SKROFULODERMA
SKROFULODERMA
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Skrofuloderma atau yang dikenal sebagai Tuberculosis colliquativa cutis adalah
tuberkulosis subkutan yang mengarah pada pembentukan abses dingin dan kehancuran
sekunder dari kulit di atasnya. Hal ini terjadi akibat penjalaran langsung dari suatu organ
bawah kulit yang mengandung kuman TB dan meluas melalui dermis, contohnya limfadenitis
TB, TB tulang dan sendi, atau epididimitis TB.2,5
2.2 Epidemiologi
Pada infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis hanya sekitar 5-10% yang
menunjukkan manifestasi klinis. Bakteri ini memiliki distribusi di seluruh dunia, lebih umum
di daerah dengan iklim dingin dan lembab, tetapi juga dapat terjadi di daerah tropis. 4 Kini
skofuloderma paling sering terdapat pada anak-anak dan imigran dewasa dari negara-negara
berkembang. Konsumsi susu yang belum dipasteurisasi dan mengandung Mycobacterium
bovis adalah penyebab umum terjadinya skrofuloderma di negara berkembang. 6
Prevalensinya lebih tinggi pada anak, remaja, dan orang tua.1,5
2.3 Etiologi
Skrofuloderma diakibatkan kuman TB yang secara langsung menginvasi kulit
(ekstensi dari suatu fokus tuberkulosis ke jaringan luar sehingga menimbulkan kerusakan
jaringan kulit dan luka terbuka).5 Mycobacterium tuberkulosis merupakan penyebab utama
dari skrofuloderma. Bakteri ini adalah bakteri aerobik, non motil, tahan terhadap asam dan
alkohol yang dibungkus oleh senyawa lipid kompleks sehingga membuat bakteri ini resisten
terhadap degradasi setelah fagositosit. Mycobacterium scrofulaceum, Mycobacterium bovis,
2
Mycobacterium avium, dan vaksin yang mengandung Bacillus Calmette Guerin (BCG) juga
merupakan etiologi lain dari skrofuloderma.5
2.4 Patogenesis
Skrofuloderma timbul akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ di bawah kulit
yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari kelenjar getah bening,
juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu tempat predileksinya pada tempat-
tempat yang banyak didapati kelenjar getah bening superfisialis, yang tersering pada leher,
kemudian disusul di ketiak dan yang terjarang di lipatan paha.6
Porte d’entree skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru. Jika di
ketiak maka kemungkinan porte d’entree pada apeks pleura, jika dilipat paha pada
ekstremitas bawah. Kadang-kadang ketiga tempat predileksi tersebut diserang sekaligus,
yakni pada leher, ketiak dan lipat paha. Pada kejadian tersebut kemungkinan besar terjadi
penyebaran secara hematogen.6
Kelenjar limfe yang terinfeksi tuberkulosis akan mengalami adenitis, kemudian
periadenitis. Akibatnya satu kelenjar dengan kelenjar lain yang bersamaan terinfeksi dapat
bergabung menyebabkan perlengketan kelenjar tersebut dengan jaringan sekitarnya. Kelenjar-
kelenjar tersebut akan melunak membentuk abses, lalu membentuk fistula dan ulkus ke
permukaan kulit secara per kontinuitatum. Sifat khas ulkus berbentuk linier atau ireguler
dengan terowongan dibawahnya, daerah sekitar berwarna merah kebiru-biruan, dasar jaringan
yang bergranulasi, dan teraba lunak. Dapat pula terbentuk jaringan parut menghubungkan
daerah yang mengalami ulserasi atau bahkan kulit normal. Kadang-kadang di atas sikatriks
(jaringan parut) tersebut terdapat jembatan kulit (skin brigde).6
3
Gambar 2. Skrofuloderma pada regio klavikula: abses, ulkus, dan ekstrusi purulen dan perkijuan.5
Gambar 3. Skrofuloderma pada regio aksila: plak dan nodul dengan ulkus sentral yang
mengakibatkan skar dan retraksi.4
Saluran sinusoid yang terbentuk dapat berhubungan langsung dengan area infeksi
organ dalam, atau membentuk saluran menuju fokus primer infeksi terutama di leher, dinding
dada, dan pelvis. Kadang-kadang terbentuk cordlike scars atau jaringan parut. Jaringan parut
ini menghubungkan area ulseratif atau bahkan menarik kulit normal dengan proses
penyembuhannya memakan waktu yang lama.4
2.6 Diagnosis
Skrofuloderma ditegakkan diagnosisnya berdasarkan beberapa hal berikut:
1. Anamnesis
Riwayat tinggal di daerah endemis tuberkulosis.
Riwayat terpapar tuberkulosis dari orang sekitar penderita (rumah, sekolah,
tempat kerja, dan lain-lain).
Riwayat mendapatkan pengobatan tuberkulosis sebelumnya.
Riwayat penyakit sistemik yang meningkatkan faktor resiko infeksi
tuberkulosis.
4
Riwayat keluhan mengarah pada tanda tuberkulosis pada penderita, misalnya:
batuk lama, berkeringat banyak di malam hari, nafsu makan menurun, kelainan
miksi, dan lain-lain.7
2. Pemeriksaan fisik
Pembesaran kelenjar getah bening
Abses dan multipel sinus
Ulkus yang khas
Jaringan parut
Jembatan kulit (skin bridge)3,5
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologis pada posisi posterior-anterior.
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mencari fokal infeksi terutama yang berasal
dari paru.
Pemeriksaan bakteriologik.
Pemeriksaan bakteriologik yang dimaksud adalah pemeriksaan basil tahan
asam (BTA) dengan pengecatan Ziehl-Neelsen (ZN) terhadap bahan yang
diambil dari dasar ulkus dan biakan pada media Lowenstein Jensen atau
inokulasi pada marmut. Pada penderita dengan skrofuloderma, hasil
pemeriksaan BTA akan ditemukan adanya bakteri penyebab skrofuloderma,
misal Mycobacterium tuberculosis.8
Gambar 4. Pewarnaan Ziehl-Neelsen: kelompok kecil basil tahan asam, merah, pada tengah lapangan
pandang.8
6
Dilakukan pada media Lowenstein-Jensen, pengeraman pada suhu 37ºC. Jika
positif, koloni tumbuh dalam waktu 8 minggu, artinya kuman tuberkulosis.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan TB kutis terdiri dari pemberian regimen obat multipel dengan durasi
yang panjang dan terapi bedah ditujukan tidak hanya untuk membunuh mikroorganisme yang
menjadi etiologi tetapi juga untuk mencegah resistensi strain bakteri tertentu terhadap obat
dan timbulnya rekurensi.
7
Tata laksana TB kutis sama dengan TB sistemik. Hal ini dikarenakan jumlah bakteri
penyebab TB kutis jauh lebih sedikit dibandingkan dengan TB sistemik.7 TB kutis, termasuk
skrofuloderma, tergolong TB ekstra paru ringan yang mendapat pengobatan TB kategori III.
Centers for disease control and prevention (CDC) merekomendasikan kemoterapi TB
kutis menjadi 2 fase terdiri dari:
Fase inisial
Fase ini meliputi pemberian dosis harian regimen obat antituberkulosis (OAT);
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol selama 8 minggu. Terapi fase inisial
dimaksudkan untuk memusnahkan bakteri penyebab tb kutis.7
Fase lanjutan
Fase ini diberikan regimen obat isoniazid dan rifampisin dosis harian, sebanyak 2-
3xseminggu selama 16 minggu. Terapi pada fase ini ditujukan untuk mengeliminasi
sisa bakteri yang menjadi etiologi tb kutis.7
Tabel 1. Paduan OAT Kategori III7
Penatalaksanaan lebih lanjut juga harus dilakukan pada infeksi tb di organ lain seperti
tulang, kelenjar dan paru yang menjadi fokus infeksi skrofuloderma. Regimen pengobatan
yang diberikan didasarkan pada kriteria WHO adalah sebagai berikut:
OAT kategori I
OAT kategori I diindikasikan pada penderita baru BTA positif, penderita baru
dengan BTA negatif dengan kelainan radiologis yang luas dan penderita tb
ekstraparu berat misalnya tb ginjal, tb milier, meningitis tb, peritonitis tb,
perikarditis tb, efusi pleura bilateral, osteomielitis dan spondilitis. Regimen
8
pengobatan terdiri dari pemberian Isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, dan etambutol
(2HRZE/ 4H3R3).
OAT kategori I disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (KDT)
dan bentuk kombipak, yaitu paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifamfisin,
pirazinamid, dan etambutol dalam kemasan blister.14
OAT kategori II
OAT kategori II diindikasikan untuk kasus gagal, kambuh dan ketidakpatuhan
selama pengobatan. Regimen OAT kategori II juga tersedia dalam bentuk KDT dan
kombipak, terdiri dari isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, sterptomisin dan
etambutol (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3).10
9
Berat badan Selama 56 hari Selama 28 RH (150mg/150mg) +
hari
E(400mg)
2.9 Prognosis
Penyembuhan spontan pada skrofuloderma dapat terjadi, namun ini terjadi secara
sangat lambat dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum lesi digantikan
sepenuhnya oleh jaringan parut.5 Keberadaan infeksi TB pada organ lain seperti tulang,
kelenjar, dan paru juga perlu penatalaksanaan lebih lanjut.3
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Skrofuloderma adalah tuberkulosis subkutis yang menyebabkan pembentukan abses
dingin dan kerusakan sekunder kulit di atasnya.
Penyebab skrofuloderma adalah penyebaran kuman dari suatu fokus infeksi ke
jaringan luar sehinga menimbulkan kerusakan kulit. Kuman penyebab skrofuloderma antara
lain Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium scrofuloderma, Mycobacterium bovis dan
Mycobacterium avium.
Manifestasi klinis skrofuloderma bervariasi bergantung pada lamanya penyakit. Jika
penyakitnya telah menahun, maka gambaran klinisnya lengkap, artinya terdapat semua
kelainan yang telah disebutkan. Bila penyakitnya belum menahun, maka sikatriks dan
11
jembatan kulit belum terbentuk. Skrofuloderma sering terjadi pada daerah parotis,
submandibula, dan supraklavikula dan mungkin bilateral.
Untuk mendiagnosis skrofuloderma dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis yang
dibantu dengan pemeriksaan penunjang. Baku emas untuk diagnosis tuberkulosis kutis adalah
pemeriksaan biakan.
Skrofuloderma, termasuk TB ekstra paru yang terapinya adalah paduan obat anti
tuberkulosis (OAT) kategori-1 yang digunakan di Indonesia.
Daftar Pustaka
12
5. Tappeiner G. Tuberculosis and Infections with Atypical Mycobacteria. In: Wollf K,
Goldsmith LA, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New York:
McGraw-Hill, 2008: 1772.
6. Barbagallo J, Tager P, Ingleton R, J Hirsch R, M Weinberg J. Cutaneous Tuberculosis,
Diagnosis and Treatment. Am J of Clin Derm 2002; 3 (5): 319-28.
7. S Meltzer M, A Nasy, C. Cutaneus Tuberculosis. Available from: URL
http://www.emedicine.com/cutaneustuberculosis. Diakses tanggal: 10 Oktober 2010
pukul 20.15 wib.
8. McKee PH, Calonje E, Granter SR. Tuberculosis. In: McKee PH. Pathology of The Skin
with Clinical Correlations. 3th ed. China: Elsevier Mosby, 2005.
9. Ramos-e-Silva, Ribeiro de Castro MC. Mycobacterial Infections. In: Bolognia JL,
Jonizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. Toronto: Mosby, 2003: 1107-26
10. Aditama YT, Kamso S, Basri C, Surya A. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberculosis. Ed 2. Jakarta: Departemen kesehatan republik indonesia. 2007: 20-3.
13