Oleh:
Hasbiallah Yusuf 04124905001
Rika Maulida 04124705073
Pembimbing:
dr. Yusni Puspita, SpAn, KAKV, KIC, M.kes
BAGIAN/DEPARTEMEN
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN
2014
HALAMAN PENGESAHAN
Referat berjudul:
Patofisiologi dan Manajemen Nyeri
Oleh:
Hasbiallah Yusuf
Rika Maulida
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya/Rumah Sakit dr. Mohammad Hoesin
periode 26 Mei hingga 30 Juni 2014.
ii
KATA PENGANTAR
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2
3
nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orang tua, anak-
anak dan pasien dengan gangguan komunikasi.1
dari nyeri akut adalah post-traumatik, post-operatif, nyeri obstetrik, atau gangguan
medis akut, seperti infark miokardial, pankreatitis dan batu ginjal. Intensitas nyeri
akut umumnya berkaitan dengan stres neuroendokrin. Jika tidak dapat mereda
akibat penyembuhan abnormal atau pengobatan yang tidak adekuat, nyeri akut
dapat menjadi nyeri kronik. Nyeri akut secara garis besar dibagi menjadi nyeri
akut somatik dan viseral.1
Nyeri akut somatik terdiri dari nyeri somatik superfisial dan dalam. Nyeri
somatik superfisial berasal dari rangsangan nosiseptif di kulit, jaringan subkutan
dan membran mukosa, digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah
dilokalisasi dan disertai rasa terbakar. Nyeri somatik dalam berasal dari otot
skeletal, tendon, sendi dan tulang, yang biasanya terasa tumpul, sensasi kurang
jelas dan sulit dilokalisasi.1
Nyeri akut viseral adalah hasil dari proses penyakit atau fungsi abnormal
dari organ internal dan jaringan sekitarnya (contoh: pleura parietal, perikardium,
atau peritoneum). Nyeri viseral terbagi menjadi nyeri viseral sejati dan nyeri
parietal. Nyeri viseral sejati merupakan suatu nyeri yang tumpul, difus dan
biasanya terfokus pada garis tengah batang tubuh, yang terkait dengan kelainan
simpatik atau parasimpatik, menyebabkan mual, muntah, berkeringat, serta
perubahan tekanan darah dan denyut jantung. Nyeri parietal digambarkan sebagai
nyeri yang tajam dan menusuk. Nyeri viseral dan parietal dapat terasa pada
sumber nyeri, atau dialihkan ke kulit pada lokasi berjauhan. Fenomena nyeri alih
ini berasal dari pola perkembangan embriologi dan migrasi jaringan, serta
pertemuan jalur aferen viseral dan somatik pada sistem saraf pusat. Gambaran
pola alih nyeri pada nyeri viseral dirangkum dalam Tabel 1.1
Serabut nyeri neuron primer pada kepala dibawa oleh saraf kranial
trigeminus (V), fasialis (VII), glossofaringeal (IX) dan vagus (X). Proses aksonal
proksimal pada neuron primer pada ganglia saraf kranial tersebut mencapai nuklei
batang otak melalui masing-masing saraf kranial, yang kemudian akan bersinaps
pada neuron sekunder pada kornu dorsalis di korda spinalis.1,5
Setelah masuk ke korda spinalis, neuron sekunder akan berpisah sesuai
ukuran, serabut besar bermielin menuju ke medial (spinoretikular), serabut ukuran
sedang dan kecil tanpa mielin menuju ke lateral (spinothalamik). Jalur
spinothalamik dipercaya sebagai jalur penghantar nyeri yang utama, kemudian
terbagi lagi menjadi jalur medial (paleospinothalamik) dan lateral
(neospinothalamik). Jalur spinothalamik medial dan lateral ini dengan segera akan
menyilang pada medulla spinalis dan mengirimkan proyeksi aferen pada tingkat
yang lebih tinggi. Selain itu, neuron sekunder juga membentuk kontak sinaps
dengan nukleus yang berbeda pada batang otak termasuk periaqueductal gray
(PAG) dan nucleus raphe magnus (NRM), berikut ke sistem retikuler dan
hipothalamus, yang membentuk respons nyeri.1,5,6
Pada nukleus lateral dan medial thalamus, neuron sekuder membentuk
kontak sinaps dengan neuron tersier. Selain itu, neuron tersier kemudian akan
mengirimkan sinyal aferen dari thalamus melalui kapsula interna dan korona
radiata ke girus postsentralis pada korteks serebral. Neuron tersier juga
berhubungan dengan stuktur limbik yakni anterior cingulated cortex (ACC) dan
insula yang mana terlibat dalam komponen emosi dari nyeri. Pada girus
postsentralis, perjalanan serabut nyeri akan dikirim ke area somatosensori I (SI)
pada korteks parietal dan area somatosensori II (SII) pada fisura Sylvian (Gambar
2). Area SI dan SII ini dilalui oleh jalur neospinothalamik (lateral) yang
menghantarkan stimilus dari thalamus ventral posterolateral, membawa aspek
diskriminatif nyeri seperti lokasi, intensitas dan durasi, sementara jalur
paleospinothalamik (medial) menghantarkan stimulus dari thalamus medial,
bertanggung jawab atas persepsi otonom dan komponen emosional dari nyeri.1,5
8
raphe magnus (NRM) dan formasi retikuler. Stimulasi dari area tersebut
menimbulkan analgesia yang luas pada manusia.1,2
berupa sensasi lambat, tumpul dan sulit dilokalisasi, yang dihantarkan oleh
serabut yang tidak bermielin, seperti serabut C. Klasifikasi serabut saraf perifer
dijelaskan secara ringkas dalam Tabel 2.1,6,7
Serabut Aβ
Serabut Aβ terlibat pada konduksi input nosiseptif seperti getaran,
pergerakan dan sentuhan. Serabut Aβ merupakan saraf bermielin besar dengan
kecepatan konduksi yang cepat (35-75 meter per detik). Selain fungsi tersebut,
serabut Aβ juga menghambat interneuron pada substantia gelatinosa pada kornu
dorsalis pada medulla spinalis yang akan menghambat input nosiseptif pada
segmen yang sama. Mekanisme ini adalah salah satu komponen fundamental pada
teori kontrol gerbang (gate control). Stimulus noksius akan menurunkan input
nosiseptif pada regio yang sama.5
Serabut Aδ
Serat Aδ adalah serabut bermielin yang relatif besar dengan kecepatan
konduksi yang lebih lambat deri serat Aβ, yaitu sekitar 5-30 meter per detik, tetapi
jauh lebih cepat dibandingkan serabut C. Serat Aδ memiliki respons berbeda,
tergantung pada spesifitas stimulasinya. Tipe tersebut adalah nosiseptor Aδ
mekanik yang berespons pada stimulus mekanis noksius, dan Aδ polimodal yang
berespon terhadap stimulus mekanis, suhu dan kimia. Selain itu, serat Aδ juga
meningkatkan kepekaan respons setelah terkena stimulus panas. Fenomena in
13
Serabut C
Serabut C memiliki konduktivitas yang lebih lambat dari serat lainnya
karena hampir tidak memiliki mielin. Serat ini mereprentasikan 75% dari sensori
aferen dan hampir seluruh dari stimulasi nosiseptor. Akan tetapi, serat ini juga
terlibat pada informasi somatosensori non-nosiseptif, seperi sensasi gatal dan
sentuhan yang mneyenangkan.5
(Tabel 4), menuju thalamus melalui jalur spinothalamik. Selanjutnya sinyal akan
dikirim ke korteks dan region lain untuk diterjemahkan. Melalui proses yang
kompleks, modulasi nyeri terjadi melalui molekul modulator, baik yang
meningkatkan (eksitatorik) atau mengurangi (inhibitorik) nyeri, sehingga timbul
persepsi, yang merupakan respons perasaan nyeri pada kesadaran utuh setelah
melewati proses transduksi, transmisi dan modulasi, yang dirasakan secara
subjektif dan emosional.2,7
pacemaker ektopik. Mengikuti hal ini, dapat terbentuk neuroma (Gambar 6), yaitu
perkembangan abnormal akson dengan persarafan simpatik yang signifikan,
menimbulkan nyeri allodinia yang dimediasi saraf simpatik.3,7
Gambar 7. Peran dari nerve growth factor (NGF) pada sensitisasi perifer2
(Gambar 12). Pasien diminta untuk membuat tanda di garis tersebut untuk
mengekspresikan nyeri yang dirasakannya. Penggunaan skala VAS lebih
gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan
skala lainnya. Secara metodologis, penggunaan VAS juga kualitasnya lebih baik,
dengan hanya menggunakan beberapa kata sehingga bahasa tidak menjadi
permasalahan. Willianson, dkk. juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala
ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat
rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0-4
cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target
untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat
sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesik
penyelamat (rescue analgetic).3
Transdermal: Adalah alternatif rute yang tidak invasif untuk obat yang
dipakai secara berkelanjutan (continuous), namun suhu tuuh yang panas
dapat mempercepat absorpsi.
Rektal: Pemakaian rute ini cnderung sensitif, karena itu perlu diberikan
penjelasan yang tepat pada pasien sebelumnya. Rute rektal
dikontraindikasikan relatif pada pasien dengan neutropenia,
trombositopenia dan penyakit rektal.
Intravena: Rute ini menghasilkan onset cepat, dengan efek obat yang
stabil saat mencapai kadar konsentrasi dalam darah.
Subkutan: Efeknya serupa dengan rute intravena.
Intervensional: Rute ini termasuk analgesia spinal (epidural atau
intratekal) atau dengan blok saraf perifer. Rute ini terutama dipakai
apabila terdapat efek samping yang berkaitan dengan penyakit sistemik.
Intramuskular: Rute ini tidak direkomendasikan pada pemberian
analgetik sebab memiliki banyak kerugian (contoh: nyeri, absorpsi yang
tidak menentu, kadar obatyang tidak stabil dan fibrosis jaringan).
Topikal: Dapat dipakai pada nyeri yang bersifat lokal, baik nyeri
neuropatik atau nyeri muskulo-skeletal.
Intranasal: Memberikan efek absorpsi yang cepat dan cara
pemberiannya mudah.
Asetaminofen
Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang
mengalami metabolisme melalui siklooksigenase (COX). Prostaglandin yang
lepas ini akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi,
edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga
prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu
rangsangan nyeri (nosiseptif)1.
Asetaminofen (paracetamol) adalah analgesik oral dan agen antipiretik,
yang bekerja menghambat sistesis prostaglandin, namun dengan efek minimal
pada COX-1 dan COX-2, sehingga tidak terlalu efektif sebagai anti-inflamasi.
Asetaminofen tidak memiliki banyak efek samping, namun hepatotoksik dalam
dosis tinggi. Dosis maksimum dewasa yang direkomendasikan adalah 3000
mg/hari. Isoniazid, zidovudine dan barbiturat dapat menambah toksisitas
asetaminofen.1
Antidepresan
Antidepresan sangat berguna bagi pasien dengan nyeri neuropatik. Efek
analgesik timbul pada pemberian dosis lebih rendah dibandingkan dengan dosis
27
Neuroleptik
Terapi menggunakan neuroleptik dapat berguna pada pasien dengan nyeri
neuropatik berulang, yang umumnya digunakan pada pasien dengan agitasi dan
gejala psikotik. Agen yang paling sering digunakan adalah fluphenazine,
haloperidol, chlorpromazine, dan perphenazine.1
Aksi terapeutik neuroleptik adalah melalaui blokade reseptor
dopaminergik pada area mesolimbik, namun efek yang sama pada jalur
nigrostriatal dapat menyebabkan efek saamping ekstrapiramidal. Beberapa pasien
juga mengalami reaksi distonik akut, seperti tortikolis. Efek samping jangka
panjangnya berupa akatisia (tidak dapat beristirahat) dan diskinensia tardiv
(gerakan koreoathetoid involunter dari lidah, bibir dan batang tubuh). Seperti
antidepresan, obat-obatan ini juga memiliki efek antihistamin, antimuskarinik dan
blokade α-adrenergik.1
dalam kondisi ini. Baclofen (Gablofen, Lioresal), agonis GABA B, secara khusus
efektif pada spasme otot terkait sklerosis multipel atau cedera korda spinalis, jika
digunakan dalam infus intratekal. Penghentian tiba-tiba dari agen ini terkait
dengan demam, perubahan status mental, spasme atau kekakuan otot,
rhabdomiolisis dan kematian.1
Kortikosteroid
Glukokortikoid secra luas digunakan pada manajemen nyeri karena
memiliki efek anti inflamasi dan aksi analgesik, yang dapat dibrikan secara
topikal, oral atau parenteral (intravena, subkutan, intrabursal, epidural). Dosis
yang tinggi dan pemakaian lama akan menimbulkan efek samping, seperti
hipertensi, hiperglikemia, infeksi, ulkus peptik, osteoporosis, nekrosis aseptik,
miopati proksimal, katarak dan psikosis. Pasien dengan diabetes dapat mengalami
peningkatan glukosa darah setelah injeksi kortikosteroid. Pasien juga dapat
menderita karakteristik sindrom Cushing. Aktivitas mineralokortikoid yang
berlebihan menyebabkan retensi sodium dan hipokalemia, dan dapat
memperparah gagal jantung kongestif.1
Kortikosteroid banyak tersedia dalam preparat suspensi, dengan partikel
suspensi yang relatif besar, sehingga dapat menambah risiko kerusakan saraf
akibat oklusi arteri pada injeksi arterial. Suspensi kortikosteroid dengan partikel
relatif kecil adalah deksametason, sehingga menjadi pilihan dalam prosedur
injeksi area vaskular, seperti pada kepala dan leher.1
Antikonvulsan
Antikonvulsan digunakan pada pasien dengan nyeri neuropatik, terutama
neuralgia trigeminal dan neuropati diabetik. Agen ini menghambat gerbang
kalsium atau sodium dan menekan aktivitas spontan neural, yang berperan penting
dalam kelainan ini. Agen antikonvulsan yang paling sering digunakan sebagai
analgesik adalah fenitoin (Dilantin), karbamazepin (Tegretol), asam valproik
(Depakene, Stavzor), klonazepam (Klonopin) dan gabapentin (Neurontin).
Pregabalin (Lyrica) merupakan agen baru yang telah diseujui pemakaiannya untuk
29
Anestetik Lokal
Infus sistemik anestetik lokal akan menimbulkan sedasi dan analgesia
sentral, yang biasanya digunakan untuk menangani nyeri neuropatik. Agen yang
paling sering digunakan adalah lidokain, prokain dan kloroprokain, yang dapat
diberikan secara bolus atau infus berkelanjutan. Lidokain diberikan melalui infus
dalam 5-30 menit dengan total dosis 1-5 mg/kg. Prokain, 200-400 mg, dapat
diberikan secara intavena dalam 1-2 jam, sementara kloroprokain (larutan 1%)
dapat diinfuskan dengan dosis 1 mg/kg/menit.1
Pasien yang tidak merespons antikonvulsan, tetapi merespons anestetik
lokal dengan baik mungkin dapat diberikan terapi oral antiaritmia kronik.
Mexiletine (150-300 mg setiap 6-8 jam) merupakan antiaritmia kelas 1B yang
sering digunakan dan secara umum ditoleransi baik.1
Agonis α2-adrenergik
Efek primer dari agonis α2-adrenergik adalah aktivasi penghambat jalur
eferen (descending) pada kornu dorsalis. Penggunaan secara epidural dan
intratekal efektif dalam meredakan nyeri neuropatik. Clonidine (Catapres), agonis
α2-adrenergik yang bekerja langsung, merupakan agen ajuvan yang baik untuk
nyeri hebat (severe pain). Jika diberikan secara oral, dosisnya adalah 0,1-0,3 mg
sebanyak dua kali sehari. Ketika digunakan sebagai kombinasi dengan anestetik
lokal atau opioid dalam infusi epidural atau intratekal, clonidine dapat
memperlama kerja efek analgesik.1,2
30
Opioid
Opioid oral yang paling sering diresepkan adalah codeine, oxycodone, dan
hydrocodone. Obat-obatan tersebut mudah diabsorbsi, namun langsung menuju
hati pada first-pass metabolism, sehingga membatasi peyebaran obat. Seperti
opioid lainnya, terjadi biotransformasi pada hati sebelum menuju ginjal untuk
eliminasi. Codeine ditransformasi menjadi morfin di hati. Efek samping opioid
oral serupa dengan opioid sistemik. Ketika diresepkan dengan jadwal pemberian
yang tetap, maka pemberian laksatif dapat diindikasikan. Tramadol (Rybix,
Ryzolt, Ultram) merupakan opioid oral sintetik yang menyekat reuptake neuronal
dari norepinefrin dan serotonin, dengan efisiensi sama seperti kombinasi codeine
dan asetaminofen, namun memiliki efek lebih ringan pada depresi napas dan
pengosongan lambung.1,2,8
Pada nyeri kronik, seperti nyeri kanker, perlu pemberian morfin preparat
immediate-release (contoh: morfin cair, Roxanol) 10-30 mg setiap 1-4 jam.
Preparat ini memiliki waktu paruh efektif 2-4 jam. Ketika kebutuhan harian pasien
telah ditentukan, dosis yang sama dapat diberikan dari morfin preparat sustained-
release (MS Contin atau Oramorph SR) setiap 8-12 jam. Fentany oral
transmukosal (Actiq, 200-1600 mcg) juga dapat digunakan sebagaimana morfin
preparat immediate-release. Sedasi yang berlebihan dapat diatasi dengan
dextroamphetamine (Dexedrine, ProCentra) atau methylphenidate (Ritalin), 5 mg
pada pagi hari dan 5 mg pada siang hari. Sebagian besar pasien memerlukan stool
softener atau laksatif. Nausea dapat diatasi dengan scopolamine transdermal,
meclizine oral, atau metoclopramide. Hydromorphone (Dilaudid) merupakan
alternatif yang baik sebagai pengganti morfin, terutama pada orang tua (karena
efek samping yang lebih sedikit) dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Methadone (Dolophine) memiliki waktu paruh 15-30 jam, namun durasi
kloniknya lebih lambat dan cenderung bervariasi (biasanya 6-8 jam).1,8
Pasien yang mengalami toleransi opioid memerlukan dosis lebih untuk
mendapatkan efek analgesik yang sama. Ketergantungan fisik bermanifestasi pada
efek putus obat jika opioid tiba-tiba dihentikan atau dosis diturunkan secara cepat.
Ketergantungan psikologikal, yang ditandai dengan perubahan kebiasaan dalam
31
konsumsi obat (craving) jarang terjadi pada pasien kanker. Terjadinya toleransi
opioid memiliki beberapa efek yang diharapkan, seperti berkurangnya efek sedasi,
nausea dan depresi pernapasan, namun keluhan konstipasi tidak berkurang pada
banyak pasien.1,2,8
Fenomena putus obat opioid dapat dipercepat dengan pemberian antagonis
opioid. Penggunaan antagonis opioid perifer yang tidak melewati sawar darah
otak, seperti methylnaltrexone (Relistor) dan alvimopan (Entereg), dapat
mengurangi efek samping tanpa mempengaruhi analgesia. Tapentadol (Nucynta),
sebuah agonis reseptor μ-opioid yang juga memiliki efek menyekat reuptake
norepinefrin, belakangan digunakan dalam manajemen nyeri akut dan kronik.
Opioid ini memiliki efek mual dan muntah, serta konstipasi yang lebih kecil.
Pemberiannya tidak boleh bersamaan dengan penyekat monoamin oksidase
karena dapat meningkatkan kadar norepinefrin. Propoxyphene dengan atau tanpa
asetaminofen (Darvocet dan Darvon) telah ditarik pada tahun 2010 karena efek
toksik pada kardiovaskular.1,8
pengalaman nyeri dengan imajinasi. Teknik ini biasanya efektif pada pasien
dengan nyeri kepala kronik dan kelainan muskuloskeletal.1,8
2.5.3. Akupuntur
Akupuntur dapat menjadi terapi tambahan yang berguna pada pasien
dengan nyeri kronik, terutama yang terkait dengan nyeri kepala dan
muskuloskeletal. Teknik ini dikerjakan dengan penusukan jarum pada titik
anatomis tertentu, yang disebut sebagai meridian. Rangsangan dari jarum setelah
ditusukkan menimbulkan efek seperti putaran, dan dapat ditambah dengan
aplikasi arus listrik ringan. Beberapa literatur mengatakan bahwa akupuntur
merangsang pelepasan opioid endogen, yang efeknya juga dapat dihilangkan
dengan pemberian antagonis opioid, seperti nalokson.1
BAB 3
KESIMPULAN
34
35
36