Mekanisme Pemotongan
1. Penerima Dividen adalah Pemotongan PPh atas dividen yang dibayarkan kepada
wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dilakukan pada saat deviden disediakan
untuk dibayarkan (Pasal 2 ayat 2 PMK-111/PMK.03/2010). Pemotong dalamhal ini
adalah pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar
diveden, wajib memberikan tanda bukti pemotonga PPH Final Pasal 4 ayat (2)
(F.1.133.21) Kepada penerima deviden. Pemotong wajib menyetor PPh yang telah
dipotongtersebut paling lama tanggla 10 bulan berikutnya dengan menggunakan SSP
(Kode akunp pajak/kode jenis setoran 411128/419). Pemotong juga wajib
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) paling lama tanggal 20 bulan
berikutnya dengan mengisi obyek pajak no. 10 pada SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2).
WP OP penerima deviden melaporkan penghasilan deviden tersebut pada SPT
Tahunan PPh sebagai berikut :
a. Jika WP OP SPT 1770-111 bagian A angka 14
b. Jika WP OP formulir 1770 S-II bagian A angka 12
c. Jika WP PPh yang dipotong dilaporkan di Bagian B angka 8 dan 9
2. Perimaan Dividen adalah WP Badan dalam pemotongan PPH atas dividen yang
dibayarkan kepada WP Badan Dalam Negeri (tentunya selain penerimaan deviden
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 3huruf f UU PPh) dilakukan pada saat
dividen disediakan untuk dibayarkan. Yang dimaksudkan dengan saat disediakan
untuk dibayarkan (Penjelasaan Pasal 15 ayat (3) PP Nomor 94 tahun 2010 adalah:
a. Untuk yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian deviden diumumkan
atau ditentukan dalam RApat Umum Penegasaan Saham (RUPS) Tahunan.
Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahunberjalan
membagikan deviden sementara (dividen interim), mka pajak penghasilan Pasal
23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan tau
ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran
Dasar perseroaan yang bersangkutan.
b. Pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan
lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur dalam Pasal
23 Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang
berhak “menerima atau memperoleh” dividen tersebut diketahui, meskipun
dividen tersebut belum diterima secara tunai.
c. Pemotong dalam hal ini adala h pihak yang wajib membayarkan, wajib
memberikan bukti potong PPh Pasal 23 (F.1.1.33.06) kepada peneriman dividen.
Pemotong menyetorkan PPh Pasal 23 yang telah dipotong tersebut paling lama
tanggal 10 bulan berikutnya dengan menggunakan SSP (kode akun pajak/kode
jenis setoran 411124/101). Pemotong juga wajib menyampaikan SPT Masa PPh
Pasal 23 paling lama tanggal 20 bulan berikutnya. Bagi pihak yang menerima
dividen ini, PPh Pasal 23 yang telah dipotong ini merupakan kredit pajak.
Contoh Soal
PT ABCD, merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri
sepatu dan beralamat di Jl. Terusan No.11, Jakarta Selatan. PT ABCD telah memiliki
NPWP 01.111.444.8-061.000. Pada tanggal 10 Juli 2013, perusahaan membayar
dividen tunai kepada pemegang saham yang sebelumnya telah diumumkan melalui
RUPS. Berikut data yang diperlukan dalam pembayaran dividen tunai.
Pemegang % Penyertaan
NPWP Dividen
Saham Modal
PT Perkasa 01.589.365.8-039.000 26% Rp130.000.000
PT Cakrawala 01.125.735.8-045.000 15% Rp75.000.000
PT Matahari 01.156.198.8-026.000 10% Rp50.000.000
PT Angkasa 01.754.125.8-039.000 18% Rp90.000.000
CV Bahari Jaya 01.342.657.8-039.000 12% Rp60.000.000
CV Karya Raya 01.453.198.8-039.000 11% Rp55.000.000
PT BNI
01.354.344.8-045.000 8% Rp40.000.000
(BUMN)
Jawab:
Dari data tabel di atas, berikut perhitungan PPh Pasal 23 yang harus dipotong PT
ABCD.
%
Pemegang
Penyertaan Dividen PPh Pasal 23 yang Dipotong
Saham
Modal
15% x Rp75.000.000 =
PT Cakrawala 15% Rp75.000.000
Rp11.250.000
15% x Rp50.000.000 =
PT Matahari 10% Rp50.000.000
Rp7.500.000
15% x Rp90.000.000 =
PT Angkasa 18% Rp90.000.000
Rp13.500.000
CV Bahari 15% x Rp60.000.000 =
12% Rp60.000.000
Jaya Rp9.000.000
CV Karya 15% x Rp55.000.000 =
11% Rp55.000.000
Raya Rp8.250.000
Jumlah Rp330.000.000 Rp49.500.000
jangka pendek terdiri atas hutang dagang dan kewajiban yang masih harus
dibayar seperti upah dan pajak.
2. Hutang jangka panjang adalah hutang dengan yang memiliki jatuh tempo lebih
dari satu tahun, biasanya berbentuk hipotek dan obligasi. Jika terjadi likuidasi,
kreditor akan dibayar terlebih dahulu dari hasil penjualan aktiva tetap yang
dipergunakan sebagai agunan dalam perjanjian kreditnya.
Pendanaan berupa hutang diproksikan ke dalam DER. Rasio DER mengukur
tingkat penggunaan hutang terhadap total modal sendiri yang dimiliki perusahaan.
Semakin tinggi DER menunjukkan tingginya ketergantungan permodalan
perusahaan terhadap pihak luar sehingga beban perusahaan juga semakin berat.
Tentunya hal ini akan mengurangi hak pemegang saham (dalam bentuk dividen).
Tingginya DER selanjutnya akan mempengaruhi minat investor terhadap saham
perusahaan tertentu, karena investor pasti lebih tertarik pada saham yang tidak
menanggung terlalu banyak beban hutang. Dengan kata lain, DER berpengaruh
terhadap kinerja perusahaan. Rasio DER oleh Jensen et at. (1992) dalam Almilia
dan Silvy (2006) dirumuskan sebagai berikut :
Pengaruh pajak terhadap pembiayaan dengan anjak piutang, yaitu sebagai berikut.
1. Pajak Penghasilan
Berdasarkan Surat Direktur Jendral pajak No. S-78/PJ-311/1996 tanggal 19 April
mengenai Pembebasan Pasal 23 atas penghasilan yang diperoleh Perusahaan Anjak
Piutang, ditegaskan bahwa penghasilan dari perusahaan anjak piutang yang dilakukan
oleh perusahaan pembiayaan baik yang diterima berupa diskon, service charge dan
provisi tidak dikenakan pemotongan PP Pasal 23 oleh perusahaan yang membayarkan.
Hal ini menunjukkan bahwa klien tidak boleh memtong pajak penghasilan pasal 23
yang terutang oleh factor serta bagi klien peraturan ini tidak mempengaruhi jumlah
pajak yang harus dibayarkan.
2. Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 202/KMK.04 /1996
tanggal 18 April 1996 tentang Nilai Lain dasar Pengenaan Pajak, disebutkan bahwa
Penyerahan Jasa Anjak Piutang terutang pajak pertambahan nilai sebesar sebesar 5% x
jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskon yang
terutang pada saat penandatanganan perjanjian pembiayaan.Adanya peraturan
tersebut, klien akan membebankan pajak pertambahan nilai sebagai tambahan biaya,
karena sifat pajak pertambahan nilai dari transaksi anjak piutang tidak dapat
dikreditkan sebagai pajak masukan.
2. Leasing
Dari sisi perpajakan
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1169/KMK.01/1991
tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing), kegiatan sewa guna usaha dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Sewa guna usaha dengan hak opsi (finance/capital lease),
2. Sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease).
Pada Pasal 3 (tiga), KMK 1169 tahun 1991, dijelaskan bahwa syarat suatu sewa guna
usaha menjadi finance lease, yaitu apabila memenuhi syarat sebagai berikut.
1. Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama
ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan
barang modal dan keuntungan lessor,
2. Masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk
barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III,
dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan,
3. Terdapat perjanjian atas sewa guna usaha tersebut yang memuat ketentuan hak
opsi bagi lesee.
Sedangkan operating lease atau yang biasa dikenal sebagai sewa guna usaha tanpa
hak opsi adalah termasuk sewa guna usaha yang memiliki ciri sebagai berikut (Pasal 4
KMK 1169/1991).
1. Jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama
tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan
ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor,
2. Perjanjian sewa guna usaha tidak memuat hak opsi kepemilikan bagi lesee.
Lebih jauh, dalam Pengumuman Direktur Jenderal Moneter No. Peng-3
07/DJM/III.1/7/1974, pemerintah mengatur barang-barang yang boleh dijadikan objek
leasing yaitu:
1. Barang yang dijadikan objek leasing harus dimiliki oleh perusahaan leasing di
Indonesia dan diambil dari produksi dalam negeri,
2. Apabila barang yang menjadi objek leasing berasal dari luar negeri, maka barang
tersebut dapat diekspor kembali setelah jangka waktu berahir dengan syarta-
syarat tersendiri.
Terkait dengan unsur perpajakan yang harus dipenuhi, beberapa peraturan yang
telah ditetapkan adalah sebagai berikut.
Bagi Lessor
1. Pajak Penghasilan (PPh), dikenakan kepada lessor atassebagian imbalan jasa
sewa guna usaha dengan hak opsi dan seluruh pembayaran jasa bagi sewa guna
usaha tanpa hak opsi.
2. PPh tidak boleh dikurangkan dengan biaya penyusutan atas barang yang
menjadi objek leasing dengan hak opsi, namun boleh dikurangkan apabila objek
leasing merupakan objek sewa guna usaha tanpa hak opsi.
3. Lessor dapat membentuk cadangan atas piutang ragu-ragu sewa guna usaha
dengan hak opsi paling tinggi 2,5% dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir
piutang leasing dan dapat dikurangkan dalam perhitungan penghasilan kena pajak
(pasal 9, UU no 36 tahun 2008)
4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikecualikan atas penyerahan objek leasing
dengan hak opsi.
Bagi Lesse
1. Lesee tidak boleh mengakui penyusutan atas objek leasing sampai saat lesee
menggunakan hak opsi untuk membeli.
2. Pembayaran leasing dapat dikurangkan sebagai biaya, baik dalam perjanjian
sewa guna usaha dengan atau tanpa hak opsi. (Pasal 6, UU no 36 tahun 2008)
3. Apabila masa leasing lebih pendek dari masa yang sudah ditentukan, maka harus
dilakukan koreksi atas pembebanan biaya leasing dengan hak opsi menjadi
tanpa hak opsi (SE-29/PJ.42/1992).
4. Lesee tidak memotong PPh pasal 23 atas pembayaran sewa guna usaha yang
dibayar dalam perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi, namun untuk perjanjian
tanpa hak opsi tetap dipotong.
Utang Modal
Dana akan dikembalikan dalam jangka Dana hanya akan dikembalikan pada saat
waktu yang telah ditetapkan likuidasi
Imbalan dari utang harus tetap dibayar Imbalan dari penyertaan modal tergantung
meskipun penerima utang dalam keadaan dari performa usaha penerima modal
merugi
Dalam keadaan likuidasi, pemberi utang Hak pemberi mdoal (pemegang saham) atas
(kreditor) memiliki hak prioritas atas aset asset merupakan hak tagih terakhir setelah
kreditor
Pemberi utang (kreditor) tidak memiliki Pemberi modal (pemegang saham)
kontrol atas perusahaan memiliki kontrol atas perusahaan