Anda di halaman 1dari 18

JAGALAH ALLAH AZZA WA JALLA NISCAYA ALLAH AZZA WA JALLA MENJAGAMU

Oleh

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

ْ‫ع‬
‫ن‬ َ ‫َّاس أ َ ِبي‬ َ ِْ‫ِ للا‬
ْ ِ ‫عب ِْد ال َعب‬ ِْ ‫َّاسِِِْ ب ِن‬ ِ ‫عب‬ َ ‫ي‬ َْ ‫ض‬ ِ ‫للاه َر‬ ْ ‫عن هه َما‬ َ ‫ل‬ َْ ‫ قَا‬: ْ‫ف هكنته‬ َْ ‫ي ِ خَل‬ ْ ‫صلَّى النَّ ِب‬ َ ‫للاه‬ َ ‫سلَّ َْم‬
ْ ‫علَي ِْه‬ َ ‫ يَو ًما َو‬، ‫ل‬ َْ ‫غ ََل هْم يَا« فَقَا‬ ‫ِإنِي ! ه‬
‫ه‬
َ ‫ َك ِل َماتْ أ‬: ِْ‫ يَحفَظكَْ للاَْ اِحفَظ‬، ِْ‫ ت ه َجاهَكَْ ت َِجدْهه للاَْ اِحفَظ‬، ‫سألتَْ إِذَا‬
َْ‫ع ِل همك‬ َ َ ‫ل‬ َ
ِْ ‫ للاَْ فَاسأ‬، ‫بِاللِْ فَاست َـعِنْ استَعَنتَْ َوإِذَا‬. ْ‫ن َواعلم‬ َ َ َ ‫ه‬
َّْ ‫لَ ِواجت َ َمعَتْ اْل َّم ْة أ‬
َْ ‫ع‬
‫لى‬ َ ْ‫ّل َينفَعهوكَْ لَمْ ؛ ِبشَيءْ َينفَعهوكَْ أَن‬ َّْ ‫للاه َكت َ َب ْهه قَدْ ِبشَيءْ ِإ‬ ْ َْ‫لَك‬، ‫ن َْو‬ ِْ ‫علَى اجت َ َمعهوا ِإ‬ َ ْ‫ّل َيض ُّهروكَْ لَمْ ؛ ِبشَيءْ َيض ُّهروكَْ أَن‬ َّْ ‫للاه َكت َ َب ْهه قَدْ ِبشَيءْ ِإ‬
ْ
َْ‫علَيك‬ َ ،‫ت‬ َ
ِْ َ‫ت اْلق ََل هْم هرفِع‬ ِْ َّ‫ف َو َجف‬
ْ‫ص هح ه‬ ُّ ‫»ال‬. ‫ي َر َواْهه‬ ُّْ ‫ التِرمِ ِذ‬، ‫ل‬ َْ ‫ َوقَا‬: ْ‫سنْ َحدِيث‬ َ ‫صحِ يِحْ َح‬ َ . ‫ِي ِ غَي ِْر ِر َوايَةْ َوفِي‬ْ ‫ التِرمِ ذ‬: «ِْ‫للاَ اِحفَظ‬ ْ ‫ت َِجدْهه‬
َْ‫ أ َ َما َمك‬، ْ‫للاِ ِإلَى ت َ َع َّرف‬ْ ‫الرخَاءِْ فِي‬ َّ َْ‫ك‬ ‫ف‬ ‫ر‬ ‫ع‬
ِ َ ‫ي‬ ‫ِي‬ ‫ف‬ َّ
ْ
‫د‬ ‫الش‬ِ ِ ْ
‫ة‬ . ‫م‬
ْ َ ‫ل‬‫اع‬‫و‬ َ ْ
‫ن‬َّ َ ‫أ‬ َْ‫ك‬ َ ‫أ‬‫ط‬َ ‫خ‬َ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫م‬ َ ‫؛‬ ‫م‬
ْ َ ‫ل‬ ‫ن‬
ْ ‫ه‬
‫ك‬ ‫ي‬ َْ‫ك‬ ‫ب‬‫ي‬ ‫هص‬ ‫ي‬‫ل‬
َ َ ِ ِ َ َ َ َ، ‫ا‬‫م‬ ‫و‬ َْ‫ك‬ ‫ب‬‫ا‬‫ص‬ َ ‫أ‬ ‫؛‬ ‫م‬
ْ َ ‫ل‬ ‫ن‬
ْ ‫ه‬
‫ك‬ َ ِ‫ ِ ط‬، ْ‫ن َواعلَم‬
‫ي‬ َْ‫َك‬ ‫ئ‬ ‫هخ‬ ‫ي‬ ‫ل‬ َّْ َ ‫أ‬
‫صب ِْر َم َْع النَّص َْر‬ َّ ‫ال‬، ‫ن‬ َّْ َ ‫ج َوأ‬
َْ ‫ب َم َْع الف ََر‬ ِْ ‫ الكَر‬، ‫ن‬ َّْ َ ‫»يهس ًرا العهس ِْر َم َْع َوأ‬.

Dari Abul ‘Abbas ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma , ia mengatakan, “Pada suatu hari, aku
pernah dibonceng di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, ‘Wahai anak
muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ‘Jagalah Allah, niscaya Allah akan
menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau memohon
(meminta), mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan
kepada Allah. Ketahuilah, bahwa seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberi suatu manfaat
kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang
telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk menimpakan suatu
kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan dapat menimpakan kemudharatan
(bahaya) kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan
lembaran-lembaran telah kering.’” [HR. at-Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits ini hasan shahîh.”]

Dalam riwayat selain at-Tirmidzi disebutkan, “Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya di
hadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa
apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu.
Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa
bersama kesulitan ada kemudahan.”

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2516), Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah
(no. 425), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 316, 317, 318), Abu Ya’la dalam Musnadnya (no. 2549),
Ahmad (I/293, 303, 307), Al-Ajurri dalam asy-Syarî’ah (II/829-830, no. 412), al-Lâlika-i dalam Syarh Ushûl
I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jama’ah (no. 1094, 1095), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 11243,
11416, 11560, 12988), ‘Abd bin Humaid dalam Musnadnya (no. 635), al-Hâkim (III/541, 542), Abu
Nu’aim dalam al-Hilyatul Auliyâ’ (I/389, no. 1110), al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân (no. 192).
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Zhilalul Jannah fî Takhrîjis Sunnah (no. 315-318) dan
Hidâyatur Ruwât (no. 5232), dishahihkan juga oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Takhrij
Musnad Ahmad (no. 2669, 2763, 2804).

SYARAH HADITS

1. JAGALAH ALLAH AZZA WA JALLA, NISCAYA DIA AZZA WA JALLA AKAN MENJAGAMU

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jagalah Allah,”

Maksudnya jagalah batas-batas Allah, hak-hak-Nya, serta menjaga perintah-perintah dan larangan-
larangan-Nya dengan mengerjakan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Demikian
pula, dengan mempelajari agama-Nya sehingga dengannya engkau dapat beribadah kepada Allah Azza
wa Jalla dan bermuamalah dengan manusia serta mendakwahkannya di jalan Allah.

Hal-hal terbesar yang harus dijaga oleh seorang hamba

1. Tauhid Yang Merupakan Hak Allah Azza Wa Jalla Yang Paling Besar

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu :

‫ همعَا ْذه َيا‬، ْ‫ق َما أَت َد ِري‬ ُّْ ‫علَى للاِْ َح‬ ُّْ ‫علَى الـ ِعبَا ِْد َح‬
َ ‫ق َو َما الـ ِعبَا ِْد‬ ‫أَعلَ هْم َو َر ه‬. ‫ل‬
ْ َ ‫سوله ْهه ا‬
َ ‫قهلتهْ للاِ؟‬: ‫لله‬ َ ‫ّل يَعبهدهوْهه أَنْ الـ ِعبَا ِْد‬
ُّْ ‫علَى للاِْ َح‬
َْ ‫قَا‬: ‫ق‬ َْ ‫بِ ِْه يهش ِركهوا َو‬
‫شَيئًا‬، ‫ق‬ ُّْ ‫علَى الـ ِع َبا ِْد َو َح‬ َ ِْ‫ّل أَنْ للا‬
َْ ‫ِب‬
َْ ‫ّل َمنْ يه َعذ‬ َْ ْ‫شَيئًا ِب ِْه يهش ِركه‬.

“Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya, dan apa hak
hamba atas Allah?” Mu’adz pun menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau
bersabda, “Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah supaya mereka beribadah hanya
kepada Allah saja dan mereka tidak boleh berbuat syirik (menyekutukan Allah) dengan suatu apa pun
juga. Sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah adalah bahwa Allah tidak akan menyiksa
orang yang tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Nya.”[1]

Setiap muslim dan muslimah wajib memenuhi hak Allah, yaitu dengan mengikhlaskan ibadah hanya
kepada Allah Azza wa Jalla , mentauhidkan Allah dalam seluruh ben-tuk ibadah dan ditujukan hanya
kepada Allah saja dan tidak boleh berbuat syirik, tidak boleh menyekutukan Allah dengan suatu apa pun
juga.

2. Shalat Wajib Lima Waktu.

Allah Azza wa Jalla berfirman:


‫علَى َحافِ ه‬
‫ظوا‬ ِْ ‫صلَ َوا‬
َ ‫ت‬ َّ ‫ص ََلةِْ ال‬ َ ‫لِل َوقهو هموا ال هوس‬
َّ ‫طىْ َوال‬ َِّْ ِ َْ‫قَانِتِين‬

Jagalah segala shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha; berdirilah karena Allah (dalam shalatmu)
dengan khusyu’ [al-Baqarah/2:238]

َْ‫علَىْ ههمْ َوالَّذِين‬


َ ْ‫ص ََلتِ ِهم‬ ‫يه َحافِ ه‬
َ َْ‫ظون‬

Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. [al-Ma’ârij/70:34]

Menjaga shalat wajib lima waktu, yaitu melaksanakan dan memerintahkannya kepada keluarga dan
saudara-saudara kita, dengan memperhatikan waktu, tata cara, khusyu’, dan berjama’ahnya.

3. Menjaga Thaharah (bersuci)

Seorang mukmin dan mukminah harus menjaga dirinya dari hadats kecil dan hadats besar dengan
thaharah (bersuci), yaitu berwudhu dan mandi janabah serta mandi setelah bersih dari haid dan nifas.

Bersuci termasuk sebagian dari iman. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُّ َ ‫ان شَط هْر ا‬


… ‫لط ههو هْر‬ ِْ ‫…اْلي َم‬
ِ

Bersuci adalah sebagian dari iman [2]

Berwudhu adalah kunci shalat. Seseorang tidak akan diterima shalatnya apabila dia tidak berwudhu.
Seorang hamba terkadang batal wudhunya, sedangkan dia tidak mengetahuinya ke-cuali Allah Azza wa
Jalla . Karena itu, menjaga wudhu untuk shalat menunjukkan konsistensi iman pada hati seorang hamba.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َّْ َ ‫ـر أ‬
‫ن َواعلَ هموا‬ َْ ‫صَلَْة ه أَع َما ِل هك هْم خَي‬ ْ‫علَى يهـ َحافِ ه‬
َْ ‫ظ َو‬
َّ ‫ال‬، ‫ّل‬ َّْ ِ‫ همؤمِ نْ إ‬.
َ ِْ‫ّل ال هوضهوء‬
“… Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat. Dan tidak ada yang menjaga wudhu
melainkan orang mukmin.”[3]

4. Menjaga Sumpah

Allah Azza wa Jalla berfirman:

‫أَي َمانَ هكمْ َواحفَظهوا‬

“… Dan jagalah sumpahmu…” [al-Mâ-idah/5:89]

Apabila seseorang bersumpah kemudian ia tidak melaksanakan sumpah tersebut atau dilanggar, maka ia
berdosa dan wajib membayar kaffârat (tebusan). Yaitu:

1. Memberi makan 10 orang miskin, atau

2. Memberikan pakaian kepada mereka, atau

3. Memerdekakan budak.

Barangsiapa yang tidak mampu melakukannya, maka ia berpuasa tiga hari.

Dan jangan sekali-kali bersumpah dengan selain nama Allah Azza wa Jalla . Krena barangsiapa
bersumpah dengan selain nama Allah Azza wa Jalla , ia telah berbuat syirik.

ْ ْ‫أَش َركَْ فَقَد‬


َْ َ‫للاِ ِبغَي ِْر َحل‬
ْ‫ف َمن‬

Barangsiapa bersumpah dengan selain Nama Allah, maka ia telah ber-buat syirik [4]

5. Menjaga Kepala Dan Perut.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫ق‬
‫للاْ مِ نَْ اِست َحيهوا‬ َّْ ‫الـ َح َياءِْ َح‬، ‫ن‬
ِْ ‫للاْ مِ نَْ است َح َىا َم‬ ِ ‫ق‬ َّْ ‫س َفل َيحفَظِْ ؛ الـ َح َياءِْ َح‬ َْ ‫الرأ‬ َ ‫ َوال ِبلَى الـ َموتَْ َول َيذ هك ِْر َح َوى َو َما َوالبَطنَْ َو‬، ْ‫أ َ َرا َْد َو َمن‬
َّ ‫عى َو َما‬
َ ‫ الدُّنيَا ِزينَ ْةَ ت ََركَْ اآلخِ َرْة‬، ْ‫ل فَ َمن‬ َْ َ‫للاِ مِ نَْ است َحيَا فَقَ ِْد ذَلِكَْ فَع‬
ْ ‫ق‬ َّْ ‫الـ َحيَاءِْ َح‬.
Hendaklah kalian malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Barangsiapa yang malu kepada Allah
dengan sebenar-benarnya, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia
menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya
badan. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat, hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia.
Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah dengan
sebenar-benar malu.[5]

Yang ada pada kepala adalah: (1) mata, yaitu dengan menjaganya agar tidak melihat yang haram, (2)
telinga, yaitu dengan menjaganya agar tidak mendengarkan hal-hal yang haram, seperti musik, lagu,
ghibah, dan lainnya, dan (3) lisan, yaitu dengan menjaganya dari pembicaraan yang mengandung dosa
berupa ghibah, caci maki, adu domba, memfitnah dan semisalnya. Sedang menjaga perut ialah dengan
menjaganya agar barang-barang yang haram tidak masuk ke dalamnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

ْ‫سدْ هك ُّل‬ ْ‫بِ ِْه أَولَى فَالنَّ ه‬


َ ‫ار سهحتْ مِ نْ نَبَتَْ َج‬

Setiap badan yang dagingnya tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih layak bagi dirinya. ”[6]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Niscaya Dia Akan Menjagamu”.

Maksudnya, barangsiapa menjaga perintah-perintah Allah Azza wa Jalla dan melaksanakan


kewajibannya serta menahan diri dari apa yang dilarang darinya, niscaya Allah Azza wa Jalla akan
menjaga agama, keluarga, harta, dan dirinya karena Allah Azza wa Jalla akan membalas orang-orang
yang berbuat baik dengan kebaikan-Nya. Karena, amal itu tergantung dari jenis amal. Allah Azza wa Jalla
berfirman:

ْ‫ص هروا ِإن‬ ََّْ ْ‫صر هكم‬


‫ّللا ت َن ه‬ ‫َين ه‬

Jika engkau menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu. [Muhammad/47:7]

Penjagaan Allah Azza wa Jalla terhadap hamba-Nya terbagi dua:

Pertama : Allah Azza wa Jalla akan menjaga para hamba-Nya dalam urusan duniawinya. Seperti
penjagaan Allah atas badan, harta, anak, dan keluarga dari para hamba-Nya. Allah akan menjaga anak
keturunan orang-orang shalih yang menjaga batas-batas-Nya, sebagaimana firman-Nya:

َْ‫صا ِل ًحا أَبهو هه َما َوكَان‬


َ
Dan ayah kedua (anak ini) adalah orang shalih. [al-Kahfi/18:82]

Di dalam (ayat ini) terdapat dalil bahwa seorang yang shalih akan senantiasa dijaga keturunannya oleh
Allah Azza wa Jalla . Begitu juga, barokah ibadahnya mencakup para anak keturunannya di dunia dan di
akhirat.[7] Apabila seorang hamba menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , maka
Allah Azza wa Jalla akan menjaganya.[8]

Kedua, dan ini yang paling penting, yaitu penjagaan Allah Azza wa Jalla atas agamanya dan
menyelamatkannya dari kesesatan. Karena, jika seseorang diberi petunjuk, maka Allah Azza wa Jalla
akan menambahkan petunjuk kepadanya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

َْ‫ت َق َواههمْ َوآت َاههمْ ههدًى زَ ا َدههمْ اهت َ َدوا َوالَّذِين‬

Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan
menganugerahi ketakwaan kepada mereka. [Muhammad/47:17]

Dari keterangan ini diketahui bahwa orang yang tidak menjaga Allah Azza wa Jalla , maka dia tidak
berhak mendapat penjagaan-Nya. Dan di dalamnya juga terkandung motivasi untuk selalu menjaga
batas-batas Allah Azza wa Jalla .

2. KEBERSAMAAN DAN PERTOLONGAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA BAGI ORANG-ORANG YANG


BERTAKWA

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya di
hadapanmu.”

Maksudnya, barangsiapa menjaga batas-batas Allah Azza wa Jalla dalam diri dan keluarganya serta tetap
istiqamah dalam mengikuti al-Qur-ân dan Sunnah, maka Allah Azza wa Jalla akan bersamanya dalam
setiap keadaan. Allah Azza wa Jalla akan selalu memperhatikannya, menjaganya, memberikan taufik
kepadanya, meluruskannya, dan senantiasa melindungi, dan menolongnya. Allah Azza wa Jalla
berfirman:

ْ‫ همح ِسنهونَْ ههمْ َوالَّذِينَْ اتَّقَوا الَّذِينَْ َم َْع للاَْ ِإ َّن‬.


Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebajikan. [an-
Nahl/16:128]

Qatadah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla , maka Allah
Azza wa Jalla akan bersamanya. Dan barangsiapa yang Allah Azza wa Jalla bersamanya, maka dia masuk
dalam golongan yang tidak dapat dikalahkan, dia bersama penjaga yang tidak tidur, dan dia bersama
pemberi petunjuk yang tidak menyesatkan.”[9]

3. KENALILAH ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA DI SAAT SENANG, NISCAYA ALLAH SUBHANAHU WA


TA’ALA MENGENALMU DI SAAT SUSAH

Ini adalah hikmah nabawiyah yang selayaknya dijaga dan disebarkan yaitu melakukan ajakan untuk
mengenal Allah Azza wa Jalla di saat senang, sehat, kaya, aman, dan kuat. Mengenal Allah Azza wa Jalla
dapat dilakukan dengan cara menjaga berbagai kewajiban, menjauhi berbagai larangan, dan menambah
usaha mendekatkan diri kepada-Nya dengan memperbanyak amalan sunnah. Maka, barangsiapa
mengenal Allah Azza wa Jalla dalam keadaan seperti ini, Allah Azza wa Jalla akan mengenalnya pada saat
keadaannya susah, sempit, fakir, sakit.

Sungguh, kekasih kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengenal Rabb-nya di saat
senang, maka Allah Azza wa Jalla mengenal beliau pada saat berada di gua, pada saat Perang Badar, dan
Perang Ahzâb, lalu Allah Azza wa Jalla menolongnya, meneguhkannya, mengalahkan musuh-musuhnya.
Demikian pula, Nabi Yunus q mengenal Rabb-nya pada saat senang, maka Allah Azza wa Jalla
mengenalnya pada saat berada di dalam perut ikan lalu menyelamatkannya, meneguhkan hatinya, dan
menolongnya.[10] Maka, barangsiapa yang bermuamalah dengan Allah Azza wa Jalla dengan takwa dan
menaati-Nya di saat senang, maka Allah Azza wa Jalla akan memberikan kasih sayang kepadanya dan
menolongnya di saat dia mengalami kesulitan.[11]

4. SABDA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM: “JIKA ENGKAU MEMINTA, MAKA MINTALAH
KEPADA ALLAH.”

Maksud dari meminta di hadits ini adalah doa, sedang doa adalah ibadah. Rasululllah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

َ ‫ال ِع َبا َدْة ه ه َْهو اَل ُّد‬


ْ‫عا هء‬

Doa adalah ibadah.

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Azza wa Jalla :
ْ‫لَ هكمْ أَست َِجبْ ادعهونِي َربُّ هك هْم َوقَا َل‬

“Rabb kalian berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan doa kalian.’”[Ghâfir/40:60] [12]

Wajib bagi setiap muslim agar meminta kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak boleh meminta kepada
selain Allah Azza wa Jalla dalam perkara-perkara yang tidak mungkin terwujudkan kecuali oleh Allah
Azza wa Jalla semata. Barangsiapa jatuh ke dalamnya, berarti ia telah jatuh dalam kesyirikan. Allah Azza
wa Jalla berfirman,

ْ‫ل َو َمن‬ َ َ ‫هون مِ نْ يَدعهو مِ َّمنْ أ‬


ُّْ ‫ض‬ ِْ ‫ّللاِ د‬ َْ ْ‫ال ِقيَا َم ِْة يَو ِْم ِإلَىْ لَ ْهه يَست َِجيبه‬
َّْ ْ‫ّل َمن‬

Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang berdo’a (menyembah) kepada selain Allah,
(sembahan) yang tidak dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari Kiamat… [al-Ahqâf/46:5]

Adapun tentang meminta-minta kepada manusia dalam urusan dunia yang mampu diwujudkan, maka
terdapat dalil-dalil yang banyak yang melarang dan mengecamnya. Diantaranya, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ‫ل يَزَ ا ه‬
‫ل َما‬ ْ‫الر هج ه‬
َّ ‫ل‬ْ‫اس يَسأ َ ه‬
َْ َّ‫ِـي َحتَّى الن‬ َْ ‫ع ْة ه َوج ِه ِْه فِـيْ َولَي‬
َْ ‫س ال ِقيَا َم ِْة يَو َْم يَأت‬ َ ‫لَـحمْ همز‬.

“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain, hingga ia datang pada hari Kiamat dalam
keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya.”[13]

Hadits ini dan yang sepertinya menunjukkan haramnya minta-minta kepada orang lain, dan tidak boleh
dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.

5. SABDA RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM: “JIKA ENGKAU MEMINTA PERTOLONGAN,


MINTALAH PERTOLONGAN KEPADA ALLAH.”

Maksudnya, jika engkau meminta suatu kebutuhan maka janganlah meminta kecuali kepada Allah Azza
wa Jalla , jangan sekali-kali meminta kepada makhluk. Seandainya engkau meminta kepada makhluk
sesuatu yang ia mampu memberikannya, maka ketahuilah bahwa itu termasuk perantara saja, sedang
yang berkuasa mewujudkan sebab itu adalah Allah Azza wa Jalla . Jika Allah Azza wa Jalla berkehendak,
Dia akan menghalanginya memberikan apa yang engkau minta. Maka bersandarlah hanya kepada Allah
Azza wa Jalla . [14]
Seorang hamba meskipun telah diberikan kedudukan, kekuatan, dan kekuasaan, dia tetap saja tak
mampu dan lemah untuk mendatangkan manfaat dan menolak bahaya dari dirinya sendiri. Oleh karena
itu, ia wajib meminta tolong kepada Allah Azza wa Jalla semata untuk kebaikan agama dan dunianya.
Barangsiapa yang ditolong Allah Azza wa Jalla , dialah orang yang ditolong dan diberi taufik, dan
barangsiapa yang dihinakan-Nya dan dibiarkan sendirian, maka dialah orang yang rugi dan bangkrut.

Maka, wajib atas setiap muslim untuk memohon pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla untuk menaati-
Nya dan meninggalkan perbuatan maksiat kepada-Nya, mohon pertolongan untuk sabar terhadap
seluruh takdir-Nya serta keteguhan hati pada hari bertemu dengan-Nya, yaitu pada hari dimana anak
dan harta tidak bermanfaat lagi.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

َْ‫نَستَعِينهْ َوإِيَّاكَْ نَعبه هْد إِيَّاك‬

Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.
[al-Fâtihah/1:5]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ‫علَى اِح ِرص‬ َْ ‫…ت َع َجزْ َو‬


َ ‫ يَنفَعهكَْ َما‬، ْ‫ بِاللِْ َواستَعِن‬، ‫ّل‬

“Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah, dan
jangan lemah.”[15]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat kepada Muadz bin Jabal Radhyallahu anhu agar
selalu berdzikir sesudah shalat wajib lima waktu, agar membaca:

ْ‫علَى أَعِنِيْ اللَّ هه َّم‬ ‫ن َْو ه‬


َ َْ‫شك ِركَْ َْو ذِك ِرك‬ ِْ ‫ِعبَا َدتِكَْ هحس‬

Ya Allah, tolonglahlah aku dalam berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan
baik kepada-Mu[16]
Seorang hamba pasti memerlukan bantuan Allah Azza wa Jalla, baik untuk mengerjakan perintah atau
meninggalkan larangan dan sabar dalam ujian, seperti yang dialami oleh Nabi Ya’kub Alaihissallam yang
telah beliau sampaikan kepada putranya lewat firman Allah Azza wa Jalla :

َّْ ‫علَىْ ال همست َ َعانهْ َو‬


َ َ‫ّللاه ِ َجمِ يلْ ف‬
ْ‫صبر‬ َ ‫َصفهونَْ َما‬
ِ ‫ت‬

Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya
terhadap apa yang kamu ceritakan. [Yûsuf/12:18]

6. IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Ketahuilah, bahwa seandainya seluruh
ummat berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberi
manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu.”

Maksudnya, jika seluruh manusia yang pertama sampai yang terakhir berkumpul untuk memberikan
suatu manfaat kepadamu, mereka sekali-kali tidak akan mampu melakukannya, kecuali dengan sesuatu
yang telah ditetapkan Allah untukmu. Oleh karena itu, apabila ada makhluk yang memberikan manfaat
kepada seseorang, maka hal itu pada hakikatnya bersumber dari Allah Azza wa Jalla karena Allahlah yang
telah menentukan manfaat itu untuknya. Hal ini menjadi pendorong bagi kita untuk bersandar kepada
Allah dan meyakini bahwa seluruh manusia tidak akan mampu mendatangkan suatu kebaikan kepada
kita atau membahayakan kita kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.[17]

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk menimpakan
suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan dapat menimpakan kemudharatan
(bahaya) kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.”

Oleh karena itu, jika engkau mendapat keburukan dari seseorang, yakinilah bahwa Allah telah
menetapkan keburukan itu atasmu, maka ridhalah terhadap qadha dan qadar Allah. Dan tidak ada
salahnya engkau berusaha menolak keburukan tersebut karena Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫مِ ثله َها‬


َ ْ‫سيِْئ َة‬
ْ‫سيِئ َةْ َو َجزَ ا هء‬

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan serupa…” [asy-Syûrâ/42: 40][18]


Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”

Ini adalah kiasan yang menunjukkan bahwa penulisan semua takdir telah selesai sejak dahulu kala.
Karena sebuah buku jika telah selesai ditulisi, pena-pena diangkat darinya, dan telah berlalu sekian lama,
maka tinta yang dipakai menulis menjadi kering, dan buku-buku yang ditulis dengan tinta itu menjadi
kering pula. Ini merupakan kiasan terbagus dan terindah. [19]

Semua yang terjadi dan yang akan terjadi di langit dan di bumi serta di antara keduanya, mulai
penciptaan makhluk sampai manusia masuk Surga dan Neraka, semua itu sudah tercatat di Lauhul
Mahfûzh.

Banyak sekali ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang menunjukkan makna tersebut. Di antaranya, firman
Allah Ta’ala,

‫اب َما‬ َ َ ‫صي َبةْ مِ نْ أ‬


َْ ‫ص‬ ِ ‫ض فِي هم‬ َْ ‫ّل أَنفه ِس هكمْ فِي َو‬
ْ ِ ‫ّل اْلَر‬ ِْ ‫ن ِ نَب َرأَهَا أَنْ قَب‬
َّْ ‫ل مِ نْ ِكت َابْ فِي ِإ‬ َّْ ‫علَى ذَلِكَْ ِإ‬
َ ِ‫ّللا‬
َّْ ْ‫َْيسِير‬

“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis
dalam Kitab (Lauh Mahfûzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi
Allah.” [al-Hadîd/57: 22].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َْ ‫للاه َخلَقَْ َما أ َ َّو‬


ْ‫ل ِإ َّن‬ َْ ‫لَ ْه ه قَا‬: ْ‫ل !اهكتهب‬
ْ ‫القَلَ َْم‬، ‫ل‬ ِْ ‫ل أَكتهبه ؟ َو َماذَا َر‬
َْ ‫قَا‬: ‫ب‬ ِْ ‫ع ْة ه تَقهو َْم َحتَّى شَيءْ هك‬
َْ ‫قَا‬: ْ‫ل َمقَادِي َْر اهكتهب‬ َ ‫السَّا‬

“Sesungguhnya makhluk yang pertama diciptakan oleh Allah adalah qalam (pena). Allah berfirman
kepadanya, ‘Tulislah.’ Ia menjawab, ‘Wahai Rabb-ku, apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah
takdir segala sesuatu sampai terjadi hari Kiamat.’”[20]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga bersabda,

ْ ‫ق َمقَادِي َْر‬
َ ‫للاه َكت‬
ْ‫َب‬ َْ ‫ت يَـخلهقَْ أَنْ قَب‬
ِْ ِ‫ل الـخ َََلئ‬ ِْ ‫ـاوا‬
َ ‫س َم‬
َّ ‫ض ال‬ َْ ‫سنَةْ أَل‬
ْ ِ ‫ف ِبـخَمسِينَْ َواْلَر‬ َ .
“Allah telah menulis takdir-takdir seluruh makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan
bumi.”[21]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan
menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu.”

Maksudnya, apa yang telah terjadi padamu tidak akan tertolak darimu, dan apa yang tidak akan engkau
peroleh tidak mungkin pula engkau mendapatkannya. Mungkin juga (sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallamdiatas-red) bermakna : apa yang telah Allah takdirkan akan menimpamu, tidak akan meleset
darimu, pasti terjadi. Dan apa yang Allah takdirkan tidak menimpamu, maka hal itu tidak akan
menimpamu selama-lamanya. Segala urusan ada di tangan Allah. Kondisi ini mendorong manusia agar
bersandar kepada Allah secara total. [22]

Iman kepada qadha dan qadar memiliki empat tingkatan:

1. al-‘ilmu : maksudnya seorang mukmin yang beriman kepada qadar harus meyakini bahwa Allah Maha
Mengetahui semua yang ada di alam ini,

2. al-Kitâbah, maksudnya seorang mukmin meyakini bahwa semua kejadian – baik yang telah, sedang,
maupun akan terjadi- telah Allah tuliskan di Lauhul Mahfuzh

3. al-Masyî-ah, maksudnya seorang mukmin meyakini bahwa semua hal yang terjadi tidak lepas dari
kehendak Allah

4. al-Khalq, maksudnya bahwa manusia mempunyai kehendak dan keinginan, akan tetapi semuanya
tidak lepas dari kehendak dan kekuasaan Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman,

َّْ ِ‫ّللاه يَشَا َْء أَنْ إ‬


‫ّل تَشَا هءونَْ َْو َما‬ َّْ ُّْ‫العَالَمِ ينَْ َرب‬

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb
semesta alam.” [ at-Takwîr/81: 29]

Kemudian meyakini bahwa semua yang terjadi ini karena Allah yang menciptakannya. Allah l berfirman,

َّْ ‫ت َع َملهونَْ َو َما َخلَقَ هكمْ َو‬


‫ّللاه‬
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” [ash-Shaffât/37: 96]

Sedangkan terhadap musibah, ada dua tingkatan bagi orang mukmin yaitu : (1) Ridha dengannya. (Ini
tingkatan yang paling tinggi). Dan (2) Sabar terhadapnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ِِ‫ن ْلَم ِْر‬


‫ع َجبًا‬ َّْ ِ‫خَيرْ هكلَّ ْه ه أَم َرْهه إ‬، ‫س‬
ِْ ِ‫ن الـ همؤم‬ َْ ‫ّلَّ ْلَِِ َحدْ ذَاكَْ َولَي‬ َ َ ‫س َّْرا هْء أ‬
ِْ ِ‫لِل همؤم‬: ْ‫صابَت ْهه إِن‬
ْ ِ‫ن إ‬ َ ‫َر‬
َْ ‫شك‬ َ َ ‫ض َّرا هْء أ‬
َ َْ‫لَ ْهه خَي ًرا فَكَان‬، ْ‫صابَت ْهه َوإِن‬ َ َْ‫فَكَان‬
َ ‫صبَ َْر‬
‫لَ ْهه خَي ًرا‬.

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sungguh, semua urusannya adalah baik, dan yang
demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang mukmin, yaitu jika ia mendapatkan
kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat musibah, ia bersabar
dan itu pun suatu kebaikan baginya” [23]

7. KEMENANGAN ADA BERSAMA KESABARAN

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama kesabaran.”

Dalam kalimat ini terdapat anjuran agar berlaku sabar karena jika (diketahui) kemenangan bersama
kesabaran, maka seseorang pasti akan bersabar demi memperoleh kemenangan.[24] Makna seperti ini
diperkuat oleh firman Allah Azza wa Jalla ,

ْ‫ظنُّونَْ الَّذِينَْ قَا َل‬


‫ّللاِ هم ََلقهو أَنَّ ههمْ يَ ه‬ َ ً‫ِيرْة ً فِئ َ ْة‬
َّْ ْ‫غلَبَتْ قَلِيلَةْ فِئ َةْ مِنْ كَم‬ َ ‫ن َكث‬
ِْ ‫ّللاِ بِإِذ‬
َّْ ِ ‫ّللاه‬
َّْ ‫صابِ ِرينَْ َم َْع َو‬
َّ ‫ال‬

“Orang-orang yang yakin bahwa mereka akan bertemu dengan Allah mengatakan, ‘Betapa banyak
kelompok kecil dapat mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.’ Dan Allah bersama dengan
orang-orang yang bersabar.” [al-Baqarah/2: 249]

Sabar ada tiga macam :

1. Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah,

2. Sabar dalam meninggalkan maksiat,

2. Sabar dalam menerima musibah atau takdir yang buruk dari Allah Azza wa Jalla.
Demikian pula dalam menghadapi musuh-musuh Allah, butuh kesabaran karena dalam jihad terdapat
banyak kesulitan dan hal-hal yang tidak mengenakkan. Sabar dalam menghadapi mereka merupakan
sebab dan jalan mendapat kemenangan sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, baik dalam jihad melawan musuh yang nampak, yaitu orang-orang kafir, maupun dalam jihad
melawan musuh yang tidak nampak, yaitu hawa nafsu. Orang yang sabar pada kedua jihad ini, ia akan
ditolong dan akan berhasil mengalahkan musuhnya. Sedangkan yang tidak bersabar dan berkeluh kesah,
maka ia akan kalah dan menjadi tawanan musuh atau terbunuh.

Pertolongan Allah pasti datang bila kaum mukminin menolong agama Allah dengan cara melaksanakan
perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Saat melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan inilah mutlak diperlukan kesabaran. Tanpa kesabaran, tidak mungkin bisa melakukannya.

8. KELAPANGAN ADA BERSAMA KESEMPITAN

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Dan kelapangan bersama kesempitan.”

Terkadang musibah, fitnah, dan cobaan menimpa seorang muslim sehingga urusannya menjadi sulit,
dunia terasa sempit dan rasa sedih serta galau semakin bertambah. Apabila ia mengharapkan pahala,
bersabar, dan mengetahui bahwa apa yang menimpanya adalah atas takdir Allah serta tidak putus asa
dari rahmat Allah, niscaya inâyah (pertolongan) Allah, maaf-Nya, ampunan-Nya, dan rahmat-Nya akan
dia peroleh. Itulah kelapangan. Allah Ta’ala berfirman :

‫ل يَأتِ هكمْ َولَ َّما ال َجنَّ ْةَ ت َد هخلهوا أَنْ َحسِبتهمْ أ َْم‬
ْ‫سا هْء َمسَّت هه هْم ِ قَب ِل هكمْ مِ نْ َخلَوا الَّذِينَْ َمث َ ه‬
َ ‫ل َحتَّىْ َو هزل ِزلهوا َوالض ََّّرا هْء البَأ‬
َْ ‫ل يَقهو‬
ْ‫سو ه‬ َّ َْ‫َمت َىْ َمعَ ْهه آ َمنهوا َوالَّذِين‬
‫الر ه‬
َْ َ ‫ن أ‬
َِّْ ِ ‫ّل‬
‫ّللا نَص هْر‬ َّْ ْ‫قَ ِريب‬
َّْ ‫ّللاِ نَص َْر ِإ‬

“Ataukah kamu mengira kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti
(yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan
guncangan (dengan berbagai cobaan) sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya
berkata, ‘Kapankah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.”
[al-Baqarah/2: 214]

Betapa sering Allah Azza wa Jalla membawakan kisah-kisah tentang ujian dan cobaan yang dialami para
Nabi, kemudian Allah Azza wa Jalla menyebutkan pertolongan-Nya. Seperti kisah Nabi Nuh Alaihissallam
dan pengikutnya yang diselamatkan di atas perahu, Nabi Ibrahim Alaihissallam diselamatkan dari api,
Nabi Ismail Alaihissallam diganti dengan domba ketika diperintahkan Allah untuk disembelih. Kisah
lainnya, Nabi Musa Alaihissallam dan pengikutnya yang diselamatkan dari Fir’aun, kisah Nabi Yunus
alaihissallam . Juga kisah Nabi Muhammmad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditolong ketika
bersembunyi di gua, dibantu pada waktu Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Ahzâb,
Perang Hunain dan lain-lain.
9. SESUNGGUHNYA BERSAMA KESULITAN ADA KEMUDAHAN

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”

Maksudnya, setiap kemudahan akan datang setelah adanya kesulitan, bahkan setiap kesulitan itu akan
diiringi dua kemudahan: kemudahan sebelumnya dan kemudahan yang akan datang. Allah Ta’ala
berfirman,

ْ‫ن يهس ًرا العهس ِْر َم َْع فَإ ِ َّن‬


َّْ ِ‫يهس ًرا العهس ِْر َم َْع إ‬

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada
kemudahan.” [al-Insyirâh/94: 5-6] [25]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdiatas menegaskan bahwa kesulitan tidaklah menimpa
manusia terus menerus selama ia ridha dengan ketentuan Allah, senantiasa komitmen terhadap segala
perintah dan larangan-Nya, dan pasrah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengganti kesulitan dengan
kemudahan. Allah Ta’ala berfirman,

ْ‫علَى يَت ََو َّكلْ َو َمن‬ َِّْ ‫َحسبه ْه ه فَ هه َْو‬


َ ‫ّللا‬

“…Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya…” [ath-
Thalâq/65: 3] [26]

FAWAA-ID HADITS

1. Bolehnya membonceng di atas kendaraan orang lain.

2. Disunnahkan mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada ummat dengan perkataan yang ringkas.

3. Berkemauan keras untuk membina kaum muslimin.

4. Balasan pahala itu tergantung dari jenis amalan.

5. Wajib atas seorang hamba menjaga batas-batas Allah, menjaga tauhid, shalat lima waktu, menjaga
matanya, auratnya dan tidak boleh melewati batas dan wajib untuk mengagungkan-Nya.

6. Barangsiapa yang tidak menjaga batas-batas Allah, maka Allah tidak akan menjaganya. (al-Hasyr/59:
19).

7. Diharamkan meminta kepada selain Allah dalam hal-hal yang makhluk tidak mampu memberikannya
seperti rizki, kesembuhan, ampunan, dan lain sebagainya
8. Seluruh makhluk itu lemah dan butuh kepada Allah Azza wa Jalla . Karena itu, seorang hamba wajib
memohon pertolongan hanya kepada Allah Azza wa Jalla

9. Wajib beriman kepada al-Qadha wal Qadar yang baik maupun yang buruk. Semua yang terjadi di
langit dan di bumi sudah ditaqdirkan oleh Allah, tidak ada satu pun yang terluput

10. Wajib bagi setiap hamba untuk mencari keridhaan Allah meski dibenci oleh manusia lainnya

11. Seorang hamba tidak sanggup untuk mendatangkan manfaat bagi dirinya dan tidak sanggup untuk
menolak bahaya, melainkan dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena itu, ia wajib
menggantungkan harapannya hanya kepada Allah.

12. Perbuatan makar—meskipun direncanakan oleh orang banyak—tidak akan terlaksana kecuali
dengan izin Allah Azza wa Jalla (Qs at-Taubah/9: 51).

13. Catatan takdir di Lauhul Mahfûzh adalah tetap, tidak dapat diganti dan berubah lagi.

14. Perbanyaklah ibadah, dzikir, do’a, dan lainnya di saat senang, maka Allah Azza wa Jalla akan
menolongmu di saat mengalami kesulitan.

15. Setiap kesulitan dan kesusahan yang menimpa seorang hamba, pasti sesudahnya ada kelapangan
dan kemudahan.

16. Kelapangan dan kemudahan selalu menyertai orang yang mengalami kesulitan.

17. Bila seorang hamba ditimpa kesulitan, maka hendaklah ia memohon kepada Allah agar dihilangkan
kesulitannya. Karena hanya Allah yang dapat memberikan manfaat dan menolak bahaya (kesulitan). (al-
An’âm/6:17, Yûnus/10: 107).

18. Allah akan memberikan pertolongan dan kemenangan kepada para hamba-Nya yang sabar.

19. Jihad di jalan Allah membutuhkan kesabaran dan istiqamah.

20. Dengan kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan dalam agama dapat diproleh. (Perkataan Syaikhul
Islâm Ibnu Taimiyyah)

Maraji :

1. Al-Qur-an dan terjemahnya.

2. Kutubus Sab’ah.

3. as-Sunanul Kubrâ lin Nasâ’i.

4. Shahîh Ibni Hibbân dengan at-Ta’liqâtul Hisân ‘ala Shahih Ibni Hibbân.

5. Sunan ad-Dârimi.

6. Mushannaf ‘Abdurrazzâq.

7. Mushannaf Ibni Abi Syaibah.


8. Mustadrak al-Hâkim.

9. Sunan al-Baihaqi.

10. Syarhus Sunnah, karya Baghawi.

11. Syarh Ma’ânil Aatsâr, karya ath-Thahâwi.

12. Al-Mu’jamul Kabîr, karya ath-Thabrani.

13. Al-Muntaqâ, karya Ibnul Jarud.

14. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Bâjis.

15. Nûrul Iqtibâs bi Washiyyatir Rasûl libni ‘Abbâs, karya Ibnu Rajab al-Hanbali.

16. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.

17. Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr.

18. Qawâ’id wa Fawâ’id minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthân.

19. al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.

20. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.

21. Dan kitab-kitab lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10-11/Tahun XIII/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-
858196]

_______

Footnote

[1]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2856, 5967), Muslim (no. 30 (48), 30 (49)), Abu Dâwud (no. 2559), dan at-
Tirmidzi (no. 2643).

[2]. Shahih: HR. Muslim (no. 223).

[3]. Shahih: HR. Ahmad (V/282) dari Sahabat Tsauban Radhiyallahu anhu . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-
Shahîhah (no. 115).

[4]. Shahih: HR. Ahmad (II/34, 69, 86), at-Tirmidzi (no. 1535), dan al-Hâkim (IV/297).

[5]. Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2458), Ahmad (I/ 387), al-Hâkim (IV/323), dan al-Baghawi dalam Syarhus
Sunnah (no. 4033). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 935).

[6]. Shahih: HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân (no. 5375), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (I/65, no.
67), dan Abu Ya’la dalam Musnadnya (no. 78, 79), dari Shahabat Abu Bakar ash-Shiddiq. Dishahihkan
oleh Syaikh al-Albâni. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 4519).
[7]. Tafsîr Ibnu Katsîr (III/111).

[8]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/467).

[9]. Hilyatul Auliyâ’ (II/386, no. 2659).

[10]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 176).

[11]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/474).

[12]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 1479), at-Tirmidzi (no. 3247), Ibnu Mâjah (no. 3828).

[13]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 1474) dan Muslim (no. 1040 (104)). Lafazh Muslim dari Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu anhuma.

[14]. Lihat Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 225).

[15]. Shahih: HR. Muslim (no. 2664).

[16]. Shahih: HR. Ahmad (5/245), Abu Dâwud (no. 1522), an-Nasâ-i (3/53), dan al-Hâkim (1/273; 3/273).

[17]. Lihat Syarah al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 226).

[18]. Lihat Syarah al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 226).

[19]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/482).

[20]. Shahih: HR. Abu Dawud (no. 4700), at-Tirmidzi (no. 2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah
(no. 102), Ahmad (V/317), dan selainnya dari Ubadah bin Shamit.

[21]. Shahih: HR. Muslim (no. 2653), Ahmad (II/169), dan at-Tirmidzi (no. 2156) dari Shahabat ‘Amr bin
al-‘Ash .

[22]. Lihat Syarah al-Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 227).

[23]. Shahih: HR. Muslim (no. 2999 (64)), Ahmad (VI/16), ad-Dârimi (II/318) dan Ibnu Hibbân (no. 2885,
at-Ta’lîqatul Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibbân), dari Abu Yahya Suhaib bin Sinan . Lafazh ini milik Muslim.

[24]. Lihat Syarah al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 227).

[25]. Lihat Syarah al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 228).

[26]. Lihat al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 147).

Anda mungkin juga menyukai