Anda di halaman 1dari 23

53

BAB III

BENTUK PENJABARAN GCG DALAM PENGADAAN BARANG DAN

JASA PADA PLN

3.1 Pengaturan dan Penjabaran GCG dalam Peraturan di Indonesia

3.1.1 Penjabaran GCG dalam Undang – Undang No.19 Tahun 2003 tentang

BUMN

Dalam Undang – Undang BUMN, konsep GCG terdapat dalam poin IV

dan poin VI dalam penjelasan atas Undang – Undang tersebut. Kedua poin

tersebut menyebutkan bahwa 1:

a. Untuk dapat mengoptimalkan perannya dan mampu mempertahankan

keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka

dan kompetitif, BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan

profesionalisme antara lain melalui pembenahan pengurusan dan

pengawasannya. Pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan

sesuai dengan prinsip – prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG).

b. Undang – undang tersebut dimaksudkan untuk memenuhi visi

pengembangan BUMN di masa yang akan dating dan meletakkan dasar –

dasar atau prinsip – prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG)

Penerapan prinsip – prinsip tersebut sangat penting dalam melakukan

pengelolaan dan pengawasan BUMN. Berdasarkan pengalaman,

1
Muh.Arief Effendi, Loc.cit h. 62-63
54

keterpurukan ekonomi di berbagai Negara termasuk Indonesia, antara lain

disebabkan perusahaan – perusahaan di Negara tersebut tidak menerapkan

prinsip – prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) secara konsisten.

c. Undang – Undang BUMN dirancang untuk menciptakan system

pengelolaandan pengawasan berlandaskan pada prinsip efisiensi dan

produktivitas guna meningkatkan kinerja dan nilai (value) BUMN serta

menghindarkan BUMN dari tindakan – tindakan pengeksploitasian di luar

asas tata kelola perusahaan yang baik (GCG).

d. Undang – undang ini juga dirancang untuk menata dan mempertegas peran

lembaga dan posisi wakil pemerintah sebagai pemegang saham atau

pemilik modal BUMN, serta mempertegas dan memperjelas hubungan

BUMN selaku operator usaha dengan lembaga pemerintah sebagai

regulator.

Selain itu dalam UU No.19 tahun 2003 ini dapat dilihat pada pasal 5 ayat 3

yaitu, dalam melaksanakan tugasnya, anggota Direksi harus mematuhi anggaran

dasar BUMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan

prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas,

pertanggungjawaban, serta kewajaran.

Pada pasal 6 ayat 3 menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya,

Komisaris dan Dewan Pengawas harus mematuhi Anggaran Dasar BUMN dan

ketentuan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-


55

prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas,

pertanggungjawaban, serta kewajaran.

Dalam kedua pasal tersebut di atas mengandung prinsip – prinsip dari

GCG yaitu, transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian dan

kewajaran. Pada penjelasan pasal 5 ayat 3 dan pasal 6 ayat 3 memuat bahwa

Direksi diberikan tugas melakukan pengurusan tunduk pada semua peraturan yang

berlaku terhadap BUMN dan tetap berpegang pada penerapan prinsip - prinsip

GCG, yaitu :

a. transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan

keputusan dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan

relevan mengenai perusahaan;

b. kemandirian, yaitu keadaan di mana perusahaan dikelola secara

profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak

manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan

prinsip-prinsip korporasi yang sehat;

c. akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban

Organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif;

d. pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan

terhadap peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi

yang sehat;

e. kewajaran, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap

peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.


56

Sedangkan untuk penjelasan pasal 6 ayat 3 sama dengan pasal 5 ayat 3

maka Direksi dalam suatu BUMN harus memegang teguh prinsip dari GCG dan

mengimplementasikannya. Dengan demikian memperhatikan pasal 5 ayat 3,

dalam kata lain pengadaanbarang dan jasa BUMN harus dilakukan dengan

memperhatikan asas – asas fiduciary duty, yaitu pengurusan BUMN harus

dilakukan oleh Direksi BUMN dengan itikad baik dan penuh dengan tanggung

jawab2.

3.1.2 Penjabaran GCG dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas (UUPT)

Pada 16 Agustus 2007 Undang - undang tentang Perseroan Terbatas

disahkan. Undang – undang No.40 tahun 2007 ini menggantikan Undang –

Undang PT sebelumnya yang telah dua belas tahun berlaku. Undang – undang ini

bertujuan mendukung penerapan GCG yang mana prinsip GCG mengacu pada

UU PT dan harus mencerminkan hal – hal sebagai berikut :

a. Unsur Transparency

Dalam suatu perseroan penerapan unsur transparency / keterbukaan ini tertulis

dalam beberapa pasal, yaitu :

1. Pasal 44 ayat 2; “Direksi wajib memberitahukan keputusan sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 (yaitu tentang pengurangan modal) kepada semua

kreditor dengan mengumumkan dalam 1 (satu) atau lebih surat kabar

dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal

2
Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia,2009, Organ Perseroan Terbatas, Sinar
Grafika, Jakarta, hal.40
57

keputusan RUPS.” Ini berarti suatu perusahaan hanya melakukan

transparansi sejauh yang diwajibkan oleh Undang-Undang saja.

2. Pasal 50 ayat 2; Selain daftar pemegang saham sebagaimana dimaksud

pada ayat 1, Direksi perseroan wajib mengadakan dan menyimpan daftar

khusus yang memuat keterangan mengenai saham anggota direksi dan

dewan komisaris beserta keluarganya dalam perseroan dan/atau pada

perseroan lain serta tanggal saham itu diperoleh.”

3. Pasal 101 ayat 1; Anggota direksi wajib melaporkan kepada perseroan

mengenai saham yang dimiliki anggota direksi yang bersangkutan

dan/atau keluarganya dalam perseroan dan perseroan lain untuk

selanjutnya dicatat dalam daftar khusus.

4. Pasal 116 poin b ; Dewan komisaris wajib melaporkan kepada perseroan

mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau keluarganya pada perseroan

tersebut dan perseroan lain.

5. Pasal 50 ayat 2, 101 ayat 1 dan 116 poin b memberikan pengertian suatu

perusahaan secara aktif melakukan keterbukaan (transparency) dengan

menerapkan prinsip manajemen secara terbuka dengan memberikan secara

akurat, tepat waktu dan sasaran terhadap sebanyak mungkin adanya akses

kepada pihak pemegang saham maupun stakeholders lainnya dalam

perusahaan tersebut.

b. Unsur Accountability (Akuntabilitas)

1. Pasal 108 ayat 1, Dewan komisaris melakukan pengawasan atas

kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik


58

mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberi nasehat

kepada direksi. Hal ini mencerminkan adanya kejelasan fungsi, struktur

dari organ perusahaan yang mana direksi menjalankan operasional

perusahaan dan sisi lain dewan komisaris melakukan pengawasan.

c. Unsur Responsibility

1. Pasal 97 ayat 4, Dalam hal direksi terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau

lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat 3 berlaku secara

tanggung renteng bagi setiap anggota direksi

2. Pasal 114 ayat 4, Dalam hal dewan komisaris terdiri dari 2 orang anggota

dewan komisaris atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada

pasal 3 berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota dewan

komisaris

1. Pasal 152 ayat 1, Likuidator bertanggung jawab kepada RUPS atau

pengadilan yang mengangkatnya atas likuidasi perseroan yang dilakukan

Pada pasal – pasal yang disebutkan di atas memberikan pengertian bahwa

perusahaan harus berpegang teguh pada hukum yang berlaku dan

mempertanggungjawabkannya pada para stakeholder.

d. Unsur Fairness

1. Pasal 53 ayat 2, “ Setiap saham dalam klasifikasi yang sama memberikan

kepada pemegangnya hak yang sama. Dalam pasal ini mencerminkan

bahwa setiap keputusan dan kepentingan diambil untuk kepentingan

bersama karena para stakeholder harus mendapatkan perlakuan yang sama.


59

3.1.3 Pengaturan GCG dalam Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik

Negara Nomor : PER-01 /MBU/2011

Terbitnya Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-

01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik (GCG) pada

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menggantikan Keputusan Menteri BUMN

Nomor:KEP-117/M-MBU/2002 tentang penerapan praktek GCG pada Badan

Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan wujud penerapan tata kelola

perusahaan yang berusaha untuk terus ditingkatkan seiring dengan pembaruan

undang – undang di bidang perseroan terbatas. Memperhatikan perkembangan

usaha yang semakin dinamis ada beberapa perubahan materi ataupun

penyempurnaan materi dalam Peraturan Menteri ini.

3.1.4 Pedoman Umum GCG di Indonesia oleh KNKG

Pedoman Umum GCG di Indonesia dikeluarkan tahun 2006 oleh Komite

Nasional Kebijakan Governance (KNKG) terbit karena adanya dorongan etika.

Pedoman ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat melainkan rujukan

bagi dunia usaha untuk dapat menerapkan GCG serta dapat digunakan sebagai

sebuah acuan bagi sebuah perusahaan untuk melaksanakan GCG dalam rangka3:

a. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan

yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,

independensi serta kewajaran dan kesetaraan.

3
Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006, Pedoman Umum Good Corporate
Governance Indonesia, Jakarta, h.2
60

b. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ

perusahaan, yaitu Dewan Komisaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang

Saham.

c. Mendorong pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota

Direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya

dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan

perundang-undangan.

d. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan

terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar

perusahaan.

e. Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap

memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.

f. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun

internasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat

mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang

berkesinambungan.

Dalam Pedoman umum KNKG ini terdiri dari :

1. Penciptaan situasi kondusif untuk melaksanakan GCG

Pada bagian ini memaparkan bahwa adanya dukungan dari tiga pilar yang

saling berhubungan dalam penerapan GCG, yaitu negara dan perangkatnya

sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai

pengguna produk dan jasa dunia usaha.

2. Azas GCG
61

Pada bagian ini memamparkan bahwa setiap perusahaan wajib

memastikan bahwa asas GCG telah diterapkan dalam setiap aspek bisnis dan

pada setiap jajaran perusahaan. Asas – asas GCG yang terdiri dari

transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kewajaran dan

kesetaraan sangant diperlukan dalam mencapai kesinambungan usaha

perusahaan dengan tetap memperhatikan para pemilik kepentingan

(stakeholders)

3. Etika bisnis dan pedoman perilaku.

Dalam bagian ini memaparkan bahwa adanya etika bisnis sebagai acuan

perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha dalam berinteraksi dengan

pemangku kepentingan serta adanya pedoman perilaku yang dapat menjadi

acuan bagi organ perusahaan dan semua karyawan dalam menerapkan nilai-

nilai (values) sehingga menjadi bagian dari budaya perusahaan.

4. Organ perusahaan

Dalam bagian ini menjelaskan bahwa organ perusahaan (RUPS, Dewan

Komisaris dan Direksi) harus menjalankan fungsinya sesuai dengan ketentuan

yang berlaku atas dasar prinsip bahwa masing-masing organ mempunyai

independensi dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya

hanya untuk kepentingan perusahaan.

5. Pemegang Saham

Dalam bagian ini menjelaskan adanya prinsip dasar bagi pemegang saham

tentang hak dan kewajiban pemegang saham serta tanggung jawab perusahaan

terhadap hak dan tanggung jawab pemegang saham.


62

6. Pemangku kepentingan

Dalam bagian ini memaparkan bahwa pemangku kepentingan (selain

pemegang saham) adalah mereka yang memiliki kepentingan terhadap

perusahaan dan mereka yang terpengaruh secara langsung oleh keputusan

strategis dan operasional perusahaan, yang antara lain terdiri dari karyawan,

mitra bisnis, dan masyarakat terutama sekitar tempat usaha perusahaan.

Adanya hubungan yang sesuai dengan asas kewajaran dan kesetaraan

(fairness) antara perusahaan dengan pemangku kepentingan berdasarkan

ketentuan yang berlaku bagi masing-masing pihak.

7. Pernyataan tentang pedoman penerapan GCG

Setiap perusahaan harus membuat pernyataan tentang kesesuaian

penerapan GCG dengan pedoman GCG ini dalam laporan tahunannya.

Pernyataan tersebut harus disertai laporan tentang struktur dan mekanisme

kerja organ perusahaan serta informasi penting lain yang berkaitan dengan

penerapan GCG. Dengan demikian, pemegang saham dan pemangku

kepentingan lainnya, termasuk regulator, dapat menilai sejauh mana Pedoman

GCG pada perusahaan tersebut telah dilaksanakan.

8. Pedoman praktis penerapan GCG

Dalam bagian ini menyatakan bahwa perusahaan wajib membuat pedoman

praktis agar dapat dibuat sebagai acuan dalam pelaksanaan GCG.

3.2 Penjabaran GCG dalam Pengadaan Barang dan Jasa

Dalam peraturan pengadaan Barang dan Jasa, beberapa prinsip – prinsip

GCG juga menjadi prinsip dari pelaksanaan pengadaan barang/ jasa pemerintah.
63

Pada pasal 5 Peraturan Presiden Indonesia Nomor 54 Tahun 2010, jo. Perpres No

70 Tahun 2012, jo Perpres No.172 tahun 2014 prinsip pengadaan barang dan jasa

yaitu:

a. Efisien, berarti Pengadaan barang/ jasa diusahakan dengan menggunakan

dana dan daya yang minimum untuk mencapai suatu kualitas dan sasaran

dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah

ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang

maksimum.

b. Efektif, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan

sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar –

besarnya.

c. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai Pengadaan

Barang/Jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh Penyedia

barang/Jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya.

d. Terbuka, berarti pengadaan barang/ jasa dapat diikuti oleh semua Penyedia

Barang/Jasa yang memenuhi persyaratan/criteria tertentu berdasarkan

ketentuan dan prosedur yang jelas.

e. Bersaing, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus dilakukan melalui

persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin Penyedia Barang/Jasa

yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh

Barang/Jasa yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi


64

yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam Pengadaan Barang/

Jasa.

f. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi

semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi

keuntungan kepada pihak tertentu dengan tetap memperhatikan kepetingan

nasional.

g. Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait

dengan pengadaan barang/jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam penjelasan Perpres ini disebutkan bahwa dengan menerapkan

prinsip – prinsip ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses

pengadaan barang/ jasa karena hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada

masyarakat dari segi administrasi, teknis serta dari segi keuangan.

Dibandingkan dengan prinsip GCG, yang ada dalam prinsip pengadaan

barang dan jasa ialah Transparansi, Akuntabel, serta Independency (adil)

sehingga dalam aturan dan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang sejalan

dengan Pepres Nomor 54 Tahun 2010, jo. Perpres No 70 Tahun 2012, jo Perpres

No.172 tahun 2014 telah mencerminkan nilai GCG sehingga dalam

pelaksanaannya harus menerapkan nilai GCG tersebut.

3.3 Penjabaran GCG dalam Pengadaan Barang dan Jasa pada PT PLN

Penjabaran GCG pada PT PLN berdasarkan pada Pedoman Good

Corporate Governance (GCG) pada PT PLN cetakan pertama yang dikeluarkan


65

pada tahun 2013 oleh Direksi sebagai wujud komitmen perusahaan untuk benar –

benar mengimplementasikan GCG di lingkungan PT PLN. Tindakan Direksi ini

merujuk pada prinsip yang digariskan dalam Keputusan Menteri No:KEP-117/M-

MBU/2002 tentang penerapan praktek GCG pada Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) serta Undang – Undang BUMN.

Pengaturan GCG dalam pengadaan barang dan jasa pada PT PLN yang

mana pengadaan barang dan jasa pada PT PLN tunduk pada SK Dir 620/2013

diterangkan dalam Petunjuk Teknis No.4.6.11.11 tentang evaluasi harga

penawaran bahwa dalam hal semua penawaran HPS, proses pengadaan barang/

jasa dapat dilanjutkan dengan melakukan negosiasi kepada penawar terendah

dengan tujuan mendapatkan harga perjanjian/kontrak di bawah HPS dengan tetap

memperhatikan prinsip GCG. Selain itu, dalam pengendalian dan pengawasan

juga menyebutkan bahwa PLN juga harus memelihara sistem pengendalian

internal yang sehat khususnya pengadaan barang dan jasa guna mewujudkan

GCG.

Dalam aturan Pengadaan Barang dan Jasa di PT PLN, prinsip – prinsip

dari pengadaan barang dan jasa di PLN mengadopsi dari Peraturan Presiden

Indonesia Nomor 54 Tahun 2010, jo. Perpres No 70 Tahun 2012, jo Perpres

No.172 tahun 2014. Prinsip – prinsip dasar pengadaan barang dan jasa di PT PLN

ialah4:

4
Petunjuk Teknis Pengadaan Barang / Jasa PT PLN (Persero), 2014, Jakarta, h.6
66

a. Efisien

Pengadaan barang/jasa harus diusahakan untuk mendapatkan hasil yang

optimal dan terbaik dalam waktu yang cepat dengan menggunakan sumber

daya seminimal mungkin secara wajar dan bukan hanya didasarkan pada

harga tersendah.

b. Efektif,

Pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah

ditetapkan dan memberikan manfaat yang sebesar – besarnya sesuai

dengan sasaran yang ditetapkan.

c. Kompetitif

Pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi Penyedia barang/jasa yang

memenuhi persyaratan yang dilakukan melalui persaingan yang sehat

diantara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria

tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan.

d. Transparan

Semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa,

termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil

evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi

peserta penyedia barang/jasa yang berminat.


67

e. Adil dan wajar

Memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa

yang memenuhi syarat.

f. Akuntabel

Harus mencapai sasaran dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga

menjauhkan dari potensi penyalahgunaan dan penyimpangan.

Prinsip – prinsip pengadaan barang dan jasa di PT PLN seperti yang

disebutkan di atas sejalan dengan penerapan prinsip GCG khususnya

implementasi GCG dalam hubungan kemitraan antara perusahaan dengan

penyedia barang/jasa (pemasok) yaitu5 :

a. Prinsip Transparency

Menitikberatkan pada keterbukaan khususnya dalam proses pengambilan

keputusan dan informasi material yang relevan mengenai perusahaan. Hal ini

tampak dalam bentuk:

1. Memberikan informasi yang setara untuk standar kualifikasi dan spesifikasi

ke semua pemasok

2. Menyampaikan kebijakan / informasi kepada pemasok secara berkala.

b. Prinsip Accountability

Menitikberatkan pada kejelasan fungsi, pelaksanaan dan

pertanggungjawaban organ perusahaan, misalnya:

1. Melakukan tender / lelang untuk mendapatkan harga yang terbaik.


5
Mas Achmad Daniri, Loc.cit, h.61
68

2. Memastikkan bahwa SOP (Standar Operating Procedure) dan kebijakan

perusahaan telah dijalankan dengan benar.

c. Prinsip Responsibility

Menitikberatkan pada kesesuaian pengelolaan perusahaan dengan

peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi, bentuknya

adalah:

1. Dengan melakukan pelatihan E-procurement, penerapan ISO

140001, green procurement;

2. Seleksi berdasarkan E-procurement dengan persyaratan terukur

(mengurangi kontak langsung);

3. Melakukan pengukuran kualitatif (check and balance);

4. Berperan dalam membangun industri penunjang;

d. Prinsip Fairness

Yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders, bentuknya

adalah:

1. Membangun kemitraan, menyeleksi setiap kualifikasi sesuai persyaratan

tanpa intervensi pihak ketiga;

2. Menetapkan code of conduct dalam berhubungan dengan pemasok;

3. Survey tingkat kepuasan pemasok terhadap perusahaan;

4. Bursa komponen untuk menjamin peluang yang sama;


69

Selain itu dalam pelaksanaan barang dan jasa, prinsip independency dapat

dilihat pada :

e. Prinsip Independency

Yaitu bebas dari tekanan pihak manapun dalam pengadaan barang dan

jasa, bentuknya adalah :

1. Tidak ada tekanan dari pihak manapun dalam menentukan pemenang

penyedia barang dan jasa asalkan sudah sesuai dengan aturan;

2. Membuka kesempatan yang sama pada semua calon penyedia barang dan

jasa untuk mengajukan penawaran tanpa adanya pemilihan langsung,

dikarenakan metode pengadaan pemilihan langsung sudah tidak berlaku

lagi di PT PLN.

Dari penjabaran GCG dalam pengadaan barang dan jasa di atas,

diharapkan dapat mengurangi persekongkolan atau konspirasi yang dilakukan

antar pelaku usaha ataupun pelaku usaha dengan pengguna barang dan jasa.

Seperti yang diatur dalam Undang – Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam pasal 21, 22 dan

pasal 23 yaitu :

a. Pasal 21

Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya

produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan

atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
70

b. Pasal 22

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan

atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat.

c. Pasal 23

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan

informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia

perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak

sehat.

Bentuk implementasi prinsip GCG dalam pengadaan barang dan jasa tidak

lepas dari adanya peranan penting dari penyedia barang/jasa sehingga diperlukan

sinergi dari penyedia dan pengguna barang/jasa. Adanya keterkaitan pengguna

barang/jasa dengan penyedia barang/jasa sebagai salah satu stakeholder dalam

perusahaan khususnya pada PT PLN mampu memberikan motivasi untuk

meningkatkan implementasi GCG. Suatu kelemahan dalam GCG ialah tidak

adanya sanksi jika GCG tidak diterapkan oleh suatu perusahaan sehingga GCG

dirasakan sebagai pelengkap dan kewajiban bukanlah suatu keharusan.

3.4 E - Procurement dalam Pengadaan Barang dan Jasa sebagai Sarana

Penerapan GCG

E-Procurement PT PLN bertujuan untuk lebih meningkatkan integrasi

antar unit PT PLN, transparansi, kecepatan proses, efisiensi waktu dan biaya,

akuntabilitas, memudahkan pengendalian dan pengawasan, dan mengoptimalkan

pemanfaatkan material di gudang. Secara garis besar, tujuan E-procurement PLN


71

sejalan dengan prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa yang ditentukan dalam

Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman

Umum Pengadaan Barang/Jasa BUMN dan juga sejalan dengan prinsip-prinsip

GCG dalam Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2011

tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada BUMN.

Penggunaan E-Procurement tidaklah sebuah keharusan, karena dalam

pasal 6 Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang

Pedoman Umum Pengadaan Barang/Jasa BUMN disebutkan bahwa cara

pengadaan barang dan jasa dapat dilakukan dengan beberapa cara namun tidak

terbatas pada pelelangan terbuka, pemilihan langsung, penunjukan langsung dan

pembelian langsung dan dapat menggunakan sarana E–procurement yang

ketetapanya diatur oleh Direksi masing – masing BUMN. Jadi kata “dapat

menggunakan E-procurement” memberikan pengertian bukanlah suatu keharusan

ataupun kewajiban.

Dikeluarkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi dasar dari penerapan proses

pengadaan barang/jasa berbasis sistem informasi elektronik. UU ITE menjadi

payung hukum baru di bidang pengaturan pemanfaatan informasi dan transaksi

elektronik sehingga pelaksanaan E-Procurement telah memiliki landasan hukum

secara utuh. Dalam implementasi E-Procurement, aspek yang paling ditakutkan

ialah keamanannya. Ini dikarenakan masih banyaknya kasus cyber crime yang
72

sering terjadi. Menurut Budi Rahardjo aspek keamanan ditinjau dari tiga hal,

yaitu6:

a. Confidentially

Merupakan aspek yang menjamin kerahasiaan data atau informasi, sistem

yang digunakan untuk mengimplementasikan E-procurement harus dapat

menjamin kerahasiaan data yang dikirim, diterima, dan disimpan.

Bocornya informasi dapat berakibat batalnya proses pengadaan.

b. Integrity

Merupakan aspek yang menjamin bahwa data tidak boleh berubah tanpa

ada izin pihak yang berwenang (authorized). Untuk aplikasi E-

procurement, aspek integrity ini sangat penting. Data yang telah

dikirimkan tidak dapat diubah oleh pihak yang berwenang. Pelanggaran

terhadap hal itu akan berakibat tidak berfungsinya sistem E-procurement.

c. Availability

Merupakan aspek yang menjamin bahwa data tersedia ketika dibutuhkan,

dapat dibayangkan apabila ketika proses penawaran sedang berlangsung

ternyata sistem tidak dapat diakses sehingga penawaran tidak dapat

diterima. Hal ini akan menyebabkan adanya pihak-pihak yang merasa

dirugikan karena tidak dapat mengirimkan penawaran.

Dalam upaya memenuhi aspek-aspek diatas, sistem perlu dirancang dan

diimplementasikan sesuai dengan standar yang berlaku baik standar yang sifatnya

6
Adrian Sutedi I, Loc cit,h.211
73

formal sampai kepada standar yang sifatnya lebih praktis dan operasional (best

practice).

Masalah keamanan merupakan kendala utama yang menyebabkan

lembaga/instansi beralih ke sistem ini sehingga diperlukan manajemen transaksi

elektronik yang baik dengan cara memperkecil kemungkinan terjadinya masalah

terkait keamanan. UU ITE sangat memperhatikan masalah keamanan walaupun

masih bersifat umum dan tidak mengatur secara rinci tentang transaksi elektronik

pengadaan barang dan jasa. Dalam pasal 15 ayat (1) UU ITE disebutkan;

“Setiap penyelenggara sistem elektronik harus menyelenggarakan sistem

elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya

sistem elektronik sebagaimana mestinya”.

Dengan demikian lembaga/instansi yang telah konsekuen untuk

menggunakan sistem E–Procurement dalam pengadaan barang/jasa pada

lembaga/instansinya sudah tentu harus menjamin kemanan dan keandalan dari

sistem tersebut seperti yang diatur oleh UU ITE dalam Pasal 15 di atas.

Penggunaan sistem E-Procurement dalam pengadaan barang/ jasa harus

didukung oleh stakeholder dibandingkan dengan pengadaan manual karena jika

dibandingkan dengan pengadaan manual menggunakan sistem E–Procurement

lebih transparan, adil, wajar, efektif dan bertanggungjawab seperti prisnip –

prinsip yang terkandung dalam GCG ataupun pengadaan barang/jasa itu sendiri.

Melalui sistem E-Procurement, pengguna barang/ jasa dan calon penyedia

barang/jasa mendapatkan beberapa keuntungan, diantaranya ialah7 :

7
PLN Corporate Academy,2013, Matery E-procurement, Udiklat Pandaan, h.15
74

a. tidak adanya batas ruang dan waktu karena menggunakan teknologi

berbasis internet yang bias dilakuakn di mana saja dan kapan saja;

b. proses pengadaan barang dapat diikuti oleh pemasok secara terbuka ;

c. proses dalam setiap tahapan pengadaan akan dengan mudah diikuti /

diawasi oleh seluruh stakeholder. Proses akan berlangsung secara :

1. efisien, dikarenakan adanya standar proses pengadaan barang/jasa

yang lebih baik serta menghemat waktu proses pengadaan barang/jasa;

2. efektif, terwujud dengan adanya fungsi kontrol yang baik dan benar

dengan tujuan mampu mendapatkan barang/jasa sesuai dengan

kebutuhan dan mampu meningkatkan pengawasan proses pengadaan

barang/jasa dan menjalin hubungan dengan rekanan yang tepat;

3. terbuka dan bersaing;

4. transparan, dapat dilihat pada aplikasi memberikan informasi

pengumuman adanya rencana pengadaan barang/jasa kepada siapa pun

serta seluruh external user mendapatkan perlakuan (informasi

pengadaan barang/jasa, pengumuman hasil pengadaan barang/jasa)

yang sama;

5. adil/tidak diskriminatif dikarenakan seluruh internal user mendapatkan

perlakuan (role dan tanggung jawab ) yang sama dan seluruh external

user mendapatkan perlakuan ( informasi pengadaan barang/jasa ) yang

sama;

6. akuntabel
75

d. akan lebih mendorong terjadinya persaingan antar pemasok yang lebih

sehat

e. mencegah tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dalam

pelaksanaan pengadaan barang/jasa.

Anda mungkin juga menyukai