Anda di halaman 1dari 23

DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................. i
Daftar Isi ..................................................................................................... 1
Kata Pengantar............................................................................................ 2
I. Pendahuluan ........................................................................................ 3
II. Tinjauan Pustaka.................................................................................. 4
II.1 Depresi................................................................................................ 4
A. Definisi................................................................................................. 4
B. Epidemiologi........................................................................................ 4
C. Etiologi................................................................................................. 5
D. Klasifikasi.............................................................................................. 7
E. Gejala Klinis......................................................................................... 9
F. Diagnosis Banding............................................................................... 10
II.2 Hubungan Depresi dengan Gastrointestinal........................................... 10
1. Gastroesophageal Reflux Disease....................................................... 14
2. Ulkus Peptikum................................................................................... 15
3. Inflammatory Bowl Disease................................................................ 16
II.2 Tatalaksana........................................................................................... 19
II.3 Prognosis............................................................................................. 21
III. Kesimpulan.......................................................................................... 22
Daftar Pustaka............................................................................................ 23

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, Referat ini yang berjudul Hubungan Depresi dengan
Penyakit Gastrointestinal dapat terselesaikan. Referat ini ditulis sebagai salah
satu syarat untuk menyelesaikan stase Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Jiwa pada
Program Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Indonesia.

Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini dapat terselesaikan atas


bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada:

1. dr. Imelda Wijaya, Sp.KJ. selaku dokter pembimbing yang telah menyediakan
waktu dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan referat ini.
2. dr. Gerald Mario Semen, Sp.KJ. (K), S.H. selaku dokter pembimbing yang
telah banyak memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan dalam mengikuti
kepaniteraan ilmu kedokteran jiwa
3. dr. Herny Taruli Tambunan, M.Ked.(KJ), Sp.KJ. selaku dokter pembimbing
yang telah banyak memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan dalam
mengikuti kepaniteraan ilmu kedokteran jiwa.
4. Para staf, seluruh karyawan, dan perawat yang telah banyak membantu dan
banyak memberikan saran-saran yang berguna bagi penulis dalam menjalani
kepaniteraan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat
5. Orang tua, keluarga terdekat dan teman sejawat yang telah memberikan doa
dan semangatnya kepada penulis.
Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.

Jakarta, 15 November 2018

2
Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah


masyarakat. Berawal dari stres yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke
fase depresi. Penyakit ini kerap diabaikan karena dianggap bisa hilang sendiri
tanpa pengobatan. Padahal, depresi yang tidak diterapi dengan baik bisa berakhir
dengan bunuh diri.1

Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatrik yang sering ditemukan


dengan prevalensi seumur hidup adalah kira kira 15%. Pada pengamatan yang
universal terlepas dari kultur atau negara prevalensi gangguan depresi berat pada
wanita dua kali lebih besar dari pria. Pada umumnya onset untuk gangguan
depresi berat adalah pada usia 20 sampai 50 tahun, namun yang paling sering
adalah pada usia 40 tahun. Depresi berat juga sering terjadi pada orang yang tidak
menikah dan bercerai atau berpisah.2

Sesuatu yang jarang diulas yaitu tentang gangguan saluran cerna yang
dipengaruhi faktor psikologis. Bahkan mungkin banyak yang heran ternyata kedua
hal tersebut saling berpengaruh. Dengan kenyataan-kenyataan tersebut, sangat
penting untuk mengulas faktor psikologis yang berpengaruh terhadap sistem
saluran gastrointestinal. Pada awal 1950-an, Harold Wollf (1898-1962)
mengamati bahwa psikologi saluran gastrointestinal tampak berhubungana dengan
keadaan emosional yang khusus. Beberapa klasifikasi yang merupakan gangguan
gastrointestinal akibat faktor psikologis adalah GERD, Ulkus peptikum maupun
Inflammatory Bowl Disease.2

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEPRESI

A. Definisi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya,
termasuk pada perubahan pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,
konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta
gagasan bunuh diri. 2
B. Epidemiologi
1. Insiden dan prevalensi
Gangguan depresi berat, paling sering terjadi dengan prevalensi
seumur hidup sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai 25 persen.
Sekitar 10 persen di perawatan primer dan 15 persen dirawat rumah
sakit.
2. Jenis kelamin
Perempuan dua kali lipat lebih besar dibanding laki – laki. Diduga
adanya perbedaan hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stressor
psikososial antara laki – laki dan perempua.
3. Usia
Rata – rata usia sekitar 40 tahunan, hampir 50 persen awitan diantara
usia 20 – 50 tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa
anak atau lanjut usia. Data terkini menunjukkan, gangguan depresi
berat diusia kurang dari 20 tahun mungkin berhubungan dengan
meningkatnya pengguna alkohol dan penyalahgunaan zat dalam
kelompok usia tersebut.

4
4. Status perkawinan
Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan
interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau pisah.
Wanita yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih rendah
untuk menderita depresi dibandingkan dengan yang menikah namun
hal ini berbanding terbalik untuk laki – laki.3

C. Etiologi
Menurut Kaplan, faktor –faktor yang dihubungkan dengan penyebab
depresi dapat dibagi atas:
1. Faktor Biologi
Data penelitian biopsikologi menyatakan yang paling berperan
dalam patofisologi gangguan mood adalah disregulasi pada amin
biogenik (norepinefrin, serotonin dan dopamin). Penurunan serotonin
dapat mencetuskan depresi, dan pada beberapa pasien yang bunuh diri
memiliki konsentrasi metabolik serotonin di dalam cairan
serebrospinal yang rendah serta konsentrasi tempat ambilan serotonin
yang rendah di trombosit. Beberapa pasien depresi juga memiliki
respon neuroendokrin yang abnormal. Walaupun norepinefrin dan
serotonin adalah amin biogenik yan paling sering dihubungkan dengan
patofisologi depresi, dopamin juga telah diperkirakan memiliki
peranan dalam depresi. Data menyatakan bahwa aktivitas dopamin
mungkin menurun pada depresi dan meningkat pada mania.
Faktor neurokimiawi lain seperti adenylate cyclase,
phospotidylinositol dan regulasi kalsium mungkin juga memiliki
relevansi penyebab. Kelainan pada neuroendokrin utama yang menarik
perhatian dalam adalah sumbu adrenal, tiroid dan hormon
pertumbuhan. Neuroendokrin yang lain yakni penurunan sekresi
nokturnal melantonin, penurunan pelepasan prolaktin karena
pemberian tryptopan, penurunan kadar dasar folikel stimulating

5
hormon (FSH), luteinizing hormon (LH) dan penurunan kadar
testoteron pada laki-laki.4

2. Faktor Genetik
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting
di dalam perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola
penurunan genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks,
bukan saja tidak mungkin untuk menyingkirkan efek psikososial tetapi
faktor non genetik kemungkinan memainkan peranan kausatif dalam
perkembangan gangguan mood pada sekurangnya beberapa orang.
Penelitian keluarga telah menemukan bahwa kemugkinan
menderita suatu gangguan mood menurun saat derajat hubungan
kekelurgaan melebar. Sebagai contoh, sanak saudara derajat kedua
(sepupu) lebih kecil kemungkinannya menderita daripada sanak
saudara derajat pertama (kakak).
Peneltian adopsi juga telah menunjukkan bahwa orang tua biologis
dari anak adopsi dengan gangguan mood mempunyai suatu prevalensi
gangguan mood yang serupa dengan orang tua anak penderita
gangguan mood yang tidak diadopsi. 4
3. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan, suatu pengamatan
klinis yang telah lama direplikasi bahwa peristiwa kehidupan yang
menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama
gangguan mood daripada episode selanjutnya, hubungan tersebut telah
dilaporkan untuk pasien dengan gangguan depresi berat.
Data yang paling mendukung menyatakan bahwa peristiwa
kehidupan paling berhubungan dengan perkembangan depresi
selanjutnya adalah kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun.
Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset satu
episode depresi adalah kehilangan pasangan. Beberapa artikel teoritik

6
dan dari banyak laporan, mempermasalahkan hubungan fungsi
keluarga dan onset dalam perjalanan gangguan depresi berat. Selain
itu, derajat psikopatologi didalam keluarga mungkin mempengaruhi
kecepatan pemulihan, kembalinya gejala dan penyesuaian pasca
pemulihan.4

D. Klasfikasi
Berikut adalah pembagian dari episode depresif :
1) Episode depresif ringan (F32.0)
Suasana perasaan mood yang depresif, kehilangan minat
dan kesenangan, dan mudah menjadi lelah biasanya dipandang
sebagai gejala depresi yang paling khas; sekurang-kurangnya dua dari
ini, ditambah sekurang-kurangnya dua gejala lazim di atas harus ada
untuk menegakkan diagnosis pasti. Tidak boleh ada gejala yang berat
di antaranya. Lamanya seluruh episode berlansung ialah sekurang-
kurangnya sekitar 2 minggu.
Individu yang mengalami episode depresif ringan biasanya resah
tentang gejalanya dan agak sukar baginya untuk meneruskan
pekerjaan biasa dan kegiatan social, namun mungkin ia tidak akan
berhenti berfungsi sama sekali.
2) Episode depresif sedang (F32.1)
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala yang paling
khas yang ditentukan untuk episode depresif ringan, ditambah
sekurang-kurangnya tiga (dan sebaiknya empat) gejala lainnya.
Beberapa gejala mungkin tampil amat menyolok, namun ini tidak
esensial apabila secara keseluruhan ada cukup banyak variasi
gejalanya. Lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2
minggu.
Individu dengan episode depresif taraf; sedang biasanya
menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga.

7
3) Episode depresif berat tanpa gejala psikotik (F32.2)
Pada episode depresif berat, penderita biasanya
menunjukkan ketegangan atau kegelisahan yang amat nyata, kecuali
apabila retardasi merupakan ciri terkemuka. Kehilangan harga diri dan
perasaan dirinya tak berguna mungkin mencolok, dan bunuh diri
merupakan bahaya nyata terutama pada beberapa kasus berat.
Anggapan di sini ialah bahwa sindrom somatik hampir selalu ada pada
episode dpresif berat.
Semua tiga gejala khas yang ditentukan untuk episode
depresif ringan dan sedang harus ada, ditambah sekurang-kurangnya
empat gejala lainnya, dan beberapa diantaranya harus berintensitas
berat. Namun, apabila gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi)
menyolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu utnuk
melaporkan banyak gejalanya secara terinci. Dalam hal demikian,
penentuan menyeluruh dalam subkategori episode berat masih dapat
dibenarkan. Episode depresif biasanya seharusnya berlangsung
sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan
beronset sangat cepat, maka mungkin dibenarkan untuk menegakkan
diagnosis dalam waktu kurang dari 2 minggu.
Selama episode depresif berat, sangat tidak mungkin
penderita akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau
urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
Kategori ini hendaknya digunakan hanya untuk episode
depresif berat tunggal tanpa gejala psikotik; untuk episode
selanjutnya, harus digunakan subkategori dari gangguan depresif
berulang.
4) Episode depresif berat dengan gejala psikotik (F32.3)
Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut
F32.2 tersebut di atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresif.
Wahamnya biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau
malapetaka yang mengancam, dan pasien dapat merasa bertanggung

8
jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya
berupa suara yang menghina atau menuduh atau bau kotoran atau
daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju
pada stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan
sebagai serasi atau tidak serasi dengan suasana perasaan (mood).
5) Episode depresif lainnya (F32.8)
6) Episode depresif YTT (F32.9)5

E. Gejala Klinis
Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari ia mengalami
depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka
menarik diri dari keluarga, teman dan aktivitas yang sebelumnya menarik
bagi dirinya. Hampir semua pasien depresi (97 persen) mengeluh tentang
penurunan energi dimana mereka mengalami kesulitan menyelesaikan
tugas, mengalami hendaya di sekolah dan pekerjaan, dan menurunnya
motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80 persen pasien
mengeluh masalah tidur, khususnya terjaga dini hari (terminal insomnia)
dan sering terbangun di malam hari karena memikirkan masalah yang
dihadapi. Kecemasan adalah gejala tersering dari depresi dan menyerang
90 persen pasien depresi.3
Berikut merupakan beberapa gejala depresi (ringan, sedang dan
berat) berdasarkan PPDGJ – III :
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat) :
- Afek depresi (sedih, murung, lesu, menangis)
- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas.
Gejala lainnya :
a) Konsentrasi dan perhatian berkurang
b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

9
c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d) Pandangan masa depan suram dan pesimis
e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f) Tidur terganggu
g) Nafsu makan terganggu
Untuk episode depresi dari ketiga tingkat keparahan tersebut
diperlukan masa sekurang – kurangnya 2 minggu untuk penegakan
diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala
luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
Kategori diagnosis episode depresif ringan, sedang dan berat hanya
digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama). Episode depresif
berikutnya harus diklasifikasi di bawah salah satu diagnosis gangguan
depresif berulang.5

F. Diagnosis Banding
1) Gangguan Skizofrenia
Terutama katatonik, tetapi tiap jenis skizofrenia dapat terlihat atau
menjadi depresi selama atau setelah satu episode. Adanya penyesuaian
premorbid yang buruk, gangguan proses pikir formal dengan waham
yang tersusun baik dan halusinasi yang komplek, tidak ada riwayat
siklik, dan tidak ada riwayat keluarga yang mengalami gangguan
afektif, menyokong dugaan suatu skizofrenia.
2) Gangguan Skizoafektif
Suatu gangguan psikotik yang memenuhi kriteria skizofrenia, tetapi
beberapa saat bertumpang tindih dengan gejala – gejala mood mayor.
3) Gangguan Cemas Menyeluruh
Pertama terlihat ansietas yang sangat menonjol. Pasien dengan cemas
hendaknya selalu dipertimbangkan kemungkinan adanya depresi.3

II.2 Hubungan Depresi dengan Penyakit Gastrointestinal

10
Saluran pencernaan dan sistem kekebalan tubuh yang responsif terhadap
stressor yang berbeda. Depresi dapat mempengaruhi fisiologis yang berbeda
fungsi saluran pencernaan termasuk sekresi lambung, motilitas lambung,
permeabilitas mukosa, sensitivitas aliran darah dan mukosa darah. Dalam
beberapa tahun terakhir, interaksi penting antara depresi dan mikrobiota usus
ditampilkan. Menariknya, bakteri dapat merespon langsung ke sinyal yang
berhubungan dengan depresi, ada beberapa bukti bahwa katekolamin dapat
mengubah pertumbuhan, motilitas dan virulensi patogen dan bakteri komensal.
Dengan demikian, depresi dapat mempengaruhi hasil infeksi oleh bakteri di
banyak host. 6

Efek utama dari depresi pada fisiologi sistem pencernaan meliputi:

• Perubahan dalam motilitas gastrointestinal


• Meningkatkan persepsi viseral
• Perubahan dalam sekresi pencernaan
• Meningkatkan permeabilitas usus
• Efek negatif pada kapasitas regeneratif dari mukosa
gastrointestinal dan aliran darah mukosa dan efek negatif pada
mikrobiota usus

11
Gambar 1. Pengaruh depresi pada fungsi pencernaan. Depresi
memiliki dampak pada fisiologis penting fungsi usus termasuk
motilitas usus, sekresi, sensitivitas viseral, mukosa dan aliran
darah. Sebagai tambahan, depresi memodifikasi mikrobiota usus
dan meningkatkan permeabilitas selular.

Mengenai hubungan antara depresi dan gangguan gastrointestinal, banyak


orang menyadari fakta bahwa terdapat hubungan yang erat antara pusat sistem
saraf dan usus. Diketahui juga bahwa paparan depresi dapat menyebabkan
manifestasi gejala yang berbeda dalam saluran pencernaan seperti dispepsia, diare
atau nyeri perut. Otak berhubungan dengan usus melalui beberapa jalur paralel
termasuk sistem saraf otonom (SSO), hipotalamus-hipofisis-adrenal axis (HPA),
dan hubungan lainnya, yang disebut axis otak-usus (brain-gut-axis). Berdasarkan
penelitian sebelumnya ada bukti kuat bahwa paparan depresi mungkin
bertanggung jawab untuk disregulasi dari axis otak-usus.
Salah satu koordinator penting endokrin, respon perilaku dan kekebalan
terhadap depresi adalah corticotropin releasing factor (CRF). CRF adalah peptida
yang terdapat dalam SSP dan di dalam usus dan mempunyai efek biologis yang
poten. CRF memiliki efek kuat pada usus melalui modulasi peradangan,

12
peningkatan usus permeabilitas, hipersensitivitas usus (meningkat persepsi rasa
sakit) dan modulasi motilitas usus. Pengeluaran CRF di hipotalamus adalah
langkah pertama dalam aktivasi HPA yang terlibat dalam respon depresi. Hal ini
merupakan respon sistem endokrin utama pada depresi. Kelenjar hipofisis
merespon CRF dengan melepaskan hormon adrenokortikotropik (ACTH) untuk
merangsang kelenjar adrenal sekresi hormon depresi kortisol.

Hubungan antara mikrobiota usus, sistem kekebalan tubuh dan sumbu


otak-usus memainkan peran penting dalam modulasi dari respon depresi dari usus
dalam konteks gangguan dalam sistem pencernaan. Beberapa bukti menunjukkan
bahwa bakteri usus membantu untuk menjaga kontak dua arah antara komponen
otak dan pencernaan. Dengan kata lain paparan depresi memodifikasi flora normal
bakteri yang mungkin memiliki efek pada BGA dan dapat memodulasi motilitas,
permeabilitas dan sensitivitas viseral. Mikrobiota usus dapat memodulasi sensasi
rasa sakit dan beberapa probiotik dalam usus dapat menghambat hipersensitivitas
dan meningkatkan permeabilitas usus yang disebabkan oleh paparan tubuh
terhadap depresi. Akhirnya, paparan depresi kronis dikaitkan dengan aktivasi
berkepanjangan dan berlebihan respon stresdalam SSP. Paparan ini dapat
menyebabkan perubahan di daerah otak bahkan bersifat ireversibel yang
bertanggung jawab untuk persepsi nyeri dalam usus. 6

13

Gambar 3. Patofisiologi dari konsekuensi gangguan axis otak-usus-mikrobiota oleh


depresi. Paparan depresi menyebabkan gangguan axis otak-usus(BGA) yang dapat menyebabkan
pengembangan penyakit saluran gastrointestinal yang berbeda termasuk gastroesophageal reflux
ulkus peptikum, iritasi usus, radang usus dan alergi makanan.

1. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)


Telah terbukti bahwa seseorang yang mengalami depresi berkepanjangan
lebih mungkin untuk mengeluhkan gejala-gejala GERD. Bradley et al. melakukan
penelitian antara hubungan stress, sifat-sifat psikologis yang terkait dengan
kecemasan kronis dan gejala-gejala GERD. Para peneliti ini menemukan bahwa
pasien GERD yang mempunyai kecemasan tingkat kronis dan terkena rangsangan
depresi berkepanjangan lebih cenderung untuk merasakan gejala-gejala GERD.
Oleh karena itu, bahkan paparan asam esofagus yang normal dapat memicu
keluhan gejala GERD, bukan karena gangguan kejiwaan tertentu yang dapat
menyebabkan gangguan pencernaan tetapi pasien dengan tekanan psikologis juga
cenderung memiliki manifestasi klinis GERD. Bukti terbaru adalah peran utama
relaksasi spontan yang bersifat sementara dari sfinger esophagus bagian bawah
lower esophageal dalam mediasi patologis GERD. Perubahan fungsi diafragma
terkait dengan depresi yang disebabkan pola pernapasan juga telah dibuktikan.
Selain itu depresi juga dapat memperlambat pengosongan lambung sehingga
terjadi hambatan regulasi lambung yang dapat meyebabkan terjadinya GERD.

14
Penyakit gastroesophageal reflux (GERD) merupakan salah satu
manifestasi penting dari paparan depresi pada saluran pencernaan. Depresi dapat
meyebabkan GERD karena terjadi penghambatan sfingter esofagus bagian bawah
dan terjadi peningkatan kepekaan terhadap asam yaitu persepsi peningkatan
refluks asam terlambat. Di sisi lain pengurangan depresi dapat menyebabkan
peningkatan perbaikan gejala GERD. Menariknya, paparan selama depresi jumlah
refluks tidak selalu meningkat, tapi gejala heart burn sebagai akibat dari reflux
meningkat. 8

2. Ulkus Peptikum
Ulkus lambung mengacu pada ulserasi mukosa yang meliputi lambung
bagian distal atau duodenum bagian proksimal. Gejala penyakit ulkus lambung
mencakup rasa perih atau nyeri epigastrium seperti terbakar yang terjadi 1 sampai
3 jam setelah makan dan diredakan dengan makanan atau antasid. Gejala yang
menyertai dapat mencakup mual, muntah, dispepsia, atau tanda perdarahan
gastrointestinal seperti hematemesis atau melena.
Studi-studi awal mengenai penyakit ulkus peptikum mengesankan
bahwa faktor psikologis memiliki peranan didalam terbentuknya kerentanan
ulkus, diperantarai melalui peningkatan ekskresi asam lambung yang disebabkan
oleh depresi. Faktor psikososial dapat terlibat di dalam ekspresi klinis gejala.
Mungkin dengan mengurangi respon imun yang menimbulkan kerentanan
terhadap infeksi H. Pylori, mengingat H. Pylori merupakan penyebab 70 hingga
90 persen ulkus lambung.
Pada pasien dengan depresi tidak hanya memainkan peran utama dalam
patogenesis tetapi juga dikaitkan dengan gangguan dari hipotalamus-pituitari-
adrenal (HPA) axis. Adakalanya, pasien dengan depresi telah dilaporkan
mengalami konsekuensi somatik yang terkait dengan disregulasi aksis HPA.
Sehingga mengenai sistem gastrointestinal (GI), bukti menunjukkan bahwa
depresi berhubungan dengan sindrom iritasi usus besar, kolitis ulserativa,
dispepsia, dan penyakit refluks gastroesofagus. Namun, beberapa penelitian telah
melaporkan bukti mengenai hubungan antara penyakit ulkus peptikum dan

15
depresi. Dalam sebuah penelitian pada hewan menunjukkan bahwa kortikosteron
dapat menjadi ulserogenik pada kondisi stress yang kronis, akibatnya depresi
dapat meningkatkan resiko terjadinya Ulkus peptikum.9

3. Inflammatory Bowel Disease (IBD)


Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah sekelompok penyakit saluran
pencernaan kronis yang kambuh dan memiliki periode remisi; istilah terutama
penyakit ini terdiri penyakit Crohn (Crohn’s Disease) dan ulcerative colitis (UC).
Prevalensi penyakit ini telah meningkat dalam dekade terakhir, hingga 120-200 /
100000 dan 50-200 / 100.000 orang untuk masing-masing penyakit Crohn dan
ulcerative colitis. Sampai saat ini, tidak ada obat tertentu untuk IBD, dan
pengobatan ditujukan untuk mengelola respon inflamasi dan mempertahankan
remisi dengan fokus pada terapi. Etiologi IBD tidak diketahui, tetapi genetik,
kekebalan tubuh, dan faktor lingkungan masing-masing berpikir untuk
memainkan peran dalam penyebab nya. Faktor-faktor ini berinteraksi bersama-
sama, sehingga pada orang yang memiliki predisposisi genetik, faktor lingkungan
memicu disfungsi kekebalan dan gejala usus. Salah satunya pemicu lingkungan
mungkin faktor psikologis depresi terutama psikologis.
Depresi psikologis telah lama dilaporkan dapat meningkatkan inflamasi
aktivitas penyakit di usus (IBD), akhir-akhir ini sebuah studi telah
mengkonfirmasi bahwa peristiwa hidup yang merugikan, stress kronis, dan
depresi dapat meningkatkan kekambuhan pada pasien dengan IBD. Data
penelitian terbaru menunjukkan bahwa depresi yang disebabkan perubahan dalam
peradangan gastrointestinal dapat dimediasi melalui perubahan fungsi aksis
hipotalamus - hipofisis - adrenal ( HPA ) dan perubahan dalam interaksi bakteri -
mukosa , dan melalui sel mast mukosa dan mediator seperti corticotrophin
releasing factor (CRF). Baik kolitis ulseratif dan penyakit Crohn adalah penyakit
yang kronis, kambuh, dan penyakit remisi. Etiologi kedua penyakit melibatkan
interaksi kompleks antara gen dan environment. Ada kemajuan dalam identifikasi
gen yang bertanggung jawab untuk kecenderungan untuk IBD tetapi faktor
lingkungan yang memicu presentasi awal penyakit, kekambuhan penyakit, dan

16
mekanisme bagaimana penyakit ini terjadi kurang dipahami dengan jelas. Depresi
psikologis adalah salah satu faktor lingkungan yang telah lama dilaporkan
memiliki hubungan dengan penyakit IBD dan telah ada penelitian terbaru yang
membuktikan hubungan dan menjelaskan bagaimana mekanisme ini yang terjadi.
Stress kronis, dalam bentuk peristiwa kehidupan yang merugikan, dan
depresi eksperimental akut dapat mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh dan
inflamasi sistemik, dan meningkatkan aktivitas penyakit pada manusia dengan
IBD. Kami juga meninjau bukti depresi eksperimental mampu baik memulai dan
mengaktifkan peradangan gastrointestinal pada hewan model kolitis. Peran fungsi
mungkin berubah sumbu HPA dan peningkatan permeabilitas usus juga dibahas.
Akhirnya, kami meninjau implikasi terapeutik potensi kesadaran bahwa depresi
psikologis dapat memperburuk aktivitas penyakit di IBD.
Untuk mempertahankan homeostasis, organisme hidup terus harus
beradaptasi pada tingkat molekuler, seluler, fisiologis, dan perilaku untuk
perubahan lingkungan. Depresi dapat didefinisikan sebagai ancaman untuk
homeostasis. Fungsi respon depresi adalah untuk mempertahankan homeostasis
dan mungkin melibatkan baik adaptasi fisiologis dan perilaku. Respon depresi
melibatkan integrasi kompleks serangkaian daerah yang saling berhubungan
dalam otak, terutama hipotalamus, amigdala, dan hippocampus. Jaringan ini
menerima masukan dari serabut aferen baik visceral dan somatik, dan dari struktur
kortikal yang lebih tinggi. Secara bergiliran, hal itu mengatur respon depresi
neuroendokrin melalui dua jalur yang saling berhubungan efektor yaitu sumbu
HPA dan sistem saraf otonom (SSO).
Depresi merangsang pelepasan CRF dari hipotalamus menyebabkan
pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari kelenjar hipofisis anterior.
Hal ini pada gilirannya merangsang sekresi kortisol, yang glukokortikoid utama,
dari korteks adrenal. Depresi mengaktifkan langsung jalur saraf dari hipotalamus
ke inti pontomedullaris yang mengontrol respon otonom. Stimulasi sistem saraf
simpatik dalam respon terhadap depresi menyebabkan pelepasan adrenalin dan
noradrenalin dari medula adrenal. Neuron dari SSO simpatik juga mempersarafi
seluruh usus secara langsung sementara N.vagus memberikan masukan sistem

17
saraf parasimpatis ke usus bagian atas dan ke usus distal dan rektum. Sistem saraf
eferen mengandung 100 juta neuron yang berfungsi untuk mengatur motilitas,
fungsi endokrin, eksokrin, dan mikrosirkulasi dari saluran pencernaan. Efek
depresi psikologis pada sistem kekebalan tubuh dan inflamasi sistemik yang
kompleks tergantung pada durasi dan intensitas stressor. Kedua depresi kronis
dan depresi akut berhubungan dengan perubahan dalam fungsi kekebalan tubuh
dan inflamasi sistemik yang mungkin memiliki relevansi dengan patogenesis IBD.
Pada tahun 1950, IBD diklasifikasikan sebagai gangguan psikosomatik
dengan banyak studi awal menemukan hubungan antara IBD dan diagnoses
kejiwaan. Sebuah penelitian oleh Mittermeier et al yang pada tahun 2004,
melaporkan bahwa pasien dengan IBD secara signifikan mempunyai kesempatan
untuk kambuh selama 18 bulan ke depan apabila skor depresi Beck mereka
meningkat. Respon depresi setiap individu tergantung pada persepsi mereka
tentang pentingnya stressor.
Beberapa studi menemukan bahwa fungsi axis HPA dapat diubah pada
pasien dengan IBD dan ini mungkin penting dalam kaitannya dengan
meningkatnya depresi disebabkan aktivitas penyakit. Biasanya, pelepasan kortisol,
ditingkatkan oleh sitokin inflamasi, terutama IL-6. Pemberian anti-inflamasi
dalam hal ini memberikan umpan balik negatif yang dapat mengurangi
peradangan. Depresi psikologis akut memiliki efek pada motilitas gastrointestinal
dan sekresi ion. Meskipun ini adalah perubahan non-inflamasi, mereka bisa
berkontribusi untuk menekankan peningkatan induksi pada pasien dengan IBD.
Apabila depresi psikologis memang merupakan faktor patogen dalam IBD,
maka terapi pengurangan depresi mungkin dapat memiliki manfaat terapeutik.
Gangguan psikologis, seperti kecemasan dan depresi pada pasien dengan IBD,
dapat dilakukan terapi psychopharmacological khusus seperti antidepresan
sebagai pengobatan alternatif untuk pasien ini. Mikocka-Walus et al. berdasarkan
penelitia mereka tentang antidepresan dan IBD, melaporkan bahwa antidepresan
trisiklik (misalnya, amitriptilin, dotiepin, prothiaden, doksepin, imipramine, dan
nortriptyline) tidak hanya meringankan tekanan psikologis, tetapi juga memiliki

18
beberapa efek positif pada status somatik dari pasien IBD bahkan wa antidepresan
memiliki efek positif pada radang usus pada pasien IBD.
Schwarz dan Blanchard menemukan bahwa gabungan perawatan medis
komplementer, termasuk terapi perilaku kognitif, teknik relaksasi otot, dan
edukasi kepada pasien, berhasil mengurangi depresi tapi tidak memperbaiki gejala
IBD. Penelitian prospektif oleh Jantschek et al selama 2 tahun dengan subjek 108
paisen dengan penyakit Crohn juga gagal untuk menemukan hubungan antara
terapi psikososial dapat menyebabkan pengurangan jumlah, durasi, atau
keparahan relaps. Berbagai uji coba lebih lanjut diperlukan untuk dapat
membuktikan apakah terapi pengurangan depresi dapat memberikan manfaat bagi
pasien dengan IBD. 10

II.3 TATALAKSANA
Tujuan terapi adalah kesembuhan, dalam arti resolusi gangguan ,
reorganisasi kepribadiaan, adaptasi yang lebih matang, meningkatkan kapasitas
fisik dan okupasi serta proses penyembuhan, perbaikan penyakit, mengurangi
secondary gain terhadap kondisi medisnya, serta menjadi patuh dengan
pengobatan. Penyakit somatik dalam keadaan akut, yang utama adalah terapi
medis. Pada umumnya diberikan anti ansietas dan anti depresan serta
farmakoterapi untuk penyakit komitannya.
Memilih pengobatan harus mencakup evaluasi seberapa parah episode
depresif telah terjadi, ketersediaan sumber daya pengobatan, dan keinginan
pribadi pasien. Untuk depresi ringan sampai berat, psikoterapi berbasis bukti sama
efektifnya dengan farmakoterapi. Terdapat sedikit bukti bahwa kombinasi antara
farmakoterapi dan psikoterapi untuk pengobatan dini lebih unggul daripada
pengobatan lainnya untuk depresi tanpa komplikasi. Oleh karena itu, pengobatan
kombinasi harus dipertimbangkan ketika terjadi depresi berat, komorbiditas
dengan kondisi lain, atau tidak adanya respon yang memadai pada monoterapi.11

19
a. Farmakoterapi
Anti depresi

- Golongan Trisiklik : Amytriptyline, Imipramine, Clomipramine,


Tianeptine
- Golongan Tetrasiklik : Maprotiline, Mianserin, Amoxapine.
- Golongan MAOI Reversible (REVERSIBLE INHIBITOR OF
MONOAMIN OXYDASE-A / RIMA) : Moclobemide
- Golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) : Sertraline,
Paroxentine, Fluvoxamine, Fluoxetine, Duloxetine, citalopram.
- Golongan Atipical : Trazodone, Mirtazapine, Venlafaxine.11

b. Psikoterapi
Terapi harus tetap fokus pada pengertian terhadap motivasi dan
fungsi mekanisme yang terganggu serta membantu pasien mengenali
penyakit dan dampak dari pola adaptif terhadap penyakitnya tersebut.
Psikoterapi berjalan lebih lambat dan hati-hati dibanding gangguan
psikiatrik lainnya, transferensi positif biasanya terjadi secara bertahap.
Dalam perjalanannya dilakukan eksplorasi intepretasi sambil tetap
mempertahankan hubungan dokter-pasien yang adekuat
Karena pasien biasanya kurang motivasi dalam mengikuti program
terapi, diperlukan teknik terapi yang mudah disesuaikan, dan dilakukan
perubahan-preubahan dalam pendekatan terapi.
Selama perjalanan psikoterapi, pasien dengan gangguan
psikosomatis akan memerlukan tindakan medis atau tindakan
pembedahan.dengan sikap koopertatif terhadap dokter yang
mengobatinya, terapis diharapkan tetap mempertahankan kontak dengan
pasien. Hal ini akan menjadi support emosi yang baik.
Kekambuhan bisa saja terjadi, baik penyakitnya ataupun pola
perilaku yang salah. Terapis harus menjelaskan bahwa itu bukan

20
merupakan suatu kegagalan melainkan merupakan suatu proses
perubahan dan mendukung pasien untuk melanjutkan proses terapi.
Beberapa contoh psikologi terapi yang bisa dilakukan:

o Behaviour therapy
o Interpersonal Therapy
o Problem solving.3

II.4 PROGNOSIS
Prognosis dari depresi yang menyebabkan penyakit gastrointestinal
tergantung dari respon terhadap pegobatan yang digunakan. Prognosis dapat
membaik tergantung dari seberapa parah episode depresif telah terjadi,
ketersediaan sumber daya pengobatan, dan keinginan pribadi pasien. 3

21
KESIMPULAN

Gangguan depresi merupakan gangguan psikososial yang bilamana


tidak ditangani akan menjadi masalah yang serius. Biasanya depresi paling
banyak terjadi pada usia 20-50 tahun dimana puncaknya pada umur 40
tahun. Prevalensi wanita lebih banyak dibandingkan pria. Beberapa faktor
yang menyebabkan depresi antara lain faktor biologi, faktor genetik, faktor
dan faktor psikososial. Gejala utama depresi berupa afek depresi,
kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi dan lain lain.
Depresi juga dapat menyebabkan gangguan pada Gastrointestinal. Efek
utama dari depresi pada sistem Gastrointestinal meliputi perubahan dalam
motilitas gastrointestinal, meningkatkan persepsi viseral, perubahan dalam
sekresi pencernaan dan meningkatkan permeabilitas usus. Penyakit
Gastrointestinal yang paling sering terjadi yaitu GERD, Ulkus Peptikum,
dan Inflammatory Bowl Disease. Penatalaksanaan dari penyakit ini yang
paling utama adalah dengan mengobati penyakit depresi itu sendiri.
Depresi ini sendiri menjadi etiologi dari penyakit gastrointestinal
sehingga yang pertama kali harus ditatalaksana adalah depresi itu sendiri.
Untuk penyakit gastrointestinal dapat diobati dengan obat obatan dari
simptomatik itu sendiri. Memilih pengobatan harus mencakup evaluasi
seberapa parah episode depresif telah terjadi, ketersediaan sumber daya
pengobatan, dan keinginan pribadi pasien.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. W. Lam R, Mok H. Depression Oxford Psychiatry Library. Lunbeck


Institutes. 2000. p. 1-57.
2. Sadock B, Sadock V. Kaplan & Sadock buku ajar psikiatri klinis. Edisi
Kedua. Jakarta: EGC;2010.
3. Elvira S, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Edisi Kedua. Jakarta:
FKUI;2010
4. Sadock B, Sadock V, Ruiz P. Kaplan 7 Sadock’s. Edisi Kesembilan.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2009
5. Maslim, Rusdia. Buku Saku Gangguan Jiwa, rujukan ringkar PPDGJ-III
dan DSM 5. Cetakan Kedua. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK
Unika Atma Jaya;2013
6. Carl C, Bell et al , 2000, Diagnostic and Statistical Manual Of Mental
Disorder Fourth Edition, America: American Psychiatric Association
7. Wittkower. Eric, Warnes Hector, 1977, Psychosomatic medicine : its
clinical applications/Editor, New York : Harper & Row
8. Hsu, Chih-Chao et al. 2105, Depression and the Risk of Peptic Ulcer
Disease. Taipe: Wolters Kluwer Health
9. Byrne, Glynis et al, 2017, Prevalence of Anxiety and Depression in
Patients with Inflammatory Bowl Disease, Canada: Canadian Journal of
Gastroenerology and Hepatology, Taipei: Wolter Kluwr Health
10. Yang, Xiao-Jun et al. 2015. Anxiety and Depression in Patients with
Gastroeophageal Reflux Disease and Their Effect on Quality of Life.
China: World J Gastroenterol
11. W. Long P. Mayor depressive Disorder, Treatment. [online]. Updated on
Feb. 9, 1998. Cited on [15 September 2013]. p 1-31. Available from :
http://www.mentalhealth.com

23

Anda mungkin juga menyukai