Anda di halaman 1dari 14

Empat Dosa Besar Yang Dilaknat Pelakunya Oleh Allah Azza Wa Jalla

editor — Apr 4, 2017

EMPAT DOSA BESAR YANG DILAKNAT PELAKUNYA OLEH ALLÂH AZZA WA JALLA

Oleh

Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas ‫هللا حفظه‬

ُّ ‫عام ُْر‬
‫الطفَيلْ أَبُوْ َح َّدثَنَا‬ َ ُْ‫ل َواثلَ ْةَ بن‬ َْ ‫قَا‬: ُْ‫عليْ عن َْد ُكنت‬ َ ْ‫طالبْ أَبيْ بن‬ َ ، ُ‫ر ُجلْ فَأَت َاْه‬،
َ ‫ل‬ َْ ‫فَقَا‬: ‫ي كَانَْ َما‬ ُّْ ‫صلَّى النَّب‬ َ ‫سلَّ َْم‬
َّْ ْ‫علَيه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫إلَيكَْ يُس ُّْر َو‬. ‫ل‬ َْ ‫قَا‬:
َْ ‫فَغَض‬، ‫ل‬
‫ب‬ َْ ‫وقَا‬:
َ ‫ي كَانَْ َما‬ ُّْ ‫صلى النَّب‬َّ َ ُ‫ّللا‬ َ
َّْ ْ‫عليه‬ َّ
َ ‫سل َْم‬ َ ‫ي يُس ُّْر َو‬ َ َ َ
َّْ ‫أربَعْ بكَل َماتْ َح َّدثنيْ قَدْ أنَّ ْهُ غَي َْر النَّاس يَكت ُ ُم ْهُ شَيئًا إْل‬. ‫ل‬َ َْ ‫قَا‬: ‫ل‬َْ ‫فَقَا‬: ‫ُن َما‬َّْ ‫أَمي َْر يَا ه‬
‫ل ال ُمؤمنينَ ؟‬ َْ ‫قَا‬: َْ‫هللاُ لَ َعن‬
َْ ‫قَا‬: ‫ل‬ ْ ْ‫ح َمن‬ َْ ‫ هللاْ لغَيرْ ذَ َب‬، َْ‫هللاُ لَ َعن‬
ْ ْ‫ َوال َديهْ لَ َعنَْ َمن‬، َْ‫هللاُ لَ َعن‬ْ ْ‫ ُمـحدثًا َآوى َمن‬، َْ‫هللاُ لَ َعن‬ ْ ْ‫غي ََّْر َمن‬
َ ‫َار‬ َْ ‫اْلَرضْ َمن‬

Abu ath-Thufail ‘Amir bin Watsilah menuturkan kepada kami, ia berkata: Aku pernah berada di sisi Ali
bin Abi Thalib[1] Radhiyallahu anhu , lalu ada seseorang yang datang kepadanya dan berkata, ‘Apakah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata rahasia kepadamu?’ Maka ‘Ali Radhiyallahu anhu
marah dan ia berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkata satu rahasia pun
kepadaku yang ia sembunyikan dari orang lain, tetapi Beliau pernah bertutur kepadaku dengan empat
kalimat.’ Maka orang tersebut berkata, ‘Apakah kalimat-kalimat tersebut, wahai Amirul Mukminin?’ ‘Ali
Radhiyallahu anhu berkata:

Allâh melaknat orang yang menyembelih binatang untuk selain Allâh

Allâh melaknat orang yang melaknat kedua orangtuanya

Allâh melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan

Allâh melaknat orang yang mengubah batas tanda tanah.”


TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh :

Muslim (no. 1978 [42] dan 1978 [43])

Al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad, no. 17

An-Nasa`i, VII/232

Ahmad, I/108, 118, 152

Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, no. 22327

Abu Ya’la, no. 602

Al-Baihaqi, VI/99

Al-Hakim, IV/153

KOSA KATA HADITS

ْ‫ كَل َماتْ بأر َبع‬: dengan empat kata, maksudnya empat kalimat

َْ‫هللاُ لَعَن‬
ْ : Makna al-la’n yaitu menjauhkan dari rahmat Allâh Azza wa Jalla

‫ َآوى‬: menjaga, melindungi


‫ ُمحدثًا‬: Orang yang berbuat kejahatan dan berhak mendapat hukuman hadd

‫ َمنَار‬: Jamak dari ‫َارة‬


َ ‫ َمن‬yang berarti tanda

SYARH (PENJELASAN) HADITS

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya terhadap empat kejahatan. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla mengusir dan menjauhkan pelaku
salah satu di antara perkara tersebut dari rahmat-Nya, yaitu:

Pertama, bertaqarrub dengan menyembelih untuk selain Allâh Azza wa Jalla , karena hal itu berarti
memalingkan ibadah kepada selain Allâh Azza wa Jalla , sesuatu yang tidak berhak mendapat
peribadahan.

Kedua, orang yang mendo’akan kejelekan terhadap kedua orang tuanya, baik dengan melaknat atau
mencaci maki keduanya maupun menjadi sebab terjadinya hal tersebut, misalnya seseorang melakukan
kejelekan-kejelekan di atas terhadap orang tua orang lain lalu orang lain tersebut membalasnya dengan
perbuatan jelek serupa, maka itu sama dengan melakukan perbuatan jelek terhadap orang tuanya
sendiri.

Ketiga, orang yang melindungi pelaku kejahatan yang pantas mendapatkan hukuman syar’i, misalnya
dengan menghalang pelaksanaan hukum tersebut kepada orang itu, atau ia ridha terhadap kebid’ahan
dalam agama dan mengakuinya.

Keempat, orang yang mengubah tanda batas tanah yang memisahkan hak pemilik masing-masing,
dengan cara memajukan atau memundurkan (tanda-tanda) itu dari tempatnya yang benar. Sehingga
dengan sebab itu terjadilah pengambilan sebagian tanah orang lain secara zhalim. [2]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

َْ‫هللاُ لَعَن‬ َْ َ‫هللاْ لغَيرْ ذَب‬


ْ ْ‫ح َمن‬

Allâh melaknat orang yang menyembelih binatang untuk selain Allâh


Menyembelih binatang pada asalnya adalah ibadah yang diperintahkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

َ َ‫َوان َحرْ ل َربكَْ ف‬


ْ‫صل‬

Maka laksanakanlah shalat karena Rabbmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri
kepada Allâh).” [Al-Kautsar/108:2]

Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk
menggabungkan dua ibadah tersebut, yaitu shalat dan berkurban. Keduanya menunjukkan
perbuatan taqarrub (yang mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla , kerendahan hati,
butuh kepada Allâh, berbaik sangka, kuatnya keyakinan, dan tenangnya hati kepada Allâh dan kepada
janji-Nya.

Dan ini berlawanan dengan keadaan para penyembah kubur dan orang yang seakan tidak butuh kepada
Allâh Azza wa Jalla , yang mereka tidak shalat kepada-Nya dan tidak menyembelih kurban karena takut
kefakiran. Karena inilah Allâh Azza wa Jalla menggabungkan kedua ibadah tersebut dalam firman-Nya:

ْ‫ن قُل‬
َّْ ‫ص ََلتي إ‬ ُ ُ‫اي َون‬
َ ‫سكي‬ َْ َ‫لِل َو َم َماتي َو َمحي‬ َْ َْ‫ل َوأَنَا أُمرتُْ َوب َٰذَلكَْ ۖ لَْ ْهُ شَريك‬
َّْ ْ‫﴿ ال َعالَمينَْ َرب‬١٦٢﴾ ‫ل‬ ُْ ‫ال ُمسلمينَْ أ َ َّو‬

Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku (sembelihanku), hidupku dan matiku


hanyalah untuk Allâh, Rabb seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (Muslim).’” [Al-
An’âm/6:162-163]

Makna nusuk adalah penyembelihan untuk Allâh semata karena mengharapkan pahala dari-Nya.
Keduanya (shalat dan menyembelih) merupakan ibadah yang paling mulia untuk mendekatkan diri
kepada Allâh Azza wa Jalla . Dalam surat al-Kautsar, perintah tersebut didahului dengan huruf fa’, yang
menunjukkan sebab, karena mengerjakan kedua ibadah tersebut merupakan sebab yang menuntun
seseorang untuk bersyukur kepada Allâh atas apa yang Allâh Azza wa Jalla beri dari al-Kautsar.

Ibadah fisik yang paling mulia adalah shalat dan ibadah harta yang paling mulia adalah menyembelih.
Tidak terkumpul pada ibadah shalat dalam diri seseorang sebagaimana yang terkumpul pada ibadah
lainnya, sebagaimana yang diketahui oleh para pemilik hati yang hidup. Dan tidak terkumpul pada diri
seorang hamba dalam ibadah penyembelihan –jika diiringi dengan iman dan ikhlas- dari kuatnya
keyakinan dan husnuz zhann (berbaik sangka) melainkan perkara yang menakjubkan. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam merupakan orang yang banyak melakukan shalat dan berkurban.”[3]

Tetapi jika seseorang menyembelih binatang untuk mendekatkan diri kepada selain Allâh Azza wa Jalla ,
seperti berhala, patung, pohon, batu, jin, dan selainnya, maka Allâh Azza wa Jalla melaknat orang
tersebut. Setiap orang yang menyembelih untuk selain Allâh Azza wa Jalla , maka orang tersebut dilaknat
oleh Allâh Azza wa Jalla . Ini menunjukkan betapa dosa itu sangat besar, karena Allâh Subhanahu wa
Ta’ala tidak melaknat kecuali terhadap perkara dosa yang berbahaya. Ini menunjukkan besarnya dosa
menyembelih untuk selain Allâh, bagaimanapun bentuk penyembelihan tersebut, baik sedikit atau
banyak, dengan binatang yang besar atau kecil.

Bentuk penyembelihan kepada selain Allâh yaitu seseorang menyebut nama selain nama Allâh saat
menyembelih, atau dengan niat dan hati serta keyakinannya untuk mendekatkan diri kepada selain Allâh
dengan penyembelihan tersebut. Atau dengan sembelihan tersebut, dia ingin menolak bahaya dari
sesuatu yang dia sembelih untuknya, seperti misalnya menyembelih untuk jin dengan maksud untuk
menolak bahaya yang ditakutkan dari mereka atau karena takut kepada mereka, atau menyembelih
untuk berhala agar mendapat manfaat dari berhala tersebut, seperti yang dilakukan oleh sebagian
orang-orang bodoh. Jika sudah lama tidak datang hujan, mereka menyembelih kerbau atau hewan
lainnya di tempat tertentu, atau di kuburan tertentu dimana mereka ingin hujan turun di tempat
tersebut. Terkadang mereka diuji dengan turunnya hujan itu, jadi terkabulnya doa mereka merupakan
ujian dan cobaan dari Allâh Azza wa Jalla , bukan menunjukkan bolehnya perbuatan mereka yang
termasuk syirik dan mendekatkan diri kepada selain Allâh Azza wa Jalla .

Barangsiapa melakukan hal tersebut, ia termasuk musyrik (orang yang berbuat syirik atau
menyekutukan Allâh) yang terlaknat, baik ia melafazhkan dengan berkata ‘Sembelihan ini untuk kuburan
fulan’ dan lafazh semisalnya atau ia hanya meniatkan dengan hatinya saja. Sembelihan ini haram, karena
termasuk dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

‫علَي ُك ُْم َح َّر َْم إنَّ َما‬ َّْ ‫ّللا لغَيرْ بهْ أُه‬
َ َ‫ل َو َما الخنزيرْ َولَح َْم َوالد ََّْم ال َميت َ ْة‬ َّْ

Sesungguhnya Allâh hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allâh [Al-Baqarah/2:173]

Semua yang disembelih untuk selain Allâh mencakup apa-apa yang disembelih dengan menyebut selain
nama Allâh, atau disembelih dengan nama Allâh tetapi diniatkan untuk berhala, jin, dan semisalnya.

Jadi, yang tercakup dalam penyembelihan untuk selain Allâh yaitu:


Sesuatu yang disembelih untuk selain Allâh Azza wa Jalla dalam rangka mendekatkan diri kepadanya.
Walaupun dia menyebut bismillah, ini tetap haram sesuai ijma’ dan termasuk syirik, seperti
menyembelih untuk berhala, penghuni kubur dan lainnya.

Sesuatu yang disembelih untuk dimakan dagingnya, tetapi dengan menyebut nama selain Allâh Azza wa
Jalla .

Sesuatu yang disembelih ketika musim kemarau di tempat tertentu atau di kuburan tertentu agar hujan
segera turun.

Sesuatu yang disembelih ketika pertama kali memasuki rumah baru karena takut kepada jin.

Menyembelih sapi atau kurban untuk ditanam kepala binatang tersebut agar bangunan menjadi kokoh
dan kuat.

Menyembelih binatang untuk menolak malapetaka, seperti menyembelih untuk Nyi Roro Kidul di Pantai
Selatan, atau yang lainnya.

Ini semua termasuk penyembelihan kepada selain Allâh Azza wa Jalla dan merupakan perbuatan syirik
besar (syirk akbar).

Apa saja yang disembelih untuk selain Allâh, maka tidak boleh dimakan, karena termasuk dalam firman-
Nya:

َّْ ‫ّللا لغَيرْ بهْ أُه‬


‫ل َو َما‬ َّْ

dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allâh

Begitu pula sembelihan-sembelihan yang tidak dibaca Bismillah, maka tidak boleh dimakan.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:


ْ‫ّللا اس ُْم يُذكَرْ لَمْ م َّما ت َأ ُكلُوا َو َل‬
َّْ ْ‫علَيه‬
َ ُ‫ن ۖ لَفسقْ َوإنَّ ْه‬ َْٰ َ‫طعت ُ ُموهُمْ َوإنْ ۖ ليُ َجادلُو ُكمْ أَوليَائهمْ إل‬
َّ ‫ى لَيُو ُحونَْ ال‬
َّْ ‫شيَاطينَْ َوإ‬ َ َ ‫لَ ُمشر ُكونَْ إنَّ ُكمْ أ‬

Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama
Allâh, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, tentu kamu telah
menjadi orang musyrik. [Al-An’âm/6:121]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

َْ‫هللاُ لَ َعن‬
ْ ْ‫َوال َديهْ لَ َعنَْ َمن‬

Allâh melaknat orang yang melaknat kedua orangtuanya

Allâh Azza wa Jalla menggandengkan hak orang tua dengan hak-Nya dalam firman-Nya:

‫ّللا َواعبُدُوا‬ َْ ‫سانًا َوبال َوال َدينْ ۖ شَيئًا بهْ تُشر ُكوا َو‬
ََّْ ‫ل‬ َ ‫إح‬

Dan beribadahlah kepada Allâh dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah
kepada kedua ibu-bapak…” [An-Nisâ’/4:36]

َّْ َ ‫ل ت َعبُدُوا أ‬
َ َ‫ل َربُّكَْ َوق‬
ْ‫ض َٰى‬ َّْ ‫سانًا َوبال َوال َدينْ إيَّاْهُ إ‬
َ ‫َن إ َّما ۖ إح‬ ْ َ َ‫ل أُفْ لَ ُه َما تَقُلْ ف‬
َّْ ‫َل ك ََل ُه َما أَوْ أ َ َح ُد ُه َما الكبَ َْر عن َدكَْ يَبلُغ‬ َْ ‫ل لَ ُه َما َوقُلْ ت َن َهر ُه َما َو‬
ًْ ‫قَو‬
‫﴿ كَري ًما‬٢٣﴾ ْ‫ح ل ُه َما َواخفض‬ َ ُّ
َْ ‫الرح َمةْ منَْ الذلْ َجنَا‬ ُ َ
َّ ْ‫يرا َربَّيَاني ك َما ار َحم ُه َما َربْ َوقل‬ ً ‫صغ‬ َ

Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat
baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut
dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang
baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah,
“Wahai Rabbku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu
kecil.” [Al-Isrâ’/17:23-24]
Hak orang tua selalu disebutkan setelah hak Allâh Azza wa Jalla , begitu juga larangan berbuat buruk
kepada orang tua disebutkan setelah larangan berbuat buruk pada hak Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana
dalam hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ َ ‫قُلنَا ث َ ََلثًا ال َكبَائر؟ بأَكبَرْ أُنَبئ ُ ُكمْ أ‬: ‫ل يَا بَلَى‬


َ‫ل‬ َْ ‫سو‬ ُْ ‫عقُو‬
َْ ‫قَا‬: ُْ‫باللْ اَْلش َراك‬، ‫ق‬
ُ ‫هللاْ َر‬، ‫ل‬ َْ َ‫ل فَ َجل‬
ُ ‫ال َوال َدينْ َو‬. َْ‫س ُمتَّكئًا َوكَان‬ َْ َ ‫ل أ‬
َْ ‫فَقَا‬: ‫ل‬ ُْ ‫الزورْ َوقَو‬،
ُّ ُ ‫ش َها َدْة‬
َ ‫َو‬
ْ‫الزور‬،ُّ ‫ل‬ َْ ‫قُلنَا َحتَّى يُكَر ُرهَا فَ َمازَ ا‬: ُ‫سكَتَْ لَيت َ ْه‬َ

Maukah aku beritahukan kepadamu dosa besar yang paling besar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata tiga kali. Kami (para Sahabat) menjawab, “Tentu, wahai Rasûlullâh !” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dan durhaka kepada kedua orang tua.” Awalnya
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersandar kemudian duduk dan bersabda, “Serta camkanlah, juga
saksi palsu dan perkataan bohong.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengulanginya
sehingga kami berkata (dalam hati kami), “Semoga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam.”[4]

Jadi tidak boleh seorang anak mencela orang tuanya dan ini merupakan dosa besar. Karena Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelakunya, dan laknat terhadap sesuatu menunjukkan bahwa hal
itu merupakan dosa besar, baik mencela secara langsung atau menjadi penyebab orang tuanya dicela.
Karena sebagian orang ada yang tidak mencela orang tuanya secara langsung, tetapi dengan suatu
sebab seperti ia mencela orang tua temannya, yang kemudian temannya itu membalas mencela orang
tuanya. Maka ia menjadi sebab dalam pencelaan orang tuanya sendiri.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َْ‫الر ُجلْ شَت ُْم ال َك َبائرْ من‬ َ ‫قَالُوا‬: ‫ل َيا‬


َّ ْ‫وال َديه‬. َْ ‫سو‬ ُْ ‫الر ُج‬
ُ ‫هللاْ َر‬، ْ‫ل َيشت ُْم َوهَل‬ َّ ‫ل َوال َديه؟‬ ُ ‫الر ُجلْ أ َ َبا َي‬،
َْ ‫قَا‬: ‫نَ َع ْم‬، ُّْ‫سب‬ َّ ُّْ‫سب‬ ُ ‫أ ُ َّم ْهُ َو َي‬، ُّْ‫سب‬
ُ ‫أ َ َباْهُ فَ َي‬، ُّْ‫سب‬ ُ ‫أ ُ َّم ْه ُ فَ َي‬

“Di antara dosa-dosa besar adalah cacian seseorang terhadap kedua orang tuanya.” Para Sahabat
bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Bagaimana mungkin seseorang mencaci kedua orang tuanya?” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Benar. Ia mencaci ayah orang lain, lalu orang itu akan mencaci
ayahnya. Jika ia mencaci ibu orang lain, maka orang itu akan mencaci ibunya.”[5]

Seorang Muslim tidak boleh menjadi pelaknat, pencela, dan berakhlak buruk. Seorang Muslim wajib
menjadi orang yang beradab dan berbicara dengan kata-kata yang baik. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

‫ُحسنًا للنَّاسْ َوقُولُوا‬


… Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia …[Al-Baqarah/2:83]

Jika kepada orang lain kita diperintahkan untuk berkata baik, apalagi kepada orang tua. Allâh Azza wa
Jalla memerintahkan agar berkata kepada mereka dengan perkataan yang mulia. Allâh Azza wa Jalla
berfirman:

ْ‫ل لَ ُه َما َوقُل‬


ًْ ‫كَري ًما قَو‬

… dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. [Al-Isrâ’/17: 23]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ْ ْ‫ُمـحدثًا َآوى َمن‬


َْ‫هللاُ لَ َعن‬

Allâh melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan

Yaitu orang yang melindungi orang lain yang berbuat kejahatan dengan kedudukannya, kekuatannya,
kekuasaannya atau dengan pasukannya, agar pelaku kejahatan itu tidak dikenai hukuman hadd. Apa
yang dia lakukan ini juga termasuk dosa besar dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknatnya.

Abu as-Sa’adat rahimahullah (Ibnul Atsir, wafat th. 606 H) berkata tentang makna ‫ ُمحدثًا‬, “Kata tersebut
ada yang meriwayatkan dengan mengkasrahkan huruf Dal (‫ ) ُمحدثًا‬dan ada juga yang
memfathahkannya (‫) ُمح َدثًا‬. Jika dikasrahkan, maka maknanya : pelaku, (jadi makna hadits di atas adalah-
red) orang yang menolong pelaku kejahatan, melindunginya, menyelamatkannya dari lawannya, dan
menghalanginya agar tidak diqishash.

Sedangkan jika difathahkan huruf Dalnya, maknanya adalah objek, yaitu perkara bid’ah itu sendiri. Jadi
makna (hadits di atas jika difathahkan yaitu-red) ridha dan sabar terhadapnya. Karena seseorang jika
ridha terhadap suatu bid’ah dan mengakui pelakunya serta tidak mengingkarinya, maka ia telah
melindunginya.”[6]
Seorang Muslim tidak boleh melindungi, menolong atau membantu pelaku kejahatan atau pelaku
bid’ah, karena hal ini termasuk dalam ta’awun (tolong menolong) dalam perbuatan dosa dan
permusuhan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

‫علَى َوتَعَ َاونُوا‬


َ ْ‫ى البر‬ َ ْ‫ّللا َواتَّقُواۖ َوالعُد َوانْ اْلثم‬
َْ ‫علَى تَعَ َاوْنُوا َو‬
َْٰ ‫ل ۖ َوالتَّق َو‬ ََّْ ۖ ‫ن‬ ََّْ ‫العقَابْ شَدي ُْد‬
َّْ ‫ّللا إ‬

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan permusuhan dan bertakwalah kalian kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh
Mahakeras siksa-Nya [Al-Mâ`idah/5:2]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

َْ‫هللاُ لَعَن‬
ْ ْ‫غي ََّْر َمن‬ َْ ‫اْلَرضْ َمن‬
َ ‫َار‬

Allâh melaknat orang yang mengubah batas tanda tanah

Ada tiga pendapat para Ulama tentang maksud dengan tanda-tanda tanah:

َْ ‫ اْلَرضْ َمن‬yaitu garis tanda batas tanah. Mengubahnya yaitu dengan


Pertama, yang dimaksud ‫َار‬
melebihkannya dari batas yang seharusnya. Dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

َ َ ‫ َحقْ بغَيرْ اْلَرضْ منَْ شب ًرا اقت‬، ُ‫سبعْ منْ القيَا َمةْ يَو َْم طُوقَ ْه‬
ْ‫ط َْع َمن‬ َ َْ‫أ َ َرضين‬

Barangsiapa mengambil sejengkal tanah (orang lain) tanpa hak, maka akan dikalungkan padanya dari
tujuh bumi pada hari Kiamat[7]

َْ ‫ اْلَرضْ َمن‬yaitu tanda-tanda tanah haram yang diharamkan di sana membunuh


Kedua, yang dimaksud ‫َار‬
hewan buruan, diharamkan menebang pohon dan rerumputannya, dan diharamkan mengambil barang
temuan yang hilang. Allâh Azza wa Jalla menjadikan daerah sekitar Ka’bah haram dari segala sisi. Ini
merupakan kota yang tidak boleh dimasuki oleh orang musyrik dan tidak boleh berperang di dalamnya
kecuali jika untuk membela diri. Jadi yang dimaksud ‫َار‬ َْ ‫ اْلَرضْ َمن‬di sini yaitu tanda-tanda yang dijadikan
batas di sekitar tanah haram dari semua sisi, dari daerah Tan’im, Hudaibiyyah, ‘Arafah dan Namirah,
serta dari Ji’ranah.

َْ ‫ اْلَرضْ َمن‬yaitu tanda-tanda yang ada di jalan umum yang kita kenal, seperti
Ketiga, yang dimaksud ‫َار‬
papan-papan penunjuk lalu lintas di jalan. Maka ini tidak boleh diubah karena dapat menyesatkan
orang-orang.

Dan yang paling kuat yaitu pendapat yang pertama. Wallâhu a’lam.[8]

FAWAA-ID[9]

Dalam hadits ini ada bantahan terhadap orang-orang syi’ah yang mengatakan bahwa Ali Radhiyallahu
anhu mendapat wasiat khusus dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Tidak ada wasiat sama sekali untuk Ali Radhiyallahu anhu untuk menjadi khalifah sesudah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.

Ada dalil tentang dianjurkannya menulis

Ali Radhiyallahu anhu marah kepada orang yang berkata bahwa beliau Radhiyallahu anhu mendapat
wasiat khusus dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Kalau ada orang yang berkata bahwa Ali adalah ْ‫( َوصي‬yang diberi wasiat) maka perkataan ini adalah
dusta dan bohong.

Orang-orang syi’ah adalah para pendusta dan pembohong, tidak boleh dipercaya seumur hidup.

Menyembelih binatang kurban untuk selain Allâh Azza wa Jalla hukumnya adalah haram dengan
keharaman yang sangat keras, baik yang disembelih itu unta, sapi, ayam, atau yang lainnya.

Menyembelih kurban untuk selain Allâh Azza wa Jalla adalah syirik dan dosa besar yang paling besar.
Sembelihan untuk berhala dan yang lain selain Allâh, maka tidak boleh dimakan.

Menyembelih kurban adalah ibadah, wajib dipersembahkan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla semata.

Wajib berkata dengan perkataan yang baik dan mulia kepada kedua orang tua.

Durhaka kepada kedua orang tua adalah perbuatan haram.

Durhaka kepada kedua orang tua merupakan dosa besar.

Melaknat (mencaci-maki) kedua orang tua adalah perbuatan haram, baik secara langsung maupun
karena menjadi sebab dilaknatnya kedua orang tua oleh orang lain, misalnya dia melaknat kedua orang
tua orang lain kemudian orang lain tersebut balas melaknat kedua orang tuanya. Ini sama dengan
melaknar kedua orang tua sendiri.

Haramnya menolong dan melindungi para pelaku kejahatan.

Haramnya meridhai atau setuju dengan kebid’ahan

Haramnya mengubah patok tanah dengan tujuan untuk mengambil hak/tanah orang lain.

Bolehnya melaknat orang-orang fasik (secara umum/tanpa menentukan individu tertentu) agar mereka
jera dari kemaksiatan.

MARAAJI’

Kutubus sittah dan kitab hadits lainnya

Taisîrul ‘Azîzil Hamîd fî Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul
Wahhab, tahqiq: Usamah bin ‘Athaya bin Utsman al-‘Utaybi.
Fat-hul Majîd Syarh Kitâbit Tauhîd, Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh.

Al-Mulakhkhash fii Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Shalih al-Fauzan.

I’ânatul Mustafîd bi Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Shalih al-Fauzan.

Al-Jadîd fî Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz as-Sulaiman al-Qar’awi, tahqiq:
Muhammad bin Ahmad Sayyid Ahmad.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197
Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi
08122589079]

_______

Footnote

[1] Beliau adalah ‘Ali bin Abi Thalib Amirul Mukminin Abul Hasan al-Hasyimi Radhiyallahu anhu , anak
paman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Thalib. Dia orang yang pertama kali masuk Islam
melalui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan anak kecil. Beliau Radhiyallahu anhu
menikahi Fathimah binti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau salah seorang yang mengikuti
Perang Badar, Bai’atur Ridhwan, dan Perang Uhud, termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk Surga,
Khulafa-ur Rasyidin yang keempat. Beliau Radhiyallahu anhu dibunuh oleh ‘Abdurrahman bin Muljam al-
Muradi al-Khariji dengan tipu muslihat di Muamirah, 17 Ramadhan, yang terkenal pada tahun 40 H.
Kuburan beliau tidak diketahui, sebagai satu hikmah yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

[2] Al-Mulakhkhash fî Syarh Kitâbit Tauhîd, hlm. 97-98

[3] Majmû’ al-Fatâwâ, XVI/531

[4] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 2654, 5976; Muslim, no. 87; Ahmad, V/36, 38; dan at-Tirmidzi, no. 1901,
2301, 3019.

[5] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5973 dan Muslim, no. 90 (146)). Ini lafazh Muslim.
[6] An-Nihâyah fii Gharîbil Hadîts wal Atsar, I/351.

[7] HR. Muslim, no. 1611; Ahmad, II/387, 388, dan 432 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu

[8] Syarah ini diringkas dari I’ânatul Mustafîd dengan berbagai tambahan dari kitab lainnya.

[9] Al-Mulakhkhash, hlm. 98 dan al-Jadîd, hlm. 108.

Anda mungkin juga menyukai