Anda di halaman 1dari 28

REFLEKSI KASUS

AN. MS USIA 7 TAHUN DENGAN FEBRIS THYPHOID


Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Stase
Ilmu Kesehatan Anak
Diajukan Kepada :

Pembimbing : dr. Noor Hidayati, SpA

Disusun Oleh :

Ulfa Nurul Farida H2A012071

Kepaniteraan Klinik

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

RSUD Dr. ADHYATMA, MPH


LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN

ILMU KESEHATAN ANAK

REFLEKSI KASUS

AN. MS USIA 7 TAHUN DENGAN FEBRIS THYPHOID

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


Stase Ilmu Kesehatan Anak

RSUD Dr. ADHYATMA, MPH

Disusun Oleh:

Ulfa Nurul Farida H2A012071

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Tanggal : ...........................................

Pembimbing Klinik

Ilmu Kesehatan Anak

dr. Noor Hidayati, Sp.A


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Refleksi Kasus ini, yang diajukan untuk memenuhi tugas dan
melengkapi syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik Stase Ilmu Kesehatan Anak.
Refleksi Kasus Ini Berjudul ”An. MS usia 7 tahun dengan febris thyphoid”
Dengan selesainya refleksi kasus ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa
terima kasih kepada :
1. Prof. dr. Rifki Muslim, Sp.B, Sp.U, selaku Dekan Fakultas beserta jajaran di
Prodi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Semarang.
2. dr. Noor Hidayati, Sp.A, dr. Laily Babgei, SpA, dr. Galuh Ramaningrum,
Sp.A dan dr. Agus Saptanto, Sp.A selaku koordinator sekaligus pembimbing
Stase Ilmu Kesehatan Anak.
3. RSUD Dr. Adhyatma, MPH seluruh direksi dan karyawan.
4. Semua pihak dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan namanya satu
persatu.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Untuk
itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi
kesepurnaan laporan kasus ini. Semoga refleksi kasus ini berguna bagi kita semua.

Semarang, Oktober 2016

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Demam Tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan


oleh infeksi sistemik Samonella Typhi. Prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi
pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu
pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya
sehingga untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk
konfirmasi.
Demam tifoid masih merupakan penyakit yang sering terjadi di Negara berkembang,
namun pemeriksaan diagnostikyang adekuat belum selalu tersedia. Demam enterik
merupakan penyakit yang disebabkan beberapa serovar Salmonella enterica termasuk S.
typhi dan S.paratyphi A. Walaupun secara global S. typhi merupakan penyebab utama, infeksi
S. paratyphi A juga terjadi di beberapa bagian dunia dan berhubungan dengan pengunjung
turis. Namun demikian, S. paratyphi B dan C jarang ditemukan. Manifestasi gejala klinis
demam tifoid dan derajat beratnya penyakit bervariasi pada populasi yang berbeda. Sebagian
besar pasien yang dirawat di Rumah Sakit (RS) dengan demam tifoid berusia 5-25 tahun.
Namun, beberapa penelitian di komunitas menunjukkan bahwa demam tifoid dapat terjadi
pada usia kurang dari 5 tahun dengan gejala non-spesifik yang secara klinis tidak tampak
seperti tifoid.
Sembilan puluh enam persen (96) kasus demam tifoid disebabkan S. Tiphi,
sisanya disebabkan oleh S. Paratyphi. Kuman masuk melalui makanan dan minuman
setelah melewati lambung kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus
dinding usus sehingga mencapai folikel limfoid usus halus (paque Peyeri). Kuman
ikut aliran limfe mesenteria ke dalam sirkulasi darah (bacteremia primer) mencapai
jaringan RES (hepar, lien, sumsum tulang untuk bermutiplikasi). Setelah mengalami
bacteremia sekunder, kuman mencapai sirkulasi darah untuk menyerang organ lain
(intra dan ekstra intestinal). Masa inkubasi 10-14 hari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEMAM TIFOID
1. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat
saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu,
gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran. Penyakit ini disebabkan
oleh Salmonella typhi, kuman masuk lewat mukosa usus halus, melalui
pembuluh limfe, mengadakan replikasi dan kemudian kembali ke darah
dan menyebar ke kelenjar limfoid ileum (plaques peyeri), menimbulkan
radang dan membentuk tukak. Tukak inilah yang mudah berdarah dan
tembus usus pada stadium rekonvalese waktu tukak membersih pada
proses penyembuhan
Demam lebih dari 7 hari ditambah dengan keluhan sakit kepala,
sakit perut (diare, obstipasi), lidah kotor, bradikardi relatif, roseola,
leukopenia, limfositosis relative, aneosinofilia, uji serologi dan kultur.
(Nafsiah Mboi. PERMENKES NO 5 TAHUN 2003 TENTANG
PEDOMAN TATALAKSANA MALARIA. Menteri Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta : 2013)
2. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s.
Typhi, s. Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis
salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s. Typhi cendrung
untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain.
(Ashkenazi et al, 2002)
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat
motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain
meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan
gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella
tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif.
Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh
dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140
º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan
suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama
berminggu-minggu dalam sampah, bahan makannan kering, agfen
farmakeutika an bahan tinja. (Ashkenazi et al, 2002)
Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH.
Antigen O adlah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil
terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas
3. Klasifikasi
Menurut WHO (2003), ada 3 macam klasifikasi demam tifoid
dengan perbedaan gejala klinis:
1. Demam tifoid akut non komplikasi
Demam tifoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan
abnormalis fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada
anak - anak), sakit kepala, malaise, dan anoksia. Bentuk bronchitis biasa
terjadi pada fase awal penyakit selama periode demam, sampai 25%
penyakit menunjukkan adanya resespot pada dada, abdomen dan
punggung.
2. Demam tifoid dengan komplikasi
Pada demam tifoid akut keadaan mungkin dapat berkembang menjadi
komplikasi parah. Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan
kliniknya, hingga 10% pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari
melena, perforasi, susu dan peningkatan ketidaknyamanan abdomen.
3. Keadaan karier
Keadaan karier tifoid terjadi pada 1 - 5% pasien, tergantung umur pasien.
Karier tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi Salmenella typhi di feses.
4. Patofisiologi
Kuman masuk melalui makanan dan minuman setelah melewati
lambung kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus
dinding usus sehingga mencapai folikel limfoid usus halus (paque Peyeri).
Kuman ikut aliran limfe mesenteria ke dalam sirkulasi darah (bacteremia
primer) mencapai jaringan RES (hepar, lien, sumsum tulang untuk
bermutiplikasi). Setelah mengalami bacteremia sekunder, kuman
mencapai sirkulasi darah untuk menyerang organ lain (intra dan ekstra
intestinal).

5. Manifestasi klinis
Manifestasi klinik demam tifoid pada pediatri tidak khas dan
sangat bervariasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi manifestasi klinik
dan beratnya penyakit adalah strain S. typhi. Jumlah mikroorganisme yang
tertelan, keadaan umum dan status nutrisi (Soegijanto, 2002). Masa tunas
demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari. Gejala - gejala amat
bervariasi. Perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia, tetapi
juga daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu, gambaran penyakit
bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran
penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian. Hal ini
menyebabkan bahwa seorang ahli yang sudah sangat berpengalaman pun
dapat mengalami kesulitan untuk membuat diagnosis klinis demam tifoid
(Juwono, 2004).
Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan
tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya
didapatkan suhu badan meningkat. Dalam minggu kedua gejala - gejala
menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang khas
(kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali,
splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor,
koma, delirium, atau psikosis, roseolae jarang di temukan pada orang
Indonesia (Juwono, 2004).
6. Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi
pada akhir minggu pertama, menggu kedua demam terus menerus tinggi.
Anak sering mengigau (delirium), malaise, alergi, anoreksia, nyeri kepala,
nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam
tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan icterus
(IDAI, 2004).
Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam
berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari
makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus
menerus terutama pada malam hari.
2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan
kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
3. Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan
sampai koma.
Selama stadium awal demam tifoid, penderita dapat didiagnosis
menderita bronchitis, bronkopneumonia, gastroenteris atau influenza.
Selanjutnya penyakit tersebut dapat dikacaukan pula dengan berbagai
infeksi yang disebabkan mikroorganisme intraseluler, yaitu tuberkulosis,
infeksi jamur sistemis, bruselosis, tularemia, penyakit yang disebabkan
riketsia, shigelosis dan secara epidemiologis juga malaria. Septikemi yang
tidak diketahui etiologinya, leukemia, limfoma dan panyakit Hodgkin
dapat juga dipikirkan sebagai diagnosis banding.
Pemeriksaan Penunjang
Darah tepi perifer
a. Anemia, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang,
defisiensi Fe, atau pendarahan usus
b. Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/ul
c. Limfositosis relative
d. Trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat
Pemeriksaan serologi
a. Serologi Widal: kenaikan titer S. thypi titer O 1:200 atau kenaikan 4
kali titer fase akut ke fase konvalesen
b. Kenaikan IgM dan IgG (Thypi -dot)
Pemeriksaan biakan salmonella
a. Biakan darah terutama pada minggu 1- 2 dari perjalanan penyakit
b. Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke- 4
Pemeriksaan radiologik
a. Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia
b. Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti
perforasi usus atau pendarahan saluran cerna. Pada perforasi usus tampak
distribusi udara tak merata, tampak air fluid level, bayangan radiolusen di
daerah hepar, dan udara bebas pada abdomen (IDAI, 2004).
c. Uji Widal merupakan salah satu uji serologis yang sampai saat ini
masih digunakan secara luas, khususnya dinegara berkembang termasuk
Indonesia (Probohoesodo,2005). Uji widal merupakan uji aglutinasi yang
menggunakan suspensi kuman Salmonella thypi dan S. parathypi sebagai
antigen untuk mendeteksi adanya antibody terhadap S. thypi atau
parathypi di dalam serum penderita (Handojo, 2004).
7. Tatalaksana
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam
menangani demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian
antibiotik. Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan
antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada
indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup
seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak
lebih ringan dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam
tifoid anak tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan
dengan pengobatan oral serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk
mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari penyakit tersebut.
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid
pada anak di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi,
ketersediaan dan biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol
masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada anak,
terutama di negara berkembang.Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana
obat antibiotik lini pertamanya adalah golongan fluorokuinolon, seperti
ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin atau gatifloksasin.
Kloramfenikol mempunyai beberapa kelebihansebagai obat demam
tifoid yaitu efikasinya yang baik (demam turun rata-rata hari ke 4-5 setelah
pengobatan dimulai), mudah didapat dan harganya yang murah. Dibandingkan
dengan antibiotik yang lain, kloramfenikol dapat menurunkan demam lebih cepat
bila digunakan untuk pengobatan demam tifoid. Tabel menunjukkan kecepatan
penurunan demam oleh masing-masing obat antibiotik pada kasus demam tifoid
pada anak. Namun Kloramfenikol mempunyai kekurangan, yaitu menyebabkan
efek samping berupa anemia aplastik akibat supresi sumsum tulang,
menyebabkan agranulositosis, menginduksi terjadinya leukemia dan
menyebabkan Gray baby syndrome. Kelemahan lain obat ini adalah tingginya
angka relaps bila diberikan sebagai terapi demam tifoid dan tidak bisa digunakan
untuk mengobati karier S. typhi.
Medikamentosa
a) Antipiretik bila suhu > 38,50C kortikosteroid dianjurkan pada demam
tifoid berat.
b) Antibiotik (berturut-turut sesuai lini pengobatan)
1) Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kg/hari, oral atau iv, dibagi
dalam 4 dosis selama 10 - 14 hari, tidak dianjurkan pada leukosit
<2000/μl, dosis maksimal 2 g/hari
2) Amoxicillin 150 – 200 mg/kg/hari, oral atau iv selama 14 hari
3) Ceftriaxon 20-80 mg/kg/hari selama 5-10 hari

BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama anak : An. MS
Umur : 7 tahun 1 bulan
Tanggal lahir : 17 September 2009
Agama : Islam
Alamat : Jl. Sabranglor RT 05/06 Kaliwungu
No RM : 515506
Tgl masuk RS : 17 Oktober 2016
Jaminan Kesehatan : Jamkesmaskot

Nama bapak : Tn. AS


Umur : 30 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
Pendidikan : SD
Alamat : Jl. Sabranglor RT 05/06 Kaliwungu

Nama ibu : Ny. S


Umur : 28 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
Pendidikan : SMP
Alamat : Jl. Sabranglor RT 05/06 Kaliwungu

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara Alloanamnesa dari Ibu Pasien pada tanggal 19
Oktober 2016 pukul 13.00 WIB di Bangsal Melati RSUD Tugurejo Semarang.
a. Keluhan Utama : Muntah
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak 2 minggu sebelum masuk Rumah Sakit pasien muntah lebih dari 4x
sehari, isi makanan, tidak ada lendir, tidak ada darah, dan tidak berbau amis
dan asam. setiap kali makan, pasien muntah. Mual juga dirasakan setiap hari.
Pasien juga mengeluhkan pusing, pusing seperti nggliyeng dan nyeri pada
uluhati. Pasien merasa lemas, nafsu makan turun, pasien masih mau minum,
BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Sejak 1 minggu sebelum masuk Rumah Sakit keluhan masih dirasakan,
pasien juga mengeluhkan batuk, batuk berdahak tetapi tidak bisa dikeluarkan.
Pasien merasakan sesak untuk bernafas, nafsu makan turun, pasien mengaku
merasa kehausan, demam, demam naik turun, naik saat sore hari dan turun
saat pagi, tidak menggigil dan tidak kejang. Pasien mengeluhkan tiba tiba
pada mata sebelah kiri ngganjel dan buram saat melihat, sesaat setelah itu
mata kiri pasien juling kearah dalam. Pasien sudah tidak bisa duduk atau
berdiri kembali, pasien hanya berbaring di kasur saja, saat didudukkan badan
pasien akan terjatuh
17 Oktober 2016 pasien dibawa keluarganya ke IGD RSUD Tugurejo
dengan keadaan lemas. Saat dibawa ke UGD pasien muntah 2x isi cairan
seperti lendir, berbau asam, tidak ada darah. Pasien juga masih mengeluhkan
mual, pusing, dan nyeri pada daerah uluhati, nafsu makan turun, minum
sedikit, pagi ini pasien belum BAB dari 2hari yang lalu, BAK urin yang
dikeluarkan sedikit, dan berwarna kuning, terdapat nyeri uluhati. Demam
sudah turun.

c. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien pernah mengalami keluhan serupa. Pasien memiliki riwayat sakit
tipus dan dirawat inap. Keluarga pasien menyangkal bahwa pasien memiliki
riwayat alergi, trauma, TB dan asma.
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat typhus, alergi obat atau makanan, TB pada keluarga disangkal.
Ayah pasien mengaku merokok.
e. Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien susah makan, suka jajan diluar, dan sumber air sumur atetis,biaya
menggunakan Kartu Indonesia Sehat.
f. Data Khusus
1. Riwayat Kehamilan/Pre Natal :
An. MS adalah anak tunggal dari Ny.P saat berusia 21 tahun. Ibu rutin
periksa kehamilan lebih dari 4 kali di bidan. Saat hamil, ibu pasien
mengeluh sering mual selama 3 bulan kehamilan, ibu pasien tidak
memiliki tekanan darah tinggi atau penyakit gula selama kehamilan. Ibu
pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu, alkohol, maupun rokok
selama kehamilan. Suntik tetanus toksoid (TT) sebanyak dua kali.
kehamilan cukup bulan (39 minggu).
2. Riwayat persalinan/natal :
Lahir spontan dengan bantuan bidan, langsung menangis kuat, dan
segera dilakukan inisiasi menyusui dini. Berat badan saat lahir sekitar
2800 gram, panjang badan tidak ingat.
3. Riwayat pasca persalinan/ post natal :
Tidak ada perdarahan post partum.

4. Riwayat Imunisasi :
Macam imunisasi Frekuensi Umur Keterangan
Imunisasi dasar: Dilakukan di Bidan
BCG 1 kali 2 bulan Lengkap
DPT 3 kali 2,4,6 bulan Lengkap
Hepatitis B 3 kali 0,1,6 bulan Lengkap
Polio 4 kali 0,2,4,6 bulan Lengkap
Campak 1 kali 9 bulan Lengkap
Kesan : imunisasi dasar lengkap
5. Riwayat makan dan minum
1 – 1 bulan : ASI + Susu formula
2 Bulan-3 tahun : ASI + Nasi tim, sayur wortel, bayam, tahu-tempe buah
(pisang, pepaya)
6. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak :
Umur Perkembangan
2 bulan Senyum sosial
3 bulan Mengangkat kepala
5 bulan Berguling
6 bulan Duduk tanpa dibantu, tengkurap dan berbalik sendiri
11 bulan Berjalan
2 tahun Naik turun tangga
3 tahun Makan sendiri, bicara kalimat, lompat
4 tahun Menyanyi, naik sepeda
5 tahun Memakai pakaian sendiri
Kesan : Perkembangan sesuai umur
Pertumbuhan : berat badan 19 kg
Tinggi badan 110 cm
7. Riwayat lingkungan dan sosial ekonomi :
Ayah pasien merokok, tidak mengkonsumsi minuman beralkohol
dan obat-obatan. Pasien tinggal bersama kedua orangtua. Ventilasi rumah
cukup, lantai kamar pasien berupa keramik, keadaan rumah tidak lembab
dan pencahayaan cukup
Ayah pasien bekerja sebagai buruh pabrik dan pasien berobat
dengan menggunakan Kartu Indonesia Sehat.
Kesan : Keadaan sosial dan ekonomi kurang
8. Riwayat KB
Riwayat KB spiral 3 tahun dan tidak ada keluhan.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 19 Oktober 2014 pukul 15.00 WIB
di Bangsal Melati RSUD Tugurejo Semarang.
a. Keadaan Umum dan Tanda Vital
Keadaan umum : tampak lemas
Kesadaran : compos mentis
Nadi : 90 kali/menit, isi dan tegangan cukup
Respiratory rate : 24 kali/menit, reguler
Suhu : 36,5 0 C (aksiler)
BB : 19 kg
TB : 110 cm
b. Status Interna
1. Kepala : kesan mesocephal
2. Mata : strabismus (-/+) konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera
ikterik(-/-), mata cowong (-/-), reflek cahaya direct (+/+), reflek cahaya
indirect (+/+), edem palpebra (-/-), pupil 2,5mm
3. Hidung : nafas cuping (-), deformitas (-), sekret (-)
4. Telinga : serumen (-), nyeri mastoid (-), nyeri tragus (-)
5. Mulut : kering (+), sianosis (-), faring tidak hiperemis,
tonsil T1-T1 tidak hiperemis, lidah kotor (+)
6. Leher : tiroid (N)
7. Thorax
Pembesaran limfonodi axilla (-)

Pulmo
Dextra Sinistra
Pulmo Depan
Inspeksi Normochest. Normochest.
Diameter Lateral > Antero Diameter Lateral > Antero
posterior. posterior.
Hemithorax Simetris Statis Hemithorax Simetris Statis
Dinamis. Dinamis.
Kelainan kulit (-). Kelainan kulit (-).
Palpasi Stem fremitus normal kanan Stem fremitus normal kanan
sama dengan kiri. sama dengan kiri.
Nyeri tekan (-). Nyeri tekan (-).
Pelebaran SIC (-). Pelebaran SIC (-).
Arcus costa normal. Arcus costa normal.
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru

Auskultasi Suara dasar paru vesikuler Suara dasar paru vesikuler (+),
(+), wheezing (-), ronki (-) wheezing (-), ronki (-)
Pulmo Belakang
Inspeksi Normochest. Normochest.
Kelainan kulit (-). Simetris. Kelainan kulit (-). Simetris.
Pengembangan pernafasan Pengembangan pernafasan
paru normal. paru normal.
Palpasi Stem fremitus normal kanan Stem fremitus normal kanan
sama dengan kiri. sama dengan kiri.
Hemithorax simetris. Hemithorax simetris.
Nyeri tekan (-). Nyeri tekan (-).
Pelebaran SIC (-). Pelebaran SIC (-).
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru

Auskultasi Suara dasar paru vesikuler Suara dasar paru vesikuler


(+), wheezing (-), ronki (-) (+), wheezing (-), ronki (-)

Tampak Depan Tampak Belakang


Suara Dasar Vesikuler Suara Dasar Vesikuler
Wheezing (-), ronchi (-) Wheezing (-), ronchi (-)

Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis (teraba), thrill (-)
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : bunyi jantung I > II, gallop (-), murmur (-)
8. Abdomen
Inspeksi : bentuk perut datar, warna sama seperti kulit
sekitar.
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani seluruh regio abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (+) pada regio epigastrium dan hipocondriaca
dextra , hepatomegali (-), ginjal tidak teraba, lien tidak teraba.
Ekstremitas

Superior Inferior
Akral hangat +/+ +/+
Oedem -/- -/-
Turgor kulit <2detik <2detik
Sianosis -/- -/-
Capillary Refill < 2 detik/< 2 detik < 2 detik/< 2 detik
Gerak +/+ +/+
Pembengkakan sendi lutut -/-

IV. PEMERIKSAAN KHUSUS


a. Pemeriksaan Antropometri
1. Jenis kelamin : Laki- laki
2. Umur : 7 tahun 1 bulan
3. Berat badan : 19 kg
4. Tinggi badan : 110 cm
5. CDC :
- BB/U : (19:26)/100 = 73% (gizi kurang)
- TB/U : (110:121)100 = 91% (normal)
- BB/TB : (19:23)100 = 82,6 (baik)
Kesan gizi : gizi anak baik
b. Pemeriksaan Penunjang

Darah Rutin tanggal 19 November 2014 11:56


Jenis Hasil Satuan Nilai normal
Leukosit 13,53 103/ul 5.0 – 14.5
Eritrosit 4.56 106/ul 3.8 – 5.8
Hemoglobin 11.90 g/dl 10.8 – 15.6
Hematokrit 36.40 % 33 – 45
Trombosit 349 103/ul 184 – 488
MCV 79.80 fL 69 – 93
MCH 26.10 pg 22 – 34
MCHC 32.70 g/dl 32 – 36
RDW 13.70 % 11.5 – 14.5
Eosinofil absolute 0.79 103/ul 0.045 – 0.44
Basofil absolute 0.04 103/ul 0 – 0.2
Netrofil absolute 10.14 103/ul 1.8 – 8
3
Limfosit absolute 1.60 10 /ul 0.9 – 5.2
Monosit absolute 0.96 103/ul 0.16 – 1
Eosinofil 5.80 % 2–4
Basofil 0.30 % 0–1
Neutrofil 75.00 % 50 – 70
Limfosit 11.80 % 25 – 50
Monosit 7.10 % 1–6
Tes widal O 1/320
Tes widal H 1/320
Kimia Klinik
Kalium : 4,28 mmol/L
Natrium : 132,5 mmol/L
Chlorida : 95,8 mmol/L
c. CT Scan
Tampak lesi hiperdens dengan area area hipodens, bentuk oval, batas tegas,
reguler
Pada posterior ventrikel III lesi terukur 4,39x3
Ventrikel lateral kanan kiri & ventrikel III tampak melebar
Ventrikel IV baik
Sukus kortikalis dan fissure syvii tampak sempit
Tak tampak midline shifting
Sisterna baik
Batang tak dan cerebelum baik
Tulang kalvaria baik
KESAN : masa hiperdens inhomogen pada posterior ventrikel III yang
menyebabkan hydrocephalus obstruktikans suatu ependymoma

V. RESUME
Sejak 2 minggu sebelum masuk Rumah Sakit pasien muntah lebih
dari 4x sehari, isi makanan, tidak ada lendir, tidak ada darah, dan tidak
berbau amis dan asam. setiap kali makan, pasien muntah. Mual setiap hari,
pusing seperti nggliyeng, nyeri pada uluhati, lemas, nafsu makan turun,
pasien masih mau minum, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien sudah
minum obat dari Puskesmas
Sejak 1 minggu sebelum masuk Rumah Sakit pasien batuk, batuk
berdahak tetapi tidak bisa dikeluarkan, sesak nafas, nafsu makan turun, tetapi
lebih sering minum karena pasien mengaku lebih kehausan, demam, demam
naik turun, naik saat sore hari dan turun saat pagi, tidak menggigil dan tidak
kejang, tiba tiba pada mata sebelah kiri ngganjel dan buram saat melihat,
sesaat setelah itu mata kiri pasien juling kearah dalam. Pasien sudah tidak
bisa duduk atau berdiri kembali, pasien hanya berbaring di kasur saja, saat
didudukkan badan pasien akan terjatuh
17 Oktober 2016 pasien dibawa keluarganya ke IGD RSUD Tugurejo
dengan keadaan lemas. Saat dibawa ke UGD pasien muntah 2x isi cairan
seperti lendir, berbau asam, tidak ada darah. Pasien sebelumnya pernah
dirawat di Rumah Sakit karena tipus,ayah pasien perokok, riwayat
perkembangan dan pertumbuhan pasien normal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum : tampak lemas,
Suhu 36,5 C. Mata kiri strabismus, lidah kotor (+), nyeri tekan pada regio
epigastrium, dan hipocondriaca kanan abdomen, tidak ada hepatomegali,
ginjal tidak teraba, lien tidak teraba. Bentuk perut datar, warna sama seperti
kulit sekitar, bising usus (+) normal, timpani seluruh regio abdomen. Akral
hangat, ektremitas tidak ada udem, turgor kulit normal.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan didapatkan peningkatan
leukosit (13,53), eosinophil (5,80) dan neutrofil (75,00), kemudian
penurunan pada limfosit (11,80). Natrium (132,5 mmol/L), Chlorida (95,8
mmol/L) Pada pemeriksaan uji widal didapatkan typhi O dan H 1/320.
VI. DIAGNOSIS BANDING
1. Demam
 Febris Tyfoid
 Demam Dengue
 ISPA
2. Batuk
 ISPA
 Bronchitis
3. Tumor Intrakranial
VII. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis Klinis : Febris thyphoid dengan Tumor Intrakranial
Diagnosis tumbuh kembang : tumbuh kembang sesuai usia
Diagnosis Gizi : Gizi baik
Dianosis imunisasi : Imunisasi dasar lengkap
VIII. INITIAL PLAN
Ip Dx S:
 Apakah anak tampak dehidrasi?

Ip Dx O:

 Pemeriksaan darah rutin


 Uji widal
 Uji IgM, igG Dengue
 Kultur darah
 CT Scan
Ip Tx :

 Paracetamol Syr 4x1/2 cth


 Sefriakson 80mg/kg/bb
 Ondansetron 3x1/2 0,1mg/kgbb
 Infus Ka En 3B 15 tpm
 Kompres

Ip Mx :

 Vital sign
 Keadaan Umum
 tanda syok septik

Ip Ex : istirahat penuh dan juga dilarang makan makanan sembarangan, cukup


makanan dari rumah sakit, perbanyak minum, kompres bila anak panas
IX. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam

Quo ad Sanam : dubia ad malam

Quo ad Fungsionam : dubia ad malam

FOLLOW UP

Hari/ tgl S O A P

19/10/2016  Muntah(+)  KU : tampak  Demam Tifoid  Infus Ka En 3B


 Mual (+) lemas  ISPA 15 tpm
 Nyeri perut(+)  RR : 24x/m  Sefriksion
 Pusing (+)  HR: 90 x/m  Ondansetron
 Lemas (+)  T : 36,5’C 3x1/2 mg

 Nafsu makan  BB: 19 kg  Paracetamol

turun (+)  PB : 110cm 4x1/2 cth

 Konstipasi (+)  Lidah kotor (+)


 Batuk (+)  Mata kiri
strabismus (+)
 Nyeri tekan
abdomen (+)
 Widal O1/320
 Widal H 1/320
20/10/2016  Muntah(-)  KU : tampak  Demam Tifoid  Infus Ka En 3B
 Mual (+) lemas  ISPA 15 tpm
 Nyeri perut(+)  RR : 20x/m  Tumor Intracranial  Sefriksion
 Pusing (+)  HR: 88 x/m  Ondansetron
 Lemas (+)  T : 36,5’C 3x1/2 mg

 Nafsu makan  BB: 19 kg  Paracetamol

turun (+)  PB : 110cm 4x1/2 cth

 Konstipasi (+)  Lidah kotor (+)


 Batuk (+)  Mata kiri
strabismus (+)
 Nyeri tekan
abdomen (+)
 Widal O1/32
 Widal H 1/320
 CT scan : Tumor
Intracranial
21/10/2016  Muntah(+)  KU : tampak  Demam Tifoid  Infus Ka En 3B
 Mual (+) lemas  ISPA 15 tpm
 Nyeri perut(+)  RR : 20x/m  Tumor Intracranial  Sefriksion
 Pusing (+)  HR: 88 x/m  Ondansetron
 Lemas (+)  T : 36,5’C 3x1/2 mg

 Nafsu makan  BB: 19 kg  Paracetamol

turun (+)  PB : 110cm 4x1/2 cth

 Konstipasi (+)  Lidah kotor (+)


 Batuk (+)  Mata kiri
strabismus (+)
 Nyeri tekan
abdomen (+)
 Widal O1/32
 Widal H 1/320
 CT scan : Tumor
Intracranial
21/10/2016 Dirujuk

BAB IV

PEMBAHASAN

Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada
akhir minggu pertama, menggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak
sering mengigau (delirium), malaise, alergi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri
perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat
dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan icterus (IDAI, 2004).
Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam
berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin
meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama
pada malam hari.
2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan
kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
3. Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai
koma.
Selama stadium awal demam tifoid, penderita dapat didiagnosis
menderita bronchitis, bronkopneumonia, gastroenteris atau influenza.

Pada kasus ini, keluhan pasien muntah lebih dari 4x sehari, mual
setiap hari, pusing seperti nggliyeng, nyeri pada uluhati, lemas, nafsu makan
turun, pasien masih mau minum, BAB dan BAK tidak ada keluhan. sudah 1
minggu pasien batuk, batuk berdahak tetapi tidak bisa dikeluarkan, sesak
nafas, nafsu makan turun, tetapi lebih sering minum karena pasien mengaku
lebih kehausan, demam, demam naik turun, naik saat sore hari dan turun saat
pagi, tidak menggigil dan tidak kejang, tiba tiba pada mata sebelah kiri
ngganjel dan buram saat melihat, sesaat setelah itu mata kiri pasien juling
kearah dalam. Pasien sudah tidak bisa duduk atau berdiri kembali, pasien
hanya berbaring di kasur saja, saat didudukkan badan pasien akan terjatuh.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum : tampak lemas, Suhu
36,5 C. Mata kiri strabismus, lidah kotor (+), nyeri tekan pada regio
epigastrium, dan hipocondriaca kanan abdomen, tidak ada hepatomegali,
ginjal tidak teraba, lien tidak teraba
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan didapatkan peningkatan leukosit (13,53),
eosinophil (5,80) dan neutrofil (75,00), kemudian penurunan pada limfosit (11,80).
Natrium (132,5 mmol/L), Chlorida (95,8 mmol/L) Pada pemeriksaan uji widal
didapatkan typhi O dan H 1/320.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid


fever.BMJ. 2006;333:78-82.

2. Baker S, Favorov M, Dougan G. Searching for the elusive typhoid


diagnostic. BMC Infectious Diseases. 2010;10:45-50.

3. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever.
NEJM. 2002;347:1770-82.

4. Mtove G, Amos B, von Seidlen L, Hendriksen I, Mwambuli A, Kimera J,


et al
5. Invasive salmonellosis among children admitted to a rural Tanzanian
hospital and a comparison with previous studies. Plos ONE. 2010; 5:9244-
51.

6. Olopoenia LA, King AL. Widal agglutination test – 100 years later: still
plagued by controversy. Postgrad Med J. 2000;76:80-4.

7. Ley B, Mtove G, Thriemer K, Amos B, von Seidlein L, Hendriksen I, dkk.


Evaluation of the widal tube agglutination test for the diagnosis of typhoid
feveramong children admitted to a rural hospital in Tanzania and a
comparison with previous studies. BMC Infect Dis. 2010; 10:180-8.

8. Jaffery G, Hussain W, Saeed, Anwer M, Maqbool S. Annual Pathology


Conference, 2003, Pakistan and 3rd Scientific Conference of Paediatric
Association of SAARC Countries 2004, Lahore.

9. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey


AB, etal. Sensitivity and specificity of typhoid fever rapid antibody tests
for laboratory diagnosis at two sub-Saharan African sites. Bull WHO.
2011; 89:640-7.

Anda mungkin juga menyukai