Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis kutis (TB kutis) merupakan salah satu penyakit kulit yang sulit untuk
ditegakkan diagnosisnya terutama bagi ahli kulit di negara-negara berkembang. Hal ini tidak
hanya dikarenakan banyaknya diagnosis banding yang harus dipikirkan namun juga
diakibatkan sulitnya untuk mendapatkan konfirmasi mikrobiologi untuk kasus ini. 1 Secara
garis besar terdapat empat kategori dari TB kutis yaitu inokulasi dari faktor eksogen
(inokulasi TB primer dan tuberkulosis verukosa kutis), penyebaran secara endogen
(skrofuloderma) atau yang dikenal sebagai autoinokulasi (tuberkulosis kutis orifisialis),
penyebaran secara hematogen (lupus vulgaris, tuberkulosis miliaris akut dan tuberkulosis
ulkus, guma atau abses) dan tuberkulid (eritema induratum [Bazin’s disease], tuberkulid
papulonekrotik, dan liken skrofulosorum).2
Skrofuloderma merupakan bentuk tertua TB kutis yang disebutkan dalam literatur
kedokteran dan dikenal sebagai the king’s evil. Skrofuloderma adalah bentuk TB kutis
tersering di negara berkembang dan sebagian eropa. Penyakit ini menyerang semua usia
mulai dari anak-anak, dewasa muda hingga orang tua.1 Skrofuloderma merupakan hasil
penjalaran secara perkontinuitatum dari organ di bawah kulit yang menjadi fokus
tuberkulosis. Biasanya berupa kelenjar limfe, tulang atau sendi, kelenjar lakrimalis dan
duktus yang terinfeksi TB sebelumnya. Pada sebuah laporan kasus yang melibatkan dua
puluh tiga pasien dengan skrofuloderma, didapatkan hasil skrofuloderma yang terjadi berasal
dari nodus limfe servikal, lalu diikuti oleh aksila, inguinal, epitroklear, retroaurikular, tibia
dan fibula. Wajah, leher dan dinding dada adalah tempat predileksi utama lesi dari
skrofuloderma.1,3
Penegakan diagnosis skrofuloderma dibangun berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis skrofuloderma awalnya ditandai dengan
limfadenitis tuberkulosis, lalu timbul nodul subkutan, likuifaksi hingga terbentuknya jaringan
parut.5. Pengobatan dengan obat antituberkulosis (OAT) menjadi pilihan utama terapi
skrofuloderma disamping terapi pembedahan.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skrofuloderma atau yang dikenal sebagai Tuberculosis colliquativa cutis adalah
tuberkulosis subkutan yang mengarah pada pembentukan abses dingin dan kehancuran
sekunder dari kulit di atasnya. Hal ini terjadi akibat penjalaran langsung dari suatu organ
bawah kulit yang mengandung kuman TB dan meluas melalui dermis, contohnya limfadenitis
TB, TB tulang dan sendi, atau epididimitis TB.2,5

Gambar 1. Skrofuloderma: terdapat underlying limfadenopati TB servikal. Bentuk karakteristik skar


yang berlipat/berkerut.1

2.2 Epidemiologi
Pada infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis hanya sekitar 5-10% yang
menunjukkan manifestasi klinis. Bakteri ini memiliki distribusi di seluruh dunia, lebih umum
di daerah dengan iklim dingin dan lembab, tetapi juga dapat terjadi di daerah tropis. 4 Kini
skofuloderma paling sering terdapat pada anak-anak dan imigran dewasa dari negara-negara
berkembang. Konsumsi susu yang belum dipasteurisasi dan mengandung Mycobacterium
bovis adalah penyebab umum terjadinya skrofuloderma di negara berkembang. 6
Prevalensinya lebih tinggi pada anak, remaja, dan orang tua.1,5

2.3 Etiologi
Skrofuloderma diakibatkan kuman TB yang secara langsung menginvasi kulit
(ekstensi dari suatu fokus tuberkulosis ke jaringan luar sehingga menimbulkan kerusakan
jaringan kulit dan luka terbuka).5 Mycobacterium tuberkulosis merupakan penyebab utama
dari skrofuloderma. Bakteri ini adalah bakteri aerobik, non motil, tahan terhadap asam dan
alkohol yang dibungkus oleh senyawa lipid kompleks sehingga membuat bakteri ini resisten
terhadap degradasi setelah fagositosit. Mycobacterium scrofulaceum, Mycobacterium bovis,
2
Mycobacterium avium, dan vaksin yang mengandung Bacillus Calmette Guerin (BCG) juga
merupakan etiologi lain dari skrofuloderma.5

2.4 Patogenesis
Skrofuloderma timbul akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ di bawah kulit
yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari kelenjar getah bening,
juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu tempat predileksinya pada tempat-
tempat yang banyak didapati kelenjar getah bening superfisialis, yang tersering pada leher,
kemudian disusul di ketiak dan yang terjarang di lipatan paha.6
Porte d’entree skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru. Jika di
ketiak maka kemungkinan porte d’entree pada apeks pleura, jika dilipat paha pada
ekstremitas bawah. Kadang-kadang ketiga tempat predileksi tersebut diserang sekaligus,
yakni pada leher, ketiak dan lipat paha. Pada kejadian tersebut kemungkinan besar terjadi
penyebaran secara hematogen.6
Kelenjar limfe yang terinfeksi tuberkulosis akan mengalami adenitis, kemudian
periadenitis. Akibatnya satu kelenjar dengan kelenjar lain yang bersamaan terinfeksi dapat
bergabung menyebabkan perlengketan kelenjar tersebut dengan jaringan sekitarnya. Kelenjar-
kelenjar tersebut akan melunak membentuk abses, lalu membentuk fistula dan ulkus ke
permukaan kulit secara per kontinuitatum. Sifat khas ulkus berbentuk linier atau ireguler
dengan terowongan dibawahnya, daerah sekitar berwarna merah kebiru-biruan, dasar jaringan
yang bergranulasi, dan teraba lunak. Dapat pula terbentuk jaringan parut menghubungkan
daerah yang mengalami ulserasi atau bahkan kulit normal. Kadang-kadang di atas sikatriks
(jaringan parut) tersebut terdapat jembatan kulit (skin brigde).6

2.5 Gejala Klinis


Skrofuloderma paling sering timbul di regio parotid, submandibula, dan
supraklavicula, serta di leher sebelah lateral. Hal ini diduga merupakan penjalaran dari
kelenjar getah bening (KGB) servikal, sedangkan lokasi lain yang cukup sering adalah aksila
dan inguinal.5
Skrofuloderma diawali dengan limfadenitis tuberkulosis, setelah berbulan-bulan,
liquifaksi dan perforasi terjadi, membentuk ulkus dan sinus. Karakteristik ulkus yaitu bentuk
memanjang, serpiginosa, tidak teratur, dengan dasar yang cekung, sekitarnya berwarna merah
kebiru-biruan (livid), menggaung, lunak dengan dasar jaringan granulasi tertutup pus
seropurulen. Terdapat saluran-saluran sinusoid di bawah kulit.5

3
Gambar 2. Skrofuloderma pada regio klavikula: abses, ulkus, dan ekstrusi purulen dan perkijuan.5

Gambar 3. Skrofuloderma pada regio aksila: plak dan nodul dengan ulkus sentral yang
mengakibatkan skar dan retraksi.4

Saluran sinusoid yang terbentuk dapat berhubungan langsung dengan area infeksi
organ dalam, atau membentuk saluran menuju fokus primer infeksi terutama di leher, dinding
dada, dan pelvis. Kadang-kadang terbentuk cordlike scars atau jaringan parut. Jaringan parut
ini menghubungkan area ulseratif atau bahkan menarik kulit normal dengan proses
penyembuhannya memakan waktu yang lama.4

2.6 Diagnosis
Skrofuloderma ditegakkan diagnosisnya berdasarkan beberapa hal berikut:
1. Anamnesis

Riwayat tinggal di daerah endemis tuberkulosis.

Riwayat terpapar tuberkulosis dari orang sekitar penderita (rumah, sekolah,
tempat kerja, dan lain-lain).

Riwayat mendapatkan pengobatan tuberkulosis sebelumnya.

Riwayat penyakit sistemik yang meningkatkan faktor resiko infeksi
tuberkulosis.

4

Riwayat keluhan mengarah pada tanda tuberkulosis pada penderita, misalnya:
batuk lama, berkeringat banyak di malam hari, nafsu makan menurun, kelainan
miksi, dan lain-lain.7
2. Pemeriksaan fisik

Pembesaran kelenjar getah bening

Abses dan multipel sinus

Ulkus yang khas

Jaringan parut

Jembatan kulit (skin bridge)3,5
3. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan radiologis pada posisi posterior-anterior.
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mencari fokal infeksi terutama yang berasal
dari paru.
 Pemeriksaan bakteriologik.
Pemeriksaan bakteriologik yang dimaksud adalah pemeriksaan basil tahan
asam (BTA) dengan pengecatan Ziehl-Neelsen (ZN) terhadap bahan yang
diambil dari dasar ulkus dan biakan pada media Lowenstein Jensen atau
inokulasi pada marmut. Pada penderita dengan skrofuloderma, hasil
pemeriksaan BTA akan ditemukan adanya bakteri penyebab skrofuloderma,
misal Mycobacterium tuberculosis.8

Gambar 4. Pewarnaan Ziehl-Neelsen: kelompok kecil basil tahan asam, merah, pada tengah lapangan
pandang.8

 Pemeriksaan laboratorium darah


Hasil umumnya menunjukkan peningkatan laju endap darah (LED).
 Pemeriksaan histopatologi
5
Saluran sinusoid pada skrofuloderma menunjukkan adanya inflamasi akut dan
kronik yang bersifat nonspesifik. Bagian tengah lesi didominasi oleh nekrosis
masif dan pembentukan abses.4 Namun, bagian perifer dari abses atau batas-
batas sinus mengandung granuloma tuberkuloid. 5 Nekrosis perkijuan dengan
bakteri dalam jumlah besar ditemukan pada struktur kulit yang lebih dalam.
Basil TB dapat diisolasi dengan mudah melalui pus.3

Gambar 5. Skrofuloderma: tampak abses dikelilingi infiltrat predominan histiosit. 8


 Tes tuberkulin.
Dasar dari tes tuberkulin adalah respon imun termediasi sel terhadap
protein tuberkulin atau respon terhadap M.tuberkulosis. Tes ini hanya berguna
bila pasien memiliki sistem imun yang utuh terhadap protein tuberkulin. Hasil
tes akan positif antara 2 sampai 10 minggu setelah infeksi dan tetap positif
setelah bertahun-tahun. Biasanya dengan cara menyuntikkan Purified Protein
Derivative (PPD) 0.1 cc intrakutan dengan kekuatan 5 tuberkulin unit (TU).
Bila hasil positif [indurasi 10 mm atau lebih, untuk pasien Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positif ± 5 mm], berarti sedang atau pernah
mengalami infeksi M.tuberkulosis, M.bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria
patogen lainnya.2 Menurut Ramos-e-silva dkk, hasil tes tuberkulin biasanya
positif pada penderita skrofuloderma.5
BCG merupakan basil M. bovis yang telah dilemahkan yang digunakan
di penjuru dunia untuk meningkatkan imunitas terhadap tuberkulosis.
Vaksinasi ini diberikan hanya pada pasien dengan hasil tes tuberkulin yang
negatif. Sekali pasien divaksinasi, maka tes tuberkulinnya akan memberikan
hasil yang positif dan bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama. Tingkat
efektivitas vaksinasi ini juga akan menurun seiring dengan penambahan usia.4

 Biakan dari bahan yang berasal dari lesi atau ulkus.

6
Dilakukan pada media Lowenstein-Jensen, pengeraman pada suhu 37ºC. Jika
positif, koloni tumbuh dalam waktu 8 minggu, artinya kuman tuberkulosis.

2.7 Diagnosis Banding


Skrofuloderma didiagnosis banding dengan limfadenitis Mycobacterium avium-
intraselular, infeksi Mycobacterium scrofuloderma, guma sifilis, sporotrikosis, aktinomikosis,
bentuk-bentuk berat dari akne konglobata, dan hidradenitis supurativa.2,5
Limfadenitis M. Avium intracellulare dan infeksi M. Scrofuloderma dapat dibedakan
melalui pemeriksaan biakan bakteri. Jika didaerah aksila, dibedakan dengan hidradenitis
supurativa, yakni infeksi oleh piokokus pada daerah apokrin. Penyakit tersebut sering
didahului oleh trauma/mikrotrauma, misalnya banyak keringat, pemakaian deodorant, atau
rambut ketiak digunting. Hidradenitis supurativa bersifat akut disertai tanda-tanda radang
akut yang jelas, terdapat gejala konstitusi, dan leukositosis.
Skrofuloderma di daerah inguinal kadang-kadang mirip penyakit venerik yaitu
limfogranuloma venereum. Perbedaan yang penting adalah pada limfogranuloma venereum
terdapat tersangka senggama pada anamnesis, disertai gejala konstitusi (demam, malaise,
artralgia), dan terdapat tanda radang akut. Lokalisasinya juga berbeda, pada limfogranuloma
venereum yang diserang adalah kelenjar getah bening inguinal medial dan perineal,
sedangkan pada skrofuloderma menyerang kelenjar getah bening inguinal lateral dan femoral.
Pada stadium lanjut, pada limfogranuloma venereum terdapat gejala bubo bertingkat yang
berarti pembesaran kelenjar di inguinal medial dan fossa iliaca.
Skrofuloderma di daerah ektremitas harus dibedakan dengan sporotrikosis. Biasanya
pada sporotrikosis timbulnya nodul subkutan disertai dengan tanda-tanda radang, terdapat
indurasi, dan penyebarannya khas limfogen proksimal sesuai dengan perjalanan pembuluh
getah bening. Pada pembiakkan akan ditemukan jamur penyebabnya. Uji tuberkulin biasanya
negatif. 5

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan TB kutis terdiri dari pemberian regimen obat multipel dengan durasi
yang panjang dan terapi bedah ditujukan tidak hanya untuk membunuh mikroorganisme yang
menjadi etiologi tetapi juga untuk mencegah resistensi strain bakteri tertentu terhadap obat
dan timbulnya rekurensi.

7
Tata laksana TB kutis sama dengan TB sistemik. Hal ini dikarenakan jumlah bakteri
penyebab TB kutis jauh lebih sedikit dibandingkan dengan TB sistemik.7 TB kutis, termasuk
skrofuloderma, tergolong TB ekstra paru ringan yang mendapat pengobatan TB kategori III.
Centers for disease control and prevention (CDC) merekomendasikan kemoterapi TB
kutis menjadi 2 fase terdiri dari:
 Fase inisial
Fase ini meliputi pemberian dosis harian regimen obat antituberkulosis (OAT);
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol selama 8 minggu. Terapi fase inisial
dimaksudkan untuk memusnahkan bakteri penyebab tb kutis.7
 Fase lanjutan
Fase ini diberikan regimen obat isoniazid dan rifampisin dosis harian, sebanyak 2-
3xseminggu selama 16 minggu. Terapi pada fase ini ditujukan untuk mengeliminasi
sisa bakteri yang menjadi etiologi tb kutis.7
Tabel 1. Paduan OAT Kategori III7

Tablet Tablet Tablet Tablet


Tahap Lama Jumlah kali
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
pengobatan pengobatan minum obat
(5mg/kgbb) (10mg/kgbb) (25mg/kgbb) (18mg/kgbb)
Tahap inisial
(dosis 8 minggu 1 1 3 1 60
harian)
1
Tahap 2
Dosis:
lanjutan
18 minggu Dosis: - - 54
(dosis
10mg/kgbb
3xseminggu) 10mg/kgbb

Penatalaksanaan lebih lanjut juga harus dilakukan pada infeksi tb di organ lain seperti
tulang, kelenjar dan paru yang menjadi fokus infeksi skrofuloderma. Regimen pengobatan
yang diberikan didasarkan pada kriteria WHO adalah sebagai berikut:
 OAT kategori I
OAT kategori I diindikasikan pada penderita baru BTA positif, penderita baru
dengan BTA negatif dengan kelainan radiologis yang luas dan penderita tb
ekstraparu berat misalnya tb ginjal, tb milier, meningitis tb, peritonitis tb,
perikarditis tb, efusi pleura bilateral, osteomielitis dan spondilitis. Regimen

8
pengobatan terdiri dari pemberian Isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, dan etambutol
(2HRZE/ 4H3R3).
OAT kategori I disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (KDT)
dan bentuk kombipak, yaitu paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifamfisin,
pirazinamid, dan etambutol dalam kemasan blister.14

Tabel 1.1 Paduan OAT KDT kategori I10


Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu
Berat badan RHZE selama 16 minggu
(150mg/75mg/400mg/275mg) RH (150mg/150mg)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 1.2 Paduan OAT kombipak kategori I


Dosis per hari/kali
Jumlah
Tahap Lama INH Rifamfisin Pirazinamid Etambutol
minum
terapi terapi (5mg/kg) (10mg/kg) (25mg/kg) (15mg/kg)
obat
@300mg @450mg @500mg @250mg
Inisial 8 minggu 1 1 3 3 56
Lanjutan 16 2 1 - - 48
minggu (10mg/kg) (10mg/kg)

 OAT kategori II
OAT kategori II diindikasikan untuk kasus gagal, kambuh dan ketidakpatuhan
selama pengobatan. Regimen OAT kategori II juga tersedia dalam bentuk KDT dan
kombipak, terdiri dari isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, sterptomisin dan
etambutol (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3).10

Tabel 2.1 Paduan OAT KDT kategori II10


Tahap Intensif tiap hari
RHZE (150mg/75mg/400mg/275mg) + Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
S

9
Berat badan Selama 56 hari Selama 28 RH (150mg/150mg) +
hari
E(400mg)

30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT


+ 500 mg + 2 tab Etambutol
Streptomisin inj.
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg + 3 tab Etambutol
Streptomisin inj.
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT

Tabel 2.2 Paduan OAT kombipak kategori II10


Tahap Lama INH Rifamfisin Pirazinamid Etambutol Streptomisin Jumlah
Tab Tab
terapi terapi (5mg/kg) (10mg/kg) (25mg/kgbb) injeksi minum
250mg 400mg
@300mg @450mg @500mg obat
Inisial 8 1 1 3 3 - 56
minggu 0,75gr
4 1 1 3 3 28
minggu
Lanjutan 20 2 1 - - - - 60
minggu Dosis: Dosis :
10mg/kg 10mg/kg

Penatalaksanaan operatif yakni eksisi dapat membantu menangani skrofuloderma


karena dapat mengurangi morbiditas.5

2.9 Prognosis
Penyembuhan spontan pada skrofuloderma dapat terjadi, namun ini terjadi secara
sangat lambat dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum lesi digantikan
sepenuhnya oleh jaringan parut.5 Keberadaan infeksi TB pada organ lain seperti tulang,
kelenjar, dan paru juga perlu penatalaksanaan lebih lanjut.3

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Skrofuloderma adalah tuberkulosis subkutis yang menyebabkan pembentukan abses
dingin dan kerusakan sekunder kulit di atasnya.
Penyebab skrofuloderma adalah penyebaran kuman dari suatu fokus infeksi ke
jaringan luar sehinga menimbulkan kerusakan kulit. Kuman penyebab skrofuloderma antara
lain Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium scrofuloderma, Mycobacterium bovis dan
Mycobacterium avium.
Manifestasi klinis skrofuloderma bervariasi bergantung pada lamanya penyakit. Jika
penyakitnya telah menahun, maka gambaran klinisnya lengkap, artinya terdapat semua
kelainan yang telah disebutkan. Bila penyakitnya belum menahun, maka sikatriks dan
11
jembatan kulit belum terbentuk. Skrofuloderma sering terjadi pada daerah parotis,
submandibula, dan supraklavikula dan mungkin bilateral.
Untuk mendiagnosis skrofuloderma dengan anamnesis dan pemeriksaan klinis yang
dibantu dengan pemeriksaan penunjang. Baku emas untuk diagnosis tuberkulosis kutis adalah
pemeriksaan biakan.
Skrofuloderma, termasuk TB ekstra paru yang terapinya adalah paduan obat anti
tuberkulosis (OAT) kategori-1 yang digunakan di Indonesia.

Daftar Pustaka

1. Bravo FG, Gotuzzo E. Cutaneous tuberculosis. Clinics in Dermatology 2007; 25:173-80.


2. Odom RB, James WD, Berger TG. Mycobacterial Diseases. In: Odom RB, James WD,
Berger T, editors. Andrew’s Diseases of The Skin: Clinical Dermatology. 9th ed.
Philadelphia: WB Saunders Company, 2000: 417-21.
3. Yates VM, Rook GAW. Mycobacterial Infection. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffits C, editors. Rook’s textbook of dermatology. 7th ed. London: Blackwell
Publishing, 2004:1228-32, 1309-47, 1482-7, 1498-1500.
4. Bolognia, Juan L. Cutaneous Tuberculosis. In: Callen, Jeffrey,editors. Bolognia
Dermatology. 2nd ed. Vol 1. United States; Mosby Elsevier; 2008.

12
5. Tappeiner G. Tuberculosis and Infections with Atypical Mycobacteria. In: Wollf K,
Goldsmith LA, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New York:
McGraw-Hill, 2008: 1772.
6. Barbagallo J, Tager P, Ingleton R, J Hirsch R, M Weinberg J. Cutaneous Tuberculosis,
Diagnosis and Treatment. Am J of Clin Derm 2002; 3 (5): 319-28.
7. S Meltzer M, A Nasy, C. Cutaneus Tuberculosis. Available from: URL
http://www.emedicine.com/cutaneustuberculosis. Diakses tanggal: 10 Oktober 2010
pukul 20.15 wib.
8. McKee PH, Calonje E, Granter SR. Tuberculosis. In: McKee PH. Pathology of The Skin
with Clinical Correlations. 3th ed. China: Elsevier Mosby, 2005.
9. Ramos-e-Silva, Ribeiro de Castro MC. Mycobacterial Infections. In: Bolognia JL,
Jonizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. Toronto: Mosby, 2003: 1107-26
10. Aditama YT, Kamso S, Basri C, Surya A. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberculosis. Ed 2. Jakarta: Departemen kesehatan republik indonesia. 2007: 20-3.

13

Anda mungkin juga menyukai