semakin mendekati nilai 0 korelasi akan semakin lemah.

Korelasi ini dijelaskan dengan kemungkinan adanya hipersensitifitas imun

yang menyebabkan reaksi berlebihan terhadap organisme mukosa rongga mulut

dan/atau oleh self-antigen yang belum diketahui sumbernya sehingga menyebabkan

munculnya manifestasi klinis RAS. Tidak signifikannya nilai korelasi ini

kemungkinan disebabkan oleh banyak faktor diantaranya, selain jumlah sampel yang

kecil, juga disebabkan karena proses stabilisasi lokal cenderung lebih cepat terjadi

dibanding proses stabilisasi sistemik. Selain itu, penelitian lain menunjukkan adanya

kecenderungan peningkatan TNF-α pada subyek RAS meskipun subyek tersebut

tidak sedang mengalami fase akut RAS.

Terdapat korelasi antara TNF-α hapusan ulser RAS dan PBMC pasien RAS.

ACKNOWLEDGEMENT
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Rektor Unhas, dan Dekan FKG
Unhas beserta staf yang telah menyelenggarakan program hibah ini. Juga kepada para
reviewer yang memberi saran dan masukan, serta kepada staf bagian oral medicine
yang ikut mendukung keberhasilan penelitian ini.

11
DAFTAR PUSTAKA
1. Field A, Longman L. 2003., Tyldesley’s oral medicine., 5th ed., Oxford
university press., p.3-9.
2. Greenberg SM., 2003., Ulserative, vesicular and bullous lesions., in Lynch
A.M., Brightman J.Vernon., Greenberg S. M., Greenberg : Ilmu Penyakit
Mulut., 8th ed. Bina Rupa Aksara.,Jakarta., P. 52- 54.
3. Natah SS, Konttinen YT, Enattah NS, et al. 2004., Recurrent aphthous
ulcers today : a review of the growing knowledge. Int J Oral Maxillofac
Surg; 33 : 221-34.
4. Scully C. 2003. The Diagnosis and Management of Reccurent Aphthous
Stomatitis. JADA, February Vol.134:200-7.
5. Buno IJ, Huff JC, Weston WL, Cook DT, Brice SL. 1998., Elevated levels
of interferon gamma, tumor necrosis alpha, interleukin 2, 4 and 5, but not
interleukin 10, are present in recurrent aphthous stomatitis. Arch dermatol;
134 : 827-31
6. Lin SS, Chou YM, Ho CC. 2005., Study of the viral infection and
cytokines associated with recurrent aphthous ulceration. Micro and Inf; 7:
635-44.
7. T. Yamamoto K, K. Yoneda, E. Ueta, T.Osaki, 1994, Serum cytokines,
interleukin-2 receptors, and soluble intercellular adhesion molecule-1 in oral
disorders, Oral Surg. Oral Med. Oral Pathol. Oral Radiol. Endodon.78 ; 737-
35
8. Natah SS., 2001., Recurrent aphthous ulceration : imuno-pathological
aspects., academic dissertation, University of Helsinki. p.30-60
9. Natah SS, Immonen HR, Hietanen J, Patinen P, Malmstrom M, Savilahti
E,et al., 2000., Increased density of lymphocytes bearing γ/ T-ce;p;
receptors in recurrent aphthous ulceration (RAU)., Int J Oral Maxillofac
Surg. 29 : 375-380.
10. Gerber S, Bongiovanni AM, Ledger WJ, Witkin SS, 2003, Interleukin-1β
gene polymorphism in women with vulvar vestibulitis syndrome. Eur Jour
Obst Gine Repro Bio 107 : 74-77
11. Guimaraes SLA, Correia-Silva FDJ, et al. 2007., Investigation of functional
gene polymorphisms IL-1β, IL-6, IL-10, and TNF-α in individuals with
recurrent aphthous stomatitis. Arch of Oral Bio; 52 : 268-72.
12. Marlina, E., 2010. Teknik hapusan mukosa mulut ada ulser RAS minor
melaui perbedaan kadar TNF-α dan IL-10. Tesis Spesialis UNAIR.
13. Lehner T. 1969. Pathology of recurrent oral ulceration and oral ulceration in
Behçet’s syndrome: light,electron and fluorescence microscopy. J Pathol 97:
481-93.
14. Mills MP, Mackler BF, Nelms DC, Peavy DL. 1980., Quantitative
distribution of inflammatory cells in recurrent aphthous stomatitis. J Dent
Res 59: 562-6.

12
15. Schroeder HE, Müller-Glauser W, Sallay K. 1983., Stereologic analysis of
leukocyte infiltration in oral ulcers of developing Mikulicz aphthae. Oral
Surg Oral Med Oral Pathol 56: 629-40.
16. Hayrinen-Immonen R, 1992., Immune-activation in recurrent oral ulcer
ROU. Scand J Dent Res: 100 : 222-7.
17. Pinchuk G., 2002., Theory and problems of immunology.,McGraw-Hill.,
New York., p.158-81.
18. Roitt IM, Delves PJ, Roitt’s essential immunology.10 th ed. Blackwell
publishing, Massachusetts. P.177-89.
19. Lewkowicz N, Lewkowicz P, Banasik M, Kurnatowska A, Tchorzewski.,
2005., Predominance of Type 1 cytokines and decreased number of
CD4+CD25+high T regulatory cells in peripheral blood of patients with
recurrent aphthous ulcerations : 99 ; 57-62.
20. Hill JA., 2000., Cytokines in human reproduction., Wiley-Liss.,
Kanada.p.80-81
21. O’Gorman RGM, Donnenberg DA., eds. 2008., Handbook of Human
Immunology., 2nd ed., CRC Press., p.495-525.
22. Spafford MF et al., 2000., Detection of head and neck squamous cell
carcinoma among exfoliated oral mucosal cells by microsatellite
analysis.,available at compuserve.com November.
23. Dragnev KH, Petty JW, Shah S, Biddle a, Desai NB, Memoli V., 2005.,
Bexarotene and erlotinib for arodigestive tract cancer., J Clin
Oncol;23;p.8757-64.
24. Pate SM, Hedge SP, Sibley DA, Russel MW, Hook III EW, Mestecky J.,
2001., urethral cytokine and immune responses in Chlamydia trachomatis-
infected males., inf n immune., vol nov 2001. p.7178-7181.
25. Agnew JK et al., 2008., effect of semen on vaginal fluid cytokines and
secretory leukocyte protease inhibitor., Inf dis in obs and gyne., vol 2008, 1-
4.
26. Faro CJ, Holler LM, Bishop K., 2006., Comparison of vaginal cytokine
collection methods., am J Reprod Immunol, May;55(5):315-20.
27. Savage WN, Boras VV. 2007., Recurrent aphthous ulcerative disease :
presentation and management. Aus Dent J; 52(1): 10-15.

13

Anda mungkin juga menyukai

  • Karies Gigi
    Karies Gigi
    Dokumen3 halaman
    Karies Gigi
    Lia Martina
    Belum ada peringkat
  • Sempro
    Sempro
    Dokumen32 halaman
    Sempro
    Lia Martina
    Belum ada peringkat
  • Dapus
    Dapus
    Dokumen3 halaman
    Dapus
    Lia Martina
    Belum ada peringkat
  • Bab 4
    Bab 4
    Dokumen13 halaman
    Bab 4
    Lia Martina
    Belum ada peringkat
  • Evaluasi
    Evaluasi
    Dokumen7 halaman
    Evaluasi
    Lia Martina
    Belum ada peringkat
  • Stomatitis
    Stomatitis
    Dokumen12 halaman
    Stomatitis
    Rudi Ilhamsyah
    Belum ada peringkat
  • Resin Komposit
    Resin Komposit
    Dokumen13 halaman
    Resin Komposit
    Lia Martina
    Belum ada peringkat
  • Clinical Technique
    Clinical Technique
    Dokumen42 halaman
    Clinical Technique
    Lia Martina
    Belum ada peringkat