Anda di halaman 1dari 2

SHALAT MENCEGAH PERBUATAN KEJI DAN MUNKAR DAN MENGINGAT ALLÂH LEBIH BESAR

Oleh

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas ‫هللا حفظه‬

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ُ‫ي َما اتْل‬ ُِ ‫ص ََلُة َ َوأَق ُِِم ْال ِكت َا‬


َُ ِ‫ب مِ نَُ ِإلَيْكَُ أوح‬ َّ ‫ن ۖ ال‬ َّ ‫ن ت َ ْن َهىُ ال‬
َُّ ‫ص ََلُة َ ِإ‬ َ ُِ‫َر ْالفَ ْحشَاء‬
ُِ ‫ع‬ ُِ ‫ّللا َولَ ِذ ْكرُ ۖ َو ْالم ْنك‬
َُِّ ُ‫ّللا ۖ أ َ ْك َبر‬
َُّ ‫صنَعونَُ َما َي ْعلَمُ َو‬
ْ َ‫ت‬

Bacalah Kitab (Al-Qur-an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan ketahuilah
mengingat Allâh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Dan Allâh mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” [Al-Ankabut/29:45]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini, “Maksudnya, shalat itu mencakup dua
hal: (pertama) meninggalkan berbagai kekejian dan kemungkaran dimana menjaga shalat dapat
membawa kepada sikap meninggalkan hal-hal tersebut… (kedua) shalat mencakup pula upaya
mengingat Allâh Azza wa Jalla . Itulah tuntutan yang paling besar.”[1]

Abul ‘Aliyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya shalat itu mempunyai tiga pokok. Setiap shalat yang
tidak memiliki salah satu dari tiga pokok tersebut, maka itu bukanlah shalat: (pertama) ikhlas,
(kedua) khasy-yah (rasa takut disertai pengagungan), dan (ketiga) mengingat Allâh. Ikhlas
memerintahkannya kepada yang ma’ruf, khasy-yah mencegahnya dari yang mungkar, dan mengingat
Allâh adalah al-Qur’ân yang memerintah dan melarangnya.”[2]

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Shalat dikatakan dapat mencegah
perbuatan keji dan mungkar ialah bahwa seorang hamba yang mendirikan shalat, menyempurnakan
rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, khusyu’nya, maka hatinya akan bercahaya, dadanya akan menjadi
bersih, imannya akan bertambah, dan bertambah kecintaannya kepada kebaikan, dan menjadi sedikit
bahkan hilanglah keinginannya terhadap kejelekan. Yang terpenting, terus melakukannya dan
menjaganya menurut cara seperti ini, maka shalat (yang dilakukannya itu) dapat mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar. Dan ini termasuk tujuan dan buah yang paling besar dari shalat. Dan di
dalam shalat ada maksud yang lebih agung dan lebih besar, yaitu kandungan shalat itu sendiri, berupa
dzikir (mengingat) kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan hati, lisan dan anggota badan. Karena
sungguh Allâh Azza wa Jalla menciptakan makhluk hanya untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla .
Dan ibadah yang paling utama dilakukan oleh manusia adalah shalat.

Di dalam shalat terdapat penghambaan seluruh anggota badan (kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala )
yang tidak terdapat pada selain shalat. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

َُِّ ُ‫أ َ ْكبَر‬


ُ‫ّللا َولَ ِذ ْكر‬

dan mengingat Allâh lebih besar (keutamaannya) [3]


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya di dalam shalat terdapat (dua
hal): (pertama) menolak sesuatu yang dibenci yaitu perbuatan keji dan mungkar, dan (kedua)
menghasilkan sesuatu yang dicintai, yaitu dzikir (mengingat) kepada Allâh Azza wa Jalla .

Kemudian, tercapainya sesuatu yang dicintai ini lebih besar daripada menolak hal yang dibenci tersebut.
Karena dzikir (mengingat) kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah suatu ibadah yang semata-mata
karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala , dan ibadah hati kepada Allâh adalah sesuatu yang memang
dimaksudkan (yang dituju), adapun tertolaknya kejelekan dari hati, maka itu dimaksudkan karena selain-
Nya, yaitu sebagai penyerta saja.”[4]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197
Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi
08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Tafsîr Ibni Katsir (VI/280-282) dengan diringkas.

[2] Lihat Tafsîr Ibni Katsir (VI/282).

[3] Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân (hlm. 676) cet. Maktabah al-Ma’arif.

[4] Al-‘Ubûdiyyah (hlm. 120-121) tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi.

Anda mungkin juga menyukai