I. Pengantar
Tekonologi dengan kemajuannya semakin memudahkan hidup manusia. Banyak hal bisa
terselesaikan dalam satu klik dengan smartphone. Butuh informasi jalan, tnggal klik Waze atau
Google map untuk jawabannya. Memandu wisata-pun bisa dilakukan oleh google map dan
penerjemah digital. Bahkan kini tersedia OnTA (online travel assistant), aplikasi berisi informasi
destnasi wisata mulai dari pesawat, akomodasi, tempat layak dikunjungi, hingga kuliner dan tempat
belanja (Kompas, 24 September 2017). Teknologi digital telah mengubah tatanan hidup manusia,
juga dalam pola interaksi dengan jumlah interaksi tatap muka yang semakin minim.
Apa yang bisa dilakukan oleh manusiapun semakin terbatas. Mengumpulkan data, mengompilasinya
hingga membentuk pola kini bisa dilakukan oleh mesin belajar (learning machine), produk
kecerdasan buatan (artificial intellegence). Kecerdasan buatan ini diantsipasi akan mampu
menggantkan manusia dalam mengambil keputusan yang kompleks. Mesin akan menggantkan
peran eksekutf yang umumnya butuh rapat panjang berhari-hari untuk tba pada keputusan
kompleks ini.
Dengan kemampuan mesin belajar secanggih ini, apa lagi fungsi pengajaran? Pertanyaan lebih dasar
lagi: apakah pendidikan formal di perguruan tnggi masih diperlukan, terlebih dengan pernyataan
Ernst & Young dan Google kalau gelar akademik tdak lagi jadi persyaratan mereka dalam seleksi
karyawan. Ini menunjukkan perguruan tnggi tdak lagi agen tunggal untuk menghasilkan kualifikasi
yang dituntut dunia kerja? Bagaimana dunia pendidikan, khususnya perguruan tnggi anggota APTIK
meresponsnya? Apa strateginya, agar PT APTIK bisa bertahan menghadapi tantangan ini?
Dunia pendidikan tengah dihadapkan pada tantangan besar dalam menyiapkan lulusannya untuk terjun
ke masyarakat. Pembicaraan terkait link and match yang dikumandangkan Wardiman Djojonegoro,
Menteri Pendidikan Nasional (1993-1998), hari ini menjadi sangat relevan. Pada masa pemerintahan
tersebut, tujuan pendidikan adalah menghasilkan lulusan yang mampu beradaptasi dengan dunia kerja.
Jadi, lapangan kerjanya sudah ada, dunia pendidikan tnggal menyesuaikan dan
Kompetisi pasar yang tinggi. Persaingan lulusan di pasar kini tdak lagi pada dikotomi lulusan dalam
dan luar negeri, atau lulusan dari PT unggul, tetapi terutama berhadapan dengan teknologi. Proses
kerja yang jauh lebih efisien menghadapkan lulusan pada kompetsi tnggi di pasar kerja.
Produk teknologi tdak lagi sekedar meringankan hidup manusia, bahkan kini telah mampu
menggantkan peran manusia. Di bidang industri jasa kecerdasan buatan/artificial intellegence (AI)
sudah digunakan untuk melayani pelanggan, sehingga jumlah karyawan tereduksi lebih dari 80%.
Pun demikian dengan layanan keuangan, di mana proses penelusuran track record calon debitor
mampu dilakukan oleh AI dengan mudah dan cepat (Tekfin). Pekerjaan menyusun siaran pers di
industri media juga menjadi lebih efisien berkat AI. Dalam bidang kesehatan produk AI mampu
memberikan kesimpulan lebih cepat akan terapi terbaru dan efektvitasnya dibandingkan kecepatan
dokter akses dan baca jurnal. Kecerdasan buatan juga telah melahirkan platform yang mampu
menggantkan fungsi supervisor pabrik.
Singkat kata, produk PT (lulusan) menghadapi pasar yang sangat kompettf. Hanya mereka yang
memiliki keunggulan saja yang akan mampu keluar sebagai pemenang di lapangan kerja; survival for
the fittest.
Lapangan pekerjaan baru bermunculan. Kehadiran sejumlah model bisnis berbasis teknologi tba-
tba menggoncangkan model bisnis tradisional, sepert AirBNB dan Uber, pengelola taksi dan hotel
terbesar di dunia sekarang ini. Menariknya, keduanya tdak memiliki armada sama sekali, taksi
ataupun hotel, tetapi mampu memenangkan pasar. Tidak hanya sampai di situ, dua bulan lalu
AirBNB menggandeng perusahaan media (Vice) dan menawarkan paket wisata unik di sejumlah kota
di dunia (Vice Media, 2017). Lagi-lagi model bisnis yang tdak terbayang 10 tahun lalu.
Pasar kerja bergerak sangat cepat. Model bisnis sepert AirBNB muncul sekitar 8 tahun lalu, dan
langsung memporak-porandakan bisnis perhotelan model tradisional. Sementara dunia pendidikan
masih dengan proses penyiapan lulusannya untuk menjadi resepsionis, house keeping, dan peran
sejenisnya untuk bekerja di hotel, dunia industri sudah bergerak dengan model lain. Dunia
pendidikan dan dunia kerja semakin senjang. Apabila dunia pendidikan tdak antsipasi, kelak akan
banyak lulusan menganggur yang dihasilkan perguruan tnggi.
Profesi yang potensial hilang atau berubah wujud. Sejumlah profesi disinyalir akan berubah wujud,
dan kemungkinan hilang karena teknologi. Beberapa area terkait konsultasi perlu cermat mengamat
perkembangan ini. Bidang hukum misalnya, perlu waspada dengan kecerdasan buatan yang mampu
memberikan pendampingan di bidang hukum, berbasis big data yang dihimpunnya dari pola respons
di meja persidangan. Pun demikian dengan konsultasi kesehatan dengan dokter di ruang praktek
yang terancam oleh AI.
Psikologi punya tantangan tersendiri berhadapan dengan produk kecerdasan buatan manusia, yang
mampu menghimpun informasi lebih cepat dan komprehensif untuk pengambilan keputusan. Juga
demikian untuk bidang konsultasi seiring dengan kehadiran AI terapis (sekedar ilustrasi pada:
https://futurism.com/uscs-new-ai-ellie-has-more-success-than-actual-therapists/ ). Terapis ini sangat
mirip manusia, dengan mimik bicara, gerakan dan perilaku bak terapis riil. Ditopang oleh alat rekam
yang diprogram lewat aplikasi komputer, ekspresi wajah klien yang berkonsultasi dapat dipotret
hingga 60 lebih ttk di wajah, sehingga ekspresi emosi klien dapat dikenali dengan akurat. AI terapis
Berperannya AI lebih efektf dan efisien menantang kita semua dengan pertanyaan: apa lagi yang
bisa diperankan oleh perguruan tnggi?
Relasi hirarkis dosen-mahasiswa dan perbedaan generasi. Pimpinan universitas umumnya adalah
para akademisi yang sehari harinya juga mengajar. Pengajar dalam budaya Indonesia diakui sebagai
orang yang paling tahu, digugu dan ditru; jarang ada yang berani mendebatnya. Jarak kekuasaan
yang tnggi dalam budaya Indonesia (Hofstede, 2010) atau dikenal sebagai Bapakism (Brandt, 1997)
menyebabkan pembelajar bersedia menerima distribusi kekuasaan yang tdak setara: dosen memiliki
kekuasaan lebih tnggi dan mahasiswa mengakuinya. Karena itu, apapun yang diajarkan dosen juga
diterima oleh mahasiswa, sulit untuk dikritsi, apalagi dibantah. Relasi hirarkis yang demikian
mengandaikan kalau dosen akan selalu dicari mahasiswa, dan bukan sebaliknya. Keyakinan diri
demikian merupakan hambatan besar dalam bertransformasi “toh saya dibutuhkan, mengapa harus
berubah?”
Absennya kritk dan kelas hampir selalu penuh terisi mahasiswa (karena tuntutan kehadiran kuliah
minimal 75%) melelapkan dosen dalam proses belajar mengajar. Akibatnya, kehadiran Millenial dan
generasi Z di dalam kelas dengan kekhasan mereka hamper-hampir tdak teramat oleh dosen. Alih
alih berubah dalam metode pengajaran, generasi ini dilabel malas, prakts-pragmats, tdak mau
repot mencari, dan tdak bisa melepaskan hidupnya dari gadget. Kalaupun dosen melihat TED Talks
lebih menarik dibandingkan kuliah di kelasnya, lagi hal ini diatribusikan pada kecanduan Millenial
dan I-generation pada gadget, dan bukan pada kehadiran sumber belajar lain yang lebih dekat
dengan kehidupan generasi ini.
Sikap dosen demikian semakin diperkuat, karena gelar akademik dihargai dalam masyarakat
Indonesia. Perjokian karya ilmiah atau beredarnya ijazah palsu adalah contoh betapa ijazah dicari
oleh masyarakat. Akan tetapi, dengan kemungkinan belajar dari sumber lain di luar perguruan tnggi,
dan adanya pengakuan ketrampilan kerja ke dalam jenjang akademik, apakah PT dengan para
dosennya masih bisa bersikap tenang menantkan kehadiran mahasiswa ke dalam kampus?
Kesenjangan dunia kampus dan dunia industri. Perguruan tnggi maupun dunia industri sama sama
punya kebutuhan untuk melakukan riset, dengan sasaran yang berbeda. Akademisi melakukan
penelitan dengan orientasi yang kuat untuk pengembangan teori/model, dan lebih menyasar
tuntutan administratve sepert pelaporan BKD, kenaikan jabatan fungsional dosen, dan akreditasi.
Dunia industri membutuhkan riset aplikatf, yang mampu menjawab langsung kebutuhan industri
atau untuk memecahkan persoalan masyarakat. Tuntutan jurnal ilmiah untuk hasil riset akademisi
(sepert Scopus) sulit untuk bisa diiringkan dengan tuntutan dunia industri.
Beban pengajaran tnggi dan dengan tuntutan administrasi tdak jarang menjadi hambatan dosen
dalam merespons riset dunia industri, yang butuh penyelesaian cepat. Persoalan ini semakin
Pada akhirnya masing-masing dharma berjalan sendiri-sendiri, dan tdak integratf: pengajaran di
kelas cenderung text-book, minim dukungan data dari lapangan. Kesenjangan yang tnggi, membuat
para akademisi semakin terkungkung dalam menara gadingnya, sementara dunia industri juga berlari
sendirian. Konsekuensi lebih jauh, kajian dunia industri jarang diberikan kepada kampus. Akademisi
dipandang kurang mampu ‘membunyikan’ pasar kerja. Ini sangat berbeda dengan praktek di belahan
dunia lain sepert Jerman, di mana projek dari industri, pemerintah, atau dari EU banyak yang
diserahkan kepada kampus. Karya akademisi justru diminat dan dinilai unggul, karena
metodologinya.
Makin miskin praktek lapangan, makin jauh pula para akademisi dari permasalahan dunia kerja.
Konsekuensinya tentu pada lulusan yang dihasilkannya, seolah steril dari pasar. Kalaupun kemudian
ada kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan seorang dosen, itu aktvitas sebagai
dharma pengabdian kepada masyarakat yang berjalan terpisah dari bidang penelitan.
Satu sisi, praktek di atas juga terjadi karena regulasi. Akan tetapi tumbuhnya perguruan tnggi
berbasis industri sebagai respons atas kesenjangan tersebut menunjukkan langkah strategis untuk
menjawab diskrepansi tersebut (catatan: kecekatan korporasi menangkap peluang bisnis juga ada).
Institusi yang cenderung guyub dan welas asih. Perguruan tnggi Katolik, tua, sebagaimana pada
sejumlah anggota APTIK ini umumnya dibangun berbasis paguyuban. Suasana kerja yang guyub
ditandai oleh atmosfir kelompok yang nyaman, harmonis, dengan lingkungan kekeluargaan, saling
mengenal dan mendukung satu sama lain. Relasi yang demikian merupakan basis yang kuat untuk
membangun rasa saling percaya untuk saling mengandalkan satu sama lain.
Suasana kerja demikian bernilai positf. Akan tetapi, ketka lingkungan kerja menuntut pengelolaan
secara profesional, suasana kerja guyub yang terbangun dengan basis emosional akan mengalami
goncangan (lihat Panggabean, Tjitra, Murniat, 2014). Kritk sulit dilakukan atas nama mengganggu
harmoni sosial.
Sisi lain dari kehadiran teknologi berbicara kompetsi, yang tdak kondusif untuk menjaga keguyuban.
Basis kerja dengan kekuatan pada relasi harus bergeser pada orientasi hasil kerja, yang akan
terfasilitasi dengan profesionalisme. Pada ttk ini, kehadiran produk dari mesin belajar akan
mendobrak isu yang dimunculkan oleh atmosfir kerja yang guyub. AI mampu mengatasi
permasalahan di dalam mengelola manusia. Segala permasalahan yang biasanya memusingkan
kepala unit SDM dan menghabiskan banyak waktu, tenaga dan pikiran, kini dengan mudah
diselesaikan oleh AI: jumlah tenaga terbatas, tdak mudah tersinggung, tdak butuh kebersamaan,
tdak perlu libur/cut, mudik, tdak membutuhkan BPJS, tdak perlu program orientasi dan paling
nyaman lagi karena mereka ini tdak ‘ngeyel’. Satu sisi menantang karena menyelesaikan banyak
masalah, sisi lainnya adalah tantangan dalam bertransformasi yang sangat besar; berhadapan
dengan paguyuban yang umumnya juga tdak mudah untuk berubah.
Ketga isu internal dalam organisasi pendidikan (dan Katolik) menjadi tantangan tersendiri bagi
insttusi untuk berubah.
A. Pengelolaan Kurikulum
Apa yang dilakukan oleh Google dan Erst and Young menunjukkan kalau mereka tdak mendasarkan
seleksi berbasis technical competence, tetapi pada ketrampilan umum yang diperlukan untuk hidup
di era teknologi ini. Ini mengindikasikan kalau tuntutan pasar dewasa ini cenderung pada generalist,
bukan specialist, sementara profil lulusan di dalam kurikulum harus dirumuskan dengan spesifik.
Penentuan profil lulusan tdak lain dimaksudkan untuk menegaskan pasar kerja dari para lulusan.
Pasar kerja manakah yang akan dirujuk, mengingat lingkungan terus berubah dan dengan sangat
cepat?
Kurikulum sebagai rujukan dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar (PBM) jelas harus
senantasa diperbaharui, agar sejalan dengan pasar. Pertanyaannya: seberapa sering? Apakah
kurikulum harus terus berubah mengikut perubahan pasar yang terus berlari dengan cepat? Jangan
jangan pengelola prodi akhirnya hanya bersibuk diri dengan perubahan kurikulum, dan kurang
mengalokasikan perhatan pada kontrol mutu pembelajaran.
Di tengah isu regulasi dan tuntutan perubahan teknologi yang mengubah pasar, penulis melihat ada
beberapa hal yang bisa/mungkin dilakukan.
Pengembangan isi pembelajaran. Isi pembelajaranlah yang perlu terus diadaptasikan, jika pengelola
program studi tdak ingin terjebak dalam penataan kurikulum. Bahan kajian bisa saja tetap sama,
tetapi fokus penekanan dalam perkuliahan harus berubah. Kuliah Riset Pemasaran yang sekedar
berfokus pada proposal riset, cara pengambilan data dan analisisnya jelas membuat lulusan tdak
laku di pasar, karena ada big data yang lebih cepat dan lebih lengkap memotret pola belanja, jenis
dan karakteristk produk yang disasar masyarakat. Pun demikian halnya dengan perkuliahan
Observasi dan Wawancara sebagai instrumen pengambilan data. Materi teknik konseling harus
bergeser dari sekedar kemampuan menggali akar masalah seorang klien, karena AI terapis bisa lebih
akurat dalam mengenali emosi yang tengah dialami subjek.
Singkat kata, subjek pengajaran bisa saja tetap sama, tetapi metodologinya harus berubah.
Pembelajar harus diperkenalkan dengan peran lain, di atas kemampuan yang dihasilkan oleh mesin
belajar.
Kerjasama dengan dunia industri. Dunia kerja berubah sangat cepat dan tdak ada cara lain kecuali
mencermat perkembangan pasar. Untuk itu, kerjasama kampus dengan dunia industri harus
diintensifkan. Kampus bisa menjadi lokomotf atas tumbuhnya inovasi dan pertumbuhan, dan
industri merupakan laboratorium dari tempat uji temuan tersebut. Ini bisa terfasilitasi apabila tema
riset relevan dengan kebutuhan dunia industri. Projek riset melibatkan mahasiswa untuk penelitan
skripsinya, dan diperkuat dengan praktek kerja langsung di unit ini. Hasil riset kemudian
dikembangkan lebih lanjut sebagai karya pengabdian kepada masyarakat baik dalam capacity
building karyawannya dalam bentuk program sertfikasi, dalam bentuk advokasi dan pemberdayaan
masyarakat.
Menjadikan pembelajar sebagai ‘long life learner’ (lihat Redecker, Leis, Leendertse, Punie, Gijsbers,
Kirschner, Stoyanov, & Hoogveld, 2011). Merespons pasar kerja yang berubah dengan sangat cepat,
maka perguruan tnggi perlu memasukkan sasaran untuk menghasilkan pembelajar seumur hidup ke
dalam capaian pembelajaran “bagian sikap dan nilai-nilai”, dan mayoritas matakuliah harus diberi
beban untuk pencapaiannya. Untuk ini, PBM harus memungkinkan berkembangnya pribadi yang
fleksibel, siap beradaptasi, dan bersedia terus belajar untuk mampu menyesuaikan diri terhadap
perubahan.
Kunci keberhasilan untuk membangun sikap dan nilai-nilai ini ada pada dosen. Seorang pengajar
yang di dalam dan di luar kelas menunjukkan antusiasmenya terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan berupaya untuk mengenali/menggali/mengkritsinya bersama
mahasiswanya cenderung akan ditru juga oleh mahasiswanya. Sikap terbuka dengan mengakui
ketdaktahuannya, lalu memberi kesempatan pada mahasiswa untuk menjelaskan akan menunjang
pembentukan sikap tersebut. Penelit menyadari kalau ini bukan perihal yang mudah bagi para
dosen dengan relasi yang bersifat hirarkis dengan mahasiswanya. “Mosok sih dosen tdak tahu”
merupakan respons yang tdak diharapkan di masyarakat Indonesia.
Singkat kata, teknologi menumbuhkan kemandirian untuk tdak lagi banyak bergantung pada orang
lain, namun perlahan manusia kehilangan kebebasan untuk mengontrol dirinya sendiri.
Fungsi dosen harus beralih dari transfer pengetahuan menjadi fasilitator dalam diskusi, ahli yang
kaya dengan pengalaman di bidangnya, dan pengarah nilai/pengawal etka. Mesin belajar belum
mampu menyentuh aspek perbedaan kemampuan individu dalam belajar; pun tdak menyentuh
permasalahan etka atau pelanggaran nilai. Mengikut taksonomi Bloom (1956 in Krathwohl, 2002),
maka sasaran belajar pada level dasar sepert untuk mengingat dan memahami bisa diserahkan
kepada mesin belajar; atau berbasis digital. Akan tetapi, pada level-level lebih tnggi, ketka masuk
dalam tahap evaluasi maupun kreasi, di sinilah figur dosen diperlukan. Level evaluasi berbicara
kemampuan mahasiswa memberikan justfikasi atas pandangan dan keputusannya; sementara
kreasi menyasar kemampuan mahasiswa menghasilkan produk atau sudut pandang. Pada bagian
inilah, tampil kekuatan dari pendidikan Katolik yakni pembentukan karakter, di mana terjadi
penanaman nilai melalui proses diskusi dan refleksi atas isu yang tengah di bahas. Lebih lanjut
tentang pendidikan Katolik ini dipaparkan dalam bagian akhir dari paper ini.
Kembali pada pembelajaran berbasis digital, maka blended learning yang mengombinasikan belajar
gaya tradisional dengan basis digital harus dikembangkan. Belajar menjadi lebih efektf, karena
mengakomodasi pembelajar yang adalah digital native dan menempatkan dosen pada posisi
seharusnya di era teknologi.
Dosen bisa berperan dengan baik di sini, apabila punya pengalaman yang kaya, mengembangkan
case study berbasis data lapangan sebagai bahan diskusi, mengkritsi praktek di lapangan dari sisi
etka, dan nilai yang akan ditegakkan. Hal ini hanya mungkin terjadi jika dosen turun ke lapangan;
melihat aplikasi teori dalam konteks Indonesia dan isu yang muncul dalam implementasinya di
lapangan. Kegiatan ini bisa berlangsung sebagai penelitan yang hasilnya kemudian dibawa ke dalam
kelas sebagai bahan diskusi. Dharma pengajaran terintegrasi dengan dharma penelitan. Pemahaman
sebuah teori dari lapangan Indonesia sendiri sekaligus merespons isu menara gading kampus
sebagaimana dipaparkan sebelumnya.
Penulis menyadari bahwa ini bukan praktek yang mudah, mengingat mayoritas studi pasar sulit
dijadikan publikasi. Pun demikian dari kualifikasi publikasi mahasiswa jenjang studi program
Magister dan Doktor. Kemampuan kerja dan penguasaan pengetahuan yang dituntut dari lulusan
level 8/Magister adalah mengembangkan IPTEKS melalui riset inter/mult disiplin, inovasi, teruji dan
‘menguasai teori dan teori aplikasi bidang pengetahuan tertentu’ (aplikasi untuk program terapan).
Kemampuan dari lulusan pada level 9/Doktor adalah ‘melakukan pendalaman dan perluasan IPTEKS,
riset mult-transdisiplin’ dan ‘menguasai filosofi keilmuan bidang pengetahuan dan keterampilan
tertentu’. Dengan tuntutan sepert ini, maka tugas akhir level Magister/Doktor (lagi) sarat dengan
bobot ilmiahnya, dibandingkan untuk intervensi sosial. Tentu tdaklah berart bahwa kajian teorits
untuk pengembangan teori tdak perlu, tetapi masyarakat Indonesia lebih membutuhkan riset
terapan.
Keterlambatan merespons tantangan eksternal tdak lepas pula dari sejarah Pendidikan Katolik di
Indonesia yang pada sebuah masa merupakan insttusi paling dicari di negeri ini. Kualitas pendidikan
diakui, dan pendidikan karakter sangat menonjol. Jumlah pesaing yang rendah pada waktu itu
membuat perguruan tnggi tua dan Katolik ini terjebak dalam zona nyaman. Rasa aman dan nyaman
ini tetap terpelihara meski PTS bermunculan di awal tahun 90-an, termasuk insttusi pendidikan yang
didirikan oleh kalangan bisnis. Ini bisa dicermat dalam berbagai pertemuan, entah diselenggarakan
oleh Koperts, Dikt, juga dunia industri, PT tua jarang menghadirinya. Sebaliknya PT yang lahir
belakangan sangat antusias; mereka sadar dirinya pendatang baru, butuh belajar, ingin berjejaring
untuk mengembangkan insttusinya.
Sadar tdak sadar, kehadiran PTS baru ini cenderung dipandang sebagai ‘kelompok lain’, tdak sama
dengan PT tua Katolik yang unggul ini, sehingga tdak dirasakan sebagai ancaman. Lebih dari itu, kata
‘bisnis’ dipandang seolah berseberangan dengan ajaran sosial preferential option for the poor, maka
terjadilah atribusi yang tdak akurat. Dampaknya tentu pada respons terhadap pertumbuhan PTS
lain. Kondisi bak ditampilkan oleh ‘kancil’ dalam pertandingannya dengan sang kura-kura; terlena
bahkan tertdur, karena persepsi keliru terhadap lawan yang tdak sebanding. Tantangan untuk
mendapatkan mahasiswa baru membangunkan kita semua akan riilnya kompettor di depan mata.
APTIK berangkat dari semangat bekerjasama untuk meraih keunggulan di perguruan tnggi masing-
masing. Ini bisa diamat dari visi APTIK „menjadi asosiasi yang mampu merintis, memelihara, dan
meningkatkan berbagai bentuk kerja sama antar Yayasan yang merupakan anggotanya, sehingga
Perguruan Tinggi yang diselenggarakan masing-masing Yayasan unggul dalam kualitas dan daya
saing terutama dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat”
(http://www.aptk.or.id/content.php?i=67&p=Visi-Misi).
Basis Katolik, menjadi pemersatu para perguruan tnggi ini. Kesamaan memfasilitasi terjadinya
kerjasama, namun sekaligus menantang, karena pasarnya yang relatf sama “keluarga
Katolik/Gereja” dengan produk yang mirip: lulusan berkarakter. Kemiripan di sini justru mengandung
potensi untuk berkompetsi, bukan kolaborasi.
Relasi antar anggota PT APTIK bak anak-anak dalam satu keluarga yang saling tenggang rasa guna
menjaga harmoni sosial. Mengkritk mengindikasikan ketdakselarasan anggota dalam asosiasi. Kritk
anggota bisa dipersepsikan lain, terlebih hanya oleh orang tertentu dan cukup sering, seolah ingin
menonjolkan diri. Alhasil kritk cenderung dihindari. Ketadaan kritk membangun rasa nyaman,
berkembang guyub, dan ditopang dengan sikap kerendahan hat sebagai murid Kristus, maka
bersikap berbeda dan krits semakin dihindari. Kolaborasi yang hendak dibangun dengan berbasis
atmosfir demikian memiliki tantangan tersendiri. Usia 33 tahun APTIK menunjukkan berlangsungnya
kerjasama, bagaimana selanjutnya?
Menemukan dan mengembangkan superordinate goal merupakan jalan keluar terbaik, agar tendensi
untuk berkompetsi bisa ditransformasikan menjadi kolaborasi. Superordinate goal tdak lain adalah
sebuah sasaran bersama yang pencapaiannya menuntut kerjasama dari para anggotanya (Allport,
1954). Mengatasi era disrupsi jelas sebuah sasaran yang dihadapi oleh semua anggota PT APTIK dan
(lebih pentng lagi) menyatu sebagai minoritas di Indonesia. Pengaruh minoritas terletak pada satu
kesatuannya, dan jika disinergikan, maka akan menghasilkan efek besar. Sejarah telah
memperlihatkan kalau kekuatan minoritas diperhitungkan dan berhasil meraih kemenangan, selama
konsisten memegang prinsip yang diperjuangkan dan ada komitmen di sini.
Guna menemukan superordinate goal dari APTIK, maka merujuk ilmu perang Sun Tzu, pertama-tama
APTIK perlu menyadari siapa dirinya; apa maksud asosiasi ini didirikan 33 tahun lalu dan apa jat diri
anggota yang diwadahinya.
APTIK mengawal kekuatan moral anggotanya. Kekhasan dari insttusi pendidikan Katolik terletak
pada pendidikan karakter. Lulusan dari insttusi ini diminat karena disiplin, jujur, dan tdak mudah
terpengaruh oleh perilaku ant-sosial. Jat diri insttusi Katolik ini perlu disadari dan meresap dalam
kehidupan tap insttusinya, terus diperkuat dan ditampilkan secara konsisten. Ajaran Sun Tzu
“Mengenal diri, mengenal musuh, akhirnya mampu memenangkan peperangan”.
Tata kelola PT Katolik harus juga mencerminkan karakter ini, yang ditandai oleh tndakannya yang
beretka dan bermoral. Kasus sepert pemalsuan ijazah, manipulasi data, terlibatnya dosen dalam
perjokian karya ilmiah sebagaimana berita di media hari-hari ini seyogyanya tdak pernah terdengar
dari PT Katolik. Sebaliknya insttusi pendidikan ini dikenal akan konsistensinya dalam menegakkan
keadilan (termasuk menekan berkembangnya bullying), karena senantasa membawa pesan bernada
perdamaian, menampilkan informasi berbasis data, dan bukan penyebar hoax. APTIK bisa
Penulis yakin, pengelola PT yang ada dalam ruangan ini menyadari betapa pengelolaan pendidikan
tnggi semakin menantang. Satu sisi menjumpai berbagai regulasi semakin ketat dengan kompetsi
semakin tnggi. Pada sisi lain PT juga berhadapan dengan Millenial yang mau serba cepat, instant dan
pragmats, yang justru ‘menantang’ nilai unggul pendidikan Katolik itu sendiri. Keunggulan
diterjemahkan dalam nuansa lain; disiplin diasosiasikan dengan tradisional/kolot, tdak ‘asyik’, kurang
gaul, dan tdak kreatf; sementara pendidikan bermutu dipandang sebagai studi berdurasi panjang.
Ini jelas tantangan yang tdak mudah di tengah perjuangan PT untuk mengembangkan dirinya
menjadi insttusi pendidikan berukuran besar.
Kembali pada ulasan terkait kecerdasan buatan manusia yang mampu menyederhanakan
kompleksitas hidup manusia. Dunia pendidikan tdak menampik produk kemajuan teknologi ini. Akan
tetapi, logika bekerja mesin belajar harus dipahami, yang jalannya juga atas instruksi dan
berdasarkan data yang dimasukkan manusia. Cara berpikir manusia yang bisa/sangat mungkin bias
tentu ada juga dalam proses kerja ini. Data tdak akurat yang masuk akibat kesalahan manusia, akan
menghasilkan big data yang salah. Robot untuk mendeteksi prejudice-diskriminasi misalnya,
diciptakan oleh manusia yang juga tdak 100% bebas nilai/ant-diskriminasi. Pun demikian pada area
konsultasi sepert pada AI terapis. Robot bernama Ellie ini jelas mampu mendeteksi emosi dengan
lebih akurat, termasuk kebohongan. Pertanyaannya, apakah Ellie mampu memahami isu nilai (value)
atau moralitas dari kasus yang ditanganinya?
Ketrampilan individu untuk mengambil keputusan tetap harus kuat, bukan untuk langkah kerjanya,
tetapi refleksi atas ‘mengapa’ keputusan ini yang diambil dan bukan lainnya. Refleksi demikian
terutama pentng untuk isu yang sarat dengan nilai kemanusiaan. Nurani perlu diasah melalui
refleksi, agar tdak keliru mengarahkan pikiran dan tndakan manusia. ‘Refleksi’ atas teralihnya fungsi
manusia ke robot, ttk perkembangan maksimal yang melampaui ‘nilai’ seorang manusia;
konsekuensi apa yang dimunculkan; apa isu etka yang akan muncul dari perkembangan teknologi di
bidang ini, dan pada akhirnya pertanyaan sangat dasar: apakah perkembangan tersebut sejalan
dengan nilai dan martabat manusia dan menjadikan manusia lebih bahagia?
Kemampuan refleksi ada pada insttusi Katolik, terutama pada insttusi yang dikelola oleh Ordo
Serikat Jesus. Kekuatan PT Katolik ini bisa digarap secara intens dan diperankan oleh APTIK sebagai
payung dari PT Katolik. Dalam konteks bahasan era disrupsi ini, maka isu AI diangkat dan dijadikan
sebagai bahan refleksi: penggunaan AI dalam berbagai bidang kehidupan di bidang pengajaran,
penelitan, pengabdian kepada masyarat, dan isu yang dimunculkannya, terutama terkait dengan
peran manusia, dan spesifiknya dengan identtas Katolik. Dokumen-dokumen Gereja yang relevan
dengan pendidikan Katolik sepert Laudato Si, ex-corde exclesiae, dan semangat preferential option
for the poor dibaca dan diaktualkan dalam kondisi kekinian di bawah koordinasi APTIK. Khusus
bagian ini menjadi lebih menarik lagi untuk dibahas ketka berbicara pemberdayaan masyarakat
versus efisiensi yang dimunculkan dari teknologi: bagaimana sikap dan peran Gereja yang hadir
melalui insttusi pendidikan Katolik?
Tujuan bersama membutuhkan peran dan arahan yang jelas dari APTIK, dengan manfaat sangat jelas
yang dirasakan oleh PT APTIK. Program JPA Perpustakaan diakui dan konsisten berjalan karena ada
manfaat besar yang dirasakan: capacity building dan pengembangan sistem di PT masing-masing
yang punya implikasi langsung pada akreditasi.
Praktek sejenis dengan tujuan bersama juga tengah berlangsung antar anggota APTIK, yakni program
PT Asuh. Bedanya, pengarahnya (baca: penyandang dana) adalah Dikt. Di sini baik anggota APTIK
kelompok C maupun A sama sama merasakan manfaatnya: pengasuh mendapatkan hibah DIKTI yang
punya implikasi pada akreditasi, dan kesempatan belajar dari PT kecil yang seringkali lebih bergeliat
daripada PT besar dan tua. PT yang diasuh sebaliknya berproses meningkatkan mutu internal PT
dengan pendampingan intens. Dikt dengan jadual monitoring dan evaluasinya yang sangat jelas,
memaksa masing-masing PT harus bekerjasama mencapai targetnya.
Program PT Asuh sangat jelas sebuah sinergi antar anggota PT APTIK. Kontribusi masing-masing
berbeda sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya masing-masing. PT kategori C mendapatkan hibah
yang bermakna untuk Akreditasi, sementara PT kategori A mendapatkan manfaatnya dalam
pengembangan mutu akademik. Adanya forum Rektor anggota PT APTIK memfasilitasi terwujudnya
koordinasi yang memudahkan proses pengajuan hibah. Sinergi sejenis inilah yang harus
dikembangkan, dan kata kuncinya adalah kebutuhan bersama dalam bentuknya yang berbeda.
Kembali pada kekuatan insttusi Katolik, maka krisis dunia akademik yang tengah melanda PT di
Indonesia bisa direspons sangat baik oleh PT APTIK, lewat kajian dan program intervensi. Anggota PT
APTIK yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia akan memberikan data yang kaya dalam variasi
etnik, agama, status sosial ekonomi dan dengan kajian multperspektf, sehingga bisa dihasilkan
sebuah model untuk pendidikan karakter. Bentuk kolaborasi semacam ini strategis, menyasar isu
bangsa, berangkat dari kekuatan insttusi Katolik, dan melibatkan masing-masing PT sesuai dengan
kemampuannya yang bermakna. Insttusi Katolik yang belum pernah terdengar melakukan kasus
yang tdak terpuji itu jelas kredibel untuk berbicara pendidikan karakter.
Pada akhirnya satu hal yang perlu disadari oleh seluruh anggota PT APTIK kalau common enemy dari
insttusi Katolik bukan sekedar produk teknologi, tetapi juga meredupnya pendidikan Katolik di
Indonesia. Apakah kita rela?