Anda di halaman 1dari 17

Pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting bagi negara yang akan

digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun


pengeluaran pembangunan. Sebaliknya bagi perusahaan, pajak yang dikenakan
terhadap penghasilan yang diterima atau yang diperoleh dianggap sebagai beban
dalam menjalankan usaha maupun sebagai distribusi laba kepada pemerintah.
Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing maka perusahaan wajib
menekan beban seoptimal mungkin.
Manajemen pajak merupakan sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan
dengan benar dan juga degan manajemen pajak jumlah dari pajak yang dibayar
dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba yang diharapkan dan bisa
dikatakan manajemen pajak merupakan upaya dalam melakukan penghematan pajak
secara legal. Secara umum manajemen pajak didefinisikan sebagai suatu usaha
menyeluruh yang dilakukan terus-menerus oleh wajib pajak agar semua hal yang
berkaitan dengan urusan perpajakan dapat dikelola dengan baik, ekonomis, efektif
dan efisien, sehingga dapat memberikan kontribusi maksimum bagi kelangsungan
usaha wajib pajak tanpa mengorbankan kepentingan segara.
Upaya meminimalkan pajak secara legal sering disebut dengan perencanaan
pajak (tax planning). Perencanaan pajak (Tax planning) menekankan pada
pengendalian setiap transaksi yang memiliki konsekuensi pajak dan kondisi
tersebut bertujuan untuk mengendalikan jumlah pajak sehingga mencapai angka
minimum, yang dapat berupa penghematan pajak (tax saving) , penghindaran pajak
(tax avoidance) ataupun penyelundupan pajak (tax evasion) .
Salah satu kunci sukses dalam bisnis adalah melalui strategi pembiayaan.
Dalam pembiayaan tersebut, strategi yang dapat dilakukan oleh suatu perusahaan
terdiri dari dua bentuk yaitu melalui pembiayaan internal dan pembiayaan eksternal.
Biasanya perusahaan menggunakan laba ditahan dalam melakukan pembiayaannya.
Hal ini terjadi ketika perusahaan mengalami arus kas positif tetapi tidak
membagikan laba ditahan tersebut kepada pemilik perusahaan. Perusahaan
membatasi ekspansi dengan membeli properti baru, pabrik
dan perlengkapan hanya dari arus kas kegiatan operasi yang menggunakan strategi
pembiayaan internal. Pembiayaan eksternal adalah strategi dimana kas datang dari
sumber selain arus kas positif perusahaan. Semua keputusan keuangan tersebut
tidaklah lepas dari indikasi pengenaan pajak, sehingga pajak menjadi pertimbangan
yang potensial.

1. Dampak dari menahan laba (Pendanaan Internal)


Laba ditahan merupakan salah satu sumber dana yang paling penting untuk
membiayai perusahaan . laba ditahan diperoleh dari hasil kegiatan operasi
perusahaan dan sebagian sisa alokasi dana yang tidak dibagikan sebagai deviden.
Tujuan dari adanya penumpukan dana cadangan adalah untuk investasi dalam
pengembangan perusahaan dan meningkatkan kinerja operasi. Jika dibandingkan
dengan utang , modal, laba ditahan bukan merupakan suatu pembatasan
pembayaran. Dengan menggunakan pembiayaan internal maka akan membuat suatu
perusahaan tumbuh tanpa memberikan kewenangan manajemen.
Laba Ditahan (Retained Earnings) bukan merupakan objek pajak penghasilan
karena sudah dikenakan pajak pada saat sebagai laba tahun berjalan. Jadi Laba
Ditahan (Retained Earnings) adalah laba komersial setelah dikurangi pajak
penghasilan. Laba Ditahan (Retained Earnings) akan dikenakan pajak penghasilan
apabila dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen dengan syarat-syarat
tertentu.
Ada tiga alasan yang berkaitan dengan pajak untuk beranggapan bahwa
investor mungkin lebih menyukai pembagian dividen yang rendah daripada yang
tinggi (teori preferensi pajak):
1. Keuntungan modal dikenakan tarif pajak lebih rendah dari pada
pendapatan dividen. Untuk itu investor yang kaya (yang memiliki
sebagian besar saham mungkin lebih suka perusahaan menahan dan
menanamkan kembali laba ke dalam perusahaan. Pertumbuhan laba
mungkin dianggap menghasilkan kenaikkan harga saham, dan
keuntungan modal yang pajaknya rendah akan menggantikan dividen
yang pajaknya tinggi.
2. Pajak atas keuntungan tidak dibayarkan sampai saham terjual. Karena
adanya efek nilai waktu, satu dolar pajak yang dibayarkan di masa
mendatang mempunyai biaya efektif yang lebih rendah daripada satu
dolar yang dibayarkan hari ini.
3. Jika selembar saham dimiliki seseorang sampai meninggal sama sekali
tidak ada pajak keuntungan modal yang terutang, ahli waris yang
menerima saham itu dapat menggunakan nilai saham pada hari kematian
sebagai dasar biaya mereka, dengan demikian mereka terhindar dari pajak
keuntungan modal.
Karena adanya keuntungan keuntungan pajak ini, para investor
mungkin lebih suka perusahaan menahan sebagian besar laba perusahaan.
Jika demikian maka para investor akan mau membayar lebih tinggi untuk
perusahaan yang pembagian dividennya rendah dari pada perusahaan sejenis
yang pembagian dividennya tinggi.

2. Dampak dari pendanaan melalui modal dan distribusi laba


Pendanaan dalam bentuk modal dilakukan oleh perusahaan melalui penjualan
kepemilikan saham biasa perusahaan tersebut. Contoh lain, seperti persekutuan yang
menjual bagian kemitraannya kepada investor baru. Pembiayaan modal juga ada
dalam berbagai bentuk.
Kebanyakan yang biasa adalah kontribusi kepada modal selalu dalam bentuk kas
tetapi terkadang dalam bentuk properti oleh para mitra dalam persekutuan atau
pemilik dari perusahaan terbatas. Pemilik saham biasa seringkali memiliki kontrol
suara dari perusahaan dan mereka mempunyai keuntungan dari memiliki
kepemilikan sisa. Dalam perencanaan strategis, manajer mencari struktur modal
optimal dalam jangka panjang.
Perpaduan optimal dari utang dan modal untuk organisasi tergantung dari tujuan
perusahaan. Untuk organisasi nirlaba, utang dapat dicegah untuk menjamin
kelangsungan program selama penurunan ekonomi, dimana dapat mengurangi
kontribusi yang tidak diharapkan. Sama halnya, seperti organisasi yang berorientasi
keuntungan, perpaduan utang atas modal yang dicari oleh
manajemen adalah satu yang memaksimalkan ekuitas pemilik. Ini adalah fungsi
dari resiko dan pengembalian yang diharapkan. Perusahaan umumnya memiliki
tujuan untuk meningkatkan nilai pemegang saham. Jika saham secara publik
diperjualbelikan, mengindikasikan bahwa harga pasar yang mereka
perdagangkan secara implisit diperhitungkan atas kedua resiko
pengembaliannya. Dalam menambah pemilihan waktu, aspek nilai waktu dari
keuntungan pajak adalah penting dalam keputusan struktur modal. Untuk para
investor pemilihan waktu pembayaran dapat direkayasa sehingga pembayaran
dilakukan dalam meminimalisasi pajak. Deviden dapat dibayarkan ketika tarif
pajak menurun, sehingga pengembalian saham dilakukan dalam rangka
pemberian penghargaan.
Dengan demikian, pajak ditunda dan kemudian ditransformasi ke dalam
penghasilan dari keuntungan modal yang dipajaki dengan tarif rendah. Para
investor bebas pajak dapat menginginkan distribusi saat ini, seperti deviden,
untuk menunda arus kas seperti menunggu untuk menjual saham dihargai untuk
mentransformasi penghasilan menjadi keuntungan modal. Mereka juga dapat
mengabaikan kepada bunga terhadap deviden. Jika perusahaan mengetahui
bahwa para kliennya dapat dibebaskan pajak, perusahaan dapat menerbitkan
utang atau ekuitas berdasarkan kebutuhannya, tanpa memperhatikan status pajak
dari investor. Dengan menerbitkan saham atau sekuritas yang dapat dikonversi
ke ekuitas, perusahaan dapat mengaktifkan baik mereka sendiri atau para
investor mereka untuk mengubah penghasilan sesungguhnya menjadi
keuntungan modal atau penghasilan kena pajak menjadi penghasilan tidak kena
pajak.

Distribusi Laba (Distributing Devidend)


Dividen adalah pembagian laba kepada pemegang saham berdasarkan
banyaknya saham yang dimiliki. Pembagian ini akan mengurangi laba ditahan dan
kas yang tersedia bagi perusahaan, tapi distribusi keuntungan kepada para pemilik
memang adalah tujuan utama suatu bisnis. Besar kecilnya persentase dividen yang
dibagikan dari laba bersih tergantung dari kebijakan perusahaan maupun permintaan
dari pemegang saham terutama pemegang saham utama dan harus disetujui dalam
RUPS.
Pengertian atau definisi dividen menurut Pajak Penghasilan terdapat
dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1 huruf g Undang-undang Nomor 7 tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000
(selanjutnya disebut UU PPh). Di bagian tersebut ditegaskan bahwa dividen
merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis
asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota
koperasi. Ditegaskan pula bahwa termasuk dalam pengertian deviden juga
adalah: bentuk apapun berasal dari kapitalisasi agio saham pemegang saham
karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran
kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statute) yang dilakukan
secara; penebusan tanda-tanda laba tersebut; sebagai biaya perusahaan.
Dalam pembagian dividen terdapat tiga tanggal untuk diperhitungkan,
yaitu tanggal pengumuman, pendaftaran, dan pembayaran. Dividen resmi
terutang oleh badan saat secara resmi dilakukan pengumuman pembagian
dividen. Untuk tujuan pemajakan, sesuai dengan ketentuan pasal 23 dan pasal 26,
dengan terutangnya dividen itu terutang pula PPh pasal 23 dan pasal 26.
Pemberi dividen akan memotong jenis PPh dan tarif yang berbeda-beda
tergantung siapa penerima dividennya. Jenis objek pajak penghasilan yang
dikenakan penerima dividen adalah sebagai berikut:
1. Deviden Wajib Pajak Badan Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap (BUT)
yang menerima atau memperoleh penghasilan berupa dividen, maka atas
penghasilan dividen tersebut dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari
penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam Pasal23 ayat (1) huruf a UU PPh.
Deviden tersebut dikenakan PPh Pasal 23 sepanjang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 ayat 3 huruf f UU PPh.
2. Deviden sebagai objek pemotong Pph Final Pasal 4 ayat (2) Wajib Pajak
Orang pribadi Dalam Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan
berupa deviden, maka atas penghasilan deviden tersebut dipotong PPh Pasal 4
ayat (2) yang bersifat final sebesar 10% dari penghasilan bruto sebagaimana
diatur dalamPP No. 19 Tahun 2009 tanggal 9 Febuari 2009.
3. Dividen Sebagai Objek Pemotongan PPh Pasal 26 Wajib Pajak Luar negeri
yang menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia
berupa deviden, maka atas penghasilan deviden tersebut dipotong PPh pasal 26
sebesar 20% dari penghasilan bruto sebagaimana diatur dalamPasal 26 ayat (1)
huruf a UU PPh. Namun apabila penerima deviden ini adalah WPLN dimana
Negara domisili yang bersangkutan mempunyai perjanjian perpajakan dengan
Indonesia dan terdapat Surat Keterangan Domisili (COD), maka tarif yang
dikenakan adalah tariff yang sesuai dengan Tax Treaty

Deviden yang dikecualikan dari Objek Pajak


Pada penjelasan sebelumnya, sudah dijelaskan mengenai pengertian dividen serta
dividen yang termasuk objek pajak penghasilan. Namun, UU PPh memberikan
pengecualian atas dividen tertentu yang tidak termasuk objek pajak penghasilan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh, bahwa yang dikecualikan dari objek pajak
adalah dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik
daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat : menerima dividen, kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividenpaling rendah 25% (dua puluh lima persen dari jumlah
modal yang disetor.

Mekanisme Pemotongan
1. Penerima Dividen adalah Pemotongan PPh atas dividen yang dibayarkan kepada
wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dilakukan pada saat deviden disediakan
untuk dibayarkan (Pasal 2 ayat 2 PMK-111/PMK.03/2010). Pemotong dalamhal ini
adalah pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar
diveden, wajib memberikan tanda bukti pemotonga PPH Final Pasal 4 ayat (2)
(F.1.133.21) Kepada penerima deviden. Pemotong wajib menyetor PPh yang telah
dipotongtersebut paling lama tanggla 10 bulan berikutnya dengan menggunakan SSP
(Kode akunp pajak/kode jenis setoran 411128/419). Pemotong juga wajib
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) paling lama tanggal 20 bulan
berikutnya dengan mengisi obyek pajak no. 10 pada SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2).
WP OP penerima deviden melaporkan penghasilan deviden tersebut pada SPT
Tahunan PPh sebagai berikut :
a. Jika WP OP SPT 1770-111 bagian A angka 14
b. Jika WP OP formulir 1770 S-II bagian A angka 12
c. Jika WP PPh yang dipotong dilaporkan di Bagian B angka 8 dan 9
2. Perimaan Dividen adalah WP Badan dalam pemotongan PPH atas dividen yang
dibayarkan kepada WP Badan Dalam Negeri (tentunya selain penerimaan deviden
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 3huruf f UU PPh) dilakukan pada saat
dividen disediakan untuk dibayarkan. Yang dimaksudkan dengan saat disediakan
untuk dibayarkan (Penjelasaan Pasal 15 ayat (3) PP Nomor 94 tahun 2010 adalah:
a. Untuk yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian deviden diumumkan
atau ditentukan dalam RApat Umum Penegasaan Saham (RUPS) Tahunan.
Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahunberjalan
membagikan deviden sementara (dividen interim), mka pajak penghasilan Pasal
23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan tau
ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran
Dasar perseroaan yang bersangkutan.
b. Pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan
lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur dalam Pasal
23 Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang
berhak “menerima atau memperoleh” dividen tersebut diketahui, meskipun
dividen tersebut belum diterima secara tunai.
c. Pemotong dalam hal ini adala h pihak yang wajib membayarkan, wajib
memberikan bukti potong PPh Pasal 23 (F.1.1.33.06) kepada peneriman dividen.
Pemotong menyetorkan PPh Pasal 23 yang telah dipotong tersebut paling lama
tanggal 10 bulan berikutnya dengan menggunakan SSP (kode akun pajak/kode
jenis setoran 411124/101). Pemotong juga wajib menyampaikan SPT Masa PPh
Pasal 23 paling lama tanggal 20 bulan berikutnya. Bagi pihak yang menerima
dividen ini, PPh Pasal 23 yang telah dipotong ini merupakan kredit pajak.

Contoh Soal
PT ABCD, merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri
sepatu dan beralamat di Jl. Terusan No.11, Jakarta Selatan. PT ABCD telah memiliki
NPWP 01.111.444.8-061.000. Pada tanggal 10 Juli 2013, perusahaan membayar
dividen tunai kepada pemegang saham yang sebelumnya telah diumumkan melalui
RUPS. Berikut data yang diperlukan dalam pembayaran dividen tunai.

Pemegang % Penyertaan
NPWP Dividen
Saham Modal
PT Perkasa 01.589.365.8-039.000 26% Rp130.000.000
PT Cakrawala 01.125.735.8-045.000 15% Rp75.000.000
PT Matahari 01.156.198.8-026.000 10% Rp50.000.000
PT Angkasa 01.754.125.8-039.000 18% Rp90.000.000
CV Bahari Jaya 01.342.657.8-039.000 12% Rp60.000.000
CV Karya Raya 01.453.198.8-039.000 11% Rp55.000.000
PT BNI
01.354.344.8-045.000 8% Rp40.000.000
(BUMN)

Jawab:

Dari data tabel di atas, berikut perhitungan PPh Pasal 23 yang harus dipotong PT
ABCD.
%
Pemegang
Penyertaan Dividen PPh Pasal 23 yang Dipotong
Saham
Modal
15% x Rp75.000.000 =
PT Cakrawala 15% Rp75.000.000
Rp11.250.000
15% x Rp50.000.000 =
PT Matahari 10% Rp50.000.000
Rp7.500.000
15% x Rp90.000.000 =
PT Angkasa 18% Rp90.000.000
Rp13.500.000
CV Bahari 15% x Rp60.000.000 =
12% Rp60.000.000
Jaya Rp9.000.000
CV Karya 15% x Rp55.000.000 =
11% Rp55.000.000
Raya Rp8.250.000
Jumlah Rp330.000.000 Rp49.500.000

Catatan: untuk PT Perkasa dikategorikan menjadi non-objek pajak sebab %


penyertaan modalnya lebih dari 25% dan untuk PT BNI (BUMN) juga merupakan
non-objek pajak karena merupakan badan usaha milik negara yang menjadi
pengecualian dari objek pajak.

3. Dampak dari Pendanaan melalui Utang ( Debt Financing ) Terutama oleh


Pemegang Sahamnya
Hutang merupakan salah satu bentuk pendanaan yang dipilih oleh perusahaan
untuk mendanai kegiatan operasionalnya. Para pemilik perusahaan (pemegang
saham) cenderung menghindari hutang yang ekstrim baik hutang jangka pendek
maupun jangka panjang, karena akan menurunkan nilai perusahaan. Jika dipaksakan,
memungkinkan munculnya biaya kebangkrutan yang terdiri dari legal fee dan
distress price (asset perusahaan yang dihargai murah sewaktu dinyatakan bangkrut).
Pendanaan berupa hutang dibagi menjadi dua yaitu:
1. Hutang jangka pendek (kurang dari 1 tahun) lazim digunakan untuk kebutuhan

jangka pendek terdiri atas hutang dagang dan kewajiban yang masih harus
dibayar seperti upah dan pajak.
2. Hutang jangka panjang adalah hutang dengan yang memiliki jatuh tempo lebih
dari satu tahun, biasanya berbentuk hipotek dan obligasi. Jika terjadi likuidasi,
kreditor akan dibayar terlebih dahulu dari hasil penjualan aktiva tetap yang
dipergunakan sebagai agunan dalam perjanjian kreditnya.
Pendanaan berupa hutang diproksikan ke dalam DER. Rasio DER mengukur
tingkat penggunaan hutang terhadap total modal sendiri yang dimiliki perusahaan.
Semakin tinggi DER menunjukkan tingginya ketergantungan permodalan
perusahaan terhadap pihak luar sehingga beban perusahaan juga semakin berat.
Tentunya hal ini akan mengurangi hak pemegang saham (dalam bentuk dividen).
Tingginya DER selanjutnya akan mempengaruhi minat investor terhadap saham
perusahaan tertentu, karena investor pasti lebih tertarik pada saham yang tidak
menanggung terlalu banyak beban hutang. Dengan kata lain, DER berpengaruh
terhadap kinerja perusahaan. Rasio DER oleh Jensen et at. (1992) dalam Almilia
dan Silvy (2006) dirumuskan sebagai berikut :

Dimana : Total Hutang = Jumlah Hutang Lancar + Hutang Jangka Panjang


Modal Sendiri = Total Modal (ekuitas) yang dimiliki perusahaan
Jika DER lebih dari satu, maka perusahaan didanai dengan lebih banyak
hutang sehingga perusahaan harus membayar bunga. Berarti pemegang saham sulit
membeli saham karena perusahaan tidak menerbitkan saham untuk kegiatan
pendanaannya dan kreditor enggan meminjamkan uang karena adanya pengalihan
resiko dari peusahaan.

Pajak Penghasilan dengan Hutang


Keputusan pendanaan menjadi relevan dalam keadaan ada pajak (Modigliani
dan Miller, 1958, dalam Husnan dan Pudjiastuti, 2004). Hal ini dikarenakan bunga
yang dibayar oleh perusahaan merupakan pengurang pajak penghasilan (tax
deductibility of interest payment). Dengan memasukkan unsur pajak, kebanyakan
pakar keuangan setuju bahwa hutang memiliki dampak positif atas penilaian total
perusahaan (Horne dan Wichowicz, 2007). Hutang digunakan untuk pendanaan
maupun investasi seperti pembelian aktiva tetap yang memiliki tax shield atau
perlindungan pajak, karena depresiasi aktiva tetap yang merupakan dana non cash
dapat digunakan untuk mengurangi beban pajak yang ditanggung perusahaan.
Sedangkan pembayaran bunga hutang merupakan biaya pengurang pajak
perusahan yang berhutang. Berbeda dengan deviden yang merupakan non deductible
expense, akibatnya, jumlah total dana yang tersediauntuk membayar para pemilik
hutang dan pemegang saham akan lebih besar jika hutang digunakan, sehingga
bunga hutang juga disebut perlindungan pajak. Semakin besar jumlah hutang
semakin besar pula keuntungan perlindungan pajak dan semakin besar nilai
perusahaan, jika semua hal lain dianggap tetap. Namun, jika penghasilan kena pajak
jumlahnya kecil atau negative, keuntungan perlindungan pajak dari hutang akan
berkurang atau bahkan tidak ada. Selain itu, jika perusahaan bangkrut dan
dilikuidasi, penghematan pajak di masa depan yang berhubungan dengan hutang
akan hilang. Hal ini membuat keuntungan perlindungan pajak atas hutang menjadi
tidak pasti.

Keuntungan dari Pendanaan melalui Hutang


Keuntungan utang bagi perusahaan dapat dirangkum dalam beberapa hal:
Pertama, utang menyediakan manfaat pajak karena pengeluaran bunga dapat
merededuksi pajak. Manfaat pajak dari utang juga bisa diekspresikan dalam istilah
perbedaan antara biaya hutang sebelum pajak dan sesudah pajak. Untuk
mengilustrasikan hal tersebut misalkan: jika radalah tingkat presentase bunga
terhadap hutang dan t adalah tarif pajak marginal, maka biaya peminjaman setelah
pajak (kd) yang akan dinikmati oleh peminjam adalah: kd=r(1-t). Dalam persamaan
ini, biaya utang setelah pajak adalah fungsi menurun dari tarif pajak. Contoh, suatu
perusahaan dengan tarif pajak sebesar 40% yang meminjam dengan bunga 8%,
maka perusahaan mempunyai biaya hutang setelah pajak sebesar 8%(1-40%)=4,8%.
Perusahaan lain dengan tarif pajak 70% yang meminjam pada 8%, mempunyai
biaya hutang setelah pajak sebesar 2,4%. Artinya tarif pajak yang lebih tinggi akan
menurunkan biaya utang cateris paribus.
Kedua, utang bisa mendorong manajer untuk lebih disiplin dalam pilihan-
pilihan investasi mereka. Salah satu cara untuk mengenalkan disiplin kedalam proses
investasi adalah dengan memaksa perusahaan tersebut untuk meminjam uang, karena
peminajman menciptakan sebuah komitmen untuk membuat bunga dan pembayaran
pokok. Selain itu pada perusahaan yang didalamnya ada pemisahan antara
kepemilikan dan manajer maka utang mengendalikan perilaku oportunitis manajer
untuk pengeluaran sesuai dengan kewenangannya (discretionary). Oleh karena itu
dengan adanya utang, nantinya manajer akan terfokus pada aktivitas yang diperlukan
pada aktivitas yang diperlukanuntuk memastikan bahwa pembayaran utang dapat
dipenuhi.
Ketiga, untuk tidak memberikan pihak pemegang surat utang (debtholder) hak
suara, sehingga tidak terjadi pergeseran pengendalian perusahaan. Adapun beberapa
hal yang diyakini sebagai beban karena berutang antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, utang dapat meningkatkan risiko karena kemungkinan perusahaan
mengalami kegagalan pada rsaat aliran kas (cash flow) dari operasi tidak mencukupi
untuk membayar bunga. Sebuah perusahaan dianggap bangkrut apabila perusahaan
tersebut tidak mampu memenuhi komitmen kontraktual mereka, bahkan perusahaan
yang tidak memiliki utang pun dapat menjadi bangkrut jika mereka tidak mampu
membayar gaji karyawan mereka. Ketika sebuah perusahaan bangkrut, asetnya dapat
dilikuidasi dan hasil dari likuidasi akan digunakan untuk memenuhi klaim yang
belum dilunasi. Prioritas klaim mengikuti persyaratan legal dan spesifikasi
kontraktual yanga ada. Kedua, utang akan meningkatkan potensi konflik antara 5
pemberi utang (kreditor) dan agen (dalam hal ini diwakili oleh manajer). Konflik
muncul karena manajemen perusahaan mengambil proyek – proyek berisiko lebih
besar dari yang diperkirakan oleh kreditor, dimana proyek kreditor (berupa bunga)
tidak ikut naik, sehingga jika terjadi kerugian maka kreditor akan dirugikan. Ketiga,
utang menyebabkan perusahaan kehilangan beberapa fleksibilitas berkaitan dengan
pembiyaan di masa mendatang, karena adanya rambu – rambu perjanjian (debt
covenant) yang ditetapkan pada awal pinjaman dilakukan. Perjanjian ini berisi
rambu – rambu yang membatasi manajemen untuk membuat keputusan investasi dan
pembayaran dividen dalam jumlah tertentu.

4. Factoring and Leasing


1. Factoring
Anjak piutang (factoring) adalah suatu kontrak di mana perusahaan anjak
piutang menyediakan jasa-jasa sekurang-kurangnya: jasa pembiayaan, jasa
perlindungan terhadap resiko kredit dan untuk klien berkewajiban kepada perusahaan
anjak piutang secara terus menerus menjual atau menjaminkan piutang yang berasal
piutang yang berasal dari penjualan barang-barang atau pemberian jasa-jasa.
Anjak piutang dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Anjak Piutang Tanpa Recourse
Anjak piutang tanpa recourse merupakan penjualan piutang atas dasar
notifikasi. Klien menjual piutangnya kepada factor dan factor menanggung secara
penuh risiko penagihan tanpa hak menerima pembayaran dari klien apabila terjadi
kerugian atas piutang alihan yang tidak tertagih. Nasabah melakukan pembayaran
atas piutang alihan langsung kepada factor.
2. Anjak Piutang Dengan Recourse
Anjak piutang dengan recourse, klien mempunyai kewajiban membayar
seluruh (full recourse) atau sebagian (limited recourse) dana yang diperoleh dari
piutang alihan, atau membeli kembali piutang alihan, dalam hal nasabah tidak
membayar piutang alihan tersebut kepada factor pada saat jatuh tempo.

Pengaruh pajak terhadap pembiayaan dengan anjak piutang, yaitu sebagai berikut.
1. Pajak Penghasilan
Berdasarkan Surat Direktur Jendral pajak No. S-78/PJ-311/1996 tanggal 19 April
mengenai Pembebasan Pasal 23 atas penghasilan yang diperoleh Perusahaan Anjak
Piutang, ditegaskan bahwa penghasilan dari perusahaan anjak piutang yang dilakukan
oleh perusahaan pembiayaan baik yang diterima berupa diskon, service charge dan
provisi tidak dikenakan pemotongan PP Pasal 23 oleh perusahaan yang membayarkan.
Hal ini menunjukkan bahwa klien tidak boleh memtong pajak penghasilan pasal 23
yang terutang oleh factor serta bagi klien peraturan ini tidak mempengaruhi jumlah
pajak yang harus dibayarkan.
2. Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 202/KMK.04 /1996
tanggal 18 April 1996 tentang Nilai Lain dasar Pengenaan Pajak, disebutkan bahwa
Penyerahan Jasa Anjak Piutang terutang pajak pertambahan nilai sebesar sebesar 5% x
jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskon yang
terutang pada saat penandatanganan perjanjian pembiayaan.Adanya peraturan
tersebut, klien akan membebankan pajak pertambahan nilai sebagai tambahan biaya,
karena sifat pajak pertambahan nilai dari transaksi anjak piutang tidak dapat
dikreditkan sebagai pajak masukan.

2. Leasing
Dari sisi perpajakan
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1169/KMK.01/1991
tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing), kegiatan sewa guna usaha dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Sewa guna usaha dengan hak opsi (finance/capital lease),
2. Sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease).
Pada Pasal 3 (tiga), KMK 1169 tahun 1991, dijelaskan bahwa syarat suatu sewa guna
usaha menjadi finance lease, yaitu apabila memenuhi syarat sebagai berikut.
1. Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama
ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan
barang modal dan keuntungan lessor,
2. Masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk
barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III,
dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan,
3. Terdapat perjanjian atas sewa guna usaha tersebut yang memuat ketentuan hak
opsi bagi lesee.
Sedangkan operating lease atau yang biasa dikenal sebagai sewa guna usaha tanpa
hak opsi adalah termasuk sewa guna usaha yang memiliki ciri sebagai berikut (Pasal 4
KMK 1169/1991).
1. Jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama
tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan
ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor,
2. Perjanjian sewa guna usaha tidak memuat hak opsi kepemilikan bagi lesee.
Lebih jauh, dalam Pengumuman Direktur Jenderal Moneter No. Peng-3
07/DJM/III.1/7/1974, pemerintah mengatur barang-barang yang boleh dijadikan objek
leasing yaitu:
1. Barang yang dijadikan objek leasing harus dimiliki oleh perusahaan leasing di
Indonesia dan diambil dari produksi dalam negeri,
2. Apabila barang yang menjadi objek leasing berasal dari luar negeri, maka barang
tersebut dapat diekspor kembali setelah jangka waktu berahir dengan syarta-
syarat tersendiri.
Terkait dengan unsur perpajakan yang harus dipenuhi, beberapa peraturan yang
telah ditetapkan adalah sebagai berikut.
Bagi Lessor
1. Pajak Penghasilan (PPh), dikenakan kepada lessor atassebagian imbalan jasa
sewa guna usaha dengan hak opsi dan seluruh pembayaran jasa bagi sewa guna
usaha tanpa hak opsi.
2. PPh tidak boleh dikurangkan dengan biaya penyusutan atas barang yang
menjadi objek leasing dengan hak opsi, namun boleh dikurangkan apabila objek
leasing merupakan objek sewa guna usaha tanpa hak opsi.
3. Lessor dapat membentuk cadangan atas piutang ragu-ragu sewa guna usaha
dengan hak opsi paling tinggi 2,5% dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir
piutang leasing dan dapat dikurangkan dalam perhitungan penghasilan kena pajak
(pasal 9, UU no 36 tahun 2008)
4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikecualikan atas penyerahan objek leasing
dengan hak opsi.
Bagi Lesse
1. Lesee tidak boleh mengakui penyusutan atas objek leasing sampai saat lesee
menggunakan hak opsi untuk membeli.
2. Pembayaran leasing dapat dikurangkan sebagai biaya, baik dalam perjanjian
sewa guna usaha dengan atau tanpa hak opsi. (Pasal 6, UU no 36 tahun 2008)
3. Apabila masa leasing lebih pendek dari masa yang sudah ditentukan, maka harus
dilakukan koreksi atas pembebanan biaya leasing dengan hak opsi menjadi
tanpa hak opsi (SE-29/PJ.42/1992).
4. Lesee tidak memotong PPh pasal 23 atas pembayaran sewa guna usaha yang
dibayar dalam perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi, namun untuk perjanjian
tanpa hak opsi tetap dipotong.

Dari Sisi Akuntansi


Dalam PSAK 30 yang mengatur tentang sewa, penggolongan sewa sama
dengan dalam perpajakan, yaitu sewa operasi (operating lease), dan sewa pembiayaan
(financing lease). Dalam hal yang membedakan suatu sewa diakui sebagai sewa
operasi atau pembiayaan, didasarkan atas substansi transaksi dan bukan pada bentuk
(p.10 PSAK 30). Jadi, dari sisi akuntansi, suatu perjanjian sewa dapat dikatakan
sebagai sewa perjanjian apabila dalam perjanjian sewa tersebut memuat salah satu
dari 4 (empat) syarat utama sewa pembiayaan, yaitu sebagai berikut.
1. Lesee memiliki hak opsi untuk memiliki / membeli pada akhir masa sewa,
2. Lesee dapat membeli aset dalam harga yang diperkirakan cukup rendah
dibandingkan nilai wajar,
3. Masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomis, yaitu 75% dari umur
ekonomis aset,
4. Jumlah pembayaran adalah secara substansial mendekati seluruh nilai wajar aset,
yaitu 90% dari nilai wajar aset.
Manfaat menggunakan leasing sebagai pilihan pembiayaan, yaitu:
1. Perusahaan tidak harus mengeluarkan dana yang besar di awal dan tetap
mempunyai opsi untuk memiliki aset yang disewa pada akhir periode masa
perjanjian sewa,
2. Perusahaan dapat membeli asset leasing dengan harga yang lebih murah dari harga
pasar,
3. Perusahaan lesee tetap dapat mengurangkan biaya atas angsuran dan penyusutan
sebagai biaya yang dapat dikurangkan dalam perhitungan penghasilan kena pajak.

5. Hybrid Financial Instruments


Salah satu instrumen keuangan yang saat ini banyak digunakan oleh perusahaan
dalam melakukan investasi adalah hybrid financial instruments. Dari sisi pertimbangan
komersial, inovasi instrumen keuangan dengan menggunakan hybrid financial
instruments akan memberikan keuntungan bagi perusahaan saat menghadapi risiko
investasi yang besar. Inovasi instrumen keuangan dalam hybrid financial instruments
dapat dilihat dari karakteristiknya yang mencampurkan karakteristik instrumen utang dan juga
karakteristik instrumen modal.

Utang Modal
Dana akan dikembalikan dalam jangka Dana hanya akan dikembalikan pada saat
waktu yang telah ditetapkan likuidasi
Imbalan dari utang harus tetap dibayar Imbalan dari penyertaan modal tergantung
meskipun penerima utang dalam keadaan dari performa usaha penerima modal
merugi
Dalam keadaan likuidasi, pemberi utang Hak pemberi mdoal (pemegang saham) atas
(kreditor) memiliki hak prioritas atas aset asset merupakan hak tagih terakhir setelah
kreditor
Pemberi utang (kreditor) tidak memiliki Pemberi modal (pemegang saham)
kontrol atas perusahaan memiliki kontrol atas perusahaan

Hybrid financial instruments dapat didefinisikan sebagai instrumen keuangan yang


memiliki karakteristik ekonomi yang tidak konsisten, baik secara parsial maupun secara
keseluruhan terhadap bentuk legalnya. Sementara itu, OECD mendifinisikan hybrid
financial instrument sebagai instrumen keuangan yang diklasifikasikan berbeda diantara
negara-negara yang terlibat dalam transaksi instrumen tersebut, misalnya sebagai
pinjaman di satu negara dan sebagai modal di negara lainnya. Contoh hybrid financial
instruments yang sering ditemui antara lain: saham preferen (preference shares), silent
partnership, shareholder loan, participation bonds, convertible bonds, warrant bonds,
dan profit participation loans.
Dalam aspek pajaknya, hybrid financial instrument seringkali digunakan dalam
perencanaan pajak pada tingkat internasional karena terdapat perbedaan dalam
pengklasifikasian dan perlakuan pajak di beberapa negara yang mengakibatkan peluang
tax arbitrage meningkat. Hybrid financial instruments sering digunakan untuk tujuan
penghindaran pajak (tax avoidance) melalui profit shifting yang mengakibatkan dasar
pengenaan pajak dalam negeri suatu negara bisa terkikis (Base Erosion Effect). Isu ini
membuat OECD membahas secara mendetail dalam laporannya yang berjudul
“Addressing BEPS (Base Erosion Profit Sharing)”. Dalam laporan tersebut, OECD
memaparkan bagaimana BEPS menjadi ancaman serius terhadap penerimaan,
kedaulatan, dan keadilan dalam sistem perpajakan. Hal ini menandakan bahwa isu BEPS
ini tidak hanya dihadapi oleh negara-negara berkembang saja, melainkan juga negara-
negara maju yang merupakan negara asal dari perusahaan multinasional.
Ketentuan di Indonesia lebih menekankan pembedaan antara penghasilan dan biaya
dalam menghitung penghasilan kena pajak bukan pada pembedaan antara utang dan
ekuitas secara eksplisit. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 18 ayat 3 UU PPh yang berbunyi:
“Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan
dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
Waib Paak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi
oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak
independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya”
Dalam penjelasan Pasal 18 ayat 1 UU PPh dijelaskan bahwa apabila pebandingan
antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya
perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan
Penghasilan Kena Pajak, Undang-Undang ini menentukan adanya modal terselubung.
Terkait dengan modal terselubung yang imbal hasilnya dikategorikan dividen ketentuan
perpajakan Indonesia tidak mendefinisikan istilah modal terselubung, sehingga tidak
menutup kemungkinan akan diinterpretasikan berbeda dan tentunya hal ini tidak
memenuhi prinsip kepastian.
Tujuan perpajakan yang dapat dicapai dengan menggunakan hybrid financial
instruments dalam perencanaan pajak adalah sebagai berikut:
1) Memperoleh pengurangan ganda (double dipping) atas pembayaran bunga.
2) Perusahaan yang memungkinkan pembebanan bunga pada suatu negara dan tidak
dikenakan pajak di negara lainnya.
3) Mengatasi tax avoidance rule dengan struktur pembiayaan yang mengindari
permasalahn thin-capitalization rule atau aturan back-to-back loan.
4) Menghindari atau mengurangi tarif pemotongan pajak penghasilan dan pajak atas
laba pengalihan harta.
5) Menunda penerimaan penghasilan atau mendapatkan pengurangan pajak secara
dini.
Suatu instrumen keuangan hybrid yang bertujuan memanfaatkan perbedaan sistem
perpajakan diantara 2 negara tidak memiliki tujuan yang bonafide mengakibatkan dasar
pengenaan pajak dalam negeri suatu negara bisa terkikis sehingga hal ini dianggap
sebagai bentuk penghindaran pajak yang menjadi ancaman serius berbagai negara. Saat
ini, Indonesia masih belum memiliki ketentuan pencegahan penghindaran pajak baik
secara khusus maupun umum yang dapat menangkal praktik penghindaran pajak melalui
penggunaan instrumen keuangan hybrid. Walaupun otoritas pajak Indonesia memiliki
wewenang untuk merekarakterisasi transaksi utang sebagai modal, namun dengan tidak
adanya peraturan yang dapat digunakan sebagai batasan antara utang dan modal menjadi
kendala bagi kepastian hukum untuk menjustifikasi wewenang otoritas pajak tersebut.

Anda mungkin juga menyukai

  • Amalan Doa Pekerjaan
    Amalan Doa Pekerjaan
    Dokumen2 halaman
    Amalan Doa Pekerjaan
    Akhmad Syarif Hidayat
    Belum ada peringkat
  • Contoh
    Contoh
    Dokumen3 halaman
    Contoh
    Akhmad Syarif Hidayat
    Belum ada peringkat
  • B Indo
    B Indo
    Dokumen10 halaman
    B Indo
    Akhmad Syarif Hidayat
    Belum ada peringkat
  • Air Brake (Rem Angin)
    Air Brake (Rem Angin)
    Dokumen2 halaman
    Air Brake (Rem Angin)
    Akhmad Syarif Hidayat
    Belum ada peringkat
  • Lakonorangke 5
    Lakonorangke 5
    Dokumen60 halaman
    Lakonorangke 5
    Akhmad Syarif Hidayat
    Belum ada peringkat
  • Lakonorangke 5
    Lakonorangke 5
    Dokumen60 halaman
    Lakonorangke 5
    Akhmad Syarif Hidayat
    Belum ada peringkat